Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah Di Lembaga Mikro Keuangan Syariah (BMT)
Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah Di Lembaga Mikro Keuangan Syariah (BMT)
net/publication/323965899
CITATIONS READS
0 1,388
1 author:
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Fahadil Amin Al Hasan on 23 March 2018.
Abstrak
Murabahah merupakan salah satu transaksi yang terdapat dalam sistem ekonomi Islam.
Murabahah diartikan sebagai seseorang yang menjual suatu barang dengan menegaskan
harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai
laba. Akad tersebut merupakan akad konsumtif, artinya transaksi yang hanya di dila-
kukan untuk perjanjian sesaat, seperti perjanjian membeli kendaraan, alat elektronik, dan
lain sebagainya. Namun demikian, seiring dengan berjalanya waktu terdapat banyak lem-
baga ekonomi syariah yang menggunakan akad tersebut untuk keperluan transaksi berja-
ngka panjang. Hal ini merupakan sesuatu yang baru dan belum dikenal dalam transaksi
murabahah pada kitab fiqih klasik. Selain hal tersebut, terdapat beberapa hal baru
berkenaan dengan transaksi murabahah. Makalah ini akan membahas mengenai beberapa
pelaksanaan/implementasi murabahah di lembaga keuangan syariah. Metode penulisan
makalah ini menggunakan teknik book survey (library research) mengenai literatur-lite-
ratur yang berhubungan dengan pelaksanaan murabahah.
A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang maha sempurna,1 oleh karenanya tidak ada satu aspek
pun dalam persoalan manusia yang luput dari kajian dan perhatian Islam. Allah swt
telah merumuskan dan menyempurnakan segala bentuk aturannya untuk dijadikan
sebagai panduan bagi segenap umat Islam.2 Begitupun dalam urusan muamalah,
walaupun Islam tidak mempunyai peraturan secara rinci tentang sistem Ekonomi
Islam, namun Islam mempunyai fondasi, aturan dasar atau pengarahan yang pokok
dan beberapa cabang penting dalam Ekonomi Islam, yang segogyanya menjadi acuan
dasar bagi umat islam dalam menjalankan kegiatan muamalahnya.
Seperti halnya dalam menyikapi kredit yang marak terjadi di perbankan
kovensional, maka sebenarnya Islam telah jauh-jauh hari memiliki sistem yang
berkenaan dengan itu, ini merupakan hasil interpretasi yang dilakukanan oleh para
ulama terdahulu. Mereka telah membahas tentang jenis-jenis transaksi yang dapat
diaplikasikan pada perbankan syariah dan lembaga keuangan islam lainnya. Diantara
1
Al-Quran dan Terjemah, Bandung: Diponegoro, Surat al-Maidah: 03
2
Muhammad Ali Al-Shabuni, Sofwah al-Tafaasir, Beirut: Dar al-Quran al-Karim, 1980, jilid I, hlm.
326
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 58
jenis transaksi tersebut adalah bai al-Murabahah.3 Jenis transaksi ini merupakan
transaksi yang simpel dan mudah untuk dilaksanakan. Maka tidak aneh jikalau
pembiayaan al-Murabahah ini merupakan salah satu produk yang paling “populer” dan
diminati oleh para nasabah perbankan syariah dan Institusi Islam lainnya. Sebagai
contohnya, dari total Rp. 112,844 milyar pembiayaan yang dilakukan oleh bank
syariah dan unit usaha syariah, porsi pembiayaan Murabahah mencapai 64,54 persen
dari total dana yang di keluarkan, di bandingkan dengan akad mudharabah yang
hanya mencapai 10,48 persen.4
Namun demikian, jikalau kita sedikit memperhatikan pada tatanan praktek dan
implementasi yang ada, tidak sedikit dalam pelaksanan konsep Murabahah sesuai
dengan apa yang dirumuskan oleh para fakar dan praktisi muamalah, lebih jauhnya
ada yang bertentangan dengan pokok ajaran islam, yaitu al-Quran dan as-Sunnah.
Oleh karena itu, beberapa tahun kebelakang ada istilah yang muncul yaitu
mensyariahkan bank syariah.5 Argumentasi yang berkembang ketika itu adalah karena
minimnya sumber daya manusia serta belum adanya regulasi yang bener-benar
memumpuni sebagai landasan acuan perbankan Syariah di Indonesia. Oleh karena itu,
pada tahun 2008 lahirlah Undang-Undang No. 21 tahun 2008 yang mengatur secara
spesifik tentang perbankan syariah.6 Dan ini mungkin dapat kita maklumi.
Sebuah pertanyaan besar mengenai perkembangan lembaga keuangan syariah
yaitu apakah ada ketidaksesuaian antaran konsep dan aplikasi pasca lahirnya
beberapa peraturan mengenai pelaksanaan ekonomi Islam di Indonesia dan
berkembangnya SDM di bidang muamalah?
Selanjutnya, makalah sederhana ini akan membahas tentang analisis
pelaksanaan murabahah yang diterapkan di beberapa lembaga mikro syariah di
Indonesia yang kemudian penulis hubungkan dengan beberapa teori para ahli di
bidang muamalah yang tersebar di berbagai buku dan kajian.
B. Konsep Murabahah
Di tinjau dari segi ma‟nanya, murabahah adalah bentuk masdar dari kata رابح
yang bentuk asalnya adalah َربَحyang ditambah dengan huruf alif untuk menunjukan
Isytirak/Musyarakah yang mengandung arti memberikan sebuah kelebihan.7 Artinya
memberi keuntungan atau laba diantara yang beraqad atau orang yang melakukan
persekutuan.8
Secara terminologi, terdapat pengertian beragam, seperti yang disampaikan
Wahbah Zuhaily, yang dimaksud dengan murabahah adalah si penjual
memberitahukan kepada si pembeli berapa harganya dan berapa keuntungan yang
diperoeh si penjual, baik secara umum maupu secara terperinci.9 Sementara menurut
3
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani, 2011, hlm. 101
4
Statistik Perbankan Syariah Mei 2013 Bank Indonesia.
5
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam (catatan kritis terhadap dinamika perbankan syariah di
Indonesia), Jakarta: Suhuf, 2011, hlm. 53
6
Ibid, hlm. 53
7
Kamus al-Munjid fi Lughoti wal A‟lam, Libanon: Dar al-Masyriq, 2008, hlm.233 dan Kamus Al-
Munawwir, 1984, hlm. 463
8
Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Bandung: Pustaka Setia, 2011, hlm, 263
9
Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu, Damasakus: Tp, 1984, vol IV, hlm. 703
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 59
Syaid Sabiq, Murabahah adalah penjualan barang seharga pembelian disertai dengan
keuntungan yang diberikan oleh pembeli.10Sedangkan menurut Ibnu Rusyd,
murabahah adalah jual-beli di mana penjual menjelaskan kepada pembeli harga
pokok barang yang dibelinya dan meminta suatu margin keuntungan kepada
pembeli.11Adapun pengertian Murabahah menurut DSN-MUI sebagai benang merah
dari berbagai pengertian dari yang disampaikan ulama adalah “Menjual suatu barang
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang
lebih sebagai laba”.12 Sedangkan definisi operasional murabahah yang dipergunakan oleh
UU No. 21 Tahun 2008 adalah, “Akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga
belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harganya lebih sebagai harga yang
disepakati”.13
Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu
akad jual beli (pembiayaan) dengan tambahan nilai yang diberikan oleh pembeli
kepada penjual (LKS) sebagai laba untuk penjual sesuai dengan kesepakatan.
Murabahan merupakan salah satu jual beli al Amanah, dikarenakan jual beli ini
terjadi berdasarkan kepercayaan kepada penjual yang menjelaskan tentang harga beli
terhadap barang tersebut. Jual beli lainnya yang termasuk pada kategori ini adalah
jual beli Tawliyah (tanpa mengambil keuntungan) dan jual beli Muawwadah ( di bawah
harga/diskon).14
Dikarenakan Murabahah merupakan salah satu jenis dari Jual beli, maka
landasan hukum dan rukunnya sama dengan jual beli pada umumnya. Diantara dalil
yang menjadi landasannya adalah,
... ....
Artinya: “... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. ....”15
.... ....
Artinya: “....janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.....”16
10
Atang Abdul Hakim, Fiqih Perbankan Islam, Bandung: Refika Aditama, 2011, hlm, 226
11
Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Ibn Rusyd al-Qurtubi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr, t.t, juz II, hlm, 161.
12
Fawa DSN MUI. No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah
13
Penjelasan UU No. 21 tahun 2008, Pasal 19 ayat (1) huruf d.
14
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam., Hlm. 73
15
Al-Quran Terjemah, Surat Al-Baqarah: 275
16
Al-Quran Terjemah, Surat An-Nisa: 26
17
HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah, dapat dilihat pada buku Rahmat Syafei, Figh Muamalah, Bandung:
Pustaka Setia, 2001, hlm. 75
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 60
Artinya: “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan : jual-beli secara tangguh, muqaradhan
(mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk
dijual”18
18
HR. Ibn Majah, lihat Muhammad bin Ismail al-Kahlani ash-Shan‟ani, Subul as-Salam : Syarh
Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, Beirut : Dar al-Fikr, t.t, juz III, hlm, 76.
19
Abdullah bin Muhammad At-Thayyar, dkk, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4
Mazhab, Yogyakarta: Maktabah al-Hanif, 2009, hlm.03
20
Arrison Hendry, Perbankan Syari‟ah : Perspektif Praktisi, Jakarta : Mu‟amalat Institute, 1999,
hlm, 43.
21
Fatwa DSN mengenai diskon no.16/DSN-MUI/IX/2000
22
Secara bahasa adalah berkembang secara mutlak, yang dapat membahayakan terhadap
masyarakat sosial karena kemadharatannya sangat banyak. Lihat Muhammad Ali As-Shobuni,
Rawaai‟ul Bayan Tafsiiri Aayatil Ahkam (terjemahan). Semarang: CV Adhi Gravika, 1993, Juz II, hlm, 135-159
23
Cecep M H, Ekonomi Islam, hlm. 74
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 61
pola ini tetap dilakukan karena terkendala dengan sistem yang ada, serta untuk
mempermudah pelaksanaan pembiayaan Murabahah pada institusi tersebut.
2. Akad pembiayaan murabahah di tujukan secara berkelanjutan (roll over/evergreen),
yaitu untuk modal kerja, yang pada hakikatnya, murabahah adalah kontrak jangka
pendek (one short deal).24
3. Dalam penetapan harga pembiayaan, pihak BMT sudah terlebih dahulu
menyediakan gambaran pembiayaan yang harus dibayar oleh pihak calon nasabah
yang nantinya langsung digunakan sebagai rukujan pembayaran nasabah. Dengan
kata lain, harga dan jumlah yang harus dibayar nasabah sudah ditentukan oleh
pihak BMT sebelum perundingan harga dilakukan, sedangkan seharusnya harga
itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama, bukan dibuat dahulu oleh pihak
BMT walaupun itu nantinya disepakati oleh nasabah, ini memungkinkan adanya
indikasi Ikroh (paksaan) yang dibuat oleh pihak BMT.
28
Muhammad hasby As-Syidiqi, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang: PT Petraya Mitrajaya,
2001, jilid 7, hlm, 25
29
Lihat aturan juristik yang dikeluarkan oleh AAOIFI (Accounting and Auditing of Islamic
Financial Institution)
30
Cecep Maskanul Hakim, Ekonomi Islam, Hlm. 78
31
Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 65
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 63
murabahah bil wakalah itu tetap dilaksanakan karena faktor madhorot, yang apabila akad
tersebut tidak dilaksanakan akan menyebabkan salah satu fungsi BMT tidak dapat
dilaksanakan. Misalnya pada transaksi perbaikan atau rehabilitasi rumah, yang ini
jelas akan menyulitkan pihak BMT jika pelaksanaan murabahah tetap dilaksanakan
berdasarkan prinsip awal yang tidak membolehkan adanya perwakilan. Salah satu
alasan yang kuat untuk dilaksanakan murabahah bil wakalah ini adalah karena objek
transaksi itu sangat banyak, misalnya membutuhkan pasir, semen, paku, cat, kayu,
dan lain sebagainya, yang ini akan menyebabkan kesulitan bagi pihak BMT.
Adapun kaidah yang berhubungan dengan kaidah adalah,
الضرورات تبيح المحظورات
32
Artinya: “kemadharotan membolehkanmelakukan pekerjaan yang dilarang”
(Wallahu A‟lam)
Ada berbagai penafsiran mengenai madharot, seperti yang disampaikan oleh
Imam suyuthy, beliau menjelaskan bahwa madharat itu suatu keadaan dimana jika
seseorang tersebut tidak melakukan perbuatan dengan segera akan menyebabkan
dirinya terbawa ke jurang kehancuran atau kematian.33
Dalam literatur klasik, keadaan memaksa/emergency ini sering dicontohkan
dengan seorang yang tersesat di hutan dan tidak ada lagi makanan lain kecualin
daging babi yang diharamkan. Dalam keadaan darurat demikian Allah
menghalalkannya sebagaimana dalam surat al-Baqarah :173.
Mengenai ketentuan yang terkandung dalam ayat di atas, para ulama
perumuskan suatu kaidah,
الضرورات تقدر بقدرىا
Artinya: “Darurat itu harus dibatasi sesuai dengan kadarnya”.
Dengan demikian, darurot itu ada masa berlakunya serta batasan ukuran dan
kadarnya. Contohnya, seandainya di hutan ada sapi atau ayam, dispensasi untuk
memakan daging babi menjadi hilang. Begitu juga seandainya untuk mempertahankan
hidup cukup dengan tiga suap, maka tidak boleh melampaui batas hingga tujuh atau
sepuluh suap, apalagi jika dibawa pulang dan dibagi-bagikan kepada tetangga.34
Apabila kita kaitkan dan hubungkan kasus madarat yang terjadi pada daging
babi dengan aplikasi murabahah pada perbankan, maka bagi mereka yang
berargumen bahwa melaksanakan murabahah bil wakalah dengan alasan madarat
karena lebih rumit, maka argumentasi itu tertolak dan tidak masuk akal. Sebab,
masih terdapat LKS (Lembaga Keuangan Syariah) lainnya yang melaksanakan
pembiayaan murabahah sebagaimana mestinya dan mereka pun tetap diuntungkan.
Sehingga tidak ada dispensasi bagi mereka yang menjalankan murabahah bil wakalah.
Berbeda halnya dengan pelaksanaan murabahah di institusi perbankan,
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama indonesia dikarenakan adanya pajak
berganda, yang apabila terus dilaksanakan akan menyebabkan kebangkrutan bagi
bank syariah itu sendiri. Solusi utama agar murabahah dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya ialah dengan dihapuskannya pajak berganda yang dikenakan
kepada perbankan syariah oleh regulator (pemerintah dan DPR).
32
Imam Suyuti, al-Ashbah wa An-Nadzoir, tp: Dar al-Kutub al-islami, tt, hlm, 60
33
Ibid, 60-68
34
Syafii Antonio, Bank Syariah., hlm. 55
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 64
Kesimpulannya, akad atau transaksi murabahah seharusnya dilaksanakan
dengan dua akad. Pertama akad dari suplayer kepada pihak BMT dan yang kedua
adalah akad dari pihak BMT ke nasabah, sesuai dengan apa yang durumuskan oleh
para ulama. Dalam transaksi murabahah tidak diperkenankan dijalankan berdasarkan
ba‟i al-Murabahah bil wakalah atau melalui perwakilan kepada nasabah, karena ini lebih
dekat dengan jual beli terhadap benda yang belum ada, dan itu tidak diperbolehkan
dalam islam. Pelaksanaan ba‟i al-Murabahah bil wakalah dimungkinkan diperbolehkan
jika dalam keadaan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas.
35
Ibid, hlm. 106
36
Atang Abdul hakim, Fikh Perbankan, hlm. 213
37
Ibnu Rusyd, Bidayah Mujtahid., jilid 2, hlm. 236
38
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: Akademi Manajemen YKPN,
2005), hlm. 16-22
39
Ibid, hlm, 22-25
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 65
dilakukan, sedangkan seharusnya harga itu dibuat berdasarkan kesepakatan bersama,
bukan dibuat dahulu oleh pihak BMT walaupun itu nantinya disepakati oleh
nasabah, ini memungkinkan adanya indikasi Ikroh (paksaan) yang dibuat oleh pihak
BMT.
Pelaksanaan penetapan harga ini pun tidak sesuai dengan pengertian
murabahah dalam undang-undang yang di akhiri dengan klausal “pembeli membayarnya
dengan harganya lebih sebagai harga yang disepakati”. Kata”disepakati” penurut penulis
menunjukan sesuatu yang harus dibuat secara bersamaan antara pihak penjual (BMT)
dengan pihak pembeli (nasabah), ataupun dapat dipahami walaupun tidak dibuat
secara bersamaan, namun memungkinkan untuk terjadinya koreksi sesuai dengan
kesepakatan. Sedangkan dalam pelaksanaan yang ada pihak BMT hanya menawari
harga pembiayaan dengan tanpa koreksi, jika nasabah menginginkan, maka
pembiayaan tetap dilanjutkan, sedangkan jika tidak berkenan maka otomatis pihak
nasabah tidak mengambil pembiayaan tersebut. Namun demikian, nasabah akan
tetap mengambil pembiayaan karena didesak kebutuhan, dan apabila ia tidak
mengambil membiayaan tersebut maka kebutuhannya tidak akan dipenuhi. Oleh
karena itu, jika pelaksanaan penetapan harga tidak dilakukan berdasar negosiasi awal
terlebih dahulu, maka terdapat indikasi ikroh dalam pelaksanaan murabahah tesebut.
Sedangkan di dalam islam akad atau transaksi dilaksanakan dengan paksaan, maka
ini menyalahi aturan yang ditetapkan dalam al-Quran, yang menyatakan bahwa
Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun.
(Untuk lebih jelasnya silahkan anda lihat Q.S. An-Nisa' 4: 29).40
Bukti atau contoh riil dalam penetapan harga yang dilakukan oleh BMT adalah
pihak BMT sudah merumuskan harga pembiayaan dan jumlah harga yang harus
dibayarkan perbulan. Misalnya pembiayaan dengan harga 1.000.000,- dengan
keuntungan bagi pihak BMT 200.000,- sehingga nasabah harus mengembalikan
pembayaran 100.000,- per bulan sebagai uang pengembalian kepada BMT yang di
dalamnya sudah termasuk keuntungan dan harga pokok. Jadi, margin/keuntungan
yang di dapat oleh BMT ialah 20% dari total pembiayaan equivalen dengan 1.6 % per
bulan. Harga atau jumlah ini sudah langsung tersedia dan bukan hasil kesepakat
bersama antara pihak BMT dan nasabah, sehingga ada indikasi paksaan di dalam
penetapan harga tersebut.
Namun demikian, setelah diteliti di berbagai kitab fiqih klasik dan modern
pelaksanaan penetapan harga seperti itu diperbolehkan, dengan syarat modalnya
harus diketahui lebih awal dan keuntungannya benar-benar diseoakati bersama.
Ketentuan murobah seperti itu sesuai denga apa yang disampaikan oleh Imam al-
Syayrazi di dalam Al-Muhadzab yang menjelaskan, murabahah adalah (penjual)
menjelaskan modal dan kadar labanya dengan mengatakan, misalnya, “Harganya
seratus dan aku menjual kepada kamu dengan modalnya, dengan laba satu dirham
untuk setiap sepuluh dirham.”41 Begitupun pendapat Ibn Qudamah di dalam Asy-
Syarh al-Kabîr yang menjelaskan bahwa murabahah adalah menjual dengan laba yang
disepakati, lalu dikatakan, misalnya, “Modalku di dalamnya seratus. Aku menjual
kepada kamu dengan laba sepuluh.” Ini adalah boleh, tidak ada perbedaan pendapat
40
Tim Redaksi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 2008), Jilid III, hlm. 246
41
Imam Al-Syirazi, al- Muhadzab, (tp: Dar al-Fikr, t.th), jilid I, hlm. 288
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 66
42
tentang keabsahannya. Berbeda halnya dengan pendapat atau pengertian murabaha
yang disampaikan oleh Sayyid Sabiq, yaitu penjualan barang seharga pembelian
disertai dengan keuntungan yang diberikan oleh pembeli.43 Yang ini menunjukan
bahwa yang menentukan keuntungan bagi penjual adalah murni oleh pembeli. Kesan
seperti ini menunjukan pada pengertian atau mekanisme murabahah yang
sebenarnya, sesuai dengan apa yang dilakukan oleh rasullullah yang memberikan
keleluasaan memberikan keuntungan untuk penjual kepada pembeli semata.
Penetapan harga seperti ini merupakan perluasan dari bentuk akad, yang
esensinya tetap sama yaitu mencapai kesepakatan. Sebagaimana dalam suatu kaidah
disebutkan bahwa hukum itu berubah sesuai dengan perubahan keadaaan :
ال ينكر تغير األحكام بتغير األزمان
Artinya : “Tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu.”44
a. Kaidah Fiqhiyyah.
االصل فى األشياء اإلباحة حتى يدل دليل على تحر يمها
Artinya : “Dasar pada setiap sesuatu pekerjaan adalah boleh sampai ada dalil yang yang
mengaharamkannya.”
b. Kaidah Fiqhiyyah
العادة محكمة
46
Artinya : “Kebiasaan adalah bagian dari hukum.“
ِ ِ
َ ال ُْم ْسل ُمو َن َعلَى ُش ُروط ِه ْم إِالَّ َش ْرطًا َح َّرَم َحالَ الً أ َْو أ
{ َح َّل َح َر ًاما } رواه الترمذى
Artinya : “Kaum muslimin bertransaksi sesuai dengan syarat-syaratnya selama tidak
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”47
42
Ibn Qudamah, al-Mughni, (tp: Dar al-Kitab al-„Arabi, t.th), Jilid IV, hlm,102
43
Lihat pengertian murabahah pada pembahasan sebelumnya
44
Asjmuni A Rahman, Qawa‟idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 90
45
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari Kitab al-‟Ilm, No. Hadits 67
46
Asjmuni A Rahman, Qowa‟idul Fiqhiyyah, hlm. 88
47
Imam al-Turmudzi, Sunan al-Turmudzi Kitab al-Ahkam, No. Hadits 1272
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 67
Dari paparan di atas ada beberapa hal yang dapat kita ketaui bahwa penetapan
harga yang dilakukan oleh BMT yang telah menentukan rincian harga sebelum akad
dilaksanakan itu telah memenuhi ketentuan syariat berdasarkan pendapat ulama
dengan sudah terjadi perluasan dalam bentuk akad. Begitupun jika kita kaitkan
pelaksanaan tersebut dengan apa yang telah di jabarkan oleh Imam Hanafi dalam
pembahsannya mengenai sighoh akad, yang di dalamnya banyak pilihan atau
keringanan pada tatanan pelaksanaannya.48 (wallahu a‟lam)
Di akhir pembahasan, begitu banyak persoalan dalam pelaksanaan murabahah
ini yang perlu kita kaji ulang kembali agar substansi dari sistem tersebut sesuai
dengan tuntutan syariat, sehingga hukum islam/syariat islam benar-benar terpelihara
dari hal yang dapat merusaknya, salah satunya ialah adanya pencampuran antara hal
baik dan hal yang kotor.
D. Kesimpulan
Sebagaimana dibahas di atas, masih terdapat ketidaksesuaian antara konsep
dengan apa yang terjadi di lapangan mengenai pelaksanaan murabahah. Diantara
indikasi ketidaksesuaan itu adalah mengenai konsep murabahah bil wakalah (agen
kepada nasabah) yang jika tetap dipertahankan lebih mendekati pada jual beli yang
diharamkan, yaitu jual beli ma‟dum atau jual beli barang yang tidak ada pada
seseorang (penjual). Walaupun demikian, masih terdapat dispensasi mengenai
pembiayaan murabahah bil wakalah, yaitu jika pihak BMT berada dalam kemadharatan
apabila tidak menggunakan pelaksanaan murabahah dengan agen. Akan tetapi, kita
harus bijak untuk memaknai apa yang disebut keadaan madharat itu, pihak BMT tidak
boleh langsung mengaitkannya dengan alasan madharat dikarenakan ada kriteria
masing-masing mengenai madharat.
Indikasi selanjutnya dalam pelaksanan murabahah di BMT adalah pelaksanaan
pembiayaan murabahah pada objek yang berkelanjutan (roll over/evergreen), seperti
untuk modal kerja. Sedangkan jika kita teliti dengan seksama, pembiayaan
murabahah adalah kontrak jarak pendek (one short deal), untuk kasus pembiayaan
jangka panjang/Kontinue alangkah lebih sesuai menggunakan akad Mudharabah bukan
Murabahah.
Mengenai penetapan harga yang dilakukan oleh BMT, setelah dilakukan
penelusuran di bebarapa kitab yang membahas tentang jual beli, maka dapat
disimpulkan bahwa hal yang demikian itu boleh berdasarkan ketentuan syara‟.
Walaupun dalam pelaksanaannya sudah terdapat dinamisasi dari proses pelaksanaan
jual beli itu sendiri.
Dengan demikian, walaupun SDM dalam bidang muamalah sudah banyak,
namun masih terdapat indikasi adanya ketidaksesuaian antara konsep muamalah dan
khususnya dengan aplikasinya pada tatanan praktis di lapangan yang harus
senantiasa kita kaji dan bahas kembali agas senantiasa sesuai dengan sumber aslinya,
yaitu al-Quran dan as-Sunah. Besar harapan dalam menjalankan sistem ekonomi islam
kita tidak termasuk orang-orang yang disebutkan oleh Allah SWT yang terdapat
48
Lihat pembahsan mengenai akad di dalam kitab Fiqh „ala Madahibil „arba‟ah, karya Abdurrahman
al-Jaziry, terj. H. Zuhri, Semarang: CV. Asyifa‟, jilid III, hlm, 318-331
Fahadil Amin, Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah | 68
pada surat al-Baqarah ayat 85. Yaitu orang yang menjalankan sistem Islam secara
parsial tidak laksanakannya secara komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA