Anda di halaman 1dari 6

Peran Remaja Gereja dalam Menjaga Toleransi Beragama

Oleh : Pnt. Drs. Tenni G.M Assa


Ketua Komisi Remaja SAG Sulutteng

Salam Sejahtera bagi kita….Syalom.


Pertama-tama kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan Yesus
Kristus, Tuhan dan kepala gereja karena berkat tuntunannya, kami Komisi
Remaja Sinode Am Gereja-gereja di Sulawesi bagian Utara dan Tengah (SAG
Sulutteng) bisa hadir dengan adik-adik remaja Gereja Masehi Injili Bolaang
Mongondow (GMIBM) di Bumi Perkemahan pada hari ini.
Kami juga menyampaikan salut dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Komisi Remaja Sinode GMIBM yang telah memberikan kesempatan
kepada Komisi Remaja SAG Sulutteng untuk bisa hadir dan memberikan pokok-
pokok pikiran tentang semangat keeasaan, tidak saja sebagai sesama gereja
anggota, tapi juga sebagai satu kesatuan anak bangsa yang hidup dalam
kepelbagaian suku, agama, ras dan antara golongan (SARA). Karena itu judul
materi yang disampaikan Pengurus Remaja Sinode GMIBM yaitu Remaja dan
Semangat Kebangsaan Merawat Toleransi saya nilai sangat tepat. Apalagi yang
hendak dicapai dalam materi ini peserta bisa memiliki pemahaman tentang
pentingnya memelihara dan menjaga serta merawat toleransi di tengah
keragaman.
Karena itu materi ini secara khusus membahas tentang: 1. Siapa saya dalam hal
ini Remaja Gereja. 2. Bagaimana pandangan gereja tentang kehidupan
berbangsa yang majemuk atau beragam, baik suku, agama, ras dan antar
golongan (SARA) dan 3. Bagaimana peran remaja dalam menjaga dan merawat
toleransi.
1. Siapa Saya (Remaja Gereja)
Sesuai dengan Konas (kongres Nasional) Pemuda dan Remaja yang
dilaksanakan Departemen Pemuda dan Remaja (Depera) Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada 8 Februari s/d 3 Maret 2014 di
Wisma INRI Karang Anyar Solo, Jawa Tengah, disepakati Pemuda dan
Remaja Gereja adalah Generasi Oikumene Kaum Muda sebagai Harapan
Gereja dan Masyarakat.
Dikatakan, dalam struktur pelayanan (gereja) di berbagai lapisan
masyarakat, pemuda dan remaja memperoleh tempat khusus karena
dianggap sebagai masa depan keluarga, bangsa, organisasi dan tentu
saja gereja. Karena itu pemuda dan remaja sangat penting kehadirannya
bagi kelanjutan kehidupan menuju yang lebih baik. Kesimpulan dari hasil
diskusi di 5 (lima) konsultasi regional pemuda dan remaja PGI yang
berujung pada konsultasi nasional maka diperoleh pemahaman
bersama, bahwa pemuda dan remaja secara psikologis adalah mereka
yang dalam proses pembangunan kepribadian, mengembangkan
pengetahuan dan idealisme. Dalam tinjauan sosial, adalah anggota
masyarakat yang berjiwa muda, bisa juga belum kawin sedang dalam
masa perjuangan menuju kematangan/kebijaksanaan-matang.
Sedangkan di dalam gereja digolongkan sebagai mereka yang secara
iman membutuhkan pelayanan khusus untuk menuju kepada iman yang
bertanggungjawab.
Pada Konsultasi Tahunan Sinode Am Gereja-gereja di Sulawesi bagian
Utara dan Tengah yang dilaksanakan di Jemaat Bethesda GMIBM
Bangunan Wuwuk Boltim 20 s/d 22 April 2018, pemuda dan remaja
mendapat perhatian khusus, sehingga semua program pembinaan
terhadap pemuda dan remaja diterima untuk dilaksanakan. Dengan
tujuan terjadi pembinaan yang berkelanjutan sehingga pemuda dan
remaja akan menjadi generasi yang siap mengemban tugas dan
tanggung jawab pelayanan gereja ke depan. Karena itu dibutuhkan
pembinaan yang akan memberikan kematangan spiritual, emosional
maupun kematangan intelektual.

1. Bagaimana Pandangan Gereja tentang Kebangsaan


Pada dasarnya gereja-gereja di Indonesia, termasuk di dalamnya
GMIBM, sangat komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara. Karena perjuangan merebut dan mempertahankan
kemerdekaan tidak hanya dilakukan kelompok tertentu atau agama
tertentu. Tapi oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya
umat Kristen atau gereja. Dan sikap kompromi kebangsaan menyikapi
perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan, terjadi ketika semuanya
menerima Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan menolak Piagam
Djakarta yang mencantumkan Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Namun demikian, pasca reformasi, terjadi upaya untuk mengubah dasar
negara. Tidak itu saja, di era ini muncul gerakan-gerakan radikal yang
mengantasnamakan agama. Bahkan menimbulkan konflik horizontal
seperti yang terjadi di Maluku, Maluku Utara, Poso Sulteng dan daerah-
daerah lain.
Dan saat ini, kita dihebohkan dengan aksi terorisme yang membawa
simbol-simbol agama. Bahkan yang dikhawatirkan saat ini untuk
kepentingan politik praktis, agama mulai dijadikan kendaraan untuk
mencari simpatik warga.
Dengan kondisi bangsa seperti ini, Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) mengeluarkan pernyataan sikap yang ditandatangani
Ketua Umum MPH PGI Pdt Henriette T. Hutabarat-Lebang dan Sekretaris
Umum Pdt Gomar Gultom. Surat berjudul “Keprihatinan atas Kondisi
Kebangsaan Kita” disampaikan Presiden RI, lr. Joko Widodo, dengan No:
258/PGl-XVl/2017 tertanggal 2 Mei 2017.
Dalam suratnya, PGI menyampaikan poin-poin
keprihatinan. Pertama, salah satu keprihatinan yang paling mengemuka
adalah kondisi kebangsaan kita yang dirasakan sedang berada di ujung
tanduk. Di tengah upaya Presiden Jokowi mengimplementasikan nilai-
nilai Pancasila melalui Revolusi Mental, PGI melihat kecenderungan
sekelompok masyarakat yang justru berniat meminggirkan Pancasila dari
kehidupan kita berbangsa dan bermasyarakat, dan menggesernya
dengan dasar agama. “Pada hemat kami, pengedepanan agama secara
formal sebagai dasar dalam kehidupan kita berbangsa hanya akan
membawa persoalan baru yang menuju kepada perpecahan. Para
pendiri bangsa kita telah sangat arif menempatkan Pancasila, dan bukan
agama, sebagai dasar Negara kita. Tentu nilai-nilai agama tetap akan
menjadi landasan etik, moral dan spiritual kita, yang diharapkan
membangun semangat persaudaraan sebagai bangsa yang majemuk
serta memberi kontribusi positif bagi kemaslahatan seluruh ciptaan
Tuhan. Tentu saja nilai-nilai agama tersebut haruslah telah melalui
proses objektifikasi, sehingga dapat diterima semua kalangan dan tidak
mendiskriminasikan orang dari latarbelakang keyakinan dan kelompok
mana pun,” demikian surat tersebut.
Kedua, sejalan dengan itu, PGI juga prihatin dengan makin maraknya
aksi-aksi intoleran, kekerasan dan ujaran kebencian yang dilakukan oleh
berbagai kelompok masyarakat, yang dalam beberapa kasus terkesan
dibiarkan oleh aparat negara. Hal ini makin memprihatinkan karena
ternyata pendidikan di sekolah-sekolah turut mempersubur aksi-aksi ini,
baik oleh guru-guru yang tidak memiliki komitmen kebangsaan maupun
oleh buku-buku yang berisikan ajakan memerangi mereka yang berbeda
keyakinan.
Ketiga, PGI juga prihatin dengan semakin maraknya berbagai
aksi/deklarasi sektarian yang berkomitmen menerapkan ideologi di luar
Pancasila. Provokasi semacam ini akan semakin melemahkan sendi-sendi
kehidupan kita bersama sebagai bangsa yang majemuk. Apalagi
ditengarai, aksi dan deklarasi semacam ini juga didukung oleh
pernyataan-pernyataan para pejabat publik kita. PGI berpandangan,
selama masih ada kelompok yang mengutak-atik dasar negara, dan
dibiarkan oleh aparat negara, maka kita tidak akan pernah siap untuk
membangun, bahkan sedang menuju kehancuran sebagai bangsa.
Keempat, sejalan dengan itu, PGI juga prihatin dengan kecenderungan
sebagian masyarakat kita yang selalu memaksakan kehendak dan
aspirasinya lewat pengerahan massa, ketimbang menempuh jalur
hukum dan dialog yang lebih bermartabat. Kecenderungan semacam ini
sangat potensial meruntuhkan sendi-sendi demokrasi yang kita
perjuangkan selama ini.
2. Bagaimana Peran Remaja Menjaga dan Merawat Toleransi
Untuk membahas tentang bagaimana kita menjaga dan merawat
toleransi, surat Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, yaitu Roma 12:18b
yang berkata: ‘Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” bisa
menjadi acuan. Ayat ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa, kita
tidak hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita bergaulan
dengan masyarakat plural atau majemuk, karena itu kita wajib
menciptakan perdamaian.
Di kalangan Islam juga, seperti yang ditulis Wilnas peneliti Center of Risk
Intelligence Assessment (Cersia) Jakarta dengan judul Memelihara
Toleransi dalam Masyarakat Majemuk di NKRI yang dikutip dari
Klikwarta.com mengutip kalimat dalam Al Qur’an : “Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.” (QS.al-Hujuraat: 13).
Allah SWT telah menciptakan manusia berbeda-beda bangsa, budaya
dan bahasanya, akan tetapi pada dasarnya mereka adalah “ummatan
wahidatan” atau umat yang satu, maksudnya, perbedaan tidak
bermakna menghapuskan kesatuan kemanusiaannya.
Itu berarti semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup saling
mengasihi. Karena itu menjaga dan merawat toleransi beragama adalah
kewajiban Bersama, termasuk di dalamnya para remaja gereja.
Selanjutnya Wilnas mengatakan, jika diantara anak bangsa ini bisa
menjalankan sikap saling memahami dan toleransi atas perbedaan
itu, keberagaman akan menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat.
Kita juga memiliki alat pemersatu perbedaan yang lahir dari nilai-nilai
luhur bangsa, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dengan
berbagai tatanan yang sistematis di dalamnya. Pancasila merupakan
dasar negara yang mengatur tentang tata kehidupan keberagamaan
sebagaimana tersurat pada sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dari sila pertama kita tahu bahwa semua berhak memeluk agama dan
keyakinan masing-masing. Dalam UUD 1945 diatur dalam BAB XI
AGAMA pasal 29 ayat 1 “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan pasal 29 ayat 2 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu”.

Dilihat dari pasal di atas kita tahu bahwa, negara Indonesia


membebaskan masyarakatnya untuk memilih agamanya masing-masing
tanpa ada unsur paksaan dari negara atau pemerintah, karena itu
termasuk hak dan kewajiban kita masing-masing sebagai masyarakat
Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Meski demikian, harus diakui bahwa persoalan kerukunan hidup


beragama masih merupakan tantangan serius yang harus dihadapi.
Entah karena faktor provokasi dan tantangan dari luar maupun dari
negeri kita sendiri. Tapi apapun tantangan dan persoalannya, kita yakin
bahwa Tuhan akan memberikan jalan penyelesaian. Sebagai negeri yang
besar dan kaya keberagaman memang arena banyak tantangan yang
harus dihadapi, tapi pasti banyak solusi yang bisa digali. Sudah menjadi
konsensus nasional bangsa ini untuk saling menghargai dan
menghormati perbedaan agar nilai-nilai kerukunan dan keharmonisan
bisa terus terjaga.
Komunikasi antar sesama umat beragama secara kondusif merupakan
tujuan utama dari kerukunan beragama itu sendiri, agar tercipta
lingkungan yang nyaman dan jauh dari konflik karena perbedaan iman
dan keyakinan. Terima kasih.(*)
(Disampaikan dalam Perkemahan Remaja Sinode GMIBM, Jumat 22 Juni
2008)

Anda mungkin juga menyukai