Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU OBSTETRIC DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKAIRAAT
PALU
REFLEKSI KASUS
FEBRUARI 2018

G3P2A0 + GRAVID 35 – 36 MINGGU


+ PEB DENGAN TANDA IMPENING

Disusun Oleh:

Ni Putu Ripna Oktaviani, S.Ked


(11 16 777 14 107)

Pembimbing :
dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU OBSTETRIC DAN GINEKOLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Ni Putu Ripna Oktaviani

No. Stambuk : 11 16 777 14 107

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Pendidikan Dokter

Universitas : Alkhairaat

Judul Refleksi Kasus : G3P2A0 + Gravid 35 – 36 minggu + PEB dengan tanda


impending
Bagian : Ilmu Obstetric dan Ginekologi

Bagian Ilmu Obstetric dan Ginekologi


RSU ANUTAPURA Palu
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, Februari 2018

Pembimbing

dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1

BAB II. TIJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 3

2.1 DEFINISI .......................................................................................................... 3

2.2 EPIDEMIOLOGI .............................................................................................. 3

2.3 ETIOLOGI ........................................................................................................ 5

2.4 PATOFISIOLOGI ............................................................................................. 9

2.5 KLASIFIKASI ................................................................................................ 11

2.6 DIAGNOSIS ................................................................................................... 12

2.7 PENATALAKSANAAN ................................................................................ 13

2.8 KOMPLIKASI ................................................................................................ 21

BAB III. LAPORAN KASUS............................................................................... 22

BAB IV. PEMBAHASAN .................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 45

3
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan
salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan
infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu
hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi
gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu,
Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian
yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997
adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan
kehamila.

Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade,


hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi
masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu
hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini
umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada
primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti
kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab
lainnya.

Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan


berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi
uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat.
Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio
plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR).
Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan

4
hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat,
kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI

Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya


perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan
hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria .
Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran darah
sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah
adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick.(1)
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam
atau kualitatif ≥ 3+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia
kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia.(1)

2.2 EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu hamil
nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-
18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat terjadi 25%.
Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya kurang dari 34
minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat
preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil
primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia
dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil
dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan
diabetes.(2)

6
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(3)
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada
wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita
hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko
meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang
ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan
penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita
dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia
dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO). Penelitian
lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang tinggi. Angka
kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e. Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.

7
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada kasus
mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan muda, dan
ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya preeklampsia
jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita dengan Body
Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan Body Mass
Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda dari
105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu karena
eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor penyebabnya
ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan Sulchan Sofoewan
menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat mempunyai jumlah janin
lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2 (1,2%) kasus mempunyai
jumlah janin lebih dari satu.

2.3 ETIOLOGI

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum
diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari
penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang
dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat
prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa.
Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi

8
preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan
keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, dan penyebab timbulnya
gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya,
oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang memberikan
jawaban yang memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab
preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat
menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.(2,4)
Adapun teori-teori tersebut adalah:
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel
vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial
plasenta berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat.
Sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi
generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume
plasma.(3,4)
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan
pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak
sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap
Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral
dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan
proteinuria.(3,4)
3. Peran Faktor Genetik
Menurut Chesley dan Cooper (1986) bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat
diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran
faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:
a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

9
b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi Preeklampsia-Eklampsia
pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

4. Iskemik dari uterus.


Sperof (1973) menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah
iskemik uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta
yang meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.
Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan
kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi
penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan
penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang
mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang
mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi
ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan
peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan
darah.(3)
Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan
plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan
faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan
plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan
ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi
darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan
produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular
daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat
vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh
darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi
penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan
pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.(3)

10
5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.
Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam
pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel
yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita
hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada
trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan
kemajuan kehamilan.(2)
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress
hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan
hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut
disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif
sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan
permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria.
Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan
molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan
intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble
VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan
serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi
lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai
peranan pada preeklampsia.(2)
Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum
mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga
mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,
sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat
diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2
atau fibrin monomer.(5)

11
2.4 PATOFISIOLOGI

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler
Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan
pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif
(vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada
kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi
penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang
mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap
rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.(2)

2. Hipovolemia Intravaskuler
Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai
45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga
mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan
hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada
jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi
gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan.
Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi
janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat
(Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.(2)

3. Vasokonstriksi pembuluh darah


Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac
output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan
dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan

12
cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu
sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi
vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa
preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang
menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat
nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan
sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah
ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa
merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos
pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan
menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin,
tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,
prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan
pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah
termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas
efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara
simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,
serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena
penurunan perfusi uteroplasenta.(6)

13
2.5 KLASIFIKASI PREEKLAMSI

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia


Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and
Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+ atau 2+
pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklamsi berat
Definisi: preeklamsi dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan
darah diastolik ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih dari 5 gram/24 jam.
Dibagi menjadi:
- Preeklamsia berat dengan impending eklampsia
- Preeklamsia berat tanpa impending eklampsia

Pre eklampsia digolongkan berat bila terdapat satu atau lebih gejala:
a. Tekanan sistole 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg
atau lebih dan tidak turun walaupun sudah menjalani perawatan di RS dan
tirah baring
b. Proteinuria 5 gr atau lebih per jumlah urin selama 24 jam atau +4 dipstik
c. Oliguria, air kencing kurang dari 500 cc dalam 24 jam.
d. Kenaikan kreatinin serum
e. Gangguan visus dan serebral; penurunan kesadaran, nyeri kepala,
skotoma, dan pandangan kabur
f. Nyeri di daerah epigastrium dan nyeri kuadran atas kanan abdomen
karena teregangnya kapsula Glisson

14
g. Terjadi oedema paru-paru dan sianosis
h. Hemolisis mikroangiopatik
i. Terjadi gangguan fungsi hepar peningkatan SGOT dan SGPT
j. Pertumbuhan janin terhambat
k. Trombositopenia berat (< 100.000 sel/mm3) atau penurunan trombosit
dengan cepat
l. Sindroma Hellp.

Menurut Organization Gestosis, impending eklampsia adalah gejala-gejala


oedema, protenuria, hipertensi disertai gejala subyektif dan obyektif. Gejala subyektif
antara lain, nyeri kepala, gangguan visual dan nyeri epigastrium. Sedangkan gejala
obyektif antara lain hiperrefleksiia, eksitasi motorik dan sianosis.

2.6 DIAGNOSIS

a. Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah.
Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan
darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.(7)

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30 mmHg dan
diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90 mmHg pada
preeklampsia ringan dan ≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai tanda-tanda pendarahan otak.(7)

15
c. Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3.(7)
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi benang
fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6
mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia
berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa
sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien
preeklampsia biasanya dalam batas normal.(2)

2.7 PENATALAKSANAAN

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya


preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah
gangguan fungsi organ vital.(8)

1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada
ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga
bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan

16
volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan
kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi
glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan
ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi
vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah
rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam
rahim.(2,8)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti
fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang
mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.
Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan
yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah
karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan
obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan
laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal. Apabila
preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam
hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.(2,8)

Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah
a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2
minggu.
b) Adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat.
Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya

17
untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress
test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung dan lain
lain.(8)

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya


Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai
terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan
pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila
perlu memperpendek kala II.(8)

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativ yang kuat untuk
mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah
diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.(2)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta
baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada
saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(8)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti
diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,
gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu
dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan
darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(8)

18
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia
ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu
pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya
ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan
hemodinamika sudah stabil.(8)

Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat
inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting
pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia
dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan
oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang
sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,
vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik
koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input
cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi
sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah
cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda
edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat
berupa:
a. 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam
b. infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer
laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.(8)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi
bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat
menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup
protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(8)

19
Pemberian obat antikejang(8)
a. MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897
penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak
terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar
kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4


- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4


- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4


- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

20
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24
jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium
sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari
pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium
diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50
mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman
pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

b. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,
payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretik yang dipakai ialah furosemid.
Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,
memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,
menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

c. Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut
off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan
cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi
ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110

21
mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari
tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP <
125. Jenis antihipertensi yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang
harus dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan
nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.
Antihipertensi lini pertama
- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg
dalam 24 jam
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5
menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

d. Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah
jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat
kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat
menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.
Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada
sindrom HELLP.

22
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.

a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila
setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan
bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.

b. Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

23
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

2.8 KOMPLIKASI

Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah
melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia.
Komplikasi yang tersebut di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan
eklampsia.

Komplikasi yang terjadi pada ibu :

1. Solutio plasenta, terjadi pada ibu yang menderita hipertensi


2. Hipofibrinogenemia, dianjurkan pemeriksaan fibrinogen secara berkala.
3. Nekrosis hati, akibat vasospasmus arteriol umum.
4. Sindroma HELLP, yaitu hemolisis,elevated liver enzymes dan low platelet.
5. Kelainan ginjal
6. DIC.

24
Komplikasi yang terjadi pada janin :
1. Prematuritas
2. Dismaturitas
3. Kematian janin intra uterine

25
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 IDENTITAS

Nama : Ny. N

Umur : 29 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

Alamat : Jl. RE. Martadinata

Tanggal Masuk RS : 13 Januari 2018

Dokter Yang Merawat : dr. Abdul Faris, Sp.OG

3.2 ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)

A. KELUHAN UTAMA

Mual disertai muntah

B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

Pasien wanita dengan G3P2A0 hamil 35-36 minggu datang ke IGD


Kebidanan RS Wirabuana dengan keluhan mual disertai muntah-muntah yang dialami
sejak tadi sore sebelum masuk rumah sakit, muntah dialami ± 5x dengan isi makanan,
keluhan ini disertai dengan sakit kepala dari sehari sebelumnya, penglihatan kabur
(+), sesak (+), nyeri epigastrium (+). Os juga mengakatan kalau tidak ada nyeri perut
tembus belakang (-), pelepasan darah dari jalan lahir (-), lendir (-), air (-), menurut
pasien hal ini baru dialami 2 minggu terakhir ini dimana tekanan darah pasien juga
meningkat 2 minggu terakhir ini.

26
C. RIWAYAT PENYAKIT TERDAHULU

Riwayat hipertensi sebelum kehamilan disangkal, DM dan hepatitis disangkal.

D. RIWAYAT PENYAKIT DALAM KELUARGA

Tidak ada riwayat penyakit hipertensi, DM, dan Asma.

E. RIWAYAT PSIKOSOSIAL

Pasien tidak merokok dan minum minuman beralkohol.

F. RIWAYAT PENGOBATAN

Pasien tidak pernah dirawat sebelum.

G. RIWAYAT PERSALINAN

1. Anak pertama perempuan, lahir normal diRS

2. Anak kedua perempuan, lahir nomal diRS

3. Hamil saat ini

H. RIWAYAT ANTENATALCARE

Pemeriksaan selama kehamilan (ANC) sebanyak 3 kali dilakukan di


puskesmas.
I. RIWAYAT MENSTRUASI

Pertama kali haid saat berusia 12 tahun, teratur, sering terasa sakit saat haid
namun setelah menikah sudah jarang sakit saat haid, durasi haid 5 hari, siklus 28 hari,
HPHT 12 Mei 2017.
J. RIWAYAT ALERGI

Tidak memiliki alergi terhadap suhu, makanan, minuman, obat, dll.

27
K. RIWAYAT OPERASI

Belum pernah operasi

L. RIWAYAT KB

Pasien mengaku sebelum hamil menggunakan pil KB.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

A. KEADAAN UMUM : Lemah

B. KESADARAN : Compos Mentis

C. TANDA VITAL :

Tekanan Darah : 200/140 mmHg


Nadi : 68 x/menit
Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 36,50C Axilla
D. STATUS GENERALISATA

Kepala :
Bentuk : Normochepal
Mata : Eksoftalmus (-/-), penglihatan kabur (+/+)
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sclera : Ikterik (-/-)
Leher :
Pembesaran kelenjar getah bening (-/-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)

28
Thorax :
Paru paru :

- Inspeksi : Simetris bilateral (+/+)


- Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
- Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), rhonki (-/-), whezzing (-/-)

Jantung :

- Inspeksi : ictus cordis tidak tampak


- Palpasi : ictus cordis teraba pada SIC V linea midclavivula sinistra
- Perkusi : batas jantung normal
- Auskultasi : bunyi jantung 1 & 2 murni regular, gallop (-), murmur (-)

Ekstremitas
- Superior : akral hangat (+/+), edema (-/-), Tremor (-/-)
- Inferior : akral hangat (+/+), edema (+/+), Tremor (-/-)

E. STATUS OBSTETRI

Abdomen :

Inspeksi : Tampak perut membuncit


Palpasi :
o Leopold I : TFU 29 cm, teraba bagian teratas janin bulat lunak
o Leopold II : Teraba punggung dibagian dextra
o Leopold III : Teraba bagian terbawah janin bulat keras
o Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP.
Tapsiran berat janin : 2.635 gram
BJF : 160 x/menit

29
Pemeriksaan dalam vagina : tidak dilakukan.
F. HASIL LABORATORIUM

HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
Hemoglobin 8.9 12-14 G%
Hematokrit 28.0 40-45 %
Leukosit 10.300 4000-11000 mm3
Trombosit 216.000 150 rb- 400 rb mm3
Protein Urin +++ - -
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
Gol Darah O

G. DIAGNOSIS

G3P2A0 + Gravid 35-36 minggu + PEB dengan tanda impending

H. PENTALAKSANAAN

1. Pemasangan O2 2 liter/menit
2. Ibu diminta tidur miring kesebelah kiri
3. MgSO4 40% : pertama 4 gram dalam 100cc NaCl 0,9% habis dalam 30 menit
kemudian dilanjutkan 6 gram dalam 500cc RL 28tpm
4. Inj. Dexametasone 5 mg/6 jam/im
5. Inj. Piracetam 1 gr/8 jam/iv
6. Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
7. Nevedipin 3x10 mg
8. Pasang kateter, pantau produksi urin
9. Obs TTV, PPV, Kontraksi, produksi urine

30
I. FOLLOW UP

1. Perawatan hari pertama, Minggu, 14/01-2018

Subject :
Anemis(-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (+), Nyeri Perut (+), Mual
(-), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), BAK (+) menggunakan kateter, BAB (+)

Object :
KU : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD :150/90 mmHg Nadi : 80x/menit
RR :21x/menit Suhu : 36.50C,
BJF :140x/menit His : (-)
TFU : 29 cm Edema: (+)

Assessment :
G3P2A0 + Gravid 35 – 36 minggu + PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Inj. Piracetam 1 gr/8 jam/IV
 Inj. Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
 Nifedipine 3x10mg

31
2. Perawatan hari kedua, Senin, 15/02-2018

Subject :

Anemis(-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (-), Nyeri perut (+), Mual
(-), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), BAK (+) menggunakan kateter, BAB (+).

Object :
KU : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/80 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.50C,
BJF : 142x/menit His : (-)
TFU : 29cm Edema: (+)

Assesment :
G3P2A0 + Gravid 35 – 36 minggu + PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Nifedipine 3x10mg
 Furosemide 1x40 mg
 Sanobiat 1x1 tab

3. Perawatan hari ketiga, Selasa, 16/01-2018

Subject :
Anemis(-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Sakit kepala (-), Nyeri perut (+), Mual
(-), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), demam (+) BAK (+) menggunakan kateter, BAB
(+).

32
Object :
KU : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD :180/100 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 38.10C
BJF : 154x/menit His : (-)
TFU : 29 cm Edema: (+)
Assesment :
G3P2A0 + Gravid 35 – 36 minggu + PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Nifedipine 3x10mg
 Furosemide 1x40 mg
 Sanobiat 1x1 tab
 Paracetamol 3x500 mg
 Rencana USG hari ini

Hasil USG :

33
FL : 65.2 nn
GA : 33W.6D
EFW : 2015.9 gram
EDD : 2018-02-28
Instruksi :
 Rencana SC besok
 Priksa DL
 Inj. Cefotaxime 1 gr/12jam/iv

4. Perawatan hari ke-empat, Rabu, 17/01-2018

Subject :
Anemis(-), Penglihatan Kabur (-) , Sesak (-), Pusing (+), Sakit kepala (-), Nyeri
perut (-), Mual (+), Muntah (-), Nyeri Ulu Hati (-), demam (+) BAK (+)
menggunakan kateter, BAB (+).

34
Object :
KU : Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/100 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 37.10C
BJF : 140x/menit His : (-)
TFU : 29 cm Edema: (+)
Hasil Lab :

HASIL NILAI SATUAN


RUJUKAN
Hemoglobin 8.8 12-14 G%
Hematokrit 27.3 40-45 %
Leukosit 16.800 4000-11000 mm3
Trombosit 269.000 150 rb- 400 rb mm3
Protein +++ - -
HbsAg Non- Reaktif Non-Reaktif
Anti-HIV Non- Reaktif Non-Reaktif
Gol Darah O
CT 7 Menit 3 – 8 Menit Menit
BT 2 Menit 1 – 3 Menit Menit

Assesment :
G3P2A0 + Gravid 35 – 36 minggu + PEB dengan tanda impending

Planing :
SCTP + Tubektomi

35
Dilakukan Operasi Sectio Caesaria Transperitoneal Profunda + Tubektomi
Operator : dr. Abdul Faris, Sp.OG(K)
Laporan Operasi :
 Pasien dibaringkan dengan posisi supine dibawah pengaruh spinal anesteshia
 Desinfeksi area operasi dengan kasa steril dan betadine
 Insisi abdomen dengan metode pfannenstic, lapis demi lapis menembus
rongga perut secara tajam dan tumpul, menembus kulit, lemak, otot, facia, dan
peritoneum, kontrol perdarahan
 Eksplorasi cavum abdomen, insisi uterus pada segmen bawah rahim, lapis
demi lapis, menembus plica vesicouterina, myometrium, endometrium secara
tajam dan tumpul, kontrol perdarahan
 Pecahkan ketuban, warna ketuban putih keruh, volume cukup
 Bayi dilahirkan dengan keadaan hidup dengan presentasi kepala, jenis
kelamin laki – laki
 Plasenta dilahirkan secara manual dan lengkap
 Eksplorasi dan bersihkan cavum uteri dengan kasa steril dan betadine
 Jahit uterus lapis demi lapis, kontrol perdarahan
 Dilakukan pengikatan pada kedua tuba fallopi
 Eksplorasi dan bersihkan cavum abdomen, kontrol perdarahan
 Jait abdomen lapis demi lapis dari peritoneum, otot, facia, lemak dan kulit,
kontrol perdarahan
 Bersihkan luka dan tutup luka menggunakan kasa steril dan betadine
 Vaginal toilet
 Operasi Selesai

36
5. Post SC hari pertama, Kamis, 18/01-2018

Subject :

Nyeri bekas operasi (+), PPV (+), pusing (-), sakit kepala (-), mual (-), muntah (-),
Flatus (+), BAK (+) menggunakan kateter, BAB (-)

Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :130/80 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.50C,
Kontraksi : Baik TFU : 2 jari dibawah pusat
ASI : -/- Edema : (+) sudah berkurang
Assesment :
P3A0 + post SC H1 a/I PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
 Inj. Kalnex 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam/iv
 Drips metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Nifedipine 3x10mg

37
6. Post SC hari kedua, Jum’at, 19/01-2018

Subject :

Nyeri bekas operasi (+), PPV (+), pusing (-), sakit kepala (-), batuk (+), mual (-),
muntah (-), Flatus (+), BAK (+) menggunakan kateter, BAB (-)
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/90 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.50C,
Kontraksi : Baik TFU : 2 jari dibawah pusat
ASI : -/- Edema : (-)

Assesment :
P3A0 + post SC H2 a/I PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam/iv
 Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv
 Inj. Kalnex 500 mg/8 jam/iv
 Inj. Cefotaxime 1 gr/12 jam/iv
 Inj. Bisolvon 1 amp/8 jam/iv
 Drips metronidazole 500 mg/8 jam/iv
 Nifedipine 3x10mg

38
7. Post SC hari ketiga, Sabtu, 20/01-2018

Subject :

Nyeri bekas operasi (+), PPV (+), pusing (-), sakit kepala (-), batuk (+) sudah
berkurang, mual (-), muntah (-), Flatus (+), BAK (+) menggunakan kateter, BAB (-)
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/90 mmHg Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.50C,
Kontraksi : Baik TFU : 2 jari dibawah pusat
ASI : -/- Edema : (-)

Assesment :
P3A0 + post SC H3 a/I PEB dengan tanda impending

Planing :
 Ivfd RL 28 tpm
 Nifedipine 3x10mg
 Ganti oral
 Aff kateter
 Aff Infus

8. Post SC hari keempat, Minggu, 21/01-2018

Subject :

Nyeri bekas operasi (+), PPV (+), pusing (-), sakit kepala (-), batuk (-), mual (-),
muntah (-), Flatus (+), BAK (+), BAB (-)

39
Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :140/80 mmHg Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.80C,
Kontraksi : Baik TFU : 2 jari dibawah pusat
ASI : +/+ Edema : (-)

Assesment :
P3A0 + post SC H4 a/I PEB dengan tanda impending

Planing :
 Cefixime 2x100 mg
 Asam Mefenamat 3x500mg
 Sanobiat 1x1 tab
 Nifedipine 3x10mg

9. Post SC hari kelima, Minggu, 22/01-2018

Subject :

Nyeri bekas operasi (+), PPV (+), pusing (-), sakit kepala (-), batuk (-), mual (-),
muntah (-), Flatus (+), BAK (+), BAB (-)

Object :
KU : Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
TD :130/90 mmHg Nadi : 86x/menit
RR : 20x/menit Suhu : 36.80C,
Kontraksi : Baik TFU : 2 jari dibawah pusat
ASI : +/+ Edema : (-)

40
Assesment :
P3A0 + post SC H5 a/I PEB dengan tanda impending

Planing :
 Cefixime 2x100 mg
 Asam Mefenamat 3x500mg
 Sanobiat 1x1 tab
 Nifedipine 3x10mg
 Pasien boleh pulang

J. RESUME

Pasien wanita dengan G3P2A0 hamil 35-36 minggu datang ke IGD


Kebidanan RS Wirabuana dengan keluhan nausea disertai vomiting yang dialami
sejak tadi sore sebelum masuk rumah sakit, frekuensi ± 5x dengan isi makanan,
keluhan ini disertai dengan cefalgia dari sehari sebelumnya, penglihatan kabur (+),
dypsneu (+), nyeri epigastrium (+). Menurut pasien hal ini baru dialami 2 minggu
terakhir ini dimana tekanan darah pasien juga meningkat 2 minggu terakhir ini.
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 200/140 mmHg, Nadi : 68x/menit,
Pernafasan : 30x/menit, Suhu : 36.8 oC Axilla
Pemeriksaan obstetrik :
Inspeksi : Tampak perut membuncit
Palpasi :
o Leopold I : TFU 29 cm, teraba bagian teratas janin bulat lunak
o Leopold II : Teraba punggung dibagian dextra
o Leopold III : Teraba bagian terbawah janin bulat keras
o Leopold IV : Bagian terbawah janin belum masuk PAP.
Tapsiran berat janin : 2.635 gram

41
BJF : 160 x/menit
Hasil laboratorium yang didapatkan bermakna : protein urin : +3

Dan diIGD mendapatkan penanganan Pemasangan O2 2 liter/menit, Ibu dimin


ta tidur miring kesebelah kiri, MgSO4 40% : pertama 4 gram dalam 100cc NaCl 0,9%
habis dalam 30 menit kemudian dilanjutkan 6 gram dalam 500cc RL 28tpm, Inj. Dex
ametasone 5 mg/6 jam/im, Inj. Piracetam 1 gr/8 jam/iv, Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/i
v, Nevedipin 3x10 mg, Pasang kateter, pantau produksi urin, Obs TTV, PPV, Kontrak
si, produksi urine dan kemudian pasien dipindahkan keruang perawatan biasa.
Setelah tiga hari diruang perawatan biasa pasien tidak ada perubahan dan teka
nan darah pasien semakin hari semakin meningkat walaupun sudah diberikan obat ant
ihipertensi dan didapatkan adanya edema tungkai sehingga pasien ini di rencanakan u
ntuk dilakukan USG untuk mengetahui keadaan janinnya.
Setelah diUSG dimana didapatkan usia kehamilan 36 minggu dan melihat tekanan da
rah ibunya tidak turun-turun walaupun sudah diberikan obat antihipertensi maka diput
uskan untuk dilakukan terminasi kehamilan dengan SCTP.
Setelah dilakukan terminasi kehamilan pasien dirawat diruangan perawatan bi
asa dan diperbolehkan pulang pada hari ke5 post operasi dengan obat pulang yang dib
erikan Cefixime 2x100 mg, Asam Mefenamat 3x500mg, Sanobiat 1x1 tab, Nifedipine
3x10mg dan ditegakkan bahwa diagnosis pada pasien ini P3A0 + post SC a/I PEB de
ngan tanda impending.

42
BAB IV
PEMBAHASAN

Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran


darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria
adalah adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick.(1)

Pasien wanita dengan G3P2A0 hamil 35-36 minggu datang ke IGD


Kebidanan RS Wirabuana dengan keluhan mual disertai muntah-muntah yang
dialami sejak tadi sore sebelum masuk rumah sakit, muntah dialami ± 5x dengan isi
makanan, keluhan ini disertai dengan sakit kepala dari sehari sebelumnya,
penglihatan kabur (+), sesak (+), nyeri epigastrium (+). Os juga mengakatan
kalau tidak ada nyeri perut tembus belakang (-), pelepasan darah dari jalan lahir (-),
lendir (-), air (-), menurut pasien hal ini baru dialami 2 minggu terakhir ini dimana
tekanan darah pasien juga meningkat 2 minggu terakhir ini.

Menurut teori yang ada gejala yang diderita pasien ini disebabkan oleh
preeklamsi berat yang merupakan penyebab tersering terjadinya hipertensi pada
kehamilan dimana hipertensi pada kehamilan ditandai dengan kenaikan tekanan darah
yang terjadi selama kehamilan, yang diklasifikasikan menjadi hipertensi kronik,
preeklamsia-eklamsia, hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsia dan
hipertensi gestasional. Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu
kehamilan disertai proteinuria. Pada preeklamsia berat didapatkan sakit kepala, mual
dan muntah hal ini terjadi akibat peningkatan tekanan intrakranial yang merupakan
kompensasi tubuh yang disebabkan karena hiperperfusi otak sehingga menimbulkan
vasogenik edema, sama seperti yang dialami pada pasien ini. Penglihatan kabur yang
dialami pada pasien ini disebabkan karena spasme arteri retina dan edema retina yang
menyebabkan terjadinya gangguan visus. Pada pasien ini juga didapatkan sesak nafas
hal ini disebabkan karena pada preeklamsi berat mempunyai resiko terjadinya edema

43
paru yang disebabkan karena kerusakan endotel pada pembulu darah kapiler paru dan
menurunnya diuresis bisa juga karena payah jantung kiri. Nyeri epigastrium pada
pasien ini juga didapatkan karena subscapular hematoma dimana terjadi perdarahan
pada sel perioral lobus perifer yang meluas hingga dibawah kapsula hepar sehingga
akan terjadi nekrosis sel hepar dan peningkatan enzim hepar. Hal inilah yang
mendasari terjadinya keluhan pada pasien ini yang mengarahkan pada tanda
impending dalam preeklamsi berat.(1)

Pada pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium pada pasien ini didapatkan TD
: 200/140 mmHg, Nadi : 68x/menit, Pernafasan : 30x/menit, Suhu : 36.8 oC Axilla,
BJF : 160x/menit, protein urin : +3.

Menurut teori preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah


sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥
5 g/ 24 jam atau kualitatif ≥ 3+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami
preeclampsia kemudian disertai kejang dinamakan eklampsia. Peningkatan tekanan
darah pada pasien ini disebabkan karena vasospasme pembulu darah jantung yang
mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap curah jantung, penurunan volume
plasma yang mengakibatkan terjadi peningkatan tekanan darah. Proteinurine yang
didapatkan pada pasien ini disebabkan karena kerusakan pada sel glomerulus yang
mengakibatkan peningkatan permeabilitas membrane basalis sehingga kebocoran dan
mengakibatkan proteinuria. Pada kasus ini juga didapatkan tanda dystress janin yang
disebabkan karena terjadi gangguan oksigenasi dan atau nutrisi yang bersifat akut
yang disebabkan karena perfusi pada jaringan atau organ penting menjadi menurun
(hipoperfusi) sehingga terjadi gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan
oksigenasi jaringan. Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta
mengakibatkan oksigenasi janin menurun.(1,2)

Terapi yang diberikan pada pasien ini MgSO4 40% : pertama 4 gram dalam
100cc NaCl 0,9% habis dalam 30 menit kemudian dilanjutkan 6 gram dalam

44
500cc RL 28tpm, Inj. Dexametasone 5 mg/6 jam/im, Inj. Piracetam 1 gr/8
jam/iv, Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam/iv, Nevedipin 3x10 mg, pasang kateter,
pantau produksi urin.

Terapi ini sesuai dengan teori karena pemberian magnesium sulfat sebagai
antikejang lebih efektif Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar
asetilkolin pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan
tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).
Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.
Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang
pada preeklampsia atau eklampsia.(1)

Cara pemberian MgSO4


- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im
tiap 4-6 jam

Dexametasone merupakan golongan kortikosteroid dimana pemberian obat ini


pada kasus ini untuk sebagai pematangan paru janin dan untuk terapi sindroma
HELLP.(1)

Tujuan pemberian piracetam pada pasien ini adalah dimana piracetam


merupakan golongan neuroproktetan yang berkerja meningkatkan fungsi
neurotrasmiter kolinergik, fungsi lain dari piracetam adalah sebagai antitrombolitik

45
sehingga pemberian piracetam pada pasien ini untuk mencegah terjadinya perdarahan
otak.(9)

Pada pasien ini diberikan ranitidine yang merupakan golongan antagonis H2


reseptor yang berfungsi menghambat sekresi asam lambung. Nevedipin merupakan
obat antihipertensi golongan dihidropiridin yang merupakan vaskuloseletif yang
berkerja cepat menurunkan tekanan darah. Pemasangan kateter dan pemantauan
produksi urin pada pasien ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kondisi ginjal
pasien ini.(9)

Pada pasien ini setelah 3 hari perawatan tidak ada perbaikan dimana tekanan
darah pada pasien ini tetap tinggi dimana pada hari pertama perawatan TD : 150/90
mmHg, hari kedua perawatan TD : 140/90 mmHg disetai didapatkan edema
tungkai, hari ketiga TD : 180/100 mmHg dan edema tungkai.

Menurut teori Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap
meskipun cardiac output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer.
Pada kehamilan dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-
bahan vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh
dengan cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada
sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu
sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi
vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.
Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa
preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang
menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat
nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan sistem,
yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah ditemukan pada
kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa merupakan akibat

46
dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh darah, reaksi
imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya
kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
antara kadar vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin, dan lain-lain)
dengan vasodilatator (nitritoksida, prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel
juga menyebabkan gangguan pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran
endotelial berupa konstituen darah termasuk platelet dan fibrinogen.(2,6)
Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada
fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas efek
terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara simultan.
Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap perubahan pada
sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme, serta aliran darah
regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena penurunan perfusi
uteroplasenta.(6)

Pada pasien ini pada hari kedua diberikan furosemide 1x 40 mg.

Pada pasien ini diberikan obat ini berdasarkan teori pemberian furosemide
yang merupakan golongan diuretik yang berfungsi mengurangi volume cairan
ekstrasel, aliran balik vena dan tekanan pengisian ventrikel ventrikel. Dengan
demikian edema perifer dan kongesti paru akan berkurang, selain itu tujuan agar
deuresis cukup mencapai euvolemik dan mempertahankannya karena pada
preeklamsia berat terjadi hipovolemik.(9)

Pada pasien diambil keputusan untuk dilakukan terminasi kehamilan karena


mengingat tekanan darah ibu yang tidak turun – turun setelah 3 hari perawatan dan
sudah diberikan obat antihipertensi, dan diuretik.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo S, Pre-eklampsia dan Eklampsia, dalam Ilmu Kebidanan, edisi ke-


4, Wiknjosastro H, Saifuddin A, Rachimhadhi T, penyunting, Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2016: 531`-59
2. Cunningham FG, et al, editor. Williams Obstetry. 23rd Edition, section VII :
obstetrical complication, chapter 34 : Hypertensive Disorders in Pregnancy.
2010. Mc-Graw Hill : USA.
3. Gibbs, Ronald S.et al. Danforth's Obstetrics and Gynecology, 10th Edition
chapter : 16 - Hypertensive Disorders of Pregnancy. 2008. Lippincott Williams
& Wilkins : USA
4. Fortner, Kimberly B., et al. Johns Hopkins Manual of Gynecology and
Obstetrics, The, 3rd Edition section II – Obstetrics, chapter 14 - Hypertensive
Disorders of Pregnancy. 2007. Lippincott Williams & Wilkins : USA
5. Doddy, A. K., et al. 2008. Standar Pelayanan Medik SMF Obstetri dan
Ginekologi RSU Mataram. RSU Mataram : Mataram
6. Gopar adul, pdf.Preeklampsi, 12 mey 2014, diakses tanggal 12 januari 2018 dari,
http://adulgopar.files.wordpress.com/preeklampsia.pdf
7. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta. Disfungsi
Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
8. Wagner, L., (2015), Diagnosis And Management Of Preeclampsia, Available:
http://www.aafp.org/afp/20041215/2317.html. (Accesed: 2018, january 20)
9. Mardjono. Mahar. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta. 2011. Hal
56-8

48

Anda mungkin juga menyukai