Anda di halaman 1dari 15

FATWA BUNGA BANK

Diajukan untuk memenuhi tugas individu pada mata kuliah


Fiqih Muamalah III

Dosen Pengampu :
Tri Eka Putra Muhtarivansyah Waruwu, SH.i, MH.i

Disusun oleh :

Nama : Nurmaya Riska Dewi


NIM : 09.15.1058
Semester : VIB Eks

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI`AH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
SYEKH H.A. HALIM HASAN AL ISHLAHIYAH
BINJAI
1438-1439 H / 2017-2018 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya serta kesempatan yang diberikan kepada saya untuk menyusun makalah
yang berjudul Fatwa Bunga Bank ini sebagai salah satu tugas mata kuliah Fiqih
Muamalah III yang harus dipenuhi.
Saya menyadari bahwa makalah ini pun jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saya tetap berharap kepada bapak dosen dan kepada teman-teman untuk
memberikan masukan baik berupa kritik ataupun saran yang sifatnya membangun
guna kesempurnaan makalah berikutnya.

Binjai, 28 Februari 2018

Penulis

1
DAFTAR ISI
Kata pengantar .................................................................................................. i
Daftar isi ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah ............................................................................ 1
1.2 Rumusan masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan penulisan ...................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Fatwa Bunga Bank ................................................................. 3
2.2 Fatwa Bunga Bank oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) ....................... 5
2.3 Fatwa Bunga Bank oleh Nadhatul Ulama (NU)........................................ 8
2.4 Fatwa Bunga Bank oleh Muhammadiyah ...............................................9
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan ...............................................11
Daftar Pustaka ...............................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terdapat dua pendapat mendasar yang membahas masalah tentang riba.


Pendapat pertama berasal dari mayoritas ulama yang mengadopsi dan intrepertasi
para fuqaha tentang riba sebagaimana yang tertuang dalam fiqh. Pendapat lainnya
mengatakan, bahwa larangan riba dipahami sebagai sesuatu yang berhubungan
dengan adanya upaya eksploitasi, yang secara ekonomis menimbulkan dampak yang
sangat merugikan bagi masyarakat.
Kontroversi bunga bank konvensional masih mewarnai wacana yang hidup di
masyarakat. Dikarenakan bunga yang diberikan oleh bank konvensional merupakan
sesuatu yang diharamkan dan para ulama mengeluarkan fatwa tentang bunga bank .
Namun, wacana ini masih saja membumi ditelinga kita, dikarenakan beragam
argumentasi yang dikemukakan untuk menghalalkan bunga, bahwa bunga tidak sama
dengan riba. Walaupun Al-Quran dan Hadits sudah sangat jelas bahwa bunga itu riba.
Dan riba hukumnya adalah haram.
Untuk mendudukan kontroversi bunga bank dan riba secara tepat diperlukan
pemahaman yang mendalam baik tentang seluk beluk bunga maupun dari akibat yang
ditimbulkan oleh dibiarkannya berlaku sistim bunga dalam perekonomian dan dengan
membaca tanda-tanda serta arah yang dimaksud dengan riba dalam Al Qur’an dan
Hadist. Oleh karena itu, dalam makalah ini saya akan mencoba mengulas tentang
fatwa bunga bank secara lebih dalam.

1
2

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengertian fatwa bunga bank?

2. Bagaimana fatwa bunga bank oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)?

3. Bagaimana fatwa bunga bank oleh Nahdatul Ulama (NU) ?

4. Bagaimana fatwa bunga bank oleh Muhammadiyah ?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :

1. Agar kita mengetahui apa itu fatwa bunga bank.

2. Agar dapat memahami fatwa bunga bank yang dikeluarkan Majelis Ulama
Indonesia (MUI).

3. Agar dapat memahami fatwa bunga bank yang dikeluarkan Nahdatul Ulama
(NU).

4. Agar dapat memahami fatwa bunga bank yang dikeluarkan Muhammadiyah.


3

BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fatwa Bunga Bank

Fatwa atau ifta’ berasal dari kata afta, yang berarti memberikan
penjelasan.Secara defenitif fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang hukum
syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.1
Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu
permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil
yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.2
Bank merupakan lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dari berbagai
macam kalangan dalam menepatkan dananya secara aman. Disisi lain, bank berperan
menyalurkan dana kepada masyarakat. Bank dapat memberikan pinjaman kepada
masyarakat yang membutuhkan dana. Masyarakat dapat secara langsung mendapat
pinjaman dari bank, sepanjang peminjam dapat memenuhi persyaratan yang diberikan
oleh pihak bank.3
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang dimaksud
dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Sedangkan Bunga Bank adalah bank interest yaitu sejumlah imbalan yang
1 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.429
2Mardani, Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,2011),
hlm.212
3 Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Kencana,2017), Cet-5, hlm.30
4

diberikan oleh bank kepada nasabah atas dana yang disimpan di bank yang dihitung
sebesar persentase tertentu dari pokok simpanan dan jangka waktu simpanan ataupun
tingkat bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan bank kepada
debiturnya.

Jadi dapat dipahami bahwa Fatwa Bunga Bank adalah penjelasan hukum
syara’ tentang imbalan dan tingkat bunga terhadap pinjaman yang diberikan oleh
bank yang disampaikan oleh ahlinya (Ulama) kepada yang belum mengetahuinya.
Dalam Al-Quran, hukum melakukan riba sudah jelas dilarang Allah SWT.
Begitupun dengan bunga bank, dalam praktiknya sistem pemberian bunga di
perbankan konvensional cenderung menyerupai riba, yaitu melipat gandakan
pembayaran. Padahal dalam islam hukum hutang-piutang haruslah sama antara uang
dipinjamkan dengan dibayarkan.
Sebelum Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia bulan Mei 1965, para
ulama berbeda pandangan tentang apakah bunga bank tergolong kepada riba yang
diharamkan oleh Al-qur`an. Pandangan mengenai riba bunga bank ketika itu adalah
Pandangan Pragmatis dan Pandangan konservatif. Menurut pandangan pragmatis,
bunga bank tidak dilarang, sepanjang tidak berlipat ganda dan tidak mengeksploitasi
penerima pembiayaan. Sedangkan menurut pandangan konservatif riba sama denngan
bunga (interest) maupun usury. Bunga adalah imbalan yang ditentukan dimuka karena
pembayaran tertunda atas pembiayaan tanpa melihat unsure besar atau kecil,
berganda atau tidak. Ini tergolong kepada riba nasi`ah.4

Dalil yang Menjelaskan Kesamaan Bunga Bank dengan Riba

4 Hendra, Manajemen Operasional Bank Syariah, (Medan:2016), hlm.15


5

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (Q.S
Ar-Rum : 39)

Jika kita renungi secara mendalam, sebenarnya ayat diatas telah menjelaskan
definisi riba secara gamblang, dimana riba dinilai sebagai harga yang ditambahkan
kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Apabila mengacu pada
ayat ini, jelas bahwa bunga bank menurut islam merupakan riba.
Surat Ar-Rum ayat 39 juga menjelaskan bahwa Allah SWT membenci orang-
orang yang melakukan riba (memberikan harta dengan maksud agar diberikan ganti
yang lebih banyak). Mereka tidak akan memperoleh pahala di sisi Allah SWT, sebab
perbuatannya itu dilakukan demi memperoleh keuntungan duniawi tanpa ada
keikhlasan.

2.2 Fatwa Bunga Bank oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Bunga bank memang sudah lama menjadi kontroversi yang selalu


diperdebatkan di tengah-tengah masyarakat. Sebagian orang memandang kredit
dengan sistem bunga merupakan cara untuk membantu perekonomian rakyat. Namun
di sisi lain praktik ini justru merugikan kalangan miskin yang terpaksa melakukan
pinjaman di bank.

Bank konvensional menerapkan sistem bunga sebagai sistem operasionalnya


dimana pada bank konvensional menaikan suku bunga menjadi tawaran yang
disajikan kepada nasabah dengan tujuan nasabah tertarik untuk menyimpan dananya
di bank konvensional. Tingginya suku bunga akan lebih menarik minat menabung
para nasabah dibandingkan dengan rendahnya suku bunga. Dalam kaitannya dengan
bunga bank ini, sudah menjadi perdebatan dan wacana oleh umat Islam di seluruh
6

dunia khususnya Indonesia.keberadaan status bunga bank yang haram, halal,


syubhatnya belum jelas.
Menyikapi fenomena tersebut, MUI mengadakan loka karya bunga bank dan
perbankan pada tanggal 19-21 Agustus 1990 bertempat di Cisarua, Jawa Barat dan
memutuskan bahwa bunga bank itu haram. Kemudian diikuti dengan lahirnya
Undang-undang No.7 tahun 1992 yang mengakomodasikan perbankan bagi hasil,
maka didirikanlah Bank Muamalat yang merupakan bank umum syariah pertama
yang beroperasi di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan pada tahun 1992, walaupun
perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan dengan Negara-negara muslim
lainnya, perbankan syari`ah di Indonesia terus berkembang. Bila pada periode 1992-
1998 hanya ada satu unit bank syari`ah, maka pada tahun 2005, jumlah bank syari`ah
di Indonesia bertambah menjadi 20 unit, yaitu 3 bank umum syari`ah dan 17 unit
usaha syariah. Sementara itu jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS)
hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi 88 buah.5
Pada tahun 1992 hingga 1999, perkembangan Bank Muamalat Indonesia,
masih tergolong stagnan. Namun sejak adanya krisis moneter yang melanda
Indonesia pada 1997 dan 1998, maka para banker melihat bahwa Bank Muamalat
Indonesia (BMI) tidak terlalu terkena dampak krisi moneter. Para banker berfikir
bahwa BMI, satu-satunya bank syari`ah di Indonesia yang tahan terhadap krisis
moneter.6
Kemudian masyarakat perbankan syariah (orang-orang muslim yang sangat
mengharamkan bunga bank) mendesak Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera
mengeluarkan fatwa keharaman bunga bank secara terbuka. Pada tahun 1997,MUI
mempersiapkan adanya badan untuk mengawasi dan mengarahkan bank syariah,
sehingga terbentuklah Dewan Syariah Nasional. Selanjutnya pada tahun 1999, Dewan

5 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2014) cet-10, hlm.25
6 Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Kencana,2017), Cet-5, hlm.30
7

Syariah Nasional mengeluarkan fatwa keharaman bunga bank, walaupun belum


secara tegas, kemudian dijadikan dasar Bank Indonesia dalam mengeluarkan regulasi
perbankan syariah.Namun yang menjadi persoalan yang muncul sebenarnya bukan
pada keharaman itu sendiri.Tapi keharaman itu dimasyarakat perbankan syariah
(masyarakat yang mengharamkan bunga bank dan menganggapnya sebagai bentuk
riba) yang oleh beberapa kalangan dianggap belum siap. Di sisi lain perbankan
konvensional tidak mungkin dimatikan. Alasan kondisional itu akhirnya justru ditarik
kembali ke persoalan haram tidaknya bunga bank.
Pada tanggal 16 Desember 2003 berlanjut pada Sidang Ijtima Komisi Fatwa
Majelis Ulama Indonesia memutuskan bunga bank adalah riba dan riba adalah
hukumnya haram. Tugas dari Komisi Fatwa adalah melaporkan apa yang telah
ditetapkan kepimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang pada saat itu komisi
Fatwa dipegang oleh KH.Maruf Amin. Menurut Ma'ruf Amin lahirnya Fatwa MUI
tentang pelarangan bunga bank adalah tuntutan dari masyarakat dengan tujuan
memberikan motivasi dan dorongan terhadap perkembangan perbankan syariah di
Indonesia. Lalu ditetapkanlah Fatwa MUI Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga
(Intersat/Fa`idah).
Berdasarkan Ketetapan Fatwa MUI tentang bunga tersebut maka diputuskan
tiga hal yaitu mengenai pengertian bunga, hukum bunga dan bermuamallah dengan
lembaga konvensional, dengan berlandaskan Al-Qur`an dan hadist serta ijtima’ para
ulama menanggapi permasalahan hukum terhadap pembungaan uang maka
ditetapkanlah bahwa membungakan uang termasuk praktek riba dan riba haram
hukumnya. Dan pelarangan praktek membungakan uang baikyang di lakukan oleh
Bank, Asuransi,Pasar Modal, Pengadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya
maupun yang dilakukan oleh individu di tegaskan keharamannya dalam ketetapan
tersebut. Namun dalam hal ini para MUI juga memberikan jalan keluar bagi wilayah
yang belum memiliki instansi atau lembaga keuangan syari`ah yang memperbolehkan
melakukan kegiatan transaksi tersebut namun hanya karena atau dalam keadaan
darurat saja sedangkan praktek kegiatan pembungaan uang yang dilakukan di wilayah
8

yang sudah tersedia instansi/lembaga keuangan syariah maka dilarang bertransaksi


dengan menggunakan sistem pembungaan.

2.3 Fatwa Bunga Bank oleh Nahdatul Ulama (NU)

Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah beredar
dalam kalangan umat Islam diantaranya adalah keputusan Mu’tamar NU XII di
Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204.
Menjadi pertanyaan masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU, terjadilah
pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang dalam
bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan mendapatkan
bunga.
Apakah bunga itu halal dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam
bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga penjelasan
terkait hal tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di
Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28.
yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan
hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut. Di antara hasil
keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga
pendapat yaitu :
a. Haram : sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal : sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut para ahli hukum bahwa
adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya) : sebab para ahli hukum masih terjadi
selisih pendapat.
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut bahwa untuk
lebih berhati-hati ialah dengan mengambil pendapat pertama, yakni yang telah
mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk keamanannya
9

saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau uang tersebut akan
digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal
21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga bank ditempuh melalui
prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar NU
XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas
Dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung tersebut,
para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada
beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena
alasan darurat dan alasan-alasan lainnya sehingga keputusan tersebut tidak bersifat
mutlak.
Munas alim ulama tidak membuat keputusan tunggal, karena menghargai
adanya perbedaan yang terjadi antara ulama dengan dalilnya masing-masing. Oleh
kareba itu hukum bunga bank masih khilafiyah (ada perbedaan).
Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan
kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau
perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.

2.4 Fatwa Bunga Bank oleh Muhammadiyah

Fatwa haram terhadap bunga bank sebenarnya sudah diputuskan pada


Musyawarah Nasional Muhammadiyah pada tahun 2006 namun Muhammadiyah
secara resmi memfatwa haram bunga bank pada Sabtu 3 April 2010 malam, lewat
rapat pleno Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan
10

Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menetapkan,


bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan. Meski sudah ditetapkan secara
hukum, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara serta merta, melainkan bertahap.
yang menghimbau agar warga Muhammadiyah sebisa mungkin menghindari
perbankan yang menerapkan imbalan jasa berupa bunga.
diharamkannya bunga perbankan karena termasuk riba itu di antaranya
mengacu pada ciri-ciri yang sama dengan riba, yakni tambahan sebagai imbalan
mendapatkan modal pinjam dalam jangka waktu tertentu. Ciri lainnya adalah adanya
perjanjian yang mengikat, lebih banyak menguntungkan pemilik saham atau ada
tirani antara pemilik modal dan pengguna modal serta imbalan jasa hanya dimiliki
pemegang saham (pemilik modal). dalam urusan bunga perbankan, Muhammadiyah
sebelumnya hanya mengharamkan bank-bank swasta (hasil Munas Tarjih tahun 1968
di Sidoarjo). Sedangkan bank pemerintah masih ditoleransi karena keuntungannya
untuk masyarakat luas yang diimplementasikan melalui pembangunan dan
pendidikan.
Namun sekarang semua perbankan yang memiliki ciri-ciri riba diharamkan.
Oleh karena itu Muhammadiyah menghimbau untuk bertransaksi sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah yang tidak menggunakan ketentuan bunga, tapi bagi hasil.
Meski hasil rapat komisi VI tersebut sudah mengisyaratkan untuk ditetapkan
menjadi keputusan hukum, pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan secara
bertahap, apalagi perbankan syariah juga belum masuk sampai di daerah pelosok.
11

BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bagi sebagian besar ulama telah ditetapkan bunga bank adalah riba yang
hukumnya haram, hal ini didasari atas hukum dari Al-qur`an dan Hadis serta Ijtima`
para ulama sehingga ditetapkanlah fatwa haramnya bunga bank, namun bagi sebagian
ulama lainnya masih berbeda pendapat atas status hukum bunga bank beberapa ulama
membolehkan praktek bunga bank karena dianggap bukan riba dan beberapa ulama
menganggap boleh melakukan praktek pembungaan apabila dalam keadaan darurat
saja. Dalam hal ini sebagian besar ulama seperti MUI dan Muhammadiyah
menetapkan fatwa haramnya bunga bang sedangkan NU masih ada ulama yang
berbeda pendapat sehingga muncul tiga pendapat tentang bunga.
12

Daftar Pustaka

Syarifuddin, Amir.2009.Ushul Fiqih.Jakarta: Kencana

Mardani, 2011.Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia.Bandung: PT. Refika Aditama

Ismail, 2017.Perbankan Syari’ah.Jakarta: Kencana

Hendra, 2016.Manajemen Operasional Bank Syariah.Medan

A. Karim, Adiwarman.2014 Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.Jakarta: PT.


Raja Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai