Anda di halaman 1dari 22

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Agama Islam mengajarkan setiap muslim harus memastikan
kehalalan makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya, karena hal itu
termasuk bagian dari keimanan dalam menjalankan perintah agama. Agama
Islam mengajarkan setiap muslim harus selektif dalam mengonsumsi
sesuatu, tidak boleh sembarang makanan atau minuman masuk ke dalam
tubuh. Seorang muslim harus memastikan hanya mengonsumsi makanan
atau minuman yang baik saja. Hal itu sesuai dengan firman Allah SWT:
“Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?".
Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik”. (QS. Al-Maidah[5]: 4)

Berbagai jenis makanan dapat kita peroleh di pasaran, dari makanan


yang manis hingga makanan yang masam semuanya dikemas dan disajikan
dalam bentuk menarik. Tidak dapat dinafikkan lagi bahwa penyajian dan
penampilan suatu makanan memegang peranan yang penting dalam
pemasaran suatu produk makanan, baik makanan siap santap maupu
makanan dalam kemasan. Sehingga ada yang mengatakan manusia
memakan dengan mata bukan dengan mulut. Bagi umat Islam ada satu
faktor yang jauh lebih penting dari sekedar rasa dan penampilan yaitu halal
atau haram suatu makanan. Umat Islam diajarkan untuk makan makanan
yang bersih dan selamat. Islam sangat memperhatikan sekali sumber dan
kebersihan makanan, cara memasak, cara menghidangkan, cara makan
sampai pada cara membuang sisa makanan ( Rajikin, dkk, 1997).
Al Quran dan Hadis dijadikan pedoman oleh umat Islam dalam
menentukan sesuatu makanan termasuk halal atau haram. Istilah halal dan
haram keduanya berasal dari bahasa Arab, halal yang artinya dibenarkan
atau dibolehkan, sedangkan haram berarti tidak dibenarkan atau dilarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riba dan Bunga
1. Pengertian Riba dan Bunga Bank

Riba (‫ )الرب‬secara bahasa bermakna ziyadah (‫زيادة‬- tambahan). Dalam


pengertian lain, secara linguistik, riba juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun
menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau
modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun minjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam islam.
Muhammad Abdul Mannan dalam Teori dan Praktek Ekonomi Islam
(1995:165) The Concise Oxford Dictionary menyatakan Riba sebagai berikut, “
Praktek meminjamkan uang dengan bunga yang luar biasa tingginya, terutama
dengan bunga yang lebih tinggi daripada yang diperkenankan oleh undang-
undang.”
Dewasa ini masih mengalami kebalauan dalam sistem perbankan. Disamping
doktrin islam yang menjelaskan bahwa Riba itu adalah haram, dalam pandangan
Ulama mendeskripsikan bahwa renten memiliki perbedaan pandangan yang
signifikan, ada salah satunya mengatakan bahwa renten adalah haram dan yang
lainnya menjelaskan renten tersebut boleh diaplikasikan apabila untuk kemajuan
masyarakat serta cara pengaplikasiannya dilakukan secara transparan dan adil.
Sementara itu, bunga (interest) adalah sejumlah imbalan yang diberikan oleh
bank kepada nasabah atas dana yang disimpan di bank yang dihitung sebesar
persentase tertentu dari pokok simpanan dan jangka waktu simpanan ataupun
tingkat bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan bank kepada
debiturnya.
Dalam buku Bank Syariah dari Teori ke Praktik (2001: 23) Menurut Adam
Smith dan D. Richardo: Bunga adalah kompensasi yang dibayar oleh yang
meminjam uang kepada pemilik uang guna keuntungan baginya, bila orang yang
meminjam tadi mempergunakan uang tersebut
Bunga bank telah memberikan makna kesimpangsiuran dalam aplikasinya
sebagaimana dalam perundangan islam dijelaskan bahwa bunga bank memiliki
pengertian yang sama dengan riba yang hukum asalnya adalah haram, secara
empiris dapat dilihat bunga bank memberikan kesenjangan bagi orang-orang yang
mengalami ketidakberuntungan dalam hidup, bukan masalah sederhana bagi
elemen-elemen pemerintah melakukan perubahan tentang konsep riba dalam bunga
yang menurut Islam bunga adalah riba
Teori ekonomi neoklasik barat tidak memandang bunga sebagai laba atas
risiko. Sebaliknya, ini merupakan laba yang dipandang sebagai imbalan untuk
menanggung risiko dan upaya perusahaan secara umum. Sesungguhnya para
teoritisi muslimin pun memandang laba sebagai suatu imbalan yang wajar, dan
mereka tidak berkeberatan bila sebagian besar pendapatan seseorang diperoleh dari
laba. Namun menurut pandangan teori ekonomi neoklasik, bunga dipandang
sebagai imbalan atas penundaan konsumsi untuk penundaan pembelian sekarang
kepada suatu saat di masa mendatang. Menabung dianggap sebagai mengalihkan
konsumsi sekarang untuk konsumsi masa yang akan datang,
Mengenai hal ini, Allah SWT mengingatkan dalam firman-Nya,
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang bathil, dan
janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud
agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa,
padahal kamu megetahui”.(Al Baqarah: 188).
Dalam kaitannya dengan pengertian al-bathil dalam ayat tersebut, Ibnu al-Arabi al-
Maliki dalam kitabnya, Ahkamul Alqur’an, menjelaskan
Yang dimaksud dengan transaksi pengganti atau penyeimbang yaitu transaksi bisnis
atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti
transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si
penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat yang dinikmat, termasuk
menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa. Mobil
misalnya, sesudah dipakai maka nilai ekonomisnya pasti menurun jika
dibandingkan sebelumnya. Dalam hal jual beli, si pembeli membayar harga atas
imbalan barang yang diterimannya. Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para
peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena di samping menyertakan
modal juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja
muncul setiap saat.
Pengertian senada disampaikan oleh jumhur ulama dari berbagai mazhab fiqhiyyah.
Di antaranya sebagai berikut :
Raghib al-Asfahani
“Riba adalah penambahan atas harta pokok”
Imam Ahmad bin Hanbal
“Riba adalah seseorang memiliki utang maka dikatakan kepadanya apakah akan
melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah
dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”

2. Jenis-Jenis Riba dan Bunga Bank` `


 Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh)
 Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar
utangnya pada waktu yang ditetapkan.
 Riba Fadhl

Pertukaan antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan
barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
 Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan


dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya
perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang
diserahkan kemudian.
Jenis Barang Ribawi
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan jenis barang ribawi dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam kesempatan ini akan disampaikan
kesimpulan umum dari pendapat mereka yang intinya bahwa barang ribawi
meliputi :
a. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya.
b. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi ketentuan tukar menukar


antarbarang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis hendaklah dalam jumlah dan
kadar yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual
beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hedaklah Rp 5.000,00 dengan Rp
5.000,00 dan diserahkan ketika tukar-menukar.
b. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan jenis diperbolehan
dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan

Kemudian, jenis-jenis bunga bank adalah sebagai berikut :

1. Bunga Tetap (Fixed Interest)

Dalam sistem ini, tingkat suku bunga akan berubah selama periode tertentu
sesuai kesepakatan. Jika tingkat suku bunga pasar (market interest rate) berubah
(naik atau turun), bank akan tetap konsisten pada suku bunga yang telah ditetapkan.
Lembaga pembiayaan yang menerapkan sistem bunga tetap menetapkan jangka
waktu kredit antara 1-5 tahun.

Keuntungannya adalah jika suku bunga pasar naik, maka tidak akan terbebani
bunga tambahan. Sebaliknya jika suku bunga pasar turun dan selisihnya lumayan
besar, maka ada baiknya mempertimbangkan untuk melakukan refinancing. mesti
menyelesaikan kredit lebih cepat dan mengganti dengan kontrak baru yang
berbunga rendah (Pinjaman Tunai).
2. Bunga Mengambang (Floating Interest)

Dalam sistem ini, tingkat suku bunga akan mengikuti naik-turunnya suku
bunga pasar. Jika suku bunga ini diterapkan untuk kredit jangka panjang, seperti
kredit kepemilikan rumah, modal kerja, usaha dan investasi.

3. Bunga Flat (Flat Interest)

Pada sistem bunga flat, jumlah pembayaran pokok dan bunga kredit besarnya sama
setiap bulan. Bunga flat biasanya diperuntukkan untuk kredit jangka pendek.
contoh, kredit mobil, kredit motor dan kredit tanpa agunan.

4. Bunga Efektif (Effective Interest)

Pada sistem ini, perhitungan beban bunga dihitung setiap akhir periode
pembayaran angsuran berdasarkan saldo pokok. Beban bunga akan semakin
menurun setiap bulan karena pokok utang juga berkurang seiring dengan cicilan.
Jangan membandingkan sistem bunga flat dengan efektif hanya dari angkanya saja.
Bunga flat 6% tidak sama dengan bunga efektif 6%. Besar bunga efektif biasanya
1,8-2 kali bunga flat. jadi, bunga flat 6% sama dengan bunga efektif 10,8%-12%.

5. Bunga Anuitas (Anuity Interest)

Bunga anuitas boleh disetarakan dengan bunga efektif. Bedanya, ada rumus
anuitas yang bisa menetapkan besarnya cicilan sama secara terus-menerus
sepanjang waktu kredit. Jika tingkat bunga berubah, angsuran akan menyesuaikan.

Dalam perhitungan anuitas, porsi bunga pada masa awal sangat besar
sedangkan porsi angsuran pokok sangat kecil. Mendekati berakhirnya masa kredit,
keadaan akan menjadi berbalik. porsi angsuran pokok akan sangat besar sedangkan
porsi bunga menjadi lebih kecil. Bunga pasar naik, maka bunga kredit anda juga
akan ikut naik, demikian pula sebaliknya.
3. Konsep Riba dalam Perspektif Al Quran dan Sunnah

Menurut Al Quran surat Ar Rum: 39, An Nisa: 160-161, dan Ali Imran telah memuat
larangan praktik riba dan menunjukkan karakteristik sebagai berikut :
1. Riba menjadikan pelakunya dalam kesesatan. Tidak dapat membedakan
antara baik dan buruk, seperti tidak dapat membedakan jual beli yang jelas
halal dan riba yang haram.
2. Riba merupakan transaksi utang-piutang dengan tambahan yang
diperjanjikan di depan dengan dampak zalim ditandai dengan “lipat ganda”.
3. Dari sikap Al Quran yang selalu menghadapkan riba dengan sedekah, zakat,
infak, dan hibah, maka diketahui bahwa riba mempunyai watak
“menjauhkan persaudaraan” bahkan menuju permusuhan.

Ayat-ayat yang menyatakan demikian adalah sebagai berikut :

“ dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan
(pahalanya).” (Ar-Rum:39)
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, kami haramkan atas
(memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka,
dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu
siksa yang pedih.” (An-Nisa’ 160-161)

Selanjutnya, larangan riba ini juga dipertegas lebih rinci dalam beberapa hadits
Nabi Muhammad SAW, ada hadits yang memperjelas pengharaman atau pelarangan
riba yang sudah diatur dalam Al Quran secara jelas. Juga ada hadits yang
memperluas atau menambah kegiatan muamalah atau perniagaan yang
dikategorikan sebagai riba dalam berbagai bentuk usaha. Pada dasarnya, hadits-
hadits tersebut mempertegas pelarangan riba dalam bentuk usaha yang disertai
ancaman atau hukuman masuk neraka bagi mereka yang mempraktikkannya.
Hadits-haditsnya di bawah ini :

Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “ Jauhilah tujuh


perkara mubiqat (yang mendatangkan kebinasaan). Para sahabat lalu bertanya
apakah tujuh perkara itu wahai Rasulullah? Rasulullah SAW menjawab
menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali
dengan alas an dibenarkan syariat, memakan riba, memakan harta anak yatim,
melarikan diri dari medan perang (pertempuran), melontarkan tuduhan zina
terhadap wanita baik-baik yang lengah lagi beriman”. (Muttafaqun Alaih)

Hadis Nabi yang Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW berkata “Pada malam
perjalanan mi’raj aku melihat orang-orang yang perut mereka seperti rumah,
didalamnya dipenuhi oleh ular-ular yang kelihatan dari luar. Aku bertanya kepada
Jibril siapakah mereka itu. Jibril menjawab bahwa mereka adalah orang yang
memakan riba. (H.R Muslim)

2.4 Pendapat Ulama tentang Pelarangan Riba dan Bunga Bank


Sebelumnya, sebagian ulama beranggapan bahwa bunga bank itu merupakan riba
dan riba itu sendiri hukumnya haram. Dewasa ini, Al Fakr Al Razi menggali sebab
dilarangnya riba dan bunga dari pandangan ekonomi menemukan sebab-sebabnya
yaitu sebagai berikut :
1. Riba memungkinkan seseorang memaksakan pemilikan harta tersebut dari
orang lain tanpa ada imbalan, kalau ditanya, mengapa orang tidak boleh
memungut tambahan dalam jangka waktu tertentu?
2. Riba menghalangi pemodal ikut serta berusaha mencari rezeki karena ia
dengan mudah membiayai hidupnya cukup dengan waktu yang berjangka
itu.
3. Apabila diperbolehkan masyarakat dengan memenuhi kebutuhan tidak akan
segan untuk meminjam uang walaupun dengan suku bunga yang tinggi.
4. Terjadinya dikotomi antara si kaya dan si miskin, dengan riba biasanya
pemodal semakin kaya, sedangkan peminjam menjadi semakin miskin,
dengan cara inilah kaya menindas si miskin melewati transaksi riba.
5. Larangan nas tentang riba telah ditetapkan dalam Al Quran dan hadits.

Menurut Yusuf Qardhawi bunga bank haram berdasarkan hasil ijma’ yang
dilakukan oleh tiga lembaga ilmiah terkenal, yaitu pusat Islam Al Azhar di Mesir,
Lembaga Fiqh Rabithah Alam Al Islami di Makah, dan lembaga Fiqh Islam di
Makah, Serta OKI di Jeddah. Hasil ijma’ tidak bias dibatalkan kecuali dengan ijma’
lain yang setara.
Selain itu, Yusuf Qardhawi juga memaparkan mengapa bunga bank
diharamkan :
1. Fungsi utama bank sebagai financial intermidation menurutnya sama
dengan riba akar dan juga calo riba yang memakan dan memberi riba.
2. Dalam praktik perbankan tambahan harus diberikan dan hal ini disyaratkan
sebelumnya, hal ini termasuk dalam kategori riba.
3. Pada saat batas pinjaman berakhir dan peminjam belum bias melunasi
utangnya, maka terdapat dua pilihan lunasi atau hutang bertambah, praktik
ini juga berlaku pada bank konvensional.

Tabel 1.1 Karakteristik Bunga Bank dan Kesesuaian Terhadap Riba

Karakteristik Bunga Bank Kesesuaian dengan Riba


 Praktek Perbankan yang menarik  Merupakan riba akar karena
dana dari penabung dan tidak
meminjamkannya kepada saja pelaku riba namun merupakan
nasabah/kreditur atau financial “calo riba” yang memakan dan
intermediation. memberi riba.
 Bunga kredit sesuai dengan lama  Sesuai dengan pendapat Imam
pinjaman. Nawawi bahwa salah satu bentuk
riba yang dilarang dalam Alquran dan
Assunnah adalah tambahan atas harta
pokok karena ada unsur waktu.
 Pembayaran Bunga tetap seperti  Sesuai dengan karakteristik
yang dijanjikan tanpa ada pertimbangan riba
apakah proyek yang dijalankan oleh dimana ada tidak ada uang, jika
pihak nasabah akan untung atau rugi. hutang jatuh tempo harus bias
dibayar, dan jikaa ditundaa
konsekuensinya adalah tambahan
bunga.

 Sesuai dengan pendapat Ar-


Razi
bahwa riba memungkinkan
seseorang memaksakan kepemilikan
karena keuntungan yang akan
diperoleh pihak peminjam masih
dalam perjudian sedangkan tambahan
kepada pemberi pinjaman sudah
pasti.
 Bank sebagai peminjam  Menurut Yusuf Qardhawi, hal
menentukan ini
bunga didepan pada waktu akad dan lebih parah dari praktek riba
harus selalu untung. jahiliyyah yang muncul ketika
peminjam tidak bias melunsi hutang
pada waktu telah ditentukan dan hal
ini pernah dilakukan oleh pamannya
Abbas bin Abd Muthalib dan
Rasulullah memaklumatkan riba
tersebut haram pada saat haji wada’.

 Sesuai dengan karakteristik


riba,
lihat contoh praktek riba yang
dijalankan oleh Usman dan dilarang
oleh Nabi Muhammad SAW.

 Lihat hadis nabi yang


diriwayatkan oleh Abu Said Alkhudri
bahwa emas hendaklah dibayar
dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung
dengan tepung, kurma dengan kurma,
barang siapa yang memberi tambahan
sesungguhnya telah berurusan dengan
riba, penerima dan pemberi sama-
sama bersalah. (HR. Muslim).

 Sistem bunga perbankan yang  Memiiki dampak yang sama


berusaha untuk menarik nasabah dengan dampak riba yang
dengan suku bunga yang tinggi. menimbulkan sikap pemalas,
merangsang manusia cenderung
untuk menumpuk harta dan
penumpukan uang(tidak sesuai
dengan system ekonomi yang
dicontohkan Rasulullah) dan ini akan
menghambat sirkulasi dan kelancaran
arus dagang.
 Suku bunga yang tinggi akan  Sesuai dengan semangat riba
berpengaruh negative terhadap karena mengandung nilai zulm
kehidupan masyarakat. (membawa kesengsaraan) karena
suku bunga yang tinggi
mengakibatkan suku bunga pinjaman
menjadi lebih tinggi sehingga
menyulitkan bagi para produsen dan
dampaknya adalah kenaikan pada
harga jual.
 Ketiksetaraan posisi tawar antara  Sesuai dengan karakteristik
pemberi pinjaman (bank) dengan zulm
peminjam. (membawa pada kesusahan) yang
merupakan sifat yang melekat pada
riba.
 Jika terjadi tunggakan, maka  Sesuai dengan sifat lipat
nasabah wajib membayar sisa hutang ganda
dan bunga dan terus berbunga, jika tidak yang dimiliki riba yang tertera dalam
bank akan menuntut secara pidana dan QS Ali-Imran 130.
juga perdata.

B. Fatwa Bunga Bank

1 Pengertian Fatwa Bunga Bank

Fatwa atau ifta’ berasal dari kata afta, yang berarti memberikan
penjelasan.Secara defenitif fatwa yaitu usaha memberikan penjelasan tentang
hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya.1
Fatwa secara syariat bermakna, penjelasan hukum syariat atas suatu
permasalahan dari permasalahan-permasalahan yang ada, yang didukung oleh dalil
yang berasal dari Al-Qur’an, Sunnah Nabawiyyah, dan ijtihad.2
Bank merupakan lembaga yang dipercaya oleh masyarakat dari berbagai
macam kalangan dalam menepatkan dananya secara aman. Disisi lain, bank
berperan menyalurkan dana kepada masyarakat. Bank dapat memberikan pinjaman
kepada masyarakat yang membutuhkan dana. Masyarakat dapat secara langsung
mendapat pinjaman dari bank, sepanjang peminjam dapat memenuhi persyaratan

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.429
Mardani, Hukum Ekonomi Syari’ah di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,2011),
2

hlm.212
yang diberikan oleh pihak bank.3
Menurut Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 yang
dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup
rakyat banyak. Sedangkan Bunga Bank adalah bank interest yaitu sejumlah
imbalan yang diberikan oleh bank kepada nasabah atas dana yang disimpan di bank
yang dihitung sebesar persentase tertentu dari pokok simpanan dan jangka waktu
simpanan ataupun tingkat bunga yang dikenakan terhadap pinjaman yang diberikan
bank kepada debiturnya.

Jadi dapat dipahami bahwa Fatwa Bunga Bank adalah penjelasan hukum
syara’ tentang imbalan dan tingkat bunga terhadap pinjaman yang diberikan oleh
bank yang disampaikan oleh ahlinya (Ulama) kepada yang belum mengetahuinya.
Dalam Al-Quran, hukum melakukan riba sudah jelas dilarang Allah SWT.
Begitupun dengan bunga bank, dalam praktiknya sistem pemberian bunga di
perbankan konvensional cenderung menyerupai riba, yaitu melipat gandakan
pembayaran. Padahal dalam islam hukum hutang-piutang haruslah sama antara
uang dipinjamkan dengan dibayarkan.
Sebelum Konferensi II Konsul Kajian Islam Dunia bulan Mei 1965, para
ulama berbeda pandangan tentang apakah bunga bank tergolong kepada riba yang
diharamkan oleh Al-qur`an. Pandangan mengenai riba bunga bank ketika itu adalah
Pandangan Pragmatis dan Pandangan konservatif. Menurut pandangan pragmatis,
bunga bank tidak dilarang, sepanjang tidak berlipat ganda dan tidak
mengeksploitasi penerima pembiayaan. Sedangkan menurut pandangan konservatif
riba sama denngan bunga (interest) maupun usury. Bunga adalah imbalan yang
ditentukan dimuka karena pembayaran tertunda atas pembiayaan tanpa melihat
unsure besar atau kecil, berganda atau tidak. Ini tergolong kepada riba nasi`ah.4

3
Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Kencana,2017), Cet-5, hlm.30
4
Hendra, Manajemen Operasional Bank Syariah, (Medan:2016), hlm.15
Dalil yang Menjelaskan Kesamaan Bunga Bank dengan Riba

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah.Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).” (Q.S Ar-Rum : 39)

Jika kita renungi secara mendalam, sebenarnya ayat diatas telah


menjelaskan definisi riba secara gamblang, dimana riba dinilai sebagai harga yang
ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Apabila
mengacu pada ayat ini, jelas bahwa bunga bank menurut islam merupakan riba.
Surat Ar-Rum ayat 39 juga menjelaskan bahwa Allah SWT
membenci orang-orang yang melakukan riba (memberikan harta dengan maksud
agar diberikan ganti yang lebih banyak). Mereka tidak akan memperoleh pahala di
sisi Allah SWT, sebab perbuatannya itu dilakukan demi memperoleh keuntungan
duniawi tanpa ada keikhlasan.

2 Fatwa Bunga Bank oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Bunga bank memang sudah lama menjadi kontroversi yang selalu


diperdebatkan di tengah-tengah masyarakat. Sebagian orang memandang kredit
dengan sistem bunga merupakan cara untuk membantu perekonomian rakyat.
Namun di sisi lain praktik ini justru merugikan kalangan miskin yang terpaksa
melakukan pinjaman di bank.

Bank konvensional menerapkan sistem bunga sebagai sistem


operasionalnya dimana pada bank konvensional menaikan suku bunga menjadi
tawaran yang disajikan kepada nasabah dengan tujuan nasabah tertarik untuk
menyimpan dananya di bank konvensional. Tingginya suku bunga akan lebih
menarik minat menabung para nasabah dibandingkan dengan rendahnya suku
bunga. Dalam kaitannya dengan bunga bank ini, sudah menjadi perdebatan dan
wacana oleh umat Islam di seluruh dunia khususnya Indonesia.keberadaan status
bunga bank yang haram, halal, syubhatnya belum jelas.
Menyikapi fenomena tersebut, MUI mengadakan loka karya
bunga bank dan perbankan pada tanggal 19-21 Agustus 1990 bertempat di Cisarua,
Jawa Barat dan memutuskan bahwa bunga bank itu haram. Kemudian diikuti
dengan lahirnya Undang-undang No.7 tahun 1992 yang mengakomodasikan
perbankan bagi hasil, maka didirikanlah Bank Muamalat yang merupakan bank
umum syariah pertama yang beroperasi di Indonesia.
Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang didirikan
pada tahun 1992, walaupun perkembangannya agak terlambat bila dibandingkan
dengan Negara-negara muslim lainnya, perbankan syari`ah di Indonesia terus
berkembang. Bila pada periode 1992-1998 hanya ada satu unit bank syari`ah, maka
pada tahun 2005, jumlah bank syari`ah di Indonesia bertambah menjadi 20 unit,
yaitu 3 bank umum syari`ah dan 17 unit usaha syariah. Sementara itu jumlah Bank
Perkreditan Rakyat Syari`ah (BPRS) hingga akhir tahun 2004 bertambah menjadi
88 buah.5 Pada tahun 1992 hingga 1999, perkembangan
Bank Muamalat Indonesia, masih tergolong stagnan. Namun sejak adanya krisis
moneter yang melanda Indonesia pada 1997 dan 1998, maka para banker melihat
bahwa Bank Muamalat Indonesia (BMI) tidak terlalu terkena dampak krisi moneter.
Para banker berfikir bahwa BMI, satu-satunya bank syari`ah di Indonesia yang
tahan terhadap krisis moneter.6
Kemudian masyarakat perbankan syariah (orang-orang
muslim yang sangat mengharamkan bunga bank) mendesak Majelis Ulama
Indonesia (MUI) segera mengeluarkan fatwa keharaman bunga bank secara
terbuka. Pada tahun 1997,MUI mempersiapkan adanya badan untuk mengawasi dan

5
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2014) cet-10, hlm.25
6
Ismail, Perbankan Syari’ah, (Jakarta: Kencana,2017), Cet-5, hlm.30
mengarahkan bank syariah, sehingga terbentuklah Dewan Syariah Nasional.
Selanjutnya pada tahun 1999, Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa
keharaman bunga bank, walaupun belum secara tegas, kemudian dijadikan dasar
Bank Indonesia dalam mengeluarkan regulasi perbankan syariah.Namun yang
menjadi persoalan yang muncul sebenarnya bukan pada keharaman itu sendiri.Tapi
keharaman itu dimasyarakat perbankan syariah (masyarakat yang mengharamkan
bunga bank dan menganggapnya sebagai bentuk riba) yang oleh beberapa kalangan
dianggap belum siap. Di sisi lain perbankan konvensional tidak mungkin dimatikan.
Alasan kondisional itu akhirnya justru ditarik kembali ke persoalan haram tidaknya
bunga bank. Pada tanggal 16 Desember 2003
berlanjut pada Sidang Ijtima Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memutuskan
bunga bank adalah riba dan riba adalah hukumnya haram. Tugas dari Komisi Fatwa
adalah melaporkan apa yang telah ditetapkan kepimpinan Majelis Ulama Indonesia
(MUI), yang pada saat itu komisi Fatwa dipegang oleh KH.Maruf Amin. Menurut
Ma'ruf Amin lahirnya Fatwa MUI tentang pelarangan bunga bank adalah tuntutan
dari masyarakat dengan tujuan memberikan motivasi dan dorongan terhadap
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Lalu ditetapkanlah Fatwa MUI
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Intersat/Fa`idah). Berdasarkan
Ketetapan Fatwa MUI tentang bunga tersebut maka diputuskan tiga hal yaitu
mengenai pengertian bunga, hukum bunga dan bermuamallah dengan lembaga
konvensional, dengan berlandaskan Al-Qur`an dan hadist serta ijtima’ para ulama
menanggapi permasalahan hukum terhadap pembungaan uang maka ditetapkanlah
bahwa membungakan uang termasuk praktek riba dan riba haram hukumnya. Dan
pelarangan praktek membungakan uang baikyang di lakukan oleh Bank,
Asuransi,Pasar Modal, Pengadian, Koperasi, Dan Lembaga Keuangan lainnya
maupun yang dilakukan oleh individu di tegaskan keharamannya dalam ketetapan
tersebut. Namun dalam hal ini para MUI juga memberikan jalan keluar bagi wilayah
yang belum memiliki instansi atau lembaga keuangan syari`ah yang
memperbolehkan melakukan kegiatan transaksi tersebut namun hanya karena atau
dalam keadaan darurat saja sedangkan praktek kegiatan pembungaan uang yang
dilakukan di wilayah yang sudah tersedia instansi/lembaga keuangan syariah maka
dilarang bertransaksi dengan menggunakan sistem pembungaan.

3 Fatwa Bunga Bank oleh Nahdatul Ulama (NU)


Salah satu keputusan hukum tentang bunga bank yang selama ini telah
beredar dalam kalangan umat Islam diantaranya adalah keputusan Mu’tamar NU
XII di Malang pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1356 H atau 25 Maret 1937 No 204.
Menjadi pertanyaan masalah bunga bank ini dalam mu’tamar NU, terjadilah
pembahasan yang begitu panjang tentang bagaimana hukum menitipkan uang
dalam bank, hingga kemudian pemerintah menetapkan pajak kerena alasan
mendapatkan bunga.
Apakah bunga itu halal dan bagaimana hukumnya menitipkan uang dalam
bank karena menjaga keamanan saja dan tidak menginginkan bunga penjelasan
terkait hal tersebut diambil dengan merujuk pada keputusan Mu’tamar NU II di
Surabaya pada tanggal 12 Rabi’ah as-Sani 1346 H atau 9 Oktober 1927 No. 28.
yang memutuskan bahwa hukum bunga bank dan sehubunganya itu sama dengan
hukum gadai yang telah ditetapkan dalam mu’tamar tersebut. Di antara hasil
keputusan Mu’tamar NU II di Surabaya, tentang gadai telah menghasilkan tiga
pendapat yaitu :
a. Haram : sebab termasuk hutang yang dipungut manfaatnya (rente).
b. Halal : sebab tidak ada syarat sewaktu akad, menurut para ahli hukum
bahwa adat yang berlaku itu tidak termasuk menjadi syarat.
c. Syubhat (tidak tentu haram halalnya) : sebab para ahli hukum masih terjadi
selisih pendapat.
Sebagai catatan penting dalam keputusan mu’tamar tersebut bahwa untuk
lebih berhati-hati ialah dengan mengambil pendapat pertama, yakni yang telah
mengharamkannya. Adapun menitipkan uang dalam bank karena untuk
keamanannya saja hukumnya makruh, dengan syarat apabila telah diyakini kalau
uang tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan ajaran
agama.
Sementara keputusan Munas ‘Alim Ulama NU di Bandar Lampung tanggal
21-25 Januari 1992. mengenai keputusan hukum bunga bank ditempuh melalui
prosedur yang lebih metodologis lagi, sebagai penyeimbang keputusan Muktamar
NU XII di Malang. Adapun hasil keputusannya sebagai berikut :
a. Haram, kerena bunga bank dipersamakan dengan riba secara mutlak
b. Boleh, kerena bunga bank tidak dipersamakan dengan riba
c. Subhat, kerena masih belum jelas

Dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung


tersebut, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak.
Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang
membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lainnya sehingga keputusan
tersebut tidak bersifat mutlak.
Munas alim ulama tidak membuat keputusan tunggal, karena menghargai
adanya perbedaan yang terjadi antara ulama dengan dalilnya masing-masing. Oleh
kareba itu hukum bunga bank masih khilafiyah (ada perbedaan).
Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah
merekomendasikan kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya
perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar hukum
Islami dalam bertransaksi.

4 Fatwa Bunga Bank oleh Muhammadiyah

Fatwa haram terhadap bunga bank sebenarnya sudah diputuskan pada


Musyawarah Nasional Muhammadiyah pada tahun 2006 namun Muhammadiyah
secara resmi memfatwa haram bunga bank pada Sabtu 3 April 2010 malam, lewat
rapat pleno Musyawarah Nasional (Munas) ke-27 Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Hasil rapat komisi VI dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-27
Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
menetapkan, bunga perbankan termasuk riba sehingga diharamkan. Meski sudah
ditetapkan secara hukum, pelaksanaannya tidak bisa dilakukan secara serta merta,
melainkan bertahap. yang menghimbau agar warga Muhammadiyah sebisa
mungkin menghindari perbankan yang menerapkan imbalan jasa berupa bunga.
diharamkannya bunga perbankan karena termasuk riba itu di
antaranya mengacu pada ciri-ciri yang sama dengan riba, yakni tambahan sebagai
imbalan mendapatkan modal pinjam dalam jangka waktu tertentu. Ciri lainnya
adalah adanya perjanjian yang mengikat, lebih banyak menguntungkan pemilik
saham atau ada tirani antara pemilik modal dan pengguna modal serta imbalan jasa
hanya dimiliki pemegang saham (pemilik modal). dalam urusan bunga perbankan,
Muhammadiyah sebelumnya hanya mengharamkan bank-bank swasta (hasil Munas
Tarjih tahun 1968 di Sidoarjo). Sedangkan bank pemerintah masih ditoleransi
karena keuntungannya untuk masyarakat luas yang diimplementasikan melalui
pembangunan dan pendidikan.
Namun sekarang semua perbankan yang memiliki ciri-ciri
riba diharamkan. Oleh karena itu Muhammadiyah menghimbau untuk bertransaksi
sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang tidak menggunakan ketentuan bunga,
tapi bagi hasil. Meski hasil rapat komisi VI tersebut sudah mengisyaratkan
untuk ditetapkan menjadi keputusan hukum, pelaksanaan keputusan tersebut
dilakukan secara bertahap, apalagi perbankan syariah juga belum masuk sampai di
daerah pelosok.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tentang riba yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan
bahwa:
a. Riba adalah suatu akad atau transaksi atas barang yang ketika akad berlangsung
tidak diketahui kesamaannya menurut syariat atau dengan menunda penyerahan
kedua barang yang menjadi objek akad atau salah satunya.
b. Cara untuk menghindari riba adalah dengan berpuasa, menerapakan prinsip
hasil bagi, wadiah, mudarabah, syirkah, murabahah, dan qard hasan.
c. Prinsip hasil bagi dalam ekonomi sayariah memberikan nisbah tertentu pada
deposannya, maka yang dibagi adalah keuntungan dari yang di dapat kemudian
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. Sedangkan
bunga bank, ditetapkannya akad di awal jadi ketika nasabah sudah
menginventasikan uangnya pada bank dengan tingkat suku bunga tertentu, maka
akan dapat diketahui hasilnya dengan pasti.
d. Berekonomi secara syariah dapat membantu mengentaskan kemiskinan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.

3.2 Saran
Semoga ulasan ini menjadi bahan pemikiran untuk menambah informasi ilmu
pengetahuan dan keyakinan yang kuat kepada pembaca bahwa tidak ada perbedaan
pendapat tentang keharaman bunga bank yang pada awalnya sebagian para ulama
menghukum bahwa riba dinyatakan haram dalam Al Quran.

Anda mungkin juga menyukai