Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah


mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi
(biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan
oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.
Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya
menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi
(peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit)
ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau
kapsul, oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk menjangkau
penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri
yang terdapat dalam nanah.
Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada
akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal,
sedangkan abses mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang baru
terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.
Karena abses merupakan salah satu manifestasi peradangan, maka
manifestasi lain yang mengikuti abses dapat merupakan tanda dan gejala dari proses
inflamasi, yakni: kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), rasa
nyeri (dolor), dan hilangnya fungsi. Abses dapat terjadi pada setiap jaringan solid,

1
tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal,
dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau
jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat
kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan konsekuensi yang
fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya
abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah, debridemen, dan kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus
diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong
dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga
antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Hal ini dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi
evacua.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,
tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang
perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan
penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui saluran
pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak
dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)

2
yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain:
clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu
masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja
dalam pH yang rendah.
Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran
menyarankan untuk dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani
abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.

1.2Rumusan Masalah

1 Apa definisi dari abses periodontal?


2.Apa saja klasifikasi dari abses periodontal?
3.Bagaimana tingkat prevalensi dari abses periodontal?
4.Apa Etiologi dari Abses periodontal?
5.Bagaimana Patogenesis dan HPA dari abses periodontal?
6.Apa saja mikrobiologi yang berperan dalam terbentuknya abses
periodontal?
7.Apa saja komplikasi dari abses periodontal?

1.3Tujuan

1.Mampu mengetahui definisi dari abses periodontal.


2.Mampu mengetahui dari abses periodontal.
3.Mampu mengetahui tingkat prevalensi dari abses periodontal.

3
4.Mampu mengetahui Etiologi dari Abses periodontal.
5.Mampu mengetahui Patogenesis dan HPA dari abses periodontal.
6.Mampu mengetahui mikrobiologi yang berperan dalam terbentuknya abses
periodontal.
7.Mampu mengetahui komplikasi dari abses periodontal.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abses

A.Pengertian

Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu


rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas (Rassner et al,
1995: 257). Menurut Smeltzer, S.C et al (2001: 496). Abses adalah infeksi bakteri
setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus (bakteri, jaringan nekrotik dan
SDP). Sedangkan menurut EGC (1995: 5) Abses adalah kumpulan nanah setempat
dalam rongga yang terbentuk akibat kerusakan jaringan.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat dikemukakan bahwa Abses


Inguinal merupakan kumpulan nanah pada Inguinal akibat infeksi bakteri setempat.

B.Penyebab / Faktor Predisposisi

Underwood, J.C.E (1999: 232) mengemukakan penyebab Abses antara lain:

1.Infeksi mikrobial

Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi
intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis
kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin
yang ada hubungannya dengan dinding sel.

2.Reaksi hipersentivitas

5
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak
jaringan.

3.Agen fisik

Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).

4.Bahan kimia iritan dan korosif

Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa)


akan merusak jaringan yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses
radang. Disamping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi
spesifik yang mengiritasi dan langsung mengakibatkan radang.

5.Nekrosis jaringan

Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya


pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan
terjadinya kematian jaringan, kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang
kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu
respons, radang akut.

C.Gambaran Klinik

Smeltzer, S.C et al (2001: 496) mengemukakan bahwa pada Abses terjadi


nyeri tekan. Sedangkan Lewis, S.M et al (2000: 1187) mengemukakan bahwa
manifestasi klinis pada Abses meliputi nyeri lokal, bengkak dan kenaikan suhu
tubuh. Leukositosis juga terjadi pada Abses (Lewis, S.M et al, 2000: 589).
Sedangkan tanda-tanda infeksi meliputi kemerahan, bengkak, terlihat jelas (lebih

6
dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka,
warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil
atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).

D.Anatomi / Patologi

Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm,


panikulus adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping
epidermis dan dermis. Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia
tubuh, membungkus dengan lapisannya yang relatif tebal.

Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel


lemak, jaringan ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi
lemak (mikrolobuli, lobuli, pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa
jaringan ikat. Septa jaringan ikat (septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam
fasia tubuh maupun dalam korium dan bertindak sebagai jalan untuk pembuluh
darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk folikel, rambut dan kelenjar keringat
sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat vena-vena besar (misalnya
vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah bening regional
superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi
(penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan
lapisan penggeser antara korium dan fasia tubuh).

Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat


pembuluh darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan
kulit. Melalui aliran darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah
bening membuat zat anti. Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit
penyakit, kulit yang memiliki kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya
untuk membasahi kulit agar lembab. Bahan pelembab ini sekaligus sebagai

7
pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai
pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.

Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat


perubahan-perubahan berikut:

1.Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.

2.Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan
lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma
(makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun
jaringan parut (stadium terminal)

3.Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis


terutama dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat
(panikulitis septal)

Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh


darah subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al,
1995: 256).

E.Proses Penyembuhan Luka

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (2000 : 397) mengemukakan proses


penyembuhan luka sebagai berikut:

1.Fase Inflamasi atau lag fase.

Berlangsung sampai hari kelima. Akibat luka terjadi perdarahan. Ikut


keluar trombosit dan sel sel radang. Trombosit mengeluarkan prostaglandin,
tromboksan, bahan kimia tertentu dan asam amino tertentu yang mempengaruhi

8
pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis
terhadap leukosit.

Terjadi vasokontriksi dan proses penghentian perdarahan. Sel radang keluar


dari pembuluh darah secara diapedesis dan menuju daerah luka secara kemotaksis.
Sel mast mengeluarkan serotonin dan histamin yang meninggikan permeabilitas
kapiler, terjadi eksudasi cairan edema.

Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka
sehingga disebut fase tertinggal (lag fase).

2.Fase proliferasi atau fibroplasi.

Berlangsung dari hari keenam sampai dengan 3 minggu. Terjadi proses


proliferasi dan pembentukan fibroblas yang berasal dari sel-sel mesenkim. Fibroblas
menghasilkan mukopolisakarida dan serat kolagen, yang terdiri dari asam-asam
amino glisin, prolin dan hidroksiprolin. Mukopolisakarida mengatur deposisi serat-
serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Pada fase ini luka diisi oleh sel-
sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen, kapiler-kapiler baru ; membentuk jaringan
kemerahan dengan permukaan tak rata disebut jaringan granulasi.

3.Fase Remodelling atau fase resorpsi.

Dapat berlangsung berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah


hilang. Parut dan sekitarnya berwarna pucat, tipis, lemas, tak ada rasa sakit
maupun gatal.

F.Patofisiologi

Sjamsuhidajat et al (1998: 5) mengemukakan bahwa kuman penyakit yang


masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan cara

9
mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara
spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan
kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi
imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang
iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.

Price, S.A et al (1995: 36) mengemukakan bahwa infeksi hanya merupakan


salah satu penyebab dari peradangan. Pada peradangan, kemerahan merupakan
tanda pertama yang terlihat pada daerah yang mengalami peradangan akibat dilatasi
arteriol yang mensuplai daerah tersebut akan meningkatkan aliran darah ke
mikrosirkulasi lokal. Kalor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan.
Peningkatan suhu bersifat lokal. Namun Underwood, J.C.E (1999: 246)
mengemukakan bahwa peningkatan suhu dapat terjadi secara sistemik akibat
endogen pirogen yang dihasilkan makrofag mempengaruhi termoregulasi pada
temperatur lebih tinggi sehingga produksi panas meningkat dan terjadi hipertermi
(Guyton, A.C, 1995: 647-648).

Underwood, J.C.E (1999: 234-235) mengemukakan bahwa pada


peradangan terjadi perubahan diameter pembuluh darah sehingga darah mengalir ke
seluruh kapiler, kemudian aliran darah mulai perlahan lagi, sel-sel darah mulai
mengalir mendekati dinding pembuluh darah di daerah zona plasmatik. Keadaan ini
memungkinkan leukosit menempel pada epitel, sebagai langkah awal terjadinya
emigrasi leukosit ke dalam ruang ektravaskuler. Lambatnya aliran darah yang
menikuti fase hiperemia menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskuler,
mengakibatkan keluarnya plasma untuk masuk ke dalam jaringan, sedangkan sel
darah tertinggal dalam pembuluh darah akibat peningkatan tekanan hidrostatik dan

10
penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga
ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan
dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses
menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk
bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung
saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif
dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan
berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.

Sjamsuhidajat et al (1998: 6-7) menjelaskan bahwa inflamasi terus terjadi


selama masih ada pengrusakan jaringan. Bila penyebab kerusakan jaringan bisa
diberantas maka debris akan di fagositosis dan dibuang oleh tubuh sampai terjadi
resolusi dan kesembuhan. Bila trauma berlebihan, reaksi sel fagosit kadang
berlebihan sehingga debris yang berlebihan terkumpul dalam suatu rongga
membentuk Abses atau bertumpuk di sel jaringan tubuh yang lain membentuk
flegmon. Trauma yang hebat, berlebihan, dan terus menerus menimbulkan reaksi
tubuh yang juga berlebihan berupa fagositosis debris yang diikuti dengan
pembentukan jaringan granulasi vaskuler untuk mengganti jaringan yang rusak.
Fase ini disebut fase organisasi. Bila dalam fase ini pengrusakan jaringan berhenti
akan terjadi fase penyembuhan melalui pembentukan jaringan granulasi fibrosa.
Tetapi bila pengrusakan jaringan berlangsung terus, akan terjadi fase inflamasi
kronik yang akan sembuh bila rangsang yang merusak hilang. Abses yang tidak
diobati akan pecah dan mengeluarkan pus kekuningan (FKUI, 1989: 21) sehingga
terjadi kerusakan integritas kulit. Sedangkan Abses yang di insisi dapat
meningkatkan risiko penyebaran infeksi (Brown, J.S, 1995: 94).

11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Abses Periodontal

Abses periodontal merupakan salah satu kondisi klinik dalam periodontik


dimana pasien diharapkan untuk segera mendapatkan perawatan. Hal ini penting
dilakukan,tidak hanya untuk prognosis periodontitis pada gigi yang
dipengaruhi,tetapi juga kemungkinan adanya penyebaran infeksi.
3.1.1 Defenisi
Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen yang terlokalisir pada
jaringan periodonsium.Lesi ini disebut juga dengan abses periodontal lateral atau
abses parietal. Abses periodontal diketahui sebagai lesi yang dapat dengan cepat
merusak jaringan periodonsium terjadi selama periode waktu yang terbatas serta
mudah diketahui gejala klinis dan tanda-tandanya seperti akumulasi lokal pus dan
terletak di dalam saku periodontal.
3.1.2 Klasifikasi
Abses periodontal dapat di klasifikasikan atas 3 kriteria, yaitu:
1. Berdasarkan lokasi abses
a. Abses gingiva
Abses gingiva merupakan infeksi lokal purulen yang terletak pada
marginal gingiva atau papila interdental dan merupakan lesi inflamasi akut
yang mungkin timbul dari berbagai faktor, termasuk infeksi plak mikroba,
trauma, dan impaksi benda asing. Gambaran klinisnya merah, licin, kadang-
kadang sangat sakit dan pembengkakan sering berfluktuasi.
b. Abses periodontal
Abses periodontal merupakan infeksi lokal purulen di dalam dinding
gingiva pada saku periodontal yang dapat menyebabkan destruksi ligamen

12
periodontal dan tulang alveolar.Abses periodontal secara khusus ditemukan
pada pasien dengan periodontitis yang tidak dirawat dan berhubungan dengan
saku periodontal yang sedang dan dalam, biasanya terletak diluar daerah
mukogingiva.Gambaran klinisnya terlihat licin, pembengkakan gingiva
mengkilat disertai rasa sakit, daerah pembengkakan gingivanya lunak karena
adanya eksudat purulen dan meningkatnya kedalaman probing, gigi menjadi
sensitif bila diperkusi dan mungkin menjadi mobiliti serta kehilangan
perlekatan periodontal dengan cepat dapat terjadi.

Abses periodontal sering muncul sebagai eksaserbasi akut dari saku


periodontal yang ada sebelumnya terutama terkait pada ketidaksempurnaan
dalam menghilangkan kalkulus dan tindakan medis seperti pada pasien setelah
perawatan bedah periodontal, setelah pemeliharaan preventif, setelah terapi
antibiotik sistemik dan akibat dari penyakit rekuren. Abses periodontal yang
tidak berhubungan dengan inflamasi penyakit periodontal termasuk perforasi
gigi, fraktur dan impaksi benda asing. Kurangnya kontrol terhadap diabetes
mellitus merupakan faktor predisposisi dari pembentukan abses periodontal.
Pembentukan abses periodontal merupakan penyebab utama kehilangan gigi.
Namun, dengan perawatan yang tepat dan perawatan preventif yang konsisten,
gigi dengan kehilangan tulang yang signifikan dapat dipertahankan selama
bertahun-tahun.

c. Abses perikoronal
Abses perikoronal merupakan akibat dari inflamasi jaringan lunak
operkulum,yang menutupi sebagian erupsi gigi. Keadaan ini paling sering
terjadi pada gigi molar tiga rahang atas dan rahang bawah.Sama halnya dengan
abses gingiva, abses perikoronal dapat disebabkan oleh retensi dari plak
mikroba dan impaksi makanan atau trauma.Gambaran klinis berupa gingiva
berwarna merah terlokalisir, bengkak,lesi yang sakit jika disentuh dan

13
memungkinkan terbentuknya eksudat purulen trismus, limfadenopati, demam
dan malaise.

2. Berdasarkan jalannya lesi

a. Abses periodontal akut


Abses periodontal akut biasanya menunjukkan gejala seperti sakit,
edematous,lunak, pembengkakan, dengan penekanan yang lembut di jumpai
adanya pus, pekaterhadap perkusi gigi dan terasa nyeri pada saku, sensitifitas
terhadap palpasi dan kadang disertai demam dan limfadenopati.

b. Abses periodontal kronis


Abses periodontal kronis biasanya berhubungan dengan saluran sinus
dan asimtomatik, walaupun pada pasien didapatkan gejala-gejala ringan.Abses
ini terbentuk setelah penyebaran infeksi yang disebabkan oleh drainase spontan,
respon host atau terapi. Setelah hemeostatis antara host dan infeksi tercapai,
pada pasien hanya sedikit atau tidak terlihat gejalanya. Namun rasa nyeri yang
tumpul akan timbul dengan adanya saku periodontal, inflamasi dan saluran
fistula.

3. Berdasarkan jumlah abses

a. Abses periodontal tunggal


Abses periodontal tunggal biasanya berkaitan dengan faktor-faktor
lokal mengakibatkan tertutupnya drainase saku periodontal yang ada.
b. Abses periodontal multipel
Abses ini bisa terjadi pada pasien diabetes mellitus yang tidak
terkontrol, pasien dengan penyakit sistemik dan pasien dengan periodontitis
tidak terawat setelah terapi antibiotik sistemik untuk masalah non oral. Abses

14
ini juga ditemukan pada pasien multipel eksternal resopsi akar, dimana faktor
lokal ditemukan pada beberapa gigi.

3.1.3 Prevalensi

Abses periodontal merupakan kasus darurat penyakit periodontal ke tiga


yang paling sering terjadi mencapai 7-14 % setelah abses dentoalveolar akut (14-
25%), perikoronitis ( 10-11 %) dan 6-7 % kasus abses periodontal pada pasien-
pasien di klinik gigi.Sebagai konsekuensi kasus abses periodontal penting, selain
prevalensinya yang relatif tinggi, abses ini juga mempengaruhi prognosis dari gigi
terutama pada pasien periodontitis. Pada pasien ini abses periodontal lebih
mungkin terjadi dalam saku periodontal yang sudah ada sebelumnya. Dahulu, gigi
dengan abses tidak berhubungan karena terjadinya abses dapat menjadi salah satu
alasan utama ekstraksi gigi selama perawatan periodontal.

3.1.4 Etiologi

Etiologi abses periodontal dibagi atas 2, yaitu:


a. Abses periodontal berhubungan dengan periodontitis
Hal- hal yang menyebabkan abses periodontal yang berhubungan dengan
periodontitis adalah:
1. Adanya saku periodontal yang dalam dan berliku.
2. Penutupan marginal saku periodontal yang dapat mengakibatkan perluasan
infeksi ke jaringan periodontal sekitarnya karena tekanan pus di dalam saku
tertutup.
3. Perubahan dalam komposisi mikroflora, virulensi bakteri, atau dalam
pertahanan host bisa juga membuat lumen saku tidak efisien dalam
meningkatkan pengeluaran suppurasi.

15
4. Pengobatan dengan antibiotik sistemik tanpa debridemen subgingiva pada
pasien dengan periodontitis lanjut juga dapat menyebabkan pembentukan abses.
b. Abses periodontal tidak berhubungan dengan periodontitis
Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang tidak berhubungan dengan
periodontitis adalah:
1. Impaksi dari benda asing seperti potongan dental floss, biji popcorn,potongan
tusuk gigi, tulang ikan, atau objek yang tidak diketahui.
2. Perforasi dari dinding gigi oleh instrumen endodontik.
3. Infeksi lateral kista.
4. Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi morfologi akar dapat menjadi
predisposisi pembentukan abses periodontal. Adanya cervical cemental tears
dapat memicu pekembangan yang cepat dari periodontitis dan perkembangan
abses.

3.1.5 Patogenesis dan Histopatologi

Masuknya bakteri kedalam dinding saku jaringan lunak merupakan awal


terjadinya abses periodontal. Sel-sel inflamatori kemudian ditarik oleh faktor
kemotaksis yang dilepaskan oleh bakteri dan bersama dengan reaksi inflamatori
akan menyebabkan destruksi jaringan ikat, enkapsulasi dari infeksi bakteri dan
memproduksi pus.

Secara histologis, akan ditemukan neutrofil-neutrofil yang utuh


mengelilingi bagian tengah debris jaringan lunak dan destruksi leukosit. Pada
tahap berikutnya, membran piogenik yang terdiri dari makrofag dan neutrofil telah
terbentuk. Laju destruksi abses tergantung pada pertumbuhan bakteri di dalamnya,
virulensinya dan pH lokal. Adanya pH asam akan memberi keuntungan terhadap
enzim lisosom.

16
3.1.6 Mikrobiologi

Banyak artikel menuliskan bahwa infeksi purulen oral adalah


polimikroba, dan disebabkan oleh bakteri endogen. Topoll dkk, Newman dan sims
melaporkan bahwa sekitar 60 % di jumpai bakteri anaerob. Bakteri ini tidak
terlihat spesifik,tetapi diketahui patogen terhadap periodontal seperti
Porphyromonas gingivalis, Provotella intermedia dan Fusobakterium nucleatum
merupakan spesis bakteri paling banyak. Pada penelitian David Herrera dkk juga
melaporkan, selain ketiga bakteri diatas dijumpai juga Porphyromonas
melaninogenica, Bacteriodes forsythus,Peptostreptococus micros dan
Campylobacter rectus.

Menurut hasil penelitian Jaramillo A dkk terhadap sejumlah subjek


dilaporkan bahwa pada subingival abses periodontal dijumpai Fusobacterium spp.
(75%),P. intermedia/nigrescens (60%), P. gingivalis (51%) dan A.
Actinomycetemcomitans (30%). Pada umunya, mikrobiota pada subgingiva abses
periodontal ini terutama terdiri dari mikroorganisme yang berkaiatan dengan
penyakit periodontal. Bakteri penginfeksi batang gram negatif adalah keenam
kelompok organisme paling banyak (13 kasus, 21.7%) yaitu Enterobacter
aerogenes (3,3%), Pseudomonas spp. (3,3%),Klebsiella pneumoniae (1,7%),
Acinetobacter lwofii (1,7%), A. baumanii (1,7%),E.agglomerans (1,7%), dan
dikenal non fermenter batang gram negatif (8,3%)

3.1.7 Komplikasi Abses Periodontal

Komplikasi yang dapat timbul karena abses periodontal meliputi


kehilangan gigi dan penyebaran infeksi, dibawah ini akan dijelaskan secara rinci.

3.1.7.1 Kehilangan Gigi

17
Abses periodontal yang dikaitkan dengan kehilangan gigi biasanya
dijumpai pada kasus-kasus periodontitis sedang sampai parah dan selama fase
pemeliharaan.Abses periodontal merupakan penyebab utama dilakukan ekstraksi
gigi pada fase pemeliharaan dimana terjadi pembentukan abses yang berulang dan
gigi mempunyai prognosis buruk.
3.1.7.2 Penyebaran Infeksi
Sejumlah tulisan menyatakan bahwa diduga infeksi sistemik dapat berasal
dari abses periodontal. Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu: penyebaran
bakteri dalam jaringan selama perawatan atau penyebaran bakteri melalui aliran
darah karena bakteremia dari abses yang tidak dirawat.

Pada abses dentoalveolar yang berasal dari endodontik lebih sering


menyebabkan komplikasi penyebaran infeksi daripada abses periodontal.
Cellulitis, infeksi subkutaneus, phlegmone dan mediastinitis dapat berasal dari
infeksi odontogenik tetapi jarang berasal dari abses periodontal. Namun, abses
periodontal dapat berperan sebagai pusat infeksi non oral. Abses periodontal bisa
menjadi pusat dari penyebaran bakteri dan produk bakteri dari rongga mulut ke
bagian tubuh lainnya dan menyebabkan keadaan infeksi yang berbeda. Pada
perawatan mekanikal abses periodontal bisa menyebabkan bakteremia seperti
pasien dengan endoprotesa atau imunokompromise dapat menyebabkan infeksi
non oral.

Paru-paru bisa bertindak sebagai barier makanikal dimana bakteri


periodontal dapat terjebak dan dapat menyebabkan penyakit. Adakalanya
penyebaran bakteri periodontal dapat berakibat menjadi abses otak. Sejumlah
laporan kasus dari periodontal patogen bahwa pada abses otak tersebut didapatkan
adanya bakteri P.micros, F. nucleatum, pigmen hitam pada bakteri batang anaerob
dan Actinomyces spp, diantaranya merupakan spesis bakteri periodontal anaerob

18
yang diisolasi dari abses intra cranial. Infeksi lain yang berhubungan dengan abses
periodontal adalah cervical nekrotizing fascitis dan cellulites pada pasien kanker
payudara.

19
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Abses adalah peradangan purulenta yang juga melebur ke dalam suatu


rongga (rongga Abses) yang sebelumnya tidak ada, berbatas tegas.Abses juga bisa
di artikan sebagai infeksi bakteri setempat yang ditandai dengan pengumpulan pus.

Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen yang terlokalisir pada


jaringan periodonsium.Lesi ini disebut juga dengan abses periodontal lateral atau
abses parietal. Abses periodontal diketahui sebagai lesi yang dapat dengan cepat
merusak jaringan periodonsium terjadi selama periode waktu yang terbatas serta
mudah diketahui gejala klinis dan tanda-tandanya seperti akumulasi lokal pus
danterletak di dalam saku periodontal.
Abses periodontal dapat diklasifikasikan menjadi 3 kriteria yaitu yang
pertama bedasar lokasinya ada abses gingiva,abses periodontal,abses
perikoronal.Yang kedua berdasar jalannya lesi terdapat abses periodontal akut dan
abses periodontal kronis.Yang ketiga berdasar jumlahnya terdapat abses
periodontal tunggal dan abses periodontal multiple.
Etiologi abses tebagi menjadi dua yaitu yang ada hubungannya dengan
peiodontitis,dan yang tidak berhubungan dengan periodontitis.

20
DAFTAR PUSTAKA

Pine, M C. Comunit Oral Health. Reed Educational & Professional Publishing Ltd.
1997

almatsier, S. Prinsip Dasar llmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003

Newman. Takei. Carranza,. Clinical Periodontology. 9th edition. W B Saunders


Company. Philadelphia. 2002

Dental Caries :1 MedlinePlus Medical Isncyclopedia, page accessed August 14,


2006.

Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In:
Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck
surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2001

Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007

Sakaguchi M, Sato S, Ishiyama T, Katsuno T, Taguchi K. characterization and


management of deep neck infection. J. Oral Maxillofac Surg. 1997

Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis
of 18 cases. Head and neck. Ock, 2004.

Lawson W, Reino AJ. Odontogenic infection. In: Byron Bailey, MD editor.


Otolaryngologi head and neck surgery. Philadelphia: JB.Lippincott.Co 1998

21

Anda mungkin juga menyukai