Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
1
tetapi paling sering terjadi pada permukaan kulit, pada paru-paru, otak, gigi, ginjal,
dan tonsil. Komplikasi mayor abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau
jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren).
Pada sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat
kecurigaan akan adanya abses. Suatu abses dapat menimbulkan konsekuensi yang
fatal (meskipun jarang) apabila abses tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya
abses leher dalam yang dapat menekan trakhea.
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan
antibiotik. Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi
bedah, debridemen, dan kuretase.
Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi penyebabnya,
utamanya apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut harus
diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong
dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgesik dan mungkin juga
antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan biasanya diindikasikan
apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap
nanah yang lebih lunak. Hal ini dinyatakan dalam sebuah aforisme Latin: Ubi pus, ibi
evacua.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis,
tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang
perlu dilakukan. Drainase abses paru dapat dilakukan dengan memposisikan
penderita sedemikian hingga memungkinkan isi abses keluar melalui saluran
pernapasan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak
dapat dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA)
2
yang didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain:
clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu
masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja
dalam pH yang rendah.
Namun demikian, walaupun sebagian besar buku ajar kedokteran
menyarankan untuk dilakukan insisi pembedahan, sebagian dokter hanya menangani
abses secara konservatif dengan menggunakan antibiotik.
1.2Rumusan Masalah
1.3Tujuan
3
4.Mampu mengetahui Etiologi dari Abses periodontal.
5.Mampu mengetahui Patogenesis dan HPA dari abses periodontal.
6.Mampu mengetahui mikrobiologi yang berperan dalam terbentuknya abses
periodontal.
7.Mampu mengetahui komplikasi dari abses periodontal.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Abses
A.Pengertian
1.Infeksi mikrobial
Salah satu penyebab yang paling sering ditemukan pada proses radang ialah
infeksi mikrobial. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi
intraseluler. Bakteri melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis
kimiawi yang secara spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin
yang ada hubungannya dengan dinding sel.
2.Reaksi hipersentivitas
5
Reaksi hipersentivitas terjadi bila perubahan kondisi respons imunologi
mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak
jaringan.
3.Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terjadi pada proses radang dapat melalui trauma
fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebih (frosbite).
5.Nekrosis jaringan
C.Gambaran Klinik
6
dari 2,5 cm dari letak insisi), nyeri tekan, kehangatan meningkat disekitar luka,
warna merah jelas pada kulit disekitar luka, pus atau rabas, bau menusuk, menggigil
atau demam (lebih dari 37,7oC/100oF) (Smeltzer, S.C et al, 2001: 497).
D.Anatomi / Patologi
7
pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit. Sedangkan kelenjar peluh sebagai
pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh yang berlebihan.
2.Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan
lemak (akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma
(makrofag/ lipofag atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun
jaringan parut (stadium terminal)
8
pembekuan darah, mengatur tonus dinding pembuluh darah dan kemotaksis
terhadap leukosit.
Pertautan pada fase ini hanya oleh fibrin, belum ada kekuatan pertautan luka
sehingga disebut fase tertinggal (lag fase).
F.Patofisiologi
9
mengeluarkan toksin. Underwood, J.C.E (1999: 232) menjelaskan bahwa bakteri
melepaskan eksotoksin yang spesifik yaitu suatu sintesis, kimiawi yang secara
spesifik mengawali proses radang atau melepaskan endotoksin yang ada
hubungannya dengan dinding sel. Reaksi hipersensitivitas terjadi bila perubahan
kondisi respons imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi
imun yang akan merusak jaringan. Sedangkan agen fisik dan bahan kimiawi yang
iritan dan korosif akan menyebabkan kerusakan jaringan. Kematian jaringan
merupakan stimulus yang kuat untuk terjadi infeksi.
10
penurunan tekanan osmotik sehingga terjadi akumulasi cairan didalam rongga
ektravaskuler yang merupakan bagian dari cairan eksudat yaitu edema. Regangan
dan distorsi jaringan akibat edema dan tekanan pus dalam rongga Abses
menyebabkan rasa sakit. Beberapa mediator kimiawi pada radang akut termasuk
bradikinin, prostaglandin dan serotonin akan merangsang dan merusakkan ujung
saraf nyeri sehingga menurunkan ambang stimulus terhadap reseptor mekanosensitif
dan termosensitif sehingga menimbulkan nyeri. Adanya edema akan menyebabkan
berkurangnya gerak jaringan sehingga mengalami penurunan fungsi tubuh yang
menyebabkan terganggunya mobilitas.
11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Abses Periodontal
12
periodontal dan tulang alveolar.Abses periodontal secara khusus ditemukan
pada pasien dengan periodontitis yang tidak dirawat dan berhubungan dengan
saku periodontal yang sedang dan dalam, biasanya terletak diluar daerah
mukogingiva.Gambaran klinisnya terlihat licin, pembengkakan gingiva
mengkilat disertai rasa sakit, daerah pembengkakan gingivanya lunak karena
adanya eksudat purulen dan meningkatnya kedalaman probing, gigi menjadi
sensitif bila diperkusi dan mungkin menjadi mobiliti serta kehilangan
perlekatan periodontal dengan cepat dapat terjadi.
c. Abses perikoronal
Abses perikoronal merupakan akibat dari inflamasi jaringan lunak
operkulum,yang menutupi sebagian erupsi gigi. Keadaan ini paling sering
terjadi pada gigi molar tiga rahang atas dan rahang bawah.Sama halnya dengan
abses gingiva, abses perikoronal dapat disebabkan oleh retensi dari plak
mikroba dan impaksi makanan atau trauma.Gambaran klinis berupa gingiva
berwarna merah terlokalisir, bengkak,lesi yang sakit jika disentuh dan
13
memungkinkan terbentuknya eksudat purulen trismus, limfadenopati, demam
dan malaise.
14
ini juga ditemukan pada pasien multipel eksternal resopsi akar, dimana faktor
lokal ditemukan pada beberapa gigi.
3.1.3 Prevalensi
3.1.4 Etiologi
15
4. Pengobatan dengan antibiotik sistemik tanpa debridemen subgingiva pada
pasien dengan periodontitis lanjut juga dapat menyebabkan pembentukan abses.
b. Abses periodontal tidak berhubungan dengan periodontitis
Hal-hal yang menyebabkan abses periodontal yang tidak berhubungan dengan
periodontitis adalah:
1. Impaksi dari benda asing seperti potongan dental floss, biji popcorn,potongan
tusuk gigi, tulang ikan, atau objek yang tidak diketahui.
2. Perforasi dari dinding gigi oleh instrumen endodontik.
3. Infeksi lateral kista.
4. Faktor-faktor lokal yang mempengaruhi morfologi akar dapat menjadi
predisposisi pembentukan abses periodontal. Adanya cervical cemental tears
dapat memicu pekembangan yang cepat dari periodontitis dan perkembangan
abses.
16
3.1.6 Mikrobiologi
17
Abses periodontal yang dikaitkan dengan kehilangan gigi biasanya
dijumpai pada kasus-kasus periodontitis sedang sampai parah dan selama fase
pemeliharaan.Abses periodontal merupakan penyebab utama dilakukan ekstraksi
gigi pada fase pemeliharaan dimana terjadi pembentukan abses yang berulang dan
gigi mempunyai prognosis buruk.
3.1.7.2 Penyebaran Infeksi
Sejumlah tulisan menyatakan bahwa diduga infeksi sistemik dapat berasal
dari abses periodontal. Ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu: penyebaran
bakteri dalam jaringan selama perawatan atau penyebaran bakteri melalui aliran
darah karena bakteremia dari abses yang tidak dirawat.
18
yang diisolasi dari abses intra cranial. Infeksi lain yang berhubungan dengan abses
periodontal adalah cervical nekrotizing fascitis dan cellulites pada pasien kanker
payudara.
19
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
Pine, M C. Comunit Oral Health. Reed Educational & Professional Publishing Ltd.
1997
almatsier, S. Prinsip Dasar llmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003
Scott BA, Steinberg CM, Driscoll BP. Infection of the deep Space of the neck. In:
Bailley BJ, Jhonson JT, Kohut RI et al editors. Otolaryngology Head and neck
surgery. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2001
Fachruddin D. Abses leher dalam. Dalam: Iskandar M, Soepardi AE editor. Buku ajar
ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
2007
Huang T, chen T, Rong P, Tseng F, Yeah T, Shyang C. Deep neck infection: analysis
of 18 cases. Head and neck. Ock, 2004.
21