Karies atau gigi berlubang merupakan masalah penyakit mulut yang banyak diderita oleh masyarakat di dunia terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Sekitar 80% penduduk Indonesia memiliki masalah dengan kesehatan gigi karena berbagai sebab dan karies atau gigi berlubang merupakan masalah paling banyak ditemui pada setiap strata sosial baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan serta pada anak-anak dan dewasa (Mangoenprasodjo, 2004). Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang masih perlu mendapat perhatian besar. Dari sepuluh kelompok penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat berdasarkan hasil studi morbiditas Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2001, penyakit gigi dan mulut menduduki urutan pertama dengan prevalensi sebesar 60% penduduk dengan kasus karies gigi dan penyakit periodontal merupakan mayoritas terbanyak (Natamiharja dkk, 2008:131) Karies adalah suatu penyakit pada gigi yang disebabkan oleh aktivitas mikroba dalam meragikan karbohidrat dan mengenai jaringan keras gigi, yaitu email, dentin, dan sementum. Terdapat empat faktor utama yang saling berperan dan bekerjasama mempengaruhi satu sama lain dalam proses terjadinya karies. Yaitu host, mikroorganisme, substrat, dan waktu. Bakteri plak akan memfermentasi substrat sehingga menghasilkan suasana asam, dan menyebabkan pH plak akan turun dalam waktu 1-3 menit sampai pH 4,5-5,0. Kemudian pH akan kembali normal pada waktu 30-60 menit pada pH sekitar 7. Apabila terjadi penurunan pH secara terus menerus maka akan menyebabkan demineralisasi pada permukaan gigi. Kondisi asam seperti ini akan sangat disukai oleh Streptococcus mutans dan Lactobacillus sp. yang merupakan mikroorganisme utama penyebab terjadinya karies (soesilo dkk, 2005:25-26). Streptococcus mutans merupakan flora normal rongga dalam rongga mulut yang dapat berubah menjadi patogen bila terjadi peningkatan jumlah koloni yang berlebihan. Bakteri ini bersifat anaerob fakultatif gram positif yang berperan penting dalam proses terjadinya karies (Yendriwati, 2008:145). S. mutans berperan dalam memfermentasikan sakarida menjadi asam, sehingga disebut juga sebagai bakteri kariogenik. Bakteri ini memiliki enzim glikosiltransferase (GTFs) yang dapat mengubah sakarosa saliva menjadi polisakarida ekstraseluler (PSE) dengan konsistensi seperti gelatin, sehingga mampu melekat satu sama lain (Dhika, 2007). Pada tahap awal terlihat white spot pada permukaan enamel kemudian proses ini akan berjalan secara perlahan mulai dari adanya lesi kecil yang terus berkembang, kerusakan berlanjut pada dentin dan disertai dengan kematian sel odontoblast (soesilo dkk, 2005:26). Jika lesi karies terus berlanjut, infeksi dapat terjadi pada ruang pulpa sehingga mengakibatkan pulpitis akut. Apabila tidak diobati dengan baik, pulpitis dapat menyebabkan infeksi yang menyebar ke luar apeks gigi mengenai ligamen periodontal (harrison, 1995). Salah satu penyebab terjadinya proses inflamasi dikarenakan adanya bakteri yang masuk pada pulpa dan sirkulasi darah (Grossman, 1995). Tubuh manusia telah dilengkapi dengan sistem imun yang memiliki kemampuan berupa sistem pertahanan spesifik dan non spesifik (misalnya fagositosis) yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan limfoid. Masuknya kuman kedalam tubuh seseorang akan mengaktifkan sel neutrofil sebagai usaha pertahanan pertama (Admadi, 2007). Neutrofil merupakan sel pertahanan tubuh non spesifik yang pertama kali mengatasi adanya antigen melalui proses fagositosis yang terdiri dari proses penelanan dan pencernaan mikrorganisme serta toksin setelah berhasil menembus tubuh. Neutrofil bergerak ke seluruh jaringan melalui kemotaksis. Pemanfaatan bahan alam dalam bidang kesehatan telah lama digunakan untuk keperluan preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Perawatan serta pengobatan pilihan dengan menggunakan tanaman obat di Indonesia saat ini lebih digalakkan baik pada bidang kedokteran maupun kedokteran gigi. Indonesia dikenal dengan keanekaragaman hayati, sehingga diperlukan penelusuran lebih mendalam mengenai penggunaaan tanam dalam pengobatan. Sejak dahulu, masyarakat kita percaya bahwa penggunaan bahan alam mampu mengobati berbagai macam penyakit dan jarang menimbulkan efek samping yang merugikan dibanding dengan obat yang terbuat dari bahan sintetis. Saat ini bidang kedokteran gigi sering memanfaatkan bahan alam sebagai material klinis (Purnamasari et al., 2009). Selama ini, masyarakat mengetahui bahwa daun katuk hanya digunakan sebagai sayuran yang memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, dan dipercaya memiliki khasiat untuk melancarkan air susu ibu (ASI). Pemanfaatan daun katuk yang masih terbatas ini sangat disayangkan, karena daun katuk diketahui mengandung berbagai senyawa bermanfaat. Diketahui bahwa minyak atsiri, sterol, saponin, flavonoid, asam-asam amino, alkaloid, dan tanin yang dapat dimanfaatkan sebagai antimikroba alamiah (Khalasa, 2012). Pada penilitian yang dilakukan oleh Khalasa (2012), diketahui bahwa ekstrak etanol daun katuk (Sauropus anrogynus (L). Merr.) efektif sebagai antibakteri terhadap MRSA dan dapat menghambat serta membunuh bakteri secara in vitro. Berdasarkan uraian tersebut, perlu dilakukan