Anda di halaman 1dari 31

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 21 Agustus 1994
Umur : 24 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan
Alamat : Kampung Areman, Cimanggis
Agama : Islam
No RM : 1038xxx
Tanggal masuk : 6 April 2019
Tanggal periksa : 11 April 2019
Ruangan : Cendana 2

1.2 Anamnesis
Dilakukan alloanamnesis dengan Ibu pasien pada tanggal 11 April 2019 pukul
15.00 WIB di Ruang Cendana 2.
Keluhan Utama: Pasien tidak dapat menggerakan kedua kaki sejak kurang lebih
satu minggu yang lalu.
Keluhan Tambahan: Pasien tidak dapat buang air kecil.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki usia 24 tahun datang ke ke IGD RS POLRI karena mengeluh
tidak dapat menggerakan kedua kaki sejak kurang lebih satu minggu yang lalu.
Pasien sama sekali tidak bisa menggeser dan mengangkatkan kaki. Pasien juga
mengeluh sulit buang air kecil sejak satu minggu yang lalu. Riwayat demam
disangkal, riwayat muntah-muntah disangkal pasien juga tidak mengalami
penurunan kesadaran, pasien juga tidak mengalami bicara pelo.

1
Dua minggu SMRS awalnya pasien merasakan lemas di kaki kiri. Awalnya masih
dapat berjalan dan beraktivitas seperti biasa seperti mengendarai motor.
Kemudian lama-kelamaan kaki kiri pasien tidak dapat bergerak. Kemudian kaki
kanan pasien mengalami hal yang sama hingga pasien tidak dapat berjalan. Selain
itu pasien juga mengeluhkan sulit buang air kecil kurang lebih dua minggu
SMRS. Pasien juga mengalami gangguan ereksi.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat hipertensi : Tidak ada
 Riwayat diabetes melitus : Tidak ada
 Riwayat alergi : Tidak ada
 Riwayat trauma : Tidak ada
 Riwayat infeksi : TB paru putus obat

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat hipertensi : Ayah pasien
 Riwayat diabetes melitus : Ayah pasien
 Riwayat alergi : Tidak ada
 Riwayat trauma : Tidak ada

Riwayat Kebiasaan
Pasien terbiasa merokok. Minum minuman beralkohol disangkal.

Riwayat Pengobatan
Pasien sedang menjalani pengobatan TB Paru OAT selama 2 bulan dan
kemudian putus obat.

Riwayat Kelahiran/ Pertumbuhan/ Perkembangan


Pasien lahir normal cukup bulan. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
tidak terhambat, pasien sama dengan teman-teman seusianya.

2
1.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit berat
 Kesadaran : Compos mentis
 BB : 51 kg
 TB : 160 cm
 Gizi : BMI = 19,9  underweight
 Tanda Vital
o Tekanan Darah : 130/90 mmHg
o Nadi : 90 kali/menit
o Pernafasan : 21 kali/menit
o Suhu : 36,2ºC
 Kepala
o Bentuk : Normocephal
o Simetris : Simetris
o Nyeri tekan : Tidak ada
o Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-), pupil bulat isokor 4 mm/4 mm

STATUS NEUROLOGIS
 Kesadaran : Compos mentis, E4M6V5, GCS 15
 Sikap Tubuh : Berbaring
 Cara Berjalan : Tidak dapat dinilai
 Gerakan Abnormal : Tidak ada

TANDA RANGSANG MENINGEAL


 Kaku kuduk : (-)
 Laseque : (-)
 Kerniq : (-)
 Brudzinsky I : (-)

3
 Brudzinsky II : (-)

NERVI CRANIALIS
N I. Olfaktorius
Daya Penghidu : Baik

N II. Optikus
Ketajaman Penglihatan : Baik
Pengenalan Warna : Baik
Lapang Pandang : Baik
Fundus : Baik

N III. Occulomotorius/ N IV. Trochlearis /N VI. Abduscen


Ptosis : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Nistagmus : (-) (-)
Exopthalmus : (-) (-)
Enopthalmus : (-) (-)
Gerakan Bola Mata : Tidak ada kelainan

Pupil
Ukuran : Ǿ4 mm Ǿ4 mm
Bentuk : Bulat Bulat
Iso/anisokor : Isokor
Posisi : Sentral Nasal
Reflek Cahaya Langsung : (+) (+)
Reflek Cahaya Tidak Langsung : (+) (+)

N V. Trigeminus
Menggigit : (-)
Membuka Mulut : Simetris

4
Reflek Masseter : Tidak dilakukan
Reflek Zigomatikus : Tidak dilakukan
Reflek Kornea : Tidak dilakukan
Reflek Bersin : Tidak dilakukan

N VII. Fasialis
Pasif
 Kerutan kulit dahi : Simetris kanan kiri
 Kedipan mata : Simetris kanan kiri
 Lipatan nasolabial : Simetris kanan kiri
 Sudut mulut : Simetris kanan kiri
Aktif
 Mengerutkan dahi : Normal
 Mengerutkan alis : Normal
 Menutup mata : Normal
 Meringis : Normal
 Menggembungkan pipi : Normal
 Gerakan bersiul : Normal
 Daya pengecapan lidah 2/3 depan : Normal
 Hiperlakrimasi : (-)
 Lidah kering : (-)

N VIII. Vestibulocochlearis
Mendengan suara gesekan jari tangan : Tidak dilakukan
Mendengar detik jam arloji : Tidak dilakukan
Tes swabach : Tidak dilakukan
Tes rinne : Tidak dilakukan
Tes webber : Tidak dilakukan

N IX. Glosopharingeus

5
Arcus pharynx : Simetris
Posisi uvula : Ditengah
Daya pengecapan lidah 1/3 belakang : Tidak dapat dinilai

N X. Vagus
Arcus pharynx : Simetris
Bersuara : Normal
Menelan : Normal

N XI. Accesorius
Memalingkan kepala : Normal
Sikap bahu : Normal
Mengangkat bahu : Normal

N XII. Hipoglosus
Menjulurkan lidah : Baik, tidak ada deviasi
Kekuatan lidah : Tidak dapat dinilai
Atrofi lidah : (-)
Artikulasi : Tidak dapat dinilai
Tremor lidah : (-)

SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri
Kekuatan
Ekstremitas atas 5555 5555
Ekstremitas bawah 1111 1111

Ekstermitas atas Normotonus Normotonus


Ekstremitas bawah Hipotonus Hipotonus
Refleks Fisiologis

6
Brachioradialis ++ ++
Biceps ++ ++
Triceps ++ ++
Patella - -
Achilles - -
Refleks Patologis
Hoffmann - -
Tromner - -
Babinski - -
Chaddock - -
Schaefer - -
Gordon - -
Oppenheim - -

Sensorik
Kanan Kiri
Raba halus
Ekstremitas atas Normal Normal
Ekstremitas bawah ↓ ↓
Nyeri
Ekstremitas atas Normal Normal
Ekstremitas bawah ↓ ↓
Suhu
Ekstremitas atas Tidak dilakukan
Ekstremitas bawah Tidak dilakukan
Getar
Ekstremitas atas Tidak dilakukan
Ekstremitas bawah Tidak dilakukan
Proprioseptif
Ekstremitas atas Normal Normal

7
Ekstremitas bawah Tidak normal Tidak normal

Otonom
BAB -
BAK Anuria
Hidrosis Menghilang dibawah T6

Koordinasi
Romberg Tidak dilakukan
Disdiadokokinesis Tidak dilakukan
Tes jari-hidung Tidak dilakukan
Tes tumit-lutut Tidak dilakukan
Rebound phenomenon Tidak dilakukan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium klinik 6 April 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 13,1 13.0 – 16.0 gr/dL
Hematokrit 38* 40-48 %
Leukosit 7.600 5000 – 10.000 /uL
Trombosit 108.000* 150000 – 400000 /uL

Hasil pemeriksaan laboratorium klinik tanggal 7 April 2019


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
KIMIA KLINIK
Liver fungsi test
Protein total 6,8 6,0-8,7 g/dl

8
Albumin 3,8 3,5-5,2 g/dl
Globulin 3,0 2,5-3,1 g/dl
Bilirubin total 0,56 < 1,5 mg/dl
Bilirubin direk 0,25 < 0,5 mg/dl
Bilirubin indirek 0,31 < 1,0 mg/dl
SGOT/AST (37 C) 34,7 < 37 U/L
SGPT/ALT (37 C) 28,8 < 40 U/L
Ureum 18 10-50 mg/dl
Creatinine 0,6 0,5-1,5 mg/dl
Estimasi GFR (CKD-EPI) 140 >= 90 ml/min/1,73 m2
Glukosa darah sewaktu 88 < 200 mg/dl
Elektrolit
*Natrium 136 135-145 mmol/l
*Kalium 3,6 3,5-5,0 mmol/l
*Chlorida 105 98-108 mmol/l

Saran Pemeriksaan
- Cek Sputum BTA, Gen Xpert
- Pungsi lumbal
- MRI

9
FOLLOW UP
Selasa, 9 April 2019

S Pegal di pinggang sampai kaki sejak 1 minggu. Tidak bisa


gerak seluruh kaki, terasa berat. Tidak bisa pipis sejak 1
minggu SMRS.
O - KU: Tampak sakit sedang
- Kesadaran: Compos mentis
- Pupil bulat isokor, diameter 4mm/4mm RCL +/+, RCTL +/+
- Refleks Patologis (+)
- Refleks Fisiologis biceps ++/++ triceps ++/++ patella -/-
achilles -/-
- Kekuatan motorik: 5555|5555
1111|1111
- Refleks dinding perut (-)
- Hipoestesi dan hipohidrosis setinggi Th V1 ke bawah
A Paraparesis UMN
TB paru
Suspek B20
P - Gabapentin 30 g

Rabu, 10 April 2019

S Pasien masih belum bisa menggerakan kaki, malam


sebelumnya demam dengan suhu 39,6 C
O - KU: Tampak sakit sedang
- Kesadaran: Compos mentis
- Pupil bulat isokor, diameter 4mm/4mm RCL +/+, RCTL +/+
- Refleks Patologis (+)

10
- Refleks Fisiologis biceps ++/++ triceps ++/++ patella -/-
achilles -/-
- Kekuatan motorik: 5555|5555
1111|1111
- Refleks dinding perut (-)
- Hipoestesi dan hipohidrosis setinggi Th V1 ke bawah
A - Paraparesis UMN
- TB paru
- Suspek B20
P - Gabapentin 30 g
- Paracetamol 3 x 500 mg

1.5 Resume
Pasien laki-laki, 24 tahun datang ke IGD RS POLRI dengan keluhan tidak dapat
menggerakan kedua kaki sejak kurang lebih satu minggu yang lalu dimulai dari
kaki kiri kemudian diikuti oleh kaki kanan. Pasien tidak dapat berjalan. Pasien
mengalami anuria dan disfungsi ereksi. Riwayat demam, muntah, penurunan
kesadaran, dan gangguan bicara disangkal. Pasien pernah terdiagnosis sebagai
TB paru namun saat ini sudah putus obat. Pada pemeriksaan fisik status
generalis didapatkan KU tampak sakit berat, kesadaran CM, tanda vital: tekanan
darah 130/90 mmHg, nadi 90 kali/menit, pernafasan 21 kali/menit, suhu 36,2C.
Pada status neurologis: GCS 15, pemeriksaan rangsang meningeal tidak
ditemukan adanya kelainan, pupil bulat isokor, diameter 4mm/4mm RCL +/+,
RCTL +/+ Refleks Patologis (-) Refleks Fisiologis biceps ++/++ triceps ++/++
patella -/- achilles -/- Kekuatan motorik: 5555 ekstremitas bawah 1111|1111
Refleks dinding perut (-) Hipoestesi dan hipohidrosis setinggi Th V1 ke bawah.

1.6 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Paraparesis UMN ec. Myelitis
Diagnosis Topis : Lesi setinggi T IV- TV
Diagnosis Etiologi : Suspek M. tuberculosis

11
1.7 Tatalaksana
Medikamentosa
- IVFD RL 500 cc/ 24 jam
- Lanjutkan OAT
- Paracetamol 3 x 500 mg
Nonmedikamentosa
- Kateterisasi urin
- Fisioterapi

1.8 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam

12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Paralisis


Paralisis atau plegia adalah kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada
suatu bagian tubuh akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot; juga secara
analogi, gangguan fungsi sensorik. Paresis merupakan paralisis yang ringan atau
tidak lengkap.1 Plegia pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu:2
- Monoplegia adalah kelemahan berat pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas
bawah. Monoparesis merupakan kelemahan yang lebih ringan pada satu
ekstremitas atas atau bawah.
- Hemiplegia atau hemiparesis adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu
ekstremitas atas dan satu ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
- Paraplegia atau paraparesis adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
Paraplegia inferior adalah paralisis bagian bawah tubuh termasuk tungkai.3
- Quadriplegia atau quadriparesis (juga tetraplegi, tetraparesis) merupakan
kelemahan di semua 4 ekstremitas.
Paraplegi terbagi menjadi tipe spastik (UMN) dan flaksid (LMN). Paraplegi
spastik adalah kekakuan otot dan kejang otot disebabkan oleh kondisi saraf
tertentu. Paraplegi spastik disebabkan oleh spondilitis TB, cedera medulla
spinalis, penyakit genetik (hereditary spastic paraplegia), penyakit autoimun,
syrinx (gangguan pada medulla spinalis), tumor medulla spinalis, mutiple
sclerosis.4 Paraplegi flaksid adalah kelemahan atau kurangnya otot yang tidak
memiliki penyebab yang jelas. Otot lemas sebagian karena kurangnya aktivitas
dalam otot, gerakan sukarela yang sebagian atau seluruhnya hilang. Paraplegi
flaksid termasuk polio, lesi pada neuron motorik yang lebih rendah, Guillain
Barre Syndrome.

2.2 Anatomi
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang
membentuk punggung yang mudah digerakkan. Terdapat 33 tulang punggung

13
pada manusia, 7 tulang servikal, 12 tulang thorax, 5 tulang lumbal, 5 tulang
sakrum, dan 4 tulang membentuk tulang ekor (coccyx). Sebuah tulang punggung
terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau
corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.5

Gambar 1.1 Tulang belakang

Medulla spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum


sampai conus medullaris di level tulang belakang L1-L2. Medulla spinalis
berlanjut menjadi kauda equina (di bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.
Medulla spinalis terdiriatas traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh
menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu, nyeri dan gerak posisi) dan traktus
descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota gerak dan mengontrol
fungsi tubuh). Ketika tulang belakang disusun, foramen ini akan membentuk
saluran sebagai tempat sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Dari otak
medulla spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi oleh
cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medulla spinalis terdiri dari berjuta-juta
saraf yang mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan,
organ tubuh dan kembali ke otak. Otak dan medulla spinalis smerupakan sistem
saraf pusat dan yang mehubungkan saraf-saraf medulla spinalis ketubuh adalah
sistem saraf perifer.5,6

14
Medulla spinalis diperdarahi oleh dua susunan arteri yang mempunyai
hubungan istimewa, yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis
dibagi menjadi arteri spinalis anterior dan posterior yang berasal dari arteri
vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi arteri radikularis posterior
dan anterior yang dikenal juga ramus vertebra medullaris arteria
interkostalis. Medulla spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri
spinalis posterior. Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medulla spinalis
melewati suatu lubang di vertebra yang disebut foramen dan membawa informasi
dari medulla spinalis sampai ke bagian tubuh dan dari tubuh ke otak.5
Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus
spinalis, yaitu:5
a. Nervus servikal: berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher,
dan anggota tubuh bagian atas.
b. Nervus thorakal: mempersarafi tubuh dan perut.
c. Nervus lumbal dan nervus sakral: mempersarafi tungkai, kandung kemih, usus
dan genitalia.

15
Gambar 1.2 Peta dermatomal sistem sensorik saraf

Ujung akhir dari medulla spinalis disebut conus medullaris yang letaknya di
L1 dan L2. Setelah akhir medulla spinalis, nervus spinalis selanjutnya bergabung
membentuk cauda equina.5
Sistem motorik berhubungan dengan sistem neuromuskular terdiri atas Upper
Motor Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron (LMN). Upper Motor Neuron
merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang menyalurkan impuls dan area
motorik di korteks motorik sampai inti-inti motorik di saraf kranial di batang otak
atau kornu anterior medulla spinalis.6
Berdasarkan perbedaan anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam
susunan piramidal dan susunan ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari

16
traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar. Melalui LMN, yang merupakan
kumpulan saraf motorik yang berasal dari batang otak, pesan tersebut dari otak
dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang. Kedua saraf motorik tersebut
mempunyai peranan penting di dalam sistem neuromuskular tubuh. Sistem ini
yang memungkinkan tubuh kita untuk bergerak secara terencana dan terukur.6

1. Upper Motor Neuron


Traktus kortikospinalis berfungsi menyalurkan impuls motorik pada sel-sel
motorik batang otak dan medulla spinalis untuk geraakan-gerakan otot kepala dan
leher. Traktus kortikobulber membentuk traktus piramidalis, mempersarafi sel-sel
motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII & XII, berfungsi untuk
menyalurkan impuls motorik untuk gerak otot tangkas. Dalam klinik gangguan
traktus piramidalis memberikan kelumpuhan tipe UMN berupa paresis/paralisis
spastis disertai dengan tonus meninggi, hiperrefleksi, klonus, refleks patologis
positif, tak ada atrofi.6
Kelainan traktus piramidalis setinggi:
 Hemisfer: memberikan gejala-gejala hemiparesi tipika
 Setinggi batang otak: hemiparesis alternans.
 Setinggi medulla spinalis: tetra/paraparesis.
Rangkaian neuron di korteks selanjutnya membentuk jalan saraf sirkuit meliputi
berbagai inti di subkorteks dan kemudian kembali ke tingkat kortikal.
Terdiri dari:
 Korteks serebri area 4s, 6, 8
 Ganglia basalis antara lain nukleus kaudatus, putamen, globus pallidus,
nukleus Ruber, formasio retikularis, serebellum.
Susunan ekstrapiramidal dengan formasio retukularis:
 Pusat eksitasi/ fasilitasi: mempermudah pengantar impuls ke korteks
maupun kemotor neuron.
 Pusat inhibisi: menghambat aliran impuls ke korteks/motor neuron.
 Pusat kesadaran

17
Susunan ekstrapiramidal berfungsi untuk gerak otot dasar/ gerak otot tonik,
pembagian tonus secara harmonis, mengendalikan aktifitas piramidal.
Gangguan pada susunan ekstrapiramidal:
 Kekakuan/ rigiditas
 Pergerakan-pergerakan involunter : tremor, atetose, khorea, balismus.
2. Lower Motor Neuron
Merupakan neuron yang langsung berhubungan dengan otot, dapat dijumpai pada
batang otak dan kornu anterior medulla spinalis. Gangguan pada LMN
memberikan kelumpuhan tipe LMN yaitu paresis yang sifatnya flaccid, arefleksi,
tak ada refleks patologis, atrofi cepat terjadi.2
3. Susunan Somestesia
Perasaan yang dirasa oleh bagian tubuh baik dari kulit, jaringan ikat, tulang
maupun otot dikenal sebagai somestesia.2 Terdiri dari:
 Perasaan eksteroseptif dalam bentuk rasa nyeri, rasa suhu dan rasa raba.
 Perasaan proprioseptif: disadari sebagai rasa nyeri dalam, rasa getar, rasa
tekan, rasa gerak dan rasa sikap
 Perasaan luhur: diskriminatif & dimensional

Menentukan tinggi lesi medulla spinalis berdasarkan


a. Gangguan Motorik
Biasanya timbul kelumpuhan yang sifatnya paraparesis/tetraparesis
- Paraparesis UMN: lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medulla spinalis
lumbosakral (L2-S2).
- Paraparesis LMN: lesi setinggi segmen medulla spinalis L2-S2 atau lesi
infranuklear.
- Tetraparesis UMN: lesi terdapat supranuklear terhadap segmen medullaspinalis
servikal IV.
- Tetraparesis: ekstremitas superior LMN, ekst. Inferior UMN

b. Gangguan Sensibilitas
- Gangguan rasa eksteroseptif

18
- Gangguan rasa proprioseptif
Gangguan sensibilitas segmental:
o Lipatan paha: lesi medulla spinalis L1
o Pusat: lesi medulla spinalis thorakal 10
o Papila mammae: lesi medulla spinalis thoracal 4
o Saddle Anestesia: lesi pada konus
Gangguan sensibilitas radikuler:
o Gangguan sensibilitas sesuai dengan radiks post.
Gangguan sensibilitas perifer:
o Glove/stocking anesthesia

c. Gangguan Susunan Saraf Otonom


o Produksi keringat
o Bladder: berupa inkontinensia urin atau uninhibited bladder.
 Autonomic bladder/ spastic bladder → lesi medulla spinalis
supranuklear terhadap segmen sakral.
 Flaccid bladder/ overflow incontinence → lesi pada sakral
medulla spinalis.

2.3 Definisi Myelitis


Myelitis adalah kelainan neurologi pada medulla spinalis (myelopati) yang
disebabkan oleh proses inflamasi (NINDS 2012). Serangan inflamasi pada
medulla spinalis dapat merusak atau menghancurkan mielin yang merupakan
selubung serabut sel saraf. Kerusakan ini menyebabkan jaringan parut pada sistem
saraf yang menganggu hubungan antara saraf pada medulla spinalis dan tubuh.
Beberapa literatur sering menyebutnya sebagai myelitis transverse atau myelitis
transverse akut.7,8 Menurut kamus kedokteran Dorland 2007, myelitis adalah
proses inflamasi pada medulla spinalis.2

19
2.4 Epidemiologi
Insiden ATM (Acute Tranverse Myelitis) dari seluruh usia anak hingga
dewasa dilaporkan sebanyak 1-8 juta orang di Amerika Serikat, sekitar 1400
kasus baru ATM per tahun yang didiagnosis di Amerika Serikat. Sebanyak 34000
orang dewasa dan anak-anak menderita gejala sisa ATM berupa cacat sekunder.
Sekitar 20 % dari ATM terjadi pada anak-anak.9
ATM dapat diderita oleh orang dewasa dan anak–anak baik pada semua jenis
kelamin maupun ras. ATM memiliki puncak insidensi yang berbeda yaitu umur:
10-19 dan 30-39 tahun. Ini menunjukkan tidak ada faktor predileksi seperti: ras,
familial atau jenis kelamin pada kasus ATM. Sehingga antara laki-laki dan
perempuan mempunyai probabilitas yang sama untuk menderita ATM. Insiden
meningkat menjadi 24,6 juta kasus per tahun jika didapatkan penyebab
demielinasi yang berhubungan dengan myelitis, terutama multipel sclerosis.10
ATM mungkin timbul dari berbagai penyebab, tetapi paling sering terjadi
sebagai fenomena autoimun setelah infeksi atau vaksinasi (jumlah 60% kasus
pada anak-anak) atau karena infeksi langsung, penyakit dasar seperti autoimun
sistemik, atau diperoleh penyakit demielinasi seperti multipel sklerosis atau
spektrum dari gangguan yang berhubungan dengan neuromyelitis optik.10

2.5 Etiologi
ATM terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi langsung oleh virus,
bakteri, jamur, maupun parasit, human immunodeficiency virus (HIV), varicella
zoster, cytomegalovirus, dan TBC. Namun juga dapat disebabkan oleh proses non
– infeksi atau melalui jalur inflamasi. ATM sering terjadi setelah infeksi atau
setelah vaksinasi. ATM dapat juga terjadi sebagai komplikasi dari syphilis,
campak, penyakit lyme, dan beberapa vaksinasi seperti chikenpox dan rabies.7
Faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan kejadian ATM adalah
penyakit autoimmune sistemik (SLE, multiple sklerosis, Sjogren’s syndrome),
sindrom paraneoplastik, penyakit vaskuler, iskemik sumsum tulang belakang

20
meskipun tidak jarang tidak ditemukannya faktor penyebab ATM sehingga
disebut sebagai “idiopatik”.9

2.6 Klasifikasi
2.6.1 Menurut Onset
Menurut Sema et.al. (2007) perjalanan klinis antara onset hingga munculnya
gejala klinis myelitis dibedakan atas:11
Gejala berkembang cepat dan mencapai puncaknya dalam waktu beberapa hari.
1. Sub Akut.
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2 minggu.
Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 2 minggu.

2.6.2 Menurut NINDS


Adapun beberapa jenis dari myelitis menurut NINDS 2012:7,8
1. Myelitis yang disebabkan oleh virus.
2. Poliomyelitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus
3. Herpes zoster.
4. Virus B2.
5. Myelitis yang merupakan akibat sekunder dari penyakit pada meningens
dan medulla spinal.
1. Myelitis sifilitika
2. Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)
3. Meningomyelitis kronik
4. Myelitis piogenik atau supurativa
5. Meningomyelitis subakut
6. Myelitis tuberkulosa
7. Meningomyelitis tuberkulosa
8. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural,
meningitis lokalisata atau meningomyelitis dan abses.
6. Myelitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui.
1. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi.

21
2. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik
3. Degeneratif atau nekrotik
2.6.3 Menurut Lokasi dan Distribusi Myelitis
1. Myelitis transversa apabila mengenai seluruh potongan melintang medulla
spinalis
2. Poliomyelitis apabila mengenai substansia grisea
3. Leukomyelitis apabila mengenai substansia alba
Istilah mielopati digunakan bagi proses non inflamasi medulla spinalis misalnya
yang disebabkan proses toksis, nutrisi, metabolik dan nekrosis11

2.7 Patofisiologi
Hingga saat ini, para peneliti tidak dapat menentukan secara pasti penyebab
ATM. Satu teori utama yang menyebabkan ATM adalah imun memediasi
inflamasi sebagai hasil akibat terpapar dengan antigen viral.2
Pada kasus ATM post infeksi, mekanisme sistem immun baik pada viral atau
infeksi bakteri tampaknya berperan penting dalam menyebabkan kerusakan saraf
spinal. Walaupun peneliti belum mengetahui secara tepat mekanisme kerusakan
saraf spinal. Rangsangan sistem immun sebagai respon terhadap infeksi
menunjukkan bahwa suatu reaksi autoimun yang bertanggung jawab. Molekuler
mimikri dari viral dapat menstimulasi generasi antibodi yang dapat memberikan
reaksi silang dengan antigennya sendiri, menghasilkan formasi imun kompleks
dan aktivasi dari complement-mediated atau cellmediated yang dapat
menimbulkan injury terhadap jaringannya sendiri. Infeksi juga dapat
menyebabkan kerusakan langsung jaringan saraf tulang belakang2,11
Pada penyakit autoimun, sistem imun yang secara normal melindungi tubuh
terhadap organisme, melakukan kesalahan dengan menyerang jaringan tubuh
sendiri yang menyebabkan inflamsi dan pada beberapa kasus merusak mielin
medulla spinalis. ATM juga terdapat pada beberapa penyakit autoimun seperti
systemic lupus erythematosus, Sindrom Sjogren’s, dan sarcoidosis.11
Beberapa kasus ATM disebabkan oleh malformasi arteri-vena spinalis
(kelainan yang merubah aliran darah) atau penyakit vaskuler seperti

22
atherosklerosis yang menyebabkan iskemik. Sehingga menurunkan kadar oksigen
pada jaringan medulla spinalis. Iskemik dapat disebabkan perdarahan
(hemorragik) dalam medulla spinalis, pembuluh darah yang menyumbat atau
sempit, atau faktor lainnya. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke
jaringan medulla spinalis dan membuang hasil metabolisme. Saat pembuluh darah
tersumbat atau menyempit dan tidak dapat membawa sejumlah oksigen ke
jaringan medulla spinalis. Saat area medulla spinalis menjadi kekurangan oksigen
atau iskemik. Sel dan serabut saraf mulai mengalami perburukan secara cepat.
Kerusakan ini menyebabkan inflamasi yang luas kadang-kadang menyebabkan
ATM.11
Ketika TM timbul tanpa penyakit penyerta yang tampak, hal ini diasumsikan
untuk menjadi idiopatik. TM idiopatik diasumsikan untuk sebagai hasil dari
aktivasi abnormal sistem imun melawan medulla spinalis. Makroskopis pada
medulla spinalis yang mengalami peradangan akan tampak edema, hiperemi dan
pada kasus berat terjadi perlunakan (mielomalasia).2
Mikroskopis akan tampak pada leptomening tampak edema, pembuluh –
pembuluh darah yang melebar dengan infiltrasi perivaskuler dan pada medulla
spinalis tampak pembuluh darah yang melebar dengan infiltrasi perivaskuler
(limfosit/leukosit) di substansia grisea dan alba. Tampak pula kelainan degeneratif
pada sel – sel ganglia, pada akson – akson dan pada selubung mielin, disamping
itu tampak adanya hiperplasia dari mikroglia. Traktus – traktus panjang disebelah
atas atau bawah daripada segemen yang sakit dapat memperlihatkan kelainan–
kelainan degeneratif.2

2.8 Manifestasi klinis ATM


Medulla spinalis adalah struktur yang relatif sempit di mana traktus motorik,
sensorik, dan otonom berada saling berdekatan. Oleh karena itu, lesi di medulla
spinalis dapat memiliki efek dalam semua modalitas ini. Namun, efek tersebut
tidak selalu seragam dimana tingkat keparahan atau simetris di seluruh modalitas
berbeda. Pemeriksaan klinis dengan fokus pada penyelidikan untuk sensorik
tulang belakang dan tingkat motorik, akan membantu dalam lokalisasi lesi.2

23
ATM terjadi secara akut (terjadi dalam beberapa jam sampai beberapa hari)
atau subakut (terjadi dalam satu atau dua minggu). Gejala umum yang muncul
melibatkan gejala motorik, sensorik dan otonom. Beberapa penderita juga
melaporkan mengalami spasme otot, gelisah, sakit kepala, demam, dan hilangnya
selera.2
Dari beberapa gejala, muncul empat gejala klasik ATM yaitu kelemahan otot
atau paralisis kedua lengan atau kaki, nyeri, kehilangan rasa pada kaki dan jari –
jari kaki, disfungsi kandung kemih dan buang air besar.
Gejala sensorik pada ATM:2,7
1) Nyeri adalah gejala utama pada kira-kira sepertiga hingga setengah dari semua
penderita ATM. Nyeri terlokalisir di pinggang atau perasaan yang menetap seperti
tertusuk atau tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau badan.
2) Gejala lainnya berupa parastesia yang mendadak (perasaan yang abnormal
seperti terbakar, gatal, tertusuk, atau perasaan geli) di kaki, hilangnya sensorik.
Penderita juga mengalami gangguan sensorik seperti kebas, perasaan geli,
kedinginan atau perasaan terbakar. Hampir 80 % penderita ATM mengalami
kepekaan yang tinggi terhadap sentuhan misalnya pada saat perpakaian atau
sentuhan ringan dengan jari menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri
(allodinia). Beberapa penderita juga mengalami kepekaan yang tinggi terhadap
perubahan temperatur atau suhu panas atau dingin.
Gejala motorik pada ATM: beberapa penderita mengalami tingkatan
kelemahan yang bervariasi pada kaki dan lengan. Pada awalnya penderita dengan
ATM terlihat bahwa mereka terasa berat atau menyerat salah satu kakinya atau
lengan mereka karena terasa lebih berat dari normal. Kekuatan otot dapat
mengalami penurunan. Beberapa minggu penyakit tersebut secara progresif
berkembang menjadi kelemahan kaki secara menyeluruh, akhirnya menuntut
penderita untuk menggunakan suatu kursi roda. Terjadi paraparesis (kelemahan
pada sebagian kaki). Paraparesis sering menjadi paraplegia (kelemahan pada
kedua kaki dan pungung bagian bawah).7,10
Gejala otonom pada ATM berupa gangguan fungsi kandung kemih seperti
retensi urin dan buang air besar hingga gangguan pasase usus dan disfungsi

24
seksual sering terjadi. Tergantung pada segmen medulla spinalis yang terlibat,
beberapa penderita mengalami masalah dengan sistem respiratori. Pemulihan
dapat tidak terjadi, sebagian atau komplit dan secara umum dimulai dalam satu
sampai tiga bulan. Dan pemulihan tampaknya tidak akan terjadi, jika tidak ada
perkembangan dalam tiga bulan. ATM biasanya adalah penyakit monofasik dan
jarang rekuren.10

2.9 Diagnosis
ATM memiliki diagnosis diferensial yang luas. Riwayat medis, tinjauan
sistem medis, sosial serta riwayat perjalanan, dan pemeriksaan fisik secara umum
dapat memberikan petunjuk saat itu terhadap kemungkinan infeksi maupun
penyebab paraneoplastik, serta penyebab terkait dengan inflamasi sistemik atau
penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik, Sindrom Sjögren, dan
sarkoidosis.10
Dari anamnesis didapatkan riwayat kelemahan motorik berupa kelemahan
pada tubuh seperti paresis pada kedua tungkai yang terdai secara progesif dalam
beberapa minggu. Kelainan fungsi sensorik berupa rasa nyeri terutama di daerah
pinggang, lalu perasaan kebas atau seperti terbakar yang terjadi secara mendadak
pada tangan maupun kaki. Lalu kelainan fungsi otonom seperti retensi urin,
urinary urgency maupun konstipasi. Kelainan neurologis berupa defisit motorik,
sensorik dan otonom adalah suatu titik terang untuk diagnosis mielopati. Gejala
dan tanda-tanda myelitis biasanya berkembang selama jam sampai hari dan
biasanya bilateral, namun unilateral atau nyata presentasi asimetris dapat terjadi.2,5
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis ATM berupa MRI dan pungsi
lumbal. MRI direkomendasikan untuk menyingkirkan adanya lesi struktural,
terutama yang setuju untuk intervensi bedah saraf mendesak. Seluruh saraf tulang
belakang harus dicitrakan sehingga hasil negatif dapat dihindari.8, 10
Langkah pertama dalam evaluasi diagnostik ATM untuk menyingkirkan lesi
akibat compression (penekanan). Jika dicurigai mielopati, MRI spinal cord harus
diperoleh sesegera mungkin dengan pemakain kontras godalinium. Jika tidak ada
lesi struktural seperti massa tulang belakang atau spondylolisthesis, maka langkah

25
kedua adalah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya peradangan saraf tulang
belakang dengan pungsi lumbal. Tidak adanya pleositosis akan mengarah pada
pertimbangan penyebab peradangan dari mielopati seperti arteriovenous
malformation (AVM), emboli fibrocartilaginous, radiasi. Pungsi lumbal dengan
pengambilan sampel cairan cerebrospinal (CSF) untuk menentukan adanya
peradangan. Analisis isi seluler CSF akan menentukan jumlah sel darah putih
yang dapat terakumulasi dalam cairan, yang nantinya dapat berfungsi sebagai
indikator dari besarnya peradangan.8,10
Selain neuroimaging dari spinal cord dan laboratorium CSF, darah/ tes serologi
sering membantu dalam mengesampingkan adanya gangguan sistemik seperti
penyakit rematologi (misalnya, penyakit Sjogren atau lupus eritematosa sistemik
), gangguan metabolisme. Tes laboratorium seperti indeks IgG, vPCR virus,
antibodi lyme dan mikoplasma, dan VDRL terjadinya myelitis setelah infeksi atau
vaksinasi tidak menghalangi kebutuhan untuk evaluasi lebih lanjut dalam
menentukan etiologinya seperti infeksi sifilis, HIV, campak, rubella dan lainnya,
karena infeksi atau imunisasi juga dapat memicu serangan myelitis.8, 10

2.10 Tatalaksana
Tujuan terapi selama fase akut myelitis adalah untuk menghambat progresivitas
dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat
perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-
70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis
tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan
kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien myelitis episode
ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH,
biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya s
edang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas
defesit neurologik.
Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat
badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan
dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan

26
metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit.
Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua
kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20
unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid,
penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin
150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral.
Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastro
intestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan
gangguan elektrolit.
Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon
denganpemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati,
trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan
infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini. Plasmapharesis berguna pada
pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan,
tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami
perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis.
Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-
acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan
berulang. Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus
diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per
hari diperlukan.

2.11 Prognosis
Masa penyembuhan pada myelitis transversa biasanya dimulai sejak 2-12 minggu
setelah muncul gejala dan dapat berlangsung sampai dengan 2 tahun.
Bagaimanapun, jika tidak ada perkembangan pada 3-6 bulan pengobatan, sangat
kecil kemungkinan untuk sembuh. Sepertiga pasien dengan myelitis transversa
memiliki respon yang baik terhadap pengobatan serta dapat sembuh sepenuhnya.
Sepertiga lainnya dapat memberikan respon terhadap pengobatan namun
mengalami gejala sisa seperti kesulitan berjalan, gangguan sensori dan gangguan
berkemih. Sepertiga lainnya sama sekali tidak dapat sembuh, harus menggunakan

27
kursi roda dan mungkin mengalami ketergantungan terhadap fungsi dasar
kehidupan sehari-harinya.

28
BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Pada kasus ini telah diperiksa seorang laki-laki berusia 24 tahun yang
mengeluh tidak dapat menggerakan kedua kaki sejak kurang lebih satu minggu
yang lalu. Kelemahan otot pada pasien ini disebut sebagai paraparesis UMN.
Pasien juga mengeluh sulit buang air kecil sejak satu minggu yang lalu dan
gangguan ereksi yang merupakan gangguan pada susunan saraf otonom. Riwayat
demam disangkal pada saat awal berobat.
Riwayat muntah-muntah dan penurunan kesadaran disangkal sehingga
menyingkirkan kemungkinan peningkatan tekanan intrakranial. Pasien juga tidak
mengalami bicara pelo sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan diagnosis
stroke. Pasien mempunyai riwayat penyakit TB paru yang telah putus obat
sehingga memungkinkan terjadi metastasis infeksi TB ke medulla spinalis yang
menyebabkan myelitis pada pasien ini.
Pada pemeriksaan fisik perawatan hari ke 6, dalam pemeriksaan status
generalis didapatkan pasien tampak sakit berat, status gizi dibawah normal, dan
tanda-tanda vital dalam batas normal. Pada status neurologis kesadaran compos
mentis, sikap tubuh berbaring karena paraparesis pada kedua ekstremitas bawah.
Pemeriksaan tanda rangsang meningeal negatif sehingga menyingkirkan
kemungkinan meningitis.
Pada pemeriksaan motorik ditemukan kelainan pada ekstremitas bawah yaitu
otot mengalami hipotonus dan penilaian kekuatan otot yaitu 1111/1111. Refleks
fisiologis ekstremitas bawah didapatkan --/-- dan pada pemeriksaan refleks
patologis tidak didapatkan refleks. Pasien ini mengalami lesi UMN akut pada fase
syok ditandai dengan menurun/ hilangnya refleks dan hipotonus.
Pada pemeriksaan sensorik didapatkan penurunan fungsi raba halus dan nyeri
pada eksremitas bawah sebagai bukti bahwa pasien mengalami gangguan
sensibilitas perifer yang menandakan terdapat lesi pada medulla spinalis.
Pada pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan fungsi hati tidak didapatkan
kelainan sehingga menyingkirkan etiologi myelitis dari faktor metabolik.

29
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini mengalami paraparesis
UMN setinggi TIV et causa myelitis suspek infeksi M. tuberculosis.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland, W.A Newman. 2011. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 32.


Jakarta: EGC.
2. Aminorf, J.M., Greenberg, A.D., and Simon, P.R., 2015. Clinical
Neurology. Edisi 9. USA:Lange Medical Books/McGraw-Hill.p 155-157
3. Diana Kohnle. 2011. Paraplegia. Keck Medical Center of University Of
Sourthern California. Diakses dari https://keck.usc.edu/ diakses April 2019.
4. Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2014. Principles of Neurology.
Edisi 10. NewYork: McGraw-Hill. p 50-52; 1049-1092
5. R. Putz, R. Pabst. 2012. Sobotta's Atlas Anatomy. Edisi 15. Jilid 2.
Canada: Elsevier.
6. Sherwood L. 2014. Human physiology from cells to system. Edisi ke-9.
Canada: ThomsonBrooks/ Cole;.p. 77-211.
7. National Institut of neurological disorder and stroke, myelitis transversa
dalam www.ninds.nih.gov/disorder/trasversemyeilitis diskses April 2019
8. Timothy W West. Transverse Myelitis-A Review Of The Presentation,
Diagnosis And Initial Management. 2013.
9. Varina L. Wolf, Pamela J. Lupo and Timothy E. Lotze. Pediatric Acute
Transverse Myelitis Overview and Differential Diagnosis. J Child
Neurol. 2012; 27: 1426.
10. Elliot M. Frohman and Dean M. Wingerchuk. Transverse Myelitis. N Engl
J Med. 2010: 363;6
11. Douglas Kerr. The history of TM: The Origins Of The Name And The
Identification Of The Disease. The transverse myelitis association. 2013.

31

Anda mungkin juga menyukai