Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN EVOLUSI

MUSEUM PURBAKALA SANGIRAN

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Evolusi


Dosen pengampu: Drs. Bambang Priyono, M.Si dan Dr. Margareta
Rahayuningsih, M.Si

Oleh :
1. Faizatin Qisthi Maula 4401412045
2. Yulia Hafsah Wulandari 4401412057
3. Susi Widiyanti 4401412059
4. Annastalia Budi Listiyarin 4401412086

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sangiran adalah sebuah daerah pedalaman yang terletak di kaki Gunung Lawu,
tepatnya di depresi Solo sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo dan secara
administratif terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di Kabupaten
Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya 56 km2 yang mencakup tiga
kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong,
Kecamatan Plupuh, dan Kecamatan Gondangrejo di Karanganyar. Secara astronomi
terletak pada 7°25’ - 7°30’ LS dan 4° - 7°05’ BT (Museum Indonesia, 2009).
Kawasan ini menyimpan banyak sekali misteri yang sangat menarik untuk
diungkap. Informasi yang terkandung di balik kebisuan bukit-bukit di Sangiran
sangatlah penting untuk dunia ilmu pengetahuan. Hal ini dikarenakan pada situs
tersebut banyak ditemukan sisa-sisa kehidupan masa lampau yang sangat menarik
untuk dicermati dan dipelajari. Kehidupan dari 2 juta tahun yang lalu dapat kita baca
di berbagai sudut kawasan. Hal yang paling menakjubkan, kita bisa mendapatkan
informasi yang lengkap dari sejarah kehidupan manusia purba dengan segala hal yang
ada di sekelilingnya, baik itu mengenai habitat, pola kehidupannya, binatang-binatang
yang hidup bersamanya dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak
kurang dari 2 juta tahun yang lalu (Sragen Tourism).
Hal yang sangat menarik adalah berdasarkan penelitian bahwa manusia purba jenis
Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran sekitar lebih dari 100 individu yang
mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1 juta tahun. Dan ternyata jumlah ini
mewakili 65% dari jumlah seluruh fosil manusia purba yang pernaha ditemukan di
wilayah Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan di
dunia (National Geographic Indonesia, 2013). Suatu angka yang luar biasa di mana
tergambar Sangiran merupakan lokasi situs yang paling banyak mengandung fosil
manusia purba. Bisa dibayangkan betapa hal ini merupakan suatu keistimewaan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Namun tidak hanya itu, kandungan peralatan batu yang
pernah digunakan oleh manusia purba itu pun sangat banyak, sehingga kita bisa secara
jelas mengetahui ataupun mengungkap kehidupan manusia purba beserta budaya yang
dikembangkan (Sragen Tourism).
Dari hasil penelitian para ahli diperoleh gambaran bahwa Sangiran awalnya
merupakan bukit yang dikenal dengan sebutan KUBAH SANGIRAN dan kemudian
tererosi pada bagian puncaknya sehingga membentuk sebuah depresi akibat adanya
pergerakan dari aliran sungai. Pada depresi tersebut tersingkaplah lapisan-lapisan tanah
secara alamiah. Lapisan-lapisan tanah tanah tersebut yang memberikan informasi yang
sangat lengkap tentang kehidupan masa lampau dengan banyaknya kandungan fosil
yang mulai terungkap. Mulai dari fosil manusia purba beserta peralatannya, hewan-
hewan purba, mapun tumbuh-tumbuhan yang hidup pada masa itu. Secara stratigrafis
situs ini merupakan situs manusia purba terlengkap di Asia yang kehidupannya dapat
dilihat secara berurutan dan tanpa terputus sejak 2 tahun yang lalu hingga sekitar
200.000 tahun yang lalu yaitu sejak kala Pliosen akhir hingga akhir Pleistosen Tengah
(Sragen Tourism).
Potensi dan keadaan nyata dari situs Sangiran inilah yang mendukung ilmu
pengetahuan tentang evolusi. Di mana wawasan dunia tersebut sejatinya sangat
diperlukan dan butuh digali sedalam-dalamnya guna menambah khazanah keilmuan
kita. Berkaitan dengan mata kuliah Evolusi yang diterapkan pada mahasiswa jurusan
Biologi, FMIPA, Unnes dan dalam rangka menilik langsung serta meningkatkan
pemahaman materi dengan pembelajaran bermakna, maka dilaksanakanlah kegiatan
praktikum lapangan Evolusi di Museum Purbakala Sangiran pada tanggal 6 Juni 2015.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah Sangiran hingga menjadi situs Sangiran yang mengungkap
evolusi?
2. Bagaimana bukti evolusi manusia di Sangiran?
3. Bagaimana bukti evolusi Gajah di Sangiran?
4. Apa saja fosil yang ditemukan di Sangiran?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami sejarah Sangiran hingga menjadi situs Sangiran yang
mengungkap evolusi?
2. Mengetahui dan memahami bukti evolusi manusia di Sangiran?
3. Mengetahui dan memahami bukti evolusi Gajah di Sangiran?
4. Mengetahui macam-macam fosil yang ditemukan di Sangiran?

D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat bagi penulis
 Bangga menjadi warga Negara Indonesia
 Menambah wawasan dan pengetahuan sejarah mengenai peradaban
manusia purba di Indonesia
2. Manfaat bagi penulis lain
 Sebagai referensi pada penulisan selanjutnya
 Menjadikan sebagai tinjauan pustaka dari penulis lain
3. Manfaat bagi pembaca
 Menambah ilmu pengetahuan pembaca mengenai sejarah museum purba di
Indonesia
 Menjadikan situs Sangiran sebagai salah satu target wisata
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah terbentuknya Museum Purbakala Sangiran


Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa,
Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15 km
(tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen). Gapura Situs Sangiran berada
di jalur jalan raya Solo–Purwodadi dekat perbatasan antara Gemolong dan Kalioso
(Kabupaten Karanganyar). Gapura ini dapat dijadikan penanda untuk menuju Situs
Sangiran, Desa Krikilan. Jarak dari gapura situs Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5
km.

Gambar. Peta lokasi Sangiran

Situs Sangiran memunyai luas sekitar 59, 2 km² (SK Mendikbud 070/1997)
secara administratif termasuk kedalam dua wilayah pemerintahan, yaitu: Kabupaten
Sragen (Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh) dan
Kabupaten Karanganyar (Kecamatan Gondangrejo), Provinsi Jawa Tengah (Widianto
& Simanjuntak, 2009). Pada tahun 1977 Sangiran ditetapkan oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Indonesia sebagai cagar budaya. Oleh karena itu, dalam sidangnya
yang ke 20 Komisi Warisan Budaya Dunia di Kota Marida, Mexico tanggal 5
Desember 1996, menetapkan Sangiran sebagai salah satu Warisan Budaya Dunia
“World Heritage List” Nomor : 593. Dengan demikian pada tahun tersebut situs ini
terdaftar dalam Situs Warisan Dunia UNESCO.
Pada awalnya Sangiran adalah sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran.
Puncak kubah ini kemudian melalui proses erosi sehingga membentuk depresi. Pada
depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung informasi tentang
kehidupan di masa lampau. Museum Sangiran beserta situs arkeologinya, selain
menjadi obyek wisata yang menarik juga merupakan arena penelitian tentang
kehidupan pra sejarah terpenting dan terlengkap di Asia, bahkan dunia.
Di museum dan situs Sangiran dapat diperoleh informasi lengkap tentang pola
kehidupan manusia purba di Jawa yang menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan
seperti Antropologi, Arkeologi, Geologi, Paleoanthropologi. Di lokasi situs Sangiran
ini pula, untuk pertama kalinya ditemukan fosil rahang bawah Pithecantropus erectus
(salah satu spesies dalam taxon Homo erectus) oleh arkeolog Jerman, Profesor Von
Koenigswald. Di area situs Sangiran ini pula jejak tinggalan berumur 2 juta tahun
hingga 200.000 tahun masih dapat ditemukan hingga kini. Relatif utuh pula. Sehingga
para ahli dapat merangkai sebuah benang merah sebuah sejarah yang pernah terjadi di
Sangiran secara berurutan (National Geographic Indonesia, 2013).
Bentang lahan situs tersebut meliputi areal seluas ± 48 km2 yang berbentuk
seolah seperti kubah (dome), sehingga situs tersebut dinamakan dengan Sangiran
Dome. Situs Sangiran merupakan salah satu situs manusia purba yang sangat berperan
penting dalam perkembangan penelitian di bidang palaeoanthropology di Indonesia.
Pada tahun 1934 penelitian yang dilakukan oleh G.H.R. von Koenigswald yang
menemukan beberapa alat sepih yang terbuat dari batu kalsedon di atas bukit Ngebung,
arah Baratlaut Sangiran Dome.
Berdasarkan penelitian geologis, situs Sangiran merupakan kawasan yang
tersingkap lapisan tanahnya akibat proses orogenesa (pengangkatan dan penurunan
permukaan tanah) dan kekuatan getaran di bawah permukaan bumi (endogen) maupun
di atas permukaan bumi (eksogen). Aliran Sungai Cemoro yang melintasi wilayah
tersebut juga mengakibatkan terkikisnya kubah Sangiran menjadi lembah yang besar
yang dikelilingi oleh tebing-tebing terjal dan pinggiran-pinggiran yang landai.
Beberapa aktifitas alam di atas mengakibatkan tersingkapnya lapisan tanah/formasi
periode pleistocen yang susunannya terbentuk pada tingkat-tingkat pleistocen bawah
(lapisan Pucangan), pleistocen tengah (lapisan Kabuh), dan pleistocen atas (lapisan
Notopuro). Fosil-fosil manusia purba yang ditemukan di laipsan-lapisan tersebut
berasosiasi dengan fosil-fosil fauna yang setara dengan lapisan Jetis, lapisan Trinil, dan
lapisan Ngandong.
Diperkirakan situs Sangiran pada masa lampu merupakan kawasan subur
tempat sumber makanan bagi ekosistem kehidupan. Keberadaanya di wilayah
katulistiwa, pada jaman fluktuasi jaman glassial-interglassial menjadi tempat tujuan
migrasi manusia purba untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dengan demikian
kawasan sangiran pada kala pleistocen menjadi tempat hunian dan ruang subsistensi
bagi manusia pada masa itu.
Tempat-tempat terbuka seperti padang rumput, semak belukar, hutan kecil
dekat sungai atau danau menjadi pilihan sebagai tempat hunian manusia pada kala
pleistocen. Mereka membuat pangkalan (station) dalam aktifitas perburuan untuk
m,endapatkan sumber kebutuhan hidupnya. Pilihan situs Sangiran dome sebagai
pangkalan aktifitas perburuan mengingatkan kita dengan living floor (lantai hidup) atau
old camp site di lembah Olduvai, Tanzania (Afrika). Indikasi suatu situs sebagai tempat
hunian dan ruang subsistensi adalah temuan fosil manusia purba, fauna, dan artefak
perkakas yang ditemukan saling berasosiasi.
Secara geo-stratigrafis, Situs Sangiran yang posisinya berada pada depresi Solo
di kaki Gunung Lawu ini dahulu merupakan suatu kubah (dome) yang tererosi di
bagian puncaknya sehingga menyebabkan terjadinya reverse (kenampakan terbalik).
Kondisi deformasi geologis seperti ini kemudian semakin diperjelas oleh aliran Kali
Brangkal, Cemoro dan Pohjajar (anak-anak cabang Bengawan Solo) yang mengikis
situs ini mulai di bagian utara, tengah dan selatan. Akibat dari kikisan aliran sungai
tersebut maka menyebabkan lapisan-lapisan tanah tersingkap secara alamiah dan
memperlihatkan berbagai jejak fosil (manusia purba dan hewan vertebrata) (Widianto
& Simanjuntak, 2009).
Sejarah atau riwayat penelitian di Situs Sangiran bermula dari laporan GHR.
Von Koenigswald yang menemukan sejumlah alat serpih dari bahan batuan jaspis dan
kalsedon di sekitar bukit Ngebung pada tahun 1934 (Koenigswald, 1936). Temuan alat-
alat serpih yang kemudian terkenal dengan istilah ‘Sangiran Flakes-industry’ tersebut
diperkirakan berasal dari lapisan (seri) Kabuh Atas yang berusia Plestosen Tengah.
Namun hasil pertanggalan tersebut banyak dikritik oleh para ahli (de Terra, 1943;
Heekeren, 1972) karena temuan tersebut dihubungkan dengan konteks Fauna Trinil
yang tidak autochton (Bartstra dan Basoeki, 1984: 1989) atau bukan dari hasil
pengendapan primer (Bemellen, 1949).
Penelitian di situs ini menjadi semakin menarik dan berkelanjutan ketika pada
tahun 1936 ditemukan fragmen fosil rahang bawah (mandibula) manusia purba Homo
erectus yang kemudian disusul oleh temuan fosil-fosil lainnya. Setelah masa pasca
Koenigswald atau pada sekitar tahun 1960-an, penelitian terhadap fosil-fosil hominid
dan paleotologis di situs ini kemudian diambil alih oleh para peneliti dari Indonesia
(antara lain T. Jacob dan S. Sartono) serta terus berkelanjutan sampai sekarang.
Penelitian yang sangat ‘spektakuler’ terjadi ketika Puslit Arkenas melakukan
kerjasama penelitian dengan Museum National d’Histoire Naturelle (MNHN), Perancis
melalui ekskavasi besar-besaran selama 5 tahap (tahun 1989 – 1993) di bukit Ngebung
yang menghasilkan sejumlah temuan secara ‘insitu’ dan pertanggalan absolut yang
sangat menarik. Penelitian Situs Sangiran semakin berkembang pesat dalam dekade
lima tahun belakangan ini setelah Balar Yogya ikut berpartisipasi langsung dan
melakukan program-program penelitian secara intensif dan terpadu (Widianto 1997;
Jatmiko, 2001).

B. Keadaan geo-stratigrafi dan pertanggalan manusia purba Homo erectus


Sangiran adalah sebuah situs paleontologis yang terlengkap di Indonesia dan
cukup terkemuka di dunia. Keberadaan situs ini secara resmi telah diakui oleh
UNESCO sebagai salah satu situs warisan budaya dunia sejak bulan Desember 1996
(Widianto 2000). Dari sekitar 100 individu temuan fragmen fosil manusia purba yang
didapatkan di Indonesia, hampir 65% -nya berasal dari Situs Sangiran dan mencakup
sekitar 50 % dari populasi taxon Homo erectus di dunia. Pada umumnya fosil-fosil
tersebut ditemukan secara kebetulan (temuan penduduk) dan dalam bentuk fragmenter;
yaitu antara lain berupa tulang-tulang tengkorak, mandibula dan femur. Fosil-fosil
tersebut ditemukan pada beberapa tempat atau lokasi utama di Pulau Jawa; yaitu antara
lain di Pati Ayam, Sangiran, Ngandong dan Sambungmacan (Jawa Tengah) serta di
daerah Trinil dan Perning (Jawa Timur). Berdasarkan bentuk fisik dan lingkungan
endapan asalnya, secara umum temuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia
dikategorikan menjadi 3 kelompok utama (Widianto, 1996); yaitu kelompok
Pithecanthropus arkaik yang berasal dari Formasi Pucangan (Plestosen Bawah) yang
ditaksir mempunyai usia antara 1,7 – 0,7 tahun. Termasuk dalam kelompok ini adalah
Meganthropus palaeojavanicus dan Pithecanthropus mojokertensis. Kelompok kedua
adalah jenis Pithecanthropus klasik yang berasal dari Formasi Kabuh (Plestosen
Tengah) yang mempunyai usia sekitar 800.000 – 400.000 tahun. Jenis kelompok ini
(Homo erectus) yang paling banyak ditemukan di Sangiran. Kelompok yang ketiga
adalah Pithecanthropus progresif yang berasal dari Formasi Notopuro (Plestosen Atas)
dan mempunyai umur antara 400.000 – 100.000 tahun. Termasuk dalam kelompok ini
adalah temuan Homo soloensis dari Ngandong dan Trinil (Darundiyo, 2010).
Dome Sangiran merupakan daerah yang tersingkap. Berdasarkan hasil
penelitian terbentuknya Dome Sangiran merupakan peristiwa geologis yaitu diawali
pada 2,4 juta tahun yang lalu terjadi pengangkatan,gerakan lempeng bumi,letusan
gunung berapi dan adanya masa glasial sehingga terjadi penyusutan air laut yang
akhirnya membuat wilayah Sangiran terangkat keatas, hal ini dibuktikan dengan
endapan yang bisa kita jumpai di sepanjang Sungai Puren yang tersingkap lapisan
lempeng biru dari Formasi Kalibeng yang merupakan endapan daerah lingkungan
lautan dan hingga sekarang ini banyak sekali dijumpai fosil-fosil moluska laut.
Dari pengamatan stratigrafi batuannya, ada beberapa formasi, diantaranya :
1. Formasi Kalibeng
Lempung biru yang membentuk apa yang disebut kalangan arkeolog sebagai
Formasi Kalibeng di bagian paling bawah adalah endapan paling tua. Endapan itu
tercipta sejak 2,4 juta tahun lalu ketika daerah ini masih merupakan lingkungan laut
dalam. Di dalam lapisan lempung biru, selain mengandung foraminifera dan jenis
mollusca laut (turitella, arca, nasarius, dan lain-lain) juga ditemukan fosil ikan,
kepiting, dan gigi ikan hiu. Berumur 2,4 juta s/d 1.8 juta tahun lalu. Dengan
lapisan:
 Lapisan napal (Marl)
 Lapisan lempung abu-abu (biru) dari endapan laut dalam
 Lapisan foraminifera dari endapan laut dangkal
 Lapisan balanus batu gamping
 Lapisan lahar bawah dari endapan air payau

2. Formasi Pucangan
Formasi ini berada diatas lapisan atau formasi kalibeng. Sekitar 1.800.000 –
700.000 tahun yang lalu formasi ini merupakan rawa pantai dan di dalam lapisan
ini terbentuk endapan diatomit yang mengandung cangkang diatomea laut. Formasi
ini berupa lempung hitam dan mulai terbentuk dari endapan lahar Gunung Merapi
purba dan Gunung Lawu purba. Formasi Pucangan banyak mengandung fosil
manusia purba dan hewan mamalia, antara lain reptil (buaya dan kura-kura),
mamalia, rusa, bovidae, gajah, babi, monyet, domba, dan fosil kayu. Berumur 1.8
juta s/d 700 ribu tahun lalu. Dengan lapisan:
 Lapisan lempung hitam (kuning) dari endapan air tawar
 Lapisan batuan kongkresi
 Lapisan lempung volkanik (Tuff) (ada 14 tuff)
 Lapisan batuan nodul
 Lapisan batuan diatome warna kehijauan
3. Formasi Grenzbank
Pada 700.000 tahun yang lalu formasi grenzbank terletak diatas formasi
Pucangan. Terbentuknya formasi ini terjadi erosi pecahan gamping pisoid dari
pegunungan selatan yang terletak di selatan Sangiran dan kerikil-kerikal vulkanik
dari Pegunungan Kendeng di utaranya. Material erosi tersebut menyatu di Sangiran
sehingga membentuk suatu lapisan keras setebal 1-4 meter, yang disebut grenzbank
alias lapisan pembatas. Lapisan ini dipakai sebagai tanda batas antara Formasi
pucangan dan Formasi Kabuh. Pengendapan grenzbank menandai perubahan
lingkungan rawa menjadi lingkungan darat secara permanen di Sangiran. Pada
Grenzbank banyak ditemukan hewan mamalia, ditemukan pula fosil Homo erectus.

4. Formasi Kabuh
Pada periode berikutnya terjadi letusan gunung yang hebat di sekitar Sangiran,
berasal dari Gunung Lawu, Merapi dan Merbabu purba. Letusan hebat telah
memuntahkan jutaan kubik endapan pasir vulkanik, kemudian diendapkan oleh
aliran sungai yang ada di sekitarnya saat itu. Aktivitas vulkanik tersebut tidak
hanya terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi susul-menyusul dalam periode lebih
dari 500.000 tahun. Aktivitas alam ini meninggalkan endapan pasir fluvio-volkanik
setebal tidak kurang dari 40 meter, dikenal sebagai Formasi Kabuh. Lapisan ini
mengindikasikan daerah Sangiran sebagai lingkungan sungai yang luas saat itu: ada
sungai utama dan ada pula cabang-cabangnya dalam suatu lingkungan vegetasi
terbuka. Salah satu sungai purba yang masih bertahan adalah Kali Cemoro.
Berbagai manusia purba yang hidup di daerah Sangiran mulai 700.000 hingga
300.000 tahun kemudian terpintal oleh aliran pasir ini. "Mereka" diendapkan pada
sejumlah tempat di Sangiran. Badak, antilop dan rusa yang ada di grenzbank masih
tetap ada pada Formasi Kabuh. Stegodon sp ditemani jenis lain, Elephas
hysudrindicus dan Epileptobos groeneveldtii (banteng).Saat itu mereka masih
meneruskan tradisi pembuatan alat serpih bilah. Pada Kala Plestosen Tengah inilah
Sangiran menunjukkan lingkungan yang paling indah: hutan terbuka dengan
berbagai sungai yang mengalir, puncak dari kehidupan Homo erectus beserta
lingkungan fauna dan budayanya. Lapisan ini merupakan lapisan yang paling
banyak menghasilkan fosil manusia dan binatang. Berumur 700 ribu s/d 250 ribu
tahun lalu. Dengan Lapisan:
 Lapisan konglomerat
 Lapisan batuan grenzbank sebagai pembatas
 Lapisan lempeng vulkanik (tuff) (ada 3 tuff)
 Lapisan pasir halus silang siur
 Lapisan pasir gravel.

5. Formasi Notopuro
Formasi Notopuro yang berada pada lapisan teratas di situs Sangiran ini sekitar
500.000 – 250.000 tahun yang lalu dengan litologi breksi laharik dan batu gamping
tufaan yang diakibatkan oleh banyaknya aktivitas vulkanik. Lahar vulkanik
diendapkan kembali di daerah Sangiran, yang juga mengangkut material batuan
andesit berukuran kerikil hingga bongkah. Di dalam lapisan ini banyak ditemukan
artefak batu hasil budaya manusia yang berupa serpih-bilah (sehingga Sangiran
dijuluki industri serpih-bilah Sangiran), kapak perimbas, bola batu, kapak penetak,
dan kapak persegi. Selain itu, lapisan ini juga ditandai oleh endapan lahar, breksi,
pasir dan juga banyak ditemukan alat serpih, fosil kerbau dan kijang.
Setelah pembentukan Formasi Notopuro, terjadilah pelipatan morfologi secara
umum di Sangiran, yang mengakibatkan pengangkatan Sangiran ke dalam bentuk
kubah raksasa. Erosi K. Cemoro berlangsung terus-menerus di bagian puncak
kubah sehingga menghasilkan cekungan besar yang saat ini menjadi ciri khas dari
morfologi situs Sangiran. Berumur 250 ribu s/d 15 ribu tahun lalu. Dengan lapisan:
 Lapisan lahar atas
 Lapisan teras
 Lapisan batu pumice
6. Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
Berumur 15 ribu s/d 1.5 ribu tahun lalu. Dimana hanya memiliki lapisan
endapan sungai batu kerikil dan kerakal.

C. Bukti Evolusi Manusia di Sangiran

Homo habilis

Homo habilis merupakan manusia purba


pertama yang memiliki kebudayaan.
Mereka mampu menciptakan alat-alat
bantu dengan teknologi sederhana di
lembah Olduvai. Kebudayaan mereka
dikenal dengan kebudayaan Oldowan.
Homo erectus

Homo erectus adalah manusia penjelajah


pertama di dunia. Homo erectus mampu
menyebar ke berbagai belahan dunia dan
beradaptasi dengan baik di iklim Plestosen.
Selama 1,5 juta tahun telah terjadi 3 tingkat
evolusi Homo erectus di Jawa. Sangiran telah
memberikan 2 bukti tahap evolusi yang paling
tua yaitu Homo erectus arkaik (1,5-1jt tahun
yang lalu) dan Homo erectus tipik. Satu
tingkatan lebih muda yaitu Homo erectus
progessif yang ditemukan di luar Sangiran
yaitu di Ngandong (Blora) dan Selopuro
(Ngawi).

Cro-Magnon
Manusia Cro-Magnon adalah seniman ulung pertama,
meninggalkan warisan kaya dalam bentuk lukisan gua,
pahatan dan patung ukir. Manusia Cro-Magnon
merupakan sekelompok manusia pemburu dan peramu
yang kemungkinan memasuki Eropa dari Timur
Tengah dan akhirnya menggantikan manusia
Neanderthal. Kelompok ini mengumpulkan buah-
buahan dan akar-akaran serta berburu hewan liar,
mereka hidup di dalam gua-gua dan kemah sederhana.
Dibandingkan dengan kelompok Neanderthal, mereka
memiliki lebih banyak perbendaharaan kata, mereka juga mulai menciptakan karya
seni, seperti lukisan dinding di gua-gua yang ditemukan di Perancis, Spanyol dan
Gurun Sahara. Selain itu mereka juga sudah membuat perhiasaan, mainan, pakaian,
tempat tinggal, perkakas dan senjata untuk berburu.
Homo sapiens
Sejak 100.000 tahun silam, spesies ini telah
berkembang dengan pesat. Memiliki kemampuan
untuk menciptakan peradaban dengan teknologi
tinggi. Homo sapiens berasal dari Bahasa Latin yang
berarti "manusia yang tahu", sebuah spesies primata
dari golongan mamalia yang dilengkapi otak
berkemampuan tinggi. Homo sapiens merupakan
manusia purba modern yang memiliki bentuk tubuh
yang sama dengan manusia sekarang. Homo sapiens
disebut pula manusia berbudaya karena peradaban mereka cukup tinggi.
Dibandingkan dengan manusia purba sebelumnya, Homo sapiens lebih banyak
meninggalkan benda-benda berbudaya. Diduga, mereka inilah yang menjadi nenek
moyang bangsa-bangsa di dunia. Fosil Homo sapiens di Indonesia ditemukan di
Wajak, dekat Tulungagung, Jawa Timur, oleh Von Rietschoten pada tahun 1889. Fosil
ini merupakan fosil pertama yang ditemukan di Indonesia, yang diberi nama Homo
wajakensis atau manusia dari Wajak. Fosil ini kemudian diteliti ulang oleh Eugene
Dubois. Manusia purba ini memiliki tinggi badan 130-210 cm, berat badan 30-150
kg, dan volume otak 1350-1450 cc. Homo wajakensis diperkirakan hidup antara
25.000–40.000 tahun yang lalu. Homo wajakensis memiliki persamaan dengan orang
Australia purba (Austroloid).

Homo Erectus Arkaik


Tipe ini merupakan tipe yang paling tua, ditemukan pada
lapisan lempung hitam Formasi Pucangan dan grenzbank di
sangiran, serta pasir vulkanik di utara Perning (Mojokerto).
Tipe ini menunjukkan tipe yang paling arkaik dan kekar dengan
volume otak sekitar 870 cc.
Homo Erectus Tipik
Tipe ini lebih maju dibandingkan dengan tipe arkaik,
merupakan bagian terbanyak dari Homo erectus di Indonesia,
sebagian besar ditemukan di Sangiran, dan lainnya ditemukan
di Trinil (Ngawi), Kedungbrubus (Madiun), patiayam (Kudus),
dan sejak tahun 2011 ditemukan pula di Semedo (Tegal).
Konstruksi tengkoraknya lebih ramping, meskipun dahi masih
landai dan agak tonggos, Kapasitas otak sekitar 1000 cc.

Homo Erectus Progresif

Jenis progresif merupakan jenis yang paling maju, sebagian besar


ditemukan pada endapan alluvial di Ngandong (Blora), Selopuro
(Ngawi), dan pasa endapan vulkanik di Sambungmacan (Sragen).
Volume otak sudah mencapai 1100 cc, dengan atap tengkorak
yang lebih tinggi dan lebih membundar.
Tahap-Tahap Perkembangan Evolusi Manusia Purba
Berikut ini adalah tahap-tahap perkembangan evolusi manusia purba dari kera purba
yang mulai berdiri dengan dua kakinya hingga manusia modern seperti kita sekarang
ini.

1. Tahap Proconsul

Proconsul, yakni kera hidup sekitar 25-15 juta tahun yang


lalu. Makhluk ini tidak sepenuhnya bersifat kera, disebabkan
pada muka, rahang, gigi geliginya terdapat ciri yang
ditafsirkan sebagai ciri manusia.
2. Tahap Dryopithecus

Dryopithecus, yakni kera raksasa yang hidup sekitar 15-10


juta tahun yan lalu. Dryopithecus memiliki bentuk badan
yang cukup besar serta sangat gemar mengembara sehingga
menempati hutan tropis yang sangat luas.

3. Tahap Oreopithecus
Oreopithecus merupakan salah satu fosil kera yang terbaik.
Oreopithecus diperkirakan memiliki berat 30-35 kg, memiliki
moncong yang relatif pendek, tulang hidung tinggi,
neurocranium kecil dan bulat, bidang orbit vertikal.

4. Tahap Ramapithecus
Ramapithecus, yakni primata paling purba yang pada
umumnya dianggap sebagai leluhur manusia. Hidup
sekitar 15-10 juta tahun yang lalu. Ukuranya jauh lebih
kecil daripada manusia sekarang, yakni 0,9-1,2 meter dan
kapasitas tengkoraknya lebih kurang 400 cc. Fosil dari
makhluk ini ditemukan pada tahun 1930-an di bukit
Siwalak (Pakistan) oleh G.E. Lewis dari Universitas Yale.
5. Tahap Australopithecus africanus
Australopithecus africanus merupakan tingkatan
keenam. Makhluk ini ditemukan oleh Raymond Dart, pada
tahun 192.

6. Australopithecus robustus
Australopithecus robustus bertubuh lebih langsing, berat
badannya kira-kira50 kg dan tingginya 1,2 meter.

7. Tahap Australopithacus boisei


Boisei hidup di Afrika timur, dengan ciri-ciri badan tegap,
muka dan giginya khas lagi kokoh, tempurung kepalanya
rendah dan kasar. Diduga hidup 1,5-1 juta tahun yang lalu.
Ditemukan oleh leakey di lembah Olduvai, Tanzania
8. Tahap Homo habilis

Homo habilis memiliki cranial capacity kurang dari


setengah kapasitas manusia modern. Meskipun masih
memiliki bentuk seperti- kera (ape-like), H. habilis
diperkirakan telah mampu menggunakan peralatan
primitif yang terbuat dari batu; hal ini dibuktikan dengan
ditemukannya peralatan-peralatan dari batu di sekitar
fosil mereka. Mereka hidup sekitar 2-1,5 juta tahun yang
lalu.

9. Tahap Homo erectus

Homo erectus (termasuk “Manusia Jawa”, “Manusia Peking”,


“Manusia Heidelberg”, Pleistocene., 1.8 Jy), masih memiliki
tulang alis tebal dan tidak memiliki dagu. Menyebar keluar dari
Afrika dan melintasi Eropa dan Asia. Makhluk ini diduga
hidup pada 1,5-0,5 juta tahun yang lalu. Homo erectus dapat
berjalan tegak, kakinya panjang dan lurus dan tulang
tungkainya lebih maju, otaknya lebih besar dengan volume
berkisar 750-1.400 cc. homo erectus sebagai manusia purba
sudah pandai membuat perkakas, misalnya kapak genggam,
walaupun masih agak kasar, kehidupannya dengan berburu mamalia besar. Telah
menggunakan api, sudah dapat bicara untuk mengajari anaknya bagaimana
membuat perkakas.

10. Tahap Homo sapiens purba


Homo Sapiens purba (Pleistocene, 500,000 thn yl) – Manusia
purba pertama ini merupakan pertengahan sempurna antara
H.erectus dengan manusia modern, dengan otak 1200 cc dan
tulang tengkorak lebih tipis dan gigi lebih kecil. Dalam
masa 300,000 tahun, otak secara gradual membesar, gigi
geraham makin mengecil, tulang tengkorak lebih
bundar. Jelas keturunan dari H erectus, tapi masih
diperdebatkan tentang dimana ini terjadi.

11. Tahap Manusia Neanderthal

Munculnya Homo sapiens neanderthalesis (manusia


lembah neander), yakni makhluk yang diduga
hidup pada masa antara75.000-10.000 tahun yang
lalu. Fosil makhluk ini ditemukan pada tahun 1856 di
lembah Neanderthal, Jerman. Bentuk tubuhnya
sepenuhnya manusia, hidungnya terlihat mancung.
Ukuran volume otaknya sudah termasuk dalam
kisaran ukuran rongga otak manusia modern. Tinggi
tubunya berkisar antara 1,6-1,8 meter, berbahu lebar,
berdada cembung dan berotot padat.
12. Tahap Manusia Cro-magnon
Diduga hidup 10.000-ribuan tahun yang lalu. Mereka
memiliki kebudayaan yang cukup maju, bercocok
tanam secara baik, memelihara binatang, menguasai
lingkungan, bahkan kemudian membangun kota dan
memiliki peradapan. Ciri-cirinya adalah memiliki
dagu yang menonjol, hidung mancung, gigi kecil dan
merata, serta raut wajah yang tampan. Sesungguhnya
makhluk ini mirip dengan orang-orang Eropa
sekarang.
13. Tahap Manusia modern
H. sapiens sapiens – Semua manusia modern. Rata rata
volume otak 1350 cc. Di Eropa, secara perlahan
menggantikan posisi Neanderthal.

D. Bukti Evolusi Gajah di Sangiran

Terdapat 3 jenis gajah yang pernah hidup di Sangiran antara 1 juta hingga 200.000
tahun yang lalu yaitu Mastodon, Stegodon dan Elephas. Ciri fisik yang
membedakan ketiganya adalah tipe gigi dan bentuk gadingnya.
Mastodon : adalah jenis gajah paling primitif di Sangiran. Gigi geraham
Mastodon bertipe Bunodont.
Stegodon : memiliki gading berbentuk membulat dan agak melengkung. Gigi
Stegodon bertipe brachyodont, jenis gigi yang sesuai untuk
melumat jenis dedaunan yang lembut.
Elephas : merupakan jenis gajah paling modern. Bentuk gading Elephas
relatif lurus dan digunakan untuk menumbangkan pepohonan yang
akar dan cabangnya menjadi makanan. Gigi Elephas bertipe
hypsodont yang digunakan untuk mengunyah makanan yang keras
seperti rumput kering dan biji-bijian.
(Setya, 2015)
E. Fosil Hewan Lain yang ditemukan di Sangiran
Di Sangiran ditemukan fosil reptilia dari familia Gavialidae dan Crocodylidae
jenis family dari buaya Gavialidae yang ada di Sangiran adalah Gavialis
bengawensis. Ukuran tubuhnya 3,5 – 6,2 m dengan berat 159 – 181 kg. Sedangkan
familia Crocodylidae adalah Crocodylus sp., panjangnya mencapi 6,2 m dan berat
lebih dari 1200 kg.
Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya
meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae). Meski demikian nama ini dapat
pula digunakan untuk menyebut ‘buaya’ aligator, kaiman dan gavial; yakni kerabat-
kerabat buaya yang berlainan suku. Buaya pada umumnya menghuni habitat perairan
tawar seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya, namun ada pula yang hidup
di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan
bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, kadang-kadang juga
memangsa moluska dan krustasea tergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan
hewan purba, yang hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus.
Di luar bentuknya yang purba, buaya sesungguhnya merupakan hewan melata
yang kompleks. Tak seperti lazimnya reptil, buaya memiliki jantung beruang empat,
sekat rongga badan (diafragma) dan cerebral cortex. Pada sisi lain, morfologi luarnya
memperlihatkan dengan jelas cara hidup pemangsa akuatik. Tubuhnya yang
"streamline" memungkinkannya untuk berenang cepat. Buaya melipat kakinya ke
belakang melekat pada tubuhnya, untuk mengurangi hambatan air dan
memungkinkannya menambah kecepatan pada saat berenang. Jari-jari kaki
belakangnya berselaput renang, yang meskipun tak digunakan sebagai pendorong
ketika berenang cepat, selaput ini amat berguna tatkala ia harus mendadak berbalik
atau melakukan gerakan tiba-tiba di air, atau untuk memulai berenang. Kaki
berselaput juga merupakan keuntungan manakala buaya perlu bergerak atau berjalan
di air dangkal.
Buaya dapat bergerak dengan sangat cepat pada jarak pendek, bahkan juga di
luar air. Binatang ini memiliki rahang yang sangat kuat, yang dapat menggigit dengan
kekuatan luar biasa, menjadikannya sebagai hewan dengan kekuatan gigitan yang
paling besar. Tekanan gigitan buaya ini tak kurang dari 5.000 psi (pounds per square
inch; setara dengan 315 kg/cm²). Gigi-gigi buaya runcing dan tajam, amat berguna
untuk memegangi mangsanya. Buaya menyerang mangsanya dengan cara menerkam
sekaligus menggigit mangsanya itu, kemudian menariknya dengan kuat dan tiba-tiba
ke air. Oleh sebab itu otot-otot di sekitar rahangnya berkembang sedemikian baik
sehingga dapat mengatup dengan amat kuat. Mulut yang telah mengatup demikian
juga amat sukar dibuka, serupa dengan gigitan tokek. Akan tetapi sebaliknya, otot-
otot yang berfungsi untuk membuka mulut buaya amat lemah. Cakar dan kuku buaya
pun kuat dan tajam, akan tetapi lehernya amat kaku sehingga buaya tidak begitu
mudah menyerang ke samping atau ke belakang.

Selain fosil buaya purba, disana juga ditemukan fosil hewan-hewan purba yang
lainnya, seperti halnya sebagai berikut :
a) Banteng purba yang memiliki tanduk yang relative pendek dan melengkung
kedepan.
b) Rusa purba yang memiliki tanduk bercabang (tanduk rangga).
c) Kerbau purba yang hidup sekitar 700.000 tahun yang lalu dan merupakan
mamalia terberat kedua setelah gajah (berat sekitar 3,6 ton).
d) Harimau purba yang hidup 500.000 tahun pada saat kondidi Sangiran berupa
padang sabana yang luas.
e) Babi purba yang hidup sekitar 700.000 tahun yang lalu yang mempunyai
moncong yang berfungsi untuk mencari makanan beruoa tanaman dan
serangga.
f) Kayu purba Temuan dari Dukuh Jambu, Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo
Kabupaten Karanganyar.Ditemukan pada tahun 1995 pada lapisan tanah lempung
Warna abu-abu ditemukan pada formasi pucangan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Sangiran adalah sebuah situs arkeologi (Situs Manusia Purba) di Jawa,
Indonesia. Sangiran terletak di sebelah utara Kota Solo dan berjarak sekitar 15
km (tepatnya di desa krikilan, kec. Kalijambe, Kab.Sragen). Gapura Situs
Sangiran berada di jalur jalan raya Solo–Purwodadi dekat perbatasan antara
Gemolong dan Kalioso (Kabupaten Karanganyar). Gapura ini dapat dijadikan
penanda untuk menuju Situs Sangiran, Desa Krikilan. Jarak dari gapura situs
Sangiran menuju Desa Krikilan ± 5 km.
2. Ditemukan lebih dari 13.685 fosil 2.931 fosil ada di Museum, sisanya disimpan
di gudang penyimpanan. Sebagai World Heritage List (Warisan Budaya
Dunia). Museum ini memiliki fasilitas-fasilitas diantaranya: ruang pameran
(fosil manusia, binatang purba), laboratorium, gudang fosil, ruang slide, menara
pandang, wisma Sangiran dan kios-kios souvenir khas Sangiran.
3. Keadaan geo-stratigrafi. Dari pengamatan stratigrafi batuannya, ada beberapa
formasi, diantaranya :
 Formasi Kalibeng
 Formasi Pucangan
 Formasi Grenzbank
 Formasi Kabuh
 Formasi Notopuro
 Formasi Teras Solo (Kali Pasir)
4. Upaya pemerintah yang dicanangkan untuk mengembangkan situs Manusia
Purba Sangiran antara lain :
 Melengkapi kompleks Museum Manusia Purba Sangiran dengan bangunan
audio visual di sisi timur museum. Dan Bupati Sragen mengubah interior
ruang kantor dan ruang pertemuan menjadi ruang pameran tambahan.
 Pemerintah merencanakan membuat museum yang lebih representative
menggantikan museum yang ada secara bertahap. Didirikan bangunan
perkantoran tiga lantai yang terdiri dari ruang basemen untuk gudang,
lantai I untuk Laboratorium, dan lantai II untuk perkantoran. Program
selanjutnya adalah membuat ruang audio visual, ruang transit untuk
penerimaan pengunjung, ruang pameran bawah tanah, ruang pertemuan,
perpustakaan, taman purbakala, dan lain-lain.
 Menghadirkan investor-investor guna memaksimalkan pengadaan
pembangunan yang lebih lanjut dengan didukung fasilitas – fasilitas yang
memadai.
 Melakukan beberapa pengenalan-pengenalan mengenai Situs Purbakala
Sangiran kepada publik nasional.

B. Saran
Sebagai warga negara yang baik dan khususnya kita sebagai mahasiswa harus
bisa melestarikan kekayaan budaya baik itu wisata maupun sejarah bangsa. Agar
tidak punah oleh waktu. Selain itu kita juga harus bisa menjaganya agar tetap lestari
dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA

Darundiyo. 2010. Bentuk Survival Homo Erectus di Lingkungan Sangiran. Surabaya:


Kanisius

Museum Indonesia. 2009. Museum Purbakala Sangiran: online diakses tanggal 21


Juni 2015 pukul 23.10 WIB.
http://www.museumindonesia.com/museum/19/1/Museum_Purbakala_Sangir
an_Sragen.

National Geographic Indonesia. 2013. Menyusuri Jejak Manusia Purba di Sangiran,


Jawa Tengah: online diakses tanggal 21 Juni 2015 pukul 23.51 WIB.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2013/12/menyusuri-jejak-manusia-
purba-di-sangiran-jawa-tengah.

Setya, Danik. 2015. Evolusi Gajah: online diakses tanggal 21 Juni 2015 pukul 00.50
WIB http://id.scribd.com/doc/51706838/Evolusi-Gajah.

Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. 2009. Sangiran Menjawab Dunia.


Sangiran: BPSMP.

Anda mungkin juga menyukai