Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Glaukoma adalah penyebab utama kebutaan dimasyarakat berat.
Diperkirakan di Amerika Serikat ada 2 juta orang menderita glaukoma. Di
antara mereka, hampir setengahnya mengalami gangguan penglihatan, dan
hampir 70.000 benar – benar buta, bertambah sebanyak 5500 orang buta tiap
tahun.
Bila glaukoma di diagnosis lebih awal dan ditangani dengan benar,
kebutaan hampir selalu dapat dicegah. Namun kebanyakan kasus glauma tidak
bergejala sampai sudah terjadi kerusakan ekstensif dan ireversibel. Maka
pemeriksaan rutin dan skrining mempunyai peran penting dalam mendeteksi
penyakit ini. Dianjurkan bagi semua yang memiliki faktor resiko menderita
glaukoma dan yang berusia diatas 35 tahun menjalani pemeriksaan berkala pada
oftalmologi suntuk mengkaji TIO, lapang pandang, dan kaput nervi optisi.
Glaukoma mengenai semua usia namun lebih banyak sesuai bertambahnya
usia, mengenai sekitar 2% orang berusia di atas 35 tahun. Resiko lainya adalah
diabetes, orang Amerika keturunan Afrika, yang mempunyai riwayat keluarga
menderita glaukoma, dan mereka yang pernah mengalami trauma atau
pembedahan mata, atau yang pernah mendapat terapi kortikostreroid jangka
panjang.
Meskipun tak ada penanganan untuk glaukoma, namun dapat dikontrol
dengan obat, kadang diperlukan pembedahan laser ataukonvensional (insisional).
Tujuan penanganan adalah untuk menghentikan atau memperlambat
perkembangan agar dapat mempertahankan penglihatan yang baik sepanjang
hidup. dapat dilakukan dengan menurunkan TIO.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana konsep dasar sistem penglihatan dan THT serta konsep
manajemen kegawatdaruratan pasien dengan glukoma?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Mahasiswa/ (i) mengetahui konsep dasar sistem penglihatan dan THT,
serta dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir secara ilmiah dalam
melaksanakan praktik manajemen kegawatdaruratan pasien dengan
glukomaserta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah.
2. Tujuan khusus
Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang:
a. Konsep Dasar Sistem Penglihatan
b. Konsep Dasar THT
c. Pengertian Glukoma
d. Etiologi Glukoma
e. Manifestasi Klinis Glukoma
f. WOC (Web Of Caution) Glukoma
g. Klasifikasi Glukoma
h. Pemeriksaan fisik (fokus pada penyakit) Glukoma
i. Pemeriksaan penunjang Glukoma
j. Komplikasi Glukoma
k. Asuhan Keperawatan pada Pasien Glukoma
l. Algoritma penanganan kasus Glukoma (mandiri dan kolaborasi)
m. SOP penanganan untuk Glukoma

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Penulis
Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan
dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan glukoma.
2. Bagi Institusi Pelayanan
Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kegawat-daruratan
pasien dengan glukoma

2
3. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pasien glukoma.

E. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:
Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan
dan sistematika penulisan.
Bab II : Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari konsep dasar
sistem penglihatan, konsep dasar THT, konsep dasar
dasar penyakit danasuhan keperawatan kegawatdaruratan
pasien dengan glukoma
Bab III : Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan glukoma
Bab IV : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anatomi Fisiologi dan Pengkajian


1. Sistem Penglihatan
Mata adalah organ indra yang memiliki reseptor peka cahaya yang
disebut fotoreseptor. Setiap mata mempunyai lapisan reseptor, sistem
lensa, dan sistem saraf, indra penglihatan yang terletak pada mata(organ
visus) yang terdiri dari organ okuli assoria (alat bantu mata) dan okulus
(bola mata). Saraf indra penglihatan, saraf optikus (urat saraf kranial
kedua), muncul dari sel-sel ganglion dalam rebina, bergabung untuk
membentuk saraf optikus
a. Anatomi Fisiologi Sistem Penglihatan (Mata)
1) Anatomi
Mata merupakan organ penglihatan yang dimiliki manusia.
Matadilindungi oleh area orbit tengkorak yang disusun oleh
berbagai tulang seperti tulang frontal, sphenoid, maxilla,
zygomatic, greater wing ofsphenoid, lacrimal, dan ethmoid (Rizzo,
2001).
Sebagai struktur tambahan mata, dikenal berbagai struktur
aksesori yang terdiri dari alis mata, kelopak mata, bulu mata,
konjungtiva, aparatus lakrimal, dan otot- otot mata ekstrinsik
(Seeley dkk, 2006).
Alis mata dapat mengurangi masuknya cahaya dan mencegah
masuknya keringat yang dapat menimbulkan iritasi ke dalam mata.
Kelopak mata dan bulu mata mencegah masuknya benda asing ke
dalam mata. Konjungtiva merupakan suatu membran mukosa yang
tipis dan transparan. Konjungtiva palpebral melapisi bagian dalam
kelopak mata dan konjungtiva bulbaris melapisi bagian anterior
permukaan mata yang berwarna putih. Titik pertemuan antara

4
konjungtiva palpebral dan bulbar disebut sebagai conjunctiva
fornices (Seeley dkk, 2006).
Apparatus lakrimal terdiri dari kelenjar lakrimal yang terletak
di sudut anterolateral orbit dan sebuah duktus nasolakrimal yang
terletak di sudut inferomedial orbit. Kelenjar ini menghasilkan air
mata yang keluar dari kelenjar air mata melalui berbagai duktus
nasolakrimalis danmenyusuri permukaan anterior bola mata
(Seeley dkk, 2006). Air mata tidak hanya dapat melubrikasi mata
melainkan juga mampu melawan infeksi bakterial melalui enzim
lisozim, garam, serta gamma globulin (Rizzo, 2001).

Gambar 1. Anatomi Mata Manusia


Bola mata berbentuk bulat berdiameter sekitar 24 mm,
dengan 3 komponen utamanya yakni : (a) tiga lapisan (tunika) yang
membentuk dinding bola mata, (b) komponen optik yang
melanjutkan dan memfokuskan cahaya, dan (c) komponen neural
yaitu retina dan saraf optikus (Saladin, 2008).
a) Tunika
Terdapat tiga lapisan (tunika) yang menyusun dinding bola
mata, yakni (Saladin, 2008):
(1) The outer fibrous layer (tunika fibrosa) yang dibagimenjadi
dua bagian yaitu sclera dan cornea (Saladin, 2008).
(a) Sklera
Sklera merupakan dinding bola mata yang terdiri
atas jaringan ikat kuat yang tidak bening dan tidak

5
kenyal dengan tebal satu milimeter. Pada sklera terdapat
insersi atau perlekatan enam otot penggerak bola mata
(Ilyas, 2010).
(b) Kornea
Kornea normal berupa selaput transparan yang
terletak di permukaan bola mata (Ilyas, 2010). Kornea
di bagian sentral memiliki tebal setengah milimeter.
Kornea tidak mempunyai pembuluh darah, namun
kornea sangat kaya akan serabutsaraf. Saraf sensorik ini
berasal dari saraf siliar yang merupakan cabang
oftalmik saraf trigeminus (sarafV) (Ilyas, 2010).
(2) The middle vascular layer (tunika vaskulosa) disebut
pulauvea. Lapisan ini terdiri dari tiga bagian yakni
choroid, ciliary body, daniris. Di dalamnya terdapat
intrinsic eye muscle yang terdiri dari ciliary muscle,
pupillary constrictor dan pupillary dilator (Saladin,
2008).
(a) Choroid merupakan lapisan yang sangat kaya
akanpembuluh darah dan sangat terpigmentasi.
Lapisan ini terletak di belakang retina (Saladin,
2008).
(b) Ciliary body merupakan ekstensi choroid
yangmenebal serta membentuk suatu cincin muscular
di sekitar lensa dan berfungsi menyokong iris dan
lensa serta mensekresi cairan yang disebut sebagai
aqueous humor (Saladin, 2008).
(c) Iris merupakan suatu diafragma yang dapat diatur
ukurannya dan lubang yang dibentuk oleh iris ini
disebut sebagi pupil. Diameter dari pupil dikontrol
oleh dua kontraktil dari iris yakni
pupillaryconstrictor dan pupillary dilator. Pupil

6
akanmengecil sebagai respon terhadap intensitas
cahaya yang tinggi dan objek yang terletak dekat
denganmata. Sementara pupil akan membesar ketika
berada di tempat dengan cahaya kurang serta untuk
memfokuskan ke objek yang letaknya jauh. Refleks
pupil untuk konstriksi dan dilatasi ini disebut
photopupillary reflex.Iris memiliki dua
lapisanberpigmen yaitu posterior pigment epithelium
yang berfungsi menahan cahaya yang tidak teratur
mencapai retina dan anterior border layer yang
mengandung sel-sel berpigmen yang disebut sebagai
chromatophores. Konsentrasi melanin yang tinggi
pada chromatophores inilah yang memberi warna
gelap pada mata seseorang seperti hitam dan coklat.
Konsentrasi melanin yang rendah memberi warna
biru, hijau, atau abu-abu (Saladin, 2008).
(3) The inner layer (tunika interna) terdiri dari retina dan
sarafoptikus (Saladin, 2008).
b) Komponen Optik
Komponen optik dari mata merupakan elemen transparan
dari mata yang tembus cahaya serta mampu membelokkan
cahaya (refraksi) dan memfokuskannya pada retina. Bagian-
bagian optik ini mencakup kornea, aqueoushumor, lensa, dan
vitreous body (Saladin, 2008).Aqueous humor merupakan
cairan serosa yang disekresioleh ciliary body ke posterior
chamber, sebuah ruang antara iris dan lensa. Cairan ini
mengalir melalui pupil menuju anterior chamber yaitu ruang
antara kornea dan iris. Dari areaini, cairan yang disekresikan
akan direabsorbsi kembali oleh pembuluh darah yang disebut
sclera venous sinus (canal ofSchlemm) (Saladin, 2008).

7
Lensa terdiri dari sel yang transparan, pipih, dan tertekan
yang disebut lens fibers. Lensa tersuspensi di belakang pupil
oleh serat-serat yang membentuk cincin yang disebut
suspensory ligament, yang menggantungkan lensa ke ciliary
body. Tegangan pada ligamen memipihkan lensa
hinggamencapai ketebalan 3,6 mm dengan diameter 9,0 mm
(Saladin, 2008).
Vitreous body (vitreous humor) merupakan suatu
jellytransparan yang mengisi ruangan besar di belakang lensa
yang disebut vitreous chamber. Sebuah kanal (hyaloids canal)
yang berada di sepanjang jelly ini merupakan sisa dari arteri
hyaloid yang ada semasa embrio. Vitreous body berfungsi
untuk mempertahankan bentuk bulat dari bola mata dan
menjaga retina untuk tetap menekan permukaan dalam dari
chamber secara halus. Hal ini penting untukmemfokuskan
cahaya pada retina (Saladin, 2008).
c) Komponen Neural
Komponen neural dari mata adalah retina dan saraf optikus.
Retina merupakan suatu membran yang tipis dan transparan.
Retina terfiksasi pada optic disc dan ora serrata. Optic disc
adalah lokasi dimana saraf optikus meninggalkanbagian
belakang (fundus) bola mata. Ora serrate merupakan tepi
anterior dari retina. Retina tertahan ke bagian belakang dari
bola mata oleh tekanan yang diberikan oleh vitreous body. Pada
bagian posterior dari titik tengah lensa, pada aksis visual mata,
terdapat sekelompok sel yang disebut macula lutea dengan
diameter kira- kira 3 mm. Pada bagian tengah dari macula lutea
terdapat satu celah kecil yang disebut fovea centralis, yang
menghasilkan gambar/ visual tertajam. Sekitar 3 mm dari arah
medial dari macula lutea terdapat optic disc. Serabut saraf dari
seluruh bagian mata akan berkumpul pada titik ini dan keluar

8
dari bola mata membentuk saraf optikus. Bagian optic disc dari
mata tidak mengandung sel- sel reseptor sehingga dikenal juga
sebagai titik buta (blind spot) pada lapangan pandang setiap
mata (Saladin, 2008).
2) Fisiologis
Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata
dan difokuskan pada retina. Cahaya yang datang dari sumber titik
jauh,ketika difokuskan di retina menjadi bayangan yang sangat
kecil (Guyton & Hall, 2008).
Cahaya masuk ke mata direfraksikan atau dibelokkan ketika
melalui kornea dan bagian- bagian lain dari mata (aqueous humor,
lensa, dan vitreous humor). Bagian- bagian tersebut mempunyai
kepadatan yang berbeda-beda sehingga cahaya yang masuk dapat
difokuskan ke retina. Cahaya yang masuk melalui kornea
diteruskan ke pupil. Pupil merupakan lubang bundar anterior di
bagian tengah iris yang mengatur jumlah cahaya yang masuk ke
mata. Pupil membesar bila intensitas cahaya kecil, misalnya saat
berada di tempat gelap. Apabila berada di tempat terang atau
intensitas cahaya tinggi maka pupil akan mengecil. Pengatur
perubahan pupil tersebut adalah iris yang merupakan cincin otot
yang berpigmen dan tampak dalam aqueous humor. Setelah
melalui pupil dan iris, maka cahaya sampai kelensa (Guyton &
Hall, 2008).
Ketika kita melihat benda pada jarak lebih dari 6 m (20 ft),
lensa akan memipih hingga ketebalan sekitar 3,6 mm. Sedangkan
ketika kita melihat sesuatu pada jarak kurang dari 6 m, lensa akan
menebal hingga 4,5 mm pada pusatnya dan membelokkan cahaya
(refraksi) dengan lebih kuat. Perubahan ketebalan lensa tersebut
dikenal dengan lens accommodation (akomodasi lensa) (Saladin,
2008). Selain daya akomodasi, lensa juga berfungsi

9
untukmemfokuskan bayangan agar jatuh tepat di retina (Guyton &
Hall, 2008).
Bila cahaya sampai ke retina, maka sel- sel batang dan sel-
sel kerucut (sensitif terhadap cahaya) akan meneruskan sinyal-
sinyal cahaya tersebut ke otak melalui saraf optik. Bayangan atau
cahaya yang tertangkap oleh retina adalah terbalik, nyata, lebih
kecil, tetapi pada persepsi otak terhadap benda tetap tegak, karena
otak mempunyai mekanisme menangkap bayangan yang terbalik
itu sebagai keadaan normal (tegak) (Guyton & Hall, 2008).
Penglihatan manusia dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a) Central Vision
Central vision adalah penglihatan yang timbul pada saat
cahayajatuh pada area macula lutea retina dan memberikan
stimulus pada fotoreseptor yang berada pada area tersebut.
Dalam pemeriksaaannya, central vision dapat dibagi
menjadi uncorrected visual acuity di manamata diukur
ketajamannya tanpa menggunakan kacamata maupun lensa
kontak dan corrected visual acuity dimana mata yang diukur
telah dilengkapi dengan alat bantu penglihatan seperti
kacamata maupun lensa kontak. Karena penurunan
ketajaman penglihatan jarak jauh dapat disebabkan oleh
kelainan refraksi, umumnya jenis pemeriksaan yang dipilih
untuk menilai kesehatan mata adalah corrected visual acuity
(Riordan-Eva & Whitcher, 2007).
b) Peripheral Vision
Peripheral vision adalah penglihatan yang timbul pada
saatcahaya jatuh pada area di luar macula lutea retina dan
memberikan stimulus pada fotoreseptor yang berada pada
area tersebut (Riordan-Eva & Whitcher, 2007).
Penglihatan perifer dapat ditinjau secara cepat dengan
menggunakan confrontation testing. Pada pemeriksaan ini,

10
mata yang tidak diperiksa ditutup dengan menggunakan
telapak tangan dan pemeriksa duduk sejajar dengan pasien.
Jika mata kanan pasien diperiksa, maka mata kiri pasien
ditutup dan mata kanan pemeriksa ditutup. Pasien diminta
untuk melihat lurus sejajar dengan mata kiri pemeriksa.
Untuk mendeteksi adanya gangguan, pemeriksa
menunjukkan angka tertentu dengan menggunakan jari
tangan yang diletakkan di antara pasien dan pemeriksa pada
keempat kuadran penglihatan. Pasien diminta untuk
mengidentifikasi angka yang ditunjukkan (Riordan-Eva &
Whitcher, 2007).
b. Riwayat Penyakit/kesehatan
1) Data Demografi
a) Usia
Keluhan katarak, mata kering, retina detachment, glukoma
entropion akan meningkat dengan bertambahnya usia.
b) Sex
Laki-laki mempunyai resiko lebih tinggi daripada
perempuan mengalami gangguan penglihatan secara herediter.
Contoh: Color Blind
2) Keluhan Utama
a) Yang paling sering: perubahan penglihatan; berkurang atau
hilang
b) Kurang spesifik: sakit kepala, nyeri pada mata
3) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
a) Pengkajian difokuskan pada status kesehatan secara umum
b) Secara khusus: kaji tentang kelainan sistemik yang
berhubungan dengan manifestasi okuler seperti DM, hipertensi,
gangguan thyroid.
(1) Masa kecil dan penyakit infeksi
(2) Major ilnesses dan hospitalization

11
(3) Pengobatan
(4) Alergi
4) Riwayat kesehatan keluarga
Beberapa keadaan yang mempunyai tendensi dengan keluarga
terhadap kelainan okuler, yaitu:
a) Strabismus
b) Glukoma
c) Miopi
d) Hipertropi
5) Riwayat psikososial dan pola hidup
Riwayat psikososial dan pola hidup dapat mempengaruhi
kesehatan mata, yaitu:
a) Pekerjaan
b) Hobi
c) Leisure activity (kegiatan di waktu luang)
6) Riwayat Diet
Intake vitamin A saat sekarang dan periode waktu sebelumnya.
7) Riwayat Kesehatan Saat Ini
a) Penglihatan kurang, suram, tidak bisa melihat
b) Sakit atau perasaan tidak nyaman pada mata
c) Perubahan pada kelopak mata, orbita, atau pada bola matanya
langsung
d) Banyak kotoran mata, banyak air mata, air mata kering
c. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Mata Eksternal
a) Posisi mata
b) Alis mata
c) Palpebra dan bulu mata
d) Berkedip (reflex blinking)
e) Bola mata
f) Aparatus lakrimalis

12
g) Conjungtiva dan sklera
h) Kornea
i) Refleks kornea
j) Anterior chamber
k) Iris dan pupil
2) Pemeriksaan Motilitas Bola Mata
Pemeriksaan mortilitas bola mata berfungsi untuk
mendapatkan mata tentang otot luar pada bola mata, orbita, saraf
kranial III, IV, dan VI, brainstem, dan korteks serebral. Normalnya
kedua mata bergerak mengikuti “Six Cardinal Direction of Gaze”
(Padangan 6 arah)
3) Pemeriksaan Penglihatan
a) Visual Acuity (Ketajaman Penglihatan) merupakan metode
yang rutin dan standar untuk menentukan keadaan media
okuler (kornea, lensa, dan vitreous) dan fungsi pathway
penglihatan dari retina sampai ke otak.
b) Visual Fields (Lapang pandang) dilakukan untuk mengevaluasi
penglihatan perifer.
4) Pemeriksaan Mata Internal
a) Opthalmoscopy bertujuan untuk untuk memeriksa bola mata
bagian dalam dan fundus mata.
b) Goniometry bertujuan untuk menentukan tekanan bola mata.
Normalnya 8-21 mmHg.
c) Slit Lamp (lampu celah) bertujuan untuk memeriksa penyakit
atau kelainan pada kelopak mata dan bola mata yang tidak bisa
dilihat dengan mata telanjang.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Fundus Photography digunakan untuk mendokumentasikan lesi di
retina dan atau koroid.
2) Specular Micrography
3) Exophthalmometry

13
4) Opthalmic Radiology
5) Magneti Resonance Imaging (MRI) digunakan untuk mevisualisasi
saraf kranial, intraorbital serta mendeteksi space occuying lession
dan mendeteksi lesi yang mengisi rongga orbita, regio intrakranial,
dan hipofiseal.
6) Ultrasonography digunakan untuk memvisualisasi segmen
posterior mata yaitu fundus pada keadaan media refraksi keruh.
7) Ophthalmodynamometry
8) Electroretinography adalah tes mata digunakan untuk mendeteksi
fungsi abnormal dari retina (bagian cahaya mendeteksi mata)
9) Visual Evoked Response (VER)
10) Fluoroscein Angiography adalah tes yang memungkinkan
pembuluh darah di belakang mata di foto sebagai pewarna neon
disuntikkan ke dalam aliran darah melalui tangan atau lengan
(tindakan invasif). Hal ini terutama berguna dalam pengelolaan
retinopati diabetes dan degenerasi makula.
2. Telinga
a. Anatomi dan Fisiologi
1) Anatomi
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran
bunyi dan untuk keseimbangan. Ada tiga bagian utama dari telinga
manusia, yaitu bagian telinga luar, telinga tengah, dan telinga
dalam. Telinga luar berfungsi menangkap getaran bunyi, dan
telinga tengah meneruskan getaran dari telinga luar ke telinga
dalam. Reseptor yang ada pada telinga dalam akan menerima
rarigsang bunyi dan mengirimkannya berupa impuls ke otak untuk
diolah.
Telinga mempunyai reseptor khusus untuk mengenali getaran
bunyi dan untuk keseimbangan. Telinga mempunyai reseptor
khusus untuk mengenali getaran bunyi dan untuk keseimbangan.
a) Telinga luar

14
Telinga luar terdiri dari daun telinga (pinna, aurikula),
saluran telinga luar (meatus akustikus eksternus) dan selaput
gendang (membrane tympani), bagian telinga ini berfungsi
untuk menerima dan menyalurkan getaran suara atau
gelombang bunyi sehingga menyebabkan bergetarnya
membran tympani. Meatus akustikus eksternus terbentang dari
telinga luar sampai membrane tympani. Meatus akustikus
eksternus tampak sebagai saluran yang sedikit sempit dengan
dinding yang kaku. Satu per tiga luas meatus disokong oleh
tulang rawan elastis dan sisanya dibentuk oleh tulang rawan
temporal. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut,
kelenjar Sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah
mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu
kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang
mennnghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-
coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen
berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.
Pada ujung dalam meatus akustikus eksternus terbentang
membrane tympani. Dia diliputi oleh lapisan luar epidermis
yang tipis dan pada permukaan dalamnya diliputi oleh epitel
selapis kubus. Antara dua epitel yang melapisi terdapat
jaringan ikat kuat yang terdiri atas serabut-serabut kolagen dan
elastin serta fibroblast. Pada kuadran depan atas membran atas
tympani tidak mengandung serabut dan lemas, membentuk
membran shrapnell. Liang ini berukuran panjang sekitar
2,5cm.
b) Telinga tengah
Telinga tengah merupakan suatu rongga kecil dalam tulang
pelipis (tulang temporalis) yang berisi tiga tulang pendengaran
(osikula), yaitu maleus (tulang martil), inkus (tulang landasan),
dan stapes (tulang sanggurdi). Ketiganya saling berhubungan

15
melalui persendian . Tangkai maleus melekat pada permukaan
dalam membran tympani, sedangkan bagian kepalanya
berhubungan dengan inkus. Selanjutnya, inkus bersendian
dengan stapes. Stapes berhubungan dengan membran pemisah
antara telinga tengah dan telinga dalam, yang disebut fenestra
ovalis (tingkap jorong/ fenestra vestibule). Di bawah fenesta
ovalis terdapat tingkap bundar atau fenesta kokhlea, yang
tertutup oleh membran yang disebut membran tympani
sekunder.
Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang
terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada
periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat
dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang
mempunyai fungsi konduksi suara . maleus, inkus, dan stapes
diliputi oleh epitel selapis gepeng.
Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui
saluran eustachius(tuba auditiva), yang berfungsi untuk
menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane
tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga
atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat
keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk
mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut
terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui
tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan
tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan
luar membran tympani.
c) Telinga dalam (labirin)
Telinga dalam merupakan struktur yang kompleks, terdiri
dari serangkaian rongga-rongga tulang dan saluran
membranosa yang berisi cairan. Saluran-saluran membranosa
membentuk labirin membranosa dan berisi cairan endolimfe,

16
sedangkan rongga-rongga tulang yang di dalamnya berada
labirin membranosa disebut labirin tulang (labirin
osseosa). Labirin tulang berisi cairan perilimfe. Rongga yang
terisi perilimfe ini merupakan terusan dari rongga
subarachnoid selaput otak, sehingga susunanz peri limfe mirip
dengan cairan serebrospinal. Labirin membranosa dilekatkan
pada periosteum oleh lembaran-lembaran jaringan ikat tipis
yang mengandung pembuluh darah. Labirin membranosa
sendiri tersusun terutama oleh selapis epitel gepeng dikelilingi
oleh jaringan-jaringan ikat. Labirin terdiri atas tiga saluran
yang kompleks, yaitu vestibula, kokhlea (rumah siput) dan 3
buah kanalis semisirkularis (saluran setengah lingkaran).
Vestibula merupakan rongga di tengah labirin, terletak di
belakang kokhlea dan di depan kanalis semisirkularis.
Vestibula berhubungan dengan telinga tengah melalui fenesta
ovalis (fenestra vestibule). Vestibule bagian membran terdiri
dari dua kantung kecil, yaitu sakulus dan utikulus. Pada
sakulus dan utikulus terdapat dua struktur khusus yang disebut
makula akustika, sebagai indra keseimbangan statis (orientasi
tubuh terhadap tarikan gravitasi). Sel-sel reseptor dalam organ
tersebut berupa sel-sel rambut, yang didampingi oleh sel-sel
penunjang. Bagian atas sel tersebut tertutup oleh membran
yang mengandung butir-butiran kecil kalsium karbonat
(CaCO3) yang disebut otolit. Perubahan posisi kepala yang
menimbulkan tarikan gravitasi, menyebabkan akan
menyampaikan impuls saraf ke cabang vestibular dari saraf
vestibulokokhlear yang terdapat pada bagian dasar sel-sel
tersebut, yang akan meneruskan impuls saraf tersebut ke pusat
keseimbangan di otak.
Kanalis semisiskularis merupakan 3 saluran bertulang yang
terletak di atas belakang vestibula. Salah satu ujung dari

17
masing-masing saluran tersebut menggembung, disebut
ampula. Masing-masing ampula berhubungan dengan
utrikulus. Pada ampula terdapat Krista akustika, sehingga
organ indra keseimbangan dinamis (untuk mempertahankan
posisi tubuh dalam melakukan respon terhadap gerakan).
Seperti pada vestibula sel-sel reseptor dalam krista akustika
juga berupa sel-sel rambut yang didampingi oleh sel-sel
penunjang, tetapi di sini tidak terdapat otolit. Sel-sel reseptor
disini distimulasi oleh gerakanendolimfe. Ketika kepala
bergerak akibat terjadinya perputaran tubuh, endolimfe akan
mengalir di atas sel-sel rambut. Sel-sel rambut menerima
ransangan tersebut dan mengubahnya menjadi impuls saraf.
Sebagai responnya, otot-otot berkonsraksi untuk
mempertahankan keseimbangan tubuh pada posisi yang baru.
Kokhlea membentuk bagian anterior labirin, terletak di
depan vestibula. Berbentuk seperti rumah siput, berupa saluran
berbentuk spiral yang terdiri dari 2 ¾ lilitan, mengelilingi
bentukan kerucut yang disebut mediolus.
Penampang melintang kokhlea menunjukkan bahwa
kokhlea terdiri dari tiga saluran yang berisi cairan.
Tiga saluran tersebut adalah:
(1) Saluran vestibular (skala vestibular): di sebelah atas
mengandung perilimfe, berakhir pada tingkap jorong.
(2) Saluran tympani (skala tympani): di sebelah bawah
mengandung perilimfe berakhir pada tingkap bulat.
(3) Saluran kokhlear (skala media): terletak di antara skala
vestibular dan skala tympani, mengandung endolimfe.
Skala media dipisahkan dengan skala vestibular oleh
membran vestibularis (membran reissner), dan dipisahkan
dangan skala tympani oleh membran basilaris.

18
Pada membran basilaris inilah terdapat indra pendengar,
yaitu organ corti. Sel reseptor bunyi pada organ ini berupa sel
rambut yang didimpingi oleh sel penunjang. Akson-akson dari
sel-sel rambut menyusun diri membentuk cabang kokhlear dari
saraf vestibulokokhlear (saraf kranial ke VIII) yang
menghantarkan impuls saraf ke pusat pendengaran/
keseimbangan di otak.
Getaran suara dapat sampai pada organ corti melalui
lintasan sebagai berikut: Getaran suara memasuki liang telinga
menekan membran tympani melintas melalui tulang-tulang
pendengaran menekan tingkap jorong Menimbulkan
gelombang pada jaringan perilimfe menekan membran
vestibularis dan skala basilaris merangsang sel-sel rambut pada
organ corti. Di sinilah mulai terjadi pembentukan impuls saraf
2) Fisiologi
a) Proses Pendengaran
Gelombang bunyi yang masuk ke dalam telinga luar
menggetarkan gendang telinga. Getaran ini akan diteruskan
oleh ketiga tulang dengar ke jendela oval. Getaran Struktur
koklea pada jendela oval diteruskan ke cairan limfa yang ada di
dalam saluran vestibulum. Getaran cairan tadi akan
menggerakkan membran Reissmer dan menggetarkan cairan
limfa dalam saluran tengah.
Perpindahan getaran cairan limfa di dalam saluran tengah
menggerakkan membran basher yang dengan sendirinya akan
menggetarkan cairan dalam saluran timpani. Perpindahan ini
menyebabkan melebarnya membran pada jendela bundar.
Getaran dengan frekuensi tertentu akan menggetarkan selaput-
selaput basiler, yang akan menggerakkan sel-sel rambut ke atas
dan ke bawah. Ketika rambut-rambut sel menyentuh membran
tektorial, terjadilah rangsangan (impuls). Getaran membran

19
tektorial dan membran basiler akan menekan sel sensori pada
organ Korti dan kemudian menghasilkan impuls yang akan
dikirim ke pusat pendengar di dalam otak melalui saraf
pendengaran.
b) Susunan dan Cara Kerja Alat Keseimbangan
Bagian dari alat vestibulum atau alat keseimbangan berupa
tiga saluran setengah lingkaran yang dilengkapi dengan organ
ampula (kristal) dan organ keseimbangan yang ada di dalam
utrikulus clan sakulus. Ujung dari setup saluran setengah
lingkaran membesar dan disebutampula yang berisi reseptor,
sedangkan pangkalnya berhubungan dengan utrikulus yang
menuju ke sakulus. Utrikulus maupun sakulus berisi reseptor
keseimbangan. Alat keseimbangan yang ada di dalam ampula
terdiri dari kelompok sel saraf sensori yang mempunyai rambut
dalam tudung gelatin yang berbentuk kubah. Alat ini disebut
kupula.Saluran semisirkular (saluran setengah lingkaran) peka
terhadap gerakan kepala. Alat keseimbangan di dalam utrikulus
dan sakulus terdiri dari sekelompok sel saraf yang ujungnya
berupa rambut bebas yang melekat padaotolith, yaitu butiran
natrium karbonat. Posisi kepala mengakibatkan desakan otolith
pada rambut yang menimbulkan impuls yang akan dikirim ke
otak
b. Riwayat Penyakit
Beberapa penyakit telinga dapat menyebabkan ketulian sebagian
bahkan ketulian total. Bahkan lagi, kebanyakan penyakit pada telinga
bagian dalam dapat mengakibatkan gangguan pada keseimbangan.
permasalahan yang terjadi pada telinga kita harus ditangani oleh dokter
spesialis khusus yang disebut otolaryngologist, yang mana spesialist
ini ahli dalam mengobati gangguan yang terjadi pada gendang telinga
sampai pada telinga dalam yang luka akibat benturan fisik. Kelainan
pada telinga, diantaranya :

20
1) Radang telinga (otitas media)
Penyakit ini disebabkan karena virus atau bakteri. Gejalanya
sakit pada telinga, demam, dan pendengaran berkurang. Telinga
akan mengeluarkan nanah.
2) Labirintitis
Labirintitis merupakan gangguan pada labirin dalam telinga.
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi, gegar otak, dan alergi.
Gejalanya antara lain telinga berdengung, mual, muntah, vertigo,
dan berkurang pendengaran.
3) Motion sickness
Mabuk perjalanan atau disebut motion sickness. Mabuk
perjalanan ini merupakan gangguan pada fungsi keseimbangan.
Penyebabnya adalah rangsangan yang terus menerus oleh gerakan
atau getaran-getaran yang terjadi selama perjalanan, baik darat, laut
maupun udara. Biasanya disertai dengan muka pucat, berkeringat
dingin dan pusing.
4) Tuli
Tuli atau tuna rungu ialah kehilangan kemampuan untuk dapat
mendengar. Tuli dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tuli
konduktif dan tuli saraf. Tuli konduktif terjadi disebabkan oleh
menumpuknya kotoran telinga di saluran pendengaran, sehingga
mengganggu transmisi suara ke koklea. Tuli saraf terjadi bila
terdapat kerusakan syaraf pendengaran atau kerusakan pada koklea
khususnya pada organ korti.
5) Othematoma
Pada beberapa kasus kelainan pada telinga terjadi kelainan
yang disebut othematoma atau popular dengan sebutan ‘telinga
bunga kol’, suatu kondisi dimana terjadi gangguan pada tulang
rawan telinga yang dibarengi dengan pendarahan internal serta
pertumbuhan jaringan telinga yang berlebihan (sehingga telinga

21
tampak berumbai laksana bunga kol). Kelainan ini diakibatkan
oleh hilangnya aurikel dan kanal auditori sejak lahir.
6) Penyumbatan
Kotoran telinga (serumen) bisa menyumbat saluran telinga dan
menyebabkan gatal-gatal, nyeri serta tuli yang bersifat sementara.
Dokter akan membuang serumen dengan cara menyemburnya
secara perlahan dengan menggunakan air hangat (irigasi). Tetapi
jika dari telinga keluar nanah, terjadi perforasi gendang telinga atau
terdapat infeksi telinga yang berulang, maka tidak dilakukan
irigasi. Jika terdapat perforasi gendang telinga, air bisa masuk ke
telinga tengah dan kemungkinan akan memperburuk infeksi. Pada
keadaan ini, serumen dibuang dengan menggunakan alat yang
tumpul atau dengan alat penghisap. Biasanya tidak digunakan
pelarut serumen karena bisa menimbulkan iritasi atau reaksi alergi
pada kulit saluran telinga, dan tidak mampu melarutkan serumen
secara adekuat.
7) Perikondritis
Perikondritis adalah suatu infeksi pada tulang rawan
(kartilago) telinga luar. Perikondritis bisa terjadi akibat: cedera ,
gigitan serangga dan pemecahan bisul dengan sengaja. Nanah akan
terkumpul diantara kartilago dan lapisan jaringan ikat di sekitarnya
(perikondrium). Kadang nanah menyebabkan terputusnya aliran
darah ke kartilago, menyebabkan kerusakan pada kartilago dan
pada akhirnya menyebabkan kelainan bentuk telinga. Meskipun
bersifat merusak dan menahun, tetapi perikondritis cenderung
hanya menyebabkan gejala-gejala yang ringan. Untuk membuang
nanahnya, dibuat sayatan sehingga darah bisa kembali mengalir ke
kartilago. Untuk infeksi yang lebih ringan diberikan antibiotik per-
oral, sedangkan untuk infeksi yang lebih berat diberikan dalam
bentuk suntikan. Pemilihan antibiotik berdasarkan beratnya infeksi
dan bakteri penyebabnya. (medicastore) Ada banyak lagi gangguan

22
yang terjadi pada alat pendengaran kita ini, misalnya tumor,
cedera, eksim, otitis dan lain-lain.
c. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Diagnostik
Adapun alat yang digunakan dalam pemeriksaan telinga adalah
Lampu kepala,Corong telinga, Otoskop, Pelilit kapas, Pengait
serumen, Pinset telinga.
Pemeriksaan fisik telinga mencakup hal-hal berikut:
1) Pemeriksaan Telinga Luar
a) Inspeksi Struktur Telinga Luar
Inspeksi pina untuk melihat ukuran, posisi, bentuknya dan
amati apakah ada kelainan. Pina harus terletak dibagian tengah
dan harus sesuai dengan besarnya wajah dan kepala. Amati
adanya pengeluaran cairan. Jika ada pengeluaran cairan
catatlah warna, konsistensi dan kejernihannya
b) Palpasi struktur Telinga Luar
Pina dipalpasin untuk mencari ada tidaknya nyeri
tekan,pembengkakan, atau nodulus. Tarik pina dengan lemah
lembut ke atas atau ke bawah atau dengan menekan tragus dan
mintalah pasien untuk menatakan jika sakit. Nyeri palpasi pada
tragus menunjukkan adanya infeksi meatus akustikus ekaternus
(MAE) atau adanya masalah pada persendian
temporomandibular. Daerah telinga posterior harus diperiksa
untuk melihat adnya jaringan parut atau
2) Pemeriksaan Otoskopik
Pemeriksaan telinga dengan memakai otoskop untuk melihat
visualisasi struktur telinga dengan baik. Gunakan Otoskop dengan
speculum dengan ukuran yang nyaman di telinga pasien dan
periksa apakah menghasilkan cahaya yang baik.
Pemeriksaan Ketajaman pendengaran

23
1) Test Rinne
Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan
atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga
pasien.
a) Jenis Tes Rinne :
(1) Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid
pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah
pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita
pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes
Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya.
Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat
mendengarnya
(2) Garputala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu
menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum
mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan
meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada
pasien apakah bunyi garputala didepan meatus akustikus
eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus
eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien
mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras.
Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan
meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras
dibelakang.
b) Interpretasi Dari Hasil Tes Rinne :
(1) Normal : tes rinne positif
(2) Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar
melalui tulang lebih lama)
(3) Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan :
(a) Bila pada posisi II penderita masih menderita bunyi
getaran garpu tala.

24
(b) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi
getaran garpu tala.
(c) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak
(tes rinne: +/-)Pseudo negatif: terjadi pada penderita
telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang
mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga
mula-mula timbul.
Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi
baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalah
dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak
tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien
dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga
bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien
tebal.
Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat
memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar
bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di
planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki
garputala sudah berhenti saat kita memindahkan
garputala kedepan meatus akustukus eksternus.
2) Test Weber
Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk
membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara
kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala 512 Hz
lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal.
Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar
lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih
keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut.
Jika kedua pasien sama-sama tidak mendengar atau sam-sama
mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi.

25
Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh
tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada
keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis
media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus
di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala
getaran akan didengarkan di sebelah kanan.
Interpretasi:
a) Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah
kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara
sisi kanan dan kiri sama kerasnya.
b) Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya:
(1) Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media
disebelah kanan.
(2) Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya
pada telinga kanan ebih hebat.
(3) Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri
terganggu, maka di dengar sebelah kanan.
(4) Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih
hebaaaat dari pada sebelah kanan. Tuli persepsi telinga
dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.
3) Test Swabach
Tujuan kita melakukan tes swabach adalah membandingkan
daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal)
dengan probandus. Gelombang-gelombang dalam endolymphe
dapat ditimbulkan oleh getaran yang datang melalui udara.
Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo
temporale. Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah
digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus akan
mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan
akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala
tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera

26
memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang
diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi
pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar
suara, atau tidak mendengar suara.
4) Tes Audiometri
Ketajaman pendengaran sering diukur dengan ketajaman
audiometer. Alat ini menghasilkan nada-nada murni dengan
beragam frekuensi melalui earphone. Pada setiap frekuensi,
ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik
sebagai presentase dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan
pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai
rentang nada yang paling terpengaruh.
3. Hidung
a. Anatomi dan Fisiologi
1) Anatomi
a) Hidung Luar
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya
dari atas ke bawah yang terdiri dari:
(1) Pangkal hidung
(2) Dorsum nasi atau batang hidung
(3) Puncak hidung atau tip
(4) Ala nasi atau sayap hidung
(5) Kolumela
(6) Lubang hidung
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang
rawan yang dilapisi kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil
yaitu M Nasalis pars transversal dan M Nasalis pars allaris.
Kerja otot-otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan
menyempit.Batas atas nasi eksternus melekat pada os frontal
sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks (puncak)

27
disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian
inferior disebut nares, yang dibatasi oleh :
(1) Superior : os frontal, os nasal dan os maksila
(2) Inferior : kartilago septum nasi, kartilago nasi lateralis,
kartilago alaris mayor dan kartilago alaris minor
b) Kavum Nasi
Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi
menjadi dua ruangan yang membentang dari nares sampai
koana (apertura posterior).Kavum nasi ini berhubungan dengan
sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa
kranial media. Batas-batas kavum nasi :
(1) Posterior : berhubungan dengan nasofaring
(2) Atap : os nasal, os frontal, lamina kribiformis etmoidale,
korfus sfeinodale dan sebagian os vomer
(3) Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya
hampir horisontal, bentuknya konkafdan bagian dasar ini
lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipsahkan
dengan kavum oris oleh palatum durum.
(4) Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi
dua ruangan yaitu dekstra dan sinistra, pada bagian
bawaha apeks nasi, septum nasi dilapisi kulit, jaringan
subkutan, dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum
yang terdiri dari kartilago ini disebut sebagai septum pars
membranosa-kolumna-kolumela.
(5) Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila,
os lakrima, os etmoid, konka nasalis inferior, palatum dan
os sfenoid.
(6) Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan
tonjolan dari tulang etmoid. Sedangkan konka nasalis
inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas
dan belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-

28
etmoid yang berhubungan dengan sinis sfenoid. Terkadang
konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di
bagian ini.
c) Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik
dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa
penghidu.Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat
sel-sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia
menjadi sel epital skuamosa.Dalam keadaan normal mukosa
berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.Palut lendir
ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet.

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai


fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut
lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk
membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan
pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan
gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang
berlebihan, radang, sekret kental dan obat – obatan.

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka


superior dan sepertiga bagian atas septum.Mukosa dilapisi oleh
epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified
columnar non ciliated epithelium).Epitelnya dibentuk oleh tiga
macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor

29
penghidu.Daerah mukosa penghidu berwarna coklat
kekuningan.

2) Fisiologi
a) Jalan Nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan
atau arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan
kemudian mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi.
Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung
dengan aliran dari nasofaring.
b) Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus.
Fungsi ini dilakukan dengan cara :
(1) Mengatur kelembaban udara Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya.
(2) Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan
konka dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat
berlangsung secara optimal. Dengan demikian suhu udara
setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
c) Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari
debu dan bakteri dan dilakukan oleh :
(1) Rambut pada vestibulum nasi
(2) Silia

30
(3) Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan
melekat pada palut lendir dan partikel – partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia.
(4) Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
disebut lysozime.
d) Indra penghirup
Hidung juga bekerja sebagai indra penghirup dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai
daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik nafas dengan kuat
e) Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau
hilang, sehingga terdengar suara sengau.
f) Refleks bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
(m,n,ng) dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung
terbuka, palatum molle turun untuk aliran udara
g) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan.Contoh :
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar
liur, lambung dan pankreas.
b. Riwayat Penyakit
Menggali keluhan utama, yaitu alasan datang ke RS atau dokter
1) Pilek :
 Sejak kapan

31
 Apakah disetai dengan keluhan lain seperti bersin-bersin, batuk,
panas, hidung tersumbat
2) Sakit
 Sejak kapan merasakan gejala
 Menanyakan adakah riwayat trauma
 Menanyakan apakah disertai dengan keluhan lain seperti
tersumbat, pusing, keluar ingus yang kental, berbau/tidak, warna
kekuning-kuningan dan bercampur darah.
3) Mimisan
 Menanyakan sejak kapan merasakan gejala
 Menanyakan dan meliat jumla perdarahan, apakah banyak atau
sedikit
 Apakah perdarahan didahului trauma
 Apakah perdarahan mnetes atau memancar
 Apakah darah bercampur lendir / tidak
 Apakah disertau bau/tidak
 Apakah disertai gejala lain / tidak seperti panas, batuk, pilek,
suara sengau
4) Hidung tersumbat
 Menanyakan sejak kapan merasakan gejala
 Apakah makin lama semakin tersumbat/tiidakdak
 Disertai dengan keluhan lain/tidak seperti gatal, bersin,
rinorrhea, mimisan/tidak dan berbau/tidak
 Sumbatan hilang timbul/tidak
 Apakah menetap, makin lama smakin berat
 Diagnosis banding: Rhinitis dan benda asing
5) Rhinolalia
 Menanyakan sejak kapan merasakan gejala
 Terjadi saat apa, pilek/tidak
 Apakah disertai gejala lain/tidk

32
 Ada riwayat trauma kepala/tidak
 Ada riwayat operasi hidung/tdak
 Ada riwayat operasi kepala/tidak
c. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan hidung luar
(1) Inspeksi
Pemeriksaan hidung diawali dengan melakukan isnpeksi
hidung bagian luar dan daerah sekitarnya. Inspeksi dilakukan
dengan mengamati:
 Kesimetrisan lubang hidung
 Apakah hidungnya lurus
 Apakah ada deviasi septum nasi, apakah deviasinya
melibatkan bagian atas, yang terdiri dari tulang, atau bagian
bawah yang terdiri dari tulang rawan
 Ada tidaknya kelainan bentuk hidung aau anomali
kongenital
 Adakah tanda infeksi dan pembengkakan
 Tanda – tanda trauma
 Adanya sekret ya g keluar dari lubang hidung
(2) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan penekanan jari-jari telunjuk mulai
dari pangkal hidung sampai apeks untuk mengetahui ada
tidaknya nyeri, massa tumor atau tanda-tanda krepitasi.
Pemeriksaan patensi masing-masing lobang hidung dengan
cara menutup satu lobang hidung dengan meletakkan jari
pemeriksa secara perlahan-lahan pada lobang tersebut.
Mintalah pasien untuk menarik napas. Jangan menekan lobang
hidung kontralateral secara berlebihan
2) Pemeriksaan hidung bagian dalam
Pemeriksaan rongga hidung dilakukan secara inspeksi melalui
lubang hidung yang disebut dengan rhinoskopi anterior dan yang

33
melalui rongga mulut dengan menggunakan cermin nasofaring yang
disebut dengan rhinoskopi posterior. Untuk pemeriksaan rhinoskopi
posterior belum dilakukan.
Kunci untuk berhasilnya pemeriksaan rongga hidung adalah
posisi kepala yang tepat.
Langkah – langkah pemeriksaan:
(1) Mintalah pasien untuk menengadahkan kepalanya secara
maksimal.
(2) Letakkan jari 2,3,4 dan 5 tangan kiri pemeriksa pada regio
frontalis kepala pasien, pakailah ibu jari kiri untuk mengangkat
ujung hidung pasien. Dengan cara ini pemeriksa dapat
mengubah-ubah posisi kepala pasien untuk melihat struktur-
struktur intranasal.
(3) Arahkan sumber cahaya pada struktur yang akan diperiksa
(4) Periksalah seluruh struktur yang ada dalam rongga hidung
secara bergantian kiri dan kanan :
 Dasar rongga hidung
 Konka dan meatus nasi
 Posisi septum terhadap tulang rawan lateral pada tiap sisi
 Deviasi septum atau perforasi
 Warna membran mukosa hidung (normal berwarna merah
pudar, lembab, dan mempunyai permukaan halus dan
bersih).
 Tanda-tanda peradangan, pembengkakan atau infeksi
 Eksudat atau sekret
 Massa tumor /polip ( kebanyakan ditemukan pada meatus
media)

34
d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan dengan menggunakan spekulum hidung
Pemeriksaan Rhinoskopi anterior dapat juga dilakukan dengan
menggunakan speculum hidung yang disesuaikan dengan besarnya
lubang hidung. Adapun langkah langkah pemeriksan yaitu:
 Kepala pasien sedikit diekstensikan
 Gunakan Lampu Kepala
 Pegang spekulum hidung dengan tangan kiri, posisi spekulum
horizontal. Tangkai Spekulum digenggam sedemikian rupa
sehingga tangkai bawah dapat digerakkan bebas dengan
menggunakan jari tengah, jari manis dan jari kelingking. Jari
telunjuk digunakan sebagai fiksasi disekitar hidung.
 Lidah speculum dimasukkan dengan hati-hati dan dalam keadaan
tertutup ke dalam rongga hidung. Di dalam rongga hidung lidah
speculum dibuka. Jangan memasukkan lidah speculum terlalu
dalam atau membuka lidah spaculum terlalu lebar. Pada saat
mengeluarkan lidah speculum dari rongga hidung, lidah speculum
dirapatkan tetapi tidak terlalu rapat untuk menghindari terjepitnya
bulu hidung.

35
 Periksalah seluruh struktur yang ada dalam rongga hidung dengan
mengubah arah spekulum kearah lateral, medial, superior atau
inferior. Periksa rongga hidung kiri dan kanan secara bergantian :
 Dasar rongga hidung
 Konka dan meatus nasi
 Posisi septum terhadap tulang rawan lateral pada tiap sisi
 Deviasi septum atau perforasi
 Warna membran mukosa hidung (normal berwarna merah
pudar, lembab, dan mempunyai permukaan halus dan bersih).
 Tanda-tanda peradangan, pembengkakan atau infeksi
 Eksudat atau sekret
 Massa tumor /polip ( kebanyakan ditemukan pada meatus
media)
Bila ingin melihat konka medius dan superior pasien diminta
untuk tengadahkan kepala.
Pada pemeriksaan RA dapat pula dinilai Fenomena Palatum
Molle yaitu pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta
untuk mengucapkan huruf " i ". Pada waktu melakukan penilaian
fenomena palatum molle usahakan agar arah pandang mata sejajar
dengan dasar rongga hidung bagian belakang. Pandangan mata
tertuju pada daerah nasofaring sambil mengamati turun naiknya
palatum molle pada saat pasien mengucapkan huruf " i ". Fenomena
Palatum Molle akan negatif bila terdapat massa di dalam rongga
nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum molle, atau
terdapat kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini.
Bila rongga hidung sulit diamati oleh adanya edema mukosa
dapat digunakan tampon kapas efedrin yang dicampur dengan
lidokain yang dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk
mengurangi edema mukosa
4. Tenggorokan
a. Anatomi dan Fisiologi

36
1) Anatomi
a) Faring
Adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya
seperti corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian
bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus
menyambung ke esofagus setinggi vertebrae servikal ke-6. Ke
atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus
orofaring, sedangkan dengan laring di bawah berhubungan
melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari
dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus
otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-
unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket)
dan otot.
Berdasarkan letaknya, faring dibagi atas :
(1) Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar
tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan
adalah rongga hidung sedangkan ke belakang adalah
vertebra servikal.Nasofaring yang relatif kecil,
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa
struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut
osa Rosenmuller, kantong Ratkhe, yang merupakan
invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus
tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang

37
dilalui oleh n.glosofaring, n.vagus dan n.asesorius spinal
saraf kranial dan v.jugularis interna. Bagian petrosus os
temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
Eustachius.
(2) Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas
atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas
epiglotis, ke depan adalah rongga mulut, ke belakang
adalah vertebra servikal.
Struktur yang terdapat di rongga orofaring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta
arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan
foramen sekum.
(a) Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting
karena ikut terlibat pada radang akut atau radang
kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan otot-
otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring
bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.
(b) Fosa tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh arcus faring anterior dan
posterior. Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring
superior. Pada batas atas yang disebut kutub atas
(upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fosa supra tonsil. Fosa ini berisi jaringan
ikat jarang dan biasanya merupakan tempat nanah
memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi
oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan
merupakan kapsul yang sebenarnya.

38
(c) Tonsil
Tonsil adalah massa yang tediri dari jaringan
limfoid dan di tunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya.Terdapat 3 macam tonsil yaitu
tonsil faringal (ademoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin waldeyer. Tonsil palatina yang
biasa disebut tonsil saja terletak di dalam fosa tonsil.
Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah
intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada
dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya
beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut
kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel
skuamosa yang juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang
terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan lateral
tonsil melekat pada fasia faring yang sering disebut
juga kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada
otot faring, sehingga mudah dilakukan diseksi pada
tonsilektomi.
Tonsil mendapat darah dari a.palatina minor,
a.palatina asendens, cabang tonsil a.maksila eksterna,
a.faring asendens dan a.lingualis dorsal. Tonsil lingual
terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di
sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum
pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila
sirkumvalata. Tempat ini kadang –kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara

39
klinik merupakan tempat penting bila ada massa tiroid
lingual atau kista duktus tiroglosus.
(3) Laringofaring(Hipofaring)
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi
atas epiglotis, batas anterior ialah laring, batas inferior ialah
esofagus, serta batas posterior adalah vertebra servikal. Bila
laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada
pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop
pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak di bagian dasar lidah valekula. Bagian ini
merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh
ligamentum glosoepiglotika medial dan lateral pada tiap
sisi. Valekula disebut juga kantung pil.
Di bawah valekula terdapat epiglotis. Pada bayi
epiglotis ini berbentuk omega dan pada perkembangannya
akan lebih melebar, meskipun kadang-kadang bentuk
infantil (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian
lebar dan tipisnya sehingga pada pemeriksaan laringoskopi
tidak langsung tampak menutupi pita suara. Epiglotis
berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika
menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus
tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus
piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk
diketahui pada pemberian analgesia lokal di faring dan
laring pada tindakan laringoskop langsung.
b) Laring
Laring merupakan bagian yang terbawah dari saluran napas
bagian atas. Bentuknya menyerupai limas segitiga terpancung,
dengan bagian atas lebih besar daripada bagian bawah.

40
Batas atas laring adalah aditus laring, sedangkan batas
bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Bangunan
kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hyoid,
dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hyoid berbentuk
seperti huruf U, yang permukaan atasnya dihubungkan dengan
lidah, mandibula dan tengkorak oleh tendo dan otot-otot.
Sewaktu menelan, kontraksi otot otot-otot ini akan
menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring
diam, maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan
membantu menggerakkan lidah. adalah kartilago epiglottis,
kartilago tiroid, kartilago krikoid, kartilago aritenoid, kartilago
kornikulata, kartilago kuneiformis dan kartilago tritisea.
Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh
ligamentum krikotiroid. Bentuk kartilago krikoid berupa
lingkaran. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago aritenoid yang
terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk
sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi
krikoaritenoid.Sepasang kartilago kornikulata (kiri dan kanan)
melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks, sedangkan
sepasang kartilago kuneiformis terdapat didalam lipatan
ariepiglotik, dan kartilago tritisea terletak didalam ligamentum
hiotiroid lateral.
Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi
krikotiroid dan artikulasi krikoaritenoid.Ligamentum yang
membentuk susunan laring adalah ligamentum seratokrikoid
(anterior, lateral dan posterior), ligamentum krikotiroid medial ,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum
kornikulofaringal, ligamentum hiotiroid lateral, ligamentum
hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika, ligamentum
ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan
kartilago aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum

41
tiroepiglotika.Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-
otot ekstrinsik dan otot-otot intrinsik. Otot-otot ekstrinsik
terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan
otot-otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring
tertentu yang berhubungan dengan gerakan pita suara.
Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak diatas tulang
hyoid (suprahioid), dan ada yang terletak dibawah tulang hyoid
(infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid adalah m.
digastrikus, m. geniohioid, m. stilohioid, dan m. milohioid.
Otot yang infrahioid adalah m. sternohioid, m. omohioid dan
m. tirohioid.Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid
berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang infrahioid
menarik laring ke atas.Otot-otot intrinsik laring ialah m.
krikoaritenoid lateral, m. tiroepiglotika, m. vokalis, m.
tiroaritenoid, m. ariepiglotika dan m. krikotiroid. Otot-otot ini
terletak di bagian lateral laring. Otot-otot intrinsik laring yang
terletak di bagian posterior, ialah m. aritenoid transversum, m.
aritenoid oblik dan m. krikoaritenoid posterior.
Sebagian besar otot-otot intrinsik adalah otot aduktor
(kontraksinya akan mendekatkan kedua pita suara ke tengah)
kecuali m. kriko-aritenoid posterior yang merupakan otot
abductor (kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke
lateral).
Rongga Laring
Batas atas rongga laring (cavum laryngis) ialah aditus
laring, batas bawahnya ialah bidang yang melalui pinggir
bawah kartilago krikoid. Batas depannya ialah permukaan
belakang epiglottis, tuberkulum epiglotik, ligamentum
tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid
dan arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya ialah membran
kuadrangularis, kartilago aritenoid, konus elastikus dan arkus

42
kartilago krikoid, sedangkan batas belakangnya adalah m.
aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.Dengan
adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan
ligamentum ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita
suara asli) dan plika ventrikularis (pita suara palsu).
Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima
glotis, sedangkan antara kedua plika ventrikularis, disebut rima
vestibuli.Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga
laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring, glotik dan
subglotik.Vestibulum laring ialah rongga laring yang terdapat
di atas plika ventrikularis. Daerah ini disebut
supraglotik.Antara plika vokalis dan plika ventrikularis, pada
tiap sisinya disebut ventrikulus laring Morgagni.Rima glotis
terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran ialah ruang antara kedua
plika vokalis, dan terletak di bagian anterior, sedangkan bagian
interkartilago terletak antara kedua puncak kartilago aritenoid,
dan terletak di bagian posterior.Daerah subglotik adalah rongga
laring yang terletak dibawah plika vokalis.
Persarafan Laring
Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu
n. laringis superior dan n. laringis inferior. Kedua saraf ini
merupakan campuran saraf motorik dan sensorik.Nervus
laringis superior mempersarafi m. krikotiroid, sehingga
memberikan sensasi pada mukosa laring dibawah pita suara.
Saraf ini mula-mula terletak di atas m. konstriktor faring
medial, disebelah medial a. karotis interna dan eksterna,
kemudian menuju kornu mayor tulang hioid, dan setelah
menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus
internus.

43
Ramus eksternus berjalan pada permukaan luar m.
konstriktor faring inferior dan menuju ke m. krikotiroid,
sedangkan ramus internus tertutup oleh m. tirohioid terletak di
sebelah medial a. tiroid superior, menembus membran
hiotiroid, dan bersama-sama dengan a. laringis superior menuju
ke mukosa laring.Nervus laringis inferior merupakan lanjutan
dari n. rekuren setelah saraf itu memberikan cabangnya
menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan
cabang dari n. vagus.Nervus rekuren kanan akan menyilang a.
subklavia kanan dibawahnya, sedangkan n. rekuren kiri akan
menyilang arkus aorta. Nervus laringis inferior berjalan
diantara cabang-cabang a. tiroid inferior, dan melalui
permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada
permukaan medial m. krikofaring. Disebelah posterior dari
sendi krikoaritenoid, saraf ini bercabang 2 menjadi ramus
anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral,
sedangkan ramus posterior mempersarafi otot-otot intrinsik
laring bagian superior dan mengadakan anastomosis dengan n.
laringis superior ramus internus.

44
2) Fisiologi
a) Faring
Ialah untuk respirasi, pada waktu menelan , resonansi suara dan
untuk artikulasi.
(1) Menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan , yaitu fase oral,
fase faringal dan fase esofagal. Fase oral, bolus makanan
dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja. Fase
faringal yaitu pada waktu transpor bolus makanan melalui
faring. Gerakan disini tidak disengaja. Fase esofagal disini
gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus
makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju
lambung.
(2) Fungsi faring dalam proses berbicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan
terpadu dari otot-otot palatum dan faring. Gerakan ini
antara lain berupa pendekatan palatum mole ke arah
dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi
sangat cepat dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring

45
dan m.palatofaring, kemudian m.levator veli palatini
bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada gerakan
penutupan nasofaring m.levator veli palatini menarik
palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding
posterior faring. Jarak yang tersisa ini diisi oleh tonjolan
Passavant pada dinding belakang faring yang terjadi akibat
2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai
hasil gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring)
dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring superior.
Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang
bersamaan.
b) Laring
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi,
menelan, emosi serta fonasi. Fungsi laring untuk proteksi ialah
untuk mencegah makanan dan benda asing masuk kedalam
trakea, dengan jalan nafas menutup aditus laring dan rima
glotis secara bersamaan. Terjadi penutupan aditus laring ialah
karena pengangkatan laring keatas akibat kontraksi otot-otot
ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago aritenoid bergerak
kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid.
selanjutnya m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.
Penutupan rima glotis terjadi karena adduksi plika vokalis.
Kartilago aritenoiod kiri dan kanan mendekat karena adduksi
otot-otot intrinsik.
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah
masuk kedalam trakea dapat dibatukkan keluar. Demikian juga
dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari paru dapat
dikeluarkan. Fungsi respirasi dan laring ialah dengan mengatur
besar kecilnya rima glotis. Bila m.krikoaritenoid posterior
berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago
aritenoid bergerak kelateral, sehingga rima glotis terbuka

46
(abduksi). Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di
dalam traktus trakeo-bronkial akan dapat mempengaruhi
sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai
alat pengatur sirkulasi darah.
Fungsi laring dalam membantu proses menelan adalah
dengan mekanisme, yaitu gerakan laring bagian bawah ke atas,
menutup aditus laringeus dan mendorong bolus makanan turun
ke hipofaring dan tidak mungkin masuk kedalam laring. Laring
juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti
berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat
suara serta menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi
rendahnya nada diatur oleh ketegangan plika vokalis. Bila plika
vokalis dalam adduksi, maka m.krikotiroid akan merotasikan
kartilago tiroid kebawah dan kedepan, menjauhi kartilago
aritenoid. Pada saat yang bersamaan m.krikoaritenoid posterior
akan menahan atau menarik kartilago aritenoiod kebelakang.
Plika vokalis ini dalam keadaan yang efektif untuk
berkontraksi. Sebaliknya kontraksi m. krikoaritenoid akan
mendorong kartilago aritenoid kedepan, sehingga plika vokalis
akan mengendur. Kontraksi serta mengendornya plika vokalis
akan menentukan tinggi rendahnya nada.
b. Riwayat Penyakit
1. Faringitis
Radang pada faring akibat infeksi oleh bakteri Streptococcus.
Tenggorokan sakit dan tampak berwarna merah. Penderita
hendaknya istirahat dan diberi antibiotik.
2. Laringitis

47
Radang pada laring. Penderita serak atau kehilangan suara.
Penyebabnya antara lain karena infeksi, terlalu banyak merokok,
minum alkohol, dan terlalu banyak serak.
3. Kanker larin
Dua jenis utama kanker laring termasuk karsinoma sel
skuamosa dan karsinoma verrucous. Sebagian besar kasus kanker
secara langsung terkait dengan merokok. Suara serak awal diikuti
oleh batuk kering dan, kadang-kadang, batuk darah. Akhirnya,
orang tersebut akan mengalami kesulitan bernapas dan menelan.
4. Bronkitis
Radang pada cabang tenggorokan akibat infeksi. Penderita
mengalami demam dan banyak menghasilkan lendir yang
menyumbat batang tenggorokan.
5. Difteri
Penyumbatan pada rongga faring atau laring oloeh lendir
yang dihasilkan kuman difteri.
6. Tonsillitis
Tonsilitis atau sering disebut radang amandel adalah
pembengkakan dan peradangan pada amandel, yang biasanya
disebabkan oleh infeksi.Secara klinis peradangan ini ada yang akut
(baru), ditandai dengan nyeri menelan (odinofagi), dan tidak jarang
disertai demam. Sedangkan yang sudah menahun biasanya tidak
nyeri menelan, tetapi jika ukurannya cukup besar (hipertrofi) akan
menyebabkan kesulitan menelan (disfagia)
c. Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan Laring-Faring
Urutan :
a) Siapkan alat
b) Siapkan penderita
c) Lakukan anamnesis
d) Lakukan pemeriksaan rongga mulut

48
Anamnesis
Apa alasan datang ke RS/Dokter (keluhan utama)
a) Sulit untuk menelan (disfagia) dan sakit untuk menelan
(odynofagia) :
(1) Sejak kapan ?
(2) Apakah disertai keluhan-keluhan di bibir dan rongga mulut
?
(3) Apakah disertai dengan keluhan-keluhan lain ?
(4) Apakah disertai dengan keluhan untuk menelan ?
(5) Diagnosis banding :
(a) Benda asing
(b) Pharingitis akut dan kronis
(c) Allergi
(d) Tonsilitis akut dan kronis
(e) GERD, divertikulum, striktur, achalasia
(f) Massa
(g) Gangguan neurologi
b) Serak (hoarseness):
(1) Sejak kapan ?
(2) Apakah disertai dengan keluhan yang lain seperti sesak
napas/ batuk ?
(3) Apakah ada riwayat trauma ?
(4) Batuk-batuk : apakah batuk dulu baru serak; apakah serak
dulu baru batuk ?
(5) Diagnosis banding :
(a) Laringitis akut dan kronis
(b) Alergi
(c) TB
(d) Nodul
(e) Neoplasma
(f) GERD

49
(g) Gangguan neurologi (post stroke)
2) Pemeriksaan Bibir Dan Rongga Mulut
Apakah ada kelainan di bibir dan rongga mulut :
a) Bibir pecah-pecah
b) Ulkus di bibir
c) Drolling (ngiler)
d) Tumor
e) Sukar membuka mulut (trismus)
3) Pemeriksaan Tonsil
Besar tonsil
Permukaan :
a) Halus/ berbenjol-benjol,
b) Detritus,
c) Pelebaran kripte,
d) Micro abses,
e) Tonsil berlobus-lobus,
f) Penebalan arcus,
g) Besar tonsil kanan-kiri sama/ tidak,

h) Disertai pembesaran kelenjar leher/ tidak.

Gambar. Palpasi fossa tonsilaris dan basis lidah


4) Pemeriksaan Lidah

50
Ada gangguan perasa/tidak.
Ada kelainan-kelainan pada lidah :
a) Paresis/ paralisis lidah mengakibatkan deviasi ke salah satu
sisi,
b) Atrofi papila lidah,
c) Abnormalitas warna mukosa lidah,
d) Adanya ulcerasi,
e) Tumor (berapa ukuran tumor, permukaan tumor licin atau
berbenjol-benjol kasar; kenyal padat atau keras, rapuh/ mudah
berdarah).
5) Pemeriksaan Dasar Lidah
a) Ada ulkus
b) Ada benjolan/tidak ranula ?
6) Pemeriksaan Leher
a) Inspeksi leher : simetris/ asimetris; tortikolis; tumor;
limfadenopati
b) Palpasi leher :
(1) Ada tumor atau limfadenopati : single/ multiple, ukuran,
konsistensi (lunak, kistik, padat, keras), permukaan (licin,
berbenjol-benjol); fiksasi (mudah digerakkan/ tidak); nyeri
tekan; tanda radang; sakit pada saat digerakkan/ tidak.
(2) Tiroid : membesar/ tidak; bila ada pembesaran tiroid,
apakah single/ multiple, berapa ukurannya, konsistensi
(lunak, kistik, padat, keras), permukaan (licin, berbenjol-
benjol); fiksasi (mudah digerakkan/ tidak); nyeri tekan;
tanda radang; sakit pada saat digerakkan/ tidak.disertai
pembesaran limfonodi/ tidak; ikut bergerak pada saat
menelan/tidak; disertai suara serak/tidak, adanya tanda
gangguan hormon tiroid (hipertiroid/ hipotiroid).
7) Penilaian Suara/ Bicara :
a) Serak/ tidak,

51
b) Sengau/ tidak,
c) Cedal/ tidak
8) INDIRECT LARINGOSKOPI (Dengan Kaca Laring)
Laringoskopi indirek dilakukan menggunakan kaca laring
(laryngeal mirror) atau flexiblefiberoptic endoscope. Laringoskopi
dapat mengidentifikasi kelainan-kelainan laring danfaring baik
akut maupun kronis, benigna atau maligna.
Indikasi laringoskopi indirek :
a) Batuk kronis
b) Dyspnea
c) Disfonia
d) Stridor
e) Perubahan suara
f) Sakit tenggorokan kronis
g) Otalgia persisten
h) Disfagia
i) Epistaksis
j) Aspirasi
k) Merokok dan alkoholisme lama
l) Skrining karsinoma nasofaring
m) Kegawatdaruratan : angioedema, trauma kepala-leher.
Kontraindikasi : Epiglotitis
Prosedur :
a) Pasien duduk berhadapan dengan dokter, posisi pasien sedikit
lebih tinggi dibandingkan dokter.
b) Tubuh pasien sedikit condong ke depan, dengan mulut terbuka
lebar dan lidah dijulurkan keluar. Supaya kaca laring tidak
berkabut oleh nafas pasien, hangatkan kaca laring sampai
sedikit di atas suhu tubuh.

52
c) Pegang ujung lidah pasien dengan kassa steril supaya tetap
berada di luar mulut. Minta pasien untuk tenang dan
mengambil nafas secara lambat dan dalam melalui mulut.
d) Fokuskan sinar dari lampu kepala ke orofaring pasien.
e) Untuk mencegah timbulnya refleks muntah, arahkan kaca
laring ke dalam orofaring tanpa menyentuh mukosa kavum
oris, palatum molle atau dinding posterior orofaring
f) Putar kaca laring ke arah bawah sampai dapat melihat
permukaan mukosa laring dan hipofaring. Ingat bahwa pada
laringoskopi indirek, bayangan laring dan faring terbalik : plika
vokalis kanan terlihat di sisi kiri kaca laring dan plika vokalis
kanan terlihat di sisi kiri kaca laring.
g) Minta pasien untuk berkata “aaahh”, amati pergerakan plika
vokalis (true vocal cords) dan kartilago arytenoid.
h) Plika vokalis akan memanjang dan beraduksi sepanjang linea
mediana. Amati gerakan pita suara (adakah paresis, asimetri
gerakan, vibrasi dan atenuasi pita suara, granulasi, nodul atau
tumor pada pita suara).
i) Untuk memperluas visualisasi, mintalah pasien untuk berdiri
sementara pemeriksa duduk, kemudian sebaliknya, pasien
duduk sementara pemeriksa berdiri.
j) Amati pula daerah glotis, supraglotis dan subglotis.
d. Pemeriksaan Diagnostik
1) Usapan Tenggorok (Throat Swab)
Biakan usapan tenggorok terutama ditujukan untuk
mendiagnosis pharingitis karena infeksiStreptococcus beta
haemolyticus group A, Neisseria gonorrhoeae,
Haemophilusinfluenzae dan Corynebacterium diphtheriae.
Cara pengambilan spesimen :
a) Memberikan penjelasan tentang prosedur yang akan dilakukan
terhadap pasien.

53
b) Persiapkan alat yang akan dipergunakan.
c) Mencuci tangan sebelum melakukan pengambilan spesimen.
d) Gunakan sinar atau lampu yang terang dan diarahkan pada
rongga mulut penderita. Persiapkan mangkuk bengkok di dekat
pasien (bila sewaktu-waktu pasien muntah).
e) Penderita diminta menarik nafas dalam sambil membuka
mulut.
f) Lidah penderita ditekan perlahan ke arah bawah menggunakan
penekan lidah (spatula lidah/ tongue depressor).
g) Masukkan lidi kapas steril secara perlahan sampai menyentuh
dinding posterior pharynx.
h) Penderita diminta untuk mengucapkan”aaaah” dengan tujuan
agar uvula tertarik ke atas serta mengurangi refleks muntah.
i) Lidi kapas diusapkan pada tonsil, bagian belakang uvula dan
digerakkan ke depan dan ke belakang pada dinding posterior
pharynx untuk mendapatkan jumlah sampel yang cukup.
j) Lidi kapas dikeluarkan dari rongga mulut secara hati-hati,
jangan sampai menyentuh uvula, mukosapipi, lidah dan bibir.

54
Gambar . Menggunakan spatula
lidah untuk menekan salah satu sisi Gambar . Usapan
basis lidah untuk menampilkan area Tenggorokkan
tonsil dan faring posterior

Cara penampungan :
a) Masukkan lidi kapas ke media dalam media transpot Stuart atau
tabung steril yang diisi dengan sedikit larutan garam fisiologis
atau akuadest steril supaya spesimen tidak kering.
b) Beri label identitas penderita secara lengkap.
Perhatian khusus untuk pengambilan usapan tenggorok yaitu,
jangan melakukan usapan tenggorok pada penderita yang
mengalami inflamasi pada daerah epiglottis. Hal tersebut akan
menyebabkan terjadinya edema pada epiglottis secara akut
sehingga dapat menyebabkan obstruksi saluran nafas bagi
penderita.
2) Pengambilan Benda asing dalam tenggorok :
Benda asing dalam tenggorok merupakan kondisi
kegawatdaruratan medis karena risiko terjadinya obstruksi jalan

55
nafas dan respiratory distress.Pasien dengan benda asing di
tenggorok yang tidak menyebabkan obstruksi biasanya datang
dengan riwayat tersedak, disfagia, odynofagia atau disfonia.
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menentukan letak benda
asing yang bersifat radioopak (misalnya koin, kancing atau batu
baterai), akan tetapi banyak benda asing yang radiolusen, misalnya
bolus makanan atau duri ikan.
Usaha untuk mengeluarkan benda asing di tenggorokan
sering sulit karena adanya refleks muntah.Karena jalan nafas harus
terlindungi, penanganan benda asing di tenggorok sering
memerlukan intervensi pemberian sedatif dan pengambilan
menggunakan endoskopi.Komplikasi tindakan di antaranya adalah
obstruksi jalan nafas, edema laring dan mendorong benda asing ke
area subglotis, oesophagus atau trakea.

B. Konsep Manajemen Kegawatdaruratan


1. Pengertian
Glaukoma berasal dari kata Yunani glaukos yang berarti hijau
kebiruan, memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita
glaukoma. Kelainan glaukoma ditandai dengan meningkatnya tekanan
intraokular, atrofi papil saraf optik dan menyempitnya lapang pandang
(Asicha, Iqbal, & Armayanti, 2011).
Glaukoma adalah kerusakan penglihatan yang biasanya disebabkan
oleh meningkatnya tekanan bola mata. Meningkatnya tekanan di dalam
bola mata ini disebabkan oleh ketidak-seimbangan antara produksi dan
pembuangan cairan dalam bola mata, sehingga merusak jaringan-jaringan
syaraf halus yang ada di retina dan di belakang bola mata.
Glaukoma adalah suatu keadaan dimana tekanan bola mata tidak
normal atau lebih tinggi dari pada normal yang mengakibatkan kerusakan
saraf penglihatan dan kebutaan (Utomo, 2010).

56
Glaukoma dalah suatu kelainan mata yang ditandai dengan
peningkatan tekanan intra ocular (TIO), yang menimbulkan kerusakan
saraf optikus, sehingga terjadi kelainan lapangan pandang dan gangguan
visus yang berakhir pada kebutaan.
TIO normal 10-22mmHg, variasi 1hari 2-8mmHg, saat tertinggi
pada pagi hari dan terendah pada sore hari. TIO ditentukan oleh
banyaknya produksi aqueous humor oleh corpus siliar dan hambatan-
hambatan pada aqueous tersebut di dalam bola mata.
2. Etiologi
Penyebab dari glaukoma adalah sebagai berikut (Utomo, 2010)
a. Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan cilliary.
b. Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau
dicelah pupil
Faktor-faktor resiko dari glaukoma adalah (Utomo, 2010)
a. Umur
Resiko glaukoma bertambah tinggi dengan bertambahnya
usia.Terdapat 2 % dari populasi usia 40 tahun yang terkena glaukoma.
Angka ini akan bertambah dengan bertambahnya usia.
b. Riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma
Untuk glaukoma jenis tertentu, anggota keluarga penderita
glaukoma mempunyai resiko 6 kali lebih besar untuk terkena
glaukoma. Resiko terbesar adalah kakak adik kemudian hubungan
orang tua dananak-anak.
c. Tekanan bola mata
Tekanan bola mata diatas 21 mmHg beresiko tinggi terkena
glaukoma. Meskipun untuk sebagian individu, tekanan bola mata yang
lebih rendah sudah dapat merusak saraf optik. Untuk mengukur
tekananbola mata dapat dilakukan dirumah sakit mata atau pada dokter
spesialis mata.

57
d. Obat-obatan
Pemakai steroid secara rutin misalnya pemakai obat tetes matayang
mengandung steroid yang tidak dikontrol oleh dokter, obat inhaler
untuk penderita asthma, obat steroid untuk radang sendi, dan pemakai
obat secara rutin lainnya.
3. Web Of Caution (WOC)
(Lampiran 1)
4. Tanda dan Gejala
Umumnya dari riwayat keluarga ditemukan anggota keluarga dalam
garis vertikal atau horizontal memiliki penyakit serupa, penyakit ini
berkembang secara perlahan namun pasti, penampilan bola mata seperti
normal dan sebagian besar tidak menampakan kelainan selama stadium
dini. Pada stadium lanjut keluhan klien yang muncul adalah sering
menabrak akibat pandangan yang menjadi jelek atau lebih kabur, lapangan
pandang menjadi lebih sempit hingga kebutaan secara permanen. Gejala
yang lain adalah : (Utomo, 2010)
a. Mata merasa sakit tanpa kotoran.
b. Kornea suram
c. Disertai sakit kepala hebat terkadang sampai muntah.
d. Kemunduran penglihatan yang berkurang cepat.
e. Nyeri di mata dan sekitarnya.
f. Udema kornea.
g. Pupil lebar dan refleks berkurang sampai hilang.
h. Lensa keruh.
i. Tekanan bola mata yang tidak normal
j. Rusaknya selaput jala
k. Menciutnya lapang penglihatan akibat rusaknya selaput jala yang dapat
berakhir dengan kebutaan.
5. Klasifikasi
Klasifikasi dari glaukoma adalah sebagai berikut (Utomo, 2010)
a. Glaukoma primer

58
1) Glaukoma sudut terbuka
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ), yang
meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan
berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor
aqueous mempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular.
Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan
trabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan
saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada,
kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang
anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan
nyeri mata yang timbul.

2) Glaukoma sudut tertutup (sudut sempit)


Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis
menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke
jaringan trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke
saluranschlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena
peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior
atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari
penutupan yang tiba-tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa
nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat hal.
Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera
ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.

59
3) Glaukoma sekunder
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh
darah dan trauma. Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup
tergantung pada penyebab :
a) Perubahan lensa
b) Kelainan uvea
c) Trauma
d) Bedah
4) Glaukoma kongenital
a) Primer atau infantil
b) Menyertai kelainan kongenital lainnya
5) Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka)
dimanasudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata
memberikan gangguan fungsi lanjut. Pada glaukoma absolut
kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan
eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa
sakit. Sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan
pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa
neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali
akibat timbulnya glaukoma hemoragik. Pengobatan glaukoma
absolut dapat dengan memberikan sinar betapada badan siliar,
alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bolamata
karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.
Berdasarkan Lamanya Glaukoma primer dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Glukoma Akut
1) Definisi
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh
tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.

60
2) Etiologi
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat
bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua
mata, atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang
paling banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien
usia 40 tahun atau lebih.
3) Faktor Predisposisi
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-
obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan
emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema,
luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak
hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe,
atau pasca pembedahan intraokuler.
4) Manifestasi klinik
a) Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata
dan daerah belakang kepala.
b) Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal
berupa mual dan muntah ,kadang-kadang dapat mengaburkan
gejala glaukoma akut.
c) Tajam penglihatan sangat menurun.
d) Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
e) Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.
f) Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.
g) Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang
positif, akibat timbulnya reaksiradang uvea.
h) Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.
i) Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat
kekeruhan media penglihatan.
j) Tekanan bola mata sangat tinggi.
k) Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.

61
5) Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan
tekanan. Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah
edema kornea menghilang.
6) Penatalaksanaan
Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi
tekanan intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak
turun, lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infusmanitol
20% 300-500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau
filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan gonoskopi
setelah pengobatan medikamentosa.
b. Glaukoma Kronik
1) Definisi
Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan
tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi
mata yang permanen.
2) Etiologi
Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis,
pemakaian kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan
progresif.
3) Manifestasi klinik
Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata.
Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola
mata seperti normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada
stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering
menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang
sempit, hingga kebutaan permanen.
4) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri
menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg
dan dianggap patologik diatas 25 mmHg.Pada funduskopi

62
ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan dalam, dinding
cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat perdarahan
papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang pandang
menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma
busur.
5) Penatalaksanaan
Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola
mata dan lapang pandang. Bila lapang pandang semakin
memburuk, meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam
batasnormal, terapi ditingkatkan. Dianjurkan berolahraga dan
minum harus sedikit-sedikit.
6. Pemeriksaan Fisik (Focus pada penyakit)
Pemeriksanan fisik berdasarkan pengkajian umum pada mata yang dapat
menunjukan :
a. Untuk sudut terbuka primer
Melaporkan kehilangan penglihatan perifer lambat ( melihat
terowongan )
b. Untuk sudut tertutup primer :
1) Kejadian tiba-tiba dari nyeri berat pada mata sering disertai
dengan sakit kepala, mual dan muntah.
2) Penglihatan kabur, dan penurunan persepsi sinar.
3) Pupil terfiksasi secara sedang dengan sclera kemerahan karena
radang dan kornea tampak berawan.
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut
(Utomo, 2010) :
a. Oftalmoskopi : Untuk melihat fundus bagian mata dalam yaitu retina,
discus optikus macula dan pembuluh darah retina.
b. Tonometri : Adalah alat untuk mengukur tekanan intra okuler, nilai
mencurigakan apabila berkisar antara 21-25 mmhg dan dianggap

63
patologi bila melebihi 25 mmhg. Tonometri dibedakan menjadi dua
antara lain
1) Tonometri Schiotz
Pemakaian Tonometri Schiotz untuk mengukur tekanan bola
mata dengan cara sebagai berikut :
a) Penderita di minta telentang
b) Mata di teteskan tetrakain
c) Ditunggu sampai penderita tidak merasa pedas
d) Kelopak mata penderita di buka dengan telunjuk dan ibu jari
(jangan menekan bola mata penderita)
e) Telapak tonometer akan menunjukkan angka pada skala
tonometer
Pembacaan skala dikonversi pada tabel untuk mengetahui
bola mata dalam milimeter air raksa.
a) Pada tekanan lebih tinggi 20 mmHg di curigai adanya
glaukoma.
b) Bila tekanan lebih dari pada 25 mmHg pasien menderita
glaukoma.
2) Tonometri Aplanasi
Dengan tonometer aplanasi diabaikan tekanan bola mata yang
dipengaruhi kekakuan sklera (selaput putih mata). Teknik
melakukan tonometri aplanasi adalah
a) Diberi anestesi lokal tetrakain pada mata yang akan diperiksa
b) Kertas fluorosein diletakkan pada selaput lendir
c) Di dekatkan alat tonometer pada selaput bening maka tekanan
dinaikkan sehingga ingkaran tersebut mendekat sehingga
bagian dalam terimpit
d) Dibaca tekanan pada tombol putaran tonometer aplanasi yang
memberi gambaran setengah lingkaran berimpit. Tekanan
tersebut merupakan tekanan bola mata.

64
e) Dengan tonometer aplanasi bila tekanan bola mata lebih dari
20mmHg dianggap sudah menderita glaukoma.
c. Pemeriksaan lampu-slit.
Lampu-slit digunakan unutk mengevaluasi oftalmik yaitu
memperbesar kornea, sclera dan kornea inferior sehingga memberikan
pandangan oblik ke dalam tuberkulum dengan lensa khusus.
d. Perimetri
Kerusakan nervus optikus memberikan gangguan lapang
pandangan yang khas pada glaukoma. Secara sederhana, lapang
pandangan dapat diperiksa dengan tes konfrontasi.
e. Pemeriksaan Ultrasonografi.
Ultrasonografi dalai gelombang suara yang dapat digunakan untuk
mengukur dimensi dan struktur okuler. Ada dua tipe ultrasonografi
yaitu
1) A-Scan-Ultrasan.
Berguna untuk membedakan tumor maligna dan benigna,
mengukur mata untuk pemasangan implant lensa okuler dan
memantau adanya glaucoma congenital.
2) B-Scan-Ultrasan.
Berguna untuk mendeteksi dan mencari bagian struktur
dalam mata yang kurang jelas akibat adanya katarak dan
abnormalitas lain.
8. Komplikasi
Banyak pasien yang berada pada penyakit stadium akhir yang akan
merasakan terbatasnya bidang pandangan mereka, dan menyebabkan
hilangnya bidang penglihatan pusat.
9. Asuhan keperawatan
1) Pengkajian Primary dan Secondary
a) Pengkajian Primer
Lakukan pengkajian ABCD

65
Airway : Periksa control servikal jika dicurigai adanya tanda-
tanda servikal, Periksa adanya sumbatan jalan napas.
Breathing : Cek frekuensi napas, Pergerakan dinding dada:
Simetris kiri&kanan, Tidak ada pernafasan cuping dada, Periksa
saturasi , berikan terapi oksigen jika diperlukan.
Circulation : Cek Nadi, Periksa TTV, Irama Jantung: Synus
Rhytm, Periksa adanya perdarahan.
Disability : Periksa GCS, Cek Lateralisasi pupil dan motorik.
b) Pengkajian Sekunder
(1) Lakukan pemeriksaan Head to Toe
(2) Kaji TTV
(3) Anamesa : KOMPAK/SAMPLE
K : Keluhan Utama
O : Obat-obatan yang terakhir dikonsumsi
M : Makanan yang terakhir dimakan
P : Penaykit/Riwayat penyakit yang dimiliki sebelumnya
A : Alergi
K : Kejadian terakhir yang menyebabkan pasien mengalami
Glaukoma.
2) Diagnosa Keperawatan
a) (00032) Ketidakefektifan pola nafas
b) (00204) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer
c) (00027) Kekurangan volume cairan
d) (00002) Ketidakseimbangannutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
e) (00085) Hambatan mobilitas fisik
f) (00038) Risiko trauma
3) Rencana Keperawatan
Diagnosa
No. Kriteria Hasil NOC Intervensi NIC
Keperawatan
1. (00032) NOC NIC
Ketidakefektif  Status pernafasan Manajement jalan nafas

66
an pola nafas : ventilasi 1. Buka jalan nafas dengan
 Status pernafasan teknik chin lift atau jaw
Kriteria hasil thrust
1) Frekuensi 2. Posisikan pasien untuk
pernafasan normal memaksimalkan ventilasi
: 16-20 x/i 3. Identifikasi kebutuhan
2) Irama reguler aktual / potensial untuk
3) Tidak ada otot memasukan alat membuka
bantu nafas jalan nafas
4) Tidak ada suara 4. Masukan alat NPA atau
nafas tambahan OPA
5) Tidak ada retraksi 5. Lakukan fisioterapi dada
dinding dada 6. Buang sekret dengan
6) SpO2 > 95% memotivasi pasien
7) Tidak sianosis 7. Instruksikan batuk efektif
8. Auskulasi suara nafas
Monitor pernafasan
9. Monitor kecepatan, irama,
kedalaman dan kesulitan
bernafas
10. Catat pergerakan
dada,penggunaan otot
bantu pernafasan
11. Monitor pola nafas
12. Monitor SpO2
2. (00204) NOC NIC
Ketidakefektif  Perfusi jaringan : Manajement sensasi perifer
an perfusi Perifer 1. Monitor sensasi tumpul
jaringan Kriteria Hasil : dan tajam dan panas dan
perifer 1) CRT < 2 detik dingin
2) Akral hangat 2. Monitor adanya parathesia

67
3) Denyut nadi teraba dengan tepat
kuat 3. Dorong pasien
4) TD 120/80 mmHg menggunakan bagian
tubuh yang tidak
terganggu untuk
mengetahui suhu
makanan, cairan, air
mandi dll
4. Dorong pasien
menggunakan bagian
tubuh yang tidak
terganggu dalam rangka
mengetahui tempat dan
permukaan suatu benda
Pengecekan kulit
5. Monitor
warna,kehangatan,
bengkak, pulsasi, tekstur,
edema, dan ulserasi pada
ekstremitas
6. Dokumentasikan
perubahan membran
mukosa
3. (00027) NOC NIC
Kekurangan  Keseimbangan Manajement cairan
volume cairan cairan 1. Timbang berat badan
 Hidrasi setiap hari dan monitor
Kriteria Hasil : status pasien
1) Balance cairan 2. Hitung atau timbang
input dan output popok dengan baik
dalam 24 jam 3. Jaga intake yang akurat

68
2) Turgor kulit baik dan catat output
3) Membran mukosa 4. Masukkan kateter urin
lembab 5. Monitor status hidrasi
4) Warna urin jernih 6. Monitor tanda-tanda vital
5) Bola mata tidak 7. Monitor indikasi
cekung kelebihan cairan/retensi
8. Monitor makanan/cairan
yang dikonsumsi dan
hitung asupan kalori
harian
9. Berikan cairan dengan
tepat
Manajement hipovolemi
10. Timbang berat badan
diwaktu yang sama
11. Monitor status
hemodinamik
12. Monitor adanya tanda-
tanda dehidrasi
13. Monitor adanya
hipotensi ortotatik dan
pusing saat berdiri
14. Monitor adanya sumber-
sumber kehilangan
cairan
4. (00002) NOC NIC
Ketidakseimba  Status nutrisi Manajement gangguan
ngan nutrisi :  Status nutrisi : makan
kurang dari asupan nutrisi 1. Dorong klien untuk
kebutuhan Kriteria Hasil : mendiskusikan makanan
tubuh 1) Asupan makanan yang disukai bersama

69
adekuat dengan ahli gizi
2) BB normal 2. Timbang berat badan klien
secara rutin
3. Monitor asupan kalori
makanan harian
Manajement nutrisi
4. Identifikasi toleransi
makana yang dimiliki
pasien
5. Ciptakan lingkungan yang
optimal pada saat
mengkonsumsi makan
6. Tawarkan makanan ringan
yang padat gizi
Bantuan peningkatan berat
badan
7. Diskusikan kemungkinan
penyebab berat badan
berkurang
8. Monitor mual muntah
9. Kaji penyebab mual
muntah dan tangani
dengan tepat
10. Berikan obat-obatan
untuk meredakan mual
dan nyeri sebelum
makan
11. Dukung peningkatan
asupan kalori
12. Sediakan variasi
makanan yang tinggi

70
kalori dan bernutrisi
tinggi
5. (00085) NOC NIC
Hambatan  Ambulasi Terapi latihan : Ambulasi
mobilitas fisik  Pergerakan 1. Sediakan tempat tidur
Kriteria Hasil : berketinggian rendah
1) Berjalan dengan 2. Tempatkan saklar posisi
langkah yang tempat tidur di tempat
efektif yang mudah dijangkau
2) Keseimbangan 3. Bantu pasien untuk duduk
3) Bisa berkoordinasi di sisi tempat tidur untuk
memfasilitasi penyesuaian
sikap tubuh
4. Bantu pasien untuk
berpindah
5. Sediakan alat bantu
(tongkat, walker atau kursi
roda )

6. (00038) Risiko NOC NIC


trauma  Integritas Manajement lingkungan :
jaringan : kulit Keselamatan
dan membran 1. Identifikasi kebutuhan
mukosa keamanan pasien
Kriteria Hasil : 2. Identifikasi hal-hal yang
1) Tidak terjadi abrasi membahayakan di
kornea lingkungan
3. Singkirkan bahan
berbahaya dari lingkungan
4. Modifikasi lingkungan

71
untuk meminimalkan
bahan berbahaya dan
beresiko
5. Sediakan alat untuk
beradaptasi
Pencegahan jatuh
6. Identifikasi perilaku dan
faktor yang
mempengaruhi risiko
jatuh
7. Identifikasi karakteristik
dari lingkungan yang
mungkin meningkatkan
potensi jatuh
8. Tanyakan pasien
mengenai persepsi
keseimbangan
9. Sediakan pencahayaan
yang cukup dalam rangka
meningkatkan pandangan
10. Sediakan lampu malam
hari di sisi tempat tidur
11. Sediakan permukaan
lantai yang tidak licin

10. Algoritma Penanganan Kasus (Mandiri dan Kolaborasi)


(Lampiran 2)

72
11. SOP Penanganan
POLITEKNIK
MELAKUKAN PEMERIKSAAN TIO DENGAN
KESEHATAN
MENGGUNAKAN TONOMETRI SCHIOTZ
KEMENKES
KALTIM
Ditetapkan Oleh Direktur
No. Halaman
Poltekkes Kemenkes
Dokumen 1/2
Kaltim,

NO. Komponen

1. Fase Orientasi
a. Salam terapetik
b. Evaluasi / validasi kondisi klien
c. Kontrak : topik / waktu / tempat

2. Fase Kerja
Persiapan alat :
1. Obat anastesi mata ( pantocain 0,5%)
2. Tonometri schiotz
3. Kapas
4. Alat tulis
Persiapan klien :
1. Memberitahu klien tentang tindakan yang akan dilakukan
2. Klien tidur terlentang
3. Anjurkan klien untuk rileks
Langkah –langkah :
1. Mencuci tangan
2. Mengatur posisi klien terlentang
3. Bersihkan mata klien dengan kapas bersih
4. Teteskan obat anastesi 2-3 tetes, tunggu sampai 5 menit( sampai klien

73
tidak merasakan perih pada mata)
5. Atur kalibrasi tonometri
6. Buka kelopak mata klien dengan telunjuk dan ibu jari, jangan sampai
bola mata tertekan
7. Anjurkan klien mengepalkan tangan ke atas dengan posisi ibu jari
terbuka keatas
8. Klien diminta untuk melihat lurus ke atas (fokus penglihatan pada ibu
jari klien)
9. Letakkan tonometri schiotz dipermukaan kornea, lalu perhatikan skala
yang tertera pada alat (0-15). Apabila dengan beban 5,5 gr (beban
standar) terbaca kurang dari 3 maka ditambahkan beban 7,5 atau 10
gr. Nilai pembacaan skala di konversi pada tabel tonometri schiotz
untuk mrngetahui tekanan bola mata dalam mmHg.
10. Mencuci tangan
11. Dokumentasi hasil pemeriksaan

3. Fase Terminasi
a. Evaluasi respon klien :
b. Tindak lanjut klien
c. Kontrak : topik / waktu / tempat

Sikap :
 Hati-hati, cermat dan teliti
 Peka terhadap reaksi klien
 Jangan membuat klien kelelahan

74
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Glaukoma dalah suatu kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan
tekanan intra ocular (TIO), yang menimbulkan kerusakan saraf optikus,
sehingga terjadi kelainan lapangan pandang dan gangguan visus yang
berakhir pada kebutaan.
Glaukoma diklasifikasikan menjadi glaukoma primer (glaukoma sudut
terbuka dan tertutup), glaukoma sekunder, glaukoma kongenital dan
glaukoma absolut, sedangkan berdasarkan lamanya glaukoma primer dibagi
menjadi akut dan kronik.
Penyebab glaukoma yaitu bertambahnya produksi cairan mata oleh
badan cilliary dan berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut
bilik mata atau dicelah pupil, sedangkan faktor resiko dari glaukoma yaitu
umur, riwayat anggota keluarga yang terkena glaukoma, tekanan bola mata
dan obat-obatan.
Tanda dan gejala glaukoma yaitu mata merasa sakit tanpa kotoran,
kornea suram, disertai sakit kepala hebat terkadang sampai muntah,
kemunduran penglihatan yang berkurang cepat, nyeri di mata dan sekitarnya,
udema kornea, pupil lebar dan refleks berkurang sampai hilang, lensa keruh,
tekanan bola mata yang tidak normal, rusaknya selaput jala dan menciutnya
lapang penglihatan akibat rusaknya selaput jala yang dapat berakhir dengan
kebutaan.
Pemeriksanan fisik berdasarkan pengkajian umum pada mata
Pemeriksaan penunjang glaukoma yaitu Oftalmoskopi, tonometri,
pemeriksaan lampu-slit, perimetri dan pemeriksaan Ultrasonografi.
Komplikasi yang terjadi pada banyak pasien yang berada pada penyakit
stadium akhir yang akan merasakan terbatasnya bidang pandangan mereka,
dan menyebabkan hilangnya bidang penglihatan pusat.

75
Asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian : Riwayat atau adanya
faktor-faktor resiko, Pemeriksanan fisik berdasarkan pengkajian umum pada
mata dan Kaji pemahaman klien tentang kondisi dan respons emosional
terhadap kondisi dan rencana tindakan. Diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul yaitu Ketidakefektifan pola nafas, Ketidakefektifan perfusi jaringan
perifer, Kekurangan volume cairan, Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh dan Risiko trauma.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami buat kami mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca agar pada pembuatan makalah kami selanjutnya akan jauh
lebih baik. Untuk kurang dan lebihnya kami mohon maaf karena kami masih
pada tahap pembelajaran.

76
DAFTAR PUSTAKA

Asicha, N., Iqbal, M., & Armayanti, I. (2011). Karakteristik Penderita Glaukoma
Di Rumah Sakit Umum Dr. Soedarso Pontianak Tahun 2009-2010.
Guyton A. C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: EGC
Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI
Infodatin-glaukoma.pdf. (2015). Jakarta selatan: Kementerian kesehatan RI Pusat
Data dan Informasi.
Kementrian Kesehatan RI. InfoDATIN : Situasi Gangguan Penglihatan dan
Kebutaan. Jakarta; 2014:4.
Kementerian Kesehatan RI. InfoDATIN : Situasi dan Analisis Glaukoma. Jakarta;
2015:3.
Mahyani F. Hubungan Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Kunjungan
Ulang Pasien Glaukoma di Poli Mata RSUD dr. Moch. Ansari Saleh.
Banjarmasin; 2013:7-8.
National Council on Patient Information and Education. Enhancing Prescription
Medicine Adherence: A National Action Plan. Rockville; 2007:5.
Rizzo, D. C. 2001. Fundamental of Anatomy & Physiology. Delmar Thomson
Learning. Michigan.
Robin, A., & Grover DS. Compliance and adherence in glaucoma management.
Indian J Ophthalmol. 2011;2.
Seeley, R. R., Stephens, T. D., Tate, P., 2006. Anatomy and Physiology. 7th ed.
New York: McGraw-Hill.
Utomo, W. J. B. (2010). Asuhan keperawatan glaukoma.

77

Anda mungkin juga menyukai