H Pidana

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 20

STELSEL PIDANA

MAKALAH

Disusun untuk kepentingan tugas


Hukum Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Disusun oleh :
Ghania Eka Putri 170200156
Nia Purnama Sari 170200158
Thalia Dea Sakina 170200166
Intan Pandini 170200409
Helena Albright 170200413
Rachel Tasya 170200414

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena berkat rahmat dan inayahnya kami dapat menyelesaikan makalah
sederhana ini dengan tepat waktu. Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai
sumber acuan dan referensi bagi teman-teman dan kita semua.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Dapat menambah pengetahuan kita semua mengenai bagaimana perkembangan
Stelsel Pemidanaan di Indonesia.
Kami sadar bahwa makalah kami ini masih banyak kekurangan karena
kami yang masih kurang pengalaman. Jadi, kami berharap agar para pembaca
memberikan saran dan kritik yang membangun agar kami dapat memperbaiki
makalah ini sehingga menjadi lebih baik.

Medan, 18 November 2018

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii


DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I .................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
C. Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................. 3
A. Pengertian Pidana dan Tindakan ............................................................................. 3
B. Pidana Pokok dan Pidana Tambahan ...................................................................... 5
C. Pola Lamanya dan Perumusan Pemidanaan.......................................................... 11
BAB III ............................................................................................................................. 16
PENUTUP ........................................................................................................................ 16
A. Kesimpulan ........................................................................................................... 16
B. Saran ..................................................................................................................... 16
Daftar Pustaka .................................................................................................................... iv

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stelsel sanksi atau pidana merupakan bagian dari hukum panitensier yang
meliputi jenis pidana, cara dan dimana menjalankannya, termasuk pulamengenai
pengurangan, penambahan dan pengecualian penjatuhan pidanaStelsel Pidana
Indonesia pada dasarnya diatur dalam Buku I KUHPdalam Bab ke-2 dari Pasal 10
sampai Pasal 43, yang kemudian juga diaturlebih jauh mengenai hal-hal tertentu
dalam beberapa peraturan.
Pidana adalah suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa yang
dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik. Nestapa yang ditimpakan
kepada pembuat delik bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan
masyarakat, tetapi nestapa hanyalah suatu tujuan yang terdekat. Sehingga hukum
pidana dalam usahanya untuk mencapai tujuan-tujuannya tidaklah semata-mata
dengan jalan menjatuhkan pidana, tetapi dengan jalan menggunakan tindakan-
tindakan, sehingga tindakan dapat dipandang sebagai suatu sanksi, tetapi tidak
bersifat pembalasan, dan ditujukan semata-mata pada prevensi khusus, dan
tindakan dimaksudkan untuk menjaga keamanan masyarakat terhadap ancaman
bahayanya.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat -
syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas
delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara
pada pelaku delik itu.1
Hukum pidana, berbeda dengan bagian hukum yang lain, yaitu terjadinya
penambahan penderitan dengan sengaja dalam bentuk pidana, dengan tujuan lain,
yakni menentukan sanksi terhadap pelanggaran peraturan larangan, guna menjaga
ketertiban, ketenangan dan kedamaian dalam masyarakat. Hukum pidana adalah
hukum hukum sanksi negatif, karena sifat dari hukum pidana itu, adalah sebagai

1
Mahrus Ali. Dasar-Dasar Hukum PidanaSinar Grafika. Jakarta. 2012. hlm 186.

1
sarana upaya lain sehingga mempunyai fungsi yang subsideir. Sanksi pidana
termasuk juga tindakan, karena suatu penderitaan yang dirasakan tanpa henti
untuk mencari dasar, hakekat dan tujuan pidana dan pemidanaan, guna
mmberikan pembenaran dari pidana itu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat kami
buat adalah sebagai berikut :
1) Apakah Pengertian Pidana dan tindakan?
2) Apakah yang dimaksud dengan pidana pokok dan pidana tambahan?
3) Bagaimana pola lamanya dan pola perumusan pemidanaan?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari makalah ini adalah:
1) Mengetahui Pengertian Pidana dan tindakan.
2) Mengetahui apa itu pidana pokok dan pidana tambahan.
3) Mengetahui pola lamanya dan pola perumusan pemidanaan.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pidana dan Tindakan
Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam
kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh pernah mengatakan bahwauntuk
mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-matamenjatuhkan pidana,
akan tetapi juga ada-kalanya menggunakan tindakan-tindakan. Tindakan
merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifatpembalasan padanya dan
ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat
terhadap orang-orang yang dipandang berbahya, dan dikhawatirkan akan
melakukan perbuatan-perbuatan pidana.
Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara teoritis agak sukar
dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas seperti yangditentukan
dalam Pasal 10 KUHP merupakan lingkup pidana, selain itu adalah termasuk
tindakan. Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan, walaupun tindakan itujuga
merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi jika
bukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana.
Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang dalam rumah
sakit jiwa.
Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat -
syarat tertentu. Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas
delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan Negara
pada pelaku delik itu.2
Berbicara tentang stelsel pidana adalah juga berbicara masalahsistem
pemidanaan yang memiliki pengertian yang sangat luas. L. H. C.Hulsman
sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, mengemukakanbahwa sistem
pemidanaan (the sentencing sistem) adalah “peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules relating
to penal sactions andpunishment). Barda Nawawi Arief juga mengemukakan

2
ibid

3
bahwa apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses
pemberian atau penjatuhanpidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa
sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang
mengaturbagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalisasikan
secara konkret sehingga seseorang dijatuhi sanksi (hukum pidana).
Penjatuhan pidana juga berhubungan dengan stelsel pidana, stelsel pidana
merupakan bagian dari hukum penitensier yang berisi tentang jenis pidana, batas-
batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan dimana menjalankanya,
begitu juga mengenai pengurangan, penambahan, dan pengecualian penjatuhan
pidana.3
Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana
subtantif, hukum pidana formal dan hukum pidana pelaksanaan dapat dilihat
sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan. Selanjutnya berkenaan dengan
perbedaan antara pemidanaan(punishment) dan tindakan (treatment), meurut Alf
Ross tidak didasarkanpada ada tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus
didasarkan ada tidaknya unsur pencelaan, sedangkan menurut H. L. Packer
perbedaan keduanya Barda Nawawi Arief,.harus dilihat dari tujuan dan seberapa
jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap adanya pidana atau tindakan
diperlakukan.
H. L. Packer mengemukakan bahwa tujuan dari treatment adalah untuk
memperbaiki orang yang bersangkutan, sedangkanpunishment sebenarnya
didasarkan pada tujuan sebagi berikut:
a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yangtidak
dikehendaki atau perbuatan yang salah (the prevention ofcrime or
undersired conduct of offending conduct)b)
b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layakkepada
pelanggar (the deserved infliction of suffering onevildoers/retribution
for perceived wrong doing).
Secara tradisional perbedaan antara pidana dan tindakan menurut Sudarto
yakni pidana merupakan pembalasan (pengimbalan) terhadapkesalahan

3
Adami Chazawi,. Op.Cit.,.hlm 23

4
sipembuat, sedangkan tindakan adalah untuk perlindungan masyarakat dan untuk
pembinaan atau perawatan si pembuat. Berkenaan dengan masalah perbedaan
antara pidana dan tindakanini, perlu kiranya diperhatikan pendapat dari Roeslan
Saleh, bahwa batasan antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan,
karena pidana sendiripun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran
melindungi dan memperbaiki, sebaliknya pada tindakan juga dapat dirasakan
berat oleh orang yang dikenal tindakan dan kerap kali pula dirasakan sebagai
pidana, karena berhubungan erat sekali dengan pencabutan atau
pembatasankemerdekaan.
Dari beberapa pendapat para ahli di atas bisa dilihat bahwasanya baik
pidana maupun tindakan pada hakikatnya merupakan bentuk sanksiyang diberikan
kepada orang yang melanggar hukum oleh penguasa yang berwenang. Perbedaan
diatara keduanya hanya terletak pada aspek pendekatannya saja, namun yang jelas
dengan semakin bervariasasinya bentuk sanksi, maka dapat dipilih bentuk sanksi
yang tepat untuk kejahatantertentu sebagai upaya penanggulangannya.

B. Pidana Pokok dan Pidana Tambahan

2.1 Pidana Pokok

Dasar hukum dari pidana pokok ialah terdapat dalam pasal 10 KUHP. Pidana
pokok terdiri atas :
 Pidana mati
Pidana mati atau hukuman mati adalah suatu hukuman atau vonis yang
dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat
yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya. Pidana mati diatur dalam
pasal 10 huruf a KUHP yang berbunyi “Menyatakan bahwa salah satu Pidana
Pokok adalah Pidana mati “.
Pasal 11 KUHP yang berbunyi “Pidana mati dijalankan oleh algojo di
tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada
leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri.”.

5
Seseorang dapat dijatuhi pidana mati apabila telah melakukan tindak
pidana berat seperti yang tertera di dalam KUHP berikut ini:
a) Pasal 340 ayat (3)
“Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu
mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.”
b) Pasal 365 ayat (3)
“Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakihntkan luka
berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu,
disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.”
c) Pasal 444
“Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438 – 441
mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu
mati maka nakoda. komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta
melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.”
d) Pasal 479 huruf k ayat (2)
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat
udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.”
Perbuatan yang dimaksud Pasal 479 huruf i, dan Pasal 479 huruf j.
e) Pasal 479 huruf o ayat (2)
“Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat
udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara selamalamanya dua puluh tahun.”
Perbuatan yang dimaksud Pasal 479 huruf l, Pasal 479 huruf m, dan Pasal 479
huruf n.
 Pidana penjara

6
Pidana penjara adalah salah satu bentuk dari pidana perampasan
kemerdekaan. Pidana penjara atau hukuman penjara mulai dipergunakan terhadap
orang Indonesia sejak tahun 1918, waktu mulai berlaku KUHP.
Pidana Penjara menurut Pasal 12 ayat (1) dan (2) KUHP terdiri dari:
pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu. Pidana
penjara merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan
sebagai sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan.
 Pidana kurungan
Legitimasi keberlakukan pidana kurungan sebagai bentuk pemidanaan
diatur dalam Pasal 10 KUHP, sedangkan asas mengenai pelaksanaan pidana
kurungan diatur dalam Pasal 18 hingga Pasal 29 KUHP.
Pidana kurungan merupakan bentuk pemidanaan yang sifatnya sama
seperti penjara, yakni hukuman yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak dari
siterhukum.
Ketentuan mengenai kurungan adalah sebagai berikut;
a. Terpidana yang dijatuhi hukuman pidana kurungan memiliki
hak pistole yaitu hak atau kesempatan untuk dapat mengadakan makanan
dan tempat tidur atas biaya sendiri. (Pasal 23 KUHP);
b. Para terpidana penjara dan terpidana kurungan keduanya sama-sama
diwajibkan mengerjakan pekerjaan-pekerjaan sosial. Namun bagi
terpidana kurungan pekerjaan tersebut lebih ringan jika dibandingkan
dengan terpidana penjara. (Pasal 19 ayat (1) KUHP);
c. Maksimum ancaman pidana kurungan adalah 1 (satu) tahun, dan jika
terdapat pemberatan pidana maka dapat ditambah hingga sekali-kali tidak
boleh melebihi 1 tahun 4 bulan. (Pasal 18 KUHP);
d. Terdapat pemisahan antara tempat pengurungan antara terpidana penjara
dan terpidana yang dijatuhi pidana kurungan. Hal ini dilakukan jika kedua
terpidana tersebut dikurungan dalam Lembaga Pemasyarakatan yang
sama. (Pasal 28);
e. Pelaksanaan hukuman pidana kurungan dilaksanakan di dalam daerah
domisili dari terpidana itu sendiri. Jika mengacu kepada buku S.R.

7
Sianturi, domisili yang dimaksud dengan ketentuan disini adalah
kabupaten tempat terpidana tinggal. (Pasal 21).
 Pidana denda
Pidana Denda adalah sebuah hukuman. Hal ini mengimplikasikan bahwa
terpidana wajib membayar sejumlah uang yang di tetapkan dalam Putusan
Pengadilan yang te;ah berkekuatan hukum tetap.
Penerapan pidana di Indonesia denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1
KUHP) sedangkan besarnya pidana denda maksimum tergantung pada rumusan
ketentuan pidana dalalm KUHP, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 10.000.
Dalam pasal 30 Ayat (2) KUHP ditentukan bahwa apabila denda tidak dibayar
diganti dengan hukuman kurungan, dimana lamanya hukuman kurungan
pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan
yaitu karena perbarengan atau pengulangan atau perberatan karena jabatan atau
bendera kebangsaan, kurungan pengganti dapat ditambah paling lama menjadi 8
bulan (Vide Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)Pidana denda kebanyakan di jatuhkan pada
pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata
'atau')
 Pidana tutupan
Penambahan pidana tutupan ke dalam ketentuan KUHP didasarkan pada
ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (“UU
20/1946”). Di dalam Pasal 2 UU 20/1946 disebutkan bahwa:
1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati,
hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
2) Peraturan dalam ayat 1 tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan
kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan
tadi adalah demikian sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman
penjara lebih pada tempatnya.

Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) UU 20/1946 tempat untuk menjalani


hukuman tutupan ini, mengenai tata usaha dan tata tertibnya diatur oleh Menteri

8
Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan. Ketentuan mengenai tempat
menjalani hukuman tutupan diatur lebih lanjut dalam ketentuan PP No. 8 Tahun
1948 tentang Rumah Tutupan (“PP 8/1948”).

2.2 .Pidana Tambahan


Pada prinsipnya memang pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan secara
berdiri sendiri tanpa pidana pokok oleh karena sifatnya hanyalah merupakan
tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Hukuman tambahan gunanya untuk
menambah hukuman pokok, jadi tak mungkin dijatuhkan sendirian. Akan tetapi
dalam beberapa hal atas prinsip tersebut terdapat pengecualian. pengecualian atas
prinsip tersebut terdapat dalam beberapa aturan di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Contohnya dalam Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan bahwa
dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat
bukti yang kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi,
maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang
yang telah disita.
pidana tambahan yaitu:
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu
Jenis pidana ini tidak berarti hak-hak terpidana akan dicabut. Pencabutan tersebut
tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak
ketatanegaraan. Pencabutan hak-hak tertentu itu adalah suatu pidana dibidang
kehormatan dengan melalui dua cara yaitu :
a. Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim.
b. Tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut
undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Pencabutan hak-hak tertentu dalam Pasal 35 KUHP, hak-hak yang dicabut
adalah :
a. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
b. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata.

9
c. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan
aturan umum.
d. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali
pengawas, atas orang-orang yang bukan anak sendiri.
e. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau
pengampuan atas anak sendiri.
f. Hak menjalankan pencaharian tertentu.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu
Pidana tambahan ini merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya
dengan pidana denda. Ada dua macam barang yang dapat dirampas, yaitu barang-
barang yang didapat karena kejahatan, dan barang-barang yang dengan sengaja
digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini berlaku ketentuan umum,
yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap kejahatan mata uang,
dimana pidana perampasan menjadi imperatif.4
Perampasan barang-barang tertentu dalam Pasal 39 KUHP :
1) (2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau
sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
2) (3) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan
sengaja, atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi
hanya dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang.
3) (4) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang
oleh hakim diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang
yang disita.
3. Pengumuman Putusan Hakim
Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan
supaya diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau atauran umum yang
lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas
biaya terpidana. Menurut Andi Hamzah, kalau diperhatikan delik-delik yang dapat
dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan hakim, maka dapat disimpulkan

4
Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta. 2011, hal 44

10
bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar masyarakat waspada terhadap
kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan curang dan lainnya.

C. Pola Lamanya dan Perumusan Pemidanaan

3.1 Pola Lamanya Pemidanaan


1. Pola Penetapan Jumlah Ancaman Pidana.
Dalam menetapakan jumlah atau lamanya ancaman pidana, dikemukakan oleh
Barda Nawawi Arief terdapat dua alternatif sistem yaitu:
Sistem pendekatan absolut, yakni untuk setiap orang tindak pidana
ditetapkan bobot/kualitasnya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman
pidana maksimum (dapat juga ancaman pidana minimum) untuk setiap tindak
pidana. Penetapan maksimum pidana untuk tiap pidana ini dikenal dengan sistem
indifinite atau sistem maksimum. Sistem ini biasa digunakan dalam perumusan
KUHP/WvS diberbagai negara termasuk alam praktek legislatif di Indonesia,
sehingga dikenal sebagai sistem tradisional;
· Sistem atau pendekatan relatif, yaiut untuk tiap-tiap tindak pidanatidak
ditetapkan bobot/kualitasnya (maksimum pidananya) sendirisendiritetapi
bobotnya direlatifkan; yaitu dengan melakukanpenggolongan tindak pidana dalam
beberapa tingkatan dansekaligus menetapkan maksimum pidana untuk tiap
kelompoktindak pidana.
2. Pola Maksimum dan Minimum Pidana.
Menurut pola KUHP/WvS maksimum khusus pidana penjara yang paling
rendah adalah berkisar 3 (tiga) minggu dan 15 (lima belas) tahun yang dapat
mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan. Sedangkan maksimum
yang di bawah 1 (satu) tahun sangat bervariasi dengan menggunakan bulan dan
minggu.
Konsep KUHP ancaman pidana maksimum khusus yang paling rendah
untuk pidana penjara adalah 1 (satu) tahun dan 15 (lima belas) tahun yang dapat
juga mencapai 20 (dua puluh) tahun apabila ada pemberatan. Menurut konsep,
untuk delik yang dipandang tidak perlu diancam dengan pidana penjara atau

11
bobotnya kurang dari 1 (satu) tahun penjara, digolongkan sebagai tindak pidana
yang sangat ringan dan hanya diancam pidana denda.
Pola maksimum khusus paling rendah 1 (satu) tahun menurut konsep
dikecualikan untuk delik-delik yang selama ini dikenal sebagai kejahatan ringan.
Menurut pola KUHP, maksimum penjara untuk delik-delik kejahatan ringan ini
adalah 3 (tiga) bulan, sedang menurut Konsep KUHP adalah 6 (enam) bulan yang
dialternatifkan dengan pidana denda.
Pola pidana denda dalam KUHP/WvS tidak mengenal”minimum khusus”,
pola pidana dalam KUHP menggunakan”minimum umum” dan ”maksimum
khusus”. Maksimum khusus pidana denda paling tinggi untuk kejahatan adalah
Rp 150.000,- danu ntuk pelanggaran paling banyak Rp. 75.000,- jadi maksimum
khusus pidana denda yang paling tinggi untuk kejahatan adalah dua kali lipat yang
diancamkan untuk pelanggaran.
Pola pidana denda dalam Konsep KUHP tahun 2005 mengenal minimum
umum, minimum khusus dan maksimum khusus. Pasal 77ayat (2) menentukan
jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp.
15.000,00,- (lima belas ribu rupiah).
Pasal 77 ayat (3) menentukan bahwa pidana denda paling banyak
ditetapkan berdasakan kategori, yaitu :
· kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
· kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
· kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah);
· kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
· kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan
· kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dari pola di atas, baik menurut KUHP maupun Konsep KUHPtidak ada
maksimum umum untuk pidana denda. Akibat tidak adanyaketentuan maksimum
umum pidana denda KUHP tersebut, akibatnyatimbul variasi maksimum pidana
denda dalam perundang-undangan diluar KUHP.
3. Pola Pemberatan dan Peringanan Ancaman Pidana

12
Menurut Konsep KUHP pemberatan dan peringanan pidana tidak berbeda
dengan KUHP yaitu ditambah atau dikurangi sepertiga. Namun menurut Konsep
KUHP, pemberatan dan/atau peringanan sepertiga itu tidak hanya terhadap
ancaman maksimum tetapi juga terhadap ancaman minimumnya. Dalam hal
tertentu, pola peringanan pidana menurut Konsep KUHP dapat juga dikurangi
setengahnya dari pembatasan pidana bagi anak yang berusia 12 (dua belas) sampai
dengan 18 (delapan belas) tahun.5
4. Pola Ancaman Pidana Untuk Delik Dolus dan Delik Culpa.
Pola umum ancaman untuk delik dolus dan culpa menurut KUHP sebagai-berikut
 Untuk perbuatan dengan culpa, diancam dengan pidana
kurunganmaksimum 1-3 bulan atau denda;
 Untuk yang menimbulkan akibat ancaman maksimum pidanauntuk delik
dolus bervariasi, yaitu delik dolus yang diancampenjara 7-20 tahun.
Sedang untuk delik culpa ada yangdiancam penjara 4 bulan sampai dengan
1 tahun 4 bulan danada juga yang diancam kurungan 3 bulan s.d 1 tahun
ataudiancam dengan denda akibat yang ditimbulkan.
Pola ancaman pidana untuk delik dolus dan delik culpa menurut Konsep
KUHP pada mulanya memakai pola relatif untukkeseragaman. Untuk pola relatif
yang dipakai yaitu perbuatan denganculpa, maksimum 1/6 (seper enam) dari
maksimum delik dolusnya,untuk yang menimbulkan akibat maksimumnya 1/4
(seper empat) darimaksimum delik dolusnya. Tapi kemudian disepakti patokan
atau polaabsolut sebagai berikut :
 Untuk perbuatannya delik culpa 1 tahun dan untuk dolus y tahun;
 Untuk yang menimbulkan akibat bahaya umum culpanya 2 tahun,sedang
untuk dolusnya (y + 2) tahun;
 Untuk yang mengakibatkan bahaya kesehatan berat/nyawaculpanya 3
tahun sedangkan dolusnya (y + 3) tahun;
 Untuk yang berakibat mati culpanya 5 tahun sedang dolusnya(y+5) tahun.

5
R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor. 1991, hal 106

13
3.2 Pola Perumusan Pidana
Jenis pidana yang pada umumnya diancamkan dalamperumusan delik menurut
pola KUHP ialah pidana pokok, denganmenggunakan 9 (sembilan) bentuk
perumusan, yaitu:
 diancam pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara selama waktu
tertentu;
 diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
 diancam dengan pidana penjara (tertentu);
 diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
 diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;diancam dengan
pidana penjara atau denda;
 diancam pidana kurungan;
 diancam dengan pidana kurungan atau denda;
 diancam dengan pidana denda.
Dalam perumusan pidana pokok tersebut terlihat bahwa KUHP hanya
menganut 2 sistem perumusan delik yakni perumusan tunggal (hanya diancam
satu pidana pokok) dan perumusan alternatif. Pidana pokok yang dirumuskan
secara tunggal, hanya pidana penjara, kurungan, atau denda. Tidak ada pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup yang diancam secara tunggal.
Sistem perumusan alternatif dimulai dari delik yang paling berat sampai
yang ringan, sedang untuk pidana tambahan bersifat fakultatif, namun pada
dasarnya untuk dapat dijatuhkan harus tercantum dalam perumusan delik. Dalam
konsep ditentukan jenis pidana yang dicantumkan dalam perumusan delik hanya
pidana mati, penjara dan denda. Pidana pokok berupa pidana tutupan, pidana
pengawasan dan pidana kerja sosial tidak dicantumkan.
Bentuk perumusan pidana tidak berbeda dengan KUHP/WvS, hanya
dengan cacatan bahwa di dalam Konsep :
a. Pidana penjara dan denda, ada yang dirumuskan ancaman minimalnya;
b. Pidana denda dirumuskan dengan sistem kategori.

14
Pedoman untuk menerapakan pidana yang dirumuskan secara tunggal dan
secara alternatif yang memberi kemungkinan perumusan tunggal diterapkan
secara alternatif dan perumusan secara alternatif diterapkan secara kumulatif.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pidana (straf) merupakan salah satu sarana yang dapat digunakan dalam
kebijakan hukum pidana. Roeslan Saleh pernah mengatakan bahwa untuk
mencapai tujuan hukum pidana itu tidaklah semata-mata menjatuhkan pidana,
akan tetapi juga ada-kalanya menggunakan tindakan-tindakan. Tindakan
merupakan suatu sanksi juga, tetapi tidak ada sifat pembalasan padanya dan
ditujukan sebagai prevensi khusus dengan maksud menjaga keamanan masyarakat
terhadap orang-orang yang dipandang berbahya, dan dikhawatirkan akan
melakukan perbuatan-perbuatan pidana.
Batas antara pidana dan tindakan walaupun secara teoritis agak sukar
dibedakan tetapi secara praktis batasannya cukup jelas seperti yangditentukan
dalam Pasal 10 KUHP merupakan lingkup pidana, selain itu adalah termasuk
tindakan. Roeslan Saleh dalam hal ini mengutarakan, walaupun tindakan itujuga
merampas dan menyinggung kemerdekaan seseorang, tetapi jika
bukan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP bukanlah pidana.
Seperti pendidikan paksa pada anak-anak, penempatan seseorang dalam rumah
sakit jiwa.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan manfaat
bagi penyusun khususnyan dan bagi pembaca umumnya. Penyusun menyadari
bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah kami.

16
Daftar Pustaka

Mahrus Ali. 2012. Dasar-Dasar Hukum Pidana Sinar Grafika. Jakarta.

Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Arti Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. 11 Desember 2018,


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl194/arti-pidana-pokok-dan-
pidana-tambahan

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

iv

Anda mungkin juga menyukai