Anda di halaman 1dari 5

Nama : Akhida Rukhul Qisthi

NIM : B0218003
Kelas/Semester : Sastra Indonesia A / 2

1. Konsep Fiksi
Struktur Karya Sastra Menurut Robert Stanton ialah :
a) Tema
Tema merupakan makna penting dalam sebuah cerita, apa pun nilai yang
terkandung di dalam sebuah cerita, tema menjadi salah satu bagian penting yang tidak
terpisahkan dengan kenyataan cerita, karena tema cerita merupakan elemen yang
relevan dengan setiap peristiwa dan detail sebuah cerita.

b) Fakta-fakta cerita
 Alur
Rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita yang tidak terbatas pada
ujaran atau tindakan saja, tapi mencakup perubahan sikap karakter , kilasan-
kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya dan segala yang menjadi variabel
pengubah dalam dirinya. Di dalam alur terdapat subplot, subplot menghasilkan
apa yang kita sebut dengan cerita berbingkai. Alur dapat mengalir karena mampu
merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca, jawaban yang muncul
akan jauh lebih spesifik dari yang awalnya hanya sebuah pertanyaan “ Apa yang
akan terjadi selanjutnya?”.
Di dalam alur terdapat dua elemen dasar yang membangun yaitu konflik dan
klimaks. Di setiap karya fiksi pasti terdapat konflik internal, baik yang hadir
melalui hasrat dua orang karakter atau hasrat seorang karakter dengan
lingkungannya. Sedangkan klimaks yaitu saat ketika ending tidak dapat dihindari
lagi.

 Karakter
Pengertian karakter tidak hanya merujuk pada individu-individu yang muncul
di dalam sebuah cerita, lebih luasnya karakter dapat merujuk pada pencampuran
dari kepentingan, keinginan, emosi dan prinsip moral dari individu-individu
tersebut. Di dalam sebuah cerita pasti terdapat karakter utama, yang terkait
dengan semua peristiwa yang berlangsung, peristiwa tersebut dapat menimbulkan
perubahan pada diri karakter, dan sesuatu yang membuat karakter berubah
disebut dengan motivasi. Motivasi dimulai dari motivasi dasar lalu terdapat
motivasi spesifik yang menjadi alasan atas reaksi spontan sang karakter.

 Latar
Latar ialah semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang
berlangsung. Latar dapat berwujud sebuah tempat atau waktu maupun suasana.
Terkadang latar dapat berpengaruh pada karakter-karakter di dalam cerita,
misalnya memunculkan tone dan mood emosional yang melingkupi karakter.
Latar dapat menjadi cerminan suasana jiwa sang karakter.

c) Sarana-sarana sastra
 Judul
Judul sebuah cerita memiliki dua kemungkinan, pertama judul yang relevan
terhadap cerita yang diampunya lalu kedua, judul yang mengacu pada satu detail
yang tidak menonjol. Judul yang relevan seringkali terdapat pada sebuah judul
cerpen, karena menjadi petunjuk makna cerita yang bersangkutan.

 Sudut pandang
Sudut pandang dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu orang pertama-utama,
orang pertama-sampingan, orang ketiga-terbatas, orang ketiga-tidak terbatas.
Sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu secara subjektif dan objektif.
Pilihan yang diambil pengarang harus selalu bergantung pada masalah yang
mengemuka dalam ceritanya, karena setiap tipe memiliki kelebihan dan
kekkurangannya masing-masing.

 Gaya dan Tone


Cara pengarang dalam menggunakan bahasa disebut dengan gaya, gaya dalam
cerita dapat lebih kita pahami dengan membaca banyak cerita dari berbagai
pengarang, namun hendaknya juga membaca banyak karya dari satu pengarang.
Sehingga kita tahu karakteristik satu pengarang dengan pengarang lain. Misalnya
Tere Liye yang terkenal dengan mengemas cerita yang sederhana menjadi lebih
indah karena bahasanya yang seringkali dirangkai dengan indah dan mengalir.
Elemen yang amat terkait dengan gaya adalah tone, tone merupakan sikap
emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone dimunculkan dengan
berbagai wujud, misalnya pada porsi tertentu tone dimunculkan oleh fakta-fakta,
suatu cerita yang mengisahkan seorang pembunuh berkapak akan memunculkan
tone ‘gila’dan lain sebagainya.

 Simbolisme
Simbol di dalam cerita dimaksudkan untuk menampilkan suatu gagasan dan
emosi ke dalam pikiran pembaca. Simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang
masing-masing bergantung dengan bagaimana simbol digunakan. Pertama,
simbol muncul pada satu kejadian penting yang menunjukkan makna peristiwa
tersebut. Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang akan
mengingatkan pembaca pada beberapa elemen konstan dalam semesta cerita.
Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan
membantu kita menemukan tema

 Ironi
Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu
berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Dalam cerita fiksi ironi
terbagi menjadi ironi dramatis dan tone ironi. Mengetahui keberadaan ironi dan
menafsirkannya yaitu dengan membaca cerita berulang kali dengan teliti dan hati-
hati. Karena pada dasarnya karya sastra adalah rekaan pengarang dan bukan
sekadar fakta-fakta yang diambil mentah-mentah.

2. Fiksi Populer dan Fiksi Serius

Fiksi Serius

Konsep cerita fiksi serius memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat dijadikan landasan, yaitu:

 Fiksi serius dianggap jauh lebih baik daripada fiksi populer karena mengandung
ajaran-ajaran yang berguna
 Lebih sukar untuk dibaca karena mengandung dua elemen tambahan, gagasan utama
yang harus digali pembaca dan sarana artistik yang harus diketahui dan dihargai
 Dimaksudkan untuk mendidik dan mengajarkan sesuatu yang berguna bagi kita ,
bukan dimaksudkan hanya untuk memberi kenikmatan saja pada pembaca
 Sebagian besar bersifat sukar untuk dimengerti hanya dengan sekali baca, sehingga
memerlukan adanya pembacaan kembali atau berulang untuk mendapatkan
kenikmatan dari cerita fiksi serius tersebut
 Suatu karya fiksi serius mengandung kesukaran namun sekaligus menantang pembaca
karena terdiri atas detail-detail yang menyelubungi satu maksud atau gagasan utama
 Perlu adanya penghayatan yang dalam berupa analisis untuk benar-benar bisa
merasakan efek dari suatu karya fiksi serius
 Maksud utama dari sebuah karya fiksi serius ialah memungkinkan pembaca untuk
membaca sekaligus memahami satu pengalaman manusia. Maksud tersebut harus
dicerna melalui berbagai hal yang rumit dan sulit di dalam karya fiksi serius karena
rangkaian kejadian-kejadian tersebut hendaknya dirasakan dalam-dalam seolah-olah
pembaca sedang mengalaminya sendiri

Fiksi Populer

Konsep cerita fiksi populer memiliki beberapa ciri-ciri yang dapat dijadikan landasan
yaitu:

 Selalu lebih mudah dinikmati, namun tidak lebih baik daripada fiksi serius
 Mudah dibaca karena benar-benar ‘mengisahkan sesuatu’.
 Elemen-elemen yang ada pada fiksi populer selalu distereotipkan, seperti karakter,
situasi, tema dan sarana-sarana kesastraan. Misalnya: film barat yang merupakan film
petualangan didalamnya seorang hero selalu dicerminkan dengan sifatnya yang jujur,
bertindak berani, bisa memegang kata-katanya sendiri, sopan pada wanita dan
menyayangi binatang. Kebalikannya, penjahat selalu dicerminkan dengan sifatnya
yang tidak jujur, tidak bisa dipercaya, kejam dan serakah. Hal tersebut terkadang
ditonjolkan melalui ciri-ciri fisik yang simbolis
 Fiksi populer hanya terdiri dari beberapa karakter, situasi, dan tema saja.
 Fiksi jenis ini tidak akan mengulas keragaman yang ada dalam hidup
 Tidak lebih sekadar tiruan dari apa yang telah diciptakan oleh pengarang lain
 Fiksi jenis ini selalu melestarikan stereotipe yang sudah ada

3. Teori Robert Stanton terhadap sastra, yang terbagi menjadi beberapa poin :

1. Tema
Menurut Robert Stanton, tema diartikan sebagai makna penting dalam sebuah
cerita, ia merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman
manusia. Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut dan berdampak.
Tema bersifat individual sekaligus universal, tema memberikan kekuatan dan
menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang diceritakan sekaligus
mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang paling umum. Keberadaan tema
diperlukan karena menjadi salah satu bagian penting yang tidak terpisahkan dengan
kenyataan cerita. Tema tidak diungkapkan secara langsung oleh pengarang. Tema
dimanfaatkan sejauh tema memberi makna pada pengalaman, pengarang disini tidak
berusaha mendidik moral pembaca melalui karyanya. Karena tema bisa diambil dari
bentuk yang paling umum dalam kehidupan yang mungkin bisa atau tidak
mengandaikan adanya penilaian moral.
Generalisasi dari tema ialah bahwa tema memungkinkan membentuk
kebersatuan pada cerita dan memberi makna pada setiap cerita. Seorang pengarang
akan meleburkan fakta dan tema dalam satu pengalaman, tema akan muncul dari
fakta-fakta dan memunculkannya adalah pekerjaan kita sebagai pembaca. Pengarang
berasumsi bahwa tema dalam cerita akan menarik perhatian pembaca, namun
pengarang sejatinya menginginkan kita (pembaca) memahami makna dari sesuatu,
pengarang ingin kita merasakan pengalaman yang seolah-olah hidup dan kita alami
sendiri pengalaman-pengalaman tersebut, bukan sekadar abstraksi dari hasil penalaran
yang kabur. Tema adalah makna yang dapat merangkum semua elemen dalam cerita
dengan cara yang paling sederhana.

2. Fakta cerita
Fakta-fakta cerita itu terdiri dari karakter, alur dan latar. Ketiga hal tersebut
dinamakan sebagai struktur faktual. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita,
pembaca perlu mempercayai cerita, dalam artian membenamkan diri pada ilusi yang
dibuatnya. Namun dalam mengapresiasi pola-pola yang mengemban tema, pembaca
hendaklah mengenyampingkan ilusi-ilusi tersebut, Robert menyatakan bahwa
pembaca perlu bertanya pada diri sendiri mengapa pengarang memilih detail-detail
tertentu di dalam sebuah cerita. Jika dua pendekatan tersebut dilakukan dengan benar,
maka pembaca akan tahu bahwa detail-detail dalam cerita masuk akal dan signifikan.
Masuk akal disini diartikan Robert bukanlah masuk akal yang realistis, tidak
seharusnya kita sebagai pembaca menghakimi sebuah cerita karena situasi-situasi di
dalam cerita tidaklah seperti kebanyakann, pertanyaannya bukanlah “Akankah ada
orang yang berlaku seperti karakter tersebut?” namun “Akankah karakter dalam
situasi tersebut bertindak sesuai dengan apa yang harus dilakukannya?”. Masuk akal
bukan berarti cerita merupakan tiruan kehidupan, namun hubungan antara satu
pengalaman dengan pengalaman lainnya. Jadi, ‘masuk akal’ dan ‘tidak terhindarkan’
dimaksudkan agar kita (pembaca) sadar akan adanya hukum sebab akibat yang
mempertautkannya.

3. Sarana-sarana sastra :
Konflik, sudut pandang, simbolisme, ironi dan sebagainya merupakan sarana-
sarana sastra. Sarana sastra dipandang sebagai semacam metode untuk memilih dan
menyusun detail-detail cerita. Pemilihan dan penyusunan detail-detail cerita
digambarkan dengan tidak berlebihan, karena pengarang lebih memilih menyatakan
fakta apa adanya. Memiliki pola-pola tertentu melalui perulangan dan asosiasi di
antara benda-benda yang ditampilkan secara berbarengan. Setiap detail dalam fiksi
memiliki asosiasi konvensional, misalnya musim semi dengan cinta, natal dengan
kegembiraan dan asosiasi-asosiasi baru lainnya yang memperkaya suatu cerita.
Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konfliks, klimaks, tone
dan gaya, serta sudut pandang. Sarana-sarana sastra dapat dikatakan sebagai unsur-
unsur yang membangun sebuah cerita.

 Makna sastra sejajar dengan apa?


Makna dalam sastra sejajar dengan tema, dimana makna diartikan sebagai
pengalaman manusia, sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat.

 Posisi pengarang di dalam sastra?


Pengarang disini dapat diposisikan sebagai seseorang yang memiliki ide atau
gagasan yang dituangkan dalam sebuah cerita, pengarang memosisikan dirinya
sebagai pencipta suatu karya sastra yang memiliki suatu gaya tersendiri dalam
penyampain ceritanya.

Anda mungkin juga menyukai