Anda di halaman 1dari 10

Potensi agromineral di Indonesia salah satu alternatif pengganti pupuk buatan.

POTENSI AGROMINERAL DI INDONESIA

SALAH SATU ALTERNATIF PENGGANTI PUPUK BUATAN

Batuan dan mineral dapat berperan cukup potensial di bidang pertanian, karena di dalam beberapa
mineral dan batuan terkandung nutrisi-nutrisi penting yang dapat digunakan untuk
mempertahankan dan menambah produktivitas lahan maupun hasil pertanian, yang disebut sebagai
agromineral. Tanaman memerlukan nutrien untuk tumbuh diantaranya nitrogen, fosfat, potassium,
kalsium, magnesium, sulfur dan mikroelemen lain, yang tidak dipunyai oleh tanah yang kurang
subur.

Selain nitrogen, sumber daya mineral menyediakan nutrien penting untuk tanaman, yang disebut
sebagai sumber daya agrogeologi dan agromineral. Secara alamiah, proses-proses pelapukan biologi,
kimia dan fisika dapat menguraikan batuan menjadi nutrien penting bagi tumbuhan/tanaman.

Secara geologi, Indonesia tersusun oleh sistem busur volkanik, dari Aceh menyusuri sepanjang ruas
Pulau Sumatra, selatan Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, berbelok ke Kepulauan Banda, Sulawesi bagian
Barat sampai lengan Sulawesi bagian utara, menghasilkan produk vulkanik yang dapat berpotensi
sebagai sumber daya agromineral.

Baik agrogeologi maupun agromineral di Indonesia belum banyak dipelajari di Indonesia, akan tetapi
dari penyelidikan, inventarisasi dan evaluasi bahan galian yang dilakukan oleh Direktorat
Inventarisasi Sumber Daya Mineral sejak beberapa periode yang lalu, beberapa agromineral yang
terdapat di Indonesia cukup beragam, antara lain fosfat guano di gua-gua gamping sebagai sumber
daya fosfor (P), batuan volkanik yang mengandung Kalium sebagai sumber kalium (K), sulfur,
batugamping, dolomit, batuan ultrabasa, batuapung, dan sebagainya.

ABSTRACT

Rocks and minerals can have a potential role in agriculture, because of their nutrient content those
are essential in sustaining soil productivity and crop production. These rocks and minerals are
named as agrogeology and agrominerals. Soil which was undergone a long cultivation periods will
decrease their fertility, and lead to reduce crop production. Crops need essential nutrients to grow
including nitrogen, phosphate, potassium, calcium, magnesium, sulphur and other microelements;
those are not yield by fertility-depleted soil. Therefore the effective way to sustain their fertility is to
supply imported nutrient inputs, such as manure or concentrated fertilizer.

With the exception of nitrogen, geological resources - rocks and their forming minerals, supply other
critical nutrients for plant. Naturally, biological, chemical and physical weathering processes will
break up the rocks and disintegrate minerals to extract these essential nutrients.

Geologically, Indonesia is built up by volcanic arc system, from Aceh stretched along the bones
Sumatra, southern Java, Small Sunda Islands, turn around to the Banda Island, eastern Sulawesi up
to northern arms, therefore the rocks are potential as resources of agrominerals.

Both agrogeology and agrominerals have not studied much in Indonesia, however, from the
investigation, inventories and evaluation of industrial minerals have done by Directorate of Mineral
Resources Inventory since several periods, various agrominerals occur in Indonesia, such as guano
phosphate in limestone (karst) areas as resource of phosphorus (P), volcanic rocks containing as
resources of potassium (K), sulfur, limestone, dolomite and serpentinite as magnesium resources,
scoriae and pumice to conserve nutrients and water (moisture), and some others.

ABSTRAK(arti)

Batuan dan mineral dapat memiliki peran potensial dalam pertanian, karena kandungan hara
mereka yang penting dalam mempertahankan produktivitas tanah dan produksi tanaman. Batuan
dan mineral ini dinamakan agrogeologi dan agromineral. Tanah yang mengalami periode budidaya
panjang akan menurunkan kesuburan mereka, dan menyebabkan berkurangnya produksi tanaman.
Tanaman membutuhkan nutrisi penting untuk tumbuh termasuk nitrogen, fosfat, kalium, kalsium,
magnesium, belerang dan unsur mikro lainnya; mereka tidak menghasilkan oleh tanah yang
kesuburan-habis. Oleh karena itu cara efektif untuk mempertahankan kesuburan mereka adalah
untuk memasok input nutrisi yang diimpor, seperti pupuk kandang atau pupuk yang terkonsentrasi.

Dengan pengecualian nitrogen, sumber daya geologi - batuan dan mineral pembentuknya, memasok
nutrisi penting lainnya untuk tanaman. Secara alami, proses pelapukan biologis, kimia dan fisik akan
memecah batu dan menghancurkan mineral untuk mengekstrak nutrisi penting ini.

Secara geologis, Indonesia dibangun oleh sistem busur vulkanik, dari Aceh yang membentang
sepanjang tulang Sumatera, Jawa bagian selatan, Kepulauan Sunda Kecil, berbalik ke Pulau Banda,
Sulawesi Timur hingga ke lengan utara, oleh karena itu bebatuan berpotensi sebagai sumber daya
agromineral.

Baik agrogeologi dan agromineral belum banyak belajar di Indonesia, namun, dari investigasi,
inventarisasi dan evaluasi mineral industri telah dilakukan oleh Direktorat Inventarisasi Sumber Daya
Mineral sejak beberapa periode, berbagai agromineral terjadi di Indonesia, seperti guano fosfat
dalam batu kapur (karst) daerah sebagai sumber daya fosfor (P), batuan vulkanik yang mengandung
sumber daya kalium (K), belerang, batu kapur, dolomit dan serpentinit sebagai sumber daya
magnesium, scoriae dan batu apung untuk menghemat nutrisi dan air (kelembaban), dan beberapa
lainnya.

Pendahuluan

Indonesia merupakan suatu negara agragris yang sebagian besar mata pencaharian rakyatnya
bergantung pada pertanian. Sebagian lahan pertanian berupa sawah dan ladang yang menetap,
terutama di Pulau Jawa yang lahannya terbatas. Lahan pertanian yang ditanami terus menerus akan
mengalami penurunan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman, sehingga menjadi kurang produktif
dan kurang subur untuk penanaman berikutnya. Sedangkan pada perladangan berpindah, setelah
beberapa kali tanam, lahan akan ditinggalkan untuk dibiarkan ditumbuhi oleh semak belukar selama
beberapa tahun, sehingga menjadi subur kembali untuk dijadikan ladang lagi, atau dibiarkan kembali
menjadi hutan. Kenyataannya, lahan tidak pernah dikelola kembali dan hutan tidak pernah
terbentuk kembali, bahkan lahan tersebut menunjukkan penurunan produktivitas.

Oleh karena itu pilihan terbaik akan jatuh pada pertanian menetap, dengan syarat kesuburan lahan
harus dipertahankan, bahkan kalau bisa ditingkatkan. Produktivitas tanah dapat terus dipertahankan
dan ditingkatkan, dengan cara memasok kebutuhan nutrisi tanah dari luar melalui pemupukan.
Sayangnya, dengan kondisi Indonesia saat ini, pupuk terlarut (pupuk buatan) tidak selalu mudah
didapatkan dan harganya juga cukup mahal, sehingga petani sering mengeluhkan ongkos produksi
yang cukup tinggi dibandingkan dengan harga jual yang sangat rendah. Kalaupun pupuk tersedia,
petani sering melakukan pemupukan secara tidak terkontrol, kadang berlebihan dan kurang efisien,
sehingga justru sering merusak struktur tanah.

Nutrisi tanaman yang paling esensial adalah nitrogen (N), fosfor (P) dan potassium (kalium/K).
Kecuali untuk beberapa pupuk khusus nitrogen, hampir semua pupuk buatan berasal dari batuan
yang diproses secara kimiawi, yaitu batuan yang telah dimodifikasi secara kimia, ditambah dengan
beberapa nutrisi mikro yang sering dibutuhkan oleh tanaman, seperti kalsium (Ca), magnesium (Mg),
sulfur (S), tembaga (Cu), kobalt (Co), besi (Fe), dan sebagainya. Sebaliknya, agromineral pada
umumnya hanya dimodifikasi secara fisik, misalnya dengan penumbukan dan pemecahan. Walaupun
kadang perlu modifikasi untuk beberapa batuan dan mineral ‘hybrid’ (turunan) yang
mempergunakan sejumlah zat kimia tertentu digabungkan dengan agromineral, akan tetapi hanya
merupakan teknik sederhana dan bertujuan agar pemakaian dapat lebih optimal. Oleh karena itu
agromineral diharapkan menjadi satu alternatif pengganti pupuk yang lebih murah dan lebih mudah
diperoleh untuk menambah nutrisi tanaman serta memperbaiki struktur tanah, dengan cara
memanfaatkan sumber daya geologi yang terdapat di sekitar lahan pertanian tersebut. Istilah
‘agromineral’ yang digunakan disini mempunyai arti cukup luas, meliputi mineral dan batuan
yang secara alamiah mengandung nutrisi, seperti batuan fosfat, garam-garam nitrogen and
potassium, dan lain-lain, juga termasuk batuan yang berfungsi meningkatkan kemampuan tanah
seperti kapur pertanian dan dolomit, serta beberapa jenis batuan silikat, karena selain memasok
nutrisi yang diperlukan juga mengurangi keasaman, menjaga kelembaban dan melepaskan nutrisi
secara perlahan.

Beberapa dari batuan dan mineral tersebut hanya dapat agak larut dalam waktu yang pendek tetapi
dapat melepaskan kandungan nutrien ke dalam tanah untuk waktu yang lama dan memasok nutrisi
secara perlahan. Agromineral juga termasuk batuan dan mineral yang dapat meningkatkan status
fisik tanah. Misalnya, perlit digunakan untuk meningkatkan aerasi dalam media pertumbuhan
buatan dalam rumah kaca, vermikulit dan zeolit adalah mineral-mineral yang dapat menyimpan dan
melepaskan nutrien dan kelembaban perlahan-lahan, dan skoria dan batuapung dan batuan lain
dipakai sebagai batuan penahan untuk mengurangi evaporasi.

Makalah ini banyak diilhami dan dipengaruhi oleh isi buku yang ditulis oleh Profesor Dr. Peter van
Straaten dari University of Guelph, Ontario, Kanada, yang berjudul "Rocks for Crops", yang
membahas peranan yang potensial dari beberapa batuan dan mineral terhadap tumbuh-tumbuhan,
untuk mempertahankan dan menambah produktivitas lahan maupun hasil pertanian. Sehingga
selain untuk membantu petani kecil, juga menambah wawasan bahwa batuan dan mineral, selain
sebagai bahan baku industri, juga sebagai sumber daya agromineral. Pada bab terakhir akan
diuraikan potensi agromineral berdasarkan data yang tercatat di Direktorat Inventarisasi Sumber
Daya Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber daya Mineral, Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral tahun 2004.

Secara geologi, sebagian besar daratan Indonesia merupakan rangkaian kepulauan busur, dan secara
agronomi merupakan tanah yang cukup subur, karena rempah-rempah volkanik merupakan sumber
nutrisi bagi tanaman. Agromineral yang berasosiasi dengan batuan volkanik atau batuan gunungapi
adalah obsidian, perlit, batuapung, dan belerang. Demikian pula, dalam cekungan-cekungan
sedimenter dapat ditemukan beberapa jenis agromineral, termasuk batugamping, dolomit, dapat
merupakan sumber daya agromineral. Beberapa jenis sumber daya agromineral yang terdapat di
Indonesia diuraikan di bawah ini.

Batuan Fosfat

Batuan fosfat merupakan sumber inorganik dari fosfor (P), salah satu nutrisi agronomi yang bersama
dengan nitrogen (N) dan potassium (kalium/K) sangat penting bagi pertumbuhan secara umum,
termasuk pembentukan protein, akar, mempercepat kematangan bijih, meningkatkan produk bijih-
bijihan dan umbi-umbian, serta memperkuat tubuh tanaman. Oleh karena itu kekurangan fosfor
mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, akar sangat sedikit, daun menguning sebelum waktunya
dan secara keseluruhan pertumbuhan akan terhambat. Selain itu pada tanah tropis, kekurangan P
merupakan hal biasa, juga kekurangan kalsium (Ca), keasaman tanah tinggi, keracunan Al, dan tipis,
sehingga jika tidak cepat diatasi, tanah akan menjadi tandus. Efektifitas batuan fosfat secara
agronomik tergantung pada beberapa faktor, yaitu faktor batuannya sendiri, faktor kondisi tanah,
jenis tanaman, dan pengaturan pemupukan. Faktor batuan disebabkan oleh genesa dari berbagai
batuan dan mineral pembawa fosfat, antara lain endapan fosfat sedimen marin, magmatik,
metamorfik, fosfat biogenik dan endapan fosfat karena pelapukan. Masing-masing jenis endapan
fosfat dicirikan oleh sifat mineralogi, kimia dan struktur yang berbeda, sehingga kecepatan reaksi
batuan terhadap tanahpun berbeda. Reaktivitas terbaik adalah batuan fosfat sedimen marin.
Disamping itu, endapan fosfat marin ini pada umumnya terbentuk sebagai endapan yang ekonomis,
sehingga hampir seluruh pupuk fosfat di dunia berasal dari sumber daya batuan fosfat marin.
Pengembangan batuan fosfat untuk pupuk, rata-rata 75% berasal dari endapan sedimenter atau
batuan fosfat marin, 12-20% dari batuan beku dan endapan residu, dan hanya 1-2% dari sumber
daya biogenik (fosfat guano), hampir semua jenis sumber daya batuan fosfat terdiri dari berbagai
bentuk mineral apatit. Selain apatit, telah dikenal lebih dari 200 jenis mineral fosfat yang telah
diketahui, akan tetapi kurang popular dan kurang bernilai ekonomis.Beberapa kelompok mineral
fosfat primer diantaranya adalah:

· Fluor-apatit (Ca10(PO4)6-F2) terdapat di lingkungan batuan magmatik dan metamorf,


termasuk karbonatit dan mika-piroksenit.

· Hidroksi-apatit (Ca10(PO4)6-(OH)2), terdapat pada lingkungan batuan metamorf dan batuan


beku, tetapi juga dalam endapan biogenik, misalnya endapan tulang. · Karbonat-hidroksi-apatit
(Ca10(PO4,CO3)6(OH)2) terutama dijumpai di pulau dan gua-gua sebagai bagian dari kotoran burung
dan kelelawar, guano.

· Frankolit (Ca10-x-yNaxMgy(PO4)6-z(CO3)z-F0-4zF2) merupakan apatit yang tersubstitusi oleh


karbonat, terutama terjadi pada lingkungan marin, dan sedikit sekali sebagai hasil pelapukan,
misalnya dari karbonatit.

· Kelompok krandalit, variskit, dan strengit yang merupakan Fe- dan Al-fosfat yang ditemukan
pada lingkungan sekunder pelapukan.

Endapan fosfat yang ditemukan di Indonesia adalah fosfat guano, yang terbentuk dari tumpukan
sekresi (kotoran) burung atau kelelawar yang larut oleh air (hujan) atau air tanah dan meresap ke
dalam tubuh batugamping, bereaksi dengan kalsit untuk membentuk hidroksil fluorapatit atau
Ca5(PO4)3(OH,F) dalam rekahan atau menyusup diantara perlapisan batugamping, maupun
terendapkan di dasar batugamping.Umumnya terdapat secara terbatas dalam gua-gua gamping,
terutama di Pegunungan Selatan Jawa, Gresik, Cepu dan Pati, serta di Pulau Madura. Pada umumnya
endapan ini kurang bernilai komersial karena hanya merupakan urat-urat memanjang yang tidak
menerus, dengan ketebalan beberapa cm sampai 20 cm, walaupun pada beberapa lokasi dapat
mencapai 50 cm. Akan tetapi endapan jenis ini termasuk batuan fosfat yang cukup reaktif, sehingga
dapat sangat berguna untuk memenuhi kebutuhan lokal, atau dikembangkan dalam skala kecil.
Endapan fosfat tipe guano yang telah teridentifikasi di Indonesia tersebar di 60 lokasi, sekitar 48
lokasi diantaranya ditemukan di Pulau Jawa dan Madura. Kadar P2O5 tercatat antara 4-40%, akan
tetapi pada umumnya diatas 15%. Total sumber daya fosfat Indonesia hanya sekitar 20 juta ton,
padahal konsumsi fosfat lebih dari 1 juta ton setahun (DIM, 2004).

Menurut literatur, jenis endapan fosfat guano jarang ditemukan dalam jumlah besar, bahkan di
dunia total sumber dayanya hanya 2% dari seluruh sumber daya fosfat yang ada. Fosfat guano yang
bernilai komersial di dunia baru diketahui di Pulau Christmast dan Pulau Nauru. Produksi fosfat
Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan domestik, sehingga produsen pupuk harus mengimpor
fosfat dari beberapa negara produsen fosfat, seperti USA, Maroko, dan Cina.

Batuan pembawa kalium

Unsur kalium/potassium (K) sangat penting bagi pertumbuhan secara umum, bersama dengan
nitrogen (N) dan fosfor (P). Sumber K (kalium/potassium) alam untuk produksi pupuk umumnya
berasal dari endapan potas sedimenter yang terdiri dari silvit (KCl) atau senyawa kompleks (K,Mg)-
klorit dan -sulfat. Pupuk-K ini larut air sehingga cocok untuk bertindak sebagai pupuk-K dan K-Mg.
Tanaman sendiri menyerap K secara alamiah dari pelapukan mineral K, kompos dan sisa tumbuhan.
Akan tetapi mineral pembawa-K yang paling umum adalah K-felspar, leusit, biotit, phlogopit, dan
glukonit, serta mineral lempung (illit), sedangkan batuan silikat kaya-K yang cepat lapuk adalah
batuan volkanik pembawa leusit. Banyak sumber K yang mudah larut diperdagangkan sebagai
pupuk-K, misalnya ‘muriate of potash’ (KCl), akan tetapi garam tersebut dapat menimbulkan
masalah pada tanaman yang peka terhadap garam. Sedangkan penggunaan mineral pembawa-K
yang berstruktur silikat lebih dianjurkan, karena pupuk alam akan melepaskan nutrisi secara lambat
untuk jangka panjang, termasuk batuan fosfat, biotit, flogopit, dan leusit yang secara berangsur
melepaskan K dan Mg. Jika perlu, kecepatan pelapasan nutrisi dapat dipercepat, tetapi untuk
beberapa tanaman yang memerlukan potasium dalam jumlah besar, seperti pisang, kelapa, dan
karet, pelepasan K yang lambat tersebut bahkan menguntungkan.

Potasium dalam felspar (K-felspar) pada umumnya sangat resisten terhadap pelapukan, dimana ion
K+ tidak mudah lepas sehingga sukar bagi tanaman untuk menyerapnya. Sebaliknya, dalam mika dan
mineral lempung mikaan yang mempunyai struktur silikat lembaran, ion K terikat di antara lembaran
bersama Mg2+ dan Fe2+ dalam octahedral, sehingga lebih mudah terlepas. Phlogopit dan biotit
umumnya mengandung K2O>10%, 5-22% MgO dan 5-20% Fe dalam struktur silikat tetapi tidak siap
pakai karena harus diasamkan. Glukonit adalah K,Fe-hidromika yang juga mengandung K+, Na+, or
Ca2+, serta Al atau Mg. Glaukonit umumnya terdapat dalam pasir glukonitan yang berwarna hijau,
napalan dan lempungan yang tidak terkonsolidasi, dan diendapkan dalam lingkungan marin, dekat
pantai dengan kecepatan lambat. Glaukonit yang bersih mengandung lebih dari 11% K2O, sedangkan
pasir hijau yang kaya glukonit umumnya mengandung 5-9% K2O. Glaukonit secara spasial berasosiasi
dengan akumulasi sedimen fosfat.

Di Indonesia, sumber daya mineral pembawa-K yang ada hanya batuan trakhitik dan riolitik yang
baru tercatat di satu lokasi yaitu G. Kunyit, Lampung, sedangkan tuf riolitik tercatat di Desa Paga,
Sikka, NTT. Selain itu, Formasi Tuf Toba yang berkomposisi riolitik di sekitar Danau Toba, juga
tersebar cukup luas. Sayangnya K-felspar bukan agromineral yang diharapkan untuk dapat
digunakan langsung. Pada beberapa lokasi K-felspar diusahakan untuk industri keramik.
Disamping itu juga terdapat batuan yang kaya leusit di sekitar G. Muria, Jepara, Jawa Tengah, yaitu
batuan piroklastik, tephrit, lava basanit, leusitit dan syenit, akan tetapi potensinya belum dikaji.
Namun beberapa perusahaan pernah dilaporkan mengusahakan batuan-batuan tersebut untuk
industri keramik.

Beberapa lokasi lain, seperti G. Ringgit-Beser dan beberapa jenis batuan beku alkali di Kalimantan
bagian tengah belum sempat diselidiki, sehingga belum dapat dievaluasi potensinya. Agromineral
untuk Pengkapuran

Di mana-mana keasaman tanah merupakan masalah yang biasa muncul sehubungan dengan
turunnya hasil pertanian, termasuk negara-negara maju. Kecepatan pelarutan yang tinggi, batuan
induk yang tidak sesuai, dan beberapa hal yang jarang terjadi, seperti pengasaman kimia secara
kontinu seperti pembubuhan ammonium sulfat dalam jumlah besar. Masalah utama pada areal
pertanian yang sangat asam adalah tidak cukup tingginya ion H+ dan penambahan konsentrasi Al3+
yang sangat beracun pada pH rendah, serta rendahnya tingkat pertukaran ion Ca2+. Masalah
tersebut diatas pada umumnya ditangani dengan cara pengkapuran.

Semua material yang mengandung senyawa Ca dan Mg dapat digunakan sebagai bahan
pengkapuran untuk menetralisir keasaman tanah, yaitu meningkatkan pH tanah yang pada dasarnya
menambahkan Ca dan menurunkan Al. Batugamping dan dolomit merupakan material yang telah
digunakan untuk pengkapuran selama berabad-abad, dan sampai sekarang juga masih digunakan di
beberapa negara.

Di Indonesia, batugamping terdapat hampir di seluruh provinsi, bahkan kabupaten, sehingga


penerapan batugamping/dolomit sebagai ‘agricultural lime’ (kapur pertanian) sudah sering
dilakukan. Kadang petani memakai kapur tohor (‘quicklime’) yang reaktif sebagai bahan
pengkapuran, yang merupakan hasil kalsinasi (‘lime burning’) batukapur pada suhu antara 900°
and 1200°C. Penggunaan batugamping/dolomit untuk pertanian masing-masing negara berbeda,
tetapi berkisar dari beberapa beberapa ribu ton per bulan sampai hanya beberapa ton per musim
tanam. Dalam hal penggunaan terhadap tanah dengan daya tahan rendah disarankan untuk
menggunakan batugamping/dolomit tersebut secara langsung. Karena kapur padam dan kapur tohor
(calcined and hydrated limes) lebih mudah diserap dan akan mempunyai efek ‘membakar’ akar-
akar tanaman jika ditaburkan tak lama sebelum benih ditaburkan atau terlalu dekat dengan bijih.
Aplikasi batugamping mentah (uncalcined limestones) juga menghemat kayu, yang merupakan
sumber energi utama untuk proses kalsinasi. Kebutuhan kapur atau batukapur/dolomit umumnya
tergantung pada pH, konsentrasi Al3+ dan daya tahan tanah, akan tetapi biasanya antara 2-4 ton per
hektar.

Batugamping merupakan bahan baku industri yang paling umum terdapat di Indonesia, paling tidak
tersebar di 392 lokasi dari Provinsi Aceh sampai Papua dan diperkirakan total sumber dayanya
adalah 2,1 trilyun ton, Sedangkan dolomit sampai akhir tahun 2003, baru tercatat di 24 lokasi
dengan total sumber daya lebih dari 1,6 milyar ton. Dari seluruh sumber daya, hampir 30%
diantaranya berada di NTT dan 30% di Jatim, 18% di Sulawesi Tenggara dan 18% di Aceh, sisanya
terdapat di Sumatra Barat dan Jawa Tengah. Akan sangat baik jika ada kerjasama untuk pengkapuran
ini antara ilmuwan tanah, ahli geologi, dan teknisi pengolahan. Ilmuwan tanah membatasi yang
keasamannya tinggi sehingga memerlukan material pengkapuran dan ahli geologi mencari sumber
daya batugamping dan dolomit pertanian di dekat lahan yang memerlukan.

Gipsum
Gipsum merupakan agromineral yang paling umum digunakan untuk reklamasi tanah yang terinfeksi
sodium (Shainberg et al. 1989), yaitu tanah alkalin hitam (‘black alkaline soils’) yang menyerap
sodium dalam jumlah berlebih dalam mineral lempungnya. Tanah tersebut dicirikan oleh permukaan
pecah-pecah dan secara fisik merupakan formasi yang impermeable, dan keras. Proses-proses
pengerasan tanah dan perekahan pada tanah dapat diatasi dengan menyebarkan gipsum diatas
permukaannya, memberikan kalsium terlarut untuk menggantikan sodium yang terserap pada
mineral lempung.

Sulfur

Sulfur penting untuk semua tanaman, terutama untuk sintesa protein dan lemak, serta
mempengaruhi pembentukan akar dan hijau daun. Kekurangan sulfur dalam tanah akan
menyebabkan tanaman tampak menguning dan tidak mempunyai daya tumbuh. Kekurangan sulfur
sebagian disebabkan oleh rendahnya S karena penebangan tanaman berat, penanaman yang intensif
dan kurangnya daur ulang bahan organik, juga karena penggunaan pupuk S-bebas secara luas,
seperti TSP, MAP, DAP, dan urea. Beberapa jenis tumbuhan memerlukan sulfur lebih tinggi dari yang
lain, seperti tebu, tanaman biji yang kaya protein seperti cengkeh, dan kol. Sulfur (belerang) sebagai
unsur ditemukan relatif sedikit di banyak daerah volkanik tetapi juga sebagai bagian dari formasi
batuan sedimenter pembawa gipsum (CaSO4.2H2O) dan anhidrit-(CaSO4). Di Indonesia sulfur
terdapat di sekitar kawah gunungapi, sebagai hasil sublimasi gas volkanik. Total sumber daya
belerang Indonesia hanya 2,3 juta ton, kira-kira 75% diantaranya adalah sumber daya hipotetik, 11%
sumber daya tereka dan 14% sumber daya terukur, tersebar di 16 lokasi. Di Jawa Barat sendiri
tercatat mempunyai sumber daya belerang (sulfur) yang terbesar, yaitu 1,6 juta ton tersebar di 7
lokasi. Pada umumnya kadar belerang di Indonesia diketahui ±70% sulfur, berwarna kuning,
dengan lempung sebagai pengotor. Sisanya terdapat di Provinsi Sumatra Utara, Bengkulu, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Utara. Sumber sulfur lain adalah pirit dan markasit (dua-duanya FeS2)
terdapat dalam banyak formasi sedimenter dengan kemurnian yang bervariasi, dan sebagai
penyusun minor endapan batubara keras. ‘Pirit batubara’ adalah hasil upgrading dan pemurnian
dari hard coals. Pirit juga mineral utama sulfida, terjadi bersama dengan banyak sulfida logam dasar,
yang sering disisihkan bersama bijih logam berkadar rendah dan endapan pengotor (waste) pada
palong tambang (tailing). Akan tetapi pirit belum pernah dianggap sebagai satu agromineral karena
biasanya berasosiasi dengan logam pengotor yang cukup beracun, walaupun di India pernah berhasil
untuk meningkatkan produk kacang-kacangan pada tanah karbonatan (Van Straaten, 2000).

Agromineral untuk Nutrisi Mikro

Nutrisi mikro diperlukan sedikit sekali oleh tanaman, akan tetapi jika berlebihan justru akan menjadi
racun yang cukup mematikan. Termasuk dalam unsur mikro adalah boron, klorin, kobalt, tembaga,
besi, mangan, molibden, dan seng. Beberapa mineral pembentuk batuan yang mengandung unsur
nutrisi mikro dengan konsentrasi yang paling tinggi adalah:

– Boron terdapat dalam turmalin, mineral lempung dan garam evaporasi seperti borak dan
kolemanite di daerah gurun yang luas,

– Khlorin adalah komponen primer dari garam-garam yang biasa ada, halit (NaCl), dan silvit
(KCl),

– Kobalt umumnya, dalam jumlah sedikit, dalam batuan-batuan ultrabasa,


– Tembaga (Cu) adalah salah satu unsur dalam beberapa mineral sulfida, yaitu kalkopirit
(CuFeS2), bornit (Cu5FeS4), kalkosit (Cu2S), atau terjadi dalam senyawa karbonat, yaitu malakhit
Cu2(OH)2CO3 dan azurit Cu3(OH)2 (CO3)2,

– Besi terdapat sebagai komponen silikat tertentu, dan merupakan unsur logam utama dalam
Fe-oxida seperti hematit, magnetit, goethit/limonit, dan dalam sulfida (terutama pirit/FeS2), –
Mangaan terdapat terutama sebagai oksida (pirolusit MnO2, hausmanit Mn3O4, manganit MnOOH),
dan sedikit dalam senyawa Mn-karbonat dan dalam Mn-silikat,

– Molibdenum terjadi sebagai sulfida (MoS2), dan jarang sebagai molibdit (MoO3) atau sebagai
powellite (CaMoO4) dalam urat hidrothermal,

– Seng (Zn) terjadi sebagai sulfida ZnS, karbonat (smithsonite ZnCO3) atau sedikit dalam
magnetit dan silikat.

Akan tetapi, harus tetap diingat bahwa unsur-unsur tersebut hanya dibutuhkan sedikit sekali untuk
memperbaiki kekurangan. Satu kg MoS2 (molibdenit), misalnya, mengandung ± 600 g Mo, yang
berdasarkan perhitungan cukup untuk 10-20 hektar tanaman, karena rata-rata perlu 30-60 g total
Mo per hektar. Sekarang, pupuk-Mo adalah Na- dan NH4+-molibdat yang diplikasikan baik dengan
pupuk buatan atau setelah dibentuk mirip biji. Yang jelas, molibdat akan digunakan untuk suatu
lingkungan teroksidasi agar tanaman dapat hidup. Disamping itu, untuk mengatasi kekurangan
nutrisi mikro dapat juga dengan mencoba aplikasi dari buangan organik, yang pada umumnya
mengandung mikronutrisi yang tinggi.

Sumber daya geologi untuk nutrisi mikro juga cukup beragam, yang paling mudah ditemukan adalah
basal dan serpih hitam. Seperti di Afrika Selatan, basal merupakan material sisa (waste)
penambangan basal dan ‘granit hitam’ (dolerite). Van Straten (2002) melaporkan konsentrasi
rata-rata nutrisi mikro dalam batuan basaltik (dalam mg/kg) adalah: B = 5; Cl = 60; Co = 50; Cu = 100;
Fe = 86,000; Mn = 2,200; Mo = 1; and Zn = 100. Konsentrasi nutrisi mikro dalam serpih yang biasa,
dalam mg kg-1: B = 100; Cl = 180; Co = 20; Cu = 50; Mn = 850; Mo = 3; and Zn = 100 (Levinson 1974).
Serpih hitam yang kaya material organik bahkan mengandung konsentrasi nutrisi mikro yang jauh
lebih tinggi, misalnya rata-rata kandungan Mo adalah 70 mg Mo kg-1 (Ure and Berrow 1982). Akan
tetapi batuan-batuan tersebut harus digunakan dalam kuantitas yang cukup banyak untuk
menyediakan nutrisi mikro di lapangan, oleh karena itu lokasi sumber daya harus cukup dekat
dengan daerah dimana mereka dibutuhkan. Basal dalam basis data DIM baru tercatat dua lokasi
saja, yaitu di Miomaffo Timur, NTT dan Bonepante, Gorontalo. Sumber daya total hampir 2,4 milyar
ton, tereka. Disamping itu basal juga terdapat di Kabupaten Tondano, Sulawesi Utara, sumber
dayanya belum diketahui tetapi telah dieksploitasi untuk proyek perluasan daratan pantai Manado.
Sedangkan serpih, tersebar hampir di seluruh provinsi, terutama berasosiasi dengan batuan-batuan
sedimen lingkungan laut – transisi.

Batuan Pemulih Tanah Lain

Masih ada beberapa batuan yang dapat digunakan sebagai agromineral yang berfungsi sebagai
pemulih tanah, yang memperbaiki struktur tanah, menjaga kelembaban, yang akan berujung
mempertahankan produktivitas tanah, disampaing dapat menyediakan nutrisi yang diperlukan.
Beberapa diantaranya adalah zeolit, batuapung dan perlit.

Zeolit

Zeolit adalah satu kelompok berkerangka alumino-silikat yang terjadi di alam dengan kapasitas tukar
kation yang tinggi, adsorpsi tinggi dan bersifat hidrasi-dehidrasi. Telah diketahui sekitar 50 spesies
yang berbeda dari kelompok mineral ini, tetapi hanya 8 mineral zeolite merupakan pembentuk
utama endapan volkano-sedimenter, seperti : analcim, chabazit, klinoptilolit-heulandit, erionit,
ferrierit, laumontit, mordenit and phillipsit. Struktur dari setiap mineral ini berbeda tetapi semua
mempunyai lorong terbuka yang besar dalam structur kristal yang memungkinkan satu lubang besar
untuk penyerapan dan bertukar kation, mengakibatkan zeolit sangat efektif sebagai penukar kation
(Mumpton 1984). Sifat kimia dan fisika lain yang sangat berguna: - volume lubang tinggi
(mencapai 50%)

- densitas rendah (2.1-2.2 g cm -3),

- sifat menyaring molekul sempurna,

- kapasitas pertukaran kation tinggi (CEC): 150-250 cmol + kg-1,

- selectivitas kation, khususnya untuk kation ammonium, potasium, cesium, dll.

Zeolit makin banyak digunakan dalam industri budaya air (Aquaculture), pertanian, hortikultura,
industri kimia, konstruksi, pengaturan bahan buangan dan untuk penggunaan domestik (Clifton
1987; Mumpton 1984; Parham 1989). Dalam bidang agrikultural/hortikultural zeolit digunakan
sebagai:

- bahan imbuh makanan hewan,

- sebagai bahan imbuh tanah dan kompos,

- sebagai pembawa pestisida dan herbisida,

- sebagai media tanam.

Di Indonesia dijumpai pada batuan vulkanik Tersier, seperti di daerah Lampung Selatan, Bayah,
Cikembar, Cipatujah, Jawa Barat dan Nangapada, Kabupaten Ende NTT.

Perlit

Perlit adalah istilah untuk material gelas volkanik yang tidak diproses dan diproses. Perlit mentah
yang tidak diproses adalah metastabil, amorf, batuan volkanik kaya silika yang berkomposisi riolitik
– riodasitik. Perlit berwarna transparan kelabu terang – kaca hitam dan mutiara dan mempunyai
beberapa rekahan yang konsentrik menyerupai kulit bawang. Saat dipanaskan pada temperatur
1000°C, batuan akan mengembang sampai 20 kali dari volume semula oleh penguapan dari uap air
yang terperangkap, berwarna putih, busa gelas yang membentuk perlit komersial, porous, berbobot
ringan, steril, silikat stabil secara fisik dengan sifat penahan panas yang baik (good thermal
insulation), dan pH netral. Perlit yang mengembang mempunyai densitas masa (bulk density) yang
rendah (contohnya densitas masa dari perlit kasar adalah 0.1 g cm-3) tetapi praktis tidak mempunyai
sifat bertukar kation. Perlit dalam pertanian digunakan dalam budaya hidroponik sebagai penyimpan
(media) cairan nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan, dengan perlit kita tidak banyak
membutuhkan lahan dan bersih dari kotornya tanah.

Perlit di Indonesia dijumpai di Rimbo Pengadang, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Gunung Kiamis,
Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi, Gunung Muhul dan
Suoh, Belalau, Gedong Surian, Mutar Alam, Kecamatan Sumber Jaya, Kabupaten Lampung Barat,
Lampung, Nggelu, Kecamatan Sape, Kabupaten Bima, NTB, G. Batu, P. Beringin, Kecamatan Banding
Agung, Kabupaten OKU Selatan, Sumatera Selatan dan Pancurnapitu, Kecamatan Sipahutar,
Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara. Umumnya berhubungan dengan produk hasil gunungapi
Kuarter. Mempunyai nilai pengembangan (Swelling Value) berkisar 16 - 329 %.
Batuapung

Batuapung (pumice) adalah batuan volkanik yang terjadi secara alamiah berwarna muda, secara
kimia dan secara fisika tidak mengganggu, mirip dengan perlit. Batuan ini terbentuk sebagai hasil
dari ekspansi yang hebat dari gas-gas yang terlarut dalam suatu lava kaya silika kental seperti riolit
atau riodasit. Batuan ini ditemukan dalam endapan yang luas terkonsolidasi dan lepas, dekat dengan
pipa volkanik dari mana material tersebut dilemparkan. Seperti perlit, batuapung mempunyai pori-
pori sehingga menjadi sangat ringan sehingga dapat mengambang diatas air.

Sumber daya batuapung dieksploitasi untuk berbagai tujuan, terutama untuk industri bangunan,
abrasif dan batu pencuci jeans, dan hanya sedikit digunakan untuk meningkatkan fungsi tanah
(McMichael 1990). Batuapung yang diproduksi untuk hortikultura diambil hanya dari endapan lepas
dengan pemecahan dan pemilahan. Untuk lingkungan produksi batuapung lebih ramah daripada
penambangan perlit atau vermiculit karena tidak memerlukan energi yang tinggi untuk ekspansi
termal. Alam telah melengkapi proses-proses tersebut selama pembentukan batuapung. Dalam
banyak endapan lepas pemecahan menurut ukuran hanya satu-satunya teknologi pengolahan yang
diperlukan, sehingga sangat tidak mahal sebagai media tumbuh. Perbedaan dengan perlit terutama
berhubungan dengan ukuran pori-porinya, bentuk dan ukuran partikel bebas. Investigasi oleh
Noland et al. (1992) memperlihatkan bahwa batuapung mempunyai sifat fisiko-kimia yang serupa
perlit sehingga dapat digunakan untuk menggantikan perlit yang tidak mahal dalam rumah kaca
pemeliharaan tanaman.

Endapan batuapung di Indonesia dijumpai di Provinsi Banten, Bali, Jawa barat, Jawa Timur, Maluku
Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara dan Sumatera Utara.

Gambut

Gambut (peat) adalah material organik alam yang unik yang dijumpai dalam sistem lumpur, tanah
basah, rawa dan daerah pantai bawah dimana bahan organik terakumulasi pada kondisi reduksi.
Endapan gambut ditemukan tidak hanya di belahan utara, tetapi juga di daerah tropis yang luas.
Gambut dinilai dari sifat fisika dan kimianya, mempunyai kapasitas menyimpan air tinggi, serta
kapasitas tukar ion yang tinggi (100-150 cmol kg-1), porositas tinggi, densitas rendah dan penghantar
panas rendah. Sendirian gambut hanya berstatus nutrisi rendah tetapi tetapi dapat dipakai sebagai
pembawa pupuk. Penggunaan lain dari gambut adalah untuk media bersih untuk mengalirkan
minyak, perantara penyaring instalasi pengolahan limbah, dan sebagai satu sumber energi.

Endapan gambut di Indonesia dijumpai di daerah yang mempunyai endapan rawa yang luas, seperti :
Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sumatera
Selatan, Riau dan Lampung.

Anda mungkin juga menyukai