Anda di halaman 1dari 194

BAB I

PERKAWINAN

A. Pengertian
Nikah atau ziwaj dalam bahasa arab diartikan dengan kawin.
Kalimat nikah atau tajwiz diartikan dengan perkawinan.
Abdurrahman al jaziri dalam kitab nya al-fiqh ala mazahibi
arba‟ah menyebutkan ada 3 macam makna nikah, yaitu:
1. Makna lughawi atau makna menurut bahasa
2. Makna ushuli atau makna menurut syar‟i
3. Makna fiqh atau makna menurut ahli fiqh
Ad. 1 : Makna lughowi (makna menurut bahasa)
Menurut bahasa nikah adalah:
‫ْمط‬
‫طاالططكطاالض‬‫كى ىل‬
‫ي‬
Artinya: bersenggama atau bercampur
Selanjutnya dikatakan:
‫تناكحتطاالشجادطاذاطمتابلتطكاطنلضطبسهاطاالىطبسض‬
Artinya: terjadiya perkawinan antara kayu-
kayu apabila kayu-kayu itu saling condong
dan bercampur satu dengan yang lain.
Dalam pengertian majaz orang menyebut
nikah sebagai akad sebab akad adalah sebab
bolehnya bersenggama.
Ad. 2 : Makna ushuli (menurut syar‟i)
Para ulama berbeda pendapat tentang makna
ushuli dan makna Syar‟i ini.
- Pendapat pertama menyatakan bahwa nikah
arti hakikatnya adalah watha‟ (bersenggama).
Dalam pengertian majaz nikah adalah akad.
Bila kita menemui kalimat nikah dalam al-

1
qur‟an atau hadist itu berarti watha‟ atau
bersenggama (apabila tidak ditunjukkan lain).
Pengertian ini dapat dijumpai dalam al-qur‟an
surat an-nisa‟ ayat 22:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬


Al-qur‟an surat al-baqarah ayat 230
-
‫ط‬‫ط‬‫ط‬
sabda Rasulullah Saw
‫حىتطتزكقىطعسيلتو‬
Pendapat kedua mengatakan bahwa hakikat
dari nikah adalah akad, sedangkan arti
majaznya adalah watha‟. Pengertian ini adalah
- kebalikan dari pengertian menurut makna
lughawi (menurut bahasa).
Pengertian pendapat kedua ini dapat dijumpai
dalam al-qur‟an surat al-baqarah ayat 230

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Pendapat ketiga mengatakan bahwa makna
hakikat dari nikah adalah musytarak atau
gabungan dari pengertian akad dan watha‟.
Sebab untuk pemakaian syara‟, nikah kadang-
kadang digunakan untuk makna akad,
kadang-kadang untuk makna watha‟.
Ad. 3 : Makna fiqih (menurut para ahli)
Para ulama ahli fiqih juga berbeda pendapat
tentang makna nikah ini. Secara keseluruhan
2
dapat disimpulkan bahwa nikah menurut ahli
fiqih berarti: akad nikah yang ditetapkan oleh
syara‟ bahwa seorang suami dapat
memanfaatkan dan bersenang-senang dengan
kehormatan seorang isteri dan seluruh
tubuhnya.
Berdasarkan pendapat para imam mazhab
pengertian nikah adalah sebagai berikut:
- Golongan hanafiah mendefenisikan nikah
sebagai:
‫اانكاحطباطنوطعقدطيفيدطملكطادلتصةطقصد‬
Artinya, nikah itu adalah akad yang
memiliki, bersenag-senang dengan sengaja.
- Golongan asy syafi‟iah mendefinisikan
nikah sebagai
‫اانكاحطباطنوطعقدطيتلمنطملكطكططبلفظطانكاحطكطتزكيجطاكطمصناطمها‬
Artinya: nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan
watha‟ dengan lafadz nikah atau tazwij
atau yang semakna dengan keduanya.
- Golongan malikiyah mendefinisiskan
nikah sebagai:

‫اانكاطبانوطعقدطعلىطرلردطمتعةطااتلذطبادطميةطغريطملجبطقيمتهاطببينةاخل‬
Artinya; nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan-ketentuan hukum
semata-mata untuk memperbolehkan
watha‟, bersenang-senang dan menikmati
apa yang ada pada diri seorang wanita
yang boleh nikah dengannya
3
- Golongan hanabilah mendefenisikan nikah
sebagai:
‫ىلطعقدطبلفظطانكاطحطاكطتزكيجطعلىطمنفعةطاالطستمتاع‬
Artinya: nikah adalah akad dengan
mempergunakan lafaz nikah atau tazwij
guna membolehkan manfaat, bersenang-
senang dengan wanita. (Al Jaziri, 1969: 1-3)

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa para


ulama zaman dahulu memandang nikah hanya dari satu segi
saja, yaitu: kebolehan hukum antara seorang laki-laki dengan
seorang wanita untuk berhubungan yang semula dilarang.
Mereka tidak memperhatikan tujuan, akibat atau pengaruh
nikah tersebut terhadap hak dan kewajiban suami isteri yang
timbul.
Para ulama mutaakhirin dalam mendefinisiskan nikah telah
memasukkan unsur hak dan kewajiban suami isteri kedalam
pengertian nikah. Mahmud Abu Ishrah mendefinisikan nikah
sebagai:
‫عقديفيدطحلطااعشرةطبنيطاارجلطكادلرأةطكطهنعاطجبدطماطاكليهماطمنطحقلؽطكطماطعليوطكاطجبات‬
Artinya
“Nikah adalah akad yang memberiikan faedah hukum kebolehan
mengadakan keluarga (suami-isteri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong menolong serta memberii batas hak bagi
pemiliknya dan pemenuhan kewajiban masing-masing”
Dari pengertia ini berarti perkawinan mengandung aspek
akibat hukum yaitu: saling mendapat hak dan kewajiban serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong
menolong. Oleh karena perkawinan termasuk dalam

4
pelaksanaan syariat agama, maka di dalamnya terkadnung
tujuan dan maksud. Maksud dan tujuan itu adalah
mengharapkan keredhaan Allah SWT (Departemen agama,
1984/1985; h. 548-49).
Undang-undang perkawinan no 1 tahun 1974 memberiikan
definisi tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang
maha esa. (pasal 1).
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 2 ayat
1).
Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 ini, dijelaskan
bahwa sebagai negara yang berdasrkan pancasila dimana sila
pertama ketuhanan yang maha esa maka perkawinan
mempunyai hubungan yang serta sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/ jasmani tetapi unsur bathin/rohani
juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga
yang bahagia, terdapat hubungan dengan keturunan juga
merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan dan pendidikan
menjadi hak kewajiban orang tua. (Arso, 1975: h. 103)
B. Sikap Agama Islam Terhadap Perkawinan
Perkawinan menurut Islam adalah pernikahan, yaitu ikatan
atau akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghaliizan. Di samping
itu perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perintah Allah
dan melaksanakannya adalah (ibadah). Ikatan perkawinan
sebagai mitsaqan ghaliizan dan mentaati perintah Allah dengan
tujuan untuk membina dan memmbentuk terwujudnya
5
hubungan ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan syari‟at
agama Allah. Firman Allah SWT:

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu


perjanjian yang kuat.” (an-nisa‟ : 21)

Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬
Artinya
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. (Ar-ruum:21)

Di dalam Al-Quran Allah mengatakan bahwa perkawinan itu


adalah salah satu sunnatullah, hidup berpasang-pasangan,
hidup berjodoh-jodohan adalah naluri segala makhluk termasuk
manusia. Oleh karena itu semua makhluk Tuhan baik hewan,
tumbuh-tumbuhan dan manusia dalam kehidupannya ada
perkawinan.
Firman Allah SWT:

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

6
Artinya
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah”. (Az-Zariyat: 49)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬
Artinya
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Yaasin: 36)
Allah telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat
berketurunan dan dapat melestarikan kehidupannya.

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-
Hujarat: 13)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬

7
Artinya
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An-
Nisa‟: 1)

Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk


lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya, dan
berhubungan antara jantan dan betinanya secara anarkhi dan
tidak ada satu aturan. Demi menjaga martabat kemuliaan
manusia Allah memberii hukum sesuai dengan martabat
manusia itu. Di dalam alquran Allah menjelaskan bahwa nikah
dan berkeluarga itu termasuk sunnah rasul sejak dahulu sampai
nabi terahir Muhammad Saw
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum
kamu dan Kami memberiikan kepada mereka isteri-isteri dan
keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan
sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap
masa ada kitab (yang tertentu)” (Ar-Ra‟du: 38).
Sabda Rasulullah Saw
ٍُ‫اح ِغ‬ٚ‫ – س‬ِٕٝ ‫ظ‬١ٍ‫ ف‬ٝ‫ فّٓ س خت ػٓ عٕز‬ٝ‫إٌىبح عٕز‬
Artinya
“Nikah itu adalah sunnahku, barang siapa yang benci kepada
sunnahku bukanlah termasuk umatku”(HR. Muslim).
8
Sebagian orang ada yang ragu-ragu untuk kawin karena
sangat takut memikul beban berat dan menghindarkan diri dari
kesulitan-kesulitan. Hal seperti ini adalah salah dan akan
memberiikan kepada yang bersangkutan jalan kecukupan,
menghilangkan kesulitan-kesulitan, dan memberiikan
kekuasaan yang mampu mengatasi kemiskinan.
Firman Allah SWT :

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan
Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui” (An-
Nuur: 32).

Sabda Rasulullah Saw


:ُٙٔ ٛ‫ً هللا ػ‬١‫ عج‬ٝ‫ اٌّجب٘ذف‬:ُٙٔ ٛ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا صٍخ س دك ػ‬ٛ‫شح لبي سع‬٠‫ ٘ش‬ٝ‫ػٓ ا ث‬
ٜ‫اح اٌزشِز‬ٚ‫ س‬-‫ذ اٌؼفبف‬٠‫ش‬٠ ٜ‫ اٌّىب رت اٌز‬ٚ .‫ً هللا‬١‫ عج‬ٝ‫اٌّجب ٘ذ ف‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah r.a bersabda Rasulullah SAW tiga golongan
yang berhak ditolong oleh Allah yaitu: pejuang dijalan Allah, mukadib
budak yang membeli dirinya dari tuan yang maumelunasi
pembayarannya dan orang kawin karena mau menjauhkan dirinya
dari yang haram”(HR Muslim).

C. Hukum Nikah
Para mujtahid, imam mazhab berbeda pendapat tentang
hukum asal melakukan perkawinan.

9
- Golongan Asy Syafii mengatakan:
ٚ‫ٗ اٌؼفٗ ا‬١‫ى‬ٛ‫اال عزؼزب ع فبرأغ‬ٚ ‫ج ثمصذ اٌزز ر‬ٚ‫زض‬١ٔ ‫جبح ٌٍشص ا‬١‫ إٌىبح ف‬ٝ‫االف‬
‫ٌذ فبٔٗ ِغزذت‬ٚ ٍٝ‫ي ػ‬ٛ‫اٌذص‬
Artinya:
hukum asal nikah adalah mubah (boleh), maka seseorang
boleh menikah dengan maksud bersenang-senang saja,
apabila dia berniat untuk menghindari diri berbuat yang
haram atau memperoleh keturunan maka hukum nikah
menjadi sunnat (Al-Jaziri, 1969, h.23).
Pendapat mazhab syafii ini banyak dianut oleh ulama-ulama
di Indonesia.
- Menurut golongan Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabiyah
hukum melangsungkan perkawinan itu adalah sunnat.
Ulama Zahiriyah menetapkan bahwa hukum
melangsungkan perkawinan itu adalah wajib bagi orang
muslim sekali dalam seumur hidupnya.
Terlepas dari pendapat para mujtahid dan imam mazhab di
atas, maka berdasarkan nash-nash Al-Quran dan Hadits
Rasulullah, Islam sangat menganjurkan agar kaum muslimin
yang mampu, supaya melangsungkan perkawinan. Dalam pada
itu hukum melakukan perkawinan ini bisa berbeda sesuai
dengan kondisi orang yang akan melakukan perkawinan tersebut
dan tujuan melakukannya. Hukum melakukan perkawinan
tersebut bisa wajib, sunat, haram, mubah atau makruh.
Bagi yang sudah mampu kawin dan nafsunya sudah
mendesak dan takut terjerumus ke dalam perzinahan maka
hukumnya wajib. Orang tersebut wajib kawin sebab
menjauhakan diri dari yang haram itu hukumnya wajib, orang
terseut tidak dapat melakukannya dengan baik kecuali dengan
jalan kawin.
‫خ‬١ٙ‫لب ػذح اٌفم‬-‫عب ئً دىُ اٌّمبصذ‬ٌٍٛ
10
Artinya
Sarana itu hukumnya sama dengan hukum yang di tuju
(kaedah fiqihah)
Hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut
merupakan hukum sarana, sama dengan hukum pokok yakni,
menjaga diri dari perbuatan maksiat. Orang yang telah
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melakukan
perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan untuk
berbuat zina maka hukum melakukan perkawinan bagi orang
tersebut adalah sunnat. Hal ini sesuai denga surat an-nur ayat 32
dan hadits-hadits Rasulullah Saw.
Bagi orang yang mempunyai keinginan dan tidak
mempunyai kemampuan dan tanggung jawab dalam rumah
tangga, sehingga akan menelantarkan dirinya serta isterinya
maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah
haram.
Al-Qurtubi berkata: bila seorang laki-laki sadar bahwa tidak
mampu memberii belanja isterinya, atau tidak mampu membayar
maharnya atau tidak mampu memenuhi hak-hak isterinya maka
tidaklah boleh ia kawin sebelum dia dengan terus terang
mejelaskan keadaannya itu kepada calon isterinya agar tidak
tertipu. (sayyid saviq, 1971, h. 14)
Bagi orang lemah syahwat dan tidak mampu memberiikan
belanja kepada isterinya maka hukum kawin baginya adalah
makruh. Bagi seorang laki-laki yang tidak terdesak oleh alasan-
alasan yang mewajibkan atau yang terdesak oleh alasan-alasan
yang mewajibkan atau mengharamkan dia untuk kawin maka
hukum baginya adalah mubah atau boleh saja.

11
D. Hikmah Nikah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas tentang sikap agama
Islam terhadap perkawinan maka jelaslah bahwa Islam
menganjurkan dan memberiikan kabar gembira kepada orang
yang mau menikah. Dengan perkawinan orang tersebut
diharapkan menjadi baik prilakunya, masyakat pun menjadi
baik bahkan seluruh umat manusia menjadi baik. Banyak sekali
hikmah yang terkandung dalam pernikahan baik ditinjau dari
segi sosiologi, psikologi maupun kesehatan.
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul, hikmah
nikah antara lain:
1. Sesungguhnya naluri sex adalah naluri yang paling keras
dan selamanya menuntut jalan ke luar. Apabila jalan
keluarnya tidak memuaskan maka banyaklah manusia yang
mengalami kegoncangan dan kekacauan. menikah adalah
jalan yang paling alami dan paling sesuai untuk
menyalurkan naluri sex ini. Dengan perkawinan insya Allah
akan tersbut menjadi sehat, segar, dan jiwanya menjadi
tenang, matanya menjadi terpeihara dari melihat yang
haram, perasaannya menjadi tenang dan dia dapat
menikmati barang yang halal, sesuai dengan friman Allah
SWT dalam surat ar-ruum ayat 21.
Sabda Rasulullah SAW
‫سح‬ٛ‫ ص‬ٝ‫ رذثش ف‬ٚ ٓ‫ط‬١‫ صشسح ش‬ٝ‫ً ف‬١‫ي هللا صٍغ اْ اٌّشاح رم‬ٛ‫ ٘شثشح لبسع‬ٝ‫ػٓ ا ث‬
‫اح‬ٚ‫ س‬-ٗ‫ ٔفغ‬ٝ‫شدِب ف‬٠ ‫أد اً٘ ح فبْ رٌه‬٠‫ؼججٗ فب‬٠‫ ادذ وُ ِٓ اِشح ِب‬ٝ‫طبٔفبرا سائ‬١‫ش‬
ٜ‫اٌزشِز‬ٚ‫دا‬ٛ‫اث‬ٚ ٍُ‫ِغ‬
“ Dari Abu Hurairah, sesungguhnya perempuan itu
menghadap dengan rupa setan, membelakang juga dengan
rupa setan, apabila seorang diantara kamu tertarik kepada
seorang perempuan hendaklah dia mendatangi isterinya
agar nafsunya dapat tersalurkan”. (HR Muslim, Abu Daud,
dan Al Turmudzi).

12
2. Kawin adalah jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan
menjadi mulia, keturunan menjadi banyak dan sekaligus
melestarikan hidup manusia serta memelihara
keturunannya.
Hal-hal seperti ini oleh Islam sangat diperhatikan. Sabda
Rasulullah Saw.
‫َ اٌمجبِخ‬ٛ٠ ‫بء‬١‫ ِىب ششثىُ اال ٔج‬ٝٔ‫د فب‬ٌٌٛٛ‫د ا‬ٚ‫ا اٌشد‬ٛ‫ج‬ٚ‫رض‬
“Kawinlah dengan perempuan yang pencinta lagi bisa
banyak anak, agar nanti aku akan membengkokkan
jumlahmu yang banyak itu di hadapan para nabi dihari
kiamat nanti”
Orang yang telah mendapatkan keturunan berarti dia telah
mendapatkan buah hati sibiran tulang bagi orang tuanya.
Anak-anak inilah yang menyenangkan hati orang tuanya dan
menambah semarak dan bahagia dalam rumah tangganya.
3. Orang yang telah kawin dan memperoleh anak maka naluri
kebapakan, naluri keibuannya akan tumbuh saling lengkap
melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan yang
menimbulkan perasaan perasaan saling cinta mencintai dan
saling sayang menyayangi antara satu dengan yang lainnya.
4. Orang yang sudah kawin dan telah memperoleh anak-anak
mendorong yang bersangkutan melaksanakan tanggung
jawab dan kewajibannya dengan baik, sehingga ia akan
bekerja keras untuk melaksanakan kewajibannya itu.
5. Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami
isteri secara berimbang, menimbulkan adanya pembagian
tugas antara suami dengan isteri. Isteri mengatur dan
mengurus rumah tangga, memelihara dan mendidik anak-
anak, menciptakan suasana yang sehat dan serasi bagi
suaminya untuk beristirahat melepas lelah dari bekerja keras
mencari nafkah.Suasana sang suami demikian ini merupakan
kebahagiaan tersendiri bagi sang suami sebab sebagaimana
sabda Rasulullah:
ِٝ‫ َجَٕز‬ِٝ‫ز‬١ْ َ‫ث‬
Artinya: Rumah tanggaku adalah surga bagiku.
13
6. Melalui perkawinan akan timbul rasa persaudaraan dan
kekeluargaan serta meperteguh rasa saling cinta mencintai
antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lainnya.
Hal ini juga berarti memperkuat hubungan kemasyarakatan
yang baik dalam rangka menuju masyarakat Islam yang
diridhoi Allah SWT.

14
BAB II
PINANGAN DAN PERMASALAHANNYA

A. Pengertian
Perkawinan dalam Islam dilaksanakan atas dasar suka sama
suka dan atas dasar kerelaan, bukan paksaan. Prinsip
perkawinan dalam Islam adalah untuk selama hidup, bukan
untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut Islam
mengatur adanya khitbah/pinangan meminang sebelum
pelaksanaan pernikaha. Pada masa itu kedua belah pihak dapat
saling kenal mengenal atau menjajaki. Diharapkan keputusan
yang diambil setelah peminangan itu adalah keputusan yang
tepat. Sayyid Sabiq dalam bukunya fiqhus sunnah memberiikan
defenisi meminang sebagai berikut:
‫ٓ إٌبط‬١‫ِخ ث‬ٚ‫ عٍخ اٌّؼش‬ٌٛ‫اج ثب‬ٚ‫ب اٌض‬ٙ‫طٍج‬
Meminang artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang
perempuan untuk menjadi isterinya dengan cara-cara yang
sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat. (Sayyid
Sabiq, 1971, h. 20)
Permintaan dalam ilmu fiqh disebut khitbah, artinya:
permintaan, menurut istilah artinya: pernyataan, atau
permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita untuk
mengawininya baik dilakukan oleh laki-laki itu sendiri secara
langsung atau dengan perantara pihak lain yang dipercayainya
sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. (Kamal Muchtar,
1974, h. 33)
B. Wanita yang boleh dipinang
Ada dua syarat wanita yang boleh dipinang:
1. Pada waktu tidak ada halangan-halangan hukum yang
melarang dilangsungkannya perkawinan.

15
2. Belum dipinang oleh orang lain secara sah.
Bila terdapat halangan-halangan hokum, seperti;
wanita tersebut adalah yang haram dinikahi oleh laki-
laki yang meminang, atau wanita tersebut sedang
dipinang oleh orang lain, maka wanita tersebut tidak
boleh dipinang.
Sabda Rasulullah Saw
‫خظت ػً خظجخ‬٠ ‫ ال‬ٚ ٗ١‫غ ا خ‬١‫ ث‬ٍٝ‫جزبع ػ‬٠ ْ‫ذً ٌٗ ا‬٠ ‫ اٌّؤ ِٓ فال‬ٛ‫ ِٓ اخ‬ٌّٛ‫ا‬
ٍُ‫ ِغ‬ٚ ‫اح ادّذ‬ٚ‫ضس – س‬٠ ٝ‫ٗ دز‬١‫اخ‬
Artinya: orang mukmin adalah bersaudara, tidak boleh
menawar barang yang sedang ditawar oleh saudaranya
dan tidak boleh melamar wanita yang sedang dilamar
oleh saudaranya sampai saudaranya itu membatalkan
tawaran atau pinangannya (HR Ahmad Muslim).
C. Peminangan
Dalam Islam keadaan wanita yang sebaiknya untuk dipinang
adalah sebagai berikut:
1. Wanita yang dipinang itu telah diteliti tentang keluarganya,
akhlak dan agamanya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw
‫ب‬ٌٙ ‫سثغ ٌّب‬٢ ‫عٍُ رٕىخ اٌّشأح‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ٝ‫ اهللا ػٕٗ ػٓ إٌج‬ٝ‫شح سض‬٠ ‫ ٘ش‬ٝ‫ػٓ أث‬
ٞ‫ٖ اٌجّب ػٗ اال اٌزشِز‬ٚ‫ س‬. ‫ذان‬٠ ‫ٓ رشثذ‬٠‫ب فبظفش ثزاد اٌذ‬ٕٙ٠‫ٌذ‬ٚ ‫ب‬ٍّٙ‫ٌج‬ٚ ‫ب‬ٙ‫ٌذغج‬ٚ

Dari Abu Hurairah r.a. dan Nabi Saw. Beliau bersabda:


wanita itu dinikahi karena 4 faktor hartanya, karena
Kebangsawanannya, karena kecantikannya, dan karena
agamanya. Maka pilihlah yang beragama, mudah-mudahan
engkau akan berhasil baik (HR Jamaah ahli hadits kecuali At
Turmudzi).

16
2. Wanita yang akan dipinang itu adalah wanita yang
mempunyai keturunan dan mempunyai sifat kasih sayang.
Sabda Rasulullah Saw
ٕٝٙ٠ٚ ‫أِشثبٌجأح‬٠ . ٍُ‫ع‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ٝ‫ي هللا إٌج‬ٛ‫ اهللا ػٕٗ لبي وبْ سع‬ٝ‫ػٓ أٔظ سض‬
.‫بِخ‬١‫َ اٌم‬ٛ٠ ‫بء‬١‫ ِىب صش ثىُ األٔج‬ٝٔ‫د فبء‬ٌٌٛٛ‫داا‬ٚ‫د‬ٌٛ‫اا‬ٛ‫ج‬ٚ‫ي رض‬ٛ‫م‬٠ٚ ‫ذا‬٠‫ب شذ‬١ٙٔ ً‫ػٓ اٌزجز‬
‫ٖ ادّذ‬ٚ‫س‬
Dari Anas r.a., beliau berkata: Rasulullah menyuruh orang
yang sanggup supaya kawin, dan melarang dengan hidup
membujang selamanya. Selanjutnya beliau bersabda:
kawinilah wanita yang mempunyai sifat kasih sayang dan
mempunyai keturunan, sesungguhnya aku akan bangga
pada hari kiamat nanti melihat jumlah yang banyak
dibandingkan dengan jumlah umat nabi-nabi yang lain. (HR
Ahmad).
3. Wanita yang dipinang itu mempunyai hubungan darah yang
jauh dari laki-laki yang meminang. Hal ini sesuai dengan
jiwa yang terkandung dalam Surat An-Nisa 22 dan 23.
Saidina Umar Ibn Khatab menyatakan kepada Bani Sa‟ab:
‫ا اٌفشائت‬ٛ‫لذِؼفزُ فب ٔىذ‬
Sesungguhnya kamu adalah lemah-lemah, oleh karena itu
nikahla kamu dengan orang-orang asing.
Saidina Umar berpendapat bahwa perkawinan dilingkungan
keluarga dekat menurunkan keturunan yang lemah jasmani
maupun rohani.
D. Wanita yang tidak boleh dipinang
Wanita yang tidka boleh dipinang adalah:
1. Wanita yang sedang dalam iddah, baik iddah karena
kematian maupun iddah karena cerai. Iddah karena
cerai, ada yang iddah raj‟i dan ada yang ba‟in. Wanita
yang dalam iddah raj‟i haram dipinang secara sindiran
maupun secara terang-terangan sebab yang
17
bersangkutan masih dalam status isteri dari suaminya.
Adapun wanita yang dalam iddah ba‟in boleh dipinang
secra sindiran. Wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya haram dipinang secara terang-terangan selama
iddah tetapi boleh dipinang dengan sindiran. Firman
Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan
janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang
ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati)
untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada
dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyantun”. (Al-Baqarah 235)

18
2. Wanita yang sedang dipinang oleh orang lain
Alasannya hadits riwayat Ahmad dan Muslim seperti
yang telah disebutkan di atas.
E. Melihat wanita yang dipinang
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa prinsip perkawinan
dalam Islam didasarkan atas kerelaan masing-masing pihak, dan
perkawinan itu berlangsung sampai akhir hayat masing-masing.
Demi baiknya kehidupan suami isteri untuk memperoleh
kesejahteraan dan ketenteraman. Islam menganjurkan agar laki-
laki terlebih dahulu melihat wanita yang akan dipinangnya. Di
dalam hadits, yang disuruh adalah melihat jasmani yang
diwakili oleh muka dan telapak tangannya. Sesungguhnya Islam
juga menganjurkan agar kita melihat sifat-sifat rohaninya.
pakah ia berakhlak baik atau tidak. Hal ini penting supaya
tidak timbul penyesalan dikemudian hari.
Sabda Rasulullah Saw
‫ب‬ٙ١ٌ‫ عٍُ أٔطشد ا‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٜ‫ صب‬ٝ‫ب فمبي إٌج‬ٙ‫ج‬ٚ‫ىبْ اٌغفشح ثٓ شؼجخ خظت ا ِشأح ٌغزض‬ٚ‫ثش‬
ٓ‫اث‬ٚ ٜ‫ اٌزشِز‬ٚ ٝ‫اٖ إٌغب ئ‬ٚ‫ س‬-ُ‫ٕى‬١‫ؤدَ ث‬٠ ْ‫ ا‬ٜ‫ب فبٔٗ ادش‬ٙ‫ٗ اٌغال َ أطش اٌج‬١ٍ‫لبي ال فمبي ػ‬
ٗ‫ِبج‬
“Diriwayatkn dari Mughirah ibn Syu‟bah bahwa ia pernah
meminang seorang wanita, lalu Rasulullah berkata kepadanya
apakah kamu telah melihat wanita itu? Jawab al Mughirah;
belum. Sabda Rasulullah; lihatlah dia terlebih dahulu agar
nantinya kamu bisa hidup bersama lebih langgeng”. (HR Na‟I,
Turmudzi dan Ibnu Majah ).
Sabda Rasulullah Saw
ْْ َ‫ت أَ َد ُذ ُو ُُ ْاٌ َّشْ أَحَ فَئ ِ ِْ ا ْعزَطَـب َع أ‬
َ َ‫عٍُ لبي إِ َرا َخط‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ي هللا ص‬ٛ‫ جب ثش ا ٔش ع‬ٜٚ‫س‬
. ًْ‫َ ْف َؼ‬١ٍْ َ‫َب ف‬ٙ‫ ِٔ َىب ِد‬ٌَِٝ‫ْ ُٖ إ‬ٛ‫َ ْذ ُػ‬٠ ‫ َِب‬ٌَِٝ‫َ ْٕظُ َش إ‬٠
Sahabat Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda: jika
seorang dari kamu mau meminang seorang perempuan, kalau

19
bisa lihat terlebih dahulu apa yang menjadi daya tarik untuk
mengawininya maka lakukanlah”. (HR Abu Daud).
Abu Hurairah pernah berkata bahwa seorang sahabat meminang
seorang anshar, maka Rasulullah berkata kepadanya:
‫ئًب‬١ْ ‫بس َش‬
ِ ‫ص‬َ ْٔ َ‫ ِْ األ‬ُٛ١‫ ُػ‬ِٝ‫َب فَئ ِ َّْ ف‬ٙ١ْ ٌَِ‫عٍُ ًَْ٘ َٔظَشْ دَ إ‬ٚ ٗ١ٍ‫ هللا ػ‬ٍٝ‫ ص‬ُّٝ ِ‫فَمَب َي ٌَُٗ إٌَّج‬.‫بس‬
ِ ‫ص‬َ ْٔ َ‫األ‬
“Sudahkah kamu melihatnya? Sahabat tadi menjawab: belum.
Rasulullah bersabda; pergilah dan lihatlah dia karena sering
pada mata orang anshar ada cacatnya”.
Dari dalil-dalil tersebut di atas jelas, bukan hanya boleh
melihat wanita yang akan dipinang tetapi malah
dianjurkan/disunahkan agar prinsip perkawinan yang kekal
dan bahagia dapat dicapai.
F. Tempat-tempat yang boleh dilihat.
Al Imam Taqiuddin dalam bukunya kifayatul akhyar juz 2
halaman 26-30 menjelaskan bahwa ada 7 macam ketentuan
hukum laki-laki melihat perempuan:
1. Laki-laki melihat perempuan tanpa ada keperluan maka
hukumnya tidak boleh (lihat An-Nur:30)
2. Laki-laki melihat isterinya atau ibunya hukumnya boleh
kecuali kemaluannya (hadits)
‫اانظرطاىلطاافرطيلرثطااطمس‬
3. Laki-laki melihat muhrimnya atau budaknya, hukumnya
boleh kecuali antara lutut dn pusat (lihat An-Nur:31)
4. Laki-laki melihat wanita yang akan dipinangnya, hukumnya
boleh terbatas pada muka dan telapak tangannya. (hadits)
‫ااظرطفاطنوطاحرلطافطيلدـطبينكض‬
5. Laki-laki melihat wanita untuk keperluan pengobatan
hukumnya boleh melihat tempat-tempat mana saja yang
diperlukan (hadits)

20
‫امسالمةطاستأطذنرتسللؿطاهللطملىطاهللطعليوطكطرسلضطَبطاجلماعةطفامرطاانىبطصلعطاباططببةط‬
‫طركاهطمسلض‬-‫افطحيجمها‬
6. Laki-laki melihat wanita untuk keperluan saksi dan
transaksi, hukumnya boleh terbatas pada muka saja
(pendapat ulama)
7. Laki-laki melihat budaknya yang akan dibelinya hukumnya
boleh melihat tempat-tempat yang sangt diperlukan.
(pendapat ulama)
Tentang tempat-tempat yang boleh dilihat, terdapat
perbedaan pendapat diantara para ulama seperti yang
diuraikan oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah (Sayyid
Sabiq, 1971: h.24)
Jumhur ulama berpendapat bagian badan yang boleh dilihat
adalah bagian muka dan telapak tangan. Alasan mereka,
dengan melihat muka dapat diketahui cantik atau jeleknya, dan
dengan melihat telapak tangan dapat diketahui badannya subur
atau tidak.
Imam Daud berpendapat boleh melihat seluruh badan
wanita tersebut. Imam Al Auza‟i berpendapat boleh melihat
tempat-tempat berdaging saja.
Perbedaan pendapat ini timbul oleh karena hadits-hadits
tentang melihat pinangan tidak menentukan tempat-tempat
yang boleh dilihat, tetapi menjelaskan secara umum boleh
melihat tempat-tempat yang diinginkan yang menimbulkan
daya tarik untuk mengawininya.
G. Pembatalan pinangan dan akibat hukumnya
1. Pembatalan pinangan.
Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum
akad nikah dilangsungkan. Seringkali sesudah diikuti
dengan memberiikan pembayaran maskawin seluruh atau
sebagiannya dan memberiikan macam-macam hadiah serta
21
pemberian lainnya guna memperkokoh pertalian dan
hubungan yang masih baru itu (Sayyid Sabiq, 1971: h. 26)
Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan
perjanjian hendak melakukan akad nikah, bukan berarti
sudah menjadi akad nikah. Pembatalan terhadap perjanjian
itu, Islam tidak menjatuhkan hukuman material tetapi
memandang perbuatan itu sebagai perbuatan tercela, karena
termasuk ke dalam sifat orang munafik.
Sabda Rasulullah Saw
‫قلطرسلطاهللطملسعطاطيةطادلناطفقطثالطثاذاطحدطثطكذبلطاذاطكطعدطادطخلقطكاطذاطاؤمتنط‬
‫طركاهطمسلضطكطاانرمذلطكاطاانساتى‬-‫متنطخطف‬
“Ada 3 sifat orang munafik; apabila ia berbicara ia dusta,
apabila ia berjanji ia mungkir, dan apabila dia dipercayai dia
khianat”. (HR Muslim, At Turmudzi dan Nasa‟i).
2. Uang atau barang antaran.
Uang atau barang antaran adalah uang atau barang yang
berkaitan dengan penyelenggaraan perkawinan. Bila
pembatalan dari pihak laki-laki maka barang atau uang
antaran tidak dapat diminta kembali, tetapi bila pembatalan
dari pihak wanita, maka uang atau barang antaran dapat
diminta kembali baik utuh maupun sudah rusak, demikian
menurut mazhab maliki.
Menurut mazhab Syafi‟i uang atau barang antaran dapat
dimintai kembali, baik yang mungkir itu pihak laki-laki atau
pihak perempuan (sayyid sabiq, 1971: h.28) Pendapat imam
Syafi‟i ini sesuai dengan hadits Rasulullah Saw
‫ط‬-‫طعنطسلضطغنطابيوطقاؿطرسلؿطاهللطصلعطمنطكىبطىبةطفهلاطحقطهباطماملطيثبطمنها‬
‫احلدطيث‬

22
“Dari Salim bapaknya, Rasulullah telah bersabda: barang
siapa memberiikan hibah, maka dia masih tetap berhak
terhadap barangnya, selama ia belum mendapatkan
imbalannya”. (Al Hadits)
Pengadilan Agama mesir tahun 1933 pernah
memutusakan bahwa segala yang diberikan oleh peminang
kepada pinangannya, diluar barang-barang yang
dimaksudkan untuk akad nikah dianggap sebagai hadiah.
(Sayyid Sabiq, 1971: h.28)
3. Uang atau barang pemberian/hadiah
Adapun uang atau barang pemberian yang tidak
dikaitkan dengan penyelenggaraan perkawinan tidak
dapat/berhak dimintai kembali.
Sabda Rasulullah:
‫عنطابنطعباسطرخىطقاؿطرسلؿطاهللطصلعطالطحيلطارطجلطافطيسطلىطعطيةطاكطيهبط‬
‫طركاهطابلطدابنطماطجوطكاطارتطمذىلاانسطئى‬-‫ىبةطفريطجعطفيهاطاالاالاادطفيماطيعطىلطاد‬
“Dari Ibnu Abbas, Rasulullah telah bersabda: tidak halal
seseorang yang telah memberiikan sesuatu atau
menghibahkan sesuatu kali meminta kembali barangnya,
kecuali pemberian ayah terhadap anaknya”. (HR Abu Daud,
Ibn Majah, Turmudzi dan An Nasa‟i).
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطابنطعباسطرطضطقاؿطرسلؿطاهللطصلعطااعاطئدطَبطىبتوطكاطاعاطئدطَبطقبئوط–طركاهطازلاباطااسغن‬
“Dari Ibn Abbas, Rasulullah telah bersabda: orang yang
menarik kembali barang yang diberikannya adalah seperti
orang yang menarik kembali sesuatu yang telah
dimuntahkannya. (HR Azhabus Sunan)

23
BAB III
AKAD NIKAH DAN PERMASALAHANNYA

Setiap yang terpokok dalam perkawinan adalah persetujuan


dan ridha kedua belah pihak maka harus diikat dalam suatu
ikatan yang dinamakan “akad”. Persetujuan dan redha itu ada di
dalam hati dan karenanya tidak dapat diketahui secara pasti
selain oleh yang berangkutan. Untuk penegasan adanya
persetujuan dan ridha dilambangkan dalam suatu bentuk akad
nikah.
A. Syarat sah sighat ijab Kabul
Sayyid Bakhri dalam kitab I‟anantutthaliin menetapkan ada
lima rukun nikah yaitu: calon mempelai wanita, calon mempelai
pria, wali nikah, dua orang saksi, dan sighat ijab Kabul (Sayyid
Bakri, juz III, h. 274).
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita atau
wakilnya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai pria atau
wakilnya. Sighat ijab Kabul harus berdasarkan kalimat: ‫االنكاح‬
atau‫ااتزكيسج ط‬ atau arti dari kedua kalimat itu, yaitu nikah atau
kawin. Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“….. Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat….” (An-Nisa‟: 4)

Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

24
Artinya
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia”. (Al Ahzab:37)

Sabda Rasulullah Saw


‫اتقلاطاهللطَبطااغساءطفاطنكضطاخذطمتلطىنطكاستحللتضطفركجهنطبكلمةطاهلل–طركاهطمسلض‬
Artinya
“Takutlah kamu sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang
perempuan, sesungguhnya kamu sekalian mengambil mereka dan
membuat halal kemaluan-kemaluan mereka dengan kalimat Allah. (HR
Muslim).
Dengan demikian lafaz ijab kabul, oleh wali/ayah terhadap
calon mempelai pria adalah:
‫ دبال‬... ‫ش‬ّٙ‫ ث‬... ٟ‫جزه ثجز‬ٚ‫ ص‬ٚ‫أىذزه أ‬
Artinya
“Aku nikahkan engkau, atau aku kawinkan engkau dengan anakku …
(nama) dengan maskawinnya …. Tunai (ijab)
‫ دب ال‬... ‫ش‬ّٙ‫ب ث‬ٙ‫لجٍذ ٔىب د‬
Artinya
“Aku terima nikahnya dengan maskawin … tunai (Kabul).
Mengenai lafaz ijab kabul ini harus dengan lafaz nikah atau
tazwiz atau artinya. Bagi yang bisa dan mengerti bahasa arab,
tetapi bagi yang tidak bisa dengan artinya. Demikian pendapat
Imam Syafi‟i, Ahmad, Said Bin Massyyab Dan Atha‟.
Ibnu Taimiyah megatakan akad nikah ijab kabulnya boleh
dilakukan dengan bahasa, kata-kata atau perbuatan apa saja
yang oleh masyarakat umumnya sudah dianggap menyatakan
terjadinya nikah. Sama dengan hukum semua akad atau
transaksi. Sehubungan dengan masalah akad ini para ahli fiqh
pun berpendapat bahwa di dalam Kabul digunakan kata-kata
dan bahasa apa saja, tidak terikat kepada suatu bahasa, asal
dapat dimengerti dan dia telah menyatakan ridha dan setuju.
25
Umpamanya; saya terima, saya setuju, saya laksanakan dan
sebagainya. Adapun mengenai ijab harus dengan kata-kata dan
atau tazwiz.
Dalam pada itu mereka berbeda pendapat kalau memakai
kata-kata selain dari pada kata-kata nikah dan tazwiz tadi.
Umpamanya saya serahkan, saya milikkan, saya sedekahnkan,
dsb. Golongan Hanafi, At Sauri, Abu Ubaid dan Abu Daud
membolehkan, asal diniatkan untuk akad nikah. Mereka
mendasarkan pendapatnya kepada al-qur‟an dan hadits berikut
ini:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫…ط‬.. ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu isteri-
isterimu yang telah kamu berikan mas kawinnya ….. dan perempuan
mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya”. (Al Ahzab: 50)
Sabda Rasulullah Saw

ٗ١ٍ‫ ِزفك ػ‬-‫اْ وبْ ِأح ششط‬ٚ ً‫ ثب ط‬ٛٙ‫ وزبة هللا ف‬ٝ‫ظ ف‬١ٌ ‫ي هللا صٍغ وً ششط‬ٛ‫لبي سع‬
Artinya:
“aku telah milikkan dia kepada kamu dengan mahar ayat-ayat al-
qur‟an yang kamu mengerti”. (HR Bukhari)

Golongan ini juga mengatakan, sighat ijab kabul dapat


dipakai dengan kata-kata kiasan, sama halnya dengan
menyatakan talak. Talak dapat dipakai dengan kata-kata kiasan
dan jatuh talaknya kalau diniatkan.

26
Dari keterangan dan penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa ijab kabul sebaiknya atau lebih afdhal bila diucapkan
dalam bahasa arab bagi yang dapat mengerti bahasa arab. Dapat
juga dilaksanakan bukan dengan bahasa arab asal itu arti dari
kalimat nikah dan tazwiz dinamakan kalimat kiasan dan
hukumnya juga sah bila diniatkan menurut sebagian para
ulama.
Ijab kabul bagi orang bisu dapat dilaksanakan dengan
isyarat, asal masing-masing pihak mengerti bahwa maksudnya
adalah akad nikah.

Syarat ijab kabul.


Akad nikah baru sah kalau terpenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Wali dan calon mempelai pria yang sudah mumayyiz
Bila salah satu pihak ada yang gila atau masih kecil dan
belum mumayiz maka pernikahannya tidak sah.
2. Ijab Kabul harus dilaksanakan dalam satu majalis. Antara
sighat kata-kata atau prbuatan lain dapat dikatakan
memisahkan antara sighat ijab dan sighat kabul. Adanya
tenggang waktu antara ijab dan kabul menurut „urf
(kebiasaan) masih dikatakan tidak terpisah maka hukum
akadnya sah.
3. Antara sighat ijab, sighat kabul tidak boleh berlawanan.
Umpamanya wali mengucapkan maskawin Rp. 1000,- tapi si
mempelai pria mengatakan Rp. 500. Wali mengatakan
anaknya si A, tapi mempelai mengatakan si B dst.
4. Ijab dan Kabul harus dilakukan dengan lisan dan didengar
oleh masing-masing pihak, wali, mempelai maupun saksi.
Selain sighat ijab kabul sendiri, yang terpenting adalah niat
masing-masing pihak bahwa mereka melaksanakan akad
nikah. (Sayyid Sabiq, 1971, h. 29-30)

27
B. Sighat akad yang dikaitkan dengan persyaratan
Para ahli fiqh mensyaratkan hendaknya ucapan ynag
dipergunakan dalam ijab kabul bersifat mutlak tidak disertai
dengan syarat-syarat tertentu atau perjanjian tertentu. Manakala
syarat atau perjanjian itu bertentangan dengan syariat syarat
atau perjanjian itu tidak sah dan tidak perlu diikuti. Akad nikah
itu sendiri dalam bentuk demikian adalah sah. Umpamanya
seseorang mengatakan; aku terima nikahnya dengan syarat
tanpa maskawin atau tanpa nafkah. Dalil yang mengatakan
bahwa syarat atau perjanjian yang bertentangan itu tidak perlu
dipenuhi adalah sabda Rasulullah Saw
ٗ١ٍ‫ ِزفك ػ‬-‫ا ْ وب ْ ِأح ششط‬ٚ ً‫ ثب ط‬ٛٙ‫ وزبة هللا ف‬ٝ‫ي هللا صٍغ وً شش ف‬ٛ‫لبي سع‬
Artinya
“Segala syarat yang tidak terdapat di dalam kitabullah adalah batal
sekalipun 100 kali syarat” (HR Muttarafaqun‟alaih).
Sabda Rasulullah Saw
ٗ١ٍ‫دشَ دال ال – ِزفك ػ‬ٚ ‫ُ اال ششط أدً دشاِب‬ٙ‫ط‬ٚ‫ شش‬ٍٝ‫ْ ػ‬ٍّٛ‫اٌّغ‬
Artinya:
“Orang-orang Islam itu menurut syarat mereka, kecuali apabila
berupa syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal” (HR Muttafaqun „alaih).
Manakala syarat atau perjanjian itu tidak bertentangan
dengan kehendak akad nikah maka akad nikahnya sah dan
syarat atau perjanjian harus diikuti. Umpamanya; syarat yang
dimintai oleh wanita agar dia tidak dimadu, maka perjanjian itu
harus dituruti.
Sabda Rasulullah Saw
ٍُ‫ ِغ‬ٚ ٜ‫اٖ اٌجخبس‬ٚ‫ س‬-‫ ثٗ ِب اعزٍٍزُ ثٗ اٌفشج‬ٝ‫ف‬ٛ٠ ْ‫ط ا‬ٚ‫ادك اٌشش‬

28
Artinya:
“Sesungguhnya syarat yang paling utama dipenuhi adalah sesuatu
yang kamu pandang menghalalkan hubungan kelamin”. (HR. Bukhari-
Muslim).
Imam Ahmad Ibn Hanbal menyatakan bahwa perjanjian atau
syarat walaupun bertentangan dengan hakikat perkawinan
harus dipenuhi juga.
Ada beberapa macam syarat atau janji yang harus diucapkan
dalam akad nikah:
1. Ijab kabul yang disyaratkan dengan suatu syarat tertentu.
Umpamanya; ijab kabul yang dikaitkan dengan pekerjaan
yang akan diperoleh oleh seseorang, misalnya mempelai pria
mengatakan; “kalau saya sudah dapat pekerjaan putri bapak
saya kawini”. Lalu ayah menjawab; “saya terima”. Akad
nikah seperti ini tidak sah karena pernikahannya dihubung-
hubungkan dengan sesuatu yang akan terjadi, yang boleh
jadi tidak terwujud. Akad nikah dalam Islam berarti telah
memberiikan kekuasaan untuk menikmatinya sekarang,
yang oleh karena itu tidak boleh ada tenggang waktu antara
syaratnya. Di dalam contoh ini mendapat pekerjaan
merupakan syarat, yang pada waktu diucapkan belum ada.
Sedangkan menghubungkan segala sesuatu yang belum ada
berarti tidak ada.
Lain halnya kalau syarat itu dihubungkan dengan keadaan
yang sudah ada. Umpamanya; calon mempelai mengatakan;
kalau putri bapak umurnya sudah 20 tahun saya kawini dia.
Ayahnya menjawab “saya terima”. Ketika itu anak/putrid
tersebut sudah berumur 20 tahun maka perkawinan yang
seperti ini adalah sah. (sayyid sabiq, 1971. H. 34)
2. Akad nikah (ijab kabul) yang dikaitkan dengan waktu yang
akan datang.
29
Akad nikah seperti ini tidak sah, baik pada saat itu
maupun pada waktu yang disebutkan itu sampai.
Umpamanya; mempelai berkata “saya kawini putri bapak
besok, atau bulan depan” lalu ayahnya menjawab “saya
terima”. Hal ini tidak sah oleh karena meniadakan arti ijab
kabul yang memberiikan hak kekuasaan menikmati antara
pasangan yang melaksanakan akad nikah itu sekarang.
3. Akad nikah untuk sementara waktu.
Jika akad nikah dinyatakan untuk sebulan atau lebih atau
kurang ari sebulan, maka perkawinan tidak sah, sebab kawin
itu dimaksudkan untuk hidup bergaul secara langgeng guna
mendapatkan anak, memelihara keturunan dan mendidik
mereka. Oleh karena itu para ahli fiqh menyatakan bahwa;
kawin mut‟ah dan kawin cina buta (tohlil) tidak sah.
Bentuk kawin mut‟ah bermaksud untuk bersenang-senag
sementara waktu saja, dan bentuk kawin cina buta
bermaksud menghalalkan bekas suami pertama untuk dapat
kembali kawin dengannya.
Prof. K.H Ibrahim dalam bukunya “Fikih Perbandingan”
tahun 1971, halaman 186-191 menjelaskan tentang sighat
akad yang dikaitkan dengan persyaratan sebagai berikut:
a. Syarat yang dibuat yang sifatnya bertentangan dengan
yang dikehendaki oleh akad nikah. Pada bagian ini ada 2
macam bentuknya.
1) Tidak merusak tujuan pokok akad nikah
Umpamanya mempelai mengucapkan kabulnya:
“aku terima menikahinya, denga syarat tanpa
maskawin atau tanpa nafkah”.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa syarat
tersebut batal, sedangkan akad nikahnya sah. Dalam

30
syariat Islam membayar maskawin dan memberii
nafkah hukumnya wajib. Oleh karena itu walaupunn
di dalam akad nikah disebutkan syarat tanpa
maskawin atau tanpa nafkah, kewajiban membayar
maskawin dan nafkah itu tetap.
2) Syarat tersebut merusak tujuan pokok akad nikah
Umpamanya pihak isteri membuat syarat agar dia
tidak disetubuhi. Hukum membuat syarat seperti ini
adalah sama dengan contoh “a” di atas. Dalam pada
itu mazhab syafi‟i mengatakan bahwa akad nikah
tersebut juga batal.
b. Syarat yang tidak betentangan dengan kehendak akad
nikah.
Bagian ini ada 2 macam bentuknya:
1. Merugikan pihak ketiga secara langsung.
Umpamanya calon isteri men isyaratkan kepada
calon suami supaya menjatuhkan talak kepada
isterinya terdahulu. Syarat seperti ini tidak sah
karena laranngan seperti dalam hadits Rasulullah
Saw
ٍُ‫ ِغ‬ٚ ٜ‫ش‬ٙ‫اٖ اٌجخ‬ٚ‫ب – س‬ٙ‫ صٍغ اْ رششط اٌّش أح طالق اخز‬ٝ‫ إٌج‬ٝٙٔ
“Rasulullah melarang wanita membuat syarat agar
calon suaminya menjatuhkan talak kepada isteri
calon suami tersebut” (HR Bukhari-Muslim)
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
ٝ‫م‬ٙ١‫اٖ اٌج‬ٚ‫ب ٌزٕىغ – س‬ٙ‫ب ٌزغزفشؽ أبء ادز‬ٙ‫ال رغئً اٌشأح طال ق اخز‬
“Janganlah seseorang wanita meminta agar calon
suaminya menjatuhkan talak kepada isteri calon
suami tersebut supaya dia dapat menikah dengan
laki-laki itu” (HR Baihaqi).

31
Abu Khattab berpendirian syarat seperti tersebut
diatas adalah sah dan karena kalu tidak dipenuhi dia
berhak menuntutnya. Apa yang disebutkan di dalam
hadits bukan berarti tidak sahnya syarat tersebut
tetapi syarat seperti itu adalah tidak baik dan berdosa
kalau dilakukan.
2. Syarat tersebut manfaatnya kembali kepada
mempelai wanita, umpamanya mempelai wanita
mensyaratkan agar dia tidak dimadukan. Syarat
seperti ini ada 2 pendapat para ulama:
- Pendapat pertama memandang syarat seperti itu
hukumnya batal sedangkan hukum akadnya sah.
Demikian pendapat Imam Malik, Asy Syafi‟i dan
Imam Abu Hanifah.
Sabda Rasulullah Saw
ٜ‫اٖ اٌزش ِز‬ٚ‫دشَ دال ال – س‬ٚ ‫ شىش طب أدً دشا ِب أ‬ٍٝ‫ْ ػ‬ٍّٛ‫اٌّغ‬
“Kaum muslimin itu terikat di atas syarat-syarat
atau janji yang mereka buat kecuali syarat yang
menghalalkan hal-hal yang haram atau
mengharamkan hal-hal yang halal” (HR At
Turmudzi).
Sabda Rasulullah Saw
– ‫اْ وبْ ِأح ششط‬ٚ‫ ثب طال‬ٛٙ‫ وزبة هللا ف‬ٝ‫ظ ف‬١ٌ ‫ِب وبْ ِٓ ششط‬
ٜ‫اٖ اٌجخش‬ٚ‫س‬
“Tiap-tiap syarat yang tidak ada pada kitabullah
maka syarat tesebut adalah batal sekalipun 100
syarat. (HR. Bukhari)
Kita mengetahui bahwa beristeri lebih dari satu
dibolehkan oleh syara‟. Dengan syarat tidak boleh
dimadu itu berarti bertentangan dengan

32
ketentuan syara‟, dengan sendirinya syarat
tersebut menjadi batal.
- Pendapat kedua menentang syarat seperti itu
hukumnya sah dan wajib dipenuhi dan jika tidak
dipenuhi maka pihak wanita berhak mefasakhkan
akad nikahnya.
Demikian pendapat Imam Ahmad, Auza‟y dan
Abu Ishaq.
Sabda Rasulullah Saw

ٍُ‫ِغ‬ٛ‫اٖ اٌجخبسى‬ٚ‫ج – س‬ٚ‫ب ِب عزذبٌزُ ثٗ اٌفش‬ٙ‫ا ث‬ٛ‫ف‬ٛ‫ط اْ ف‬ٚ‫اْ ادك اٌشش‬


“Sesungguhnya syarat yang paling utama
dipenuhi adalah sesuatu yang kamu pandang
menghalalkan kelamin” (HR. Bukhari-Muslim).
Riwayat yang disampaikan Imam Ahmad, Auza‟y
dan Abu Ishaq alasan sebagai berikut:
‫ب‬ٌٙ ً‫ ػّش فم‬ٌٝ‫ٖ ا‬ّٛ‫ب داس٘بصُ فخبص‬ٌٙ ‫ششط‬ٚ ‫ج اِشأح‬ٚ ‫اْ سجال رض‬
.‫ط‬ٚ‫ق ػٕذ اٌشش‬ٛ‫ب فمب ي اسجً اد ْ رطبلٕب فمبي فمب طغ اٌذم‬ٙ‫ششط‬
“Seseorang laki-laki menikahi seorang wanita dan
ia syaratkan untuk tetap tinggal di rumahnya;
kemudian laki-laki itu bermaksud membawa
isterinya pindah, isteri-isterinya tidak mau yang
kemudian mereka mengadukan masalahnya
kepada khalifah Umar. Berkatalah Umar bahwa;
wanita itu mempunyai hak agar dipenuhi syarat-
syaratnya maka laki-laki itu berkata: kalau begitu
engkau menceraikan kami, maka Umar berkata:
putusnya hak tergantung pada syarat.

33
c. Syarat yang sejalan dengan akad nikah
Umpamanya pihak wanita membuat syarat agar dia
diberi nafkah. Syarat yang seperti ini adalaha sah dan
sesungguhny dia berfungsi untuk mempertegas
kewajiban suami. Di Indonesia sekarang telah menjadi
kebiasaan diadakan taklik talak yang dibaca setelah akad
nikah berlangsung. Maksudnya ialah agar si isteri tidak
tersia-sia dan teraniaya oleh perbuatan dan tingkah laku
suami. Taklik talak ialah: perjanjian yang diucapkan
calon mempelai pria sesaat setelah akad nikah, yang
dicantumkan dalam akta perkawinan berupa janji talak
yang digantungkan kepada suatu keadaan yang mungkin
terjadi di masa yang akan datang.
Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan
agama Islam. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam
taklik talak betul-betul terjadi kemudian tidak dengan
sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh
jatuh isterinya harus mengajukan persoalannya ke
pengadilan agama di daerah hukumnya, tempat dimana
dia bertempat tinggal.
Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang
wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi
sekali taklik talak sudah diperjanjikan, tidak dapat
dicabut kembali.
C. Akad nikah yang dibatasi waktunya.
Akad nikah yang dibatasi waktunya adalah tidak sah oleh
karena akad nikah yang demikian ini bertentangan dengan
prinsip dan tujuan perkawinan itu sendiri. Perkawinan antara
lain bertujuan untuk mendapatkan keturunan dan memperoleh
ketenangan, ketentraman, dan cinta serta kasih sayang antara

34
suami isteri, anak-anak, keturunan dan keluarga seluruhnya.
Kesemuanya ini dapat dicapai dengan prinsip bahwa
perkawinan itu diniatkan untuk dilaksanakan selama-lamanya
bukan untuk dalam waktu tertentu saja. Prinsip yang demikian
ini merupakan prinsip dan tujuan dasar perkawinan. Supaya
perkawinan berlangsung dengan kekal untuk selama-lamanya.
Maka di dalam syariat Islam diperkenankan seorang calon suami
melihat calon isterinya, bukan hanya melihat wajah, tubuhnya
saja tetapi juga harus menjajaki sifat-sifat akhlak dan agama. Hal
ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Ibn Majah yang
membolehkan seorang calon suami melihat bakal calon isterinya
demi kekalnya perkawinan.
Contoh akad nikah yang mengandung ketentuan
pembatasan waktu, ucapan wali: “Aku menikahkan engkau
dengan anakku … dengan maskawin Rp. 5000,- untuk selama 3
bulan atau satu tahun. Mempelai pria menjawab: “Aku terima
nikahnya dengan maskawin sekian selama waktu tersebut”.
Lebih dari itu perkawinan yang dibatasi waktunya ini,
bertetangan dengan prinsip dan tujuan perkawinan secara
keseluruhan yaitu melaksanakan petunjuk agama dalam rangka
mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri
kecenderungan, cinta terhadap wanita, cinta terhadap keturunan
dan cinta terhadap kekayaan.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬

35
Artinya
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-
apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak
dari jenis emas, perak,” (Ali Imran: 14)
Naluri manusia ini dapat terpenuhi lahir dan bathin dan
bertanggung jawab melalui perkawinan menurut syariat Islam.
Fitrah manusia adalah baik sejalan dengan yang digariskan oleh
syariat Islam.
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah;
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Ar-Ruum: 30)
Berdasarkan ayat ini fitrah manusia itu adalah beragama dan
melaksanakan syariat agama (tauhid).
Ada 5 tujuan perkawinan yang tidak dapat diperoleh kalau
perkawinan itu dibatas dengan waktu:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
Naluri dan fitrah manusia cenderung untuk mempunyai
keturunan yang sah. Kebahagiaan dunia akhirat dapat di
capai dengan hidup berbakti secara sendiri-sendiri,
berkeluarga dan bermasyarakat. Suatu rumah tangga akan
kandas dan tidak bahagia dikarenakan tidak memperoleh
keturunan. Oleh karena itulah Rasulullah memberii petunjuk
agar dalam memilih jodoh calon isteri yang berketuruan,
tidak mandul.
Sabda Rasulullah Saw
36
ٓ‫اٖ اثٓ دج‬ٚ‫ س‬-ُ١‫ش ػم‬١‫ش ِٓ دغ‬١‫د خ‬ٌٛٚ ‫داء‬ٛ‫ع‬
Artinya
“Wanita hitam yang berketurunan lebih baik daripada wanita
cantik tapi mandul” (HR. Hibban).
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami, anugrahkanlah
kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah kami imam bagi orang-
orang yang bertakwa”. (Al Furqaan : 74)
2. Memiliki hajat manusia, menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya. Sudah menjadi kodrat dan
iradat Allah menjadikan makhluk manusia dan makhluk
lainnya hidup berjodoh-jodohan.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”. (Yaasin: 36 )
Allah juga menetapkan keinginan manusia untuk
berhubungan antara pria dan wanita yang mereka itu satu
dengan yang lain saling mengisi dan saling membutuhkan
seperti apa yang dimaksud oleh surat Ali Imran ayat 14,
surat Al Baqarah ayat 187, dan surat Ar Ruum ayat 21

37
3. Memehuni panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan
dan kerusakan. Perkawinan itu sendiri adalah untuk
mmenuhi panggilan agama. Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬
Artinya
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua,
tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja”. (An Nisa‟: 3)
Perkawinan juga agar orang dapat mengendalikan nafsu
amarah yang cenderung untuk mengajak kepada perbuatan
yang tidak baik.
Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”. (Yusuf: 53)
Sabda Rasulullah Saw
‫ش‬٠‫ اٌذذ‬- ‫ا دصٓ ٌٍفشج‬ٚ‫ فبٔٗ أغض ٌٍّصش‬....
Artinya
“sesungguhnya perkawinan itu dapat mengurangi liarnya
pandangan dan dapat juga menjaga kehormatan” (al Hadits).
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab
menerima hak dan kewajiban, juga bersungguh-sungguh
untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.
Hidup sehari-hari menunjukkan bahwa orang-orang yang
belum berkeluarga, tindakannya sering masih dilandasi oleh
emosinya, sehingga kurang mantap dan kurang bertanggung
jawab.
38
Seseorang yang belum berkeluarga jarang memikirkan
bagaimana caranya untuk mendapatkan harta, untuk bekal
hari esok. Sebaliknya orang yang sudah berkeluarga
tindakannya secara keseluruhan mantap dan bertanggung
jawab dan bersemangat untuk mencari rezeki sebagai bekal
hidup untuk diri dan keluarganya.
Sabda Rasulullah Saw
‫تزطكطجلاطاانساءطفاطهنن باطدلاؿط–طاحلدطبث‬

5. Membangun rumah tangga dalam rangka membentuk


masyarakat yang sejahtera, berdasarkan cinta dan kasih
sayang sesame warga.
Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia ini tatklah dapat
hidup sendiri-sendiri, melainkan harus hidup bermasyarakat
yang unit terkecil dari padanya terbentuk melalui
perkawinan.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬

Artinya
“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri
dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan
cucu-cucu”. (An Nahl: 72)

39
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.
(An Nisa:1)
Demikianlah prinsip dan tuhan perkawinan yang harus
diperhatikan dan dipenuhi oleh kedua calon suami isteri
yang akan melangsungkan akad nikah.
D. Nikah syighar, nikah mut’ah dan nikah tahlil.
Ketiga bentuk akad nikah ini tidak sah hukumnya dalam
syari‟at agama Islam, karena tidak sesuai dengan prinsip dan
tujuan nikah dan memang dalil-dalil dari Al qur‟an dan hadits
melarang bentuk nikah syighar, mut‟ah dan tahlil ini.
1. Nikah syhigar
Nikah syighar termasuk suatu bentuk nikah yang disertai
dengan syarat yang tidak sah. yang dimaksud dengan nikah
syighar yaitu seorang wali mengawinkan puterinya dengan
seorang laki-laki dengan syarat kepadanya dengan tanpa
bayar mahar.
Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim nikah syighar ini.

40
Sabda Rasulullah Saw
.‫الطشغاالَبطاالسالـ‬
“Tidak ada syighar dalam Islam”
Sabda Rasulullah:
‫عنطابنطعمرطقاؿطهنىطرسلؿطاهللطصلعطعنطااسغىارط‬
Artinya
“Dari Ibnu Umar katanya: Rasulullah melarang kawin syighar”
Sabda Rasulullah:
‫طهنىطرسلؿطاهللطصلعطعنطااشغارطكااشغافطيقلؿطاارطجلطاارطجلط‬:‫عنطاىبطعمرطقاؿ‬
‫زكجىنطابنتكطاكاخنكطعلىطافطاكاجكطابنىتطاكطاطخىتطكطايسطبينهماطصداؽط–طركاهط‬
.‫ابنطماجو‬
Artinya
“Dari Ibnu Umar katanya Rasulullah melarang kawin syighar dan
contoh kawin syighar yaitu: seorang laki-laki berkata kepada
seorang temannya: kawinkanlah puterimu atau saudara
perempuanmu dengan saya, nanti saya kawinkan kamu dengan
puteriku atau saudara perempuanku dengan syarat keduanya bebas
mahar. (HR. Ibn Majah)

Pendapat ulama tentang nikah syighar.


Berdasarkan dua hadits di atas jumhur ulama berpendapat
bahwa kawin syighar itu pada pokoknya tidak diakui karena
hukumnya batal. Dalam pada itu Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa nikah syighar itu hukumnya sah, hanya
saja tiap-tiap anak wanita yang bersangkutan masih berhak
mendapatkan mahar sepadan dari masing-masing suaminya,
karena kedua laki-laki yang menjadikan pertukaran anak
perempuannya sebagai mahar adalah tidak tepat sebab wanita
itu bukan sebagai barang yang dapat dipertukarkan sesama
mereka. Dalam nikah yang seperti ini yang batal adalah

41
maharnya, bukan akad nikahnya, sebagaimana kalau suatu
perkawinan dengan persyaratan memberiikan minuman
khamar atau makan daging babi maka akad nikahnya adalah
sah/tidak batal dan bagi perempuan berhak atas mahar misil.
(Sayyid Sabiq, 1971, h. 47-48)
Illat larangan kawin syighar atau nikah syighar:
Para ulama berbeda pendapat tentang illat dilarangnya nikah
syighar ini:
a. Ada yang berpendapat karena sifatnya masih
menguntungkan atau memaukufkan, seolah-olah yang
satu berkata kepada yang lain; tidaklah saudara dapat
menjadi isteri anakku sebelum anak saudara jadi isteriku
b. Ada pula yang berpendapat bahwa sebabnya atau
illatnya itu karena menjadikan kelamin sebagai hak
bersama dimana kelamin masing-masing dijadikan
mahar terhadap lainnya.
Perempuan yang nikah itu sendiri tidak memperoleh
faedah dari mahar yang seharusnya dia terima, tetapi
bahkan mahar itu kembali manfaatnya kepada wali,
karena maharnya tadi ditukarkan dengan perempuan
yang dijadikan isterinya, padahal semsetinya mahar itu
diterima oleh si wanita itu tadi. Hal ini berarti menzalimi
kedua perempuan tersebut dan merampas hak mahar
dari perkawinannya.
Karena Ibnu Qayyim berkata, pendapat ini adalah sesuai
dengan asal dari kata syighar itu sendiri (Sayyid Sabiq,
1971, h.48)
Sesungguhnya nikah syighar ini adalah salah satu dari
bentuk nikah yang terjadi pada zaman jahilliyah, dimana

42
hubungan kelamin antara pria dan wanita dapat seolah-olah
diperjual-belikan atau dilaksanakan pertukaran.
Islam dengan syariatnya yang luhur menempatkan
kedudukan ibu dan bapak pada tempat yang terhormat dan
bertanggung jawab sehingga dapat menumbuhkan,
membuahkan keturunan yang baik.
Ada beberapa bentuk perkawinan pada zaman jahiliyyah
yang dibatalkan oleh Islam, antara lain :
a) Pergundikan
Pergundikan selama dilakukan secra tersembunyi
masyarakat menganggap tidak apa-apa, tetapi kalau
dilakukan terang-terangan dianggap tercela, perkawinan
seperti ini tidak dibenarkan oleh Islam dan karenanya
Allah berfirman:

‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan bukan perempuan-perempuan yang mengandung upah
atau gundik” (An Nisa: 25)
b) Nikah tukar menukar isteri
Seorang laki-laki mengatakan kepada temannya: ambillah
isteriku dan aku ambil isterimu dengan bertambah sekian.
Darul Quthni meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah
dengan sanad yang sangat lemah, menerangkan bahwa
Aisyah menyebutkan untuk perkawinan lain, selain kedua
macam tersebut di atas. Kata beliau: perkawinan di jaman
jahiliyyah itu ada 4 macam yaitu:
1) Perkawinan pinang meminang
Perkawinan semacam ini dimana seorang laki-laki
meminang melalui seorang laki-laki yang menjadi wali

43
atau anak perempuannya sendiri lalu ia berikan maharnya
kemudian menikahinya
2) Perkawinan pinjam atau gadai
Seorang suami berkata kepada isterinya sesudah ia bersih
dari haidnya; pergilah kepada fulan untuk berkumpul
dengannya, sedang suaminya sendiri berpisah dari
padanya sampai ternyata isterinya hamil. Sesudah
ternyata hamil, suaminya dapat mengumpulinya kembali
jika ia suka. Perkawinan seperti ini dilakukan untuk
medapat keturunan yang pandai. Perkawinan ini disebut
mecari keturunan yang baik atau bibit unggul.
3) Sejumlah orang laki-laki di bawah 10 orang secara
bersama-sama mengumpuli seorang perempuan. Jika
nantinya ia hamil dan melahirkan, setelah berlakunya
beberapa malam ia kirimkan anak itu kepada salah
seorang diantara mereka, dan tidak dapat menolaknya
sampai nanti mereka berkumpul di rumah wanita tersebut
dan wanita itu lalu berkata kepada mereka; kalian telah
tahu masalahnya, saya telah melahirkan anak ini dan hai
fulan, anak ini adalah anakmu, dia sebut laki-laki yang ia
cintai lalu anak itu dinisbatkan kepadanya, dan laki-laki
yang disebutnya itu tidak dapat menolaknya.
4) Perempuan-peerempuan yang tidak menolak untuk
digauli oleh banyak laki-laki.
Mereka ini disebut pelacur. Di depan rumah mereka
dipasang bendera, siapa yang mau boleh masuk. Bila
seorang diantaranya ada yang hamil semua laki-laki yang
pernah datang kepadanya berkumpul dan memanggil
seorang dukun/ahli firasat untuk meneliti anak siapa dia,

44
lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya
dan tidak boleh menolak.
Sesudah nabi Muhammad Saw menjadi rasul semua bentuk
perkawinan tersebut dihapuskan, kecuali bentuk perkawinan
yang pertama yaitu kawin pinang. Perkawinan yang masih
tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah bilamana rukun-
rukunnya, seperti ijab kabul dan adanya para saksi terpenuhi.
Dengan terpenuhinya rukun-rukunnya maka akad yang
menghalalalkan suami isteri hidup bersenang-senang sebagai
mana ditentukan oleh Islam menjadi sah. Selanjutnya masing-
masing suami isteri punya tanggung jawab dan haknya sendiri-
sendiri. (sayyid sabiq, 1971, h.6)
2. Nikah Mut‟ah
Nikah mut‟ah ini juga disebut dengan nikah sementara
atau nikah terputus oleh karena laki-laki yang menikahi
wanita itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan saja.
Nikah mut‟ah ini dinamakan nikah bersenang-senang
sementara waktu saja.
Para ulama mazhab mengatakan bahwa hukum nikah
mut‟ah ini adalah haram, dan oleh karena itu nikahnya batal.
Alasan mereka mengatakan hukumnya batal adalah sebagai
berikut:
a. Nikah seperti ini tidak sesuai dengan nikah yang
dimaksudkan oleh Al Quran, juga tidak sesuai dengan
masalah talak, idddah dan masalah warisan. Jika nikah
seperti ini batil sebagaimana bentuk pernikahan lain, juga
dibatalkan oleh Islam.
b. Banyak hadits-hadits yang dengan tegas menyebutkan
hukumnya haram.

45
Umpamanya hadits yang diriwayatkan dari sebura Al
Jahmi mengatakan bahwa ia pernah menyertai
Rasulullah dalam perang menaklukan makkah, dimana
Rasulullah dalam mengizinkan mereka kawin mut‟ah.
Kata Sabura: ia tidak meninggalkan kawin mut‟ah
sampai kemudian diharamkan oleh Rasulullah.
Dalam satu lafaz yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Rasulullah telah mengharamkan kawin mut‟ah dengan
sabda beliau:
‫بِخ‬١‫َ اٌم‬ٛ٠ ٌٝ‫ب ا‬ِٙ‫ا ْ هللا لذ دش‬ٚ ‫ اال عزّزب ع ا ال‬ٝ‫ وٕزبر ٔزٍىُ ف‬ٟٔ‫ب إٌبط ا‬ٙ٠ ‫ب ا‬٠
“Wahai manusia, saya tidak pernah mengizinkan kamu
kawin mut‟ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah
telah mengharamkannya sampai hari kiamat”.
Dalam hadits yang lain, yang diriwayatkan dari Ali r.a
bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw telah melarang
nikah mut‟ah pada waktu perang khaibar dan melarang
makan daging keledai penduduknya.
c. Ketika umar menjadi khalifah beliau berpidato di atas
mimbar mengaharamkan nikah mut‟ah dan para
sahabatpun menytujui. Padahal mereka tidak akan
menyetujui suatu yang salah andaikata mengaharamkan
nikah mut‟ah itu adalah suatu hal yang salah.
d. Al khattabi berkata; “haramnya nikah mut‟ah itu sudah
ijma‟ kecuali oleh beberapa golongan aliran syiah.
Menurut kaidah golongan syi‟ah dalam persoalan-
pesoalan yang diperselisihkan tidak ada dasar yang sah
sebagai tempat kembali kecuali kepada Ali padahal ada
riwayat yang sah dari Ali, kalau kebolehan kawin mut‟ah
sudah dihapuskan.

46
Baihaqi meriwayatkan dari Ja‟far Ibn Muhammad ketika
ia ditanya orang mengenai nikah mut‟ah, maka ia
menjawab: nikah mut‟ah itu sama dengan zina.
e. Nikah mut‟ah adalah nikah sekedar bertujuan
melepaskan nafsu syahwat bukan untuk mendapatkan
anak dan memelihara anak-anak itu. Kedua prinsip ini
merupakan maksud pokok dari pernikahan. Karena itu
nikah mut‟ah disamakan dengan zina dilihat dari segi
tujuan untuk bersenang-senang semata. Dalam pada itu
nikah mut‟ah ini memberiikan kemudharatan bagi
wanita itu sendiri karena ia dijadikan sebagai suatu
benda yang dapat berpindah dari satu tangan ke tangan
yang lain. Disamping itu juga merugikan anak-anak yang
seharusnya mendapatkan tempat tinggal dan
memperoleh pemeliharaan dan pendidikan yang baik,
yang dalam hal ini mereka tidak memperolehnya pada
nikah mut‟ah. (Sayyid Sabiq, 1971, h. 35-37)
Ibnu Abbas berpendapat bahwa kawin mut‟ah itu apabila
dalam keadaan darurat, dan Ibnu Abbas tidak membolehkan
secara mutlak. Ibnu Abbas mengibaratkan kebolehan nikah
mut‟ah sebagaimana orang boleh makan daging babi atau
bangkai manakala dalam keadaan darurat dan tidak ada jalan
lain. Tetapi setelah ternyata pendapat Ibnu Abbas ini
disalahgunakan oleh sementara orang, maka beliau menyatakan
bahwa nikah mut‟ah itu tidak dibolehkan untuk selama-
lamanya. Jadi beliau cabut pendapat boleh itu walaupun dalam
kedaan darurat.
Dalam pada itu golongan syi‟ah imamiah membolehkan
nikah mut‟ah dengan beberapa syarat, tetapi pendapat-
pendapat yang dibolehkan nikah mut‟ah ini adalah tidak

47
mempunyai dasar yang kuat, dan karena tidak sapat dipegangi
sebagai suatau pendapat yang dapat dipertanggung jawabkan.
Imam Asy Syaukani Tahqiq mempertegas pendapatnya
bahwa nikah mut‟ah ini diharamkan untuk selama-selamanya.
Beliau mengatakan tidak melihat satu dasarpun yang
membolehkan nikah mut‟ah. Beliau mengatakan bahwa Ibnu
Umar pernah mengatakan bahwa Rasulullah Saw, pernah
mengizinkan kami untuk nikah mut‟ah, 3 hari kemudian beliau
melarangnya. “Demi Allah” kata Umar tak seorangpun yang
saya ketahui kawin mut‟ah padahal dia punya isteri, kecuali
akan aku rajam orang itu dengan batu. (HR Bahri Ibnu Majah).
Melakukan akad nikah dengan niat nanti dia akan
mentalaknya:
Para fuqaha sependapat bahwa seseorang tanpa
menyebutkan batas waktu tertentu, tetapi di dalam hatinya ada
niat nanti pada suatu saat dia akan mentalaknya, maka akad
nikah seperti ini hukumnya adalah sah. Umpamanya seseorang
atau beberapa orang mempunyai kontrak kerja disuatu tempat
atau negeri lain selama 6 bulan atau 1 tahun atau 2 tahun dan
dia tidak melaksanakan nikah sudah ada bahwa manakala
selesai kontraknya nanti dia akan kembali dan akan menalak
isterinya itu.
Nikah yang demikian ini, yang tidak dinyatakan niatnya
untuk menceraikan di dalam akad, tetapi ada di dalam hatinya,
menurut para ulama hukumnya adalah sah. Akan tetapi nikah
yang begini ini sesungguhnya amat tercela. Oleh karena pada
nikah yang begini ini kalau kita telusuri lebih jauh adalah
perbuatan yang terdapat padanya unsur penipuan, unsur
mengelabui dan ini akan mengakibatkan kerugian pada pihak
lain.

48
Sesungguhnya nikah yang niatnya demikian lebih buruk dari
pada nikah mut‟ah dimana di dalam nikah mut‟ah disebutkan
syarat nikah itu sementara, dan sifat sementara ini disetujui oleh
pihak laki-laki, pihak wanita maupun pihak walinya. Jadi tidak
ada unsur penipuan atau pengelabuan. Oleh karena itulah
sahabat Imam Al Auza‟i berbeda pendapat dengan fuqaha
lainnya.
Imam Al Auza‟i menganggap nikah yang demikian adalah
sama dengan nikah mut‟ah
3. Nikah Tahlil
a. Pengertian dan dasar hukumnya
Di dalam ketentuan hukum Islam seorang suami telah
mentalak isterinya 3 kali maka tidak halal bagi suami tadi
untuk rujuk atau kawin kepada isteri yang telah
ditalaknya tersebut. Si suami dapat menikah kembali
pada isterinya ini manakala si isteri tersebut telah kawin
pula dengan laki-laki lain dan telah bergaul sebagai
suami isteri. Perkawinan yang kedua ini dilaksanakan
secara wajar dan tidak ada niat untuk menghalalkan bagi
suaminya yang pertama.
Jelasnya pernikahnan ini dilaksanakan secara wajar
dengan iktikad dan niat yang baik, untuk membentuk
suatu rumah tangga yang bahagia sebagaimana
disyariatkan oleh agama Islam.
Kenyataan kemudian, rumah tangga ini tidak dapat
berjalan/berlangsung sebagaimana mestinya sehingga
suami meceraikan isterinya atau meninggal dunia.
Manakala iddah si isteri itu habis maka suami pertama
dapat menikahi wanita ini kembali. Hal ini adalah apa

49
yang dimaksud dengan firman Allah dalam surat Al
Baqarah ayat 230:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia
kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas
suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui”. (Al Baqarah: 230)
Imam Asy Asyafi‟i, Ahmad, Buqhari dan Muslim
meriwayatkan dari Aisyah:
َ‫ذ ِػ ْٕ َذ ِسفَب َػخ‬ ْ ٌَ‫ َعٍَّ َُ فَمَب‬َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫هللاُ َػ‬
ُ ْٕ ‫ ُو‬: ‫ذ‬ َّ ٍَّٝ‫ص‬
َ ٟ َّ ِ‫ إٌَّج‬ِّٟ ‫د ا ِْ َشأَحُ ِسفب َػخَ ْاٌمُ َش ِظ‬
ْ ‫َجب َء‬
َ َ
ٟ‫َٓ أ ْْ رَشْ ِج ِؼ‬٠‫ ِذ‬٠‫ ( أرُ ِش‬: ‫ فَمَب َي‬. ‫ش‬١ ِ ِ‫ذ َػ ْج َذ اٌشَّدْ َّ ِٓ ْثَٓ اٌ َّضث‬ ُ ْ‫ج‬َّٚ ‫ فَزَ َض‬ِٟ‫ذ طَ َالل‬ َ
َّ َ‫ فَأث‬َِٟٕ‫فَطٍََّم‬
‫ه‬ِ َ‫ٍَز‬١ْ ‫ق ُػ َغ‬ َ ٚ‫َ ُز‬٠َٚ َُٗ‫ٍَز‬١ْ ‫ ُػ َغ‬ِٟ‫ل‬ٚ‫ رَ ُز‬َّٝ‫ ِسفَب َػخَ َال َدز‬ٌَِٝ‫إ‬
Artinya
“Isteri Rifa”ah Al Qardh pernah datang kepada Rasulullah
lalu berkata: saya dulu pernah menjadi isteri Rifa”ah kemudian
saya ditalaknya, dan talaknya kepada aku itu sudah 3 kali, lalu
aku kawin dengan Abdurrahman Ibn Zubair, tetapi sayang dia
ibarat ujung kain yaitu lemah syahwat. Lalu nabipun
tersenyum seraya bersbda: apakah kamu ingin kembali kepada
Rifaah? Oh, tidak boleh, sebelum kamu benar-benar merasakan
malu kecilnya Abdurrahman Ibn Zubair (bersetubuh) dan dia
juga merasakan madu kecilmu”. (HR Syafi‟i, Ahmad, Buqhari
dan Muslim)

50
Berdasarkan ayat ini maka jelas suami yang lelah mentalak
isterinya talak 3 boleh nikah kembali kepada bekas isterinya
dengan syarat sebagai berikut:
1) Hendaklah isterinya itu telah nikah dengan laki-laki
lain dalam suatu pernikahan yang secara wajar dan
benar, sesuai dengan syariat agama.
2) Suami kedua ini telah melakukan hubungan kelamin
sebagaimana layaknya suami isteri.
Hikmah disyaratkannya ketentuan yang demikian ini telah
banyak dituliskan oleh para ulama, fuqaha, dan ahli tafsir.
Kalau seorang suami telah mentalak isterinya dengan talak
pertama, maka di dalam masa iddah dia dapat merasakan
bagaimana perasaan, keadaan pada waktu dia berpisah itu.
Mungkin timbul akan rujuk kembali. Tetapi setelah rujuk
mungkin karena sesuatu hal, karena marah, oleh karena
perlakuannya, maka dia ceraikan kembali. Ternyata perceraian
yang kedua ini juga tidak berguna baginya dan mungkin juga
dia tidak tahan lalu dia rujuk kembali untuk yang kedua
kalinya. Tetapi di dalam perjalanan kemudian rumah tangganya
tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga dia
terpaksa menjatuhkan talak yang ketiga kalinya. Setelah talak
yang ketiga dijatuhkan maka di dalam syariat Islam tidak
diperkenankan untuk rujuk kembali, kecuali kalau wanita tadi
telah kawin dengan laki-laki lain seperti ketentuan di atas.
Pada umumnya, laki-laki demi kehormatannya tidak suka
kalau isterinya itu dinikahi oleh laki-laki lain kemudian dia
kawin lagi dengannya. Oleh karena itu dia harus berhati-hati
untuk mentalak isterinya sampai dengan 3 kali, sebab isteri itu
akan kehilangan untuk selama-lamanya baginya. Tapi mungkin
juga karena satu dan lain hal, oleh karena masalah pendidikan

51
anak-anak, masalah kelakuan keluarga, masalah harta benda
dan sebagainya maka Islam memberiikan kesempatan untuk
nikah kembali kalau isteri tersebut telah nikah dengan orang
lain dan orang lain tersebut menikahinya secara wajar pula.
Dalam kenyataan, orang banyak menyala gunakan ketentuan
ayat dalam surat Al Baqarah dan Hadits rifaah tersebut di atas,
yaitu: orang membuat celah (ketentuan tersendiri) sehingga
menyimpang dari maksud dan tujuan syariat agama. Itulah
yang dinamakan dengan kawin tahlil (kawin cina buta).
Ibnu Rasyd mendefenisikan kawin tahlil (kawin cina buta)
adalah seorang laki-laki mengawini seorang wanita denga
tujuan agar wanita yang telah bertalak tiga dari suami pertama
dapat kembali kepada suaminya yang pertama itu.(Ibn Rasyd,
1960 h. 58).
Sayyid Sabiq mendefenisikan kawin tahlil adalah seorang
laki-laki menikahi seorang perempuan yang sudah bertalak tiga
sesudah habis masa iddahnya dan dia telah dukhul kepadanya
kemudian ia mentalak wanita itu dengan maksud agar dia
dapat nikah kembali dengan bekas suaminya yang pertama
(Sayyid Sabiq, 1971, h. 39).
Si muhallil atau suami kedua melaksanakan akad nikah yang
demikian ini mungkin disuruh atau diupah oleh suami yang
pertama atau tidak. Yang menjadi pokok masalah adalah niat
dari suami kedua ini dalam melaksanakan akad nikah. Kalau
dia berniat pernikahannya itu adalah untuk menghalalkan
wanita itu bagi suaminya yang pertama maka itulah yang
dinamakan nikah tahlil.
b. Hukum nikah tahlil
Ada beberapa kelompok ulama yang menetapkan
hukum nikah tahlil ini.

52
1. Pendapat Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan,
Abdullah Ibn Umar menyatakan bahwa nikah tahlil
ini hukumnya tidak sah termasuk perbuatan dosa
besar dan mungkar serta diharamkan oleh Allah.
Pelakunya mendapat laknat dari Allah SWT.
Mereka mendasarkan pendapat ini kepada beberapa
hadits sebagai berikut:
Sabda Rasulullah:
‫دلنطاهللطاحملللطكطاحملللطاوط–طركاهطامحدطبسندطحسن‬
Artinya
“Allah melaknati si muhallil yang kawin cinta buta dan
simuhillahanya bekas suami yang menyuruh orang
menjadi muhallil” (HR Ahmad dan sanadnya Hasad)

Sabda Rasulullah Saw


‫عنطعبدطاهللطبنطمسعلدطقاطؿطاعنطرسلؿطاهللطصلعطاحملللطكطاحملللطاو‬
Artinya
“Dari Abdullah Ibn Mas‟ud, berkata dia; Rasulullah
melaknati muhallih dan si muhillahahnya” (HR
Turmudzi)
Sabda Rasulullah Saw
‫طقاط‬...‫عنطعقبةطبنطامريطقاطؿطرسلؿطاهللطصلعطاالطاخربطكضطباطاتيىسرطادلستماط‬
‫الاطبلىطياطرسلؿطاهللطقاطؿطىلطاحملللطدلنطاهللطاطزلللطكطازلللطدلنركاهطافطرلوطكط‬
‫احلاطكض‬
Artinya
“Dari Uqbah Amir, Rasulullah bersabda: maukah kamu
saya beritahu tentang kambing pinjaman atau kambing
yang dipersewakan. Para sahabat menjawab; mau wahai
Rasulullah. Itulah yang namanya si muhallil maupun si
muhallalahnya” (HR Majah dan Hakim)

53
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطابنطعباطسطافطرسلؿطاهللطصلعطسئلطعنطاحملللطفقلطالطاطالطرغبةطالطقط‬
‫اغةطكطالطاستهزاءطبكتابطاهللطعزطكطجلطحىتطتذكؽطعسيلتوط–طركاهطابلط‬
‫اسحاطؽطاجلرطجاطىن‬
Artinya
“ Dari Ibnu Abbas Rasulullah pernah ditanya tentang
muhallil/kawin cina buta. Jawabnya; tidak boleh. Kawin itu
harus dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidak boleh
ada padanya perbuatan yang mepermainkan hukum Allah.
Jadi kawin haruslah benar-benar dengan sungguh-sungguh
hingga yang bersangkutan dapat benar-benar merasakan
madu kecilnya yaitu bergaul sebagai suami isteri” (HR
Abu Ishaq Al Juryani)
Umar pernah berkata; tidak didatangkan padaku seorang
muhallil dan tidak pula si muhallalah kecuali akan aku rajam
kedua-duanya. Ibn Umar pernah ditanya tentang hukum nikah
tahlil ini. Ibn Umar menjawab; kedua-duanya adalah berbuat
zina.
Dari dalil-dalil nash tersebut di atas tegas menerangkan
bahwa nikah tahlil hukumnya batal atau tidak sah dan
pelakunya mendapat laknat dari Allah SWT. Kalau nikah
kepada suami yang kedua itu hukumnya tidak sah maka
kembalinya wanita itu kepada suaminya yang pertama adalah
juga tidak sah/ tidak dipermanenkan.
Yang menjadi ukuran dalam masalah ini, menurut pendapat
pertama ini bukanlah hanya ucapan, tetapi niat dari yang
bersangkutan. Niat itulah yang dinilai dan dilihat oleh Allah
SWT.

54
Sabda Rasulullah Saw
.ُ‫ ثى‬ٍٛ‫ ل‬ٌٝ‫ٕظش ا‬٠ ٓ‫ٌى‬ٚ ‫س‬ٛ‫ ص‬ٌٝ‫ ال ا‬ٚ ُ‫ اجىغب ِى‬ٌٝ‫ىٕظش ا‬٠ ‫اْ هللا ال‬
Artinya
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk badan dan
rupa, tetapi Allah langsung melihat, menilai niat dan
keihlasan dalam hatimu”. (HR Muslim)
Pendapat yang pertama ini adalah sesuai dengan pendapat
Imam Malik yang menyatakan, nikah tahlil ini adalah batal.
2. Pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi‟i yang
menyatakan nikah tersebut hukumnya sah (Ibn
Rasyd. 1960. h. 58)
Pendapat imam Syafi‟i yang mengatakan nikah ini sah kalau
tidak diisyaratkan di dalam akad nikahnya itu. Bahwa nikah
tersebut adalah untuk agar suaminya yang pertama dapat
kembali pada wanita itu. Nikah yang disyaratkan sebagai usaha
agar suami yang pertama dapat kembali kepada wanita itu,
kalau dia nikah kemudian mentalaknya, maka nikah yang
semacam ini menurut imam syafi‟i tetap tidak sah hukumnya.
Jadi jelas pendapat imam syafi‟i ini hanya melihat lahir dari apa
yang diucapkan. Untuk lebih jelasnya Abdurrahman Al Jaziri
menjelaskan keempat pendapat imam mazhab sebagai berikut:
a) Mazhab Syafi‟iah mengatakan bahwa apabila seorang laki-
laki kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak 3
oleh suaminya yang pertama dengan niat agar wanita itu
halal kembali bagi suaminya yang pertama maka nikahnya
sah dengan syarat sebagai berikut:
1) Akad nikahnya dilakukan sebagaimana akad nikah biasa
yang sah.
2) Tidak mengucapkan bahwa akad nikahnya itu adalah
sebagai akad nikah tahlil. Jadi akad nikahnya tidak
bersyarat.
55
3) Laki-laki yang kedua adalah telah mengerti masalah nikah,
walaupun belum dewasa.
4) Telah melaksanakan peresetubuhan secara wajar.
b) Mazhab Hanafiyah menyatakan bahwa apabila seorang
laki-laki kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak
tiga dengan maksud agar dia halal kembali bagi suaminya
yang pertama maka nikahnya sah dengan syarat sebagai
berikut:
1) Akad nikahnya dilakukan sebagaiamana akad nikah biasa
yang sah.
2) Dia telah dukhul dengan isterinya sebagaimana mestinya.
Jadi tidaklah halal bagi suaminya yang pertama kalau tanpa
dukhul dengan semata-mata saja.
3) Dukhul yang dilakukan itu mewajibkan mandi. Jadi di
dukhul yang sempurna.
4) Telah dicerai dan kemudian telah habis pula masa
iddahnya.
5) Yakin benar bahwa dia telah dukhul pada tempat yang
semestinya.
c) Mazhab Malikiyah menyatakan apabila seorang laki-laki
kawin dengan seorang wanita yang sudah ditalak tiga
dengan maksud agar dia halal kembali bagi suaminya yang
pertama maka akad nikahnya fasiq dan tidak boleh dukhul,
tetapi nikah itu sendiri jadi batal seluruhnya. Demikian
nikahnya menjadi fasakh tanpa talak.
Demikian juga apabila dia mengikrarkan syarat tersebut
sebelum akad, maka akad nikahnya juga menjadi fasakh,
sebagaimana halnya dia mensyaratkan tahlil di dalam akad.
d) Mazhab Hanabilah (Hambali) menyatakan bahawa apabila
seorang laki-laki kawin dengan seorang wanita yang sudah

56
ditalak tiga dengan maksud agar dia dapat kembali pada
isterinya yang pertama, atau ditegaskan betul syarat itu di
dalam akad nikah, dan telah pula disepakati, umpamanya
bersama isterinya itu atau bersama walinya dan tidak
pernah dicabut, maka batallah nikah tersebut. Sehingga
tidak halal si isteri itu kembali kepada suaminya yang
pertama. Hal ini sesuai dengan hadits dari riwayat Ibnu
Majah yang menyatakan laki-laki itu sama denga kambing
jantan yang dipersewakan.
Mazhab hanabilah ini menyatakan, suami yang pertama
dapat kawin dengan isterinya yang sudah tertalak tiga
manakala terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Akad nikah pada suami yang kedua telah dilaksanakan
secara wajar dan sah. Tidak terdapat padanya berapa
ketentuan syarat termasuk juga tidak diniatkan untuk
mentalaknya.
2) Suami yang kedua telah dukhul dengan isterinya tersebut
pada tempat yang semestinya, tidak cukup hanya dengan
telah diadakannya akad nikah, atau telah berkhalwat atau
telah mubasyarah (bermesra-mesraan) dengan suaminya
yang kedua tapi tanpa dukhul.
3) Pada waktu dukhul si ister tersebut tidak terhalang untuk
melaksanakan dukhul (artinya: tidak pada saat tidak boleh
dukhul).
Oleh karena itu tidaklah sah kalau pada waktu dukhulnya
itu si isteri tersebut dalam keadaan haid, nifas, puasa,
dalam keadaan ihram atau dukhul itu dilaksanakan di
dalam masjid dan sebagainya.
Demikianlah pendapat para imam mazhab tentang nikah
tahlil ini. (Al Jaziri, 1968. H. 78-84)

57
58
BAB IV
MAHRAM DAN PERMASALAHANNYA

A. Wanita yang haram dinikahi


Wanita yang haram dinikahi ini dapat dibagi menjadi 2
bagian:
1. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya.
2. Wanita yang haram dinikahi untuk sementara.
Dalil tentang wanita-wanita yang haram dinikahi ini dapat
kita jumpai dalan al-qur‟an, dan beberapa hadits Rasulullah
Saw. Dalil tersebut secara tegas menunjuk wanita yang haram
dinikahi untuk selamanya dan untuk sementara.
Karenanya tidak banyak khilafiyah dalam masalah ini.
1. Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya
Dapat dibagi menjadi:
a. Haram dinikahi karena hubungan nasab
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan,
saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara
ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan;” (An Nisa: 23)

Berdasarkan ayat di atas dapat dirinci wanita yang


haram dinikahi karena hubungan nasab ini:

59
1) Ibu. Yang dimaksud adalah wanita yang ada
hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas,
yakni; ibu dan seterusnya ke atas.
2) Anak perempuan, yang dimaksud adalah wanita
yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus
ke bawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan,
dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan
seterusnya ke bawah.
3) Saudara perempuan baik seayah seibu, seayah saja
atau seibu saja.
4) Bibi, yaitu saudara perempuan ayah atau ibu baik
sekandung, seayah atau seibu dan seterusnya ke atas.
5) Kemenakan perempuan, yaitu anak perempuan
saudara laki-laki atau saudara perempuan dan
seterusnya ke bawah.
b. Haram dinikahi karena ada hubungan sesusuan
Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Diharamkan atas kamu ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan”. (An Nisa: 23)
Sabda Rasulullah Saw
‫حيرـطمنطاارضاعةطـطحيرـطمنطاانسبةط–طركاهطاابخارلطكطمسلضطكطابلطداكاكطامحدطكط‬
‫اانساطتىىطكطاطبنطماطجا‬
Artinya
“Diharamkan karena ada hubungan sesusuan apa yang
diharamkan karena hubungan nasab” (HR Buchari, Muslim,
Abu Daud, Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah).
Berdasarkan ayat dan hadits di atas dapat dirinci
bahwa haramnya wanita dinikahi oleh karena hubungan
sesusuan ini sebagai berikut:

60
1) Ibu susuan, yakni ibu yang menyusui, maksudnya
seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak
dipandang sebagai ibu bagi anak yang disusui itu
sehingga haram melakukan perkawinan.
2) Nenek susuan. Yaitu ibu dari yang pernah menyusui
atau ibu dari suami ibu yang menyusui suami dari
ibu yang menyusui itu dipandang sebagai ayah bagi
si anak susuan, sehingga haram melakukan
perkawinan
3) Bibi sesusuan, yakni saudara perempuan ibu susuan
atau saudara perempuan suami ibu susuan dan
seterusnya ke atas.
4) Kemenakan perempuan, yakni anak perempuan dari
saudara ibu sesusuan.
5) Saudara susuan perempuan. Baik saudara seayah
kandung maupun seibu saja.
Dalam hal susuan yang mengakibatkan keharaman
nikah dapat ditambahkan beberapa penjelasan sebagai
berikut Sabda Rasulullah Saw;
‫عنطعاطئسةطقااتطقاطؿطرسلؿطاهللطصلعطالطحترـطادلصةطكطالطادلصتافط–طركاتط‬
‫اجلماطعةطاالطاابخرل‬
Artinya
“Tidak haram kawin karena sekali atau dua kali susuan” (HR
Jamaah kecuali Buchari)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطعقبةطابنطاحلرثطتزكجتطاـطحييطبنتطاىبطاىابطفجاطأمةطفقاطاتط‬
‫ط‬...‫قدارضعتكضطفاطتبتطاانىيطصلعطفذطكرتطاوطذاكطفقاطؿطكطكيفطكطقدطقيلط‬
.‫دعهاطعنكط–طركاهطاابخاطرىلطمسلض‬
Artinya
“Dari Ubbah Ibn Harris dia berkata: saya pernah kawin
dengan Ummu Yahya Putri Abi Ihram, lalu datanglah seorang
budak perempuan hitam seraya menerangkan kamu berdua ini
61
dulu pernah aku susui, lalu saya datang kepada nabi
menceritakan hal tersebut, maka sabda nabi: bagaimana lagi,
toh sudah terjadi, karena itu ceraikanlah dia” (Buhari Muslim)
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
a) Yang dimaksud dengan susuan yang mengakibatkan
haram untuk nikah adalah susuan yang diberikan
pada anak yang memang masih memperoleh
makanan dari air susu.
Hal yang demikian ini disepakati oleh para ulama.
b) Tentang berapa kali si anak tersebut menyusu yang
mengakibatkan haram nikah, para ulama berbeda
pendapat.
Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak
dibatasi berapa kali anak itu menyusu, asal seorang
bayi itu telah menyusu kepada seorang ibu dan dia
kenyang, maka hal itu sudah menyebabkan haram
nikah.
Imam Asy Syafii dan Imam Ahmad menurut
sebahagian riwayat berpendapat bahwa: mereka membatasi
sekurang-kurngnya lima kali dan masing-masing
mengenyangkan.
Dalam pada itu Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud Ibn Ali
Az Zahiri dan Ibnu Muzakkir berpendapat bahwa;
sedikitnya tiga kali susuan yang mengenyangkan.
c. Haram dinikahi karena hubungan Mushakarah atau
perkawinan.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

62
Artinya
“Diharamkan ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu
(dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu
mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak
kandungmu (menantu)” (An Nisa: 23)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh), (An Nisa: 22)
Dari dalil tersebut di atas dapat dirinci wanita yang
haram dinikahi karena hubungan mushakarah ini sebagai
berikut:
1) Mertua perempuan, nenek perempuan isteri dan
seterusnya ke atas baik garis ibu atau bapak.
2) Anak tiri, dengan syarat kalau terjadi hubungan
kelamin antara suami dengan ibu anak tersebut.
3) Menantu, yakni isteri anak, isteri anak dan seterusnya
kebawah.
4) Ibu tiri, yakni bekas isteri ayah. Untuk ini tidak
disyaratkan harus ada hubungn kelamin antara ayah
dan ibu tiri (Depag 1984/1985, h. 88)
d. Haram dinikahi karena sudah di li‟an (sudah
melaksanakan sumpah li‟an) Firman Allah SWT:

63
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬ ‫ططط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat
Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat
kali atas nama Allah, Sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta. Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-
orang yang benar.
Sumpah bersumpah antara suami isteri seperti yang
dijelaskan ayat di atas dinamakan sumpah li‟an. Para
fuqaha mengatakan bahwa kalau sudah terjadi sumpah
li‟an, maka antara suami dan isteri tersebut harus berpisah
atau cerai dengan sumpah li‟an dan menjadi haramlah
mereka nikah kembali untuk selama-lamanya.
2. Wanita yang haram dinikahi untuk sementara.
Maksud wanita yang haram dinhikahi untuk sementara
adalah wanita yang mempunyai sebab-sebab yang mana
selama sebab-sebab itu masih ada wanita itu tidak boleh

64
dinikahi. Tetapi manakala sebab-sebab itu hilang atau
tanggal maka boleh menikahinya.
Mereka itu adalah:
a. Memadu seorang wanita dengan saudaranya, atau
dengan bibinya.
Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Diharamkan atas kamu dan menghimpunkan (dalam
perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau” (An Nisa: 23)
Sabda Rasulullah Saw
‫افطاانىبطصلعطهنىطافطحتمعطبنبطامرأةطكطعمتهاطكطبنيطامرطأةطكخاطاتهاط–طركاهط‬
‫اابخطرىلطمسلض‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah, sesungguhnya nabi melarang
memadu seorang perempuan denga bibi dari ayahnya atau
dengan bibi dari ibunya” (HR Buchari-Muslim)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطفريكزطااديلميطانوطادطرطكوطسالطـطكطثطحتتوطاختافطفقاطؿطاوطرسلطؿطاهللط‬
‫صلعططلسنطايتسهاطشثتطركاهطامحدطكطابلطداكدطكطابنطماجوطكطاارتدذل‬
Artinya
“Dari Fairuz Dailami, bahwa ia masuk Islam dengan
kedua isterinya yang masih bersaudara, maka bersabda
Rasulullah Saw kepadanya: talaklah salah seorang dari
keduanya yang kamu sukai” (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah, dan Tarmizi)
Dari ayat dan hadits di atas dapat disimpulkan
bahwa haram memadu antara dua orang bersaudara
atau dengan bibi wanita itu, karena itu andai kata

65
wanita yang menjadi isteri seseorang itu meninggal
atau cerai, maka laki-laki/suaminya boleh menikahi
adik atau kakak perempuan wanita yang telah
meninggal atau dicerai itu, demikian pula terhadap
bibinya.
b. Wanita yang masih menjadi isteri orang lain atau
bekas isteri orang lain yang masih dalam iddah.
Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang
bersuami”. (An Nisa: 24)
Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ ط‬
Artinya
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”. (Al Baqarah:228)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬ ‫ط‬
Artinya
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari”. (Al Baqarah: 234)
c. Wanita yang ditalak tiga kali
Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬

66
Artinya
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh
rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan
dengan cara yang baik”. (Al Baqarah: 229)

Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang
kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain”. (Al Baqarah:
230)
d. Wanita yang sedang melakukan ihram, baik ihram
haji maupun ihram umrah. Sabda Rasulullah Saw
‫هضطعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ىضطقى ى‬
‫اؿط‬ ‫طصلَّىطاالَّ ى‬
ً ‫ىفطرس ى‬
‫لؿطاالَّو ى‬ ‫طعفَّا ىفطأ َّ ى ي‬‫طعثْم ىما ىفطبْم ًن ى‬
‫طع ْمن ي‬ ‫طعثْم ىما ىف ى‬‫ىع ْمن ي‬
‫ىالطيػىْمن ًك ي طااْم يم ْمح ًريـ ىطكىالطيػيْمن ىك ي ىطكىالط ى ْمطي يط‬
‫ب‬
“Dari Ibnu Affan, menyatakan: orang yang sedang
melakukan ihram tidak boleh menikah, tidak boleh
menikahkan dan tidak boleh pula meminang”. (HR
Muslim)
e. Wanita musyrik
Firman Allah SWT:

‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman”. (Al Baqarah: 221)
f. Wanita yang hendak dinikahi oleh seseorang yang
telah beristeri 4 orang.
Firman Allah SWT:

67
‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi
: dua, tiga atau empat”. (An Nisa: 3)
Wanita yang haram dinikahi untuk sementara ini
oleh karena ada sebab, manakala sebab itu hilang
atau beralalu, maka hilang pulalah keharaman
menikahinya.
Berikut ini akan dijelaskan tentang hikmah dari
wanita-wanita yang haram dinikahi ini: Para ulama
ahli tafsir, ahli fiqih dan ahli tasauf banyak yang telah
menggali hikmah tentang diharamkanya nikah
dengan beberapa wanita yang telah disebutkan di
atas.
komentar dan pendapat mereka ini adalah: nikah
pada jalur nasab, jalur sesusuan atau jalus
mushakharah seperti yang telah disebutkan
sebelumnya akan mengakibatkan rasa hubungan
birahi suami isteri menjadi lemah, dan bisa
menyebabkan lemahnya dorongan syahwat,
lemahnya rasa birahi, lemahnya rasa mesra yang juga
mengakibatkan lemahnya biologi, lemahnya
keturunan dari kedua suami isteri tersebut.
Hubungan yang demikian bisa menyebabkan
berkurangnya keharmonisan atau kebahagiaan
rumah tangga tersebut.
Hal ini tidak sesuai dengan hikman nikah itu
sendiri. Telah menjadi sunnatullah bahwa saling
kasih mengasihi, saling sayang menyayangi, saling
cinta menyintai, saling tolong menolong itu tumbuh
68
dan berkembang pada keluarga senasab, atau
mempunyai hubungan darah, terutama sekali
dikalangan keluarga yang dekat, baik jalur vertikal
maupun jalur horizontal.
Hubungan yang demiian inilah yang
menyebabkan tidak adanya perasaan birahi atau
dorongan syahwat kalau di antara keluarga dekat itu
melaksanakan ikatan pernikahan. Hikmah yang sama
terdapat pada haramnya nikah oleh karena sesusuan.
Islam juga memerlukan tali kekeluragaan karena
mushakharah (ada hubungan pernikahan).
Umpamanya, anak tiri dianggap sama dengan anak
kandung, ibu mertua disamakan dengan ibu
kandung, anak menantu disamakan dengan anak
kandung dan sebagainya. Keseluruhan hal di atas
sudah masuk ke dalam lingkungan keluarga
termasuk saudara perempuan isteri dan bibi isteri.
Adapun wanita-waniata lain yang haram dinikahi
umpamanya wanita yang sedang beriddah, wanita
yang telah bertalak 3, wanita yang dalam keadaan
ihram dan sebagainya sifatnya adalah sementara.

69
BAB V
SAKSI NIKAH DAN PERMASALAHANNYA

A. Syarat sah nikah


Syarat-syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya
pernikahan. Jika syarat-syarat ini terpenuhi, maka pernikahan
tersebut sah dan akan menimbulkan kewajiban-kewajiban dan
hak-hak pernikahan.
Syarat sah nikah ada 2:
1. Perempuan yang akan dinikahi itu halal dinikahi oleh laki-
laki yang ingin menjadikannya sebagai isteri.
Maksudnya wanita yang akan dinikahi terebut bukan
wanita yang haram dinikahi, baik haram untuk sementara
maupun haram untuk selamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
Menurut jumhur ulama, pernikahan yang tidak dihadiri
oleh para saksi adalah tidak sah. Jika pada waktu ijab kabul
tidak ada saksi, maka nikahnya tidak sah. Sekalipun sesudah
itu diumumkan kepada orang ramai dengan cara lain. Jika
para saksi hadir di pesan oleh pihak yang mengadakan akad
nikah agar merahasiakan dan tidak memberiitahukannya
kepada orang ramai, maka pernikahannya tetap sah. (Sayyid
Sabiq, 1971, h. 48-49) Sabda Rauslullah Saw
‫ْ َػ ْذ ٍي‬ٞ‫شَب ِ٘ َذ‬َٚ ٍّٟ ٌَِٛ ِ‫ َال ِٔ َىب َح إِالَّ ث‬,, َُ ٍَّ‫ َع‬َٚ ِٗ ١ْ ٍَ‫ هللاُ َػ‬ٍَّٝ‫ص‬ ْ ٌَ‫ػ َْٓ ػَبئِ َشخَ لَب‬
َ ِ‫ ُي هللا‬ُٛ‫ذ لَب َي َسع‬
)ْ‫اثٓ دجب‬ٚ ٕٝ‫اٖ أٌذاس لط‬ٚ‫(س‬
Artinya
“Dari Aisyah Rasululah bersabda: “tidak sah pernikahan kecuali
dengan wali dan dua orang saksi yang adil”. (HR Darul Quthni),
Kata “tidak” disini maksudnya tidak sah, yang berarti
menunjukkan bahwa mempersaksikan terjadinya ijab kabul
merupakan syarat dalam pernikahan.

70
B. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang lelaki
muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti
atau paham akan maksud nikah tersebut. (Depag, 1984-1985, h.
108)
Sayyid Sabiq mengatakan syarat untuk menjadi saksi harus
berakal sehat, dewasa, dan medengarkan pembicaraan kedua
belah pihak yang berakad tersebut dan memahami bahwa
ucapan-ucapan itu maksudnya adalah sebagai ijab kabul
pernikahan. Jika yang menjadi saksi itu anak-anak atau orang
gila, atau orang bisu atau orang yang sedang mabuk maka
pernikahannya tidak sah, sebab mereka dipandang seperti tidak
ada. (Sayyid Sabiq, 1971. H. 50)
1. Persyaratan adil untuk menjadi saksi
Para ulama berbeda pendapat tentang masalah sifat saksi
yang adil sebagai berikut:
a. Imam Hanafi mengatakan bahwa saksi dalam
perkawinan tidak disyaratkan harus adil, jadi
perkawinan yang disaksikan oleh 2 orang fasi hukumnya
sah.
b. Golongan syafiiah berpendapat bahwa saksi itu harus
orang yang adil sebagaimana disebutkan dalam hadits di
atas.
2. Persyaratan saksi orang yang merdeka
Para ulama berbeda pendapat terhadap masalah ini:
a. Abu Hanifah dan Syafii mensyaratkan orang yang
menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka.
b. Imam Ahmad membolehkan orang yang tidak merdeka
menjadi saksi di dalam Al Quran maupun hadits tidak
ada keterangan yang menolak budak untuk menjadi
saksi, selama dia jujur serta amanah dalam kesaksiannya.
71
3. Persyaratan saksi orang Islam
- Menurut Imam Ahmad, Imam Asy Syafii dan
Muhammad Ibn Hasan, saksi dalam pernikahan pria dan
wanita muslim haruslah orang Islam.
- Abu Hanifah dan Abi Yusuf menyatakan bahwa bila
pernikahan antara seorang laki-laki muslim dan seorang
wanita ahli kitab, maka saksinya boleh dua orang dari
ahli kitab.
4. Saksi wanita dalam pernikahan
Terdapat perbedaan pendapat antara golongan Syafii dan
Hambali dengan golongan Hanafi tentang boleh tidaknya
wanita menjadi saksi dalam suatu pernikahan atau akad
nikah.
- Golongan Syafiyah dan Hambali mensyaratkan saksi
harus laki-laki, akad nikah dengan saksi seorang laki-laki
dan 2 orang perempuan adalah tidak sah. Alasan mereka
ini berdasarkan riwayat Abu Ubaid dari Zuhri yang
mengatakan bahwa Rasulullah tidak membolehkan saksi
wanita dalam masalah pidana, nikah dan talak.
- Golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat dalam hal
ini.
Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-
laki dan dua orang perempuan adalah sah.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫طط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

72
Artinya
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang
lelaki (diantaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang
kamu ridhai”. (Al Baqarah : 282)
Golongan Hanafi ini menyamakan akad nikah dengan
trasnsaksi jual beli yang merupakan perjanjian timbal
balik anatara si penjual dan si pembeli. Oleh karenanya
sah dilaksanakan jika disaksikan oleh dua orang saksi
laki-laki.
Hikmah kewajiban adanya saksi dalam pernikahan
ini tidak lain adalah untuk kemaslahatan kedua belah
pihak dan masyarakat.
Misalnya salah seorang mengingkari, hal itu dapat
dielakkan dengan adanya dua orang saksi, demikian pula
halnya bila terjadi kecurigaan masyarakat, dua orang
saksi tersebut dapat menjadi pembela tentang adanya
akad nikah dari pasangan suami isteri tersebut.
Demikian pula dengan masalah yang berkaitan
dengan keturunan, apakah benar anak yang lahir berasal
dari perkawinan suami isteri tersebut. Kedua orang saksi
dapat memberiikan kesaksiannya. (Depag, 19984/1985.
H. 109)

73
BAB VI
WALI NIKAH DAN PERMASALAHANNYA

Wali adalah orang yang mengakad nikahkan sehingga nikah itu


menjadi sah. Nikah yang tanpa wali adalah tidak sah. Wali adalah:
ayah dan seterusnya (Al Jaziri, 1969, h. 26). Wali adalah suatu
ketentuan hukum syara‟ yang dapat dipaksakan kepada orang lain
sesuai bidang hukumnya.
Perwalian itu ada yang umum dan ada yang khusus. Perwalian
yang khusus adalah yang berkenaan dengan manusia dan harta
benda. Pembicaraan disini membatasi pada masalah perwalian
yang berkaitan dengan manusia dan masalah wali nikah. (Sayyid
Sabiq, 1971, h. 111). Wali dalam suatu pernikahan merupakan
hukum yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang
bertindak menikahkannya atau memberii izin pernikahannya. Wali
dapat langsung melaksanakan akad nikah itu atau mewakilkannya
kepada orang lain yang bertindak sebagai wali adalah seorang laki-
laki yang memenuhi syarat hukum agama seperti: Islam, baliqh
dan cakap.
Ada beberapa macam wali yang dapat bertindak sebagai wali
nikah:
a. Wali nasab
b. Wali hakim
A. Wali nasab
Wali nasab tersiri dari 4 kelompok. Urutan kedudukan
kelompok satu didahulukan dari kelompok yang lain berdsarkan
erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai
wanita.
1. Kelompok pertama adalah kerabat laki-laki garis lurus ke
atas yakni: ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

74
2. Kelompok kedua adalah kerabat saudara laki-laki kandung
atau saudara laki-laki seayah dan keturunan anak laki-laki
mereka.
3. Kelompk ketiga adalah kelompok kerabat paman yakni
saudara laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dan
keturunan anak laki-laki mereka.
4. Kelompok keempat adalah saudara laki-laki kandung kakek,
saudara laki-laki seayah kakek, dan keturunan anak lakil-laki
mereka.
Apabila dalam satu kelompok wali terdapat beberapa orang
yang sama-sama menjadi wali maka yang paling berhak adalah
yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai
wanita. Jika dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya
maka yang paling berhak menjadi wali adalah kerabat kandung
atau kerabat seayah kalau dalam satu kelompok derajat
kekerabatannya sama-sama yakni sama-sama derajat kandung
atau sama-sama kerabat seayah, maka mereka sama-sama
berhak menjadi wali dengan mengutamakan yang lebih tua dan
memenuhi syarat-syarat wali. Apabila yang paling berhak
urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali, misalnya wali
itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah uzur maka
hak menjadi wali bergeser kepada wali yang lain menurut
urutan derajat berikutnya.
1. Pesryaratan wali
Wali merupakan persyaratan mutlak dalam suatu akad
nikah. Sebagian fuqaha menamakannya sebagai rukun nikah,
sedangkan sebagian lain menetapkan sebagai syarat sah
nikah. Pendapat ini adalah pendapat sebagian besar para
ulama. Mereka beralasan dengan Dalil Al Qur‟an dan Hadits
sebagai berikut:
Firman Allah SWT:

75
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan diantara
mereka dengan cara yang ma'ruf”. (At-taubah: 232)
Asbabun nuzul ayat ini adalah berdasarkan suatu riwayat
yang mengemukakan bahwa Ma‟qil Ibn Yasar mengawinkan
saudara perempuannya kepada seorang laki-laki muslim.
Beberapa lama kemudia diceraikannya dengan satu talak, setelah
habis iddhanya, mereka berdua ingin kembali lagi, maka
datanglah laki-laki tadi bersama-sama Umar Ibn Khattab untuk
meminangnya. Ma‟qil menjawab; hai orang celaka, aku
memuliakan kau dan aku kawinkan kau dengan saudaraku tapi
kau ceraikan dia. Demi Allah dia tidak akan ku kembalikan
kepadamu, maka turunlah ayat At-taubah 232.
Ayat ini melarang wali menghalang-halangi hasrat
perkawinan kedua orang itu. Setelah Ma‟qil mendengar ayat itu,
maka dia berkata: aku dengar dan aku taati Tuhan. Dia
memanggil orang itu dan berkata; aku nikahkan engkau
kepadanya dan aku muliakan engkau. (HR Al Buchari, Abu Daud
dan Tarmizi) (Qomaruddin Shaleh, h. 78)
Dari penjelasan di atas wanita tidak bisa mengwinkan
dirinya sendiri tanpa wali. Andaikata wanita itu dapat
mengawinkan dirinya sendiri tentunya dia akan melakukan itu.
Maqin Ibn Yasar tentunya tidak akan dapat menghalang-halangi
pernikahan saudara wanitanya itu andaikata kekuasaan itu ada
pada diri saudara wanitanya.
76
Ayat ini merupakan dalil yang tepat untuk menetapkan wali
sebagai rukun atau syarat sah nikah, dan wanita tidak dapat
menikahkan dirinya sendiri.
Sabda Rasulullah Saw
ً ‫طفىنً ىكاحهاطب‬،‫اطل‬ ً ً ً ً ً ً ً ً ‫أىمُّيىاطامرأىةوطنى ىكح‬
‫ط‬،‫اط هل‬ ‫يى ى‬ ‫اح ىهاطبى ه‬ ‫طفىن ىك ي‬،‫اح ىهاطبىاط هل‬ ‫تطبغى ْمًريطإ ْمذف ىطكايِّػ ىهاطفىن ىك ي‬
‫ى ْم‬ ‫ْم ى‬
ً ً ً
‫طفىًإف ْم‬،‫اطاستى ىح َّلطم ْمنطفىػ ْمرج ىها‬ ً ً
‫طم ْمنطالىط‬ ‫طاشتى ىجيرْمكاطفىاا مس ْملطىا يف ىطكً م‬
‫ِل ى‬ ‫طد ىخ ىلطهبىاطفىػلى ىهاطااْم ىم ْمهيرطِبى ْم‬‫فىًإ ْمف ى‬
َّ ً‫ىك‬
.‫ِلطاىطوي‬
Artinya
“Dari Aisyah, Rasulullah Saw bersabda: Siapapun diantara
wanita yang menikah tanpa seizing walinya, maka nikahnya batal,
jika lelakinya telah menyenggamainya maka ia berhak atas
maharnya, karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika pihak
wali enggan menikahkan maka hakimlah yang bertindak menjadi
wali bagi seseorang yang tidak ada walinya”. (HR Ahmad, Abu
Daud, Ibnu Majah dan Tarmizi)
Sabda Rasulullah Saw
ٌٟٛ‫صٍغ ال ٔىبح أال ث‬ٛ‫ ػٓ اثىٗ فب ي لب ي سع‬ٝ‫ع‬ِٛ ٝ‫ ثشدح ثٓ اث‬ٝ‫ اث‬ٝ‫ف‬
Artinya
“Dari Abi Burdah Ibn Abi Musa dari ayahnya, berkata dia:
bersabda Rasulullah Saw tidak sah nikah kecuali dengan wali”.
(HR Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Hiban dan Al Hakim)
Sebagian besar para ulama berpendapat bahwa
perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan. karena wanita
suka dipengaruhi oleh perasaannya, maka ia tidak pandai
memilih sehingga tidak dapat memperoleh tujuan-tujuan
utama perkawinan. Para wanita tidak boleh mengurus
langsung akadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada
walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai
dengan sempurna.
Pendapat yang berbeda dengan pendapat sebagian
besar para ulama adalah pendapat Abu Hanifah dan Abu

77
Yusuf. Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam suatu
pernikahan. Perempuan yang sudah baligh dan berakal boleh
mengawinkan dirinya sendiri tetapi wajib dihadiri oleh dua
orang saksi. Sedang Malik berpendapat, wali adalah syarat
untuk mengawinkan perempuan bangSawan bukan untuk
mengawinkan perempuan awam. Anak kecil, budak dan
orang gila tidak dapat menjadi wali.
Bagaiamana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk
menjadi wali atas diri mereka sendiri mereka tidak mampu.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf berkata:
“Sesungguhnya seorang perempuan yang berakal, yang dewasa
berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia itu gadis
ataupun janda… akan tetapai yang disukai adalah apabila ia
menyerahkan akad perwalinannya kepada walinya, karena menjaga
pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain apabila ia
melakukan sendiri akad nikahnya. Akan tetapi bagi walinya yang
„asib, ahli waris, tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia
melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak
sepadan atau apabila maskawinnya lebih rendah daripada mahar
misil”. (Depag, 1984/1985, h. 101-102)
2. Wali mujibir dan masalah kawin paksa
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ada 4 golongan
wali. Pada kelompok pertama terdapat ayah, kakak dari
pihak ayah dan seterusnya. Menurut Imam Asyafii
kelompok pertama yaitu ayah dan ayah dari ayah adalah
wali mujbir. Wali mujibir adalah seorang wali yang berhak
mengawinkan tanpa menunggu keredhaan yang dikawinkan
itu.
Golongan Hanafi berpendapat wali mujibir berlaku juga
bagi „Asabah seketurunan terhadap anak yang masih kecil,
orang gila, dan orang yang kurang akalnya atau orang yang
berada di bawah pengampunan.
78
Adapun golongan diluar hanafi membedakan antara anak
yang masih kecil dengan orang gila dan orang kurang akal
yaitu wali mujbir bagi orang gila dan kurang akal adalah
ayahnya, ayah dari ayahnya yaitu kakek dan hakim.
Sedangkan wali mujibir bagi anak laki-laki dan anak
perempuan yang masih kecil mereka perselisihkan. (Depag,
1984/1985, h. 108)
Masalah kawin paksa adalah kewenangan wali mujbir
untuk menikahkan anaknya yang masih perawan atau sudah
janda tapi belum bersetubuh, tanpa izin yang bersangkutan
dengan seorang pria yang sepadan atau kufu.
Pada Kitab I‟anaatuthalibin juz III hal 308-309 diibaratkan
kewenangan ini sebagai berikut: yang dinamakan wali itu,
ayah, maka pada waktu ayah tidak ada atau halangan syara‟,
maka ayah dari ayah dan seterusnya ke atas. Maka ayah atau
ayah dapat menikahkan anaknya yang perawan atau janda
yang belum bersetubuh, tanpa izinnya. Maka tidak
disyaratkan izin dari yang bersangkutan baik dia sudah
baliqh atau belum oleh karena sempurnanya kasih sayang
dari ayah atau kakeknya itu.
Alasannya ialah hadits riwayat Darul Quthni: seorang
janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya, tapi
seorang bikr dikawinkan oleh ayahnya kepada seorang pria
yang kufu, atau sepadan dengannya lagi sanggup membayar
mahar misil.
Jika wali mujbir, ayah atau datuk menikahkannya kepada
pria yang bukan kufu maka nikahnya tidak sah. Dalam pada
itu pendapat sebagian ulama yang lain tidak sah menikahkan
seorang bikr (gadis) atau janda tanpa persetujuan yang
bersangkutan.

79
Pembicaraan di atas sesungguhnya lebih dititik beratkan
pada seorang gadis yang sudah dewasa maka ayah kandung
dan atau datuknya boleh menikahkannya tanpa persetujuan
yang bersangkutan, sebab ia belum punya pendapat. Jadi
ayah kandung dan datuknya yang mengurus dan
memelihara haknya.
Golongan syafii menganjurkan agar ayah dan datuk tidak
menikahkan wanita yang masih anak-anak sehingga ia
cukup dewasa dan dengan seizinnya, agar sianak nantinya
tidak terjatuh pada pria yang tidak disukainya.
Dalam pada itu Abu Bakar sendiri menikahkan puterinya
Aisyah dengan Rasulullah Saw sewaktu Aisyah masih anak-
anak tanpa persetujuan Aisyah terlebih dahulu. Pada
umumnya yang demikian tidak dapat kita mintai
persetujuannya karena yang bersangkutan belum dapat
memberiikan persetujuannya.
3. Persetujuan untuk nikah
Berdasarkan beberapa hadits dan „urf hendaknya seorang
wanita mempunyai dan memintai terlebih dahulu
persetujuan wanita yang akan dinikahkan itu.
Pernikahan sesungguhnya pergaulan abadi dan
perekutuan suami yang langgeng, lestari, serasi, dan
diharapkan cinta dan persahabatan itu akan terus menerus
terbina dan terwujud. Yang demikian ini tidak akan kita
peroleh manakala belum atau tidak diperoleh keredhaan
kedua belah pihak sebelum akad nikah itu dilaksanakan.
Sabda Rasulullah Saw
‫طااثيبطاطحقطبنفسهاطمنطكطايهاطكطاابكرط‬:‫عنطابنطعباطسطافطرطسلطؿطااهللطصلعطقاطؿ‬
‫تستأطذطفطَبطنفسىهاطكطاطذطنىهاطشلاطهتاط–طركاهطاالطاطابخاطرلط‬

80
Artinya
“Dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda: janda itu lebih
berhak atas dirinya sedang seorang gadis hendaklah dimintai
izinnya, dan izin si gadis itu adalah diamnya”. (HR Jamaah kecuali
Buchari)
Sabda Rasulullah Saw
‫كطاابكرطيستاطمرطىاطابلىا‬
Artinya
“Dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya” (HR
Ahmad, Muslim Abu Daud dan An Nasai)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطاىبطىريرةطرضطافطرسلطؿطاهللطصلعطقاطؿطالطتنكعطاالطميطحىتطتستأطمرطكطالطاابكرط‬
-‫حستأطذطفطقاطالاطياطكسلطؿطاهللطكيفطاطذطهناطقاطؿطاطفطتسكتط‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda: janda tidak
boleh dinikahkan sebelum diajak berunding dan gadis sebelum
dimintai persetujuannya. Mereka bertanya; Wahai Rasulullah,
bagaimanakah persetujuannya itu? Jawabnya; Diamnya adalah
merupakan izinnya”. (HR Ahmad, Muslim, Abu Daud, dan An
Nasai)
Manakala terjadi penolakan dari pihak mempelai
perempuan atas pernikahan yang dilakukan oleh walinya,
maka nikahnya batal, dibatalkan atau yang bersangkutan
dapat memilih apakah akan kawin atau tidak. Sabda
Rasulullah Saw
‫عنطمخساءطبنتطخالـطافطاباطىاطزكجىهاطكطىىطثيبطفاطتتطرسلؿطاهللطصلعطفردطنكاط‬
‫حهاط–طركاهطاجلماطعةطاالطملما‬

Artinya
“Dari Khosak Ibn Khilam bahwa ia dinikahkan oleh ayahnya
setelah ia janda, maka ia datang kepada Rasulullah mengadukan

81
perkaranya, maka Rasulullah membatalkan pernikahannya itu”.
(HR Jamaah kecuali Muslim)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطابنطعباسطافطجريةطبكراطاتتطرسلطؿطاهللطصلوطفذطكرتطاوطافطاباطىاطزكطجهاطكط‬
‫ىىطكاطرمةطفخريطىاطاانىبط–طركاهطامحدطكطابلطداطكدطكطابنطماطجوطكطااداطرطقطىن‬
Artinya
“Dari Ibnu Abbas seorang gadis datang kepada Rasulullah Saw
menceritakan kepada beliau, bahwa ayahnya telah menikahkannya
sedang ia (perempuan itu) tidak suka. Nabi menyuruh meilih
kepada perempuan itu”. (HR Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan
Adaruuthoni)
4. Wali „adhal atau wali enggan
Para ulama berpendapat bahwa seorang wali nikah tidak
berhak merintangi seorang wanita yang ingin dinikahkan
dengan seorang laki-laki yang sepadan atau kufu dengannya
dan laki-laki itu mau membayar mahar misil.
Andaikata seorang wali berbuat demikian maka wali itu
dinamakan wali „adhal.
Dalam hal demikian wanita itu dapat megadukan
perkaranya/masalahnya kepada pengadilan dan manakala
pengadilan telah menyetujui/mengesahkan pengaduannya
maka yang bertindak pada waktu itu adalah wali hakim.
Lain halnya kalau wanita itu ingi dinikahkan kepada seorang
laki-laki yang tidak sepadan (tidak kufu) dan tidak sanggup
membayar mahar misil atau ada peminang lain menurut wali
lebih sesuai dan derajatnya lebih baik, maka keadaan
perwalian seperti ini tidak dinamakan wali „adhal dan
perwaiannya tidak pindah ke tangan orang lain, karena yang
demikian ini tidak menghalangi atau „adhal.

82
Sayyid Bakrie dalam buku I‟anatuthalibin juz III
menjelaskan bahwa wali hakim dapat menikahkan seseorang
wanita manakala wali nasabnya tidak ada, atau tidak
mungkin menghadirkannya, atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib, atau wali udhul atau wali enggan.
(Sayyid Bakrie III, h. 314-317).
Di Indonesia wali hakim ialah wali yang ditunjuk dan
diberi hak serta wewenang untuk bertindak sebagai wali
nikah. Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim
baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada
keputusan dari yang berwenang tentang hal itu.
Seorang wali tidak boleh adhal atau enggan atau
menghalang-halangi pernikahan seorang wanita dengan
seorang laki-laki sepadan dan sanggup membayar mahar
misil, adalah seperti firman Allah SWT dalam surat Al
Baqarah 232 yang telah dijelaskan dimuka dengan asbabun
nuzul tentang Ma‟qil Ibn Yasar yang menikahkan
saudaranya dengan seorang laki-laki anak pamannya.
B. Wali hakim
Telah diterangkan bahwa yang dapat bertindak sebagai wali
nikah itu adalah wali nasab atau wali hakim. Tentang wali nasab
telah dijelaskan pada penjelasan yang lalu. Wewenang wali
nasab berpindah ke tangan wali hakim apabila:
1. Ada pertentangan diantaran para wali itu.
2. Bilamana wali nasab tidak ada, atau ada tetapi tidak
mungkin menghadrikannya, atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau ghaib atau adhal/enggan.

83
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطعائثةطرضطقاطاتطقاطؿطرسلطؿطاهللطصلعطاُّياطامرطأةطنكحتطبفريطاذفطكايهاطفنكاط‬
‫فنكاطحهاطباططلطفاطفطدطخلطهباطفلهاطادلهىطِباطاستلطمنطفرطجهاطفاطفطاشتجركاطفاط‬
‫اسلطاطفطكطىلطمنطالطكطىلطذلاط–طركاهطاخلسةطاؿطاانساطئى‬
Artinya
“Wanita mana saja yang nikah tanpa izin walinya pernikahannya
itu batal”. Apabila sang suami telah melakukn hubungan seksual si
wanita itu sudah berhak mendapatkan maskawin lantaran apa yang
telah ia buat halal pada kemaluan wanita itu. Apabila para wali itu
engan, maka sulthanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak
ada walinya”. (HR Khamsah kecuali An Nasai)
Sabda Rasulullah :
‫عنطابنطعباسطافطرسلؿطاهللطصلعطقاطؿطالطنكاحطاالطبسلىلطكاطاسطاطفطكطىلطمنطالطكط‬
‫ىلطاسوط–طركاهطااطبسرطاىن‬
Artinya
“Dari Ibn Abbas besabda Rasulullah; tidak sah menikah kecuali
dengan memakai wali, dan sulthan adalah wali dari orang yang
tidak punya wali”. (HR Ath Thabrani)
Syariat Islam menetapkan adanya wali hakim ini adalah
untuk menghindari kesukaran pelaksanaan suatu pernikahan,
sedangkan pernikahan itu merupakan kebutuhan dan
pelaksanaan pernikahan itu adalah wajar, karena wanita itu
ingin dinikahkan kepada seorang laki-laki yang sepadan dan
sanggup membayar mahar misil, sedangkan wali nasab tidak
ada, atau tidak mau menikahkannya.
Apabila calon mempelai tidak mau menunda pernikahannya
sampai ada wali nasab, maka hakimlah yang bertindak sebagai
wali nikah, sebab yang isinya tidak dapat menunda masalah
nikah ini manakala sudah wajar. Sabda Rasulullah Saw

84
‫ثالطثطالطيىؤطخرفطكطمنطااصالةطاذاطاطتتطكطاجلناطزطةطاذاطحلرتطكطاالطميطاذاط‬
‫كجدتطكفؤاط–طركاهطاابيهقىطكطخريهطعنطعلى‬
Artinya
“Ada tidak perkara yang tidak boleh ditunda-tunda, yaitu: shalat
bila telah tiba waktunya, jenazah bila telah siap dikebumikan, dan
perempuan bila ia telah ditemukan dengan pasangannya yang
sepadan”. (HR Baihaqi dari Ali Ibn Abi Thalib).

85
BAB VII
KAFAAH DALAM PERNIKAHAN

A. Pengertian dan ukuran kafa’ah


Kafa‟ah berarti sama, sederajat, sepadan, atau sebanding.
Maksud kafa‟ah atau kufu dalam pernikahan adalah laki-laki
sebanding dengan calon isterinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
kekayaan.
Tidak diragukan lagi jika kedudukan antara calon mempelai
laki-laki dengan calon mempelai wanita sebanding, akan
merupakan faktor kebahagaiaan hidup suami isteri dan lebih
menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan kegoncangan
rumah tangga terutama bagi calon isteri itu. (Sayyid Sabiq: 126)
Arti kata serupa, seimbang dan serasi. Maksudnya
keseimbangan dan keserasian antara calon isteri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan. (Depag, 1984/1985 h. 95)

Ukuran kafa’ah.
Untuk dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga
yang sakinah mawaddah, dan rahmah, Islam menganjurkan agar
adanya keseimbangan atau keserasian, kesepadanan dan
kesebandingan antara kedua calon suami isteri.
Tapi hal ini bukanlah merupakan satu hal yang mutlak,
melainkan satu hal yang harus diperhatikan guna tercapainya
tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi.
Pada prinsipnya Islam memandang sama kedudukan umat
manusia. Kedudukan manusia hanya dibedakan oleh taqwa
tidaknya seseorang tersebut., Firman Allah SWT:

86
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. (al hujarat : 13)
Sabda Rasulullah Saw
‫ااناطسطسلاطسيةطكاطسناطفطادلشططاالاطحدالطفللطدلريبطعلىطاعجيطاالطباطاتقللط–طركاهطابلط‬
‫داكد‬
Artinya
“Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan
bagi orang arab atas orang ajam bukan arab kecuali dengan taqwa”.
(HR Abu Daud)
Jelaslah bahwa taqwalah yang membedakan manusia dengan
yang lain menurut pandangan Allah, bukn masalah
Kebangsawanan, kebangsaan, harta atau kecantikan. Berbicara
masalah taqwa, berarti berbicara tentang agama dan akhlak.
Bobot utama dalam masalah kafa‟ah atau kufu ini adalah agama
dan akhlak. Adapun yang selain itu adalah merupakan bobot
pelangkap, Sabda Rasulullah Saw
ً ‫لؿطاالَّ ًوطصلَّىطاالَّوطعلىي ًوطكسلَّضطإًذىاطجاء يكضطمنطتىػرضل ىف‬
‫طدينىويط‬ ‫ي ى ْم ى ى ى ى ى ْم ى ْم ْم ى ْم‬ ‫ى‬ ‫اؿ ىطر يس ي‬ ‫اؿطقى ى‬‫اًبطااْم يمىزًِنِّطقى ى‬ ‫طح ًو‬
‫ىع ْمنطأًىيب ى‬
‫لؿطاالَّ ًو ىطكإً ْمفط ىكا ىفطفً ًيوطقى ى‬
‫اؿط‬ ‫اطر يس ى‬
‫ادطقىاايلاطيى ى‬
‫ض ىطكفى ىس ه‬ ‫ىك يخلي ىقويطفىأىنْم ًك يحلهيطإًَّالطتىػ ْمف ىعليلاطتى يك ْمنطفًْمتػنىةه ًطُب ْم‬
ً ‫طاْل ْمىر‬
‫طمَّر وط‬ ً
‫ات‬ ‫ثى‬ ‫ض ْمل ىفطدينىوي ىطك يخلي ىقويطفىأىنْم ًك يحلهيطثىىال ى‬ ‫طم ْمنطتىػ ْمر ى‬
‫اطجاءى يك ْمض ى‬
‫إ ىذ ى‬
ً
Artinya
“Jika datang padamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai
maka nikahilah ia, jika kamu tidak berbuat demikian akan terjadilah
fitnah, dan kerusakan yang hebat di atas bumi ini, lalu para sahabat
87
bertanya; wahai Rasulullah, bagaimana kalau ia sudah punya?
Jawabnya; jika datang kepadamu laki-laki yang akhlaknya dan
agamanya kau sukai, hendaklah engkau kawinkan dia, hendaklah
engkau kawinkan dia, hendaklah engkau kawinkan dia”. (HR Tarmidzi)
Dalam hadits ini Rasulullah mengarahkan sabdanya kepada
para wali agar mereka mau menikahkan wanita yang di bawah
perwaliannya kepada laki-laki yang beragama dan berakhlak
luhur, yang berarti pula laki-laki yang bertaqwa kepada Allah
SWT.
Pendapat jumhur ulama Fiqh:
a. Golongan Hanafiyah berpendapat:
Sesungguhnya kafa‟ah adalah persamaan antara seorang
calon laki-laki dengan calon wanita dalam beberapa masalah
tertentu seperti:
1. Keturunan
2. Islam
3. Pekerjaan
4. Merdeka
5. Agama
6. Harta (Al Jaziri, 1969, h. 54)
b. Golongan Malikiyah berpendapat:
Kafa‟ah dalam nikah adalah sebanding dalam dua urusan,
1. Masalah agama
(jadi orang tersebut harus orang muslim yang tidak fasiq)
2. Calon pria bebas dari cacat yang besar yang dapat
mengakibatkan wanita tersebut dapat melaksanakan hak
khiar atau hak pilihnya seperti: penyakit supak, gila atau
penyakit kusta. Yang kedua ini adalah hak wanita bukan
hak wali.
c. Golongan Syafiiah berpendapat bahwa:
Kafa‟ah itu adalah dalam masalah tidak adanya aib. Kalau
salah satu diantaranya ada aib yang lain dapat membatalkan

88
perkawinan itu atau fasakh. Yang perlu dipertimbangkan
dalam masalah kafa‟ah ini adalah keturuna, agama, merdeka
dan pekerjaan. (Al Jaziri, 1969, h. 58-59)
B. Hak atas kafa’ah
Yang berhak atas kafa‟ah itu adalah wanita dan yang
berekewajiban harus kafaah adalah pria. Jadi yang kami
persyaratkan harus kufu atau harus setaraf itu adalah laki-laki
terhadap wanita. Kafa‟ah ini adalah masalah yang harus
diperhitungkan dalam melaksanakan suatu pernikahan, bukan
untuk sahnya suatu pernikahan. Kafa‟ah ini adalah hak wanita
dan wali. Oleh karena itu keduanya berhak menggugurkan
kafa‟ah.
Kesimpulannya, kafa‟ah itu diperhitungkan sebagai syarat
sah nikah manakala si wanita tidak ridha, kalau dia ridha
kafa‟ah tidak menjadi persyaratan sah atau tidaknya nikah.
(Sayyid Bakri. III, H. 330)
Kalau laki-laki lebih tinggi kedudukannya, derajatnya,
agamanya, dan kejujurannya dari wanita bukan menjadi
masalah. Sabda Rasulullah Saw
ٚ ‫ب‬ٙ‫ب صُ ػزم‬ٙ١ٌ‫ ا دغٓ ا‬ٚ ‫ب‬ّٙ١ٍ‫ ادغٓ رؼ‬ٚ ‫ب‬ٍّٙ‫خ فؼ‬٠‫ صٍغ لب ي ِٓ وب ْ ػٕذٖ جب س‬ٝ‫اْ إٌج‬
ٍُ‫ ِغ‬ٚ ٜ‫اٖ اٌجخب س‬ٚ‫ب فٍٗ اجشاْ – س‬ٙ‫ ج‬ٚ‫رشص‬
Artinya
“Bahwa sesunguhnya Nabi Saw bersabda: Barang siapa mempunyai
seorang budak perempuan lalu diajarkannya dengan pelajaran yang
baik kepadanya, kemudian dimerdekakan dan terus dinikahinya, maka
orang itu mendapat dua pahala”. (HR Buchari- Muslim)

89
BAB VIII
MAHAR NIKAH DAN WALIMAH

1. Defenisi mahar dan dasar hukumnya


Mahar adalah nama suatu benda yang wajib diberikan oleh
seorang pria kepada seorang wanita yang disebut dalam akad
nikah sebagai pernyataan persetujua antara pria dan wanita itu
untuk hidup bersama sebagai suami isteri (Al Jaziri, 1969, h. 94).
Mahar adalah harta atau manfaat yang wajib diberikan oleh
seorang pria terhadap seorang wanita dengan sebab nikah atau
watha‟. Mahar itu sunat disebutkan jumlah atau bentuk
barangnya dalam akad nikah. Apa saja barang yang ada nilai
(harta) nya sah untuk dijadikan mahar. (Sayyid Bakri, III, H. 346-
347).
Disunatkan menyebut mahar di dalam akad nikah. Maka
jikalau tidak disebut, nikah tetap sah dan wajib membayar
mahar misil. (Safiuddin: 37)
Dari telaah buku-buku fiqh dapat disimpulkan bahwa mahar
itu berupa pemberian dari calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita baik berbentuk barang, maupun jasa yang
tidak bertentangan dengan agama Islam.
Calon mempelai pria wajib membayar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati
kedua belah pihak. Apabila sudah disepakati bentuk jumlah dan
jenisnya maka dengan sendirinya mahar tersebut mengikat
kedua belah pihak.
Besar dan bentuk mahar hendaknya berpedoman kepada
kesederhanaan dan ajaran kemudahan yang dianjurkan Islam,
sehingga besar dan bentuk mahar itu tidak sampai
memberiatkan calon mempelai pria. Pemberian mahar langsung

90
diberikan kepada calon mempelai wanita. Mahar tersebut
menjadi hak pribadi sepenuhnya calon mempelai wanita
tersebut. Dalam pada itu calon mempelai wanita berhak
merelakan penggunaannya oleh pihak calon mempelai pria
dikemudian hari. Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬
Artinya
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)
sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang
hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya”.(An Nisa: 4)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain,
sedang kamu telah memberiikan kepada seseorang di antara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa
yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal
sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai
suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”. (An Nisa: 20-21)

91
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ططط‬ 
Artinya
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka”. (An Nisa: 34)
Dari uraian di atas jelaslah bahwa mahar adalah pemberian
pria kepada wanita sebagai pemberian wajib. Dalam pada itu
mahar adalah untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan
tali kasih sayang dan cinta mencintai antara suami isteri. Dengan
syari‟at mahar ini jelas bahwa Islam sangat memperhatikan dan
menghargai kedudukan wanita. Islam juga memberiikan hak
dan wewenang untuk mengurus harta wanita itu dan mengurus
diri sendiri.
Pada zaman jahiliyah dahulu, hak dan kedudukan wanita itu
dihilangkan atau disia-siakan. Mahar pada zaman jahiliyah tidak
diberikan kepada wanita tetapi diberikan kepada ayahnya.
Ayahnyalah yang berhak dan berwenang atas mahar itu. Islam
datang menghapuskan kebiasaan jahiliyah yang salah tersebut.
Jumlah dan bentuk mahar sebaiknya bersifat sederhana.
Dalil-dalil, petunjuk atau hadits-hadits yang berkaitan dengan
masalah ini antara lain: Sabda Rasulullah Saw
‫عنطعاطمرطبنطربيعوطافطامرطأةطمنطبىنطفزارةطتزطكطجتطعلىطنعلنيطفقاطؿطرسلطؿطاهللطصلعط‬
‫ارطميتطعنطنفسكطكطحاطاكطبنعىلنيطفقاطاتطنعضطفاطجاطزهط–طركاهطامحدطكطابنطماطجوطكط‬
‫اارتمذل‬

92
Artinya
“Dari Amir Ibn Rabi‟ah, bahwa sesungguhnya seorang wanita dari
bani Fiarazah telah kawin dengan mahar sepasang sandal, Rasulullah
Saw apakah engkau relakan dirimu dan milikmu dengan sepasang
sandal? Jawab wanita itu; ya, lalu nabi membolehkannya”. (HR
Ahmad, Ubn Majah dan Tarmidzi).
Sabda Rasulullah Saw
ً ‫اطُبطااْم ىقلًـطإً ْمذطدخلىتطامرأىةهطفىػ ىقااىتطياطرس ى‬ ً ‫طس ْمع ودطيػى يق يلْلىنى‬
‫تط‬ ‫لؿطاالَّوطإًنػ ىَّهاطقى ْمد ىطكىىبى ْم‬ ‫ْم ى ى ي‬ ‫ْم ى ى ْم ْم ى‬ ‫عنطس ْمه ىلطبْم ىن ى‬
‫ى‬
ً
‫اؿطاىويطعْمن ىد ىؾط‬ ً
‫تطااثَّااثىةىطفىػ ىق ى‬ ً ً ً
‫طح َّىتطقى ىام ْم‬
‫طُيْمبوي ى‬ ‫اؿ ىطر يج هل ىطزِّك ْمجن ىيهاطفىػلى ْمض ي‬‫كطفىػ ىق ى‬‫اطرأْميى ى‬
‫كطفىػىرطف ىيه ى‬ ‫نػى ْمف ىس ىهاطاى ى‬
‫اؿط‬
‫يدطقى ى‬ ‫اطمنطح ًد و‬ ً ‫اؿط ىملْمطأ ًىج ْمدطقى ى‬
‫طخامتىن ْم ى‬ ‫ب ىطكاى ْمل ى‬ ‫بطفىاطْملي ْم‬‫اؿطفى ْماذ ىى ْم‬ ‫بطقى ى‬ ‫بطفىاطْملي ْم‬ ‫طاذ ىى ْم‬‫اؿ ْم‬ ‫اؿ ىطالطقى ى‬
‫ىش ْميءهطقى ى‬
‫اطك يس ىلرةيط ىك ىذاط‬ ً ‫ك ًطمنطااْم يقر‬ ‫اطمنطح ًد و‬ ً
‫طس ىلرةيط ىك ىذ ى‬ ‫اؿطنػى ىع ْمض ي‬
‫طش ْميءهطقى ى‬
‫آف ى‬ ‫طم ىع ى ْم ْم‬ ‫طى ْمل ى‬‫اؿ ى‬ ‫يدطقى ى‬ ‫طخامتىن ْم ى‬ ‫ت ى‬ ‫اطك ىج ْمد ي‬
‫ىم ى‬
‫ك ًطم ْمنطااْم يق ْمر ًط‬
‫آف‬ ‫اطم ىع ى‬
‫ىطم ى‬ ‫اطعلى ى‬ ‫اؿطقى ْمدطأىنْم ىك ْمحتي ىك ىه ى‬‫قى ى‬
Artinya
“Dari Sahl ibn Sa‟ad bahwa telah datang seorang wanita kepada
Rasul, berkata wanita itu; wahai Rasulullah sesungguhnya akau
menyerahkan diriku kepadamu, lalu ia berdiri lama sekali, kemudian
tampil seorang laki-laki dan berkata: ya Rasulullah kawinkanlah aku
kepada wanita ini, seandainya engkau tiada berhasrat kepadanya.
Rasulullah menjawab: apakah engkau mempunyai sesuatu untuk
membayar mahar kepadanya? Jawab laki-laki itu: saya tidak punya apa-
apa kecuali sarung yang sedang saya pakai ini. Nabi berkata lagi: jika
engkau berikan sarung itu kepadanya, tentang engkau akan duduk
tanpa berkain lagi, karena itu carilah sesuatu yang lain. Lalu ia
mencari tetapi tidak mendapatkan apa-apa. Maka Rasulullah bersabda
lagi kepadanya: adakah padamu sesuatu ayat al qur‟an? Jawabnya; ada,
yaitu surat anu dan surat anu. Lalu nabi bersabda: sekarang kamu
berdua saya nikahkan dengan mahar ayat al qur‟an yang ada padamu
itu”. (HR Buhari)
Dalam riwayat-riwayat yang lain disebutkan: ajarkanlah
kepadanya ayat-ayat al qur‟an. Ada juga riwayat dari Abu
Hurairah yang mengatakan bahwa jumlah itu ada 20 ayat. Ini
adalah dalil mahar yang sederhana dan dapat juga berbentuk
93
jasa yaitu membaca al qur‟an atau mengajarkan Al Qur‟an. sabda
Rasulullah SAW:
‫كطقاطؿطُّينطادلرطأطخفةطمسهرطىاطكطيسرطنكاطحهاطكطحسنطخلقهاطكطشلطمهاطخالطءطمهرط‬
.‫ىاطكطعسرطنكاطحهاطكطسلءطخلسقىها‬
Artinya
“Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya,
memudahkan dalam urusan pernikahannya dan baik akhlaknya.
Sedangkan perempuan yang celaka adalah maharnya mahal, sulit
pernikahannya dan buruk akhlaknya”.
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطاطفطاطباططلحةطخطبطاـطسليضطفقاؿطكاطاهللطماطمثلكطيرطدطكطاكنكطكاطفركطاطناطمسلعةط‬
‫كطالطحيلطىلطافطاتزكطجكطفاطفطتسلضطفذطاكطمسهرلطكالطاطسئلكطخريهطفكاطفطذاكطمهرط‬
‫ىاط–طركاهطاانساطئىط‬
Artinya
“Dari Anas, sesungguhnya Abu Thalhah telah melamar Ummu
Sulaim kemudian Ummu Sulaim berkata: demi Allah orang seperti
engkau tidaklah pantas aku tolak lamarannya. Akan tetapi engkau
adalah seorang kafir, sedangkan saya adalah seorang muslimah, dan
karenanya tidak halal bagi saya nikah dengan engkau. Kalau engkau
masuk Islam itu adalah mahar bagiku dan saya tidak akan meminta
kepadamu mahar yang lain daripada itu, dan akhirnya memang itulah
yang menjadi maharnya”. (HR An Nasai)
Jika didalam suatu akad nikah tidak disebutkan jumlah dan
bentuk mahar, maka nikah tersebut sah dan nikah itu disebut
dengan nikah takwil. Takwil yaitu jumlah mahar terserah nanti
sesudah nikah. Mempelai pria wajib membayar mahar misil
kepada mempelai wanita. Mahar misil yaitu mahar yang
seharusnya diberikan kepada mempelai wanita yang jumlah dan
bentuknya sama dengan yang harus diterima oleh wanita lain.
Ukuran kesamaannya itu terletak pada segi umur, kecantikan,
harta, akal, agama, kegadisannya, kejandaannya, dan lain
94
sebagainya, ketika akad nikah itu dilangsungkan. Jika faktor-
faktor tersebut berbeda, maka akan berbeda pulalah maharnya.
Ada juga ulama yang memakai ukuran mahar ini kepada
saudara wanita kandungnya, bibinya, putri-putri bibinya dan
lain-lain.
Jika dalam suatu akad nikah jumlah dan bentuk mahar sudah
ditentukan, tetapi belum diberikan dan suami isteri itu cerai
sebelum melaksanakan hubungan kelamin, maka si pria hanya
wajib membayar setengah dari yang telah ditentukan.

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ 


Artinya
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan
maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu”. (Al Baqarah: 237)
2. Mahar kontan atau berhutang
Pembayaran mahar hendaknya dilakukan dengan kontan,
apabila calon mempelai wanita menyetujui pembayaran mahar
boleh ditangguhkan, baik seluruhnya atau untuk sebagian. Maka
yang belum dibayar kontan pembayarannya menjadi hutang
calon pria. Hutang mahar seperti itu wajib dilunasi dengan cara
dan waktu sesuai dengan perjanjian. Jika calon mempelai wanita
rela menghapuskan hutang mahar seluruhnya atau
sebahagiannya, maka gugurlah yang telah dihapuskan itu.
Sabda Rasulullah Saw

95
‫عنطابنطعباسطافطاانىبطصلعطمنعطعلياطافطيدطخلطبفاططمةطحىتطيعطيهاطشيئاطفقاؿطماط‬
‫عندلطشيئطفقاطؿطفاطينطدرطعكطاحلطمىةطفاطعطاهطاباطىاط–طركاهطابلطداكدطكطاانساطئىطكط‬
‫احلاكضط‬
Artinya
“Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa nabi Saw melarang ali mengumpuli
Fatimah sampai ia memberiikan sasuatu kepadanya, lalu jawabnya;
saya tidak punya apa-apa, maka sabda Rasul: dimanakah baju besi
hutanniahmu itu, lalu diberikanlah barang itu kepada Fatimah”. (HR
Abu Daud, An Nasai dan Hakim )
Sabda Rasulullah Saw
‫طامرطىنطرسلؿطاهللططصلعطافطادطخلطاطمراةطعلىطزكطجهاطقبلطافطيعطيهاط‬:‫عنطعاطئشةطقاطات‬
‫شيئا‬
Artinya
“Dari Aisyah berkata dia: Rasulullah menyuruh saya memasukkan
perempuan ke dalam tanggungan suaminya sebelum ia membayar
sesuatu sebagai maharnya”. (HR Abu Daud dan Aibn Majah)
3. Khotbah Nikah
Khotbah nikah dilakukan oleh orang yang mengakadkan
nikah atau orang lain yang ditunjuk. Hukum khotbah nikah
sebelum akad nikah itu dilakukan adalah sunat. Kalau suatu
akad nikah tidak dibacan khotbah nikah maka nikah tersebut
tetap sah. Sabda Rasulullah Saw
‫عنطرجلطمنطبىنطسليضطقاطؿطخلبتطاىلطخلبتطاىلطاانىبطصلعطاارأةطااىتطعرضتطنفسهاط‬
‫عليوطاينزكطجهاطاانىبطصلعطفقاطؿطاىوطزكطجتكماطبىىماطمعكطمنطااقراطفطكطاىضط طب‬
Artinya
“Dari seorang laki-laki Bani Sulaim ia berkata: saya meminang lewat
Nabi Saw seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada beliau
untuk dinikahi, maka sabda beliau kepadanya: akau nikahkan engkau
berdua dengan ayat-ayat Al Qur‟an yang ada padamu dan Rasulullah
tidak mengucapkan khutbah nikah”.
96
Sebagaimana khutbah-khutbah yang lain, khutbah nikahpun
hendaknya memahami tahmid, tasyahud, shalawat, wasiat
taqwa dan ayat-ayat al quran yang berkenaan dengan masalah
nikah. Khutbah nikah itu hendaknya tidak usah panjang-panjang
tetapi ringas, padat, terang dan berisi. Demikian biasanya
Rasulullah kalau menyampaikan khutbah.
Sebagaimana diketahui bahwa akad nikah adalah suatu
syariat agama yang merupakan ibadah. Sesuatu yang baik dan
sesuatu yang penting dalam diadakan suatu penjelasan, nasehat,
menyampaikan kunci-kunci kebaikan hikmah pernikahan, hak
dan tanggung jawab dalam pernikahan dan sebagainya.
Hal semacam ini adalah salah satu bekal bagi suami isteri
yang akan melaksanakan bahtera kehidupan rumah tangga
nantinya. Dengan melaksanakan akad nikah sekaligus kita telah
menyebarluaskan ajaran agama kemudian mensyiarkan agama
Allah. Sabda Rasulullah Saw
‫عنطاىبطىريرةطافطرسلؿطاهللطصلىعطقاؿطكلطامرطذلطباؿطالطيبداطفيوطباطحلحمدطاهللطفقهلطأط‬
‫قطعط–طركاهطابادكدطكطابنطماجو‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw bersabda; setiap perkara
yang penting tidak dimulai padanya dengan “Alhamdulillah” maka
terputuslah keberkahannya”. (HR Abu Daud dan Ibn Majah)

Sabda Rasulullah Saw


‫طخطبةطايسطفيهاطتشهدطفهىطكاطابدطاجلذطماءط‬,‫عنطاىبطىلريرةطافطاانىبطصلعطقاطؿطكل‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda: setiap khutbah
tanpa membaca tasyahud, laksana tangan yang kena penyakit kusta”.
(HR Abu Daud dan Turmudzi)

97
Ayat-ayat yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang berkaitan
dengan wasiat, taqwa, nikah , tanggung jawab dan sebagainya.
Firman Allah SWT:

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-
benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati
melainkan dalam keadaan beragama Islam”. (Ali Imran: 102)
Friman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu
amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barang
siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar”. (Al Ahzab: 70-71)

Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
98
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. (An Nisa:
1)
‫احلمدطاهللطحنمدهطكطنسنعينوطكطنسنفرهطكطنعلطذطبوططمنطشركطانقناطكطمنطسيئاطتطعماطاىناط‬
‫كطمنطيهدطاهللطفالطمللطاوطكطمنطيلللطاهللطفالطىادطرطملطكطاشهدافطالااوطاالطاهللطحدهطالط‬
‫شريكطاوطكطاشهداطفطزلمداطعبدهطكرسلاوطط‬
Contoh khutbah nikah yang diriwayatkan dari ibnu maksud r.a:
yang artinya:
Segala puji bagi Allah. Kita memujinya dan kita memohon
pertolongan kepadanya dan memohon ampun kepadanya serta kita
mohon penjagaan kepadanya dari segala keruwatan dan keburukan
perbuatan-perbuatan kita, dan siapa yang diberi petunjuk oleh Allah
tidak akan ada siapapun yang bisa menyelesaikannya, dan siapa yang
disesatkan oleh Allah tiada siapapun yang bisa menjadi petunjuk
baginya. Dan saya bersaksi tiada tuhan selain Allah, ia amaha esa,
tiada sekutu baginya dan saya bersaksi sesungguhnya Muhammad itu
hamba Allah”Setelah kata-kata itu baru disambung dengan ayat-ayat
dan nasehat-nasehat lainnya.

4. Walimatul Ursy
Kata-kata walimah diambil dari bahasa arab ‫ ااسلطايمة‬yang
berarti berkumpul, karena banyak manusia yang berkumpul
untuk menghadiri suatu jamuan. Walimah dapat pula berarti
melaksanakan suatu jamuan makan sebagai pencetusan tanda
gembira atau lainnya.
Tetapi yang dipakai kalau menyebut walimah maksudnya
adalah walimah ursy artinya perayaan pernikahan. Dalam kitab
tafsir An Nihaya juz V hal. 226 seperti yang dikutib oleh
departemen agama dalam buku ilmu fiqh
‫ااطعاطـطااذلطييعي طعندطادلرس‬

99
Yaitu makanan yang dibuat untuk pestra perkawinan (Depag,
1984/1985, h. 115)
Menurut Sayyid Sabiq, walimah diambil dari kata-kata
walama yang arti harfiahnya berkumpul. Oleh karena pada
waktu itu berkumpul suami isteri. Dalam artian istilah berarti
jamuan khusus diadakan perayaan pesta perkawinan atau setiap
jamuan untuk pesta lainnya (Sayyid Sabiq, 1971, h. 201).

1. Hukum walimatul „ursy


Walimatul usry itu hukumnya sunnat muakkad yang
diadakan atau dibiayai oleh suami atau ayah atau nenek
suami dari hartanya.
Tidak ada ketentuan berapa besar kadar jamuan itu, tetapi
yang afdol memotong seekor kambing. Dalam kitab at
tuhfah, apabila walimah itu diadakan oleh selain suami atau
ayah suami seperti diadakan oleh ayah isteri atau nenek
isteri, maka telah terlaksana sunnat walimah itu. (Sayyid
Sabiq, 1971, h. 357)
.‫كاالطايمةطعلىطادلرسطمسنحبةطكطاالطجاطبىةطاابهاطكطاجبةطاالطمنطعذر‬
Artinya
Melaksanakan acara jamuan perayaan nikah disunnatkan. Dan
mengabulkan undangnan menghadirinya adalah wajib, kecuali
kalau ada uzur. (Taqiuddin: 37)
Golongan Jumhur berpendapat, menyelenggarakan
walimah itu sunnah saja, bukan wajib. Alasannya, bukanlah
melakukan melakukan kurban pada hari raya haji dan pesta-
pesta pada kesempatan-kesempatan yang lain hanyalah
anjuran saja. Akan tetapi golongan dhariri berpendapat
bahwa menyelenggarakan walimah itu hukumnya wajib
(Depag, 1984/1985, h. 118)

100
Dasar hukum menyelenggarakan walimah seperti tersebut
ini adalah dalil-dalil berikut: Sabda Rasulullah Saw
‫قاؿطرسلطؿطاهللطصلعطاعبدطاارطمحافطمنطعلؼطاكطملطكطالطبشاة‬
Artinya
“Rasulullah Saw bersabda kepada Umar Abdurrahman Ibn Auf;
adakanlah walimah sekalipun dengan memotong seekor kambing”.
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطأطنسطقاؿطماطاكاسضطرسلطؿطاهللطصلعطعلىطشىيءطمنطنساطئوطماطاكطاىضطعلىطزط‬
‫يىنبطاكطاىضطبىشاةط–طركاهطاابخارىلطمسلض‬
Artinya
“Dari Anas ia berkata: Rasulullah Saw mengadakan walimah
dengan seekor kambing untuk isteri-isterinya dan untuk Zainab”
(HR Buchari-Muslim)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطبرطيىدةطقاؿطاىعاطخطبطعلىطفاططعةطقاؿطرسلطؿطاهللطصلعطانوطالطبدطالعرطسطمنط‬
‫كطايمةط–طركاهطامحد‬
Artinya
“Dari buraidah, ia berkata: ketika Ali melamar Fatimah,
Rasulullah Saw telah bersabda; untuk pernikahan ini tidak boleh
tidak musti ada walimahnya” (HR Ahmad)
Sabda Rasulullah Saw
‫ط ماطاكطملطرسلطؿطاهللطصلعطعلىطاكرطأطةطمنطنساطئوطماطاكطملطعلىطزينبطكط‬:‫طقاؿطانس‬
‫جعلطيبثىنطفاطدعلاوطااناسطفاططعمهضطخبزطاكطحلماطحىتطشبعلا‬
Artinya
“Anas berkata, Rasulullah Saw tidak pernah mengadakan walimah
bagi isteri-isterinya, juga bagi Zainab. Beliau memulai menyruh
aku, lalu aku panggil orang-orang atas nama beliau kemudian
beliau hidangkan kepada mereka roti dan daging sampai mereka
kenyang.

101
2. Waktu walimatul „ursy
Tidak ada ketetapan yang pasti kapan waktu
penyelenggaraan walimatul ursy. Hal ini tergantung pada
keadaan. Walimah dapat dilaksanakan sesudah berlangsung
akad nikah dan dapat juga diadakan setelah bergaul sebagai
suami isteri. Kedua hal di atas pernah dilakukan oleh
Rasulullah Saw.
Penyelenggaraan walimatul ursy tidak memiliki batasan
waktu. Sebagaimana tidak ada batasan waktu untuk
menyelenggarakan akikah. (sayyid bakri; 357)
3. Hukum menghadiri undangan walimah
Asy Syafii, Hambali, Maliki dan Hanafi mengatakan
bahwa hukum menghadiri undangan walimah adalah wajib.
Sebagian ulama Syafi‟iah, Hanabillah dan Malikiah
menyatakan bahwa hukum menghadiri undangan walimah
adalah sunnah saja, bukan wajib. Sedangkan Syafi‟ah dan
Hanadbilah lainnya dan yang berpendapat bahwa hukum
menghadiri undangan walimah itu fardhu kifayah saja,
artinya apabila sudah ada orang lain yang mengadirinya,
sebagian yang lain yang tidak mengahdiri tidak mengapa.
Sabda Rasulullah Saw
“Dari Ibn Umar bahwa Rasulullah Saw bersabda: jika salah
seorang diantara kamu diundangn untuk menghadiri walimah,
hendaklah ia datangi”.

Sabda Rasulullah Saw


‫عنطابنطعكرطاؿطرسلطؿطاهللطصلعطقاطؿطاذاطدعىطاحدطكضطاىلطكطايمةطفلبأطهتا‬
Artinya
“Siapa yang diundang kemudian ia tidak memenuhi undangan
itu, sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasulnya.
102
Barang siapa yang datang kesitu tanpa undangan sesungguhnya ia
telah masuk sebagai perampok” (HR Riwayat Abun Daud).
Pada dasarnya walimatul ursy adalah untuk merayakan
pesta pernikahan, yang diundang hendaknya para sanak
family, kerabat, baik kaya, miskin, orang biasa maupun
berpangkat. Makruh hukumnya apabila kita mengundang
orang-orang kaya saja sedangkan orang miskin kita abaikan.
Sabda Rasulullah Saw
‫منطدطعىطفلسضطُيبطفقدطعمصطاهللطكرطسللاوطكطمنطدطخلطعلىطخريطدطعلةطدطخلط‬
‫سطرطقاطكطخرجطمفرياط–طركاهطابلطداكدط‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah bahwa nabi Muhammad Saw bersabda;
makanan yang paling jelek adalah pesta pernikahan yang tidak
mengundang orang yang mau datang kepesta itu yaitu orang
miskin, tetapi mengundang orang yang enggan datang kepada
pesta itu yaitu orang kaya. Barang siapa yang tidak
memperkenankan undangan maka sesungguhnya dia telah durhaka
kepada Allah dan Rasulnya”. (HR Muslim)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطاىبطىريرةطافطرسلطاهللطصلعطقاطؿطشرطااطعاـطاالطايعةطيعةطُّينعهاطمنطيأطتيهاطكطيدط‬
‫عىطاايهاطمنطبأباطىاطكطمنطملطُيبطااعلةطفقدطعصىطاهللطكرسلطاوط–رطكاطقطمسلض‬
Artinya
“Dari Abu HUrairah bahwa ia berkata: sejelek-jelek makanan
adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang
kaya, akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin” (HR Buchari)
4. Merayakan walimah dengan kesenian.
Suatu pernikahan yang dimeriakan dengan acara kesenian
boleh saja, bahkan hukumnya sunnat.
Sabda Rasulullah Saw
–‫عنطاىبطىريرةطقاؿطشرطااطعاـطاالطايمةطيدطعىطذلاطاطالءطخنياطكطيسنرطؾطاافقراءط‬

103
‫طركاهطاابحارل‬
Artinya
“Batas antara yang halal dengan yang haram itu ialah bunyi
gendang, rebana dan bunyi suara lagu di dalam pernikahan” (HR
Hamsah)
Sabda Rasulullah Saw
‫فصلطماطبسنيطاحلالطؿطـطاادطؼطكطااصلتطَبطاانكاحط–طركاهطاخلمسة‬
Artinya
“Umumkanlah pernikahan ini dan tabuhkanlah genderang untuk
itu” (HR Ibnu Majah)
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطعاطئسةطاهناطزطفتطامرأطةطاىلطرطجلطمنطاالطنصارطفقاطؿطاانىبطصلعطياطعاطئشةط‬
‫ماطكاطفطمعكضطمنطذللفافطاطالطنصارطيعجيهضطاذلضطاذللط–طركاهطامحدطكطاابخارل‬
Artinya
“Dari Aisyah sesungguhnya pengantin wanita dibawa kerumah
pengantin lelaki, dari kalangan anshor Nabi bersabda; wahai
Aisyah tidak adakah bersama kalian kesenian, sesungguhnya orang
anshor itu senang akan kesenian” (HR Ahmad dan Buchari).

104
BAB IX
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
A. Hak dan kewajiban bersama
Akad nikah telah dilakukan secara sah maka akad nikah
tersebut akan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri yang
menjalankan kewajibannya dan meperhatikan tanggung
jawabnya akan mampu mewujudkan ketentraman dan
ketenangan hati sehingga sempuralah kebahagiaan suami isteri
tersebut.
Suatu akad yang sah akan membentuk rumah tangga atau
suatu keluarga kecil yang nantinya akan meperoleh keturunan
sehingga berkembang menjadi keluarga yang bertambah besar.
Keluarga yang dalam istilah fiqih disebut usratun atau
qarabatun itu harus dibina. Pembinaan keluarga ini menjadi
tanggung jawab suami isteri. Menurut ajaran Islam
pembentukan keluarga itu sifatnya alamiah bukan buatan. Oleh
karena itu suatu keluarga hanya dapat terbentuk suatu
perkawinan yang sah dan sebagai kelanjutannya ada hubungan
keturunan. Pembentukan keluarga dengan buatan seperti
pengangkatan anak tidak dikenal dan tidak dibolehkan serta
tidak diakui dalam Islam. Pada waktu permulaan Rasulullah
hijrah ke Madinah, beliau pernah melakukan pembentukan
keluarga buatan ini, dengan mempersaudarakan orang
Muhajirin dengan orang Anshor tetapi kemudian dilarang oleh
Allah SWT dan juga hadits Rasulullah.
Keluarga menurut hubungan garis ke atas adalah ayah, ibu,
kakek, nenek dan seterusnya, sedangkan menurut keturunan
garis ke bawah adalah anak, cucu, buyut dan seterusnya dan
keluarga menurut garis keturunan kesamping adalah paman,
bibi, kemenakan dan sebagainya.

105
Dalam kepengurusan rumah tangga masing-masing suami isteri
mempunyai hak dan keawajiban. Hak dan kewajiban tersebut
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormati, saling setia dan saling memberiikan
bantuan lahir dan bathin.
2. Suami isteri wajib memikul kewajiban yang luhur untuk
membina dan menegakkan rumah tangga yang bahagia
dan sejahtera lahir bathin.
3. Suami isteri memiliki kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasannya.
4. Suami isteri wajib saling memelihara kehormatannya
masing-masing.
Agar kewajiban-kewajiban di atas dapat terselenggara
dengan baik maka suami isteri tersebut harus bertempat tinggal
yang tetap yang disepakati bersama. Hak dan kedudukan isteri
dalam kehidupann rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat adalah sama dengan kedudukan suami. Suami
bertindak sebagai kepala rumah tangga sedangkan isteri
bertindak sebagai ibu rumah tangga. Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬
Artinya
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (Ar Ruum: 21)

106
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata, bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak”. (An Nisa: 19)

Sabda Rasulullah Saw


ً ‫اى ْمكملطادلؤًمنًنيطاًْمُّيىانياطأىحسنيػهضطخلي نقاطك ًخيايريكض‬...‫لؿطاهللطصلىطاهللط‬
‫طخيى ياريك ْمضطاًنً ىسائً ًه ْمضط‬ ‫اؿطر يس ي‬
‫ْم ى ي ْم ي ى ى ْم‬ ‫ى ي يْم ْم ى‬ ‫قى ى‬
‫ركاهطاارتميذل‬
Artinya
“Bersabda Rasulullah Saw Orang-orang mukmin yang paling
sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik
kamu adalah orang yang paling baik kepada isterinya” (HR Turmizi)
Jadi isteri mempunyai kewajiban terhadap suami, demikian
pula suami mempunyai kewajiban terhadap isterinya.

107
B. Kewajiban isteri terhadap suami
Kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami adalah:
1. Isteri wajib taat kepada suaminya
Firman Allah SWT

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah
lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka)”(An Nisa: 34).
Yang dimaksud taat dalam ayat ini adalah tunduk dan patuh
kepada Allah SWT dan kepada suami. Perketaan taat biasanya
hanya digunakan pula untuk suami. Hal ini menggambarkan
bagaimana seharusnya sikap isteri yang kepada suaminya.
Allah SWT menerangkan, isteri harus berlaku demikian karena
suami itu telah memelihara isterinya dengan sungguh-sungguh
dalam kehidupan rumah tangganya.
2. Ayat di atas juga menerangkan, isteri wajib memelihara diri
di balik pembelakangan suami ketika suami bepergian.
Jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan kecurigaan suami tidak merasa tenang
pikirannya dalam bepergian. Tentu saja melakukan
perbuatan terlarang tidak saja akan menghancurkan rumah
tangga, tetapi juga akan mendapat siksa yang sangat berat
dari Allah SWT.
3. Isteri memimpin rumah tangga suaminya
Memimpin berarti tidak saja dalam pengaturan tetapi juga
memimpin sikap dan akhlak anggota keluarga serta melatih
diri anggota keluarga, sehingga dapat berakhlak seperti
akhlak Rasulullah Saw. Sabda Rasulullah Saw

108
ً ‫تطزكًجهاطكمسئػلهؿطعنطر‬
‫اعيىتً ىهاطمتفقط‬ ً ً ً
‫ ىكااْم ىم ْمرأىةي ىطراعيىةهطَبطبػىْمي ى ْم ى ى ى ْم ي ْم ى ْم ى‬...‫لؿطاهللطصلىطاهللط‬
‫اؿ ىطر يس ي‬
‫قى ى‬
‫عليو‬
Artinya
“Isteri memimpin rumah tangga suaminya dan ia diminta Allah
pertanggung jawaban atas pimpinannya itu (Muttafaqun, „Alaih,
Depag, 184/1985, h. 164).
C. Kewajiban suami terhadap isterinya
Kewajiban suami terhadap isteri ada yang berbentuk
kebendaan seperti mahar dan nafkah dan ada yang berbentuk
rohaniah seperti perlakuan adil jika suami berpoligami dan tidak
boleh membahayakan isteri dan sebagainya.
Kewajiban mahar telah dijelaskan pada bagian yang lalu
berikut ini penjelasan mengenai kewajiban suami terhadap isteri
selain kewajiban mahar.
1. Kewajiban nafkah dan pengertiannya
Nafkah menurut bahasa adalah keluar dan pergi.
Menurut istilah ahli fiqih adalah pengeluaran yang harus
dikeluarkan oleh orang yang wajib memberii nafkah kepada
seseorang, baik berbentuk roti, gulai, tempat tinggal dan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup
seperti air, minyak, lampu, dan sebagainya.
Hukum nafkah ini adalah wajib bagi suami terhadap
isterinya, ayah terhadap anak-anaknya, atau tuan terhadap
budaknya (al jaziri, 1976, h. 553).
Nafkah disini juga berarti memenuhi kebutuhan makan
tempat tinggal, pembantu rumah tangga dan pengobatan.
Jikalau suami adalah orang kaya memberi nafkah hukumnya
wajib bedasarkan al qur‟an, sunnah dan ijma‟ (sayyid sabiq,
1971, h. 147).

109
Al Iman Taqiuddin dalam kitab kifatayatul akhyar
menjelaskan, ada 3 sebab yang menimbulkan kewajiban
nafkah yaitu: hubungan kerabat keluarga, hubungan
pemilikan tuan dengan budaknya dan hubungan
perkawinan (Taqiuddin, II, h. 87).
Dari pengertian yang disebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa nafkah adalah sesuatu yang diberikan
oleh seseorang kepada isteri, kerabat untuk memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Keperluan pokok itu adalah
berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Ditinjau dari orang-orang yang berhak menerima nafkah ,
nafkah itu terdiri dari nafkah isteri, nafkah kerabat, dan
nafkah barang atau sesuatu yang dimiliki.
2. Nafkah dan dasar hukumnya
Dasar hukum nafkah isteri:
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberii makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan waris berkewajiban demikian”. (Al Baqarah: 233)

110
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin”. (Ath
Thaalaq: 6).
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hendaklah orang yang mampu memberii nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberii nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberiikan
kelapangan sesudah kesempitan” (Ath Thaalaq: 7).
Sabda Rasulullah Saw
‫افطرسلطؿطاهللطصلعطقاطؿطَبطحجةطاالداعطفاطتىقلاطاهللطَبطاانسىىاءطفاطنكضطاخذطمتلطمنط‬
‫بكامةطاهلل‬
Artinya
“Hendaklah kamu bertaqwa kepada Allah dalam urusan wanita,
karena sesungguhnya kamu telah mengambil mereka dengan
rahmat Allah”.
Kamu telah menghalalkan kemaluan atau kehormatan
mereka enggan kalimat Allah, wajib mereka isteri-isteri untuk
111
tidak memasukkan ke dalam rumahku orang yang tidak kamu
sukai.
Jika mereka melanggar yang tersebut pukullah mereka,
tetapi jangan sampai meluakai, mereka berhak mendapat
belanja dari kamu dan pakaian dengan cara yang ma‟ruf” (HR
Muslim).
Sabda Rasulullah Saw
‫عنططعاطئسةطرضطاهللطعنهاطبنتطقااتطبطرسلؿطاهللطافطاطباطسفباطفطرطجلطشجيعطكط‬
‫ايسطككطادلطاطالطماطحنتطننوطكطىلطالطيعلضطقاطؿطخذلطماطيكفيكطككطادطؾطباط‬
‫دلعركؼط–طركاهطاابخارلطكطمسلضط‬
Artinya
“…. Dari Aisyah ra bahwa Hindun binti Uthbah pernah bertanya:
wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang
kikir, ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku sehingga
akau mesti mengambil dari padanya tanpa sepengetahuannya.
Maka Rasulullah bersabda: ambillah apa yang mencukupi bagimu
dan anakmu dengan cara yang baik”(HR Buchari dan Muslim).
Sabda Rasulullah Saw
ً ً ً ‫عنطمعا ًكيةىطاىاْم ى‬
‫اطعليى ْموًط؟ط‬‫اطح مق ىطزْمك ىجةطاى ىحدنى ى‬ ‫طاهللطم ى‬
‫اطر يس ْمل ىؿ ى‬ ‫تطيى ى‬‫اؿطقيػ ْمل ي‬ ‫قش ْمًري ىطرض ىي ى‬
‫طاهللطعْمنويطقى ى‬ ‫ى ْم ي ى ى‬
‫طاال ْمجوى ىطكالىطتيػ ىقبِّ ْم ىطكالىطتىػ ْمه ىج ْمرط‬ ً ً ‫تطكالىطتى ْم‬ ً ً ً ‫قى ى‬
‫لرب ى‬ ‫ْمس ْملىىاطا ىذ ْماكتى ىسْمي ى ى‬
‫ت ىطكتىك ي‬
‫اؿطتيطْمع يم ىهاطا ىذاططى ىع ْمم ى‬
‫اًالَّ ًطَبطاابىػْمي ًط‬
‫ت‬
Artinya
“Dari Muawiyah al Kutsair ra berkata dia: saya bertanya wahai
Rasulullah, apakah hak seorang isteri kepada suaminya? Sabda
Rasulullah : engkau memberii makan kepadanya apa yang engkau
makan, engkau memberiinya pakaian sebagaimana engkau
berpakaian, janganlah engkau pukul mukanya, dan janganlah
engkau mejelekkannya kecuali masih dalam satu rumah”.
Dalam pada itu ulama fiqh telah ijma‟, mengatakan bahwa
suami wajib memberii nafkah kepada isterinya. Ibnu Qudamah

112
berkata: para ahli ilmu sepakat tentang kewajiban suami
membelanjai isterinya bila sudah baligh kecuali bila isteri itu
berbuat durhaka atau nusyuz.
Ibnu Munzir dan lain-lainnya berkata; isteri yang durhaka
boleh dipukul sebagai pelajaran, perempuan adalah orang yang
tertahan ditangan suaminya, ia telah menahannya untuk
bepergian dan bekerja, oleh karena itu ia berkewajiban untuk
memberiikan belanja kepadanya”(sayyid sabiq: 1971, h. 148).
Dari ayat-ayat dan hadits-hadits serta ijma‟ tersebut diatas
dapat diambil kesimpulan bahwa:
a) Suami wajib memberii nafkah kepada isterinya berupa
makanan, pakaian dan tempat tinggal
b) Suami melaksanakan kewajiban memberii nafkah itu
sesuai kemampuannya.
3. Syarat-syarat isteri berhak menerima nafkah
Dengan adanya ikatan pernikahan yang sah maka
kewajiban suami memberi nafkah isterinya. Dengan
perkawinan yang sah itu isteri menjadi terikat kepada
suaminya, isteri wajib taat kepada suami, harus tinggal
bersama-sama dirumah suaminya, harus mengatur rumah
tangga, harus memelihara dan mendidik anak-anaknya.
Suami berkewajiban memenuhi semua kebutuhan isteri,
memberiikan belanja kepadanya, selama ikatan suami isteri
itu masih berjalan dan isteri itu masih berjalan dan isteri
tidak pernah durhaka kepada suaminya. Kalau isteri
durhaka bisa menjadi sebab suami tidak berkewajiban
memberiikan nafkah lagi kepada isterinya.
Dengan suaminya, maka suami tetap wajib memberi
nafkah kepada isterinya. Bila keadaan suami belum sanggup
melaksanakan hak isteri, misalnya suami belum baligh,
suami dalam keadaan sakit gila, suami dalam tahanan dan
113
sebagainya, sedangkan isteri telah sanggup melaksanakan
kewajiban-kewajibannya maka dalam hal itu isteri tetap
berhak menerima nafkah dari suaminya. Sebaliknya bila
isteri yang belum baligh atau dalam keadaan gila, sebelum
perkawinan maka dalam keadaan yang demikian isteri tidak
berhak mendapat nafkah dari suaminya. Hak nafkah isteri
menjadi gugur apabila:
a) Akad nikah mereka ternyata batal atau fasid/rusak.
Misalnya kedua suami isteri itu ternyata mempunyai
hubungan haram, haram nikah karena nasab, sesusuan
dan sebagainya.
b) Isteri nusyuz (durhaka) yaitu isteri tidak lagi
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang
isteri.
c) Isteri murtad yaitu isteri tersebut pindah ke agama lain.
d) Isteri melanggar larangan-larangan Allah yang
berhubungan dengan kehidupan suami isteri, seperti
isteri meninggalkan kediaman bersama tanpa seizin
suami atau bepergian tanpa izin suami dan tidak disertai
oleh mahram dan sebagainya.
e) Isteri dalam keadaan sakit yang oleh karenanya ia tidak
bersedia serumah dengan suaminya, tetapi jika ia
bersedia serumah dengan suaminya maka dia tetap
berhak mendapatkan nafkah.
f) Pada waktu akad nikah isteri masih belum baliqh dan ia
masih belum satu rumah dengan suaminya.
Nabi Muhammad Saw sendiri pada waktu nikah dengan
aisyah, dan pada masa itu Rasulullah tidak memberi
nafkah. Setelah aisyah serumah dengan Rasulullah
barulah Rasulullah memberiikan nafkah kepadanya.
4. Jumlah nafkah yang harus diterima oleh isteri
Al Qur‟anul karim dalam surat At thalak ayat 6 dan 7,
surat al Baqarah ayat 233 dan surat-surat yang lain
114
berkenaan dengan nafkah dan juga hadits, tidak ada yang
menyebutkan dengan tegas kadar atau jumlah nafkah yang
harus diterima oleh isteri. Pada ayat dan juga hadits, hanya
diberikan gambaran nafkah itu harus diberikan kepada isteri
ialah menurut yang patut yang cukup untuk keperluan isteri
tersebut sesuai pula dengan pengghasilan suami, tidak
memberiatkan suami dan tidak memberi mudharat kepada
suami dan harus disesuaikan dengan kedudukan isteri,
kebiasaan yang berlaku pada keluarga isteri tersebut.
Dengan demikian jumlah nafkah disesuaikan menurut
tempat, zaman dan keadaan suami isteri itu sendiri. Terbaik
adalah musyawarah antara suami isteri sendiri. Karena
merekalah yang saling cinta mencintai, hormat
menghormati, isi mengisi baik dalam hal jasmani maupun
rohani serta mereka pulalah yang harus mempersiapkan
pembinaan pendidikan anak-anak keturunan mereka
selanjutnya.
Apabila ternyata suami kikir, tidak memberiikan nafkah
yang wajar, maka isteri dapat mengambil hak suami untuk
keperluan nafkah yang wajar, walaupun tidak diketahui oleh
suaminya. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Buchari-
Muslim, Abu Daud, An Nasai dari Aisyah seperti yang telah
disebutkan sebelum ini pada peristiwa Hindun dan Abu
Sofyan yang kikir. Rasulullah mengatakan “ambillah apa
yang mencukupi untuk kamu dan anak-anak kamu dengan
cara yang baik”.
Apabila si isteri terhutang untuk memenuhi
kebutuhannya, maka suami harus membayar hutang
tersebut. Sebaliknya dalam keadaan tertentu bila isteri rela
untuk tidak dicarikan nafkah karena dia mampu mencari

115
nafkah sendiri atau dia kaya maka kewajiban memberi
nafkah itu jujur. Seandainya isteri itu kaya dan mempunyai
penghasilan tetap, tetapi tetap menuntut hak nafkahnya,
maka suami wajib membayar nafkah tersebut.
5. Nafkah wanita beriddah
Wanita yang dalam keadaan beriddah, baik iddah raj‟i
maupun iddah hamil berhak mendapatkan nafkah dari
suaminya. Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu”(At Thalak:6).
Wanita yang hamil berhak mendapatkan nafkah, baik
dalam keadaan iddah talak raj‟i atau pun talak bain ataupun
dia dalam iddah kematian. Firman Allah SWT:

‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin”(At Thalak:6).
Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang talak bain
apakah masih berhak menerima nafkah atau tidak, jikalau
dia dalam keadaan hamil? Pendapat yang kuat mengatakan
dia berhak mendapatkan nafkah.
C. Hak rohaniah (hak bukan kebendaan)
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, isteri memiliki
hak kebendaan seperti; mahar dan nafkah, disamping itu
memiliki hak yang bukan kebendaan. Hak isteri yang bukan
kebendaan antara lain:

116
1. Bergaul dengan perlakuan yang baik.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian
dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka
melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan
mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”(An
Nisa: 19).
Ayat ini menjelaskan kewajiban suami kepada isterinya
supaya menghormati isteri, bergaul kepadanya dengan cara
yang baik, memperlakukannya dengan cara yang wajar,
mendahulukan kepentingannya dalam hal sesuatu yang
perlu didahulukan, bersikap lemah lembut dan menahan diri
dari hal-hal yang tidak menyenangkan hati isteri. Sabda
Rasulullah Saw
ً ‫اى ْمكملطااْممؤًم‬
‫اطك ًخيى ياريك ْمضطاًنً ىسائً ًه ْمضط( ىرىكاهي ْم‬
)‫طامحىد‬ ‫طخلي نق ى‬
‫ىح ىسنيػ يه ْمض ي‬
‫نيطا ْمُّيىاناطأ ْم‬
‫ى ي ي ْم ْم ى‬
Artinya
“Orang yang paling baik imannya adalah orang mukmin yang
paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik akhlaknya itu
adalah orang yang paling baik pergaulannya dengan isterinya”.

117
Hadits ini menjelaskan bahwa kesempurnaan akhlak orang
dan kehidupan imannya adalah orang yang bersikap sopan
santun dan halus budi pekertinya terhadap isterinya. Sabda
Rasulullah Saw
‫قاطؿطرسلطؿطاهللطصلعطماطاطكرطمهنطاطالطكرمبطكطماطأطىاطهننطحننطاطالطائيض‬
Artinya
“Tidak ada yang memuliakan mereka para isteri kecuali orang
yang mulia, dan tidak ada pula yang menghina mereka para isteri
kecuali orang yang hina”.

Hadits ini menunjukkan bahwa ukuran kemanusiaan dan


ukuran kesempurnaan akhlak seseorang adalah pergaulannya
dengan isteri. Apabila pergaulannya dengan isteri baik maka
baik pula akhlaknya, dan sebaliknya.
Untuk menumbuhkan sikap intim, rasa saling cinta
mencinta, sayang menyayangi diantara suami isteri dapat
dilakukan dengan cara bercanda tapi dalam batas-batas yang
wajar. Sabda Rasulullah Saw
‫ ِال‬ٚ ٗ‫جٗ فش ع‬٠ ‫ رب د‬ٚ ٗ‫ع‬ٛ‫ٗ ػٓ ل‬١ِ‫ٓ اُ٘ ثب طً صالس س‬٠‫ب ثٗ ا‬ٍٙ٠ ‫ء‬ٝ١‫أٗ ٍِغ لب ي وب ش‬
.ٕٓ‫ اِذب ة اٌغ‬ٚ ‫اٖ ادّذ‬ٚ‫ س‬-‫ٓ ِٓ اٌغذك‬ٙ‫ػجزٗ اٍ٘ٗ فب ٔغ‬
Artinya
“Setiap gurauan anak dalam yang bathil, kecuali dalam tiga hal:
melempar panah, bergurau kuda, dan bergurau dengan isterinya.
Semuanya ini dibenarkan atau hak”. (HR Ahmad dan
Ashhabussanna)
Diantara cara bergaul dengan cara yang baik terhadap isteri
ialah mengangkat martabatnya setaraf dengan dirinya dan tidak
menyakiti hatinya dengan kata-kata, berolok-olok. Sabda
Rasulullah Saw

118
ً ً ً ‫عنطمعا ًكيةىطاىاْم ى‬
‫اطعليى ْموًط؟ط‬‫اطح مق ىطزْمك ىجةطاى ىحدنى ى‬ ‫طاهللطم ى‬
‫اطر يس ْمل ىؿ ى‬ ‫تطيى ى‬‫اؿطقيػ ْمل ي‬ ‫قش ْمًري ىطرض ىي ى‬
‫طاهللطعْمنويطقى ى‬ ‫ى ْم ي ى ى‬
‫طاال ْمجوى ىطكالىطتيػ ىقبِّ ْم ىطكالىطتىػ ْمه ىج ْمرط‬ ً ً ‫تطكالىطتى ْم‬ ً ً ً ‫قى‬
‫لرب ى‬ ‫ْمس ْملىىاطاذى ْماكتى ىسْمي ى ى‬
‫ت ىطكتىك ي‬
‫اؿطتيطْمع يم ىهاطاذىاططى ىع ْمم ى‬ ‫ى‬
‫اًالَّ ًطَبطاابىػْمي ًط‬
‫ت‬
Artinya
“Dari Muawiyah Ibn Haidah, saya bertanya, kata beliau, wahai
Rasulullah, apakah yang ‫ط‬menjadi hak seorang isteri kita terhadap
suaminya. Rasulullah menjawab: engkau memberiinya makan jika
engkau makan, engkau memberiinya pakaian jika engkau
berpakaian, jangan engkau memukul mukanya, jangan engkau
mengejeknya dan jangan pula berpisah dengannya kecuali masih
dalam satu rumah, artinya kita mendiamkannya untuk
memberiikan pelajaran”.
Perlu diperhatikan bahwa wanita itu mempunyai perasaan
yang lebih menonjol daripada pria. Oleh karena itu suami harus
mengimbangi perasaan isteri ini. Kita harus bijaksana dalam
mengikuti tabiat dan tingkah lakunya. Sebab disamping tingkah
laku wanita yang tidak baik tentu ada pula tingkah laku dan
tabiatnya yang sangat menyenangkan hati kita. Sabda
Rasulullah Saw
‫يقلؿطاارطسلؿطصلعطالطيفرؾطمؤطمنوطافطمرهطمنهاطخلقاطرطضىطمنهاطخلقطاخر‬
Artinya
“Janganlah seorang laki-laki mukmin membenci seorang wanita
mukminah jika dia ada membenci salah satu dari sifatnya, tentu
ada sifat yang lain yang menyenangkan hati kita”.
2. Menjaga isteri dengan baik.
Suami berkewajiban menjaga isterinya, dan menjunjung
tinggi kehormatan dan kemuliannya, sehingga citranya menjadi
baik. Sabda Rasulullah Saw

119
‫رطكاى َّفط‬ ‫ىطاهللطعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ْمضطقى ى‬
‫اؿطاى َّفطاهللطيػيغىاي ى‬ ‫ى‬ َّ‫طاهللطصل‬
‫ى‬ ‫طاهللطعْمنويطاى َّف ىطر نس ْمل ىؿ‬ ً
‫ىع ْمنطاىًىب ي‬
‫طىىريْمػىرةى ىطرض ىي ى‬
‫طعلىْمي ًوطركاهطاابخارل‬ ‫اطحَّرىـ ى‬
‫طم ى‬‫ىطااعْمب يد ى‬
ً ً ‫ادلؤًمنطيػغىاي‬
‫رطكغْميػىرةيطاهللطاى ْمفطيىأْمت ى‬
‫يْم ى ي ى‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah, bahwa sesungguhnya Rasulullah besabda:
sesungguhnya Allah mempunyai rasa cemburu dan sesungguhnya
seorang mukmin juga mempunyai rasa cemburu, cemburu Allah
adalah agar supaya seorang hambanya tidak melakukan perbuatan
yang haram”(HR Buchari).

Sabda Rasulullah Saw


‫عنطعمرطبنطياطسرطافطرسلطؿطاهللطصلعطقاطؿططثالثطالطيدطخللفطاجلنةطابداطاادط‬
‫طقاطالاطياطرسلطؿطاهللطاـطمدطمنطاخلمرط‬.‫يلثطكطاارطجلةطمنطاانساءطكطمدطمنطاخلمر‬
‫طفماط‬:‫طقاطؿطااذىلطالطيباطىلطمنطدطخلطعلىطاىلوطفقلنا‬...‫فقدطعرطفناهطفماطاادطيلثط‬
‫ط‬.‫اارجلةطمنطاانسءطقاطؿطااىتطتشبوطباطارطجلط–طركاهطااطرباطىن‬
Artinya
“Dari Ammar Ibn Tasir, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
ada 3 golongan yang tidak akan masuk ‫ط‬surga selama-lamanya
yaitu: orang yang tak acuh, perempuan yang menyerupai laki-laki
dan peminum khamar sesungguhnya kami telah mengerti tetapi
siapakah orang yang acuh itu? Jawab Rasulullah, itu adalah suami
yang tidak memperdulikan kepada siapa yang masuk ke rumah
isterinya. Kemudian kami bertanya lagi, bagaimankah wanita yang
menyerupai laki-laki itu? Jawab Rasulullah itu ruadalah wanita
yang berbuat seperti perbuatan laki-laki”(HR Atthabrani).
Oleh karena suami harus merasa cemburu terhadap
isterinya, makai ia dituntut agar adil dalam cemburu, jangan
sampai ia mempunyai buruk sangka yang berlebihan terhadap
isterinya, tetapi jangan pula berlebihan melengahkan gerak gerik
dan tingkah laku isterinya apalagi sampai tidak perduli terhadap
kekurangan-kekurangan isterinya. Hal-hal yang disebutkan di
atas apabila tidak diperhatikan dapat merusak dan dapat
120
memutuskan suami isteri tersebut. Hal ini berarti melanggar
perintah Allah yang menghendaki agar hubungan suami isteri itu
berkesinambungan.

3. Suami mendatangi isterinya


Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu”(Al Baqarah : 222).
Sehubungan dengan ayat ini ibn hazmin berpendapat
bahwa suami memberiikan nafkah bathin kepada isterinya
sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ia mampu. Kalau
tidak melakukan hal ini berarti ia telah durhaka kepada
Allah SWT.
Para ulama banyak yang sependapat dengan pendapat
Ibnu Hazmin ini, apabila suami tidak mempunyai halangan
dalam meberikan nafkkah bathin tersebut.
Imam Asy-Syafii berpendapat memberiikan nafah bathin
itu adalah hak suami bukan merupakan kewajibannya; jadi
terserah kepada suami sendiri apabila ia mau atau tidak
menggunakan haknya.
Imam Ahmad menetapkan bahwa suami meberikan
nafkah bathin kepada isterinya 4 bulan sekali. Kalau suami
meninggalkan isterinya batas waktu paling lama 6 bulan.
Alasannya, pada suatu ketika umar bin Khattab meronda
kota madinah dan dia lewat didepan sebuah rumah seorang
perempuan yang sudah lama ditinggal suamninya ke medan

121
perang, wanita itu dalam keadaan sangat merindukan
terhadap suaminya.
Untuk menanyakan masalah ini Umar pergi kerumah
hafsah anak beliau. Lalu Umar bertanya, wahai putriku
berapa lama seorang perempuan tahan ditinggal lama oleh
suaminya. Jawab Hafsah, Subhanallah, kok orang seperti
ayah bertanya dalam hal ini pada seornag seperti aku. Kata
Umar, andaikan aku tidak ingin memperhatikan kaum
muslimin aku tidak akan bertanya hal ini kepadamu. Lalu
Hafsah menjawab, lamanya isteri tahan ditinggalkan oleh
suaminya adalah 5 bulan sampai 6 bulan. Kemudian Umar
menetapkan batas waktu tugas bagi tentara untuk bertempur
selamanya 6 bula. Sebulan untuk pergi, 4 bulan untuk
melaksanakan tugas di medan tempur dan sebulan lagi
untuk kembali,(sayyid sabiq, 1971, h. 163).
Berdasarkan hadits, memberiikan nafkah bathin kepada
isteri adalah termasuk ibadah atau sedekah yang mendapat
pahala dari Allah SWT. Sabda Rasulullah Saw
‫كطاى ْمجهرطقىاايلاطيى ىار يس ْمل ىؿطاهللطأىيىأْمتًىط‬ ًً
‫عطزْمك ىجتً ى‬ ‫ىطاهللطعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ْمض ىطكاى ى‬
‫ك ًطَبطِجىا ى‬ ‫ى‬ َّ‫طاهللطصل‬
‫ى‬ ‫قاى ىؿ ىطر يس ْمل يؿ‬
‫طعلىْمي ًوطفًْميػ ىهاط ًكْمزهرط‬
‫طحىرواـطاى ىكا ىف ى‬ ً ‫اؿطأىريْمػتيضطاىلطك ى‬
‫ض ْمع ىهاطَب ى‬
ً
‫اطش ْمه ىلتىوي ىطكيى يك ْمل يفطاىويطفْميػ ىهاطاى ْمجهرط؟طقى ى ى ْم ى‬
‫اى ىح يدنى ى‬
‫طحالى وؿط ىكا ىفطاىويطاى ْمجير هٌطركاهطمسلض‬ ً ‫كطاً ىذاطك ى‬ ً
‫ض ْمع ىهاطَب ى‬ ‫فى ىك ىذاا ى ى‬
Artinya
“Bagi kamu mendatangi isterimu adalah suatu pahala, lalu para
sahabat bertanya, wahai Rasulullah, apakah seseorang diantara kita
yang menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan pahala. Jawab
Rasulullah, bagaimana pendapatmu kalau seseorang yang
menyalurkan syahwatnya itu pada tempat yang haram. Apakah itu
merupakan suatu dose? Betul, jawab sahabat. Begitu pulalah jika ia
akan mendapat pahala” (HR Muslim).

122
Oleh karena memberiikan nafkah bathin ini merupakan
ibadah, maka Islam mengatur tata cara dan tata kramanya, antara
lain, harus membaca ta‟awuz dan basmalah, di tempat yang
sunyi dan tertutup, saling hormat menghormati dan sebagainya.
Sabda Rasulullah Saw
‫عنطابنطعباسطافطرسلؿطاهللطصلعططقاطؿطالطكاطفطاحدطكضطاطذاطاتىطملوطقاطؿطبسضطاهللط‬
‫االهضطجنبناطااشيطاطفطماطرزقتناطفاطفطقدطرطبينهماطَبطذطاكطانطيصرطذاكطاالطادط‬
.‫ااشيطافطابداط–طركاهطاابخارلطكطمسلض‬
Artinya
“Dari Ibn Abbas bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda:
jika salah seorang diantara kamu hendaki mendatangi isterinya
hendaklah membaca:
‫بسضطاهللطاالهضطنبناطااشيطافطكطجنبطااشيطافطماطرزطقتنا‬
Artinya
(dengan nama Allah, wahai tuhan jauhkanlah kami dari setan dan
jauhkanlah setan daripada apa yang engkau akan berikan kepada
kami)”
Jika pada waktu itu keduanya ditakdirkan memperoleh anak
maka setan tidak akan membahayakan anak itu untuk selama-
lamanya”(HR Buchari-Muslim). Demikianlah hak-hak rohani
isteri dari suami.

D. Nafkah kerabat
1. Pengertian dan dasar hukumnya.
Sebagian besar para ulama sepakat bahwa yang wajib
diberi nafkah adalah keluarga dekat yang memerlukan
nafkah saja yang wajib diberi nafkah, sedangkan keluarga
jauh tidak.
Seperti yang telah dijelaskan, kerabat itu meliputi garis
lurus ke atas seperti bapak, nenek, dan seterusnya, garis
123
lurus ke bawah seperti, anak, cucu, dan stserusnya, dan juag
garis ke samping seperti paman, bibi dan seterusnya.
Imam Malik berpendapat bahwa yang wajib diberi nafkah
itu hanyalah anak dan orang tua/ ibu bapak saja, sedangkan
yang lain seperti kakek, nenek, cucuc dan saudara tidak
wajib diberi nafkah. Firman Allah SWT:

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu
bapakmu dengan sebaik-baiknya”. (Al Isra:23)
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan
aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di
dunia dengan baik”(Al Luqman: 15).
Yang dimaksud berbuat baik dalam ayat itu menurut
Imam Malik adalah segala yang menyenangkan hati ibu
bapak dan termasuk di dalamnya memberii nafkah. Sabda
Rasulullah Saw
‫طركاهطاابخارل‬-‫طانتطكطماطبيكط‬:‫قاطؿطرسلؿطاهللطصلعط‬
Artinya
“Engkau dan harta engkau itu adalah milik bapak engkau”(HR
Buchari).

124
Sabda Rasulullah Saw
‫خذلطمنطماطاوطباطدلعرطكطؼطماطيكفيكطكطيكفىطبنيكط–طمتفقطعليو‬

Artinya
“Ambillah harta Abu Sofyan itu sesuai dengan keperluan engkau
dan keperluan anak-anak engkau menurut yang patut”.
(Muttafaqun „Alaih)
Kedua hadits ini menjelaskan bahwa orang tua berkewajiban
memberi nafkah kepada anaknya. Imam Asy Syafii menafsirkan
dalil yang dikemukakan Imam Malik, yang dimaksud dengan
ayah, termasuk di dalamnya kakek, nenek, ayah kakek, ayah
nenek, dan seterusnya. Sedangkan yang dimaksud dengan anak
termasuk cucu, buyut san seterusnya. Dengan demikian Imam
Asy Syafii menafsirkan kerabat yang wajib diberi nafkah itu
adalah kerabat dalam hubungan garis lurus keatas dan garis
lurus kebawah.
Imam Hanafi berpendapat bahwa yang wajib diberi nafkah
adalah seluruh kerabat yang ada hubungan mahar. Jadi
disamping garis lurus ke atas dan ke bawah juga garis
menyamping seperti yang dimaksud surat an nisa ayat 23.
Imam Hanafi nenperkuat pendapat beliau dengan surat an
nisa ayat 36:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-
bapa, karib-kerabat”(An Nisa :36).
Juga diperkuat dengan surat ar ruum ayat 37-38:
125
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan Apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya
Allah melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia
(pula) yang menyempitkan (rezki itu). Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang beriman. Maka berikanlah kepada kerabat yang
terdekat akan haknya, itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
mencari keridhaan Allah; dan mereka Itulah orang-orang
beruntung”(Ar Ruum: 37-38).
Di dalam ayat tentang mahram, yang disebut adalah wanita,
tetapi dalam masalah nafkah ini pria dikiaskan kepada wanita
itu. Jadi kalau disebut ibu-ibu termasuk di dalamnya bapak-
bapak. Kalau disebut saudara perempuan termasuk di dalamnya
saudara laki-laki tersebut. Menurut Imam Hambal kerabat yang
wajib diberi nafkah adalah yang ada hubungan waris mewarisi,
disamping kerabat mahram yang disebut di atas. Firman Allah
SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan kewajiban ayah memberii makan dan pakaian kepada para
ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian”(Al Baqarah:233).

126
Menurut Imam Ahmad Ibn Hambal hak itu seimbang
dengan kewajiban. Oleh karenanya bila seseorang berhak
memperoleh dari anggota keluarga yang kaya meninggal dunia,
maka sebagai imbalannya seseorang itu wajib pula memberi
nafkah kepada keluarga lain yang tidak mampu atau miskin.

2. Syarat-syarat wajib nafkah


Seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya, tidak mempunyai barang atau harta serta tidak
mempunyai kesanggupan untuk berusaha atau telah
mencoba berusaha tetapi belum juga berhasil berhak
menerima nafkah tersebut adalah kerabat yang sanggup dan
mempunyai kelapangan serta mempunyai kelebihan setelah
dia memenuhi nafkah anak dan orang tuanya. Kelebihan
itulah yang dapat digunakannya untuk menafkahi kerabatya
tersebut.
Kerabat-kerabat yang berhak menerima nafkah adalah
sesuai dengan pendapat para ulama mazhab sepertipendapat
Imam Maliki, Imam Asy Syafii, Imam Hanafi dan Imam
Ahmad ibn Hambal tersebut di atas. Adapun urutan-
urutannya sudah pasti anak kemudian ibu dan bapak,
setelah itu barulah menurut garis ke samping. Jadi menurut
garis lurus dahulu baru garis ke samping. Untuk yang
berderajat sama tentunya wanita lebih didahulukan dari
pria, umpamanya saudara wanita didahulukan dari saudara
laki-laki, bibi didahulukan dari paman, apabila kita tidak
dapat membiayai seluruhnya. Hal ini sesuai dengan hadits-
hadits yang diriwayatkan oleh an Nasai, ibu Hiban dan
Darul Quthni. Sabda Rasulullah Saw

127
‫يوطكسلَّضطقىائً هضط‬ َّ‫طاهللطصل‬ ً ً
‫ىطاهللطعلى ى‬‫ى‬ ‫ى‬ ‫لؿ‬
‫اطر يس ي‬
‫طفىإذى ى‬،‫قدمتطااْم ىمدينىةىط‬:‫كعنططارؽطاحملاريبطقاؿ‬
‫كط‬
‫طأ َّيم ى‬،‫لؿط‬ ً ‫طكاب ىدأ‬،‫طي يدطااْممع ًطيطااْمع ْملياط‬:‫لؿط‬
‫ْمطِبى ْمنطتىػ يع ي‬ ً ً
‫ي ى ى ْم‬ ‫طكيى ىلطيػى يق ي ى ي ْم‬،‫ط‬ ‫َّاس ى‬ ‫بطاان ى‬‫ىعلىىطااْممْمن ىربط ى ْمطي ي‬
(‫ركاهطاانسائي‬. )‫اؾ‬ ‫اؾطأ ْمىدنى ىط‬
‫طٍبَّطأ ْمىدنى ى‬،‫ط‬
‫اؾ ي‬ ‫ىخ ى‬
‫ك ىطكأ ى‬
‫يختى ى‬
‫طكأ ْم‬،‫ط‬
‫اؾ ى‬ ‫ىكأىبى ى‬
Artinya
“Dari Tarik Al Murabi, semoga Allah meradhainya, dia berkata:
aku datang ke madinah maka apabila Rasulullah Saw berkhutbah
beliau berkata; tangan yang memberi adalah lebih mulia dan
mulailah dari orang yang lebih berkah engkau beri nafkah yaitu: ibu
engkau, bapak engkau, saudara perempuan engkau, dan saudara
laki-laki engkau, kemudian yang agak dekat kepada engkau”(HR
An Nasai, Ibnu Hiban dan Darul Quthni).

E. Hadhanah (Pemeliharaan anak)


1. Pengertian dan hukumnya
Hadhanah atau pemeliharaan anak adalah kegiatan
mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa
atau mampu berdiri sendiri.
Hadhanan berasal dari kata hidhanu artinya lambung,
menurut bahasa juga berarti meletakkan sesuatu didekat
tulang rusuk atau dipangkuan. Pada waktu ibu menyusukan
anaknya meletakkan anak tersebut dipangkuan, seakan-akan
ibu di saat ini melindungi dan memelihara anaknya.
Al Jaziri mendefinisikan hadhanah manurut syara‟ adalah
pemeliharaan anak kecil, orang lemah, orang gila atau orang
sudah besar tapi belum mumayyiz. Kemampuan
mengusahakan pendidikannya, mengusahakan
kemaslahatannya berupa kebersihan memberikan,
mengusahakan apa saja yang menjadikan kesenangannya (Al
Jaziri, 1969, h. 594).

128
Sayyi Sabiq mendefinisikan hadhanah sebagai melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki atau
perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz
tanpa perintah daripadanya, menyediakan sesuatu yang
menjadikan kebaikannya, menjaga diri dari sesuatu yang
menyakiti dan menerusaknya, mendidik jasmani, rohani dan
akalnya agar mampu berdiri sendir menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawab (Sayyid Sabiq, 1971, h. 288).
Dalam buku ilmu fiqh proyek Depag mendefenisikan
hadhanah adalah pendidikan dan pemeliharaan anak sejak
dari lahir sampai ia sanggup berdiri sendiri mengurus
dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu. Hadhanah
berbeda maksudnya dengan pendidikan, tarbiyah dalam
hadhanah terkandung pengertian pemeliharaan jasmani dan
rohani disamping terkandung pula pengertian pendidikan
terhadap anak.
Pendidikan mungkin berasal dari keluarga si anak dan
mungkin pula bukan berasal dari keluarga si anak yang
merupakan pekerjaan profesional. Sedangkan hadhanah
dilaksanakan dan dilakukan oleh keluarga si anak kecuali
jika si anak tidak mempunyai keluarga serta ia bukan
profesional, maka hal ini dapat dilakukan oleh setiap ibu dan
anggota keluarga lainnya. Hadhanah merupakan hak dari
hadhin, sedangkan pendidikan belum tentu merupakan hak
dari pendidik, (Depag, 1984/1985, h. 207).
Pemeliharaan anak hukumnya adalah wajib.
Pemeliharaan ini dilakukan oleh kerabat anak itu sesuai
degan urutan hadhanah. Mengabaikan pemeliharaan anak
berarti menghadapkan anak-anak tersebut pada marabahaya
kebinasaan dan hari depan yang suram. Firman Allah SWT:

129
‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia
dan batu” (At Tahrim: 6).
Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“Dan kewajiban ayah memberii Makan dan pakaian kepada Para
ibu dengan cara ma'ruf”. (Al Baqarah : 233)
Hukum kewajiban memelihara anak banyak pula kita
jumpai di dalam hadits-hadits, demikian pula halnya
perbelanjaan anak adalah tanggung jawab ayah. Di dalam
surat at Thamrin ayat 6 tersebut di atas Allah
memerintahkan supaya kita memelihara keluarga kita dari
api neraka. Memelihara keluarga dari api neraka berarti kita
harus melaksanakan seluruh perintah Allah dan
menghentikan seluruh larangannya. Karena anak termasuk
dalam lingkungan keluarga maka orang tua atau kerabat
juga berkewajiban mendidiknya menjadi orang yang
beragama agar kelak dia dapat terhindar dari siksaan api
neraka.
2. Orang berhak dan berkewajiban melakukan hadhanah
beserta urutannya. Orang yang berhak dan berkewajiban
melaksanakan hadhanah adalah orang tuanya, apabila orang
tua si anak telah bercerai maka ibunyalah yang berhak

130
memelihara anak tersebut. Sedangkan perbelanjaannya
menjadi kewajiban dan tanggung jawab ayahnya.
Sabda Rasulullah Saw
َّ ِ‫!إ‬ ‫ ( َا َر ُ َو اَللَّ ِو‬: ْ َ‫ض َي اَللَّوُ َع ْن ُه َما; َ َّ اِ ْ َرَ ًة َال‬ِ ‫َعن َعب ِد اَللَّ ِو ب ِن َعم ِر ٍو ر‬
َ ْ ْ ْ ْ
,‫ َوإِ َّ َبَاهُ طَلَّ َ نِي‬, ‫اا‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ
‫ َو ْ ِر لَوُ َ ًة‬, ‫اا‬ ‫ َوَ ْد ي لَوُ َ ًة‬,‫اا‬ ‫ابْني َى َ ا َ ا َ بَ ْني لَوُ ِو َع ًة‬
‫ َا‬,‫او ل ََها َر ُ ُو اَللَّ ِو لل اا عللو و لل َْ ِ َ َ ُّق بِ ِو‬ َ َ َ ‫اا َ ْ َ ْنَ ِ َعوُ ِ نِّني‬ َ ‫َو ََر‬
‫ْحا ِ ُل‬
َ ‫ َو َ َّح َحوُ اَل‬, ‫ َوَبُ َا ُاو َا‬,‫َل تَ ْنكحي ) َرَواهُ َ ْ َم ُد‬
ِِ ‫ل‬
ْ

Artinya
“Dari Abdullah Ibn Umar bahwa sesungguhnya seorang wanita
datang dan bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah,
sesungguhnya bagi anak laki-laki ini perutkulah yang mejadi
bejananya dan lambungkulah yang menjadi perlindungannya dan
tetekkulah yang menjadi minumnya, tetapi tibatiba ayahnya
merasa berhak untuk mengambilnya dariku. Maka Rasulullah
bersabda: Engkau lebih berhak terhadap anak itu selama engkau
belum nikah dengan orang lain”(HR Ahmad, Abi Daud, Baihaqi
dan Hakim).
Dalam suatu riwayat dari Yahya ibn Said dia berkata: saya
mendengar Kasim ibn Muhammad berkata: Umar ibn
Khattab punya isteri seorang Hafsah yang kemudian
melahirkan seorang anak laki-laki bernama Hasyim ibn
Umar, kemudian umar menceraikannya. Pada suatu hari
Umar datang ke Kuba, tiba-tiba ia mendapatkan putranya
sedang bermain-main di halaman masjid, lalu ia mengambil
dan merangkul anak tersebut kemudian di naikkan keatas
kendaraan untanya, duduk di depannya. Nenek perempuan
anak itu mengetahuinya, lalu ia merebutnya dari umar
sehingga keduanya terpaksa datang mengaku kepada
131
khalifah Abu Bakar. Khalifah Abu Bakar memberi keputusan
bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dasar/alasan yang
dikemukakan Abu Bakar pada waktu itu:
‫اطما ىملْمطتىػْمن ىك ًحىطخاافةط‬ ً ً ً ‫ىؼطكًىىطأ‬
‫ىح مقطب ىلاد ىى ى‬
‫ىخيىػير ىطكأ ْمىرأ ي ى ى ى‬
‫احلى يض ىطكأ ْم‬
‫ف ىطكاىْمر ىح يض ىطك ْم‬
‫ف ىطكاىاْمطى ي‬
‫اىالي مـطاى ْمعطى ي‬
‫ابلطبكرط‬
Artinya
“Ibu lebih cenderung kepada anak, lebih halus, lebih pemurah,
lebih penyantun, lebih baik dan lebih penyayang. Oleh karena itu
ibu adalah lebih berkah atas anaknya itu selama ia belum kawin
dengan laki-laki lain”

Sabda Rasulullah Saw


‫قاطؿطرسلؿطاهللطصلعطمنطفنطفرؽطبنيطكطاادطةطككطادطىاطفرؽطاهللطبينوطكطبنيطاطحبتوطيلـط‬
.‫ااقياطمة‬
Artinya
“Barang siapa yang memisahkan antara seorang ibu dengan
anaknya, niscaya Allah akan memisahkan antara orang itu dengan
kekasihnya dihari kiamat nanti”.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut di atas berarti ibulah
yang paling berhak untuk memelihara anak. Oleh karena itu
para hakim, para wali, bekas suami atau kerabat lainnya
harus memperhatikan hal demikian ini. Jika ibu tidak ada,
yang berhak menjadi hadhanah (pemeliharaan anak) adalah
ibu dari ibu alias nenek tersebut. Kalau urutan/rangking
garis lurus ke atas ini tidak ada barulah rangking garis
menyamping digunakan (hawasyi), misalnya saudara ibu
perempuan seibu, setelah itu saudara itu perempuan seayah
dari saudara perempuan seayah, lalu ibu yang sekandung
dengan ibunya dan seterusnya. Dasar urutan-urutan dalam
melakukan kewajiban hadhanah adalah:

132
a. Kerabat pihak ibu didahulukan dari kerabat pihak bapak
jika tingkat kekerabatannya sama.
b. Nenek perempuan didahulukan atas saudara perempuan
karena anak merupakan bagian dari nenek itu.
c. Kerabat sekandung didahulukan dari kerabat yang
bukan sekandung dan kerabat seibu lebih didahulukan
dari kerabat seayah.
d. Dasar urutan a,b,c diantara urutan kerabat yang memiliki
hubungan mahram, dengan ketentuan bahwa pada
tingkat yang sama. Pihak ibu lebih didahulukan dari
pihak ayah.
e. Apabila kerabat yang ada hubungan mahram tidak ada
maka kewajiban hadhanah pindah kepada kerabat yang
tidak ada hubungan mahram (Depag, 1984/1985, h. 210-
211).
3. Biaya hadhanah
Ayah berkewajiban memberiikan biaya untuk hadhanah,
para ulama fiqh menyamakan kewajiban ini dengan biaya
menyusui anak tersebut. Kalau seorang isteri masih dalam
ikatan perkawinan atau dalam iddah raj‟i maka isteri tidak
berhak menerima biaya tersendiri untuk hadhanah, karena
hal itu termasuk dalam nafkah, tapi kalau dia sudah bercerai
maka biaya hadhanah berhak dimintainnya secara tersendiri
dari suaminya Firman Allah SWT.

‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anaknya 2 tahun penuh ini
bagi siapa yang ingin menyempurnakan susunannya. Dan bagi
ayahnya wajib memberiikan nafkah kepada mereka ibu-ibu dan
pakaian mereka secara wajar” (Al Baqarah: 233)

133
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬
Artinya
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu
menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. jika
mereka (isteri-isteri yang sudah di talaq) itu sedang hamil, maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,
kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di
antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui
kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu)
untuknya”(At Thalak: 6).
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa seluruh
pembiayaan yang berkenaan hadhanah adalah kewajiban
ayah. Apabila ada kerabat dari anak yang mau melakukan
hadhanah dengan sukarela padahal ibu anak itu masih ada
dan tidak mau melakukan hadhanah kecuali kalau dibayar
oleh ayah si anak dan ayah si anak memang mampu untuk
membayar biaya hadhanah kepada ibu si anak tersebut. Jadi
dalam hal ini kewajiban hadhanah tidak boleh dipindahkan
kepada kerabat yang mau melaksanakan hadhanah secara
suka rela tersebut. Tetapi kalau ayah tidak mampu
membayar maka ibu dapat dipaksa untuk melakukan
hadhanah kepada anak tersebut. Ayah dalam hal ini
berhutang terhadap pembiayaan itu sampai dia mampu
membayarnya.

134
4. Masa hadhanah
Ayat-ayat Al Qur‟an maupun hadits Rasulullah tidak
menerangkan dengan tegas tentang berakhirnya masa
hadhanah, yang ada hanya petunjuk-petunjuk saja. Oleh
karena itu para mujtahid dan ulama berijtihad sendiri-sendiri
untuk menetapkan masa hadhanah dengan tetap
berpedoman kepada isyarat-isyarat Al Qur‟an dan hadits.
Pada dasrnya mereka menyatakan bahwa masa hadhanah
itu berlangsung sampai dengan anak tersebut menjadi
mumayyiz dan mempunyai kemampuan untuk berdiri
sendiri. Mereka berbeda pendapat tentang umur mumayyiz
atau mampu berdiri sendiri itu. Ada diantaranya yang
menetapkan umur 7 s/d 9 tahun. Untuk anak laki-laki, 9 s/d
11 tahun untuk anak wanita, dan ada juga yang tidak
menetapkan batas umur tetapi melihat apakah anak itu
sudah mumayyiz atau belum. Masalah mumayyiz masing-
masing anak adalah berbeda. Mereka cenderung menetapkan
bahwa masa hadhanah anak perempuan lebih lama daripada
anak laki-laki.
Dari kitab al fiqh „ala mazahibi arba‟ah dapt kita ikuti
pendapat para Imam Mazhab sebagai berikut:
a. Golongan Hanfiah mengatakan bahwa: masa hadhanah
adalah sampai dengan 7 tahun, sebagian lain mengatakan
s/d 9 tahun.
b. Golongan Maliki mengatakan bahwa: masa hadhanah
adalah sejak lahir sampai baliqh
c. Golongan syafiiah mengatakan: tidak ada masa tertentu
untuk hadhanah. Masa hadhanah adalah sampai anak
tersebut mumayyiz atau sampai anak tersebut bisa
menentukan pilihannya ikut ayahnya atau ikut ibunya.

135
d. Golongan Hanabilah mengatakan bahwa: masa
hadhanah 7 tahun baik untuk anak laki-laki maupun
untuk perempuan (Al Jaziri, 1969, h. 548-596).
Di Indonesia yang sebagian besar umatnya mengikuti
mazhab Imam asy Syafii lebih condong mengikuti mazhab
ini. Alasannya adalah berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
Sabda Rasulullah Saw
‫قاطؿطرسلطؿطااهللطصلعطخريطخالطـطبنيطاطبيوطكطاطموطكماطخريطبنتاطبنيطاطيهاطكطاطمسها‬
Artinya
“Seorang anak laki-laki disuruh memilih antara ikut ayahnya atau
ibunya sebagaimana juga anak wanita yang belum mumayyiz
ditetapkan disuruh memilih ikut ayahnya atau ibunya”.

Sabda Rasulullah Saw


‫انتطاحقطبىوطماطملطتنكحى‬
Artinya
“Engkau lebih berhak terhadap anakmu ini selama engaku belum
nikah dengan laki-laki lain”.
Sabda Rasulullah Saw
‫طفاطخذطبيدطاموط–ركاهطامحدطكط‬:‫ياطخالـطىذاطابلؾطكطىذهطامكطفخدطبيدطايهماطشئت‬
‫ابلطداكدطكطاارتطمذلطكطابنطماطجوطكطاانساطئى‬
Artinya
“Wahai anakku, ini bapak engkau dan ini ibu engkau maka
peganglah tangan salah seorang dari keduanya yang engkau sukai,
lalu si anak memegang tangan ibunya, dan ibunya itu
membawanya pergi” (HR Ahmad, Abu Daud, Turmuzi, Ibnu
Majah dan An Nasai).
Hadits Rasulullah yang berhubungan dengan menyuruh
anak yang telah berumur 6 atau 7 tahun agar melaksanakan
shalat. Apabila anak tersebut telah berumur 9 atau 10 tahun
136
dia enggan melaksanakan perintah shalat anak tersebut
boleh dipaksa untuk melaksanakannya dan kalau perlu
boleh dipukul. Hadits ini memperkuat tentang masa
hadhanah.
Di Indonesia UU tahun 74 tentang perkawinan
menjelaskan hak dan kewajiban antara orang tua dan anak,
pasal 45 menyebutkan:
Ayat 1: Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Ayat 2: Kewajiban orang tua, yang dimaksud dalam ayat 1
pasal ini berlaku sampai anak itu kawin, atau
dapat berdiri sendiri, kewajiban berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya
putus.
Pasal 7 UU 1974 ayat 1 menyebutkan:
Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
usia 16 tahun.
Berdasarkan pasal 45 dan pasal 7 UU Perkawinan tahun
1974 no. 1 tahun ini dapat disimpulkan bahwa: kewajiban
masa hadhanah terhadap anakadlaah sampai dengan umur
19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita atau anak
tersebut telah kawin atau telah dapat berdiri sendiri.
5. Syarat-syarat hadhanah
Agar pemeliharaan anak dapat berhasil dengan baik
diperlukan syarat-syarat tersebut bagi seorang
hadhim/bapak asuh atau bagi hadhimah/ibu asuh.
Secara umum persyaratan hadhanah adalah memiliki
kesanggupan, kemampuan dan mempunyai kelapangan

137
untuk melakukan hadhanah. Secara terperinci dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Mukallaf
Artinya orang tersebut Islam, baliqh dan berakal.
Hadhanah dalam Islam sama dengan perwalian. Anak
kecil muslim tidak boleh diasuh oleh pengasuh bukan
musllim.
Allah tidak membolehkan orang mukmin dibawah
perwalian orang kafir.
Firman Allah SWT:

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberii jalan kepada
orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang
beriman”(An Nisa 141).
Apabila seornag anak kecil dipelihara oleh orang
yang bukan Islam maka dikhawatirkan anak tersebut
akan dididik dan diasuh tidak secara Islam. Hal ini
merupakan salah satu bahaya yang amat besar. Sabda
Rasulullah Saw
.)‫ل‬ ِّ ‫طعلىىطااْم ًفطْمىرةًطفىأىبػى ىلاهيطيػي ىه ِّلىدانًًوطاىْمكطيػينى‬
‫صىرانًًوطاىْمكُّييى ِّج َّسانًًوط( ىرىكاهيطااْمبي ىخا ًر مط‬ ‫يك مل و‬
‫طم ْملايْملدطيػي ْملاى يد ى‬
‫ى‬
Artinya
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), orang
tuanyalah yang dapat menjadikan anak tersebut pemeluk
agama Yahuid. Nasrani atau Majusi”

138
Sabda Rasulullah Saw
‫افطرافعطبنطسنافطاسلضطكطأطبتطاطرأطتوطافطتسلضطفأطتتطاانىبططعطفقاطاتطابنىتط‬
‫كطىىطفطئيضطأكطشبهةطكطقاطؿطرطافئعطابنىتطفقاؿطاانىبطصلعطاالهضطاىدطناطفماط‬
‫طركاهطابلداكدطاانساطئى‬-‫اتطاىلطاهباطفاطخذطىا‬
Artinya
“Bahwa Rafi‟ Ibn Sinan masuk Islam tetapi isterinya tidak
mau, lalu isterinya datang kepada Rasulullah Saw dan berkata:
ini anak perempuanku, dia disapih atau hampir disapih, lalu
rafi‟ menyahut: ini anak perempuanku. Lalu nabi bersabda dan
berdoa: Ya Allah, berilah anak ini hidayah (petunjuk), lalu anak
perempuan tersebut condong kepada ayahnya. Lalu diambillah
oleh ayahnya”(HR Abu Daud dan An Nasai).
Golongan Hanfiah mebolehkan orang bukan Islam
melakukan hadhanah terhadap anak kecil Islam tetapi
kafirnya orang tersebut bukan kafir murtad artinya
kafirnya sejak semula, belum pernah masuk Islam.
Baliqh atau telah dewasa merupakan persyaratan
untuk melakukan hadhanah. Anak kecil sekalipun telah
mumayyiz tidak dapat melakukan hadhanah. Orang gila
tidak mungkin melaksanakan hadahanah, karena itu
orang yang berakal sehatlah yang dapat melaksanakan
hadhanah.
b. Mampu mendidik
Artinya orang yang sudah lanjut usia, orang buta,
orang yang suka marah, orang yang mengidap penyakit
menular dan sebagainya tidak boleh menjadi pengasuh.
c. Amanah dan berbudi luhur
Untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak
di perlukan pengasuh yang amanah dan berbudi luhur.
Anak yang diasuh oleh orang yang curang dan tidak
berbudi luhur akan menjerumuskan anak tersebut sebab
139
seorang anak biasanya memiliki kecenderungan untuk
meniru kelakuan pengasuhnya. Dengan demikian
seorang pencuri, seorang penzinah dan orang yang
curang tidak layak untuk melakukan hadhanah.
d. Ibu/hadhimah belum kawin dengan laki-laki lain yang
tidak punya hubungan mahram dengan anak asuh
tersebut, tetapi kalau ibu tersebut kawin dengan laki-laki
yang mempunyai hubungan mahram dengan anak
tersebut, umpamanya: ibu tersebut kawin dengan paman
si anak maka dia boleh melakukan hadhanah, alasannya
adalah berdasarkan hadits riwayat Ahmad, Abu Daud,
Baihaqi dan hakim yang telah disebutkan sebelumnya.
e. Dapat melakukan tugas hadhanah dengan baik.
Orang yang berjauhan tempat tinggalnya dengan anak
yang akan di asuh atau orang yang sibuk yang
menghabiskan waktunya untuk bekerja atau orang
tersebut seorang budak yang harus sibuk dengan urusan-
urusan tuannya tidak boleh atau tidak dapat
melaksanakan hadhanah.

140
BAB X
PUTUSNYA PERKAWINAN

A. Pengertian
Allah SWT dalam surat An Nisa‟ ayat 21 menjelaskan bahwa:
pernikahan adalah merupakan suatu ikatan yang paling suci dan
paling kokoh antara suami isteri. Oleh karena itu, Islam
menetapkan bahwa akad nikah diadakan untuk selamanya.
Langgengnya pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan Islam. Firman Allah SWT:

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian
yang kuat”(An Nisa‟ 21).
Di dalam ayat ini dikatakan perjanjian suami isteri itu
merupakan ikatan mitsaqan qhalizan atau ikatan yang paling
suci dan paling kokoh. Oleh sebab itu dengan akad nikah akan
terjalin suatu kontrak lahir bathin antara suami isteri sebagai
modal untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia dan
diridhai Allah SWT.
Pergaulan suami isteri dalam suatu rumah tangga
merupakan persenyawaan jiwa raga dan citarasa. Suami isteri
yang hidup seatap, sekasur, setempat tidur dan sedapur itu
memerlukan suatu penyesuaian pendapat, penyesuaian cita-cita,
penyesuaian watak dan penyesuaian tabiat agar bahtera rumah
tangganya dapat berjalan dengan serasi. Dengan penyesuaian di
atas diharapkan rumah tangga suami isteri tersebut mendapat
rahmat dari Allah SWT.
Tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga
kesinambungan hidup rumah tangga ternyata bukanlah suatu
141
perkara yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak kita jumpai
bahwa tujuan mulia perkawinan tidak dapat diwujudkan secara
baik faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain adalah faktor
psikologis, biologis, ekonomis. Pandangan hidup, perbedan
kecenderungan dan lain sebagainya. Agama Islam tidak
menutup mata terhadap hal-hal tersebut di atas. Agama Islam
membuka suatu jalan keluar dari krisis atau kesulitan rumah
tangga yang tidak dapat diatasi lagi. Jalan keluar itu
dimungkinkannya suatu perceraian, baik melalui talak, khuluq
dan sebagainya. Jalan keluar ini tidak boleh ditempuh kecuali
dalam keadaan terpaksa atau darurat.
Golongan Hanafiah dan Hambali mengatakan perceraian itu
terlarang atau tidak dibolehkan kecuali dalam keadaan darurat.
Alasan mereka adalah sabda Rasulullah Saw
‫دلنطاهللطكلطذكاطؽطمطالؽ‬
Artinya
“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan bercerai”
Oleh karena itu apabila terdapat percekcokan, perselisihan,
perbedaan pendapa, perbedaan tabiat dan perbedaan watak
dalam suatu rumah tangga, suami harus bijaksana dalam
melihat setiap persoalan rumah tangganya dan bersikap sabar
dalam menghadapinya. Suami juga harus mencari jalan keluar
setiap persoalan rumah tangganya, agar rumah tangga itu tetap
utuh dan berjalan sebagaimana mestinya. Sebab dibalik tabiat
isteri yang tidak disenangi itu terdapat pula sesuatu yang baik
dan menguntungkan kehidupan rumah tangga itu.

142
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak”(An Nisa: 19).
Bila suami melihat ada gejala-gejala nusyuz (durhaka) pada
isteri, misalnya isteri meninggalkan rumah tangga tanpa izin
suami, isteri enggan melaksanakan kewajibannya selaku isteri,
isteri membangkang terhadap suami dan sebagainya, maka
Allah memberikan jalan agar suami menghadapi hal yang
demikian ini secara pendidikan (paedagogis). Firman Allah
SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu
mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha besar”(An Nisa: 34).

143
Ada 3 tahap menghadapi gejala nuzyuznya isteri yaitu:
Pertama dinasihati dengan lisan: kedua memisahkannya dari
tempat tidur dan yang ketiga mengambil tindakan fisik atau
memukul tapi tidak membinasakan.
Yang tersebut terakhir ini tidak boleh dilaksanakan kecuali
kalau sudah darurat atau tidak ada jalan lain serta dia tidak
dapat berubah kecuali dengan itu.

Sabda Rasulullah Saw


‫أماطيسنحىطاحدطكضطافطيلربطامراطتوطكضطيلربطادلبديلرهباطاكطؿطاانهارطشضطُياطسعهاط‬
‫اخره‬
Artinya
“Tidak malukah seorang diantara kamu memukul isterinya seperti
memukul budaknya, dia pukuk isterinya itu diawal siang hari
kemudian dia mengumpuli isterinya itu diakhir siang harinya itu
pula”.
Hadits ini mengecam orang yang memukul isterinya dengan
seenaknya saja. Rasulullah Saw sendiri tidak pernah selama
hayatnya memukul isterinya. Sebaliknya bila gejala-gejala
nusyuz itu timbul pada diri suami, misalnya suami bersikap
keras, bersikap kasar, tidak mau menggauli isterinya dengan
cara yang baik, tidak mau memberikan gilirannya, enggan
memberi nafkah wajib, dan sebagainya, maka hal ini pun harus
dicari jalan keluarnya dengan cara sebaik-baiknya. Isteri juga
harus bersikap sabar dan bijak sana dalam menghadapi
persoalan seperti ini. Berbuatlah sesuatu yang bisa menimbulkan
kegembiraan. Kesenangan bagi suami, misalnya dengan cara
berhias, berdandan, atau menyediakan kesenangan atau
kesukaan suami sehingga suami bisa sadar dan tidak lagi
berbuat nusyuz itu. Sesungguhnya yang dapat mengatasi yang

144
demikian itu adalah suami isteri itu sendiri. Allahpun telah
memberi jalan agar persoalan itu dapat diatasi dengan baik.

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap acuh tidak
acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi
mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. Dan jika
kamu menggauli isterimu dengan baik dan memelihara dirimu dari
nusyuz dan sikap acuh tak acuh maka sesungguhnya Allah adalah
maha mengetahui apa yang kamu kerjakan” (An Nisa:128).
Jelaslah bahwa putusnya pernikahan apabila tidak dapat
dihindari dapat dibenarkan oleh Islam, tetapi putusnya
pernikahan tersebut adalah hal yang tidak disenangi dalam
Islam, bahwa Allah melaknati perbuatan itu apabila
dilaksanakan secara sewenang-wenang.

B. PERCERAIAN
Putusnya perkawinan akibat perceraian dapat terjadi karena
talak atau gugatan perceraian, talak tebus atau khuluq, zihar, ila,
li‟an dan sebab-sebab lain. Berikut ini akan dijelaskan satu
persatu masalah putusnya perkawinan tersebut.
1. Talak
a. Pengertian talak
‫معناهطَبطاالغةطحلطااقيدطسلاكافطحسباطكقيدطاافرسطكطقيدطاطالطسرياطمعنلياطكقيدطاانماح‬

145
Artinya
talak menurut bahasa adalah membuat ikatan, baik ikatan nyata
seperti ikatan kuda atau ikatan tawanan ataupun ikatan maknawi
seperti ikatan nikah (Al Jaziri, 1969, h.278).
‫طمأطخلذطمنطاالططالؽطكطىلطاالطرساؿطكطاانرؾ‬:‫ااطالؽ‬
At thalaq diambil dari kata al ithlak yaitu melepaskan
dan meninggalkan.
‫طاطلقتطاطالطسريطاذاطحللتطقيدهطكارسلتو‬:‫تقلؿ‬
Kamu mengatakan: aku lepaskan tawanan, apabila aku
lepaskan dan membiarkannya (Sayyid Sabiq, 1971, h. 206)
‫طييقاطؿطناطقةططاطاقطاطمرطسلةطترط‬,‫ااطالؽطَبطاالغةطىلطاحللطااقيدطكطاالططالؽطكطذلذاط‬
‫عىطحيثطشاطت‬
Artinya: “talak menurut bahasa ialah melepaskan ikatan
dan membiarkannya lepas”.

Oleh karena itu dikatakan unta yang lepas.


Artinya: unta yang dibiarkan tergembala kemana saja dia
kehendaki (Taqiuddin, h. 52). Talaq menurut istilah adalah:
‫طباطنوطازطااوطاانكاحطاكطنقصافطحلوطبلفططسلصلص‬:‫َبطاالطمطالح‬
Artinya: talak itu ialah menghilangkan ikatan pernikahan atau
mengurangi ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu (Al Jaziri,
1969, h.278).
‫كطَبطااشرعطحلطراطبطةطاازكاطجطكطانسهاءطااعالطقةطاازكجة‬
Artinya: talak menurut syarak ialah melepaskan tali perkawinan dan
mengakhiri tali pernikahan suami isteri (Sayyid Sabiq, 1971, h. 206).
‫كطىلطَبطااشرعطاسضطاحلطقيدطاانكاطىلطافططجاطىلىطكردطااشرعطبتقرطيشرهطكطاطالطصلطقيوط‬
‫ااكتاطبطكطااسنةطكطاطِجاعطاىلطادلللطمعطاطىلطااسنةط‬

146
Artinya: “talak menurut syara‟ adalah nama untuk melepaskan tali
ikatan nikah dan talak adalah lafaz jahiliah yang setelah Islam datang
menetapkan lafaz itu sebagai kata melepaskan ikatan nikah”.
“Dalil-dalil tentang talak adalah berdasarkan al kitab, as
sunnah dan ijma‟ ahli agama dan ahli sunnah”(Taqiuddin, h. 52).
Abdurrahman al Jaziri menjelaskan ikatan pernikahan ialah
mengangkat ikatan pernikahan itu sehingga tidak lagi isteri itu
halal bagi suaminya (dalam Islam hal ini kalau terjadi talak tiga).
Yang dimaksud dengan mengurangi pelepasan ikatan
pernikahan ialah berkurangnya hak talak bagi suami (dalam hal
ini kalau terjadi talak raj‟i).
Kalau suami telah mentalak isterinya dengan talak satu maka
masih ada dua talak lagi, kalau talak dua maka tinggal satu talak
lagi, kalau sudah talak tiga maka hak talaknya menjadi habis (Al
Jaziri, 1969, h.278).
b. Macam-macam talak
Ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak, talak dapat
dibagi menjadi talak sunni, talak bid‟i dan talak la sunni
walabid‟i.
Ditinjau dari segi lafaz yang digunakan untuk mengucapkan
talak, talak dapat dibagi menjadi: talak sarih dan talak kinayah.
Berdasarkan boleh tidaknya suami rujuk kepada isterinya setelah
isteri di talak, talak dibagi menjadi talak raj‟i dan talak ba‟in.
Talak dapat juga dibagi menjadi: talak dengan ucapan, talak
dengan tulisan, talak dengan isyarat dan talak dnegan utusan
kalau ditinjau dari cara menyampaikan talak.
Berikut ini penjelasan macam-macam talak sebagai berikut:
Talak ditinjau dari segi waktu menjatuhkan talak.

147
1) Talak sunni
Talak sunni adalah talak yang dijatuhkan sesuai dengan
tuntutan sunnah. Dikatakan sebagai talak sunni jika memenuhi 4
syarat sebagai berikut:
a) Isteri yang ditalak sudah pernah dikumpuli.
Bila tidak dijatuhi pada isteri yang belum pernah dikumpuli,
tidak termasuk talak.
b) Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak,
yaitu isteri dalam keadaan suci dari haid.
c) Talak itu dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci
Dalam masa suci itu suami tidak pernah mengumpuli
isterinya.
2) Talak bid‟i:
Talak bid‟i ialah talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan tuntunan sunnah, dengan demikian berarti
tidak memenuhi persyaratan talak sunni di atas.
Talak bid‟i antara lain:
a) Talak dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri tersebut
haid (menstruasi).
b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu isteri
dalam keadaan suci, tapi sudah pernah dikumpuli suaminya
ketika dalam kedaan suci tersebut. Firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar)”(At Thalaq: 1).

148
Sabda Rasulullah Saw
‫طع ْمنط‬‫طع ىمىر ى‬
ً
‫طعبىػْمي ىدطاالَّوطبْم ىن ي‬ ‫ت ي‬
ً‫اؿ ى‬
‫طَس ْمع ي‬ ‫طح َّدثػىنىاطااْم يم ْمعتى ًميرطقى ى‬
‫اؿ ى‬ ‫طعْمب ًد ْم‬
‫طاْل ْمىعلىىطقى ى‬ ‫اطزلى َّم يدطبْم ين ى‬
‫ىخبىػىرنى ي‬
‫أ ْم‬
‫طصلَّىط‬ ً ً ‫نىافً وعطعنطعب ًدطاالَّ ًوطأىنَّوططىلَّقطامرأىتىوطكًىي‬
‫َِّب ى‬ َّ ً‫ىخبىػىرطاان‬ ‫طع ىميرطفىأ ْم‬ ‫ضطتىطْملي ىقةنطفىانْمطىلى ىق ي‬ ‫طحائ ه‬ ‫ي ى ْم ى ي ى ى ى‬ ‫ى ْم ىْم‬
‫طعْمب ىدطاالَّ ًوطفىػ ْملييػىر ًاج ْمع ىهاطفىًإذىاط‬ ً ‫اؿطاىوطاانًَِّبطصلَّىطاالَّو‬
‫طعلىْميو ىطك ىسلَّ ىض ي‬
‫طم ْمر ى‬ ‫يى‬ ‫كطفىػ ىق ى ي م ى‬
ً
‫طعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ىضطبً ىذا ى‬
‫االَّوي ى‬
‫اطح َّىتط‬
‫يخىرلطفى ىالطُّيىى َّس ىه ى‬ ‫لتً ىه ْم‬
‫اطاْل ْم‬ ‫طحْمي ى‬
‫تطم ْمن ى‬
ً ‫اطاغتسلى‬
‫يضطفىًإذى ْم ى ى ْم‬ ‫طحت ى‬
ً‫ْماغتسلىتطفىػ ْمليْمتػرْمكهاطح َّىت ى‬
‫ى ى ْم ى ي ى ى‬
ً ً ً
‫طعَّز ىطك ىج َّلطأ ْمىفطتيطىلَّ ىقط ىذلىاط‬ ‫ْمهاطفىًإنػ ىَّهاطااْمع َّدةيطااًَِّتطأ ىىمىرطاالَّوي ى‬ ‫ييطىلِّ ىق ىهاطفىًإ ْمف ى‬
‫طشاءىطأ ْمىفطيُّيْمس ىك ىهاطفىػ ْمليي ْممسك ى‬
‫اءي‬
‫ِّس ط‬
‫اان ى‬
Artinya
“Dari Nafi‟ Ibn Abdullah Ibn Umar, sesungguhnya Abdullah ibn
Umar telah menceraikan isterinya ketika haid di zaman Rasulullah
masih hidup. Lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang hal
itu, maka Rasulullah menjawab: perintahlah ia untuk merujuknya,
kemudian dia berhasil lalu suci lagi. Kemudian jika ia mau boleh ia
tetap pegang isterinya sesudah itu. Tetapi jika ia mau mentalak
sebelum ia mencampurinya, maka yang demikian itula iddah yang
diperintahkan oleh Allah untuk mentalak isteri-isteri. Dalam
riwayat yang lain dikatakan bahwa ibn Umar mentalak salah
seorang isterinya dimasa haid dengan sekali talak, lalu umar
menyampaikan hal itu kepada Nabi Saw. Maka beliau bersabda:
suruhlah ia untuk merujuknya kemudian bolehlah ia mentalaknya
jika telah suci, atau ketika ia hamil”( HR An Nasai, Muslim, Ibn
Majah dan Abu Daud).

3) Talak la sunni wa la bid‟i


Talak yang termasuk dalam kategori talak ini adalah talak
yang bukan sunni dan bukan pula bid‟i yaitu:
a) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang belum pernah
dikumpuli.
b) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri telah lepas dari
masa haid (menopause).

149
c) Talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedangn
hamil.
Talak ditinjau dari segi lafaz atau kata-kata yang digunakan
untuk menjatuhkan talak:
1) Talak sharih:
Talak sharih adalah talak yang apabila seseorang
menjatuhkan talak kepada isterinya dengan
mempergunakan kata-kata at thalaq atau al firaq atau as
sara. Ketika kata-kata ini terdapat dalam Al Qur‟an atau
hadits yang maksudnya jelas untuk menceraikan isteri.
Dengan menggunakan lafaz-lafza tersebut seseorang
yang mentalak isterinya maka jatuhlah talak tersebut
walaupun tanpa niat umpamanya seseorang mengatakan
kepada isterinya: thalaqtuki; engkau aku talak; wa anti
thaalqun: engkau tertalak atau thalaqtuki wa anti
thaliqun: aku pisahkan engkau atau engku terlepas. Lafaz-
lafaz ini dinamakan lafaz sarih.
Sebahagia ahli zahir mengatakan bahwa talak tidak
jatuh kecuali dengan mempergunakan salah satu dari tiga
lafaz itu atau dengan artinya sebab masalah talak ini
adalah perbuatan agama atau iddah. Oleh karena itu tidak
boleh memakai selain yang ditetapkan oleh syara‟ atau
agama.
2) Talak kinayah atau kiasan.
Talak kinayah ialah talak yang dilakukan seseorang
dengan menggunakan selain kata-kata lafaz syarih
tersebut di atas. Suami mentalak isterinya dengan
menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar.
Seseorang yang menggunakan lafaz kinayah baru jatuh
talaknya kalau dia niatkan bahwa perbuatannya itu

150
adalah ucapan talak. Misalnya; seseorang mengatakan
kepada isterinya: anti baainun: engkau telah jauh dariku
dan telah berpisah, atau dia mengatakan: anti alaiya
haraamun: engkau haram bagiku; atau dia mengatakan:
amruki biyadiki :urusanmu ada ditanganku sendiri atau dia
mengatakan: ilhaqi bi ahliki: kembalilah engkau kepada
keluargamu dan sebagainya.
Talak ditinjau dari segi boleh tidaknya suami rujuk
kepada isterinya setelah isteri ditalak:
1) Talak raj‟i
Talak raj;i adalah talak yang dijatuhkan oleh
suami kepada isterinya yang telah dikumpulinya
secara nyata. Ia menjatuhkan talak bukan sebagai
ganti dari mahar yang belum dikembalikan oleh
isterinya; dan sebelumnya belum pernah ia
menjatuhkan talak sam sekali atau baru menjatuhkan
talak sekali saja.
Tidak ada perbedaan pakah dia menjatuhkan
talaknya menggunakan lafaz sarih atau dengan lafaz
kinayah (sayyid sabiq, 1971, h. 233).
Jelasnya talak raj‟i adalah talak yang dijatuhkan
suami kepada isterinya sebagai talak satu atau talak
dua. Apabila isteri berstatus iddah talak raj‟i suami
boleh rujuk kepada isterinya dengan tanpa akad
nikah yang baru, tanpa persaksian, dan tanpa mahar
yang baru pula. Tetapi bila iddahnya sudah habis
maka suami tidak boleh rujuk atau kembali
kepadanya kecuali dengan akad nikah baru dan
dengan bayar mahar baru pula. Firman Allah SWT:

151
‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬
Artinya
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”
(Al Baqarah : 229).
Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa talak yang
boleh rujuk paling banyak 2 kali dan talak yang disyari‟atkan
adalah satu demi satu, tidak sekaligus.
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ 
Artinya
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru' tidak boleh mereka menyembunyikan
apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami)
menghendaki ishlah”(Al Baqarah : 228).
2) Talak ba‟in
Apabila isteri berstatus tertalak ba‟in maka suami
tidak boleh rujuk kepadanya. Suami boleh
melaksanakan akad nikah baru kepada bekas
isterinya itu dan membayar mahar baru dengan
menggunakan rukun dan syarat yang baru pula.
Talak ba‟in ada 2 macam; talak ba‟in sughra dan
talak ba‟in kubra.

152
a) Talak ba‟in sughra.
Talak ba‟in sughra adalah talak yang
menghilangkan hak rujuk dari bekas suaminya,
tapi tidak menghilangkan hak nikah baru kepada
bekas isterinya itu.
b) Talak ba‟in kubra
Talak bain kubra adalah talak yang
menghilangkan hak suami untuk nikah kembali
kepada isterinya, kecuali kalau bekas sisterinya
itu telah kawin lagi dengan orang lain dan telah
berkumpul sebagai suami isteri secara nyata dan
sah. Disamping itu isteri tersebut telah
menjalankan iddahnya dan iddahnya telah habis
pula. Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain”
(Al Baqarah: 230).
Talak ditinjau dari cara menyampaikan talak:
1) Talak dengan ucapan
Yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan
ucapan lisan dihadapan isterinya dan isterinya
mendengar secara langsung ucapan suaminya itu.
2) Talak dengan tulisan
Yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara
tertulis lalu disampaikan kepada isterinya, kemudian
isterinya tersebut membacanya serta memahami
maksud dan isinya.

153
3) Talak dengan isyarat
Yaitu talak yang dilakukan dalam bentuk isyarat
oleh suami yang tuna wicara. Isyarat bagi suami
yang tuna wicara atau bisu dapat dipandang sebagai
komunikasi untuk memberiikan pengertian dalam
menyampaikan isi hatinya.
Sebahagian fuquha mengatakan bahwa talak
dengan isyarat bagi orang yang tuna wicara adalah
sah apabila dia buta huruf.
Tetapi kalau dia bisa menulis, dia harus
melaksanakan talaknya itu dalam bentuk tulisan.
Karena hal ini lebih jelas dibandingkan dengan
isyarat.
4) Talak dengan utusan
Yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada
isterinya melalui perantaraan orang lain sebagai
utusan darinya untuk menyampaikan maksudnya
mentalak isterinya tersebut.
c. Rukun dan syarat talak
Abdurrahman Al Jaziri menjelaskna bahwa ada 4
rukun talak yaitu: suami, isteri, syiqaq talak dan
kemauan (Al Qasdu).
Sedangkan syarat talak ada yang berkenaan dengan
suami, yang berkenaan dengan isteri dan yang berkenaan
dengan syigar talak.
Suatu talak yang tidak lengkap rukun dan syaratnya
maka talaknya tidak sah. Rukun dan syarat talak tersebut
adalah sebagai berikut:

154
1) Suami
Suami adalah orang yang memiliki hak talak dan
yang berhak menjatuhkannya. Selain suami tidak ada
yang berhak menjatuhkan talak. Suami baru dapat
menjatuhkan talak kepada isterinya apabila suami
tersebut telah melakukan akad nikah yang sah. Sabda
Rasulullah Saw
‫الطنذرطالطبنطادـطفيماطالطُّيلكطكطالطعنقطفيماطالطبصلكطكطالططالطؽطفياط‬
‫الطيعلكط–طركاهطابلطداكدطكطاارتطكذل‬
Artinya
“Tidak ada nazar bagi anak adam tentang hal yang tidak
dia miliki. Tidak ada hak memerdekakan budak terhadap
orang yang tidak dimilikinya dan tidak ada talak dalam hal
yang tidak dimilikinya”(HR Abu Daud dan at Turmuzi).
Sabda Rasulullah Saw
‫طالططالطؽطاالطبعدط‬:‫عنطجاطبرطرضطاهللطعنوطقاطؿطقاطؿطرصلطؿطاهللطصلع‬
‫نك طكطالطعنقطاالطبصدطملكط–طركاهطابلطيعلىطكطزلعوطاحلاطكض‬
Artinya
“Tidak ada talak kecuali setelah akad nikah dan tidak ada
hak memerdekakan budak kecuali setelah ada pemilikan
terhadap budak itu” (HR Abu Ya‟la dan Al Hakim
mensaksikannya) (As Sam‟ani 179/180).
Ada 3 persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang suami agar talak yang dijatuhkan itu sah:
a) Hendaklah ia seorang yang berakal
Oleh sebab itu tidak sah talak dari suami yang
gila. Gila yang dimaksud disini adalah orang
yang hilang akalnya atau rusak akalnya karena
sakit, baik karena sakit pitam, sakit panas atau
syarafnya rusak.

155
b) Baliqh
Oleh sebab itu tidak sah talak anak kecil yang
belum balig, walaupun dia telah mumayyiz tetapi
masih di bawah usia 10 tahun.
c) Atas kemauan sendiri
Oleh sebab itu tidak sah talak yang dijatuhkan
atas paksaan orang lain.
2) Isteri
Tidak sah talak kepada orang lain yang bukan
isteri.
Syarat isteri yang jatuh talak terhadapnya:
a) Isteri tersebut masih tetap berada dalam
lingkungan kekuasaan suami. Walaupun dia
dalam keadaan iddah talak raj‟i. Jadi kalau
seseorang mentalak isterinya masih dalam
keadaan iddah raj‟i maka jatuh talaknya dan
dihitung sebagai tambahan talak yang dijatuhkan
terhadapnya sebelumnya.
b) Isteri yang ditalak bukanlah yang bersangkutan.
c) Isteri tersebut masih dalam suatu ikatan
pernikahan yang sah. Kalau seseorang terikat
dalam suatu ikatan nikah yang fasid, umpamanya
nikah kepada muhrim atau orang yang masih
dalam keadaan iddah, atau orang yang dalam
keadaan ihram, maka talaknya tidak sah, sebab
wanita itu bukanlah isterinya.
3) Shiqat talak
Lafaz talak adalah lafaz yang menunjukkan
utusnya ikatan perkawinan, baik lafaz sarih maupun
lafaz kinayah. Ada 2 syarat syiqhat talak:
a) Lafaz itu menunjukkan talak, baik sarih maupun
kinayah, oleh karena itu tidak sah talak dengan
156
perbuatan, misalnya seseorang sedang marah
maka dia kembalikan isterinya ke rumah orang
tuanya, atau dia kembalikan maharnya, atau dia
kembalikan harta bendanya tanpa menyebut lafaz
talak. Oleh karena itu hal ini dihitung talak.
b) Lafaz itu dimaksudkan sebagai ucapan talak
bukan karena keliru. Umpamanya seseorang
mengatakan, anti thaahiratun; engkau suci,
keseleo lidahnya mengatakn anti thaaliqun:
engkau tertalak. Dalam keadaan seperti ini
talaknya tidak jatuh.
4) Al Qasdu (kesengajaan)
Al qasddu artinya ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang bersangkutan untuk
menjatuhkan talak, bukan untuk maksdu lain.
Umpamanya seseorang memanggil isterinya, ya
thaaliqatun, artinya: wahai orang yang tertalak.
Sedangkan isterinya bernama thaahiratun. Suami
tersebut memanggil: ya thaahiratun, keseleo
terpanggil ya thaaliqatun, maka seperti ini tidak jatuh
talaknya.
d. Talak ditangan suami
Pada umumnya laki-laki lebih kuat daripada
perempuan baik fisik maupun mental. Dalam
mengendalikan kehidupan rumah tangga banyak sekali
rintangan, halangan, hambatan, godaan yang bisa
menggoncangkan kehidupan rumah tangga itu. Biasanya
pria lebih tabah, tidak mudah goncang dan diharapkan
dapat menyelesaikan dengan bijaksana terhadap hal-hal
yang demikian ini. Sebaliknya, wanita biasanya lebih

157
bersikap emosional daripada rasional, wanita biasanya
lebih cepat marah, kurang tahan menderita, mudah
gelisa, dan sebagainya. Oleh karena itu Islam
menetapkan bahwa talak adalah hak suami. Suamilah
yang memegang kendali talak sebab suami dipandang
lebih mampu mengatasi segala kesulitan yang dihadapi
rumah tangga.
Karena Allah telah memberiikan kelebihan-kelebihan
dalam banyak hal kepada pria maka prialah yang
berkewajiban untuk memberi nafkah kepada isteri dan
keluarga. Pria dituntut untuk mampu mendidik dan
membiayai pendidikan anaknya.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi
perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu
ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-
sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta
menyempurnakannya” (Al Ahzab: 49).
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-

158
laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”(An
Nisa:34).
Dari kedua ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa
laki-laki yang menikahi wanita untuk mejadi isterinya
berkewajiban untuk memelihara wanita itu, sebab
aktifitas menikah itu bermula datang dari pihak pria.
Hak talak dipegang oleh suami, suamilah yang
mempunyai inisiatif untuk itu.
Dari surat an nisa‟ ayat 34 dapat disimpulkan bahwa
Allah memang telah menetapkan bahwa pria lebih dari
wanita, oleh karena itu pria berkewajiban memberiikan
nafkah terhadap wanita.
Meskipun kekusasaan talak ada ditangan suami, isteri
tidak perlu berkecil hati dan khawatir akan
kesewengang-wenangan suami menggunakan hak talak
tersebut. Islam juga memberiikan kesempatan kepada
isteri untuk meminta talak kepada suaminya dengan
mengembalikan mahar atau dengan memberiikan
sejumlah harta tertentu kepada suami. Isteri yang
meminta talak kepada suaminya disebut khuluq atau
talak tebus.
e. Persaksian talak
Para ahli fiqh berpendapat bahwa talak dapat terjadi
tanpa persaksian. Menurut Islam talak tanpa persaksian
adalah sah. Sebab talak itu adalah hak suami dan untuk
menggunakan hak tersebut tidak perlu menghadirkan
saksi. Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬

159
Artinya
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka
mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara
yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
(pula) (Al Baqarah:231).
Ibnul Qayyim mengatakan bahwa talak itu menjadi
hak bagi orang yang menikahi, karena itu dia pulalah
yang berhak merujuk isterinya suami tidak memerlukan
persaksian untuk mempergunakan haknya tersebut.
Tidak ada riwayat dari Rasulullah saw maupun dari
para sahabatnya yang mensyariatkan adanya persaksian
dalam talak.
Berbeda dengan pendapat sebagian besar para
fuqaha, golongan syi‟ah Imamiyah mengatakan bahwa
adanya persaksian dalam talak adalah peru dan
merupakan syarat bagi sah tidaknya talak tersebut.
Alasan golongan ini adalah firman Allah SWT:

‫طط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di
antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
karena Allah” (At Thaalaq:2).
Diantara para sahabat yang berketetapan
mempersaksikan talak itu hukumnya wajib dan
merupakan syarat sah talak adalah Ali Bin Abi Thalib
dan Imran Ibn Khusen. Dari kalangan tabiin adalah
Muhammad Al Baqir dan Ja‟far Ash Shiddiq. Dari tokoh
anak-anak keluarga Rasulullah adalah Atha‟ Ibnu Juraid
dan Ibnu Sirin.

160
Dalam kitab jahirul kalam, dari Ali ibn Abi Thalib
beliau pernah berkata kepada orang yang bertanya
tentang talak.
Katanya: apakah engkau mempersaksikan kepada
dua orang laki-laki yang adil sebagaimana perintah Allah
dalam al quran. Jawabnya: tidak. Lalu ali berkata:
pulanglah talakmu itu bukan talak yang sah (Sayyid
Sabiq, 1971, h. 220-221).
Di negara kita Republik Indonesia, UU No. 1 tahun 74
pasal 39 juncto PP No. 9 tahun 75 pasal 14, 16 dan 19
lebih condong terhadap keharusan adanya persaksian
dalam pelaksanaan talak ini. UU no. 1 tahun 74
mengatakan: bercerai hanya dapat dilakukan di depan
sidang pengadilan. Setelah pengadilan yang
bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak. PP no. 9 tahun 75 pasal
14 dan 16 mengatakan: seorang suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam yang
akan menceraikan isterinya mengajukan surat kepada
pengadilan di tempat tinggalnya yang berisi
pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya dan meminta
kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu (pasal 14).
Pegadilan hanya memutuskan untuk mengadakan
sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang
dimaksud dalam pasal 19 peraturan pemerintah dan
pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk

161
hidup rukun kembali dalam kehidupan rumah
tangganya. (pasal 16)
Dari pasal-pasal yang terdapat pada UU dan PP, tampak
jelas bahwa talak menjadi sah apabila dilakukan di depan
pengadilan, hal ini berarti adanya persaksian talak.
f. Hukum menjatuhkan talak
Agama Islam memandang ikatan perkawinan atau
pertalian suami isteri sebagai ikatan yang suci dan kokoh
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an nisa ayat
21:

‫ططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu
perjanjian yang kuat”(An Nisa:21).
Dalam kitab tafsir al maraghi, kata mengatakan
bahwa: janji yang kuat ini adalah janji Allah untuk
wanita, kewajiban laki-laki tersebut harus imsakun bil
ma‟ruf ala tashrikun bi ihsan; merujuki isterinya dengan
baik atau melepasnya dengan baik pula.
Al ustadz al imam mengatakan bahwa janji ini adalah
janji yang sesuai dengan pelaksanaan kehidupan
keduanya yang merupakan keadaan fitrah yang seliman,
sebagaimana diisyaratkan oleh Allah sw dalam surat ar
ruum ayat 21 (al maraghi, 1969, h. 216).
Ayat ini menjelaskan tentang fitrah Allah terhadap
hambanya. Sepasang suami isteri sengaja untuk hidup
bersama, serumah dalam satu keluarga, meninggalkan
kedua orang tuanya, sanak family dan keluarganya,
bersama-sama menikmati kesenangan suka cita, bersama-
sama pula mengalami duka nestapa penderitaan.
162
Keadaan semacam ini adalah keadaan yang harus
dipertahankan karena hal itu sesuai dengan fitrah
manusia.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, menjaga
kesinambungan hidup rumah tangga bukanlah perkara
yang mudah untuk dilaksanakan. Banyak faktor yang
harus di perhatikan antara lain faktor psikologis, biologis,
ekonomis, perbedaan pandangan hidup, perbedaan
kecenderungan dan sebagainya. Adakalanya faktor-
faktor ini dapat di atasi, namun tidak jarang pula tidak
dapat di atasi sehingga apabila telah mencapai keadaan
darurat perceraian atau perpisahanlah jalan keluarnya.
Jalan keluar melalui perceraian tersebut sangat dibenci
dan dilaknat oleh Allah SWT bila dilakukan dengan cara
sewenang-wenang.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum talak.
Golongan hanafi dan hambali mengatakan hukum talak
itu terlarang kecuali dalam keadaan darurat. Alasan
mereka adalah sabda Rasulullah Saw
‫دلنطاهللطكلطذطكطاطؽطمطالطؽ‬
Artinya
“Allah melaknat tiap-tiap orang yang suka merasai dan
mencerai, yaitu orang yang suka kawin dan suka cerai.
Alasan lain golongan ini melarang perceraian kecuali
dalam keadaan darurat adalah sabda Rasulullah Saw
ً ً ‫اىبػغىض ْم‬
‫طاحلىالى ًؿطااىىاهللطااطَّالى يؽط(ط ىرىكاهي ى‬
)‫طد ياكىد ىطكطاى ْممحى ْمدط‬ ‫ْم ي‬
Artinya
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah menjatuhkan
talak” (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).
Disamping itu, syariat Islam melarang keras seorang
perempuan beusaha membujuk seorang suami agar
163
menceraikan isterinya karena dia ingin menggantikan
kedudukan tersebut. Sabda Rasulullah Saw
‫عنطاىبطىريرةطافطرسلطؿطاهللطصلعطقاطؿطالطتسئلطااكرطأةططالطؽططالطؽطاختهاط‬
‫طـطقدطرطاسها‬.‫اتسرتغطصحتهاطكطاسننك طفاطمناطذلا‬
Artinya
“Dari Abu Hurairah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw
bersabda: janganlah seorang wanita meminta agar saudaranya
diceraikan karena ingin menggantikan kedudukannya sebagai
isteri, hendaklah ia kawin dengan laki-laki lain, karena baginya
apa yang telah ditakdirkan oleh Allah SWT”.
Isteri yang minta cerai dari suaminya tanpa sebab
atau tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara‟ adalah
merupakan perbuatan yang tercela. Sabda Rasulullah
Saw
‫طاىمُّي و‬:‫اؿطرسل يؿطاهللًطصطـط‬
‫طماطبىأْم ى‬
‫سطفى ىحىر هاـط‬ ‫الؽط ىغْميػير ى‬
‫ت ىطزْمك ىج ىهاطااطى ى‬
‫طساىاى ْم‬
‫اطامىرءىة ى‬
‫ى ى ى ْم‬ ‫قى ى ى ي ْم‬
‫اطر ًاء ىحةيطاجلىنىًطة‬
‫ىعلىْميػ ىه ى‬
Artinya
“Dari Tsauban bahwa Rasulullah Saw bersabda: siapapun
wanita yang minta cerai kepada suaminya tanpa suatu sebab
maka haramlah baginya bau surga”. (HR Ashhabus Sunan dan
dihasankan oleh Turmuzi)
Talak menjadi wajib hukumnya, apabila suami telah
mengila isterinya dan telah habis masa tenggang waktu
tunggu 4 bulan. „Ila artinya suami bersumpah tidak akan
mencampuri isterinya. Dengan sumpah ini seorang isteri
menderita tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan.
Talak juga wajib dijatuhkan oleh suami kepada isteri
mengganggap bahwa permasalahan suami isteri itu
sudah berat dan tidak ada jalan kecuali bercerai. Talak
jadi sunnah hukumnya, apabila isteri mengabaikan
kewajibannya kepada Allah seperti mengabaikan
164
kewajiban sholat, puasa dan sebagainya. Sedangkan
suami tidak mampu memaksanya agar ia mau
menjalankan kewajiban-kewajiban tersebut. Talak juga
menjadi sunnah hukumnya bila isteri tidak mempunyai
rasa malu, isteri telah rusak moralnya, isteri berbuat zina
dan sebagainya.
2. Khulu‟
a. Pengertian
Khulu‟ adalah masdar dari khalaa kataa, artinya
menanggalkan.
‫خلعطاارطجلطتلطبوطخلقاطازطااوطعنطبدطنوطكطنزعوطعنو‬
Artinya
seorang laki-laki mengkhulu‟ isterinya berarti dia
menaggalkan isterinya itu sebagai pakaiannya apabila isteri
membayar tebusan (Al Jaziri, 1969, h. 386)
Abdurrahman al Jaziri memberiikan defenisi khulu‟
menurut masing-masing mazhab:
1) Golongan Hanafiah mengatakan:
‫اخللعطىلطازطاةطملكطاانكاطحطادلنلطقفةطعلىطقبلؿطاارأةطبلفظطاخللعطاكطماطَبطسلناه‬
Artinya
khulu‟ ialah menanggalkan ikatan pernikahan yang
diterima oleh isteri dengan lafaz khulu‟ atau semakna
dengan itu.
2) Golongan Malikiah mengatakan:
‫اخللعطعرطعاطىلطااطالؽطبعلض‬
Artinya
khulu‟ menurut syara‟ adalah talak dengan tebus.
3) Golongan asy Syafiiah mengatakan:

165
‫اخللعطشرطىاطىلاالفظطااداؿطعلىطاافراطؽطبنيطاازكطجنيطبعلضطادلتلفرةطفيوط‬
‫ااشركط‬
Artinya
khulu‟ menurut syara‟ adalah lafaz yang menunjukkan
perceraian antara suami isteri dengan tebusan yang harus
memenuhi persyaratan tertentu.
4) Golongan Hanabilah mengatakan:
‫اخللعطىلطفراطؽطاازكجطاطمرأطتوطبعلضيوطخذهطاازكجطمنطامرطأطتوطاكطخريطىاطباط‬
‫افاطظطسلصلصةط‬
Artinya
khulu‟ adalah suami menceraikan isterinya dengan
tebusan yang diambil oleh suami isterinya dengan atau
dari lainnya dengan lafaz tertentu.
Lafaz khulu‟ itu terbagi dua yaitu: lafaz sarih dan
lafaz kinayah. Lafaz sarih misalnya: khla‟tu, fasakhtu
dan faidatu. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa khulu‟ adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberiikan
tebusan atau iwad kepada suami untuk dirinya dan
perceraian disetujui oleh suami.
b. Dasar hukum khulu‟
Dasar hukum bolehnya dilakukan khulu‟ adalah al-
qur‟an, al hadits dan pendapat para ulama. Apabila suatu
perkawinan tidak berjalan sebagaimana mestinya, dan
telah timbul krisis rumah tangga seperti suami membenci
isteri atau isteri membenci suami sehingga ketenangan
rumah tangga hilang, kasih sayang dan cinta telah tiada,
pergaulan yang baik tidak ada lagi maka dalam keadaan
krisis seperti ini dimana penyelesaiannya mnjadi sulit,
Islam memberiikan memberiikan jalan keluar lewat talak
166
atau khulu‟. Baik talak maupun khulu‟ sebagaimana telah
dijelaskan, tidak dapat digunakan kecuali dalam keadaan
terpaksa. Orang yang menggunakan hak talak atau
khuluq tanpa sesuatu sebab termasuk perbuatan yang
dibenci dan dilaknat oleh Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طط‬ ‫ط‬
Artinya
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang
telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya
khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat
menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas
keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk
menebus dirinya” (Al Baqarah:299)
Sabda Rasulullah Saw
‫يى ىار يس ْمل ىؿط‬:‫تط‬ ً ً ً َّ‫سطبْم ًنط ى‬ ً ً‫جاءتطاًمرءةيطثىاب‬
‫تطبْم ًنطقىػْمي و‬
‫طفىػ ىقااى ْم‬.‫طـ‬
‫طص ىط‬ ‫اسًط ىاِل ىطر يس ْملؿطاهلل ى‬ ‫ى ى ْم ْم ى ى‬
ً ً ً ً ً ً
‫طعلىْميو ًطُب ي و‬ ً
‫اؿ ىطر يس ْمل يؿط‬ ‫طفىػ ىق ى‬.‫الـ‬
‫طُبطااال ْمس ط‬ ‫طخليق ىطكالىطديْم ون ىطكاىك ْمنطاى ْمكىرهيطاا يك ْمفير ْم‬ ‫ب ى ْم‬ ‫طماطاى ْمعتى ي‬ ‫اهلل ى‬
‫طاًقْمػبى ًلطاحلى ًديْمػ ىقةى ىطكططىلِّ ْمق ىهاط‬:‫اؿ ىطر يس ْمل يؿطاهللًط‬‫طفىػ ىق ى‬,‫نػى ىع ْمطض‬:‫تط‬ ً ‫اىتي ًرِّدينطعلىي ًو‬.
‫طحديْمػ ىقتىوي؟طقىااى ْم‬
‫ى ى ْم ى‬
‫تىطْملًْميػ ىق طةن‬
Artinya
“Dari ibnu Abbas ra, sesungguhnya isteri Tsabit Ibn Qaist
datang kepada Rasulullah Saw, maka dia berkata wahai
Rasulullah, tentang tsabit ibn Kaist saya tidak mencelanya
tentang budi pekertinyam tentang agamanya, namun saya
membenci kekufurannya dalam isla. Jawab Rasulullah: ya
bersedia. Maka Rasulullah bersabda; terimalah kebun itu dan
talaklah isterimu satu talak” (HR buchari) (As Shan‟ani: 166).
167
Isteri yang hendak melakukan khuluq, apakah cukup
dengan alasan tidak senang saja? Dalam hal ini Asy
Syakuni mengatakan bahwa, menurut zahir dari hadits-
hadits tentang masalah khuluq bahwa isteri tidak senang
sudah boleh menjadi alasan khuluq. Ibnul Munzir
mengatakan, tidak cukup, tidak senang isterinya saja
dapa menjadi alas an untuk khuluq tetapi tidak senang
itu harus terjadi pada kedua belah pihak, oleh karena
berpegang kepada harfiah ayat-ayat Al Qur‟an.
Disamping itu haram hukumnya menyakiti isteri
supaya dia minta khuluq. Suami diharamkan menahan
dan menghalangi sebagian dari hak-hak isterinya dengan
cara menyakiti hatinya supaya nantinya isteri tersebut
minta lepas dan menebus dirinya dengan khuluq. Suami
yang melakukan hal demikian akan dikutuk dan dilaknat
Allah. Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu
mempusakai wanita dengan jalan paksaan dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali
sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya,
terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata”
(An Nisa:19).
Firman Allah SWT:

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬

168
Artinya
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang
lain, sedang kamu telah memberiikan kepada seseorang di
antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah
kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang
dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?”(An
Nisa‟: 20).

3. Zihar
a. Pengertian
Zihar diambil dari kata fahr yang berarti punggung.
Kalau seorang suami mengatakan kepada isterinya “anti
„alaiya kazahri ummi, artinya; engkau bagiku adalah
seperti punggung ibuku berarti si suami telah menzihar
isterinya untuk selama-lamanya. Pada zaman jahiliah
zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang,
zihar bukan talak. Zihar adalah perbuatan terkutuk dan
haram hukumnya. Dan orang yang menzihar isterinya
harus membayar kafarah sumpah.
b. Dasar hukum
Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa zihar itu
hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan
zihar berarti melakukan perbuatan. Kesepakatan para
ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari al
quran dan al hadits tentang tidak bolehnya zihar.
Seseorang yang menzihar isterinya berakibat:
1) Haramnya menyetubuhi isterinya itu sebelum ia
membayar kafarat zihar.
2) Penzihar wajib membayar kafarat zihar.

169
Setelah kafarat zihar ini dibayar oleh penzihar
barulah penzihar berhak kembali kepada isterinya.
Kafarat zihar yang harus dibayar oleh penzihar harus
secara berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup
membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia harus
membayar dengan bentuk yang kedua, selanjutnya bila
dia tidak sanggup membayar bentuk yang kedua maka
dia membayar dengan bentuk yang ketiga.
Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan
seorang budak perempuan. Jika tidak mampu maka dia
harus puasa selama dua bulan berturut-turut. Jika tidak
mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang
miskin. Hukum syara‟ memang memberiatkan kafarat
zihar, karena syari‟ Allah SWT ingin menjaga
kelanggengan hubungan suami isteri dari perbuatan
yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat
(denda) zihar itu berat makanya dia tentu akan berhati-
hati dalam menjaga hubungannya dengan isterinya dan
diharapkan tidak berbuat zalim kepada isterinya dengan
cara apapun juga termasuk zihar.
Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan
isteri denga punggung ibu adalah zihar tetapi para ulama
berbeda pendapat dalam hal menyamakan isteri dengan
punggung bukan ibu. Misalnya suami mengatakan;
‫انتطعلىطكظهرطاخىت‬
Artinya
engaku bagiku adalah seperti punggung saudara perempuanku.
Menurut dolongan Abu Hanifah menyamakan
dengan muhrim suami adalah zihar. Al auza‟i, ats Tsauri,
asy Syafii dan Zaid ibn Ala mengatakan bahwa laki-laki

170
yang menyamakan isterinya dengan salah seorang
muhrimnya yang haram dinikahi baginya selama-
lamanya baik karena nasab, karena musaharah atau
karena radha‟ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu
haram baginya mencampuri isterinya tersebut untuk
selama-lamanya.
Segolongan ulama yang lain mengatakan:
menyamakan isteri dengan salah seorang mahram yang
bukan ibu atau menyamakan isterinya dengan selain
punggung ibu juga termasuk zihar.
Dasar hukum zihar terdapat dalam surat al
mujadalah beserta nuzulnya ayat 1 s/d 6 ayat 1 s/d
mengenai kasus Uas bin as shamit yang menzihar
isterinya bernam Khaulah binti Malik Ibn Sa‟labah.
Dasar hukum zihar juga berdasarkan riwayat
Salamah ibn Sahal Al Bayadi yang menzihar isterinya di
bulan Ramadhan. Disamping itu, dasar hukum zihar
adalah surat al ahzab ayat 4:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ 
Artinya
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu
yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan
anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang
demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. dan
Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan
jalan (yang benar) (Al Ahzab: 4).
171
Firman Allah SWT:
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita
yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya,
dan mengadukan (halnya) kepada Allah, dan Allah mendengar
soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha melihat” (Al Mujadalah:1).Orang-orang
yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap
isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu
ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-
sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta.
dan sesungguhnya Allah Maha pemaaf lagi Maha
pengampun”. (Al Mujadalah:2) “Orang-orang yang
menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu
172
bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan
Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Al
Mujadalah:3) “Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak),
Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut
sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberii makan enam puluh orang miskin.
Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih”. (Al Mujadalah:4)
Asbabun nuzul turunnya ayat ini adalah sebagai
berikut: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa siti
aisyah berkata: “maha suci Allah yang mendengarkannya
meliputi segala sesuatu. Aku mendengar Khaulah binti
Tasalabah mengadu tentang suaminya (Aus bin As
Shamit) kepada Rasulullah Saw, akan tetapi aku tidak
mendengar seluruh pengaduannya. Ia berkata; “masa
mudaku telah lalu, perutku telah keriput, aku telah tua
Bangka dan tidak akan melahirkan anak lagi, suamiku
“menziharku”. Allahumma aku mengadu kepadamu”.
Tiada henti-hentinya dia mengadu sehingga turun jibri
membawa ayat ini (S. 58: 1 s/d 6) yang melukiskan
bahwa Allah, mendengar pengaduannya dan
menetapkan hukum zihar, serta melarang mengadakan
zihar (qamaruddin shaleh: 486).
Sabda Rasulullah Saw
‫تط‬
‫اى ْمر ي‬‫طفىظى ى‬,‫ىٌب‬ ‫يبطاً ْممىرأً ط‬ ً
‫تطأ ْمىفطأيص ى‬
ً
‫طفىخ ْمف ي‬,‫لا يطف‬ ‫ط(ط ىد ىخ ىل ىطرىم ى‬:‫اؿ‬ ‫طص ْمخ ورطقى ىط‬ ‫طسلى ىمةىطبْم ًن ى‬
‫ىك ىع ْمن ى‬
‫لؿطاىالَّ ًوطصلىط‬ ‫اؿ ًطِل ىطر يس ي‬ ‫طفىػ ىق ى‬,‫طعلىْميػ ىها‬
‫ت ى‬ ‫ف ًطِل ًطمْمنػ ىه ى‬
‫طفىػ ىلقىػ ىع ْم‬,‫اطش ْميءهطاىْميػلىطةن‬
ً
‫طفىانْم ىك ىش ى‬,‫مْمنػ ىها‬
‫طمتىتىابً ىع ْم ًط‬ ‫كطإًَّال ىطرقىػبىً ط‬ ً
‫ط‬,‫ني‬ ‫طش ْمهىريْم ًن ي‬
‫ص ْمض ى‬
‫فى ي‬: ‫اؿ‬ ‫طقى ىط‬.‫ِت‬ ‫ط ىماطأ ْمىمل ي‬:‫ت‬ ‫اهللطعليوطكسلضطحِّرْمر ىطرقىػبىةنطقيػ ْمل يط‬
‫ى‬
ً ً ً ‫اـ?طقى ىط‬ ِّ ‫تطإًَّال ًطم ْمنطاى‬
‫اصيى ًط‬ ً ‫طكىلطأىصب‬:‫ت‬
‫نيط‬‫طأىطْمع ْمضطع ْمرقناطم ْمنطىمتْمورطبػى ْم ى‬:‫اؿ‬ ‫تطاىاَّذمطأ ى‬
‫ىصْمب ي‬ ‫قيػ ْمل يط ى ى ْم ى ْم ي‬
173
‫ط ىكابْم ينط‬,‫طخىزْمُّيىطةى‬ ً ً ‫ك ْماْلىربػعةيطإًَّالطاان‬, ‫ىمح يدط‬ ً ً ‫ًست‬
‫ص َّح ىحويطابْم ين ي‬
‫ط ىك ى‬,‫َّسائ َّطي‬
‫ى‬ ‫ىخىر ىجويطأ ْم ى ى ْم ى ى‬
‫ِّنيطم ْمسكينناط)ططأ ْم‬
‫ى‬
‫اى ْمجلى ياركد‬
Artinya
“Bahwa Salamah ibn Shahr al Bayadhi menzihar isterinya
selama bulan ramadhan, kemudian sebelum habis ramadhan ia
kumpuli isterinya lalu Nabi bersabda kepadanya; engkau
berbuat durhaka hai Salamah, “saya bertanya apakah saya
berbuat durhaka wahai Rasulullah? (diulanginya dua kali)
padahal saya orang yang patuh kepada Allah, karena itu
jelaskanlah hukumnya perkaraku seperti yang telah Allah
ajarkan kepada tuan. Sabdanya: merdekakanlah seorang budak.
Lalu saya jawab; demi Allah, tuhan yang telah mengutus tuan
dengan sebenar-benarnya sebagai seorang nabi, saya tidak
mempunyai budak perempuan lagi selain ini, dan aku tepuk
tangan budak perempuanku itu, sabdanya: kalu begitu
puasalah dua bulan berturut-turut. Sabdanya lagi, bukankah
kejadian yang kau lakukan itu pada bulan puasa. Sabdanya
lagi: karena itu berikanlah makanan satu gantang kurma
kepada 60 orang miskin. Lalu saya berkata, sungguh kami ini
orang-orang yang selalu kekurangan, kami tidak punya
makanan, sabdanya: pergilah kamu minta bantuan bani Zuraiq
supaya dia nanti membayarkannya kepada kamu, lalu
berikanlah makan kepada 60 orang miskin segantang kurma
dan kamu beserta keluargamu boleh memakan sisanya. Lalu ia
berkata: maka sayapun pulang kepada kaumku lalu aku
katakana kepada mereka: saya lihat kalian ini berpandangan
sempir dan berpikiran keliru, dan aku lihat Rasulullah
menyuruh kalian berpandangan luas dan berpikiran benar,
beliau menyuruh kalian agar mebantu saya memberi nafkah”
(Sayyid Sabiq, 1971, h. 265-266)

174
4. Ilaa‟
Pengertian dan dasar hukumnya
Allah‟ menurut bahasa berarti sumpah. Ila‟ masdar dari
ala, yuu‟li, ilaan seperti a‟ta, yu‟ti, „itaan, semakna dengan itu
i‟tala, ya‟tali, aksama, yuksimu berarti sumpah. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT:
‫كالطيأطتلطاكطالاطاافللطمنكض‬
Artinya:
Adapun makna ila‟ menurut syara‟ adalah:
‫فهلطاحللفطعلىطافطالطيقربطزكطجنوطسلاطاطلقطباطفطقاطؿ‬
Artinya: ila‟ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri
isterinya baik menyebut waktu atau tiak menyebut waktu.
Umpamanya suami berkata:
‫كطاهللطالطاططاءطذكجىتطاكطقيدطبلفظطابدا‬
Atau dikaitkan dengan masa 4 bulan atau lebih, umpamanya
dia berkata:
‫كاهللطالطاطقرطهباطابدا‬
Artinya
saya tidak akan mendekati, mengumpuli isteri saya selama 5 bulan
atau selama setahun, atau selama umur hidupnya, atau seumur
langit dan bumi, atau yang sama artinya dengan itu (al jaziri,
1963, h. 463).
Dengan demikian bersumpah atas nama Allah untuk
tidak mencampuri isterinya secara mutlak atau memakai
ucapan untuk selama-lamanya, atau dibatasi 4 bulan atau
lebih, maka hal ini dinamakan ila‟.
Seorang suami yang meng‟ila isterinya dia membuat
isterinya menderita. Sebab isteri tersebut tidak dicampuri
dan tidak pula diceraikannya. Dengan turunnya surat al
baqarah ayat 226 maka suami diberi batas waktu 4 bulan
175
untuk membayar kafarat sumpah atau menceraikannya.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ططط‬
Artinya
“Kepada orang-orang yang meng-Ilaa' isterinya diberi tangguh
empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada
isterinya), maka Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha
penyayang. Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak,
Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui (Al Baqarah: 226-227).
Ketetapan batas waktu 4 bulan ini memiliki hikmah yang
penting bagi isteri maupun bagi suami. Bagi isteri pengucilan
selama 4 bulan oleh suaminya merupakan saran pendidikan
baginya untuk memikirkan, mengapa suaminya berbuat
demikian, apa kekurangan yang ada padanya, bagaimana
pelayanannya kepada suaminya selama ini, demikian bila
dia yang menjadi penyebab kebencian suami maka harus
mengubah sikapnya. Bagi suami masa berpisah 4 bulan itu
juga ia dapat mengintrospeksi dirinya sendiri apakah ia telah
bersikap jujur tehadap isterinya, apakah tindakannya itu
tepat atau tidak, dan dalam masa itu juga akan timbul
perasaan rindu, perasaan menyesal dan sebagainya sehingga
hal ini memberikan kesempatan kepada suami untuk
memperbaiki atau mengubah sikapnya, atau memberi
kesempatan bagi suami tersebut apakah dia akan
menceraikan isterinya atau kembali kepada isterinya dengan
membayar kafarat. Dasar kafarat sumpah ilaa adalah Allah
SWT:

176
‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬
Artinya
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu
yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum
kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberii makan sepuluh
orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberii pakaian kepada mereka atau
memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup
melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga
hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila
kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya
agar kamu bersyukur (kepada-Nya)” (Al Maidah: 89).
Abdurrahman al Jaziri mengatakan ada 6 rukun ilaa:
a) Mahluf bihi, yaitu bersumpah dengan Allah.
b) Mahluf „alaih, yaitu bersumpah tidak akan
menyetubuhi isteri.
c) Shighat, yaitu seseorang yang bersumpah dengan
sighat (ucapan).
Umpamanya:‫ط‬ٝ‫ جز‬ٚ‫ هللا ال أط ص‬ٚ‫ط‬
Artinya demi Allah saya tidak akan mengumpuli
isteri saya.
d) Muddah (masa) yaitu masa „ila adalah 4 bulan atau
lebih.
e) Suami; dan
f) Isteri

177
Masing-masing rukun ilaa harus memenuhi persyaratan
tersendiri (al jaziri, 1969, h. 480). Apabila batas waktu 4 bulan
itu telah berlaku dan suami tidak kembali kepada isterinya
maka terjadilah perceraian antara suami dan isteri tersebut.
Proses perceraian tersebut dapat melalui talak atau isterinya
mengadukan permasalahannya kepada hakim di pengadilan
dan hakim menetapkan perceaian tersebut.
5. LI‟AN
a. Pengertian
Li‟an adalah masdar dari kata kerja laa ana yulaa‟inu
li‟aanan terampil dari kata alla‟nu yang berarti kutukan,
jauh atau laknat.
Suami isteri yang saling berli‟an akan berakibat saling
dijauhkan oleh hukum dan diharamkan berkumpul
sebagai sumai isteri untuk selama-lamanya. Li‟an terjadi
karena suami menuduh isteri berbuat zina atau
mengingkari anak dalam kandungan isterinya sebagai
anaknya, atau juga mengingkari anak yang telah lahir
sebagai anaknya sedangkan isterinya menolak tuduhan
atau pengingkaran tersebut.
b. Tata cara li‟an
Tata cara li‟an adalah sebagai berikut:
1) Suami bersumpah 4 kali dengan kata tuduhan zina
dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah
yang kelima dengan kata-kata laknat Allah atas
dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut dusta.
2) Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran
tersebut dengan sumpah 4 kali dengan kata tuduhan
dan atau pengingkaran tersebut tidak benar, diikuti

178
dengan sumpah yang kelima dengan kata-kata murka
Allah atas dirinya bila tuduhan tersebut benar.
Tata cara menurut poin 1 dan 2 tersebut merupakan satu
kesatuan yang tak terpisahkan. Kalau tata cara poin 1 tidak
diikuti dengan catat cara poin 2, maka dianggap tidak terjadi
li‟an.
Dr. Mustafa dalam bukunya matan al ghayawattakrib,
mengatakan bahwa li‟an adalah menuduh isteri berzina.
Apabila seseorang menuduh isterinya berzina tanpa seorang
saksi maka dia harus di dera kecuali kalau mempunyai bukti
atau berani bersumpah li‟an dimuka hakim di atas mimbar
masjid jami‟ disaksikan orang banyak.
Sumpahnya adalah: “aku bersaksi dengan Allah bahwa
tuduhanku terhadap isteriku bahwa dia berzina adalah benar
dan seseungguhnya anak ini yang dikandungnya adalah
hasil perzinahan, bukan dari saya”.
Sumpah ini dilakukan 4 kali dan sesudah itu hakim
memberi nasehat kepadanya, kalau sekiranya sumpah yang
telah diucapkannya adalah dusta hendaklah dicabut kembali.
Apabila dia tidak mencabut sumpahnya maka sumpah yang
kelima adalah “…. dan saya bersedia menerima laknat Allah
apabila aku berbohong dalam sumpahku (Dr Mustafa: h.280).
c. Dasar hukum pengaturan li‟an
Dasar hukum pengaturan li‟an bagi suami yang
menuduh isterinya berbuat zina adalah firman Allah
surat an Nur ayat 6 dan 7 sebagai berikut:

179
‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ ط‬

‫ط‬‫ط‬ ‫ططط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

Artinya
“Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah
dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-
orang yang benar” (An Nur:6). “Dan (sumpah) yang kelima:
bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang
yang berdusta” (An Nur:7).
Atas tuduhan suaminya ini, isteri dapat menyangkal
dengan sumpah kesaksian sebanyak 4 kali bahwa suami
itu berdusta dalam tuduhannya, dan pada sumpah
kesaksiannya yang kelima isteri tersebut bersumpah
bahwa dia bersedia menerima marah (laknat) dari Allah
jika suaminya benar dalam tuduhannya. Dasar hukum
penyangkalan terhadap tuduhan suaminya ini adalah
firman Allah SWT surat an Nur ayat 8 dan 9 sebagai
berikut:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ططط‬‫ط‬

‫طططط‬
Artinya
“Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-

180
‫‪benar termasuk orang-orang yang dusta”. (An Nur:8) “Dan‬‬
‫‪(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika‬‬
‫)‪suaminya itu termasuk orang-orang yang benar”. (An Nur:9‬‬
‫‪Sabda Rasulullah Saw‬‬
‫يكطابْم ًنط‬ ‫طعْمن ىدطاانًَِّبطصلَّىطاالَّوطعلىي ًوطكسلَّضطبً ىش ًر ً‬ ‫ؼطامرأىتىو ً‬ ‫أ َّ ً‬
‫ي ى ْم ى ى ى‬ ‫ِّ ى‬ ‫ىفطى ىال ىؿطبْم ىنطأ ىيميَّةىطقى ىذ ى ْم ى ي‬
‫ٌّطُبطظى ْمه ًرىؾطفىػ ىق ى‬ ‫طحد ً‬ ‫اؿطاانًَِّبطصلَّىطاالَّو ً‬
‫لؿط‬ ‫اطر يس ى‬ ‫اؿطيى ى‬ ‫طعلىْميو ىطك ىسلَّ ىضطااْمبىػيِّػنىةىطأ ْمىك ى‬
‫يى‬ ‫ىس ْمح ىماءىطفىػ ىق ى م ى‬
‫طصلَّىطاالَّويط‬ ‫ً ً‬ ‫ًً‬ ‫ًً‬
‫َِّب ى‬‫سطااْمبىػيِّػنىةىطفى ىج ىع ىلطاانً م‬ ‫ىطامىرأىتو ىطر يج نالطيػىْمنطىل يقطيػىْملتىم ي‬
‫اطعلى ْم‬ ‫ىح يدنى ى‬ ‫اطرأىلطأ ى‬ ‫االَّوطإذى ى‬
‫احلى ِّقطإً ِِّنط‬ ‫كطبً ْم‬ ‫ً‬ ‫ٌّطُبطظىه ًرىؾطفىػ ىق ى ً‬ ‫ً‬ ‫ىعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ىضطيػى يق ي‬
‫اؿطى ىال هؿ ىطكااَّذمطبػى ىعثى ى‬ ‫طحد ً ْم‬ ‫لؿطااْمبىػيِّػنىةى ىطكإَّال ى‬
‫طج ًربيلطكأىنْمػزىؿ ً َّ ً‬ ‫ً‬ ‫ئطظىه ًر ً‬ ‫اى ً‬
‫ينط‬‫طعلىْميو ىطكااذ ى‬ ‫طاحلىدِّطفىػنىػىزىؿ ْم ي ى ى ى‬ ‫مطم ْمن ْم‬ ‫طماطيػيبىػِّر ي ْم‬ ‫صاد هؽطفىػلىييػْمن ًزاى َّنطاالَّوي ى‬ ‫ى‬
‫طصلَّىطاالَّويط‬ ‫ً‬ ‫ً‬ ‫ً‬
‫ىطح َّىتطبػىلى ىغطإً ْمفط ىكا ىفطم ْمن َّ‬
‫َِّب ى‬ ‫ؼطاانً م‬ ‫صىر ى‬ ‫نيطفىانْم ى‬ ‫طااصادق ى‬ ‫اج يه ْمضطفىػ ىقىرأ ى‬ ‫يػىْمريمل ىفطأ ْمىزىك ى‬
‫لؿطإً َّفط‬ ‫طعلىْمي ًو ىطك ىسلَّ ىضطيػى يق ي‬ ‫ً‬ ‫ً‬
‫طصلَّىطاالَّوي ى‬ ‫َِّب ى‬ ‫ىعلىْميو ىطك ىسلَّ ىضطفىأ ْمىر ىس ىلطإًاىْميػ ىهاطفى ىجاءىطى ىال هؿطفى ىش ًه ىد ىطكاانً م‬
‫ً‬ ‫ً‬ ‫ً‬
‫تط‬ ‫تطفىػلى َّماط ىكانى ْم‬ ‫تطفى ىش ًه ىد ْم‬ ‫طٍبَّطقى ىام ْم‬ ‫بي‬ ‫بطفىػ ىه ْملطمْمن يك ىماطتىائ ه‬ ‫ىح ىد يك ىماط ىكاذ ه‬ ‫ىفطأ ى‬ ‫االَّوىطيػى ْمعلى يضطأ َّ‬
‫طاخل ًامس ًةطكقَّػ يفلىاطكقىاايلاطإًنػَّهاطم ً‬ ‫ً‬
‫طح َّىتط‬ ‫ت ى‬ ‫ص ْم‬ ‫ىت ىطكنى ىك ى‬ ‫اسطفىػتىػلى َّكأ ْم‬‫طعبَّ و‬ ‫اؿطابْم ين ى‬ ‫لجبىةهطقى ى‬ ‫ى ي‬ ‫عْمن ىد ْمى ى ى ى ى‬
‫طصلَّىط‬ ‫طٍبَّطقىااىت ىطالطأىفْمل طقىػلًم ً ً‬ ‫ً‬
‫َِّب ى‬ ‫اؿطاانً م‬ ‫تطفىػ ىق ى‬ ‫ل ْم‬‫يطسائىرطااْميىػ ْملـطفى ىم ى‬ ‫ى ي ْم ى‬ ‫ظىنىػنَّاطأىنػ ىَّهاطتىػ ْمرج يع ي ْم‬
‫طخ ىد َِّبىط‬ ‫طسابً ىغ ْم‬
‫طاْلىاْميىتىػ ْم ً‬ ‫ىك ىحلطااْم ىعْميػنىػ ْم ً‬ ‫صركىاطفىًإ ْمفطجاء ًً‬ ‫ً‬ ‫االَّو ً‬
‫ني ى‬ ‫ني ى‬ ‫تطبوطأ ْم ى‬ ‫ى ى ْم‬ ‫طعلىْميو ىطك ىسلَّ ىضطأىبْم ي ى‬ ‫يى‬
‫طعلىْمي ًوط‬ ‫ً‬ ‫ً ً‬
‫طصلَّىطاالَّوي ى‬ ‫َِّب ى‬ ‫اؿطاانً م‬ ‫كطفىػ ىق ى‬ ‫تطبًًوط ىك ىذا ى‬ ‫طس ْمح ىماءىطفى ىجاءى ْم‬ ‫نيطفىػ يه ىلطا ىش ًريكطابْم ًن ى‬ ‫ااساقىػ ْم ً‬
‫َّ‬
‫اطشأْم هفط(ركاهطاابخارل)‬ ‫ابطاالَّ ًوطاى ىكا ىف ًطِل ىطكىذلى ى‬ ‫ىطمنطكًتى ً‬
‫ل ْم‬
‫كسلَّضطاىلىالطماطم ً‬
‫ى ى ى ْم ى ى ى‬
‫‪Artinya‬‬
‫‪Dari Ibnu Abbas bahwa Hilal ibun Umayyah menuduh‬‬
‫‪isterinya berzina dihadapan Rasulullah Saw dengan Surya ibn‬‬
‫‪Sahma, lalu Nabi bersabda: tunjukkanlah buktinya atau‬‬
‫‪punggungmu didera. Lalu sahutnya; wahai Rasulullah jika‬‬
‫‪salah seorang diantara kami melihat isterinya jalan disamping‬‬
‫‪laki-laki lain, apakah akan dimintai pula bukti. Lalu Rasulullah‬‬
‫‪Saw tetap bersabda: tunjukkanlah bukti kalau tidak‬‬
‫‪punggungmu didera. Lalu sahutnya; demi Tuhan yang‬‬
‫‪mengutus tuan dengan sebenarnya, sungguh saya ini berkata‬‬
‫‪benar, semoga Allah akan menurunkan ayatnya yang‬‬
‫‪181‬‬
menolong sayadari hukuman had. Lalu Jibril menurunkan
surat an nur ayat 6 s/d 9. Kemudian Nabi Saw pergi kepada
isteri Hilal. Lalu Hilal datang dan mengucap sumpah
kesaksian, sedangkan Nabi Saw bersabda; sesungguhnya Allah
maha tahu (jika suami yang menuduh tidak dapat mengajukan
saksi dihukum dera, tetapi kalau mau mulaanah tidak dihukum
dengan dera ini). Kalau satu diantara kamu ini ada yang
berdusta, apakah ada salah salah satu dari kamu ini yang
bertobat? Lalu isteri Hilal bersumpah ketika suami sampai
kelima kalinya kaumnya mengentikannya sambil mereka
berkata: bahwa sumpah ini pasti terkabulkan. Kata Ibnu
Abbas, isteri Hilal lalu tampak ketakutan dan menggigil
sehingga kami mengira dia mau mengubah sumpahnya. Tetapi
kemudian dia berkata; saya tidak mau mencorang arang di
wajah kaumku sepanjang masa. Lalu diteruskanlah
sumpahnya. Lalu Nabi Saw bersabda kepada kaumnya;
perhatikanlan dia, jika nantinya anaknya hitam seperti celah
kelopak matanya kalkun besar… padat berisi kedua pahanya
berarti keturunan syuraik ibn sahma. Lalu lahirlah anak
seperti tersebut. Lalu Nabi Saw bersabda; jika bukan karena
telah ada ketentuan lebih dahulu dalam Al-quran tentulah akan
aku selesaikan urusannya dengannya”. (jika bukan karena
sudah ada hukum li‟an dalam al quran tentu ia akan saya
jatuhi hukum had zina) (HR Buchari).
Pengarang kitab bidayatul mujtahid berkata: secara
maknawi (verbal) bahwa keturunan itu dihubungkan
dengan orang yang bertempat tidur yaitu suami, maka
pentinglah bagi manusia adanya cara yang benar kalau
tidak mau mengakui anak yang lahir dari isterinya
sebagai keturunannya, karena ternyata adanya hal-hal
yang merusaknya, cara yang dimaksud itu adalah li‟an.
Jadi li‟an adalah ketentuan yang sah menurut Al Quran,
As Sunnah, Qiyas dan Ijma‟. Oleh karena itu tidak ada

182
perbedaan pendapat diantara para ulama tentang
masalah ini (Sayyid Sabiq, 1971, h. 270-271).
Dengan adanya sumpah li‟an berarti terjadilah
perceraian antara suami isteri tersebut, dan mereka tidak
boleh kawin kembali untuk selama-lamanya. Sabda
Rasulullah Saw
‫عنطابنطعباسطاطفطاانىبطصلعطقاطؿطادلتالطعنافطاذاطتفرطالطالطُيتمعافطاطبداط–طركاهط‬
‫دارطقطىن‬
Artinya
“Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: dua suami isteri yang
telah saling berli‟an itu, setelah bercerai tidak boleh berkumpul
untuk selama-lamanya” (HR Darul Quthni).
Sabda Rasulullah Saw
‫طملتطااسنةطاطالطُيتمعطادلتالطعنافط–طركاهطدارط‬:‫عنطعلىطكطابنطمسعلدطفاطال‬
‫قطىن‬
Artinya
“Dari Ali dan Ibnu Mas‟ud katanya: menurut sunnah, dua
orang suami isteri yang telah bermula ana tidak dapat kembali
lagi” (HR Darul Quthni) (Sayyid Sabiq, 1971, h. 275).
C. Sebab-sebab yang lain
1. Putusnya perkawinan sebab syiqaq
Apabila antara suami isteri terdapat pertentangan
pendapat dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua
belah pihak tidak mungkin dapat mengatasinya dan tidak
mungkin pula mendamaikan sendiri, maka dapat diutus
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak wanita. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini
dalam istilah fiqh disebut syiqaq. Firman Allah SWT:

183
‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang
hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberii taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah maha mengetahui
lagi Maha Mengenal” (An Nisa‟ : 35).
Tugas kedua hakam ini adalah menyelidiki dan mencari
hakikat permasalahan yang menimbulkan krisis itu, mencari
sebab musabab yang menimbulkan persengketaan,
kemudian berusaha sedapat mungkin mendamaikan kembali
antara kedua suami isteri itu. Apabila masalahnya tidak
mungkin untuk didamaikan, maka kedua hakam berhak
mengambil inisiatif untuk menceraikannya. Dan atas
prakarsa kedua hakam itu mereka mengajukan
permasalahannya kepada hakim dan hakim memutuskan
dan menetapkan perceraian tersebut.
Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba‟in, artinya
suami isteri tersebut hanya dapat kembali melalui akad
nikah yang baru.
2. Putusnya perkainan sebab pembatalan
Pembatalan suatu perkawinan dapat dilaksanakan
apabila:
a. Perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat dan rukun
nikah yang ditetapkan agama, atau wanita yang dinikahi
itu masih memiliki hubungan mahram, baik nasab,
musaharah maupun radha‟ah dengan suaminya.

184
b. Bertentangan dengan peraturan atau perundang-
undangan yang berlaku. Umpamanya; perkawinan
dilaksanakan didepan pejabat yang tidak berwenang,
dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum
dan sebagainya.
Hal ikhwal pembatalan pernikahan ini berdasarkan
undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
bab IV pasal 22 s/d 28 memuat ketentuan sebagai berikut:
a. Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak
memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan, salah satu pihak masih terikat oleh
perkawinan yang mendahuluinya, perkawinan
dilangsungkan di muka pencatat perkawinan yang tidak
berwenang, wali nikah tidak sah, tanpa hadirnya saksi,
perkawinan dilakukan di bawah ancaman yang
melanggar hukum, terjadi salah sangka mengenai suami
atau isteri.
b. Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah
para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami atau
isteri, pejabat yang berwenang, pejabat yang ditunjuk
orang yang masih ada ikatan perkawinan dengan salah
satu dari kedua belah pihak. Jaksa, dan suami atau isteri.
c. Permohonan pembatalan pernikahan.
Diajukan ke pengadilan dalam daerah hukum dimana
perkawinan dilangsungkan, atau di tempat kedua suami
isteri, suami atau isteri.
d. Batalnya perkawinan dimulai setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan
berlaku sejak berlangungnya akad perkainan, keputusan
tidak berlaku surut terhadap:
1) Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
185
2) Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik
kecuali terhadap harta bersama
3) Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan
yang tetap (Departemen agama, 1984/1985, h. 268-
269).

3. Putusnya perkawinan sebab fasakh


Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬


Artinya
“… Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberii kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka” (Al Baqarah:231).
‫الطضركطالطضرارا‬
Artinya
Tidak boleh ada kemudharatan dan tidak boleh saling menimbulkan
kemudharata”.
Kaidah fiqihah Islam:
‫ضاي‬٠ ‫اٌضشس‬
Artinya, kemudharatan itu wajib dihilangkan.
Berdasarkan firman Allah, al hadits dan kaidah tersebuut
di atas para fuqha menetapkan bahwa jika dalam kehidupan
suami isteri terjadi keadaan sifat atau sikap yang
menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak yang
menderita mudharat dapat mengambil prakarsa untuk
memutuskan perkawinan, kemudian hakim memfasakhkan

186
perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita
tersebut. Atas dasar pengaduan pihak yang menderita
kemudharatan itulah pengadilan mefasakhakan perkawinan
tersebut. Beberapa alasan fasakh:
a. Tidak adanya nafkah bagi isteri
Imam Malik, asy Syafii dan Ahmad berpendapat
bahwa hakim boleh menetapkan putusnya perkawinan
karena suami tidak memberikan nafkah kepada isteri,
baik karena memang tidak ada lagi nafkah itu atau
memang suami menolak memberii nafkah.
Tidak memberi nafkah kepada isteri atau
menelantarkan isteri tanpa memberiinya nafkah serta
tidak menceraikannya adalah perbuatan yang
menyakitkan hati dan menyengsarakannya berarti pula
menimbulkan kemudharatan baginya. Dalam keadaan
seperti ini hakim harus berusaha menghilangkan
perbuatan yang menyakitkan hati dan menyengsarakan
itu.
b. Terjadi cacat atau penyakit
Jika terjadi cacat pada salah satu pihak, baik suami
atau isteri sehingga mengganggu kelestarian hubungan
suami isteri tersebut, atau menimbulkan penderitaan
bathin salah satu pihak, atau membahayakan hidup, atau
mengancam jiwa salah satu pihak maka yang
bersangkutan berhak mengadukan permasalahannya
kepada hakim, kemudian pengadilan memfasakhkan
perkawinan mereka.
Cacat atau penyakit yang dimaksud meliputi
perjudian, penyakit kelamin atau penyakit pada alat
kelamin, lemah syahwat dan sebagainya.
187
c. Penderitaan yang menimpa isteri
Isteri yang menderita fisik atau bathin karena tingkah
suaminya, misalnya suami sering menyakiti badan isteri,
suami sering menyengsarakan isterinya dengan pergi
meghilang tanpa memberitahukan keadaan dan kemana
perginya, suami di hukum penjara dan sebagainya.
Sehingga isteri menderita baik lahir maupun bathin maka
dalam hal ini isteri berhak mengajukan permasalahanya
kepada hakim, kemudian pengadilan memutuskan
perkawinannya. (departemen agama, 1984/1985, h. 270-
271).
4. Putusnya perkawinan sebab meninggal dunia.
Jika salah seorang dari suami atau isteri meninggal dunia
maka putuslah perkawinan itu semenjak salah seorang
daripadanya meninggal dunia. Yang dimaksud dengan mati
yang menyebabkan putusnya perkawinan meliputi mati
secara fisik (dengan kematian itu diketahui jenazahnya) atau
kematian secara yuridis, misalnya suami yang hilang dan
tidak diketahui apakah masih hidup atau sudah mati.
Dalam kasus terakhir hakim dapat memproses kematian
tersebut dan dapat menetapkan kematian tersebut. Apabila
hakim telah menetapkan demikian maka putuslah
perkawinan itu sejak keputusan hakim.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
pasal 38 menyatakan perkawinan dapat putus karena:
a. Kematian;
b. Perceraian;
c. Atas keputusan pengadilan

188
D. Iddah dan Rujuk
1. Iddah
a. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku
waktu tunggu (iddah) kecuali bagi yang belum pernah
digauli dan perkawinannya putus bukan
b. Waktu tunggu (iddah) bagi seorang janda ditentukan
sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena kematian
walaupun ister belum digauli (qablad duhul) maka
waktu tunggunya (iddah) adalah 4 bulan 10 hari atau
130 hari.
Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫طططط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫طط‬ 
Artinya
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu)
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh
hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah
mengetahui apa yang kamu perbuat; (Al Baqarah: 234).
Isteri yang kematian suaminya wajib beriddah
walaupun belum pernah diaguli, adalah untuk
menyempurnakan dan menghargai hak suami yang
meninggal tersebut.

189
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian.
Waktu tunggu bagi yang masih haid atau masih
datang bulan ditetapkan 3 kali suci atau 3 kali haid
(menurut khilafiah para mazhab) dan bagi yang tidak
haid atau tidak datang bulan lagi ditetapkan 3 bulan
90 hari. Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'”. (Al Baqarah: 228)

Firman Allah SWT:

‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬ ‫ط‬

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬
Artinya
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika
kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa
iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid”(At Thaalaq: 4).
3) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang
janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
(iddah) nya ditetapkan sampai ia melahirkan.

Firman Allah SWT:

‫ططط‬ ‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬‫ط‬

190
Artinya
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya”(At Thaalaq: 4).
4) Apabila perkawinan putus karena kematian,
sedangkan janda tersebut sedang dalam keadaan
hamil, waktu tunggu (iddah)nya ditetapkan sampai
ia melahirkan. Dalilnya yaitu at thaalaq ayat 4
tersebut di atas dan hadits yang berkenaan dengan
Suba‟ah Islamiah melahirkan kandungan setelah 40
hari dari wafat (kematian) suaminya, lalu ia
memohon izin kepada Rasulullah Saw untuk kawin
dan beliau mengizinkannya.
Waktu iddah bagi isteri yang putus perkawinannya
karena khuluq, fasakh dan li‟an berlaku iddah talak.
2. Rujuk
a. Pengertian
Rujuk berasal dari kata Raj‟a, yarji‟u, ruju‟an yang
berarti kembali atau mengembalikan.
Rujuk menurut istilah adalah mengembalikan status
hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak
raj‟i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas
isterinya dalam masa iddahnya dengan ucapan tertentu
(Departemen Agama, 1984/1985, h. 282-283).

b. Dasar hukum rujuk


Dasar hukum rujuk terdapat dalam surat al baqarah
ayat 228, 231, seperti yang telah dikutip sebelum ini dan
sabda Rasulullah Saw yang berkenaan dengan hadits dari
Ibnu Umar r.a bahwa ia mentalak isterinya diwaktu haid.
Lalu umar r.a bertanya kepada Rasulullah Saw perihal
191
tersebut, lalu Rasulullah bersabda kepada Umar untuk
memerintahkan kepada anaknya itu agar dia merujuki
isterinya (HR Muslim).

192
DAFTAR PUSTAKA

Ali Ahmad Al Jarjawi, 1961, Hikmatut Tasryi‟ Wafalsa Fatuhu,


Juz II, cetakan V, Mesir

Arso Sosroatmojo, H. SH, H.A. Wasit Aulawi, MA, 1975. Hukum


Perkawinan Di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta

Departemen Agama, 1970. Al-Qur‟an Dan Terjemahnya.


Yamunu. Jakarta

-------------------------- 1984/1985. Ilmu Fiqh, jilid II. Jakarta

Hasbi, Prof. T.M. Ash-Shiddieqy, 1970. Hukum-Hukum Fiqh


Islam. Bulan bintang, Jakarta

Ibnu Rusyd, 1960, Bidayatul Mujtahid, juz II, Mesir

Ibrahim Hosen, Prof. K.H., 1971 Fiqh Perbandingan. Yayasan


Ihya Ulumuddin Indonesia, Jakarta

Jaziri, Al Abdur rahman, 1969, Al Fiqh Ala Mizhabil Arba‟ah, juz


IV, Mesir

Kemal Mukhtar, Drs. 1974. Asas-Asas Hukum Islam Tentang


Perkawinan. Bulan Bintang, Jakarta

Maraghi, Al Ahmad Musthafa. 1969. Tafsir Al Maraghi, juz III,


Mesir

Musthafa Diibu Bhgigha, Dr, Matan Ghayah Wat Tagrib, Alih


Bahasa Drs. H. Moh. Rifai dkk, Cahaya Indah, Semarang
Musthafa Fahmi, Prof. Dr, 1977. Ashshilatun Nafsia Fil Ursafi
Wal Madrasati Wal Mujtama‟i Alih Bahasa Dr. Zakiah
Darajat, Bulan Bintang, Jakarta
193
Qamaruddin Shaleh. Asbabun Nuzul, C.V Diponegoro, Bandung

Sayyid Bakri, Hasyiah I‟anatut Thalibin, juz III. Singapur

Sayyid Sabiq. 1971. Fiqhus Sunnah. Darul Bayan, Kwuait

Syfi‟i, Asy. 1983. Al Um, juz V Darul Fikr, Bairut

Syaltut, Mahmud, Al Fatwa, Al Qahirah

Shan‟any, Asy. 1985. Subulussalam. Mesir

Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Asas. Liberty, Yogyakarta


Taqiuddin, Aliman, Kifayatun Akhyar, juz II. Sulaiman Mar‟i

Yusuf Wibisono, Mr, 1980. Monogamy dan Poligami. Bulan


bintang, Jakarta

194

Anda mungkin juga menyukai

  • Sat HK Acara Perdata Baru
    Sat HK Acara Perdata Baru
    Dokumen17 halaman
    Sat HK Acara Perdata Baru
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen1 halaman
    Bab 1
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • Institut Agama Islam Negeri
    Institut Agama Islam Negeri
    Dokumen5 halaman
    Institut Agama Islam Negeri
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • Bunda Punya
    Bunda Punya
    Dokumen2 halaman
    Bunda Punya
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • KEPADA
    KEPADA
    Dokumen1 halaman
    KEPADA
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • Surat Lamaran
    Surat Lamaran
    Dokumen6 halaman
    Surat Lamaran
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • 6064 12554 1 SM
    6064 12554 1 SM
    Dokumen41 halaman
    6064 12554 1 SM
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • ARTIKEL1
    ARTIKEL1
    Dokumen2 halaman
    ARTIKEL1
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • Senin Aya
    Senin Aya
    Dokumen16 halaman
    Senin Aya
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat
  • 15 Ukhuwah Islamiyah
    15 Ukhuwah Islamiyah
    Dokumen6 halaman
    15 Ukhuwah Islamiyah
    Dwi Arvenila Noviani
    Belum ada peringkat
  • Khutbah Q
    Khutbah Q
    Dokumen2 halaman
    Khutbah Q
    dwi putra jaya
    Belum ada peringkat