Artikel Kebijakan ABK
Artikel Kebijakan ABK
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM, M.Pd
OLEH:
Mariah (182520086)
KELAS II D
Abstrak
A. Pendahuluan
Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul,
status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang
mempunyai kelainan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak
anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi
termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus.
Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara
sederhana sebagai anak yang membutuhkan perhatian yang lebih khusus anak-anak
pada umumnya dari orang dewasa baik itu karena faktor fisik maupun non fisik.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan
hambatan perkembangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan
yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh
masing-masing anak.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis
difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari
sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang
berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah
menghambat proses saling mengenal antara anakanak difabel dengan anak anak non-
difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi
komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi
tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri
merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya (Nur’aeni: 2017).
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah
satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional
Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini
disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah
untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat.
(Nur’aeni: 2017). Indonesia adalah termasuk salahsatu negara yang ikut
berkonsentrasi dengan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan
tarik ulur antara pihak pemerintah maupun para praktisi pendidikan (stake holder)
B. Kajian Pustaka
1. Definisi Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep yang muncul untuk memberi
solusi terhadap persoalan pendidikan yang belum sepenuhnya dapat diakses oleh
setiap orang karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki, baik fisik, kognitif,
sosial ekonomi atau individu berkebutuhan khusus (IBK). Individu dengan
keterbatasan ini seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dalam layanan
pendidikan. Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar bahwa selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka (Ni’matuzahroh dan
Yuni Nurhamida, 2016).
Pendidikan inklusif menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Menurut Sapon–Shevin dalam 0 Neil 1994, pendidikan Inklusif adalah
sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar
di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Adapun menurut Stainback (dalam Nur’aeni, 2017) penyelenggara pendidikan
khusus inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun
bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh paraguru, agar anak-anak
berhasil.
Berdasarkan penegertian diatas, pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai
sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama dengan anak sebayanya disekolah reguler (umum) terdekat.
Sebagai upaya untuk mengembangkan potensi kecerdasan dan bakat istimewa
peserta didik dalam lingkungan pendidikan dan memberikan kesempatan atau
akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa
diskriminasi. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah
melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan,
maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik.
C. Metode Penulisan
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Studi kepustakaan adalah segala
usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Studi kepustakaan adalah
teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan
masalah yang dipecahkan.Informasi diperoleh dari buku, jurnal dan laporan
penelitian. Adapun prosedur yang dilakukan yakni:
1) Mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan berupa hasil penelitian.
2) Membaca sumber-sumber kepustakaan hasil penelitian.
3) Membuat kesimpulan dari berbagai sumber pustaka dan membandingkannya
untuk dijadikan judul.
4) Menganalisis seluruh hasil penelitian pada masing-masing sumber pustaka yang
dipilih untuk dijadikan analisis pustaka.
5) Membuat makalah dengan bahan dari sumber pustaka berupa hasil penelitian.
D. PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Bagi Siswa Berkebutuhan
Khusus
Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus secara cukup luas mencoba membuat aturan-aturan dan
ketentuan yakni salahsatunya dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hal
ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah menetapkan berbagai macam peraturan
yang tertuang dalam Undang-Undang maupun permendiknas.
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional Pasal 3 menjelaskan secara umum fungsi pendidikan nasional
yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal ini menjelaskan tentang fungsi pendidikan secara menyeluruh
secara nasional yang dapat diartikan bahwa pendidikan dimaksudkan untuk
seluruh warganya. Adapun anak berkebutuhan khusus merupakan bagian
dari sebuah bangsa sehingga fungsi pendidikan Indonesia jelas berlaku pula
bagi seluruh anak berkebutuhan khusus. Dan Indonesia wajib mencerdaskan
dan mengembangkan anak berkebutuhan khusus.
Selanjutnya, dalam Pasal 4 tentang penyelenggaran pendidikan
diterangkan bahwasanya pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pada
pasal ini sangat jelas tertuang bahwasanya negara tidak membeda-bedakan
semua kondisi setiap waraga negara, baik kaya- miskin, tua-muda, dikota
maupun di desa, anak reguler (normal) maupun berkebutuhan khusus semua
diperlakukan dan diberikan hak yang sama terutama dalam hal pendidikan.
Pasal selanjutnya yakni pasal ke-5 dimana dijelaskan bahwasanya
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Dan hal inilah yang sangat menjadi dasar
bahwasanya semua warga negara mempunyai hak dan tidak dibeda-bedakan
dalam hal mendapatkan layanan pendidikan.
b. Permendiknas No. 70 Tahun 2009
Selain undang-undang pemerintah secara khusus membahas tentang
pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus dalam Permendiknas
No.70 Tahun 2009. Permendiknas ini memiliki 15 pasal yang secara
keseluruhan membahas tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa. Adapun isi dari permendiknas tersebut yakni:
Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik
sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
Pasal 3
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan
zat adiktif
l. lainnya;
m. memiliki kelainan lainnya;
n. tunaganda
Pasal 4
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)
sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada
setiapkecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1).
Pasal 5
(1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan
pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling sedikit 1
(satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima.
(3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta
didikvsebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi,
satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal.
Pasal 6
(1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
(3) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya
sumber daya pendidikan inklusif.
Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan
minatnya.
Pasal 8
Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembelajaran yang disesuikan dengan karakteristik belajar
peserta didik.
Pasal 9
(1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif
mengacu pada jenis kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasarkan kurikulum
yang dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan
atau di atas standar nasional pendidikan wajib mengikuti ujian
nasional.
(3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti
pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan di
bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan
standar nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya
dikeluarkan oleh Pemerintah.
(5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan
pendidikan berasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh
satuan pendidikan di bawah standar nasional pendidikan
mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya
dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat
melanjutkan pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih
tinggi pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1
(satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) ‘orang guru pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan
tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan
kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (5) dapat dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga
b. Kependidikan (P4TK);
c. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
d. perguruan tinggi (PT)
e. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan
pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional
dan/atau Departemen agama;
f. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS),
Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP,
MKS, MPS dan sejenisnya.
Pasal 11
(1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak
memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat
memberikan bantuan profesional kepada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif.
(3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan melalui kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok
kerja organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan
lembaga mitra terkait,baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
(4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan
asesmen, prevensi, intervensi, kompensatoris dan layanan
advokasi peserta didik.
c. bantuan profesional dalam melakukan modifikasi kurikulum,
program
d. pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media, dan
sumber belajar serta sarana dan prasarana yang asesibel.
(5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat
bekerjasama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan
khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi,
rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia
usaha, lembaga swadaya asyarakat (LSM), dan masyarakat.
Pasal 12
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 13
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif, satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif,
dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen
tinggidan berprestasi dalamenyelenggaraan pendidikan inklusif.
Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini
diberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Berdasarkan permendiknas diatas dapat kita amati bahwasanya
pemerintah secara teoritis memberikan perhatian khusus pada
penyelenggaraan pendidikan insklusif. Satandar-standar pendidikan yang
merupakan acuan pengembangan suatu pengelolaan pendidikan yang
ditujukan bagi sekolah reguler berlaku juga pada sekolah yang bersifat
inklusif dan secara jelas dituangkan dalam permendiknas tersebut. Namun
demikian meskipun secara teoritis aturan-aturan tentang pendidikan inklusif
sudah disiapkan secara rapi oleh pemerintah, kita perlu terus untuk mengawal
layanan pendidikan model inklusif agar kita tidak terjebak dalam kondisi
dimana pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus yang saat ini kita
jalani hanya berorientasi sebagai upaya pemerintah memberikan akses
pendidikan yang mudah bagi seluruh masyarakat dan bukanlah menjadi
sebuah cita-cita Negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
dimana antara siswa reguler (normal) maupun siswa berkebutuhan khusus
dapat terjalin harmonisasi.
E. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Pendidikan Inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak sebayanya
disekolah reguler (umum) terdekat. Sebagai upaya untuk mengembangkan
potensi kecerdasan dan bakat istimewa peserta didik dalam lingkungan
pendidikan dan memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai
dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
2. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik.
3. Pendidikan Inklusif diatur dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
4. Pendidikan Inklusif di Indonesia belum optimal dijalankan karena masih
terhambat dari beberapa hal seperti pemahaman terhadap makna pendidikan
inklusif, kebijakan sekolah, kondisi guru maupun sarana dan prasarana
b. Saran
1. Dalam penyelenggaraan layanan pendidikan inklusif bukanlah sesuatu hal
yang mudah. Dibutuhkan konsentrasi serta komitmen yang tinggi dari berbagai
pihak utamanya pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Sebagai
akademisi sepatutnyalah kita mendukung program pemerintah dengan
membuka layanan pendidikan inklusif jika kita memiliki suatu lembaga
pendidikan demi meningkatkan kepedulian pada siswa berkebutuhan khusus
yang juga sangat membutuhkan layanan pendidikan demi masa depannya.
Daftar Pustaka
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1310/pendidikan-inklusi-bagi-
anak-anak-berkebutuhan-khusus. diakses pada 3 April 2019
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-237997/satu-juta-anak-
berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah diakses pada 3 April 2019