Anda di halaman 1dari 14

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG SEKOLAH INKLUSIF BAGI

SISWA BERKEBUTUHAN KHUSUS


Artikel dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. H. Abdul Madjid Latief, MM, M.Pd

OLEH:
Mariah (182520086)

KELAS II D

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM


INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN (PTIQ)
JAKARTA
TAHUN 2018 – 2019
KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG SEKOLAH INKLUSI BAGI SISWA
BERKEBUTUHAN KHUSUS
Oleh: Mariah
Mahasiswi Magister Manajemen Pendidikan Islam PTIQ Jakarta

Abstrak

Pendidikan Inklusif merupakan sebuah upaya Negara dalam menghapuskan diskriminasi


dalam bidang pendidikan bagi seluruh warga negaranya termasuk didalamnya anak
berkebutuhan khusus. Sekolah luar biasa yang ada belum sepenuhnya mampu
mengakomodir jumlah siswa berkebutuhan khusus yang jumlahnya semakin hari
semakin bertambah. Di Indonesia kebijakan penyelenggaraan pendidikan Inklusif mulai
lebih diperhatikan dan dirancang dengan baik oleh pemerintah sejak beberapa tahun yang
lalu dimana pemerintah Indonesia mengupayakannya dengan membuat berbagai aturan
dan tertuang dalam undang-undang serta peraturan menteri. Namun demikian pada
tataran pelaksanaannya terdapat berbagai kendala dari berbagai pihak yang membuat
pendidikan inklusif di Indonesia belum terlalu berkembang. Hingga saat ini anak
berkebutuhan khusus Indonesia belum dapat merasakan secara merata layanan
pendidikan inklusif. Sebagai bagian dari bangsa ini kita perlu untuk mensukseskan
upaya pemerintah ini dengan cara turut membuka atau meluaskan layanan pendidikan
inklusif bagi sekolah yang kita kelola.

Kata kunci: pendidikan, inklusif, kebijakan, anak berkebutuhan khusus

A. Pendahuluan
Pendidikan adalah hak seluruh warga negara tanpa membedakan asal-usul,
status sosial ekonomi, maupun keadaan fisik seseorang, termasuk anak-anak yang
mempunyai kelainan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945 pasal 31. Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, hak
anak untuk memperoleh pendidikan dijamin penuh tanpa adanya diskriminasi
termasuk anak-anak yang mempunyai kelainan atau anak yang berkebutuhan khusus.
Anak dengan kebutuhan khusus (special needs children) dapat diartikan secara
sederhana sebagai anak yang membutuhkan perhatian yang lebih khusus anak-anak
pada umumnya dari orang dewasa baik itu karena faktor fisik maupun non fisik.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara pendidikan memerlukan
layanan yang spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Anak
berkebutuhan khusus ini memiliki apa yang disebut dengan hambatan belajar dan
hambatan perkembangan. Oleh sebab itu mereka memerlukan layanan pendidikan
yang sesuai dengan hambatan belajar dan hambatan perkembangan yang dialami oleh
masing-masing anak.
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel)
disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis
difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari
sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang
berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah
menghambat proses saling mengenal antara anakanak difabel dengan anak anak non-
difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi
komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi
tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri
merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan
masyarakat di sekitarnya (Nur’aeni: 2017).
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam
menyuarakan hak haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Salah
satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan
inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional
Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini
disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah
untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat.
(Nur’aeni: 2017). Indonesia adalah termasuk salahsatu negara yang ikut
berkonsentrasi dengan layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Namun
dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan
tarik ulur antara pihak pemerintah maupun para praktisi pendidikan (stake holder)

B. Kajian Pustaka
1. Definisi Pendidikan Inklusif
Pendidikan inklusif merupakan sebuah konsep yang muncul untuk memberi
solusi terhadap persoalan pendidikan yang belum sepenuhnya dapat diakses oleh
setiap orang karena berbagai keterbatasan yang mereka miliki, baik fisik, kognitif,
sosial ekonomi atau individu berkebutuhan khusus (IBK). Individu dengan
keterbatasan ini seringkali mendapat perlakuan diskriminatif dalam layanan
pendidikan. Pendidikan inklusif memiliki prinsip dasar bahwa selama
memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang
kesulitan ataupun perbedaan yang mungkin ada pada mereka (Ni’matuzahroh dan
Yuni Nurhamida, 2016).
Pendidikan inklusif menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan
pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Menurut Sapon–Shevin dalam 0 Neil 1994, pendidikan Inklusif adalah
sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar
di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya.
Adapun menurut Stainback (dalam Nur’aeni, 2017) penyelenggara pendidikan
khusus inklusif adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang,
tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun
bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh paraguru, agar anak-anak
berhasil.
Berdasarkan penegertian diatas, pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai
sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus
untuk belajar bersama dengan anak sebayanya disekolah reguler (umum) terdekat.
Sebagai upaya untuk mengembangkan potensi kecerdasan dan bakat istimewa
peserta didik dalam lingkungan pendidikan dan memberikan kesempatan atau
akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa
diskriminasi. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah
melakukan penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan,
maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik.

2. Tujuan Pendidikan Inklusif


Menurut Gargiulo (dalam Mudjito, 2012) menyatakan bahwa tujuan
pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan khusus
yang secara spesifik diarahkan untuk:
a. Meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak
dan untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat dalam aktivitas normal.
b. Mencegah terjadinya kondisi yang lebih parah dalam ketidakteraturan
perkembangan yang membuat anak menjadi semakin tidak berdaya.
c. Mencegah bertambahnya ketidakberdayaan siswa pada aspek lain karena
diakibatkan ketidakberdayaan pada keterbatasan utamanya.
Adapun menurut Nur Eva (2015) tujuan dari diselenggarakannya
pendidikan inklusi yakni:
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan
yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman,
dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik sebagaimana yang dimaksud
pada huruf.
Nuraeni menyebutkan tujuan dari pendidikan inklusi adalah untuk
mendorongnya partisipasi penuh siswa berkebutuhan khusus dalam kehidupan
masyarakat dan menghilangkan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi
siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan.

3. Landasan Pendidikan Inklusif


Sila kelima dalam pancasila yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
menggambarkan bagi kita bahwa setiap orang Indonesia memiliki hak-hak yang
sama sebagai warga negara Indonesia dalam berbagai bidang salahsatunya bidang
pendidikan. Adapun dalam undang-undang, pendidikan Inklusi di atur dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, yang
dalam penjelasannya menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan untuk
peserta didik berkelainan atau memiliki kecerdasan luar biasa diselenggarakan
secara inklusif atau berupa sekolah khusus.
Adapun dalam Permendiknas RI nomor 70 Tahun 2009, pendidikan inklusi
luas dijelas digambarkan dalam 15 Pasal yakni dengan rincian tema pasal dibawah
ini:
No. Pasal Ke- Isi Kandungan Pasal Permendiknas RI Nomor 70 Tahun
2009
1 1 Definisi Pendidikan Inklusif
2 2, 3 Tujuan Pendidikan Inklusif
3 4 Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
4 5, 6, 7, 8, 9 Peserta Didik Pendidikan Inklusif
5 10 Fasilitas Satuan Pendidikan Inklusif
6 11 Hak Satuan Pendidikan Inklusif
7 12, 13 Kewajiban Pemerintah terhadap Pendidikan Inklusif
8 14, 15 Ketetapan Peraturan terhadap Pendidikan Inklusif
4. Prinsip Dasar Pendidikan Inklusif
Prinsip dasar pendidikan inklusif berkaitan langsung dengan jaminan akses
dan peluang bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang
latar belakang kehidupan mereka (Mohammad Takdir Ilahi, 2013:48).
Menurut Usman Abu Bakar (2012:138) ada dua prinsip pendidikan inklusif,
yaitu:
a. Prinsip persamaan hak dalam pendidikan
Pendidikan inklusif mengakomodasi semua anak untuk mendapatkan
pendidikan. Memperoleh pendidikan yang bermutu, menghargai keragaman,
dan mengakui perbedaan individual.
b. Prinsip peningkatan kualitas sekolah
Selalu berusaha untuk meningkatkan mutu dan kualitas sekolah baik dalam
penyediaan sarana dan prasarana, kemampuan guru, serta merubah pandangan
sekolah tentang kebutuhan anak, melakukan kerjasama dengan institusi terkait
sebagai rekan untuk meningkatkan kualitas sekolah, dan mewujudkan sebuah
sekolah yang ramah terhadap anak sehingga anak merasa aman dan nyaman
untuk belajar dan berinteraksi dengan teman sebayanya (Usman Abu Bakar,
2012:138).
Sedangkan menurut Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf (2009:74-75)
menyatakan ada lima prinsip dasar dari pendidikan inklusif, yaitu:
a. Prinsip pemerataan dan peningkatan mutu
Pendidikan inklusif merupakan salah satu strategi upaya pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan, karena lembaga pendidikan inklusif bisa
menampung semua anak yang belum terjangkau oleh layanan pendidikan
lainnya. Pendidikan inklusif juga merupakan strategi peningkatan mutu,
karena model pembelajaran inklusif menggunakan metodologi pembelajaran
bervariasi yang bisa menyentuh pada semua anak dan menghargai perbedaan.
b. Prinsip kebutuhan individual
Setiap anak memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda-beda, oleh
karena itu pendidikan harus diusahakan untuk menyesuaikan dengan kondisi
anak.
c. Prinsip kebermaknaan
Pendidikan inklusif harus menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang
ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan.
d. Prinsip keberlanjutan
Pendidikan inklusif diselenggarakan secara berkelanjutan pada semua jenjang
pendidikan.
e. Prinsip keterlibatan
Penyelenggaraan pendidikan inklusif harus melibatkan seluruh komponen
pendidikan terkait (Abdul Salim Choiri dan Munawir Yusuf, 2009:74-75).
Sehingga berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif minimal memuat dua prinsip dasar, yaitu
prinsip persamaan hak dalam memperoleh pendidikan yang layak, dan prinsip
peningkatan mutu pendidikan.

5. Model-model Pendidikan Inklusif


Model Pendidikan Inklusif dalam buku Individu Berkebutuhan Khusus &
Pendidikan Inklusif karya Ni’matuzahroh dan Yuni Nurhamida, 2016 yang dikutip
dari Mangungsong, 2006. Berikut ini akan diuraikan beberapa model pelaksanaan
pendidikan inklusif yang telah dilakukan selama ini di dunia:
a. Inklusif Penuh
Dalam model ini semua murid yang memiliki keterbatasan khusus
ditempatkan disekolah yang dekat dengan rumahnya dan mengikuti
pendidikan dengan anak-anak normal secara penuh (tidak ada pemisahan atau
perpindahan kelas sewaktu-waktu) dan guru kelas memiliki tanggungjawab
utama dalam menangani anak berkebutuhan khusus tersebut jadi dalam model
inklusif penuh ini, tidak mempermasalahkan apakah anak dapat mengikuti
program reguler, akan tetapi lebih melihat pada kemampuan dan keinginan
guru, sekolah dan sistemnya untuk melakukan adaptasi atau modifikasi
program pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak.
b. Integrasi Model Umum
Dalam model ini anak-anak berkebutuhan khusus dididik dalam setting
terpisah terlebih dahulu, barulah setelah anak tampak siap, anak digabung
kedalam kelas reguler. Model ini diawal dengan menyiapkan anak melalui
pendekatan intervensi baik dari sisi emosi maupun dari sisi perilaku. Jika
psikolog atau terapis menyatakan bahwa anak dinilai telah siap untuk
mengikuti kelas reguler, barulah anak dapat mengikuti kelas yang ditunjuk.
c. Integrasi Model Lanjutan
Dalam model lanjutan ini kelompok atau individu-individu dari kelas khusus
mengunjungi kelas reguler untuk aktivitas bersama atau mata pelajaran
tertentu. Model ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus harus
menyesuaikan dengan ketentuan sistem dan kelas reguler, sehingga anak yang
berkebutuhan khusus sering dianggap "tamu" dikelas reguler.
d. Model Inklusif
Didalam pembelajaran inklusif, Hallahan dan Kaufman (2006) menegaskan
ada beberapa hal mendasar yang harus diperhatikan agar inklusif dapat
berjalan yaitu tidak melabel anak ABK sebagai sesuatu yang membahayakan,
mengubah pandangan dan hati untuk menerima perbedaan, reorientasi yang
berkaitan dengan assemen, metode pengajaran dan menejemen kelas termasuk
penyesuaian lingkungan, redefinisi peran guru dan realokasi sumber daya
manusia, penyediaan bantuan profesional dan pelatihan guru, pembentukan,
peningkatan dan pengembangan kemitraan antara guru, orangtua untuk
berbagi pengalaman, kurikulum dan evaluasi pembelajaran yang fleksibel.

C. Metode Penulisan
Metode penulisan bersifat studi pustaka. Studi kepustakaan adalah segala
usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Studi kepustakaan adalah
teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku,
literatur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan
masalah yang dipecahkan.Informasi diperoleh dari buku, jurnal dan laporan
penelitian. Adapun prosedur yang dilakukan yakni:
1) Mengumpulkan sumber-sumber kepustakaan berupa hasil penelitian.
2) Membaca sumber-sumber kepustakaan hasil penelitian.
3) Membuat kesimpulan dari berbagai sumber pustaka dan membandingkannya
untuk dijadikan judul.
4) Menganalisis seluruh hasil penelitian pada masing-masing sumber pustaka yang
dipilih untuk dijadikan analisis pustaka.
5) Membuat makalah dengan bahan dari sumber pustaka berupa hasil penelitian.
D. PEMBAHASAN
1. Kebijakan Pemerintah Tentang Pendidikan Bagi Siswa Berkebutuhan
Khusus
Pemerintah Indonesia dalam kaitannya dengan layanan pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus secara cukup luas mencoba membuat aturan-aturan dan
ketentuan yakni salahsatunya dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Hal
ini dapat kita lihat dari upaya pemerintah menetapkan berbagai macam peraturan
yang tertuang dalam Undang-Undang maupun permendiknas.
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional Pasal 3 menjelaskan secara umum fungsi pendidikan nasional
yakni mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pasal ini menjelaskan tentang fungsi pendidikan secara menyeluruh
secara nasional yang dapat diartikan bahwa pendidikan dimaksudkan untuk
seluruh warganya. Adapun anak berkebutuhan khusus merupakan bagian
dari sebuah bangsa sehingga fungsi pendidikan Indonesia jelas berlaku pula
bagi seluruh anak berkebutuhan khusus. Dan Indonesia wajib mencerdaskan
dan mengembangkan anak berkebutuhan khusus.
Selanjutnya, dalam Pasal 4 tentang penyelenggaran pendidikan
diterangkan bahwasanya pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Pada
pasal ini sangat jelas tertuang bahwasanya negara tidak membeda-bedakan
semua kondisi setiap waraga negara, baik kaya- miskin, tua-muda, dikota
maupun di desa, anak reguler (normal) maupun berkebutuhan khusus semua
diperlakukan dan diberikan hak yang sama terutama dalam hal pendidikan.
Pasal selanjutnya yakni pasal ke-5 dimana dijelaskan bahwasanya
setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu. Dan hal inilah yang sangat menjadi dasar
bahwasanya semua warga negara mempunyai hak dan tidak dibeda-bedakan
dalam hal mendapatkan layanan pendidikan.
b. Permendiknas No. 70 Tahun 2009
Selain undang-undang pemerintah secara khusus membahas tentang
pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus dalam Permendiknas
No.70 Tahun 2009. Permendiknas ini memiliki 15 pasal yang secara
keseluruhan membahas tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang
memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa. Adapun isi dari permendiknas tersebut yakni:
 Pasal 1
Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti
pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara
bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
 Pasal 2
Pendidikan inklusif bertujuan :
(1) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua
peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan
sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya;
(2) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai
keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik
sebagaimana yang dimaksud pada huruf a.
 Pasal 3
(1) Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional,
mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan
pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.
(2) Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) terdiri atas:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan
zat adiktif
l. lainnya;
m. memiliki kelainan lainnya;
n. tunaganda
 Pasal 4
(1) Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)
sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada
setiapkecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima
peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3ayat (1).
(2) Satuan pendidikan selain yang ditunjuk oleh kabupaten/kota dapat
menerima peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1).
 Pasal 5
(1) Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan
pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) paling sedikit 1
(satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan
diterima.
(3) Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta
didikvsebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat terpenuhi,
satuan pendidikan dapat menerima peserta didik normal.
 Pasal 6
(1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan
inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk.
(3) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu tersedianya
sumber daya pendidikan inklusif.
 Pasal 7
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif menggunakan
kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi kebutuhan
dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan
minatnya.
 Pasal 8
Pembelajaran pada pendidikan inklusif mempertimbangkan prinsip-
prinsip pembelajaran yang disesuikan dengan karakteristik belajar
peserta didik.
 Pasal 9
(1) Penilaian hasil belajar bagi peserta didik pendidikan inklusif
mengacu pada jenis kurikulum tingkat satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(2) Peserta didik yang mengikuti pembelajaran berasarkan kurikulum
yang dikembangkan sesuai dengan standar nasional pendidikan
atau di atas standar nasional pendidikan wajib mengikuti ujian
nasional.
(3) Peserta didik yang memiliki kelainan dan mengikuti
pembelajaran berdasarkan kurikulum yang dikembangkan di
bawah standar pendidikan mengikuti ujian yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(4) Peserta didik yang menyelesaikan dan lulus ujian sesuai dengan
standar nasional pendidikan mendapatkan ijazah yang blankonya
dikeluarkan oleh Pemerintah.
(5) Peserta didik yang memiliki kelainan yang menyelesaikan
pendidikan berasarkan kurikulum yang dikembangkan oleh
satuan pendidikan di bawah standar nasional pendidikan
mendapatkan surat tanda tamat belajar yang blankonya
dikeluarkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan.
(6) Peserta didik yang memperoleh surat tanda tamat belajar dapat
melanjutkan pendidikan pada tingkat atau jenjang yang lebih
tinggi pada satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan inklusif atau satuan pendidikan khusus.
 Pasal 10
(1) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1
(satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan
yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif
(2) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak
ditunjuk oleh pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan
paling sedikit 1 (satu) ‘orang guru pembimbing khusus.
(3) Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di
bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
(4) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan
tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif yang memerlukan sesuai
dengan kewenangannya.
(5) Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan
kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan
tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan inklusif.
(6) Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (5) dapat dilakukan melalui:
a. pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan
Tenaga
b. Kependidikan (P4TK);
c. lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (LPMP);
d. perguruan tinggi (PT)
e. lembaga pendidikan dan pelatihan lainnya di lingkungan
pemerintah daerah, Departemen Pendidikan Nasional
dan/atau Departemen agama;
f. Kelompok Kerja Guru/Kepala Sekolah (KKG, KKS),
Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS), MGMP,
MKS, MPS dan sejenisnya.
 Pasal 11
(1) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif berhak
memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari
pemerintah kabupaten/kota.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dapat
memberikan bantuan profesional kepada satuan pendidikan
penyelenggara pendidikan inklusif.
(3) Bantuan profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
dilakukan melalui kelompok kerja pendidikan inklusif, kelompok
kerja organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan
lembaga mitra terkait,baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
(4) Jenis dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. bantuan profesional perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan
evaluasi;
b. bantuan profesional dalam penerimaan, identifikasi dan
asesmen, prevensi, intervensi, kompensatoris dan layanan
advokasi peserta didik.
c. bantuan profesional dalam melakukan modifikasi kurikulum,
program
d. pendidikan individual, pembelajaran, penilaian, media, dan
sumber belajar serta sarana dan prasarana yang asesibel.
(5) Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat
bekerjasama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan
khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi,
rumahsakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi, dunia
usaha, lembaga swadaya asyarakat (LSM), dan masyarakat.
 Pasal 12
Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota
melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai
dengan kewenangannya.
 Pasal 13
Pemerintah memberikan penghargaan kepada pendidik dan tenaga
kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan
inklusif, satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif,
dan/atau pemerintah daerah yang secara nyata memiliki komitmen
tinggidan berprestasi dalamenyelenggaraan pendidikan inklusif.
 Pasal 14
Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang terbukti
melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini
diberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan.
 Pasal 15
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Berdasarkan permendiknas diatas dapat kita amati bahwasanya
pemerintah secara teoritis memberikan perhatian khusus pada
penyelenggaraan pendidikan insklusif. Satandar-standar pendidikan yang
merupakan acuan pengembangan suatu pengelolaan pendidikan yang
ditujukan bagi sekolah reguler berlaku juga pada sekolah yang bersifat
inklusif dan secara jelas dituangkan dalam permendiknas tersebut. Namun
demikian meskipun secara teoritis aturan-aturan tentang pendidikan inklusif
sudah disiapkan secara rapi oleh pemerintah, kita perlu terus untuk mengawal
layanan pendidikan model inklusif agar kita tidak terjebak dalam kondisi
dimana pendidikan inklusif bagi siswa berkebutuhan khusus yang saat ini kita
jalani hanya berorientasi sebagai upaya pemerintah memberikan akses
pendidikan yang mudah bagi seluruh masyarakat dan bukanlah menjadi
sebuah cita-cita Negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
dimana antara siswa reguler (normal) maupun siswa berkebutuhan khusus
dapat terjalin harmonisasi.

2. Kondisi Pendidikan Inklusif di Indonesia


Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik pada 2016
menunjukkan dari 4,6 juta anak yang tidak sekolah, satu juta di antaranya
adalah anak-anak berkebutuhan khusus. Selama ini, penyelenggaraan
pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak dengan disabilitas
lebih banyak dilakukan di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa
(SLB). Padahal, tidak semua daerah di Indonesia memiliki SLB. Data
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, dari total 514
kabupaten/kota di Indonesia, 62 di antaranya tidak memiliki SLB. Jumlah 1,6
juta anak berkebutuhan khusus di Indonesia pun baru 10 persen yang
bersekolah di SLB (sumber: CNN Indonesia, 2019).
Salah satu solusi meningkatkan angka partisipasi anak berkebutuhan
khusus di dunia pendidikan adalah menyelenggarakan sekolah inklusif.
Sekolah ini dianggap mampu mengakomodasi setiap anak dari beragam
karakteristik untuk berpartisipasi secara bermakna dan belajar bersama teman
sebayanya di satuan pendidikan reguler, bukan satuan pendidikan khusus
seperti SLB. Sekolah inklusif ini menerapkan metode pendidikan yang
ditujukan untuk menjawab kebutuhan belajar semua anak dengan fokus
khusus yang rentan terhadap marginalisasi dan pengucilan. Pemerintah
Indonesia, sejak awal tahun 2000 sebenarnya sudah mengembangkan konsep
pendidikan inklusif dengan mengikuti kecenderungan dunia dalam
mengadopsi konsep ini.
Sekalipun secara formal pendidikan inklusi di Indonesia baru
dilaksanakan dalam satu dasa warsa terakhir, namun diyakini bahwa secara
alamiah pendidikan inklusi sudah berlangsung sejak lama. Hal ini tidak lepas
dari faktor-faktor filosofi, sosial, maupun budaya Indonesia yang sangat
menghargai dan menjunjung tinggi kebihinekaan atau keberagaman.
Faktorfaktor ini tentu dapat menjadi modal dasar bagi pengembangan
penyelenggaraan pendidikan inklusi yang sekarang sedang digalakkan.
Meskipun secara teoritis pendidikan insklusif bagi siswa berkebutuhan khusus
menjadi bahan kajian penting pemerintah dan memiliki landasan tersendiri
dalam undang-undang dan permendiknas, dan pada awal digulirkannya
kebijakan tentang pendidikan inklusif, masyarakat sangat menyambut dengan
antusias. Namun demikian pada kelanjutan pelaksanaan layanan ini banyak
berbagai permasalahan yang timbul dan menjadikan peringkat Indonesia
dalam layanan pendidikan inklusif menurun di mata dunia. Indonesia pada
tahun 2007 menduduki ranking ke 58 dari 130 negara dan terus mengalami
kemerosotan, pada tahun 2008 berada pada ranking ke 63 dan pada tahun 2009
berada pada ranking ke 71 karena kurangnya komitmen dan dukungan
pemerintah yang semakin berkurang. (Kompas.com., 30 November 2009).
Berdasarkan hasil penelitian Sunardi dan Sunaryo (2009) terhadap 12
sekolah penyelenggara inklusi di Kabupaten dan Kota Bandung, secara
umum saat ini terdapat lima kelompok issue dan permasalahan pendidikan
inklusi di tingkat sekolah yang perlu dicermati dan diantisipasi agar tidak
menghambat, implementasinya tidak bisa, atau bahkan menggagalkan
pendidikan inklusi itu sendiri, yaitu: pemahaman dan implementasinya,
kebijakan sekolah, proses pembelajaran, kondisi guru, dan support system.
Salah satu bagian penting dari support system adalah tentang penyiapan anak.
Selanjutnya, berdasar isu-isu tersebut, permasalahan yang dihadapi adalah
sebagai berikut:
1. Pemahaman inklusi dan implikasinya
a. Pendidikan inklusif bagi anak berkelainan/penyandang cacat belum
dipahami sebagai upaya peningkatan kualitas layanan pendidikan. Masih
dipahami sebagai upaya memasukkan siswa difable ke sekolah regular
dalam rangka memberikan pendidikan yang benar dan kemudahan akses
pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus.
b. Pendidikan inklusi cenderung dipersepsi sama dengan integrasi,
sehingga masih ditemukan pendapat bahwa anak harus menyesuiakan
dengan sistem sekolah.
c. Dalam implementasinya guru cenderung belum mampu bersikap
proaktif dan ramah terhadap semua anak, menimbulkan komplain
orang tua, dan menjadikan anak cacat sebagai bahan olok-olokan.
2. Kebijakan sekolah
a. Sekalipun sudah didukung dengan visi yang cukup jelas, menerima
semua jenis anak cacat, sebagian sudah memiliki guru khusus,
mempunyai catatan hambatan belajar pada masing-masing ABK, dan
kebebasan guru kelas dan guru khusus untuk mengimplementasikan
pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif, namun cenderung belum
didukung dengan koordinasi dengan tenaga profesional, organisasi atau
institusi terkait.
b. Masih terdapat kebijakan yang kurang tepat, yaitu guru kelas tidak
memiliki tangung jawab pada kemajuan belajar ABK, serta keharusan
orang tua ABK dalam penyediaan guru khusus.
3. Proses pembelajaran
a. Proses pembelajaran belum dilaksanakan dalam bentuk team teaching,
tidak dilakukan secara terkoordinasi.
b. Guru cenderung masih mengalami kesulitan dalam merumusakan
flexible curriculum, pembuatan IEP, dan dalam menentukan tujuan,
materi, dan metode pembelajaran.
c. Masih terjadi kesalahan praktek bahwa target kurikulum ABK sama
dengan siswa lainnya serta anggapan bahwa siswa cacat tidak memiliki
kemampuan yang cukup untuk menguasai materi belajar.
d. Karena keterbatasan fasilitas sekolah, pelaksanaan pembelajaran belum
menggunakan media, resource, dan lingkungan yang beragam sesuai
kebutuhan anak.
4. Kondisi guru
a. Belum didukung dengan kualitas guru yang memadai. Guru kelas masih
dipandang not sensitive and proactive yet to the special needs children.
b. Keberadaan guru khusus masih dinilai belum sensitif dan proaktif
terhadap permasalahan yang dihadapi ABK.
5. Sistem dukungan
a. Belum didukung dengan sistem dukungan yang memadai. Peran orang
tua, sekolah khusus, tenaga ahli, perguruan tinggi – LPTK PLB, dan
pemerintah masih dinilai minimal. Sementara itu fasilitas sekolah juga
masih terbatas.
b. Keterlibatan orang tua sebagai salah satu kunci keberhasilan dalam
pendidikan inklusi, belum terbina dengan baik. Dampaknya, orang tua
sering bersikap kurang peduli dan realistik terhadap anaknya.

E. PENUTUP
a. Kesimpulan
1. Pendidikan Inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama dengan anak sebayanya
disekolah reguler (umum) terdekat. Sebagai upaya untuk mengembangkan
potensi kecerdasan dan bakat istimewa peserta didik dalam lingkungan
pendidikan dan memberikan kesempatan atau akses yang seluas-luasnya
kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang bermutu dan sesuai
dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
2. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut pihak sekolah melakukan
penyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana parasarana pendidikan, maupun
sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan individu peserta
didik.
3. Pendidikan Inklusif diatur dalam Permendiknas No. 70 tahun 2009 tentang
pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
4. Pendidikan Inklusif di Indonesia belum optimal dijalankan karena masih
terhambat dari beberapa hal seperti pemahaman terhadap makna pendidikan
inklusif, kebijakan sekolah, kondisi guru maupun sarana dan prasarana

b. Saran
1. Dalam penyelenggaraan layanan pendidikan inklusif bukanlah sesuatu hal
yang mudah. Dibutuhkan konsentrasi serta komitmen yang tinggi dari berbagai
pihak utamanya pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Sebagai
akademisi sepatutnyalah kita mendukung program pemerintah dengan
membuka layanan pendidikan inklusif jika kita memiliki suatu lembaga
pendidikan demi meningkatkan kepedulian pada siswa berkebutuhan khusus
yang juga sangat membutuhkan layanan pendidikan demi masa depannya.

Daftar Pustaka

Eva, Nur. Psikologi anak berkebutuhan khusus. Malang: Universitas Negeri


Malang, 2015.

Nuraeni. Psikologi pendidikan anak berkebutuhan khusus. Purwokerto: UM


Press, 2017

Ni’matuzahroh dan Nurhamida. Individu berkebutuhan khusus dan pendidikan


Inklusif. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2016

https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/1310/pendidikan-inklusi-bagi-
anak-anak-berkebutuhan-khusus. diakses pada 3 April 2019

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-237997/satu-juta-anak-
berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah diakses pada 3 April 2019

JSSI_Anakku. Volume 10: Nomor 2 Tahun 2011 melalui ejournal.upi.edu


www.google.com manajemen pendidikan inklusif diakses pada 5 April 2019

Anda mungkin juga menyukai