Anda di halaman 1dari 11

OBLIGASI SYARIAH

A. Sejarah Sukuk/ Obligasi Syariah

Sesungguhnya, sukuk / obligasi syariah ini bukan merupakan istilah yang baru dalam sejarah Islam.
Istilah tersebut sudah dikenal sejak abad pertengahan, dimana umat Islam menggunakannya dalam
konteks perdagangan internasional. Sukuk merupakan bentuk jamak dari kata sakk yang memiliki arti
yang sama dengan sertifikat atau note. Ia dipergunakan oleh para pedagang pada masa itu sebagai
dokumen yang menunjukkan kewajiban finansial yang timbul dari usaha perdagangan dan aktivitas
komersial lainnya. Namun demikian, sejumlah penulis Barat yang memiliki concern terhadap sejarah
Islam dan bangsa Arab, menyatakan bahwa sakk inilah yang menjadi akar kata “cheque” dalam bahasa
latin, yang saat ini telah menjadi sesuatu yang lazim dipergunakan dalam transaksi dunia perbankan
kontemporer.

Dalam perkembangannya, the Islamic Jurispudence Council (IJC) kemudian mengeluarkan fatwa yang
mendukung berkembangnya sukuk. Hal tersebut mendorong Otoritas Moneter Bahrain (BMA – Bahrain
Monetary Agency) untuk meluncurkan salam sukuk berjangka waktu 91 hari dengan nilai 25 juta dolar
AS pada tahun 2001. Kemudian Malaysia pada tahun yang sama meluncurkan Global Corporate Sukuk di
pasar keuangan Islam internasional. Inilah sukuk global yang pertama kali muncul di pasar internasional.

Selanjutnya, penerbitan sukuk di pasar internasional terus bermunculan bak cendawan di musim hujan.
Tidak ketinggalan, pemerintahan di dunia Islam pun mulai melirik hal tersebut. Sebagai contoh, pada
tahun 2002 pemerintah Malaysia menerbitkan sukuk dengan nilai 600 juta dolar AS dan terserap habis
oleh pasar dengan cepat, bahkan sampai terjadi over subscribe. Begitu pula pada Desember 2004,
pemerintah Pakistan menerbitkan sukuk di pasar global dengan nilai 600 juta dolar AS dan langsung
terserap habis oleh pasar. Dan masih banyak contoh lainnya.

Harus kita akui, bahwa sukuk atau obligasi syariah ini adalah salah satu bentuk terobosan baru dalam
dunia keuangan Islam, meskipun istilah tersebut adalah istilah yang memiliki akar sejarah yang panjang.
Inilah salah satu bentuk produk yang paling inovatif dalam pengembangan sistem keuangan syariah
kontemporer.
B. Pengertian

Obligasi adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu
pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar
kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.

Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang
obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada
umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi
pemerintah Amerika yang disebut “U.S. Treasury securities” diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10
tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut “surat utang” dan utang
dibawah 1 tahun disebut “Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10
tahun yang diterbitkan oleh pemerintah yang disebut dengan Surat Utang Negara (SUN) dan utang
dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN)

Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa
bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing
instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan
obligasi syariah. Sebenarnya obligasi yang tidak dibenarkan itu adalah obligasi yang bersifat utang
dengan kewajiban membayar bunga (sistem riba).

Di dalam Islam, istilah obligasi lebih dikenal dengan istilah sukuk. Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah
Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, “Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang
berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang
mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi
hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo”.
Untuk menerbitkan obligasi syariah, beberapa persyaratan harus dipenuhi, yakni aktivitas utama (core
business) yang halal, dan tidak bertentangan dengan substansi fatwa DSN.

C. Ketentuan Obligasi Syariah

Ketentuan Umum:

· Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban
membayar berdasarkan bunga;

· Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah

· Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang
dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar
pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali
dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Ketentuan Khusus

· Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:

1. Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh


2. Musyarakah

3. Murabahah

4. Salam

5. Istishna

6. Ijarah

· Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan
memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan
Investasi untuk Reksa Dana Syariah;

· Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah
Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;

· Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;

· Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

D. Skema Bagi Hasil

Obligasi Konvensional
Pendapatan atau imbal hasil atau return yang akan diperoleh dari investasi obligasi dinyatakan sebagai
yield, yaitu hasil yang akan diperoleh investor apabila menempatkan dananya untuk dibelikan obligasi.
Sebelum memutuskan untuk berinvestasi obligasi, investor harus mempertimbangkan besarnya yield
obligasi, sebagai faktor pengukur tingkat pengembalian tahunan yang akan diterima.

Ada 2 (dua) istilah dalam penentuan yield yaitu current yield dan yield to maturity.

· Currrent yield adalah yield yang dihitung berdasarkan jumlah kupon yang diterima selama satu tahun
terhadap harga obligasi tersebut.

Current yield = bunga tahunan

harga obligasi

Contoh:

Jika obligasi PT XYZ memberikan kupon kepada pemegangnya sebesar 17% per tahun sedangkan harga
obligasi tersebut adalah 98% untuk nilai nominal Rp 1.000.000.000, maka:

Current Yield = Rp 170.000.000 atau 17%

Rp 980.000.000 98%
= 17.34%

Sementara itu yiled to maturity (YTM) adalah tingkat pengembalian atau pendapatan yang akan
diperoleh investor apabila memiliki obligasi sampai jatuh tempo. Formula YTM yang seringkali
digunakan oleh para pelaku adalah YTM approximation atau pendekatan nilai YTM, sebagai berikut:

YTM approximation = C+P–R

n x 100%

P+R

Keterangan:

C = kupon

n = periode waktu yang tersisa (tahun)

R = redemption value

P = harga pembelian (purchase value)

Contoh:

Obligasi XYZ dibeli pada 5 September 2003 dengan harga 94.25% memiliki kupon sebesar 16% dibayar
setiap 3 bulan sekali dan jatuh tempo pada 12 juli 2007. Berapakah besar YTM approximationnya ?
C = 16%

n = 3 tahun 10 bulan 7 hari = 3.853 tahun

R = 94.25%

P = 100%

YTM approximation = 16 + 100 – 94.25

3.853

= 100 + 94.25

= 18.01 %

Obligasi Syariah

Melalui fatwanya, DSN sebenarnya mengkategorikan tiga jenis pemberian keuntungan kepada investor
pemegang Obligasi Syariah. Yaitu, pertama adalah berupa bagi hasil kepada pemegang Obligasi
Mudharabah atau Musyarakah. Kedua, keuntungan berupa margin bagi pemegang Obligasi Murabahah,
Salam atau Istishna. Dan ketiga, berupa fee (sewa) dari aset yang disewakan untuk pemegang Obligasi
dengan akad Ijarah. Pada prinsipnya, semua Obligasi Syariah adalah surat berharga bukti investasi
jangka panjang yang berdasarakan prinsip syariah Islam. Namun yang membedakan adalah akad dan
transaksinya.

Adapun transaksi sukuk yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Obligasi Mudharabah

Dimana obligasi mudharabah memakai akad bagi hasil pada saat pendapatan emiten telah di ketahui
dengan jelas. Penerapan mudharabah dalam obligasi cukup sederhana. Emiten bertindak selaku
mudharib (pegelola dana) dan investor bertindak selaku shahibul mal, alias pemilik modal. Keuntungan
yang diperoleh investor merupakan bagian proporsional keuntungan dari pengelolaan dana oleh
investor. Menyikapi adanya indikasi bahwa terdapat kontradiksi antara mudharabah dan obligasi dalam
definisi, serta masih adanya anggapan bahwa obligasi syariah mudharabah sejatinya tetaplah sebagai
surat hutang, lebih lanjut, Hakim mengatakan bahwa transaksi mudharabah dalam konteks obligasi
syariah mudaharabah ini adalah transaksi investment, bukan hutang piutang. Karena investment
merupakan milik pemilik modal, maka ia dapat menjualnya kepada pihak lain. Prinsip inilah yang
mendasari dibolehkan adanya secondary market bagi obligasi mudharabah.

Contoh:

Sebagai contoh Berlian Laju Tanker telah menerbitkan Obligasi Mudharabah senilai Rp 100 miliar.
Dananya digunakan untuk membeli kapal tanker (66%) dengan tambahan modal kerja perusahaan
(34%). Obligasi berjangka waktu 5 tahun yang dicatakan di BES ini memperoleh keuntungan dari bagi
hasil berdasarkan pendapatan perseroan dari pengoperasian kapal tanker MT Gardini atau kapal lain
yang beroperasi untuk melayani Pertamina, sehingga return-nya berubah setiap tahun sesuai
pendapatan.

2. Obligasi Ijarah

Dimana obligasi ijarah memakai akad sewa menyewa sehingga kupon (fee ijarah) bersifat tetap, dan bisa
diperhitungkan sejak awal obligasi diterbitkan
Contoh:

Penerapan akad Ijarah secara praktis dapat kita lihat pada Matahari Departemen Store. Perusahaan ritel
ini mengeluarkan Obligasi Ijarah senilai Rp 100 miliar. Dananya digunakan untuk menyewa ruangan
usaha dengan akad wakalah, dimana Matahari bertindak sebagai wakil untuk melaksanakan ijarah atas
ruangan usaha dari pemiliknya (pemegang obligasi/investor). Ruang usaha yang disewa adalah Cilandak
Town Square di Jakarta. Ruang usaha tersebut dimanfaatkan Matahari sesuai dengan akad wakalah,
dimana atas manfaat tersebut Matahari melakukan pembayaran sewa (fee ijarah) dan dana obligasi. Fee
ijarah dibayarkan setiap tiga bulan, sedangkan dana obligasi dibayarkan pada saat pelunasan obligasi.
Jangka waktu obligasi tersebut selama lima tahun.

E. Harga Obligasi

Konvensional

Berbeda dengan harga saham yang dinyatakan dalam bentuk mata uang, harga obligasi dinyatakan
dalam persentase (%), yaitu persentase dari nilai nominal.

Ada 3 (tiga) kemungkinan harga pasar dari obligasi yang ditawarkan, yaitu:

· Par (nilai Pari) : Harga Obligasi sama dengan nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai nominal Rp 50
juta dijual pada harga 100%, maka nilai obligasi tersebut adalah 100% x Rp 50 juta = Rp 50 juta.

· at premium (dengan Premi) : Harga Obligasi lebih besar dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai
nominal RP 50 juta dijual dengan harga 102%, maka nilai obligasi adalah 102% x Rp 50 juta = Rp 51 juta
· at discount (dengan Discount) : Harga Obligasi lebih kecil dari nilai nominal Misal: Obligasi dengan nilai
nominal Rp 50 juta dijual dengan harga 98%, maka nilai dari obligasi adalah 98% x Rp 50 juta = Rp 49
juta.

Namun yang terpenting adalah, instrument bunga (interest instruments) sangat mempengaruhi
permintaan obligasi. Semakin tinggi tingkat suku bunga, semakin sedikit orang (calon investor) membeli
obligasi, tetapi semakin rendah suku bunga, maka semakin banyak orang (calon investor) yang akan
berinvestasi dengan membeli obligasi.

Syariah

Obligasi syariah atau mudharabah bond ini dijual pada harga nominal pelunasan jatuh temponya (at
maturity par value) di pasar perdana. Landasan syariah dari obligasi ini antara lain berdasarkan hadist
Mudharabah yang diriwayatkan oleh Suhaib Ar Rumi (H.R. Ibnu Majah). Pada prinsipnya mudharib
memiliki kewajiban finansial kepada shahibul maal, untuk mengembalikan pokok penyertaan ditambah
bagi hasil dari keuntungan. Peluang mendapatkan bagi hasil inilah, oleh shahibul maal bisa dialihkan ke
pihak lain melalui mekanisme al Hawalah (pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil).

Mekanisme al Hawalah ini bisa menjadi dasar transaksi mudharabah bond di pasar sekunder. Landasan
syariahnya antara lain H.R. Imam Bukhari dan Muslim: Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan jika salah
seorang dari kamu diikutkan (dihawalahkan) kepada orang yang mampu / kaya, maka terimalah hawalah
itu.” Dalam kaitan ini mayoritas ulama sepakat membolehkan al Hawalah pada satu bentuk kewajiban
finansial. Atas dasar landasan syariah al Hawalah, maka di pasar modal syariah tidak ada transaksi yang
bisa dikategorikan jual beli murni setelah perdananya. Karena sebagian besar ulama telah
mengharamkan Bai’ Al Dayn (the sale of payable right raises from transaction), yang berarti melarang
untuk diperjualbelikan utang piutang secara tangguh. Yang bisa dilakukan oleh pemegang obligasi
syariah (Shariah bonds holders) adalah meng-hawalah-kan syariah bonds-nya untuk mendapatkan dana
segar sebesar maturity par value-nya, dengan melakukan perjanjian revenue sharing atas initial revenue
sharing yang diperoleh dari penerbit syariah bonds.

Dengan demikian syariah bonds sebaiknya dikeluarkan atas nama, bukan atas unjuk. Pendekatan lain
yang kini tengah dibahas oleh para ahli fiqih dan ahli keuangan syariah adalah membeli utang secara
tunai (karena yang dilarang adalah membeli utang secara tangguh). Salah satu di antara skema yang
tengah dikembangkan adalah lembaga keuangan tertentu menjual metal kepada bond holders dengan
mempergunakan obligasi syariah itu sebagai proceednya. Harga yang disepakati sesuai dengan harga
nominal (par value obligasi tersebut). Dalam transaksi ini tidak terjadi diskon atau mark down dari nilai
obligasi karena hal ini bisa menjadi pintu belakan bagi riba nasi’ah. Lembaga keuangan mendapat
keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual metal tersebut

Anda mungkin juga menyukai