Anda di halaman 1dari 77

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) merupakan penyakit obstruksi jalan

nafas karena bronkitis kronik atau emfisema, obstruksi tersebut umumnya bersifat

progresif, bisa disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversibel

(Mansjoer Arief, 2001). Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi

luas dari gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan

asma. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi ireversibel yang

berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar

udara paru– paru. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyebab

kematian kelima terbesar di Amerika Serikat. Penyakit ini menyerang lebih dari

25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001). Hasil survei penyakit tidak

menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 Rumah Sakit Propinsi di

Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera

Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama

penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru

(30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004)

Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh

karena prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Di Amerika kasus

kunjungan pasien PPOK di instansi gawat darurat mencapai angka 1,5 juta,

726.000 memerlukan perawatan dirumah sakit dan 119.000 meninggal selama


tahun 2000. Sebagai penyebab kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat

setelah penyakit jantung, kanker dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang

dikeluarkan untuk penyakit ini mencapai 24 Miliyar per tahunnya. World health

organization (WHO) memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi

PPOK akan meningkat . Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga. Dep. Kes. RI

tahun 1992, PPOK bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok

merupakan faktor resiko terpenting penyebab PPOK disamping faktor risiko

lainnya seperti polusi udara, faktor genetik dan lain lainnya.(Sudoyo, 2006)

Dampak yang ditimbulkan dari dari polusi udara, debu, asap rokok, dan

lain-lain bukan hanya menyebabkan masalah dalam pernafasan tetapi mencangkup

keseluruhan aktivitas seseorang. Biasanya aktivitas terganggu karena seseorang

merasa sesak, yang merupakan proses perjalanan penyakit itu sendiri, bila

seseorang merasa sesak otomatis aktivitas lain-lainnya menjadi terganggu sehingga

tidak jarang seseorang yang mengalami gangguan dalam pernafasan lebih banyak

menghabiskan waktu ditempat tidur dan produktivitas menurun.

Berdasarkan data statistic dari rekam medik Rumah Sakit Dirgahayu

Samarinda total pasien dengan kasus penyakit paru obstruksi kronis pada tahun

2011 adalah berjumlah 500 kasus dengan jumlah kunjungan dalam tahun 2011

berjumlah 20.872 pasien, pada tahun 2012 total pasien dengan kasus penyakit

paru obstruksi kronis adalah berjumlah 430 kasus dengan jumlah kunjungan

dalam tahun 2012 berjumlah 22.340 pasien.

Berdasarkan fenomena- fenomena yang penulis paparkan diatas, baik dari

gejala yang sering muncul, akibat dari masalah itu sendiri yang akhirnya

mengurangi produktifitas pasien. Untuk itu penulis dalam karya tulis ini
mengambil judul “Asuhan Keperawatan Penyakit Paru Obstruktif Kronik pada

pasien di ruang Yakobus Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda”

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk memperoleh gambaran pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien

dengan penyakit paru obstruksi kronik di Ruang Yakobus Rumah Sakit

Dirgahayu Samrinda.

2. Tujuan Khusus

a. Dapat melakukan pengkajian pada klien dengan penyakit paru obstruksi

kronik (PPOK).

b. Dapat menegakkan diagnosa keperawatan yang ditemukan pada asuhan

keperawatan klien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

c. Dapat melakukan perencanaan tindakan yang sesuai pada klien dengan

penyakit paru obstruksi kronik (PPOK).

d. Dapat melaksanakan tindakan dari perencanaan keperawatan yang sesuai

dengan permasalahan keperawatan pada klien dengan penyakit paru

obstruksi kronik (PPOK).

e. Dapat melaksanakan evaluasi dari seluruh asuhan keperawatan yang telah

diberikan, agar dapat mendokumentasikan tindakan keperawatan yang telah

dilakukan.
C. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Penelitian karya tulis ilimiah ini diharapkan dapat menghasilkan suatu informasi

yang dapat digunakan sebagai masukan pada ilmu pengetahuan khususnya

mengenai “Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Penyakit Paru Obstruksi

Kronik

2. Manfaat Praktis

Menambah pengetahuan dan keterampilan keperawatan khususnya bagi

perawat dan membuat pasien merasa nyaman, puas dan percaya pada pelayanan

keperawatan yang diberikan oleh rumah sakit.

D. Ruang Lingkup

Pada karya tulis ini, penulis mengambil ruang lingkup pada kejadian penyakit

paru obstruksi kronik (PPOK) yang dewasa ini kasusnya semakin meningkat di

dunia ini seiring dengan semakin banyaknya juga kasus perokok aktif maupun

pasif dimana merokok itu sendiri merupakan termasuk faktor etiologi penyakit

paru obstruksi kronik (PPOK).

E. Sistematika Penulisan Laporan

Untuk mendapatkan gambaran secara singkat dan menyeluruh dari isi penulisan

karya tulis ini, maka sistematika penulisan ini terbagi dalam lima bab, antara lain :

bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang penulisan masalah, ruang

lingkup bahasan, tujuan penulisan dan sistematika penulisan karya tulis ilmiah, bab

2 berisi dasar teori yang menguraikan tentang landasan teori medis dan landasan

teori keperawatan. Konsep keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa


keperawatan, perencanaan, pelaksanaan tindakan keperawatan dan evaluasi, bab 3

merupakan tinjauan kasus dimana penulis akan menyajikan suatu kasus dengan

menggunakan pendekatan proses keperawatan yang meliputi pengkajian,

penentuan diagnosa keperawatan, perencanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan

tindakan keperawatan dan evaluasi akhir tindakan, dan bab 4 merupakan bab

penutup yang terdiri dari kesimpulan dari isi karya tulis yang dibuat dan saran-

saran yang akan diberikan.


BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan tentang dasar teoritis dari konsep dasar penyakit

paru obstruksi kronik (PPOK) yang meliputi anatomi dan fisiologi paru-paru,

pengertian PPOK, etiologi, patofisiologi, gejala-gejala/tanda, pemeriksaan diagnostic,

penatalaksanaan dan komplikasi, serta dasar teoritis dari proses keperawatan yang

meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan, dan

evaluasi.

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Anatomi Dan Fisiologi Paru-Paru

Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-

gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini

terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya

lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke

dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru

ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

1.1. Saluran pernafasan atas

Saluran pernafasa atas terdiri dari :

a) Hidung (Nasal)

Hidung merupakan pintu masuk pertama pada udara yang kita

hirup, udara masuk dan keluar sistem pernafasan melalui hidung yang

brbentuk dari dua hidung yang terbentuk dari dua tulang hidung dan

brupa kartilogi. Lapisan mukosa hidung adalah sel epitel bersilia udara

yang melewati rongga hidung dihangatkan dan dilembabkan bakteri


dan partikel polusi udara akan akan terjebak dalam lender, silia pada

lapisan mukosa secara kontinu menyapu lender karah faring sebagian

besar lender ini pada akhirnya akan tertekan dan setiap bakteri yang

ada akan dihancurkan oleh asam hidroklorida dalam getah lambung

(Yasmin Niluh 2003)

b) Faring

Faring atau tenggorokan adalah tubulus muscular yang terletak

di posterior rongga nasal dan oral dan dianterior vertebra sertivasi.

Faring dapat dibagi menjadi tiga segmen nasofaring , bagian paling

atas terletak dibagian rongga nasal, nasofaring merupakan saluran

yang hanya dilalui oleh udara. Bagian faring yang dapat dilihat ketika

anda bercermin dengan mulut dibuka, mukosa orofaring adalah

otopitel skuomuse bertingkat pada dinding literalnya terdapat tonsil

palatin yang juga modulus limfe. Laringo faring merupakan bagian

yang anterior kedalam laring dan kearah poaterior ke dalam esophagus.

c) Laring

Laring menjadi tempa pita suara, dan menjadi sarana

pembentukan suara. Dinding laring di bentuk oleh tuluang rawan

(kartilago) bagian dalam dilapisi oleh membran mukosa bersilia.

Kartilagi laring terbesar adalah kartilago tiroid teraba pada permukaan

anterior, terkait di puncang rawan tiroid epiglotis berupa katup tulang

rawan, menutup laring sewaktu orang menelan.


1.2. Saluran pernafasan bawah

Saluran pernafasan bawah terdiri dari :

a) Trakhea

Trakhea atau batang tenggorokan merupakan saluran udara

tubular yang mempunyai panjang sekitar 10 sampai 13 cm dengan

lebar 2,5 cm terleak di depan esophagus. Dinding trankea disangga

oleh cincin-cincin kartilago, otot polos dan serat elastis banyaknya

sekitar 16 sampai 20 buah bagian dalam trangkhea di lapisi oleh

membran mukosa berilia.

b) Bronkus

Ujung distal trankhea menjadi bronkus primer kanan dan kiri yang

terleak di dalam rongga dada. Fungsi percabangan bronkia untuk

memberikan saluran bagi udara antara trankhea dan alveoli. Alveoli

berjumlah sekitar 300 sampai 500 juta di dalam paru rata-rata orang

dewasa. Fungsi alveoli sebagai tempat pertukaran gas antara lingkungan

ekstrenal dan aliran udara.

3) Paru-paru

Paru-paru terletak di kedua sisi jantung di dalam rongga dada dan

dikelilingi serta di lindungi oleh sangkar iga. Pada permukaan tengah

setip paru terdapat identitas yang di sebut hilus. Paru kanan terdiri dari

tiga lobus, lapisan yang membatasi lobus di sebut fisura. Dua lapis

membrane sorosa mengelilingi setiap paru sebagai pluara. Lapisan

tertular plaura parietal yang melapisi dinding dada dan mendistirium.

Lapisan dalam pleura visceral mengililingi paru dan melekan pada


permukaan rongga pleura mengandung cairan yang dihasilkan oleh sel-sel

serosa didalam pleura (Yasmin Niluh, 2003).

Gambar 2.1 Anatomi system pernafasan

1.3. Paru - paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra

superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh

lobules

b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus

inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil

bernama segment.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu : 5 ( lima ) buah segment

pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Sedangkan

paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu : 5 ( lima ) buah segmen pada

lobus superior, 2 ( dua ) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 ( tiga )

buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi

menjadi belahan-belahan yang bernama lobules.


Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal

yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam

tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus

ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus

alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang

diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

1.4. Letak Paru-Paru

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga

dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu tcrdapat paru-paru atau

hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh

selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

a. Pleura visceral ( selaput dada pembungkus ), yaitu selaput paru yang

langsung membungkus paru-paru.

b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar

Antara kedua pleura ini terdapat rongga ( kavum ) yang disebut kavum

pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara

sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit

cairan ( eskudat ) yang berguna untuk meminyaki permukaannya

(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada

dimana sewaktu bernapas bergerak.

1.5. Pembuluh Darah Pada Paru

Sirkulasi pulmonal berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3

dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi

dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan

tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran


melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru

dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah " kaya oksigen

" ( oxyge-nated ) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif

kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri

pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel

kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran

bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk

jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli

(gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding

kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena

pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui

tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa

dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena

bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan

demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam

menampung udara didalamnya, dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru

pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita

dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap

dan bentuk seseorang.


b. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah

ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru

dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

c. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara.

Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-

paru 2.600 cm3 ( 2 1/2 liter ).

d. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 -

18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30

x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah,

misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat

dan sebaliknya.

1.6. Mekanisme Pernafasan

Bernafas adalah proses keluar dan masuknya udara kedalam dan

keluar paru. Pengertian ini merupakan pengertian umum, yang dikenal

sebagai “ pernafasan luar”. Disamping ada pernafasan luar, dikenal juga

“pernafasan dalam”. Pernafasan dalam adalah pertukaran gas antara darah

dan sel-sel jaringan tubuh, penggunaan 02 dan pembuatan C02 dalam sel

pada proses metabolisme sel (disebut “pernafasan seluler”). Sebenarnya

dari masing-masing klasifikasi bernafas, terdapat satu kesatuan proses

antara pernafasan luar, pernafasan dalam, maupun pernafasan seluler.

Proses bernafas diawali dengan memasukan udara kedalam rongga

paru untuk kemudian diedarkan kedalam system sirkulasi (dibawa

kejantung), serta proses pengeluaran zat sisa (C02 ) dari sirkulasi darah

menuju keluar tubuh melalui paru. Suatu proses pernafasan adalah

kegiatan kompleks berbagai organ tubuh yaitu paru sebagai organ utama,
system syaraf sebagai activator, diafragma, dan rongga toraks sebagai

fasilitator. Pernafasan terjadi dalam suatu kesatuan ventilasi, pertukaran

gas, dan transfortasi gas melalui darah. Ventilasi adalah proses keluar dan

masuknya udara dari luar menuju paru hingga alveoli atau sebaliknya.

Pertukaran gas adalah proses pertukaran gas oksigen (02 ) dan

karbondioksida (C02 ) dari alveoli kedalam system sirkulasi (kapiler

pulmonal). Transfortasi gas adalah kegiatan pengangkutan gas yang

terdisosiasi dengan darah dari paru menuju jantung untuk dibawa

keseluruh tubuh atau sebaliknya dari seluruh organ tubuh menuju jantung

dan paru.

2. Pengertian PPOK

Penyakit Paru Obstruksi menurut Anies (2006) adalah suatu penyumbatan

menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronchitis

kronis. Sedangkan menurut Sylvia dan Laurence (2006) Penyakit Paru Obstruksi

Kronik merupakan sekelompok penyakit paru yaitu emfisema paru,bronchitis

akut dan asma bronchial yang berlangsung lama ditandai oleh peningkatan

resistensi terhadap aliran udara.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Jan Tambayong (1999) adalah

menghambatnya aliran udara di dalam paru yang menimbulkan sedikit tahanan

pada inspirasi dan lebih banyak tahanan pada ekspirasi.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Smaler (2001) merupakan

kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dipsnea saat ativitas dan penurunan

aliran masuk dan keluar udara paru-paru.


Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Susan MartinTucker dkk,(1993)

adalah kondisi kronik yang berhubungan dengan riwayat emfisema paru,

bronchitis kronik dan asma bronchial disebabkan oleh perokok akif atau terpajan

pada polusi udara,terdapat sumbatan jalan nafas yang secara progresif meningkat.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David Ovedoff (2002) adalah

sekresi mukoid bronchial bertambah secara menetap di sertai dengan

kecenderungan terjadi infeksi yang berualang di sertai batuk produktif selama 3

bulan jangka waktu 2 tahun berturut-turut.

Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah

kondisi obstruksi ireversibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya

ditandai dengan kesulitan bernafas, batuk produktif, serta intoleransi aktifitas.

Dari beberapa defenisi diatas maka penulis menyimpulkan bahwa

Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena

bronkitis kronis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat progresif disertai

hiperaktif aktivitas bronkus dan bersifat reversible.

3. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

menurut Arief Mansjoer (2002) adalah:

a. Kebiasaan merokok

b. Polusi Udara

c. Paparan Debu, asap

d. Gas-gas kimiawi akibat kerja

e. Riwayat infeki saluran nafas

f. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin


Sedang penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut David

Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena polusi

udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga berkaitan

dengan virus hemophilus influenza dan strepto coccus pneumonia.

Gambar 2.2 Alveoli sehat dan alveoli COPD

Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F Gordan

(2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan

penderita penyakit PPOK, yaitu:

a. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.

b. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita

c. Merokok

d. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak

dirasakan.

e. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu

f. Polusi udara

g. Infeksi system pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus


h. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru

obstuksi kronik

i. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang

normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang

kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif

muda, walau pun tidak merokok.

4. Patofisiologi

Penyakit paru obstrksi kronik dapat terjadi karena adanya hambatan aliran

udara didalam paru, yang menimbulkan sedikit tahanan pada inspirasi dan lebih

banyak tahanan pada ekspirasi ini menimbulkan ekspiasi pernafasan.

(Tambayong Jan, 1999).

Sedangkan menurut David Ovedoff (2002), perjalanan penyakit PPOK

yakni seseorang yang berkaitan dengan perokok aktif / polusi udara sehingga

kelenjer mukosa bronkus menjadi hipertropi dan akhirnya akan terjadi

penyempitan saluran udara yang menyebabkan bronchitis kronik obstruksi yang

disertai dengan “Whezzing dan retensi CO2”.

Pada bronchitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran

nafas, penyempitan ini tidak mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan

menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik saluran pernafasan kecil dan

berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi lebih kecil dari sel

globet. Saluran nafas besar juga penyempitan karena hipertopi dan hyperplasia

kelenjer mucus. (Mansjoer Arief , 2002).

Terjadinya bronchokontriksi dan hiperrelaksasi kelenjar dan infiltrasi sel-

sel radang saluran nafas berawal dari pencetus allergen, cuaca, debu, stress, dan
lain-lain. Terjadi peningkatan kontraksi otot polos sehingga menyebabkan

penyempitan jalan nafas, konsentrasi oksigen dalam darah menurun (hiposemia),

terjadi peningkatan mucus disaluran pernafasan. Suplai darah dan oksigen ke

jantung berkurang menyebabkan penurunan cardiac output sehingga terjadi

kelemahan dan keletihan sehingga terjadilah keterbatasan aktivitas, tidak

efektifnya bersihan jalan nafas , dan pola nafas tidak efektif.

Etiologi
Allergen, debu, cuaca, stress, dan lain-lain

Bronchokontriksi, hiperrelaksasi kelenjar, infiltrasi sel-sel radang saluran


nafas

Penyempitan jalan nafas kontraksi otot polos meningkat

Akumulasi mukus O2 dalam darah kurang (hiposemia)


Batuk, sesak
Suara nafas : wheezing

Suplai darah & O2 kurang ke jantung


M. Kep :
- Gangguan pola nafas
- Bersihan jalan nafas tidak efektif Kelemahan dan keletihan

M. Kep : Intoleransi aktivitas

5. Menifentasi Klinis

Gejala awal dari penyakit paru obstruksi kronis yang biasa muncul setelah

5-10 tahun merokok adalah batuk dan adanya lendir, batuk biasanya ringan dan

sering salah diartikan sebagai batuk normal yang di alami oleh perokok. Walau

sebetulnya tidak normal, sering terjadi nyeri kepala dan pilek, semakin lama

gejala tersebut akan sering dirasakan bahkan disertai mengi/bengek.


Pada umur 60 tahun sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan

bertambah parah secara berlahan-lahan dan akhirnya sesak nafas akan dirasakan

pada saat melakukan kegiatan rutin setiap hari-hari. Sepertiga penderita PPOK

mengalami penurunan berat badan. (Anie, 2006).

Tanda dan gejala penderita PPOK biasanya ini timbul pada usia 54-65

Tahun, batuk menetap dengan sputum yang terutama kental dan mukoid, sukar

bernafas yang progresif dengan wheezing bila terdapat obstruksi bronkus. Pada

pemeriksaan fisik dada mungkin hiper infeksi dengan bunyi nafas melemah dan

ronchi yang dapat menghilang pada saat batuk. (David Ovidoff, 2002).

Batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernafasan yang

dapat berlangsung selama beratahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi.

Akan tetapi, akhirnya timbul gejala dispnea pada waktu pasien melakukan

kegiatan fisik, masalah ini memperlihakan berkurangnya dorongan untuk

bernafas.. (Lauranes dan Sylvia, 2006).

Terjadinya bronchokontriksi dan hiperrelaksasi kelenjar dan infiltrasi sel-

sel radang saluran nafas berawal dari pencetus allergen, cuaca, debu, stress, dan

lain-lain. Terjadi peningkatan kontraksi otot polos sehingga menyebabkan

penyempitan jalan nafas, konsentrasi oksigen dalam darah menurun (hiposemia),

terjadi peningkatan mucus disaluran pernafasan. Suplai darah dan oksigen ke

jantung berkurang menyebabkan penurunan cardiac output sehingga terjadi

kelemahan dan keletihan sehingga terjadilah keterbatasan aktivitas, tidak

efektifnya bersihan jalan nafas , dan pola nafas tidak efektif.

6. Pemeriksaan Tambahan

a). Pemeriksaan Rutin


Pemeriksaan fungsi paru terdiri dari pemeriksaan spirometri dan uji

bronkodilator. Pemeriksaan ini merupakan parameter yang paling umum

digunakan untuk menilai beratnya ppok atau copd dan memantau perjalanan

penyakit.

Pemeriksaan darah rutin meliputi pemeriksaan Hb, Ht dan Leukosit. Pada

pemeriksaan radiologi, foto dada dan lateral (samping) berguna untuk

menyingkirkan penyakit paru lain.

b). Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fungsi paru, uji latih pulmoner, uji

provokasi bronkus, uji coba kortokosteroid, analisa gas darah, CT scan

resolusi tinggi, EKG, ekokardiografi, bakteriologi dan pemeriksaan kadar

alfa – 1 antitripsin.

7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK atau COPD secara umum adalah untuk

mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah

penurunan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup penderita, mencegah

progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, mencegah dan mengobati

komplikasi, mencegah atau meminimalkan efek samping obat dan menurunkan

angka kematian.

Penatalaksanaan secara umum meliputi :

1) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK atau COPD stabil. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan

adalah :

a. Pengetahuan dasar tentang PPOK atau COPD.

b. Obat – obatan, manfaat dan efek sampingnya.

c. Cara pencegahan perburukan penyakit.

d. Menghindari pencetus (merokok).

e. Penyesuaian aktivitas.

2) Obat – obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis

bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran

napas), nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada

derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau

obat berefek panjang.

Macam – macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik,

golongan agonis beta – 2, kombinasi antikolinergik, beta – 2 dan golongan

xantin.

b. Anti Inflamasi.

Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral

(diminum) atau injeksi intravena (kedalam pembuluh darah). Ini berfungsi

untuk menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon

atau prednison.

c. Antibiotika.
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan

untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua

diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat,

sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.

d. Antioksidan.

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.

Digunakan N – asetilsistein dan dapat diberikan pada PPOK atau COPD

dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang

rutin.

e. Mukolitik (pengencer dahak).

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan

sputum yang kental.

f. Antitusif.

Diberikan dengan hati – hati.

3) Terapi Oksigen

Pada PPOK atau COPD terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan

yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen

merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam

sel dan mencegah kerusakan sel baik diotot maupun organ – organ lainnya.

4) Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK atau COPD digunakan pada eksaserbasi

dengan gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan
gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan

intubasi atau tanpa intubasi.

5) Nutrisi dan Rehabilitasi PPOK

Malnutrisi pada pasien PPOK atau COPD sering terjadi, disebabkan karena

bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang

meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya

hipermetabolisme.

Rehabilitasi PPOK atau COPD bertujuan untuk meningkatkan toleransi

latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK atau COPD.

Program ini dapat dilaksanakan baik diluar maupun didalam Rumah Sakit

oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori

terapis dan psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik,

psikososial dan latihan pernapasan.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

a) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret


bronkus.

b) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan


pernapasan yang paling efektif.

c) Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan


kesegaran jasmani.

d) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat


kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:


a) Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan

merokok, menghindari polusi udara.

b) Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

c) Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi

antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat

sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas

atau pengobatan empirik.

d) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan

kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih

kontroversial.

e) Pengobatan simtomatik.

f) Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

g) Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan

dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.

8. Komplikasi

a. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,

dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami

perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul

cyanosis.

b. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul

antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, dan tachipnea.

c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,

peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya

aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

d. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus

diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali

berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga

dapat mengalami masalah ini.

e. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratory.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak

berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu

pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan

untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat

mengidentifikasi, mengenal masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan

pasien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. ( Maryllinn. E. Doenges, 2000

).
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan

manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan

untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:

Pengkajian mencakup Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan

pernapasan :

a. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?

b. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?

c. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?

d. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?

e. Riwayat merokok?

f. Obat yang dipakai setiap hari?

g. Obat yang dipakai pada serangan akut?

h. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai

berikut :

a. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

b. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

c. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

d. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?

e. Barrel chest?

f. Apakah tampak sianosis?

g. Apakah ada batuk?

h. Apakah ada edema perifer?

i. Apakah vena leher tampak membesar?


j. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

k. Bagaimana status sensorium pasien?

l. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

a. Chest X-Ray

Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan

ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),

peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat

periode remisi (asthma)

b. Pemeriksaan Fungsi Paru

Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan

abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,

memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi,

misal : bronchodilator.

c. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema

d. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan

kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

e. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan

PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi

seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis

respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau

asthma)
f. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,

kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar

mukus (bronchitis).

g. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan

eosinofil (asthma)

h. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang

pada emfisema primer.

i. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi

patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau

allergi.

j. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial

disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi

(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

k. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi

pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,

merencanakan/evaluasi program.

1.1. Palpasi:

a. Palpasi pengurangan pengembangan dada?

b. Adakah fremitus taktil menurun?

1.2. Perkusi:

a. Adakah hiperesonansi pada perkusi?

b. Diafragma bergerak hanya sedikit?

1.3. Auskultasi:

a. Adakah suara wheezing yang nyaring?


b. Adakah suara ronchi ?

c. Vokal fremitus nomal atau menurun ?

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut American Nursing Association (ANA), diagnosa keperawatan adalah

respon individu pada masalah kesehatan yang aktual dan potensial. Yang

dimaksud dengan masalah aktual adalah masalah yang ditemukan pada saat

dilakukan pengkajian, sedangkan masalah potensial adalah masalah yang

kemungkinan akan timbul kemudian.

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga

atau masyarakat sebagai akibat dari masalah - masalah kesehatan / proses

kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-

dasar pemilihan intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat

perawat.( La Ode Jumadi Gaffar, 1997 ).

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,

peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya

tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,

bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

dengan kebutuhan oksigen.

f. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia.
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan

posisi.

h. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman

terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

3. Perencanaan Keperawatan / Intervensi Keperawatan

Perencanaan dalam proses keperawatan lebih dikenal dengan rencana asuhan

keperawatan atau rencana keperawatan yang merupakan tahap selanjutnya setelah

pengkajian dan penentuan diagnosa keperawatan (Maryllinn. E. Doenges, 2000).

Adapun unsur-unsur dari tahap perencanaan adalah sebagai berikut :

a) Memprioritaskan masalah, yaitu menentukan masalah apa yang memerlukan

perhatian atau prioritas masalah yang ditemukan.

b) Perumusan tujuan yaitu tujuan administrasi ditetapkan dalam bentuk jangka

panjang atau jangka pendek, harus jelas, dapat diukur dan realistis.

c) Penentuan tindakan keperawatan, yaitu perawat mempertimbangkan

beberapa alternatif tindakan keperawatan dan melaksanakan tindakan yang

mungkin berhasil, mengurangi atau dilakukannya tindakan keperawatan atau

bahkan tindakan kolaborasi.

d) Penentuan kriteria evaluasi merupakan tolak ukur keberhasilan tindakan

keperawatan.

Adapun rencana tindakan keperawatan pada klien peyakit paru obstruksi kronis

menurut Dounges dkk , 2001 adalah sebagai berikut :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan

bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,

kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.


1) Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien

2) Intervensi keperawatan:

a. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan

diafragmatik dan batuk.

Rasional : teknik pernafasan dan batuk yang benar dapat membantu

mengeluarkan dahak.

b. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau

IPPB

Rasional : pemberian nebuliser dapat membantu mengencerkan

dahak.

c. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari

dan malam hari sesuai yang diharuskan.

Rasional : Untuk mencegah akumulasi secret dan membantu

mengeluarkan sekret

d. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok,

aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.

Rasional : menghindari factor pencetus membantu menghindari sesak

berkelanjutan

e. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada

dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,

kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,

keletihan.

Rasional : agar dokter bisa melakukan intervensi selanjutnya

f. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.

Rasional : antibiotik membantu membunuh infeksi


g. Berikan air hangat

Rasional : Air hangat dapat memobilisasi mengeluarkan sekret

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,

bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

1) Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien

2) Intervensi:

a. Pantau : status pernafasan tiap 8 jam, tanda vital tiap 4 jam, hasil

analisa gas darah, foto rontgen, pemeriksaan fungsi paru-paru

Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau

penyimpangan dan hasil yang diharapkan

b. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode

istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya

berdasarkan tingkat toleransi pasien.

Rasional : meminimalkan aktivitas dapat membantu mengurangi

serangan nyeri

c. Pertahankan posisi yang nyaman

Rasional : Posisi tegak lurus memungkinkan ekpansi paru lebih

penuh dengan cara menurunkan tekanan abdomen pada

diafragma

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan

ventilasi perfusi

1) Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas


2) Intervensi keperawatan:

a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .

Rasional : adanya suara wizzing / ronchi merupakan indikator

adanya penyempitan bronkus dan akumulasi mukus

yang dapat menyebabkan pasien sesak

b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.

Rasional : membantu menentukan intervensi selanjutnya

c. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat

dan waspada kemungkinan efek sampingnya.

Rasional : membantu mengurangi serangan sesak

d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu

mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.

Rasional : meminimalkan akumulasi dahak dapat meningkatkan

selera makan pasien

e. Pantau pemberian oksigen.

Rasional : pemberian oksigen yaitu pada saat pasien mengalami

sesak

d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang

2) Intervensi :

a. Tentukan karakteristik nyeri.


Rasional : Nyeri dada, biasanya ada dalam beberapa derajat

b. Pantau tanda-tanda vital.

Rasional : Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah menunjukkan

bahwa pasien mengalami nyeri

c. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam atau tehnik distraksi / pengalihan

Rasional : Tindakan non analgetik diberikan dengan sentuhan lembut

dapat menghilangkan ketidaknyamanan

d. kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik / anti nyeri

Rasional : Obat ini dapat digunakan untuk batuk, meningkatkan

kenyamanan

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum.

1) Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari

aktivitas yang mungkin.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji respon individu terhadap aktivitas.

Rasional: Menetapkan kemampuan atau kekuatan pasien dan

memudahkan pilihan

b. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.

Rasional : Menurunkan stres dan meningkatkan istirahat

c. Beritahu arti pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan

perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat


Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk

menurunkan kebutuhan metabolik

d. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat tidur.

Rasional : Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di

kursi

e. Bantu aktivitas perawatan diri, yang diperlukan

Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan

suplay kebutuhan oksigen

f. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama

menjalankan aktivitas.

Rasional : untuk berjaga-jaga bilamana sesak tiba-tiba muncul lagi.

f. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan

anoreksia, mual muntah.

1) Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat

kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

Rasional : penurunan berat badan merupakan indikator kurangnya

kebutuhan nutrisi selama sakit.

b. Auskultasi bunyi usus, observasi atau palpasi distensi abdomen.


Rasional : Bunyi usus mungkin menurun, distensi abdomen terjadi

akibat menelan udara

c. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.

Rasional : hygine yang baik dapat meningkatkan selera makan.

d. Berikan makan porsi kecil dan sering

Rasional : Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun

nafsu makan mungkin lambat untuk kembali

e. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.

Rasional : makanan yang dapat meningkatkan gas biasanya dapat

menyebabkan mual

f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

Rasional : Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi

rendahnya tahanan terhadap infeksi.

g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan,

pengaturan posisi.

1) Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi

2) Intervensi keperawatan:

a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.

Rasional : latihan relaksasi dapat member efek rileks

b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan

keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.

Rasional : membantu merilekskan pasien


c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high

fowler.

Rasional : posisi semi fowler dapat membantu sirkulasi pernafasan

yang baik untuk klien dan meminimalkan sesak.

d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan

pasien.

Rasional : penjadwalan yang tepat membantu pasien mengenal waktu

istirahatnya.

e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

Rasional : membantu menghilangkan rasa lapar sebelum tidur, saat

klien kenyang dapat memberi efek mengantuk.

i. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri,

ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

1) Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan

2) Intervensi keperawatan:

a. Ketika terjadi tanda-tanda distres pernapasan :

1) Temani pasien dan minta perawat lain untuk segera lapor dokter

2) Lakukan pendekatan dengan penuh percaya diri dan tenang. Dorong

pasien untuk melakukan napas dalam

Rasional : Keberadaan pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten

dan penuh percaya diri membantu menurunkan ansietas

yang muncul pada waktu pasien sendirian. Sakit dada dan

kesulitan bernapas dapat mencetuskan ansietas. Takipnea


seringkali diakibatkan oleh ansietas, hal tersebut

menyebabkan menurunnya masukan oksigen dan

meningkatnya kehilangan CO2. Pernapasan yang terkontrol

dapat menurunkan ansietas.

b. Berikan obat-obat analgetik (morfin sulfat) sesuai dengan anjuran

dan evaluasi keefektifannya

Rasional : untuk membantu menurunkan nyeri dada dan menurunkan

ansietas

c. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat

mengalami sesak.

Rasional : pentingnya kehadiran keluarga membuat pasien merasa

tidak sendiri.

Adapun rencana tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan system

pernafasan menurut (Anas Tamsuri , 2008) adalah sebagai berikut :

a. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak

mengetahui sumber informasi.

1) Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi

Rasional : Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting

menghubung kan dengan program pengobatan

b. Diskusikan aspek ketidakmam-puan dari penyakit, lamanya

penyembuhan dan harapan kesembuhan


Rasional : Informasi dapat meningkatkan koping dan membantu

menurunkan ansietas dan masalah berlebihan

c. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.

Rasional : Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi

kemampuan untuk mengasimilasi informasi.

d. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif latihan pernafasan.

Rasional : Selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien

beresiko besar kambuh.

e. Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode

yang dianjurkan

Rasional : Penghentian dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi

mukosa bronkial dan menghambat makrofag alveolar

b. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang

sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan

ketidakmampuan untuk bekerja.

1) Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.

2) Intervensi keperawatan:

a. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat

yang ditujukan pada pasien.

Rasional : dukungan motivasi dari keluarga dapat meningkatkan

obsesi pasien untuk sembuh.

b. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala


Rasional : Menetapkan kemampuan atau kekuatan pasien dan

memudahkan pilihan

c. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi

pasien.

Rasional : teknik relaksasi dapat membantu mengurangi nyeri yang

bisa pasien peragakkan sendiri.

d. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.

Rasional : membantu pasien menjalankan therapy pemulihan

e. Tingkatkan harga diri klien.

Rasional : membantu pasien menciptakan motivasi positif didalam

dirinya

c. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder

akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan

oksigenasi.

1) Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri

2) Intervensi:

a. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan

aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.

b. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak

dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan

dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.

c. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.


BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan diuraikan tentang dasar teoritis dari konsep dasar penyakit

paru obstruksi kronik (PPOK) yang meliputi anatomi dan fisiologi paru-paru,

pengertian PPOK, etiologi, patofisiologi, gejala-gejala/tanda, pemeriksaan diagnostic,

penatalaksanaan dan komplikasi, serta dasar teoritis dari proses keperawatan yang

meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, tindakan keperawatan, dan

evaluasi.

A. Konsep Dasar Penyakit

1. Anatomi Dan Fisiologi Paru-Paru

Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri dari gelembung-

gelembung (gelembung hawa = alveoli). Gelembung-gelembung alveoli ini

terdiri dari sel-sel epitel dan endotel. Jika dibentangkan luas permukaannya

lebih kurang 90 m2 pada lapisan inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke

dalam darah dan C02 dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru

ini kurang lebih 700.000.000 buah (paru-paru kiri dan kanan).

1.1. Saluran pernafasan atas


Menurut Niluh Yasmin (2003), saluran pernafasan atas terdiri dari:

1) Hidung (Nasal)

Hidung merupakan pintu masuk pertama pada udara yang kita hirup,

udara masuk dan keluar sistem pernafasan melalui hidung yang brbentuk

dari dua hidung yang terbentuk dari dua tulang hidung dan brupa kartilogi.

Lapisan mukosa hidung adalah sel epitel bersilia udara yang melewati

rongga hidung dihangatkan dan dilembabkan bakteri dan partikel polusi

udara akan akan terjebak dalam lender, silia pada lapisan mukosa secara

kontinu menyapu lender karah faring sebagian besar lender ini pada

akhirnya akan tertekan dan setiap bakteri yang ada akan dihancurkan oleh

asam hidroklorida dalam getah lambung (Yasmin Niluh 2003)

2) Faring

Faring atau tenggorokan adalah tubulus muscular yang terletak di

posterior rongga nasal dan oral dan dianterior vertebra sertivasi. Faring

dapat dibagi menjadi tiga segmen nasofaring , bagian paling atas terletak

dibagian rongga nasal, nasofaring merupakan saluran yang hanya dilalui

oleh udara. Bagian faring yang dapat dilihat ketika anda bercermin dengan

mulut dibuka, mukosa orofaring adalah otopitel skuomuse bertingkat pada

dinding literalnya terdapat tonsil palatin yang juga modulus limfe.

Laringo faring merupakan bagian yang anterior kedalam laring dan

kearah poaterior ke dalam esophagus.

3) Laring

Laring menjadi tempa pita suara, dan menjadi sarana pembentukan

suara. Dinding laring di bentuk oleh tuluang rawan (kartilago) bagian

dalam dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Kartilagi laring terbesar


adalah kartilago tiroid teraba pada permukaan anterior, terkait di puncang

rawan tiroid epiglotis berupa katup tulang rawan, menutup laring sewaktu

orang menelan.

1.2. Saluran pernafasan bawah

Menurut Niluh Yasmin (2003), saluran pernafasan bawah terdiri dari:

1) Trakhea

Trakhea atau batang tenggorokan merupakan saluran udara tubular

yang mempunyai panjang sekitar 10 sampai 13 cm dengan lebar 2,5 cm

terleak di depan esophagus. Dinding trankea disangga oleh cincin-cincin

kartilago, otot polos dan serat elastis banyaknya sekitar 16 sampai 20 buah

bagian dalam trangkhea di lapisi oleh membran mukosa berilia.

2) Bronkus

Ujung distal trankhea menjadi bronkus primer kanan dan kiri yang

terleak di dalam rongga dada. Fungsi percabangan bronkia untuk

memberikan saluran bagi udara antara trankhea dan alveoli. Alveoli

berjumlah sekitar 300 sampai 500 juta di dalam paru rata-rata orang

dewasa. Fungsi alveoli sebagai tempat pertukaran gas antara lingkungan

ekstrenal dan aliran udara.

3) Paru-paru

Paru-paru terletak di kedua sisi jantung di dalam rongga dada dan

dikelilingi serta di lindungi oleh sangkar iga. Pada permukaan tengah

setip paru terdapat identitas yang di sebut hilus. Paru kanan terdiri dari

tiga lobus, lapisan yang membatasi lobus di sebut fisura. Dua lapis
membrane sorosa mengelilingi setiap paru sebagai pluara. Lapisan

tertular plaura parietal yang melapisi dinding dada dan mendistirium.

Lapisan dalam pleura visceral mengililingi paru dan melekan pada

permukaan rongga pleura mengandung cairan yang dihasilkan oleh sel-sel

serosa didalam pleura (Yasmin Niluh, 2003).

Gambar 2.1 Anatomi system pernafasan

1.3. Paru - paru dibagi 2 (dua) :

a. Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru), Lobus Pulmo dekstra

superior, Lobus media, dan lobus inferior. Tiap lobus tersusun oleh

lobules

b. Paru-paru kiri, terdiri dari; Pulmo sinester lobus superior dan lobus

inferior. Tiap-tiap lobus terdiri dari belahan-belahan yang lebih kecil

bernama segment.

Paru-paru kiri mempunyai 10 segmen yaitu : 5 ( lima ) buah segment

pada lobus superior, dan 5 (lima) buah segment pada inferior. Sedangkan

paru-paru kanan mempunyai 10 segmen yaitu : 5 ( lima ) buah segmen pada

lobus superior, 2 ( dua ) buah segmen pada lobus medialis, dan 3 ( tiga )
buah segmen pada lobus inferior. Tiap-tiap segmen ini masih terbagi lagi

menjadi belahan-belahan yang bernama lobules.

Diantara lobulus satu dengan yang lainnya dibatasi oleh jaringan ikal

yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan saraf-saraf, dalam

tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam lobulus, bronkiolus

ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang ini disebut duktus

alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang

diameternya antara 0,2 - 0,3 mm.

1.4. Letak Paru-Paru

Pada rongga dada datarannya menghadap ke tengah rongga

dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu tcrdapat paru-paru atau

hilus Pada mediastinum depan terletak jantung. Paru-paru dibungkus oleh

selaput yang bernama pleura. Pleura dibagi menjadi 2 (dua):

a. Pleura visceral ( selaput dada pembungkus ), yaitu selaput paru yang

langsung membungkus paru-paru.

b. Pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar

Antara kedua pleura ini terdapat rongga ( kavum ) yang disebut kavum

pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini vakum/hampa udara

sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit

cairan ( eskudat ) yang berguna untuk meminyaki permukaannya

(pleura), menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada

dimana sewaktu bernapas bergerak.

1.5. Pembuluh Darah Pada Paru

Sirkulasi pulmonal berasal dari ventrikel kanan yang tebal dinding 1/3

dan tebal ventrikel kiri, Perbedaan ini menyebabkan kekuatan kontraksi


dan tekanan yang ditimbulkan jauh lebih kecil dibandingkan dengan

tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi ventrikel kiri. Selain aliran

melalui arteri pulmonal ada darah yang langsung mengalir ke paru-paru

dad aorta melalui arteri bronkialis. Darah ini adalah darah " kaya oksigen

" ( oxyge-nated ) dibandingkan dengan darah pulmonal yang relatif

kekurangan oksigen.

Darah ini kembali melalui vena pulmonalis ke atrium kiri. Arteri

pulmonalis membawa darah yang sedikit mengandung 02 dari ventrikel

kanan ke paru-paru. Cabang-cabangnya menyentuh saluran-saluran

bronkial sampai ke alveoli halus. Alveoli itu membelah dan membentuk

jaringan kapiler, dan jaringan kapiler itu menyentuh dinding alveoli

(gelembung udara). Jadi darah dan udara hanya dipisahkan oleh dinding

kapiler.

Dari epitel alveoli, akhirnya kapiler menjadi satu sampai menjadi vena

pulmonalis dan sejajar dengan cabang tenggorok yang keluar melalui

tampuk paru-paru ke serambi jantung kiri (darah mengandung 02), sisa

dari vena pulmonalis ditentukan dari setiap paru-paru oleh vena

bronkialis dan ada yang mencapai vena kava inferior, maka dengan

demikian paru-paru mempunyai persediaan darah ganda.

Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam

menampung udara didalamnya, dapat dibedakan sebagai berikut :

a. Kapasitas total. Yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paru-paru

pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang kita

dapat tergantung pada beberapa hal: Kondisi paru-paru, umur, sikap

dan bentuk seseorang.


b. Kapasitas vital. Yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah

ekspirasi maksima.l Dalam keadaan yang normal kedua paru-paru

dapat menampung udara sebanyak ± 5 liter.

c. Waktu ekspirasi. Di dalam paru-paru masih tertinggal 3 liter udara.

Pada waktu kita bernapas biasa udara yang masuk ke dalam paru-

paru 2.600 cm3 ( 2 1/2 liter ).

d. Jumlah pernapasan. Dalam keadaan yang normal: Orang dewasa: 16 -

18 x/menit, Anak-anak kira-kira : 24 x/menit, Bayi kira-kira : 30

x/menit, Dalam keadaan tertentu keadaan tersebut akan berubah,

misalnya akibat dari suatu penyakit, pernafasan bisa bertambah cepat

dan sebaliknya.

1.6. Mekanisme Pernafasan

Bernafas adalah proses keluar dan masuknya udara kedalam dan

keluar paru. Pengertian ini merupakan pengertian umum, yang dikenal

sebagai “ pernafasan luar”. Disamping ada pernafasan luar, dikenal juga

“pernafasan dalam”. Pernafasan dalam adalah pertukaran gas antara darah

dan sel-sel jaringan tubuh, penggunaan 02 dan pembuatan C02 dalam sel

pada proses metabolisme sel (disebut “pernafasan seluler”). Sebenarnya

dari masing-masing klasifikasi bernafas, terdapat satu kesatuan proses

antara pernafasan luar, pernafasan dalam, maupun pernafasan seluler.

Proses bernafas diawali dengan memasukan udara kedalam rongga

paru untuk kemudian diedarkan kedalam system sirkulasi (dibawa

kejantung), serta proses pengeluaran zat sisa (C02 ) dari sirkulasi darah

menuju keluar tubuh melalui paru. Suatu proses pernafasan adalah

kegiatan kompleks berbagai organ tubuh yaitu paru sebagai organ utama,
system syaraf sebagai activator, diafragma, dan rongga toraks sebagai

fasilitator. Pernafasan terjadi dalam suatu kesatuan ventilasi, pertukaran

gas, dan transfortasi gas melalui darah. Ventilasi adalah proses keluar dan

masuknya udara dari luar menuju paru hingga alveoli atau sebaliknya.

Pertukaran gas adalah proses pertukaran gas oksigen (02 ) dan

karbondioksida (C02 ) dari alveoli kedalam system sirkulasi (kapiler

pulmonal). Transfortasi gas adalah kegiatan pengangkutan gas yang

terdisosiasi dengan darah dari paru menuju jantung untuk dibawa

keseluruh tubuh atau sebaliknya dari seluruh organ tubuh menuju jantung

dan paru.

2. Pengertian PPOK

Penyakit Paru Obstruksi menurut Anies (2006) adalah suatu penyumbatan

menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronchitis

kronis. Sedangkan menurut Sylvia dan Laurence (2006) Penyakit Paru Obstruksi

Kronik merupakan sekelompok penyakit paru yaitu emfisema paru,bronchitis

akut dan asma bronchial yang berlangsung lama ditandai oleh peningkatan

resistensi terhadap aliran udara.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Jan Tambayong (1999) adalah

menghambatnya aliran udara di dalam paru yang menimbulkan sedikit tahanan

pada inspirasi dan lebih banyak tahanan pada ekspirasi.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Smaler (2001) merupakan

kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dipsnea saat ativitas dan penurunan

aliran masuk dan keluar udara paru-paru.


Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut Susan MartinTucker dkk,(1993)

adalah kondisi kronik yang berhubungan dengan riwayat emfisema paru,

bronchitis kronik dan asma bronchial disebabkan oleh perokok akif atau terpajan

pada polusi udara,terdapat sumbatan jalan nafas yang secara progresif meningkat.

Penyakit Paru Obstruksi Kronik menurut David Ovedoff (2002) adalah

sekresi mukoid bronchial bertambah secara menetap di sertai dengan

kecenderungan terjadi infeksi yang berualang di sertai batuk produktif selama 3

bulan jangka waktu 2 tahun berturut-turut.

Penyakit Paru Obsruksi Kronik menurut Niluh G. Yasin (2003) adalah

kondisi obstruksi ireversibel progresif aliran udara dan ekspirasi biasanya

ditandai dengan kesulitan bernafas, batuk produktif, serta intoleransi aktifitas.

Dari beberapa defenisi diatas maka penulis menyimpulkan bahwa

Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan nafas karena

bronkitis kronis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat progresif disertai

hiperaktif aktivitas bronkus dan bersifat reversible.

3. Etiologi

Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

menurut Arief Mansjoer (2002) adalah:

a. Kebiasaan merokok

b. Polusi Udara

c. Paparan Debu, asap

d. Gas-gas kimiawi akibat kerja

e. Riwayat infeki saluran nafas

f. Bersifat genetik yakni definisi a-l anti tripsin


Sedang penyebab lain Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut David

Ovedoff (2002) yaitu : adanya kebiasaan merokok berat dan terkena polusi

udara dari bahan kimiawi akibat pekerjaan. Mungkin infeksi juga berkaitan

dengan virus hemophilus influenza dan strepto coccus pneumonia.

Gambar 2.2 Alveoli sehat dan alveoli COPD

Faktor penyebab dan faktor resiko yang paling utama menurut Neil F Gordan

(2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama membangkitkan

penderita penyakit PPOK, yaitu:

a. Usia semakin bertambah faktor resiko semakin tinggi.

b. Jenis kelamin pria lebih beresiko dibanding wanita

c. Merokok

d. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak

dirasakan.

e. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, seperti asap rokok dan debu

f. Polusi udara

g. Infeksi system pernafasan akut, seperti peunomia dan bronkitus


h. Asma episodik, orang dengan kondisi ini beresiko mendapat penyakit paru

obstuksi kronik

i. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang

normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang

kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif

muda, walau pun tidak merokok.

4. Patofisiologi

Penyakit paru obstrksi kronik dapat terjadi karena adanya hambatan aliran

udara didalam paru, yang menimbulkan sedikit tahanan pada inspirasi dan lebih

banyak tahanan pada ekspirasi ini menimbulkan ekspiasi pernafasan.

(Tambayong Jan, 1999).

Sedangkan menurut David Ovedoff (2002), perjalanan penyakit PPOK

yakni seseorang yang berkaitan dengan perokok aktif / polusi udara sehingga

kelenjer mukosa bronkus menjadi hipertropi dan akhirnya akan terjadi

penyempitan saluran udara yang menyebabkan bronchitis kronik obstruksi yang

disertai dengan “Whezzing dan retensi CO2”.

Pada bronchitis kronik maupun emfisema terjadi penyempitan saluran

nafas, penyempitan ini tidak mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan

menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik saluran pernafasan kecil dan

berobliterasi. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi lebih kecil dari sel

globet. Saluran nafas besar juga penyempitan karena hipertopi dan hyperplasia

kelenjer mucus. (Mansjoer Arief , 2002).

Terjadinya bronchokontriksi dan hiperrelaksasi kelenjar dan infiltrasi sel-

sel radang saluran nafas berawal dari pencetus allergen, cuaca, debu, stress, dan
lain-lain. Terjadi peningkatan kontraksi otot polos sehingga menyebabkan

penyempitan jalan nafas, konsentrasi oksigen dalam darah menurun (hiposemia),

terjadi peningkatan mucus disaluran pernafasan. Suplai darah dan oksigen ke

jantung berkurang menyebabkan penurunan cardiac output sehingga terjadi

kelemahan dan keletihan sehingga terjadilah keterbatasan aktivitas, tidak

efektifnya bersihan jalan nafas , dan pola nafas tidak efektif.

Etiologi
Allergen, debu, cuaca, stress, dan lain-lain

Bronchokontriksi, hiperrelaksasi kelenjar, infiltrasi sel-sel radang saluran


nafas

Penyempitan jalan nafas kontraksi otot polos meningkat

Akumulasi mukus O2 dalam darah kurang (hiposemia)


Batuk, sesak
Suara nafas : wheezing

Suplai darah & O2 kurang ke jantung


M. Kep :
- Gangguan pola nafas
- Bersihan jalan nafas tidak efektif Kelemahan dan keletihan

M. Kep : Intoleransi aktivitas

5. Menifentasi Klinis

Gejala awal dari penyakit paru obstruksi kronis yang biasa muncul setelah

5-10 tahun merokok adalah batuk dan adanya lendir, batuk biasanya ringan dan

sering salah diartikan sebagai batuk normal yang di alami oleh perokok. Walau

sebetulnya tidak normal, sering terjadi nyeri kepala dan pilek, semakin lama

gejala tersebut akan sering dirasakan bahkan disertai mengi/bengek.


Pada umur 60 tahun sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan

bertambah parah secara berlahan-lahan dan akhirnya sesak nafas akan dirasakan

pada saat melakukan kegiatan rutin setiap hari-hari. Sepertiga penderita PPOK

mengalami penurunan berat badan. (Anie, 2006).

Tanda dan gejala penderita PPOK biasanya ini timbul pada usia 54-65

Tahun, batuk menetap dengan sputum yang terutama kental dan mukoid, sukar

bernafas yang progresif dengan wheezing bila terdapat obstruksi bronkus. Pada

pemeriksaan fisik dada mungkin hiper infeksi dengan bunyi nafas melemah dan

ronchi yang dapat menghilang pada saat batuk. (David Ovidoff, 2002).

Batuk produktif dan berulang kali mengalami infeksi pernafasan yang

dapat berlangsung selama beratahun-tahun sebelum tampak gangguan fungsi.

Akan tetapi, akhirnya timbul gejala dispnea pada waktu pasien melakukan

kegiatan fisik, masalah ini memperlihakan berkurangnya dorongan untuk

bernafas.. (Lauranes dan Sylvia, 2006).

Terjadinya bronchokontriksi dan hiperrelaksasi kelenjar dan infiltrasi sel-

sel radang saluran nafas berawal dari pencetus allergen, cuaca, debu, stress, dan

lain-lain. Terjadi peningkatan kontraksi otot polos sehingga menyebabkan

penyempitan jalan nafas, konsentrasi oksigen dalam darah menurun (hiposemia),

terjadi peningkatan mucus disaluran pernafasan. Suplai darah dan oksigen ke

jantung berkurang menyebabkan penurunan cardiac output sehingga terjadi

kelemahan dan keletihan sehingga terjadilah keterbatasan aktivitas, tidak

efektifnya bersihan jalan nafas , dan pola nafas tidak efektif.

6. Pemeriksaan Tambahan

a). Pemeriksaan Rutin


Pemeriksaan fungsi paru terdiri dari pemeriksaan spirometri dan uji

bronkodilator. Pemeriksaan ini merupakan parameter yang paling umum

digunakan untuk menilai beratnya ppok atau copd dan memantau perjalanan

penyakit.

Pemeriksaan darah rutin meliputi pemeriksaan Hb, Ht dan Leukosit. Pada

pemeriksaan radiologi, foto dada dan lateral (samping) berguna untuk

menyingkirkan penyakit paru lain.

b). Pemeriksaan Khusus

Pemeriksaan meliputi pemeriksaan fungsi paru, uji latih pulmoner, uji

provokasi bronkus, uji coba kortokosteroid, analisa gas darah, CT scan

resolusi tinggi, EKG, ekokardiografi, bakteriologi dan pemeriksaan kadar

alfa – 1 antitripsin.

7. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan PPOK atau COPD secara umum adalah untuk

mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi berulang, memperbaiki dan mencegah

penurunan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup penderita, mencegah

progresivitas penyakit, meningkatkan toleransi latihan, mencegah dan mengobati

komplikasi, mencegah atau meminimalkan efek samping obat dan menurunkan

angka kematian.

Penatalaksanaan secara umum meliputi :

1) Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK atau COPD stabil. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan

adalah :

a. Pengetahuan dasar tentang PPOK atau COPD.

b. Obat – obatan, manfaat dan efek sampingnya.

c. Cara pencegahan perburukan penyakit.

d. Menghindari pencetus (merokok).

e. Penyesuaian aktivitas.

2) Obat – obatan

a. Bronkodilator

Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis

bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi berat derajat penyakit.

Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi (dihisap melalui saluran

napas), nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada

derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau

obat berefek panjang.

Macam – macam bronkodilator adalah : golongan antikolinergik,

golongan agonis beta – 2, kombinasi antikolinergik, beta – 2 dan golongan

xantin.

b. Anti Inflamasi.

Digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral

(diminum) atau injeksi intravena (kedalam pembuluh darah). Ini berfungsi

untuk menekan inflamasi yang terjadi. Dipilih golongan metilpradnisolon

atau prednison.

c. Antibiotika.
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan

untuk lini pertama adalah amoksisilin dan makrolid. Dan untuk lini kedua

diberikan amoksisilin dikombinasikan dengan asam klavulanat,

sefalosporin, kuinolon dan makrolid baru.

d. Antioksidan.

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup.

Digunakan N – asetilsistein dan dapat diberikan pada PPOK atau COPD

dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang

rutin.

e. Mukolitik (pengencer dahak).

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena akan

mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan

sputum yang kental.

f. Antitusif.

Diberikan dengan hati – hati.

3) Terapi Oksigen

Pada PPOK atau COPD terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan

yang mengakibatkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen

merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi dalam

sel dan mencegah kerusakan sel baik diotot maupun organ – organ lainnya.

4) Ventilasi Mekanik

Ventilasi mekanik pada PPOK atau COPD digunakan pada eksaserbasi

dengan gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan
gagal napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan

intubasi atau tanpa intubasi.

5) Nutrisi dan Rehabilitasi PPOK

Malnutrisi pada pasien PPOK atau COPD sering terjadi, disebabkan karena

bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang

meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperaapni menyebabkan terjadinya

hipermetabolisme.

Rehabilitasi PPOK atau COPD bertujuan untuk meningkatkan toleransi

latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK atau COPD.

Program ini dapat dilaksanakan baik diluar maupun didalam Rumah Sakit

oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori

terapis dan psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik,

psikososial dan latihan pernapasan.

Tindakan rehabilitasi yang meliputi:

a) Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret


bronkus.

b) Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan


pernapasan yang paling efektif.

c) Latihan dengan beban olahraga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan


kesegaran jasmani.

d) Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat


kembali mengerjakan pekerjaan semula.

Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:


a) Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan

merokok, menghindari polusi udara.

b) Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.

c) Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi

antimikroba tidak perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat

sesuai dengan kuman penyebab infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas

atau pengobatan empirik.

d) Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan

kortikosteroid untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih

kontroversial.

e) Pengobatan simtomatik.

f) Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.

g) Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan

dengan aliran lambat 1 - 2 liter/menit.

8. Komplikasi

a. Hipoxemia

Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 kurang dari 55 mmHg,

dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami

perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap lanjut timbul

cyanosis.

b. Asidosis Respiratory

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnia). Tanda yang muncul

antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi, dizzines, dan tachipnea.

c. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus,

peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa. Terbatasnya

aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.

d. Gagal jantung

Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus

diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat. Komplikasi ini sering kali

berhubungan dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga

dapat mengalami masalah ini.

e. Cardiac Disritmia

Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratory.

f. Status Asmatikus

Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asthma bronchial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan seringkali tidak

berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu

pernafasan dan distensi vena leher seringkali terlihat.

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan

untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat

mengidentifikasi, mengenal masalah, kebutuhan kesehatan dan keperawatan

pasien baik fisik, mental, sosial dan lingkungan. ( Maryllinn. E. Doenges, 2000

).
Pengkajian mencakup informasi tentang gejala-gejala terakhir dan

manifestasi penyakit sebelumnya. Berikut ini beberapa pedoman pertanyaan

untuk mendapatkan data riwayat kesehatan dari proses penyakit:

Pengkajian mencakup Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan

pernapasan :

a. Apakah aktivitas meningkatkan dispnea?

b. Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi aktivitas?

c. Kapan pasien mengeluh paling letih dan sesak napas?

d. Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh?

e. Riwayat merokok?

f. Obat yang dipakai setiap hari?

g. Obat yang dipakai pada serangan akut?

h. Apa yang diketahui pasien tentang kondisi dan penyakitnya?

Data tambahan yang dikumpulkan melalui observasi dan pemeriksaan sebagai

berikut :

a. Frekuensi nadi dan pernapasan pasien?

b. Apakah pernapasan sama tanpa upaya?

c. Apakah ada kontraksi otot-otot abdomen selama inspirasi?

d. Apakah ada penggunaan otot-otot aksesori pernapasan selama pernapasan?

e. Barrel chest?

f. Apakah tampak sianosis?

g. Apakah ada batuk?

h. Apakah ada edema perifer?

i. Apakah vena leher tampak membesar?


j. Apa warna, jumlah dan konsistensi sputum pasien?

k. Bagaimana status sensorium pasien?

l. Apakah terdapat peningkatan stupor? Kegelisahan?

Hasil pemeriksaan diagnosis seperti :

a. Chest X-Ray

Dapat menunjukkan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan

ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular/bulla (emfisema),

peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis), normal ditemukan saat

periode remisi (asthma)

b. Pemeriksaan Fungsi Paru

Dilakukan untuk menentukan penyebab dari dyspnea, menentukan

abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,

memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari terapi,

misal : bronchodilator.

c. Kapasitas Inspirasi : Menurun pada emfisema

d. FEV1/FVC : Ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan

kapasitas vital (FVC) menurun pada bronchitis dan asthma.

e. ABGs : Menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2 menurun dan

PaCO2 normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema) tetapi

seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis

respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau

asthma)
f. Bronchogram : Dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat inspirasi,

kollaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar

mukus (bronchitis).

g. Darah Komplit : Peningkatan hemoglobin (emfisema berat), peningkatan

eosinofil (asthma)

h. Kimia Darah : Alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan kurang

pada emfisema primer.

i. Sputum Kultur : Untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi

patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit keganasan atau

allergi.

j. ECG : Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma berat), atrial

disritmia (bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang, tinggi

(bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)

k. Exercise ECG, Stress Test : Menolong mengkaji tingkat disfungsi

pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator,

merencanakan/evaluasi program.

1.1. Palpasi:

a. Palpasi pengurangan pengembangan dada?

b. Adakah fremitus taktil menurun?

1.2. Perkusi:

a. Adakah hiperesonansi pada perkusi?

b. Diafragma bergerak hanya sedikit?

1.3. Auskultasi:

a. Adakah suara wheezing yang nyaring?


b. Adakah suara ronchi ?

c. Vokal fremitus nomal atau menurun ?

2. Diagnosa Keperawatan

Menurut American Nursing Association (ANA), diagnosa keperawatan adalah

respon individu pada masalah kesehatan yang aktual dan potensial. Yang

dimaksud dengan masalah aktual adalah masalah yang ditemukan pada saat

dilakukan pengkajian, sedangkan masalah potensial adalah masalah yang

kemungkinan akan timbul kemudian.

Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinis mengenai seseorang, keluarga

atau masyarakat sebagai akibat dari masalah - masalah kesehatan / proses

kehidupan yang aktual atau potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar-

dasar pemilihan intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat

perawat.( La Ode Jumadi Gaffar, 1997 ).

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini:

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,

peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelelahan/berkurangnya

tenaga dan infeksi bronkopulmonal.

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,

bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi

d. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan inflamasi parenkim paru

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai

dengan kebutuhan oksigen.

f. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

anoreksia.
g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan, pengaturan

posisi.

h. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman

terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

3. Perencanaan Keperawatan / Intervensi Keperawatan

Perencanaan dalam proses keperawatan lebih dikenal dengan rencana asuhan

keperawatan atau rencana keperawatan yang merupakan tahap selanjutnya setelah

pengkajian dan penentuan diagnosa keperawatan (Maryllinn. E. Doenges, 2000).

Adapun unsur-unsur dari tahap perencanaan adalah sebagai berikut :

a) Memprioritaskan masalah, yaitu menentukan masalah apa yang

memerlukan perhatian atau prioritas masalah yang ditemukan.

b) Perumusan tujuan yaitu tujuan administrasi ditetapkan dalam bentuk jangka

panjang atau jangka pendek, harus jelas, dapat diukur dan realistis.

c) Penentuan tindakan keperawatan, yaitu perawat mempertimbangkan

beberapa alternatif tindakan keperawatan dan melaksanakan tindakan yang

mungkin berhasil, mengurangi atau dilakukannya tindakan keperawatan atau

bahkan tindakan kolaborasi.

d) Penentuan kriteria evaluasi merupakan tolak ukur keberhasilan tindakan

keperawatan.

Adapun rencana tindakan keperawatan pada klien peyakit paru obstruksi kronis

menurut Dounges dkk , 2001 adalah sebagai berikut :

a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan

bronkokontriksi, peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif,

kelelahan/berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal.


1) Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien

2) Intervensi keperawatan:

a. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan

diafragmatik dan batuk.

Rasional : teknik pernafasan dan batuk yang benar dapat membantu

mengeluarkan dahak.

b. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau

IPPB

Rasional : pemberian nebuliser dapat membantu mengencerkan

dahak.

c. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari

dan malam hari sesuai yang diharuskan.

Rasional : Untuk mencegah akumulasi secret dan membantu

mengeluarkan sekret

d. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok,

aerosol, suhu yang ekstrim, dan asap.

Rasional : menghindari factor pencetus membantu menghindari sesak

berkelanjutan

e. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada

dokter dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum,

kekentalan sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada,

keletihan.

Rasional : agar dokter bisa melakukan intervensi selanjutnya

f. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.

Rasional : antibiotik membantu membunuh infeksi


g. Berikan air hangat

Rasional : Air hangat dapat memobilisasi mengeluarkan sekret

b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mukus,

bronkokontriksi dan iritan jalan napas.

1) Tujuan: Perbaikan pola pernapasan klien

2) Intervensi:

a. Pantau : status pernafasan tiap 8 jam, tanda vital tiap 4 jam, hasil

analisa gas darah, foto rontgen, pemeriksaan fungsi paru-paru

Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan atau

penyimpangan dan hasil yang diharapkan

b. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode

istirahat. Biarkan pasien membuat keputusan tentang perawatannya

berdasarkan tingkat toleransi pasien.

Rasional : meminimalkan aktivitas dapat membantu mengurangi

serangan nyeri

c. Pertahankan posisi yang nyaman

Rasional : Posisi tegak lurus memungkinkan ekpansi paru lebih

penuh dengan cara menurunkan tekanan abdomen pada

diafragma

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan

ventilasi perfusi

1) Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas


2) Intervensi keperawatan:

a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .

Rasional : adanya suara wizzing / ronchi merupakan indikator

adanya penyempitan bronkus dan akumulasi mukus

yang dapat menyebabkan pasien sesak

b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.

Rasional : membantu menentukan intervensi selanjutnya

c. Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat

dan waspada kemungkinan efek sampingnya.

Rasional : membantu mengurangi serangan sesak

d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu

mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.

Rasional : meminimalkan akumulasi dahak dapat meningkatkan

selera makan pasien

e. Pantau pemberian oksigen.

Rasional : pemberian oksigen yaitu pada saat pasien mengalami

sesak

d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru

1) Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan nyeri dapat berkurang

2) Intervensi :

a. Tentukan karakteristik nyeri.


Rasional : Nyeri dada, biasanya ada dalam beberapa derajat

b. Pantau tanda-tanda vital.

Rasional : Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah menunjukkan

bahwa pasien mengalami nyeri

c. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam atau tehnik distraksi / pengalihan

Rasional : Tindakan non analgetik diberikan dengan sentuhan lembut

dapat menghilangkan ketidaknyamanan

d. kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik / anti nyeri

Rasional : Obat ini dapat digunakan untuk batuk, meningkatkan

kenyamanan

e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara

suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum.

1) Tujuan: Memperlihatkan kemajuan pada tingkat yang lebih tinggi dari

aktivitas yang mungkin.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji respon individu terhadap aktivitas.

Rasional: Menetapkan kemampuan atau kekuatan pasien dan

memudahkan pilihan

b. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung.

Rasional : Menurunkan stres dan meningkatkan istirahat

c. Beritahu arti pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan

perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat


Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk

menurunkan kebutuhan metabolik

d. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat tidur.

Rasional : Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di

kursi

e. Bantu aktivitas perawatan diri, yang diperlukan

Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan

suplay kebutuhan oksigen

f. Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama

menjalankan aktivitas.

Rasional : untuk berjaga-jaga bilamana sesak tiba-tiba muncul lagi.

f. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

dengan dispnea, kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan

anoreksia, mual muntah.

1) Tujuan: Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat

kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.

Rasional : penurunan berat badan merupakan indikator kurangnya

kebutuhan nutrisi selama sakit.

b. Auskultasi bunyi usus, observasi atau palpasi distensi abdomen.


Rasional : Bunyi usus mungkin menurun, distensi abdomen terjadi

akibat menelan udara

c. Berikan perawatan oral sering, buang sekret.

Rasional : hygine yang baik dapat meningkatkan selera makan.

d. Berikan makan porsi kecil dan sering

Rasional : Tindakan ini dapat meningkatkan masukan meskipun

nafsu makan mungkin lambat untuk kembali

e. Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.

Rasional : makanan yang dapat meningkatkan gas biasanya dapat

menyebabkan mual

f. Evaluasi status nutrisi umum, ukur berat badan dasar.

Rasional : Adanya kondisi kronis dapat menimbulkan malnutrisi

rendahnya tahanan terhadap infeksi.

g. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan,

pengaturan posisi.

1) Tujuan: Kebutuhan tidur terpenuhi

2) Intervensi keperawatan:

a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.

Rasional : latihan relaksasi dapat member efek rileks

b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan

keluarga untuk melakukan tindakan tersebut.

Rasional : membantu merilekskan pasien


c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high

fowler.

Rasional : posisi semi fowler dapat membantu sirkulasi pernafasan

yang baik untuk klien dan meminimalkan sesak.

d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan

pasien.

Rasional : penjadwalan yang tepat membantu pasien mengenal waktu

istirahatnya.

e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.

Rasional : membantu menghilangkan rasa lapar sebelum tidur, saat

klien kenyang dapat memberi efek mengantuk.

i. Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri,

ancaman terhadap kematian, keperluan yang tidak terpenuhi.

1) Tujuan: Klien tidak terjadi kecemasan

2) Intervensi keperawatan:

a. Ketika terjadi tanda-tanda distres pernapasan :

1) Temani pasien dan minta perawat lain untuk segera lapor dokter

2) Lakukan pendekatan dengan penuh percaya diri dan tenang. Dorong

pasien untuk melakukan napas dalam

Rasional : Keberadaan pemberi pelayanan kesehatan yang kompeten

dan penuh percaya diri membantu menurunkan ansietas

yang muncul pada waktu pasien sendirian. Sakit dada dan

kesulitan bernapas dapat mencetuskan ansietas. Takipnea


seringkali diakibatkan oleh ansietas, hal tersebut

menyebabkan menurunnya masukan oksigen dan

meningkatnya kehilangan CO2. Pernapasan yang terkontrol

dapat menurunkan ansietas.

b. Berikan obat-obat analgetik (morfin sulfat) sesuai dengan anjuran

dan evaluasi keefektifannya

Rasional : untuk membantu menurunkan nyeri dada dan menurunkan

ansietas

c. Jelaskan kepada keluarga pentingnya mendampingi klien saat

mengalami sesak.

Rasional : pentingnya kehadiran keluarga membuat pasien merasa

tidak sendiri.

Adapun rencana tindakan keperawatan pada klien dengan gangguan system

pernafasan menurut (Anas Tamsuri , 2008) adalah sebagai berikut :

a. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi, tidak

mengetahui sumber informasi.

1) Tujuan: Klien meningkat pengetahuannya.

2) Intervensi keperawatan:

a. Kaji fungsi normal paru, patologi kondisi

Rasional : Meningkatkan pemahaman situasi yang ada dan penting

menghubung kan dengan program pengobatan

b. Diskusikan aspek ketidakmam-puan dari penyakit, lamanya

penyembuhan dan harapan kesembuhan


Rasional : Informasi dapat meningkatkan koping dan membantu

menurunkan ansietas dan masalah berlebihan

c. Berikan informasi dalam bentuk tertulis dan verbal.

Rasional : Kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi

kemampuan untuk mengasimilasi informasi.

d. Tekankan pentingnya melanjutkan batuk efektif latihan pernafasan.

Rasional : Selama awal 6-8 minggu setelah pulang, pasien

beresiko besar kambuh.

e. Tekankan perlunya melanjutkan terapi antibiotik selama periode

yang dianjurkan

Rasional : Penghentian dini antibiotik dapat mengakibatkan iritasi

mukosa bronkial dan menghambat makrofag alveolar

b. Koping individu tidak efektif berhubungan dengan kurang

sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah dan

ketidakmampuan untuk bekerja.

1) Tujuan: Pencapaian tingkat koping yang optimal.

2) Intervensi keperawatan:

a. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan memberikan semangat

yang ditujukan pada pasien.

Rasional : dukungan motivasi dari keluarga dapat meningkatkan

obsesi pasien untuk sembuh.

b. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi gejala


Rasional : Menetapkan kemampuan atau kekuatan pasien dan

memudahkan pilihan

c. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman untuk relaksasi bagi

pasien.

Rasional : teknik relaksasi dapat membantu mengurangi nyeri yang

bisa pasien peragakkan sendiri.

d. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi pulmonari bila tersedia.

Rasional : membantu pasien menjalankan therapy pemulihan

e. Tingkatkan harga diri klien.

Rasional : membantu pasien menciptakan motivasi positif didalam

dirinya

c. Kurang perawatan diri berhubungan dengan keletihan sekunder

akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan

oksigenasi.

1) Tujuan: Kemandirian dalam aktivitas perawatan diri

2) Intervensi:

a. Ajarkan mengkoordinasikan pernapasan diafragmatik dengan

aktivitas seperti berjalan, mandi, membungkuk, atau menaiki tangga.

b. Dorong klien untuk mandi, berpakaian, dan berjalan dalam jarak

dekat, istirahat sesuai kebutuhan untuk menghindari keletihan dan

dispnea berlebihan. Bahas tindakan penghematan energi.

c. Ajarkan tentang postural drainage bila memungkinkan.


BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas yang telah dibahas, maka penulis mencoba menarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Pada saat pengkajian penulis menemukan masalah pada klien yaitu tidak

mengkaji secara maksimal keseluruhan fisik dan mental pasien , karena

keterbatasan waktu dan kurangnya kemampuan penulis dalam melakukan

pendekatan saat pengkajian dengan klien dan keluarga.

2. Saat merumuskan diagnosa keperawatan penulis mendapatkan hanya beberapa

diagnosa saja, padahal seharusnya diagnosa keperawatan yang diangkat bisa saja

lebih sesuai dengan teori yang ada.

3. Pada perencanaan asuhan keperawatan pada dasarnya sesuai dengan teori,

karena penulis menggunakan buku sumber yang ada yang sesuai dengan

diagnosa keperawatan yang didapatkan, kondisi klien dan penyebab timbulnya

masalah. Adanya penambahan dan pengurangan dari rencana asuhan


keperawatan dengan teori yang ada dikarenakan penulis berusaha untuk

menyesuaikan antara rencana dengan kondisi dan fasilitas yang tersedia.

4. Pada waktu melakukan implementasi , penulis tidak menemukan hambatan

karena klien dan keluarga mau berkerjasama dan selain itu karena penulis

juga selalu mendapatkan bimbingan dan petunjuk dari pembimbing.

5. Ditahap menyimpulkan evaluasi , penulis tidak menemukan kendala yang

berarti karena semuanya berjalan sesuai dengan yang telah direncanakan,

selain pemulangan klien yang menurut penulis terlalu cepat, hal ini dapat

dilihat dari beberapa masalah yang belum teratasi.

6. Pada diagnosa keperawatan antara diagnosa dari kasus yang ditemui dilahan

praktek dan diagnosa yang terdapat pada teori, ternyata penulis dapat

menyimpulkan bahwa lebih banyak permasalahan / diagnosa keperawatan

yang diperoleh dari kasus yang secara langsung ada dilahan praktek dari pada

permasalahan keperawatan yang ada pada teori.

B. Saran – saran

Berdasarkan kesimpulan diatas , penulis mengajukan beberapa saran untuk menjadi

bahan pertimbangan, yaitu :

1. Dalam melakukan pengkajian sebaiknya perawat memperhatikan atau mengkaji

klien secara keseluruhan baik fisik maupun mental.

2. Sebaiknya dari hasil analisa data yang telah didapat benar-benar diamati

sehingga diagnosa yang ada sesuai dengan keadaan klien saat ini.

3. Biasakanlah untuk selalu mendokumentasikan segala asuhan keperawatan yang

telah dilakukan sebagai bukti dari kerja perawat dan sebagai alat untuk
pertanggungjawaban atas semua tindakan asuhan keperawatan yang telah

diberikan pada klien.

4. Dalam melakukan asuhan keperawatan hendaknya perawat dibekali pengetahuan

yang cukup tentang kasus yang ditangani sehingga dapat melaksanakan tindakan

keperawatan sesuai tujuan.

5. Untuk mengambil evaluasi , hendaknya perawat lebih mengeksplorasi perasaan

klien agar perawat benar-benar tahu sampai dimana keberhasilan proses

keperawatan yang telah diberikan.

6. Sebaiknya memang perawat mengkaji langsung masalah yang ada di lapangan

dan tidak berpatokan pada diagnosa yang ditemukan didalam teori, karena bisa

saja ada diagnosa lain diluar diagnosa teori yang bisa saja muncul pada kasus

langsung dilapangan.

Anda mungkin juga menyukai