Caping Luka
Caping Luka
Adegan awal: di sebuah rekaman video, dua lelaki tua usia 70-an.
Kemudian kita ketahui mereka hidup di Deliserdang, 30 kilometer dari
Medan. Dengan bangga mereka ceritakan bagaimana dulu mereka
habisi "orang komunis" di tepi Sungai Ular.
Saya ingin menjelaskan tapi saya sadar, untuk itu perlu sebuah
ceramah panjang tentang sejarah politik Indonesia (yang setengahnya
tak saya ingat). Mungkin perlu juga sejarah sosial: penonton yang tak
kenal perbedaan bahasa, logat, dan kelompok sosial Indonesiakarena
hanya membaca teks dalam bahasa Inggristak akan tahu bahwa ibu
Ardi berbahasa Jawa dan ayahnya, pak tua yang sudah kehilangan
ingatan itu, mungkin pendatang dari Jawa yang sudah bertahun-tahun
hidup di wilayah orang Melayu dan Tapanuli; dalam kepikunannya, ia
hanya ingat sebuah lagu Melayu. Kenapa ia di sana, kenapa mereka di
sana, dan mungkinkah konflik jadi sengit karena asal-usul, saya hanya
menduga.
Yang pasti saya tak bisa menjelaskan kenapa Ramli, kakak Adi,
diceritakan dihajar dan akhirnya dibantai. Dan saya terdiam ketika
datang pertanyaan yang lebih mendasar: kenapa masa lalu perlu
diungkapkan jika hasilnya bukan rekonsiliasi, bukan pula
penyesalanmalah resah risau dan mungkin kembalinya kebencian?
Masa lalu itu sebuah "luka", kata seorang lelaki yang lepas dari
genosida Sungai Ular. Luka lama, kata seorang penggerak aksi
pembantaian. Dan pemotong buah dada itu marah ketika Adi menggali
lebih jauh apa yang dulu terjadi. Ibu Adi takut. Ada kecemasan bila
luka itu dibuka lagi, koreng malah menjadi-jadi.
Sebaliknya bagi Adi dan Joshua: membuka balut luka itu justru akan
menyembuhkan. Lupa berbahaya, kekejaman serupa bisa berulang.
Tapi mungkin karena mereka berdiri di luar luka itu. Mereka tak
mengalami kepedihan, kerumitan, dan kebengisan itu; mereka lahir
setelah 1965. Joshua anak Texas; Adi lahir setelah tak ada lagi Ramli.
Mereka ingin tahu.
Dalam The Look of Silence, kakek setengah lumpuh itu, ayah Adi, tak
gila. Ia hanya ingat sebuah nyanyi.
Goenawan Mohamad