Anda di halaman 1dari 3

Luka

Senin, 21 September 2015

Seorang tua yang hampir bisu, kehilangan ingatannya, juga kehilangan


anaknya dalam sejarah yang menakutkan: dia kakek pikun dalam film
Joshua Oppenheimer, The Look of Silence.

Dalam film yang hendak menampilkan kekejaman di Indonesia di


pertengahan 1960-an itu, tokoh setengah lumpuh ini seakan-akan
sebuah alegori tentang berat dan bisunya masa lalu.

Saya menonton The Look of Silence di sebuah bioskop di Glasgow,


Skotlandia, dua pekan yang lalu. Sebagian besar hadirin tak kenal
Indonesia. Agaknya film Oppenheimer ini introduksi pertama tentang
kepulauan yang jauh, rumit, eksotis, dan tak tenteram itu.

Adegan awal: di sebuah rekaman video, dua lelaki tua usia 70-an.
Kemudian kita ketahui mereka hidup di Deliserdang, 30 kilometer dari
Medan. Dengan bangga mereka ceritakan bagaimana dulu mereka
habisi "orang komunis" di tepi Sungai Ular.

Kemudian ditunjukkan kedua lelaki tua itu datang ke sungai itu. Di


sini cerita lebih rinci: misalnya, untuk mematikan seorang korban
yang kuat, mereka tebas kemaluannya dari belakang. Sang pembunuh
menirukan suara orang yang dibunuhnya ketika berteriak minta
tolong.

Di adegan lain pembunuh itu bahkan menunjukkan sebuah buku


panjang di mana ia menuliskan pengalamannyadengan gambar
adegan kebuasan yang dilakukannya.

Di latar yang lain, pembunuh yang satunya mengisahkan bagaimana ia


memotong buah dada seorang perempuan sebelum menyembelihnya.
Tiap kali membantai, ia minum darah korbannya. Agar tak jadi gila,
katanya. Seorang tua lain, duduk di sebelah anaknya, menceritakan ia
selalu membawa gelas sebelum menyembelih. Dari mana darah
ditakik? Dari leher yang dilubangi. Suatu kali ia mengirim sepotong
kepala ke sebuah toko orang Cina; hanya untuk menakut-nakuti.
The Look of Silence: sebuah karya sinematik yang ulung. Kameranya
pas mengambil angle, gambarnya cemerlang, tokohnya hadir kuat,
editingnya membentuk suspens yang memukau. Konstruksi film ini
begitu apik hingga dunia yang direkamnya seakan-akan siap dijadikan
sebuah narasi.

Mengagumkan bahwa Oppenheimer berhasil menghadapkan para


tokoh sejarah yang mengerikan itu dengan Adi. Laki-laki berumur 44
tahun itu punya abang, Ramli namanya, yang dibantai. Adi menanyai
orang-orang tua itu, mencoba menarik maaf dari mereka, mendorong
agar mereka ungkapkan masa lalu yang ganas itu.

Dari situlah cerita film ini terbentuk.

Sehabis film, sayatamu dalam festival Discover Indonesia diminta


menjawab pertanyaan. Segera saya sadar: begitu besar jurang
informasi antara The Look of Silence dan penontonnya yang kagum.
Penduduk Glasgow itu tak tahu apa sebenarnya para pembunuh itu:
petani, buruh, tuan tanah, algojo profesional? Mengapa bangga akan
kebuasan mereka? Mereka menyatakan diri antikomunis. Tapi tak
jelas mengapa sikap itu saja membuat mereka jadi pembunuh yang
fanatik. Dari mana kebencian seintens itu?

Dalam perjalanan pulang, seorang penonton bertanya soal yang lain:


siapa sebenarnya korban para pembantai itu? Mereka dianggap
anggota PKI, jawab saya. Tapi jawaban itu tak memuaskan
tampaknya. Apakah PKI waktu itu partai ilegal, organisasi musuh
yang sembunyi-sembunyi? Tidak. PKI salah satu partai yang kuat di
tahun 1960-an, jawab saya lagi. Dari film dapat disimpulkan korban
dan pembunuhnya lama hidup bertetangga; tentunya mereka saling
tahu pilihan politik masing-masing. Mengapa mendadak bangkit
keinginan membasmi? Dan mengapa PKI tak memukul balik?

Saya ingin menjelaskan tapi saya sadar, untuk itu perlu sebuah
ceramah panjang tentang sejarah politik Indonesia (yang setengahnya
tak saya ingat). Mungkin perlu juga sejarah sosial: penonton yang tak
kenal perbedaan bahasa, logat, dan kelompok sosial Indonesiakarena
hanya membaca teks dalam bahasa Inggristak akan tahu bahwa ibu
Ardi berbahasa Jawa dan ayahnya, pak tua yang sudah kehilangan
ingatan itu, mungkin pendatang dari Jawa yang sudah bertahun-tahun
hidup di wilayah orang Melayu dan Tapanuli; dalam kepikunannya, ia
hanya ingat sebuah lagu Melayu. Kenapa ia di sana, kenapa mereka di
sana, dan mungkinkah konflik jadi sengit karena asal-usul, saya hanya
menduga.

Yang pasti saya tak bisa menjelaskan kenapa Ramli, kakak Adi,
diceritakan dihajar dan akhirnya dibantai. Dan saya terdiam ketika
datang pertanyaan yang lebih mendasar: kenapa masa lalu perlu
diungkapkan jika hasilnya bukan rekonsiliasi, bukan pula
penyesalanmalah resah risau dan mungkin kembalinya kebencian?

Masa lalu itu sebuah "luka", kata seorang lelaki yang lepas dari
genosida Sungai Ular. Luka lama, kata seorang penggerak aksi
pembantaian. Dan pemotong buah dada itu marah ketika Adi menggali
lebih jauh apa yang dulu terjadi. Ibu Adi takut. Ada kecemasan bila
luka itu dibuka lagi, koreng malah menjadi-jadi.

Sebaliknya bagi Adi dan Joshua: membuka balut luka itu justru akan
menyembuhkan. Lupa berbahaya, kekejaman serupa bisa berulang.

Tapi mungkin karena mereka berdiri di luar luka itu. Mereka tak
mengalami kepedihan, kerumitan, dan kebengisan itu; mereka lahir
setelah 1965. Joshua anak Texas; Adi lahir setelah tak ada lagi Ramli.
Mereka ingin tahu.

Tapi tentu saja pengetahuan berbeda dari ingatan. Mengetahui adalah


menguasai realitas; mengingat bahkan tak selamanya menguasai
masa lalu.

"Mengingat semua perkara adalah satu bentuk kegilaan," kata Hugh,


guru tua pemabuk dalam lakon Translations Brian Friel, sebuah cerita
dengan latar konflik berdarah di Irlandia.

Dalam The Look of Silence, kakek setengah lumpuh itu, ayah Adi, tak
gila. Ia hanya ingat sebuah nyanyi.

Goenawan Mohamad

Anda mungkin juga menyukai