Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia

Vol. 17 No. 1 Juli 2016: 58-74


p-ISSN 1411-5212; e-ISSN 2406-9280
58 DOI: http://dx.doi.org/10.21002/jepi.v17i1.658

Inflasi Makanan dan Implikasinya terhadap Kebijakan Moneter di


Indonesia
Food Inflation and Monetary Policy Implication in Indonesia

Rulyusa Pratiktoa,, Mohamad Ikhsanb,


a Departemen Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan
b Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

[diterima: 1 Agustus 2016 — disetujui: 17 Maret 2017 — terbit daring: 10 Mei 2017]

Abstract
Controlling food inflation in Indonesia is essential mainly caused by its persistent and relatively significant impact on
the poor’s purchasing power compare to other commodities. Thus, the main purpose of this study is to determine the
effectiveness of monetary policy on food inflation stabilization in Indonesia. By utilizing Structural Vector Autoregression,
the empirical results provided here show that monetary policy does effectively prevent the spillover effect of food to
non-food inflation. In addition to that, the exchange rate may play some role in the longer period to affect the volatility of
food inflation.
Keywords: Monetary Policy; Food Inflation; Structural Vector Autoregression

Abstrak
Pengendalian inflasi makanan penting untuk dilakukan di Indonesia terutama karena dua hal, yaitu sifat
inflasi makanan yang persisten dan dampaknya terhadap penurunan daya beli keluarga miskin yang relatif
tinggi dibandingkan dengan komoditas lainnya. Dengan demikian, tujuan utama penelitian ini adalah
untuk mengetahui efektivitas dari kebijakan moneter terhadap pengendalian inflasi makanan di Indonesia.
Dengan menggunakan metode Structural Vector Autoregression, hasil empiris menunjukkan bahwa kebijakan
moneter secara efektif dapat mencegah dampak spillover inflasi makanan ke inflasi non-makanan. Selain itu,
stabilitas nilai tukar dapat memiliki peran untuk mengurangi volatilitas inflasi makanan terutama pada
jangka panjang.
Kata kunci: Kebijakan Moneter; Inflasi Makanan; Structural Vector Autoregression

Kode Klasifikasi JEL: E3; E5; I3

Pendahuluan makanan menyebabkan upaya untuk memproteksi


pendapatan rumah tangga miskin semakin sulit.
Setidaknya terdapat dua alasan mengapa inflasi Hal ini dikarenakan komoditas pangan merupakan
makanan di Indonesia penting untuk diperhati- penyumbang terbesar konsumsi masyarakat mis-
kan. Pertama, derajat persistensi inflasi di Indone- kin dan juga pada bundel komoditas pembentuk
sia relatif masih tinggi dibandingkan dengan di garis kemiskinan. Peningkatan harga pangan akan
kawasan Asia (Alamsyah, 2008; Harmanta, 2009) meningkatkan garis kemiskinan yang relatif cukup
dan Affandi (2011) menyatakan bahwa salah sa- tinggi, yang kemudian berdampak kepada mening-
tu penyebabnya adalah dari persistennya inflasi katnya angka kemiskinan.
makanan. Karenanya, upaya pengendalian inflasi Fenomena ini sejalan dengan temuan dari Son
makanan merupakan faktor penting untuk menu- dan Kakwani (2009) di Brasil dan Son (2008) di
runkan total inflasi. Kedua, relatif tingginya inflasi Filipina yang menyatakan bahwa inflasi pada ke-
 Alamat Korespondensi: Jln. Ciumbuleuit 94, Bandung 14041. lompok barang makanan memiliki dampak yang
E-mail: ruly.pratikto@unpar.ac.id.
lebih merugikan masyarakat miskin. Hasil empiris
 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia. Kampus yang dilakukan oleh Pratikto et al. (2015) pun me-
Baru UI Depok 16424, Jawa Barat. E-mail: ican711@yahoo.com. nunjukkan kesimpulan yang serupa. Pada kasus
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 59

Indonesia, perubahan harga kelompok komoditas kator inflasi yang menjadi target BI dikalkulasikan
bahan makanan sangat berpengaruh besar terhadap melalui Indeks Harga Konsumen (IHK) tahunan
tingkat kesejahteraan masyarakat miskin. Dampak- (year on year/yoy) per periode.
nya, inflasi makanan akan meningkatkan kemiskin- Untuk mengetahui sejauh mana peranan dari ke-
an relatif tinggi dibandingkan dengan kelompok bijakan moneter terhadap upaya penanggulangan
komoditas lainnya. Selain itu, seperti halnya juga kemiskinan, Agénor et al. (2007) secara tidak lang-
kasus di Brasil yang diteliti oleh Son dan Kakwani sung menyatakan bahwa perlu diidentifikasi secara
(2009), Pratikto et al. (2015) pun menemukan bukti spesifik mengenai pengaruh kebijakan moneter ter-
empiris bahwa masyarakat miskin di Indonesia se- hadap harga komoditas yang banyak dikonsumsi
panjang periode tahun 2007–2012 telah mengalami oleh masyarakat miskin. Dalam hal ini, jika arah
tingkat inflasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dari kebijakan moneter mampu memengaruhi per-
masyarakat non-miskin. Penyebabnya adalah infla- gerakan inflasi makanan, maka secara tidak lang-
si pada komoditas makanan pada periode tersebut sung kebijakan moneter memiliki peranan penting
meningkat relatif lebih tinggi dibandingkan dengan dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia
komoditas lainnya. Mengingat salah satu tujuan da- melalui stabilitas inflasi makanan. Secara teknis,
ri kebijakan pemerintah dalam pengendalian inflasi penelitian ini akan mendisagregasikan inflasi men-
yang tertuang dalam Strategi Nasional Penanggu- jadi dua kelompok, yaitu komoditas makanan dan
langan Kemiskinan (SNPK)1 adalah menjaga tingkat non-makanan, untuk kemudian melihat bagaimana
kesehateraan masyarakat miskin, maka pengendali- respons dari inflasi pada masing-masing kelompok
an inflasi makanan menjadi semakin penting untuk tersebut terhadap perubahan kebijakan moneter.
diperhatikan. Dengan demikian, penelitian ini me- Gambar 1 menunjukkan pola pergerakan inflasi
rupakan tindak lanjut atas temuan dari penelitian tahunan untuk kelompok barang makanan dan non-
Pratikto et al. (2015) tersebut dan bertujuan untuk makanan di Indonesia pada kurun waktu tahun
mengetahui apakah kebijakan pengendalian infla- 2003–2010 serta pergerakan dari BI rate. Kebijakan
si memiliki keselarasan dengan tujuan dari SNPK moneter yang diukur melalui BI rate nampaknya
tersebut. memiliki keterkaitan dengan tingkat inflasi. Saat
Pengendalian inflasi di Indonesia sendiri meru- terjadi tekanan terhadap inflasi, BI meningkatkan
pakan domain dari Bank Indonesia (BI). Sejak Juli suku bunga acuan seperti yang jelas terlihat pada
2005, BI memilih untuk mengadopsi kebijakan In- akhir tahun 2005. Selain itu, peningkatan BI rate ter-
flation Targeting Framework (ITF)2 . Pertimbangannya sebut kemudian diikuti pula oleh penurunan pada
adalah kebijakan ITF ini secara teoritis mampu me- tingkat inflasi itu sendiri, baik kelompok makanan
nurunkan inflasi pada jangka panjang, menciptakan maupun non-makanan.
stabilitas makro-ekonomi, dan mendorong pertum- Selain itu, hal yang menarik adalah terdapat peru-
buhan ekonomi yang berkelanjutan (Bernanke et al., bahan struktur dinamika inflasi pada periode terse-
2005). Dengan kerangka kerja ini, BI secara eksplisit but. Pada periode tahun 2003 hingga kuartal kedua
mengumumkan kepada publik sasaran inflasi yang tahun 2006, inflasi pada kelompok non-makanan
ingin dicapai dan kebijakan moneter yang akan di- relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
terapkan untuk mencapai sasaran tersebut. Sesuai makanan. Di sisi lain, mulai kuartal kedua tahun
dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Repub- 2006 hingga 2010, inflasi pada kelompok makanan
lik Indonesia Nomor 66/PMK.011/2012 Tentang Sa- menjadi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
saran Inflasi Tahun 2013, 2014, dan 2015, bahwa indi- inflasi non-makanan. Dengan demikian, pada peri-
ode ini kelompok masyarakat miskin mengalami
1 merupakan finalisasi hasil kerja Gugus tugas I, Gugus Tu- dampak negatif yang lebih besar karena pola kon-
gas II, Gugus Tugas III dan Gugus Tugas IV Tim Koordina- sumsi masyarakat miskin yang secara proporsional
si Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggu- lebih besar pada komoditas makanan.
langan Kemiskinan (TKP3KPK) Kantor Kementrian Koordi-
Lebih lanjut, hal menarik lainnya dari analisa
nator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kelompok Kerja I, II,
III, IV, V, VI, dan VII Komite Penanggulangan Kemiskinan. deskriptif ini adalah pergerakan inflasi antara in-
Dapat diakses melalui http://data.kemenkopmk.go.id/content/ flasi makanan dan non-makanan. Pergerakannya
strategi-nasional-penanggulangan-kemiskinan (tanggal akses yang serupa memberikan indikasi adanya keterka-
26 Juli 2014).
2 ”Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia”. Dapat diak- itan antara keduanya. Seperti yang dinyatakan oleh
ses melalui http://www.bi.go.id/id/moneter/tujuan-kebijakan/ Bhattacharya et al. (2013), inflasi pada kelompok
Contents/Default.aspx (tanggal akses 26 Juli 2014). makanan dapat memiliki dampak terhadap inflasi
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
60 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Gambar 1: Pergerakan Inflasi Bulanan (yoy) Kelompok Makanan dan Non-Makanan pada Tahun 2003–2010
Keterangan: Axis kiri adalah bilangan untuk inflasi makanan dan non-makanan; Axis kanan untuk BI Rate
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia Juni 2014, diolah

non-makanan melalui pergeseran permintaan dari maka jawaban atas pertanyaan pertama akan ber-
barang makanan ke non-makanan, dan begitu pula pengaruh terhadap respons dari kebijakan moneter
sebaliknya (efek substitusi). Peningkatan permin- saat terjadinya tekanan terhadap inflasi makanan.
taan barang non-makanan memberikan tekanan Secara umum, penelitian terdahulu pada pereko-
terhadap inflasi pada kelompok barang tersebut. nomian Indonesia yang terkait dengan kebijakan
Pada akhirnya, inflasi agregat akan mendapat te- moneter masih terbatas pada bagaimana efektivitas
kanan yang lebih dalam (second round effect) jika kebijakan tersebut dalam menangani inflasi agregat
terdapat peningkatan inflasi pada salah satu ke- atau mendisagregasikannya secara parsial menjadi
lompok barang. Peningkatan permintaan barang inflasi inti (core) dan headline (Agung, 1998; Kusmiar-
ini tentunya akan memberikan kompleksitas yang so et al., 2002; Goeltom, 2008). Perhatian terhadap ba-
lebih rumit dalam pengendalian inflasi agregat. gaimana sebaiknya kebijakan moneter merespons
Berdasarkan pemaparan singkat pada bagian ini, tekanan pada inflasi makanan salah satunya menja-
maka penelitian ini terdiri dari dua pertanyaan uta- di motivasi utama dari penelitian yang dilakukan
ma. Pertanyaan pertama menitikberatkan kepada oleh Walsh (2011), Bhattacharya et al. (2013), dan
bagaimana dinamika inflasi di Indonesia. Transmisi Anand et al. (2014) yang juga menjadi latar belakang
antara inflasi makanan, non-makanan, dan inflasi mengapa penelitian ini dilakukan. Penulis kemudi-
total akan ditelaah lebih mendalam, seperti halnya an mengombinasikan pendekatan yang dilakukan
yang dilakukan oleh Bhattacharya et al. (2013) pada oleh ketiga penelitian tersebut dengan pendekatan
perekonomian India. Fokus penulis pada bagian ini transmisi kebijakan moneter yang diterapkan oleh
adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan Kim dan Roubini (2000) yang bertujuan untuk men-
dari inflasi makanan terhadap komponen inflasi dapatkan gambaran secara komprehensif mengenai
lainnya, dan begitu pula sebaliknya. Selanjutnya, implikasi kebijakan moneter atas dinamika inflasi
pertanyaan kedua berusaha untuk mengetahui ba- makanan di Indonesia. Lebih lanjut, penulis pun
gaimana efektivitas kebijakan moneter dalam hal melakukan beberapa penyesuaian atas pendekatan
pengendalian inflasi makanan. Jika perubahan pada Kim dan Roubini (2000) tersebut berdasarkan be-
stance kebijakan moneter melalui suku bunga acuan berapa karakteristik perekonomian Indonesia yang
BI mampu mengendalikan inflasi makanan, maka akan dijelaskan lebih terperinci pada bagian meto-
dapat dikatakan kebijakan moneter memiliki peran de.
yang penting dalam pengendalian kemiskinan di Organisasi penulisan pada tulisan ini adalah seba-
Indonesia. Jika hasil yang terjadi adalah sebaliknya, gai berikut. Bagian pertama menjabarkan motivasi
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 61

utama penulis dalam memilih topik penelitian ini kuat dalam memengaruhi inflasi headline. Ketiga,
dan menganalisa secara singkat dinamika inflasi jalur suku bunga memiliki peranan yang cukup
di Indonesia. Bagian kedua membahas mengenai signifikan namun tidak sekuat kedua jalur yang se-
penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelum- belumnya disebutkan dalam memengaruhi inflasi,
nya yang terkait dengan topik penelitian ini. Bagian baik itu inflasi inti maupun headline.
ketiga kemudian membahas mengenai strategi em- Meskipun demikian, penelitian-penelitian terse-
piris untuk menjawab pertanyaan dari penelitian but belum mengarah kepada pendekatan disagre-
ini. Bagian keempat merupakan hasil dan anali- gasi komoditas dalam inflasi agregat, dalam hal ini
sa empiris, dan bagian terakhir akan memberikan makanan dan non-makanan yang menjadi fokus
kesimpulan beserta implikasi kebijakan. utama penelitian ini. Ini juga menjadi perhatian pen-
ting beberapa penelitian yang menekankan pada
jenis dari target inflasi bank sentral, yang umum-
Tinjauan Literatur nya tidak mengikutsertakan inflasi makanan. Walsh
(2011) secara empiris mengkritisi hal tersebut. De-
Affandi (2011) menyatakan bahwa inflasi makanan ngan menggunakan metodologi Vector Autoregres-
menjadi salah satu penyebab mengapa inflasi di sion (VAR), Walsh menyatakan bahwa meskipun
Indonesia bersifat persisten. Lebih lanjut, terdapat inflasi makanan memiliki volatilitas dan rata-rata
urgensi yang tinggi mengenai pengendalian inflasi yang lebih tinggi dari inflasi non-makanan, kebijak-
makanan, mengingat dampaknya terhadap penu- an pengendalian inflasi sebaiknya tetap mengikut-
runan kesejahteraan masyarakat miskin yang relatif sertakan inflasi makanan. Pada penelitiannya di 91
tinggi dibandingkan dengan inflasi pada komodi- negara, Walsh menemukan bukti yang kuat bahwa
tas lainnya (Son dan Kakwani, 2009; Pratikto et al., inflasi makanan akan ditransmisikan kepada in-
2015). Hal ini kemudian menimbulkan tantangan flasi non-makanan. Karena hal tersebut, kebijakan
bagi kebijakan moneter dalam mengendalikan in- pengendalian inflasi yang tidak mengikutsertakan
flasi karena adanya dugaan kuat bahwa kebijakan inflasi makanan dari sasarannya dapat berdampak
moneter kurang efektif dalam mengendalikan infla- kepada kredibilitas pembuat kebijakan (bias pada
si makanan mengingat sumber dari inflasi makanan perhitungan inflasi sasaran). Selain itu, karena ke-
yang umumnya bersifat struktural. Karenanya, tim- lompok barang makanan umumnya berkontribusi
bul pertanyaan mengenai bagaimana sebaiknya besar dalam pembentukan inflasi agregat, maka
kebijakan moneter memberikan respons atas tekan- ekspektasi inflasi akan lebih tinggi sehingga pada
an inflasi makanan. akhirnya akan membentuk inflasi aktual yang lebih
Penelitian mengenai bagaimana efektivitas ke- tinggi pula.
bijakan moneter BI bekerja memengaruhi tujuan Kesimpulan serupa dari penelitian Walsh terse-
akhirnya, dalam hal ini adalah inflasi, telah banyak but pun dipertegas oleh Bhattacharya et al. (2013)
dilakukan. Pada umumnya, penelitian-penelitian dan Anand et al. (2014) pada penelitian di India.
tersebut menggunakan basis teori transmisi kebi- Keduanya menegaskan bahwa mengingat adanya
jakan moneter. Penelitian mengenai transmisi ke- second round effects dari peningkatan inflasi makan-
bijakan moneter di Indonesia secara komprehensif an, maka inflasi aktual akan lebih tinggi dari perhi-
dilakukan oleh Goeltom (2008). Penelitian ini juga tungan dan sasaran inflasi dari bank sentral India.
melakukan pendekatan disagregasi yang terlihat Kedua penelitian tersebut menyatakan bahwa kebi-
dari beberapa kesimpulan akhirnya. Pada perio- jakan moneter sebaiknya merespons tekanan pada
de sebelum krisis, kebijakan moneter tidak bekerja inflasi makanan dengan melakukan kebijakan mo-
terlalu efektif dan signifikan dalam memengaruhi neter yang ketat (peningkatan suku bunga). Hal ini
inflasi, baik itu inflasi inti maupun headline. Pada dilakukan semata untuk mencegah tekanan yang
saat periode krisis berjalan, jalur harga aset dan lebih tinggi terhadap inflasi non-makanan, yang
kredit merupakan jalur yang terkuat dalam me- pada akhirnya akan meningkatkan inflasi agregat
mengaruhi inflasi. Kesimpulan berbeda diperoleh yang lebih tinggi dari peningkatan inflasi makanan.
pada saat periode setelah krisis. Pada periode ini, Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mo-
terdapat tiga jalur transmisi yang bekerja. Pertama, tivasi penulis untuk melakukan pendekatan ini
jalur nilai tukar merupakan yang paling kuat dalam terkait dengan pentingnya kelompok makanan ter-
memengaruhi inflasi inti melalui direct pass-through. hadap masyarakat miskin di Indonesia. Hal ini
Kedua, jalur harga aset merupakan jalur yang paling dikarenakan masyarakat miskin kurang memili-
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
62 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

ki kemampuan dalam melindungi daya belinya adalah VAR. Di sisi lain, metode VAR seringkali
dari inflasi dan komoditas makanan merupakan mendapatkan kritikan karena sifatnya yang tidak
kebutuhan yang paling dasar. Dengan demikian, teoritis. Metode ini tidak menggunakan suatu persa-
peningkatan harga pada kelompok barang ini seca- maan struktural berdasarkan teori ekonomi, tetapi
ra relatif akan lebih merugikan masyarakat miskin hanya membiarkan data menghasilkan kesimpulan
dibandingkan dengan masyarakat mampu. dari pergerakannya dalam sistem VAR. Oleh karena
Maka, untuk mengetahui apakah terdapat trans- itu, penulis menggunakan pengembangan metode
misi inflasi makanan terhadap non-makanan di dari VAR, yaitu SVAR. Sesuai dengan namanya,
Indonesia, penulis menggunakan metodologi dan sistem SVAR menerapkan restriksi di dalam model
model Structural Vector Autoregression (SVAR) dari yang disesuaikan dengan teori ekonomi serta ka-
Bhattacharya et al. (2013). Selanjutnya, untuk menge- rakteristik perekonomian Indonesia yang menjadi
tahui bagaimana peranan kebijakan moneter terha- objek penelitian.
dap inflasi makanan, maka penulis menggunakan Pendekatan SVAR ini sendiri, seperti halnya
dasar teori yang dikembangkan oleh Kim dan Rou- metodologi-metodologi lainnya, tidak terlepas dari
bini (2000). Kim dan Roubini mengembangkan mo- keterbatasan terutama dari sisi robustness pada hasil
del teoritis SVAR untuk menginvestigasi dampak akhir SVAR. Meskipun penetapan restriksi pada
dari perubahan kebijakan moneter terhadap harga model SVAR didasarkan pada teori-teori ekono-
sekaligus untuk melihat apakah terdapat exchange mi, namun perubahan pada restriksi relatif sensitif
rate puzzle pada perekonomian beberapa negara- terhadap hasil akhir dari SVAR (Brischetto dan
negara Eropa (Organisation for Economic Co-operation Voss, 1999; Berkelmans, 2005). Meskipun sensitivi-
and Development/OECD). Meskipun pada penelitian tas dari perubahan restriksi tidak dapat dihindari,
ini penulis tidak memiliki tujuan yang sama dengan namun transparansi atas argumentasi dari penetap-
Kim dan Roubini, penulis menggunakan model ter- an restriksi tersebut yang berdasarkan penelitian-
sebut dengan argumentasi bahwa dari beberapa penelitian terdahulu yang telah terbukti dapat di-
penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, jalur pertanggungjawabkan, dan juga beberapa stylized
nilai tukar bekerja sangat baik sehingga basis model facts dapat meningkatkan robustness dari hasil akhir
tersebut dapat diaplikasikan pada perekonomian SVAR (Brischetto dan Voss, 1999; Berkelmans, 2005).
Indonesia. Penulis melakukan beberapa perubahan Pendekatan inilah yang kemudian diadopsi oleh
pada model Kim dan Roubini ini yang disesuaikan penulis untuk mengatasi keterbatasan dari SVAR.
dengan tujuan penelitian penulis dan akan dibahas Dalam penelitian ini, untuk mengetahui dinami-
lebih mendalam pada bagian metode. ka dari inflasi agregat, penulis mengadopsi sistem
SVAR yang digunakan oleh Bhattacharya et al. (2013)
dengan model yang dinyatakan sebagai berikut :
Metode     
efi 1 1 1 ufi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini en f i    g21 1 0 un f i  (1)
adalah SVAR, yang merupakan pengembangan dari eπ g g31 g32 1 uπ
VAR. Argumentasi utama penggunaan metode ini
adalah karena VAR memiliki kemampuan untuk Persamaan (1) menunjukkan bahwa model ter-
menangkap dinamika dari perekonomian sebagai sebut menempatkan restriksi bahwa kejutan pada
akibat adanya perubahan dan/atau kejutan (shock) inflasi makanan (e f i ) memiliki dampak instan (con-
pada kebijakan pemerintah, dalam hal ini dari sisi temporaneous) terhadap inflasi non-makanan (en f i )
moneter. Hal ini dikarenakan adanya asumsi bahwa dan agregat (eπ ), namun tidak sebaliknya. Perubah-
kebijakan moneter yang dilakukan pada periode (t) an pada inflasi non-makanan sendiri diasumsikan
baru mencapai sasarannya pada periode t n. berdampak instan kepada inflasi agregat, namun
Seperti juga yang dijelaskan oleh Bernanke dan tidak sebaliknya. Penerapan restriksi tersebut ber-
Mihov (1998), perekonomian berjalan dinamis dan dasarkan fakta bahwa bundel konsumsi makanan
perubahan pada salah satu variabel ekonomi biasa- di India memiliki porsi terbesar hingga mencapai se-
nya membutuhkan waktu (lags) untuk berpengaruh kitar 45% (Anand et al., 2014). Restriksi tersebut juga
terhadap variabel lainnya. Karenanya, Bernanke diterapkan pada penelitian ini. Hal ini didasarkan
dan Mihov menegaskan bahwa salah satu metodo- pula oleh fakta bahwa pola konsumsi makanan
logi yang mampu menangkap dinamika tersebut masyarakat Indonesia tidak berbeda jauh dengan
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 63

India. Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi an sehingga mampu berperan secara tidak langsung
Nasional (Susenas) Triwulan III 2012, proporsi kon- dalam penanggulangan kemiskinan di Indonesia.
sumsi komoditas makanan mencapai sekitar 47,71% Dengan perubahan asumsi tersebut, maka model
(Badan Pusat Statistik/BPS, 2013). SVAR yang diaplikasikan pada penelitian ini adalah
Selanjutnya, untuk menginvestigasi mengenai sebagai berikut:
dampak dari kebijakan moneter terhadap inflasi,
penulis menggunakan dasar teoritis kerangka SVAR e   1 0 0 0 0 0 0 0
  uoil
dari Kim dan Roubini (2000). Penulis melakukan
   0   uffr 

oil

beberapa modifikasi pada model Kim dan Roubini 



e f f r
 

g21 1 0 0 0 0 0


e   g g32 1 g34 g35 0 0 0   ums 
emd   g48  umd 
tersebut yang disesuaikan dengan tujuan penelitian ms g31


  
  g51
0 0 g43 1 0 0 g47
eex  g58 
dan karakter dari perekonomian Indonesia. Perta-

   g52 g53 g54 1 g56 g57   uex 
eip  
 0
ma, penulis mempertimbangkan bahwa kebijakan

   
g61 0 0 0 0 1 0   uip 
moneter memiliki respons yang instan terhadap efi g71 0 0 0 0 g76 1 0   uefi 
perubahan pada variabel federal funds rate. Pertim- en f i g81 0 0 0 0 g86 g87 1 unfi
bangannya bahwa salah satu tujuan dari BI sebagai (2)
otoritas moneter adalah kestabilan nilai tukar ru- dengan:
piah. Perubahan pada federal funds rate yang tidak
oil : harga minyak mentah dunia (USD);
diiringi oleh penyesuaian suku bunga BI akan ber-
ffr : federal funds fate (persentase);
dampak kepada capital outflow maupun inflow yang
ms : suku bunga BI rate (persentase);
kemudian membuat nilai tukar rupiah berfluktuasi.
md : jumlah uang beredar M2 (Rupiah);
Selain itu, asumsi pada model Kim dan Roubini
fi : inflasi makanan (yoy) (persentase);
yang tidak mempertimbangkan pergerakan dari ke-
nfi : inflasi non-makanan (yoy) (persentase);
bijakan moneter negara-negara G73 (selain Amerika
ip : indeks produksi industri/manufaktur (indeks);
Serikat/AS) dipengaruhi oleh pergerakan kebijakan
ex : nilai tukar (IDR/USD).
moneter AS dikarenakan relatif besarnya ukuran
makro-ekonomi dari negara-negara G7 tersebut.
Di sisi lain, penulis mengasumsikan bahwa skala Inflasi makanan dan non-makanan (yoy) memili-
makro-ekonomi Indonesia adalah relatif kecil diban- ki reaksi instan dan bersamaan terhadap perubahan
dingkan dengan negara AS dan negara-negara G7 pada variabel produksi. Asumsi ini bertujuan untuk
tersebut, sehingga perubahan kebijakan moneter menangkap asumsi adanya peningkatan pendapat-
di AS menjadi salah satu kejutan luar negeri yang an (yang tercermin dari peningkatan output) akan
patut untuk dipertimbangkan dalam perumusan memberikan tekanan secara instan terhadap infla-
kebijakan moneter. si. Lebih lanjut, penulis memodifikasi model pada
Kedua, variabel tingkat harga konsumen tidak restriksi inflasi non-makanan yang memiliki reaksi
lagi digunakan dan diganti dengan tingkat inflasi, secara bersamaan terhadap perubahan pada inflasi
yang didisagregasikan menjadi inflasi kelompok makanan, sesuai dengan asumsi pada model Bhat-
makanan dan non-makanan. Penyebabnya adalah tacharya et al. (2013).
tujuan dari kebijakan moneter BI sendiri sebagai Data yang digunakan pada penelitian ini meli-
otoritas moneter bukanlah stabilitas harga tetapi puti periode Januari 2003 hingga Juli 2010. Periode
inflasi4 . Dengan demikian, diasumsikan bahwa BI penelitian ini dirasa sudah mencukupi dan menga-
hanya merespons perubahan pada indikator harga komodasi kebutuhan observasi pada metode SVAR.
jika terjadi perubahan pada tingkat inflasi. Selain Di dalam sistem SVAR tersebut, variabel harga mi-
itu, disagregasi inflasi menjadi kelompok makan- nyak mentah dunia, M2, Indeks Produksi, dan nilai
an dan non-makanan disesuaikan dengan tujuan tukar rupiah terhadap dolar AS dirubah ke dalam
utama dari penelitian ini, yaitu apakah kebijakan bentuk logaritma. Harga minyak mentah dunia,
moneter memiliki dampak terhadap inflasi makan- federal funds rate, BI rate, M2, indeks produksi ma-
nufaktur, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar
AS bersumber dari International Financial Statisti-
3 sebuah grup yang terdiri dari Kanada, Perancis, Jerman,
cs (IFS) yang dikelola oleh International Monetary
Italia, Jepang, Britania Raya, dan Amerika Serikat.
4 ”Tujuan Kebijakan Moneter Bank Indonesia”. Dapat diak- Fund (IMF). Data mengenai inflasi makanan dan
ses melalui http://www.bi.go.id/id/moneter/tujuan-kebijakan/ non-makanan diperoleh dari Statistik Ekonomi dan
Contents/Default.aspx (tanggal akses 2 Maret 2015). Keuangan Indonesia (SEKI) yang dirilis oleh BI.
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
64 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Hasil dan Analisis makanan memiliki porsi terbesar hingga mencapai


kurang lebih 58% dan diikuti oleh non-makanan
Pada umumnya, data makroekonomi runtun waktu sebesar kurang lebih 40%. Dengan demikian, maka
bersifat non-stasioner sehingga memiliki properti dapat dikatakan bahwa inflasi makanan memiliki
akar unit (unit root). Dalam hal ini, penggunaan sifat eksogen dalam memengaruhi komponen in-
data runtun waktu dalam analisis ekonometri di- flasi lainnya. Hasil perhitungan penulis pun seja-
khawatirkan akan menghasilkan regresi yang ber- lan dengan apa yang ditemukan oleh Walsh (2011)
sifat spurious sehingga kesimpulan yang diperoleh pada penelitiannya di 91 negara serta penelitian
tidak akan tepat (Granger dan Newbold, 1974). Bhattacharya et al. (2013) dan Anand et al. (2014) di
Meskipun demikian, Sims et al. (1990) berargumen India. Pada perekonomian negara-negara tersebut,
bahwa, meskipun data yang digunakan memiliki khususnya pada negara-negara berkembang, inflasi
akar unit tetapi terkointegrasi pada jangka pan- makanan memiliki porsi yang relatif besar dalam
jang, maka analisis VAR tidak memerlukan data pembentukan inflasi non-makanan maupun inflasi
stasioner. Informasi mengenai true data generating agregat.
process akan hilang jika data pada tingkat level ter- Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana dam-
sebut dirubah ke dalam bentuk stasioner (difference). pak dari perubahan masing-masing variabel ter-
Selanjutnya, Sims et al. (1990) juga memberikan pen- hadap variabel lainnya, maka diperlukan analisis
dapat bahwa tujuan dari analisis VAR adalah untuk impulse response dari sistem SVAR. Gambar 2 me-
menentukan hubungan di antara seluruh variabel nunjukkan bagaimana perubahan tersebut, apakah
di dalam sistem VAR, bukan untuk mengestimasi berdampak positif atau negatif.
nilai dari parameter sehingga permasalahan sta- Hasil dari perhitungan menunjukkan bahwa pe-
sioneritas dari data menjadi kurang relevan. Sims ningkatan inflasi makanan akan direspons secara
et al. (1990) juga menambahkan bahwa, meskipun positif (meningkat) oleh inflasi non-makanan ma-
analisis SVAR menggunakan variabel non-stasioner, upun inflasi agregat. Begitu pula dengan dampak
koefisien yang diestimasi pada SVAR tetap konsis- dari peningkatan inflasi non-makanan terhadap
ten. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tidak inflasi agregat. Lebih lanjut, hasil Impulse Respon-
menganalisis dan mengkaji permasalahan stasioner- se Functions (IRF) pun menunjukkan bahwa shock
itas data pada model SVAR yang penulis gunakan. inflasi makanan terhadap inflasi agregat memiliki
dampak yang relatif lebih lama dibandingkan shock
Dinamika Inflasi inflasi non-makanan. Hasil ini mengimplikasikan
bahwa persistensi inflasi agregat lebih bersumber
Untuk menentukan bagaimana sebuah perubahan dari inflasi makanan. Dengan demikian, kombina-
instan (shocks) pada sebuah variabel dan pengaruh- si hasil FEVD dan IRF ini semakin mempertegas
nya terhadap pergerakan variabel lainnya, sistem pentingnya pengendalian inflasi makanan sebagai
VAR menggunakan Forecast Error Variance Decompo- berikut. Pertama, seperti yang telah disebutkan dan
sitions (FEVD). Enders (2003) menyatakan bahwa diperkirakan sebelumnya pada bagian pertama, in-
jika FEVD dari sebuah variabel tidak dipengaruh- flasi makanan memiliki dampak negatif yang lebih
i oleh kejutan selain dari perubahan variabel itu buruk bagi masyarakat miskin. Kedua, peningkatan
sendiri, maka dapat dikatakan bahwa variabel ter- inflasi makanan akan ditransmisikan kepada infla-
sebut bersifat eksogen. Tabel 1 menunjukkan hasil si non-makanan yang berefek negatif lebih besar
perhitungan FEVD model Bhattacharya et al. (2013) kepada masyarakat non-miskin. Hal ini kemudian
dengan menggunakan data inflasi Indonesia. juga akan diteruskan kepada peningkatan inflasi
Hasil perhitungan pada Tabel 1 menunjukkan agregat (second round effect). Menurut Bhattacharya
bahwa pergerakan dari inflasi makanan hanya di- et al. (2013), penyebab dari transmisi inflasi makan-
tentukan oleh kejutan dari variabel itu sendiri tan- an ke non-makanan ini karena adanya efek sub-
pa terpengaruh oleh pergerakan dari inflasi non- stitusi antara barang makanan dan non-makanan.
makanan maupun inflasi agregat. Di sisi lain, peru- Peningkatan harga makanan akan menurunkan
bahan pada inflasi makanan berpengaruh cukup sig- permintaan terhadap makanan itu sendiri, yang ke-
nifikan terhadap varian dari inflasi non-makanan, mudian disubstitusikan kepada konsumsi barang
mencapai kurang lebih 29%. Perubahan pada infla- non-makanan sehingga memberikan tekanan ke-
si agregat secara signifikan dipengaruhi oleh, baik pada peningkatan inflasi pada kelompok barang
itu inflasi makanan maupun non-makanan. Inflasi tersebut.
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 65

Tabel 1: FEVD Dinamika Inflasi

HH
HH Horison (bulan) Inflasi Makanan Inflasi Non-Makanan Inflasi Agregat
Inflasi Makanan 1 100,00 - -
5 90,42 4,57 5,01
10 88,12 6,56 5,32
Inflasi Non-Makanan 1 29,12 70,88 -
5 29,17 70,53 0,30
10 28,84 69,31 1,84
Inflasi Agregat 1 57,78 40,45 1,77
5 58,62 38,37 3,01
10 57,60 37,92 4,47
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Gambar 2: Impulse Response Inflasi


Keterangan: INF: inflasi IHK (agregat/headline); FI dan NFI lihat keterangan Persamaan (1)
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74


66 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Meskipun demikian, penulis berpendapat bah- misi inflasi makanan ke non-makanan seperti yang
wa hal ini cenderung tidak terjadi pada perekono- dinyatakan oleh Anand et al. (2014) bahwa inflasi
mian negara-negara berkembang. Menurut United makanan dapat berperan untuk menentukan ting-
Nation Development Programme (UNDP), perekono- kat upah (food as wage setting). Pendapat tersebut
mian negara-negara ini termasuk Indonesia, pada kemudian didukung oleh hasil penelitian yang di-
umumnya memiliki karakteristik kesenjangan pen- lakukan oleh Cheung et al. (2008) pada beberapa
dapatan yang tinggi, dalam hal ini proporsi ma- negara Asia. Peningkatan inflasi makanan dapat
syarakat dengan pendapatan menengah ke bawah menyebabkan permintaan peningkatan upah yang
lebih tinggi dibandingkan golongan pendapatan lebih tinggi oleh pekerja, karena porsi konsumsi
tinggi (UNDP, 2004). Argumentasi dari Bhattachar- komoditas makanan yang relatif tinggi terutama
ya et al. (2013) tersebut dapat terjadi jika mayoritas pada negara-negara berkembang seperti Indonesia.
dari masyarakat perekonomian tertentu memiliki Hal ini dilakukan untuk mengompensasi daya be-
konsumsi makanan yang relatif tinggi dan mele- li pekerja yang menurun atas konsumsi makanan
bihi apa yang dibutuhkan (tidak hanya makanan tersebut dan menyebabkan adanya tekanan infla-
untuk kebutuhan dasar) sehingga masyarakat ter- si dari sisi penawaran (cost-push). Inflasi makanan
sebut mampu dan bersedia untuk merubah pola yang lebih tinggi menyebabkan tingkat upah yang
konsumsi. Situasi ini merupakan karakteristik dari harus diberikan pun lebih tinggi. Dengan demikian,
individu yang memiliki pendapatan relatif tinggi. inflasi aktual pun akan melebihi ekspektasi inflasi
Pemenuhan konsumsi makanan untuk kebutuhan dari masyarakat karena adanya tekanan putaran
dasar yang dilakukan oleh golongan masyarakat kedua pada inflasi agregat tersebut.
menengah ke bawah tidak akan mengubah po-
la konsumsi makanan, sehingga inflasi makanan
tidak akan menimbulkan efek substitusi kepada Pengaruh Kebijakan Moneter terhadap
kelompok barang non-makanan. Dengan kata lain, Inflasi Makanan
elastisitas harga terhadap kelompok barang makan-
an adalah rendah (inelastis) terutama bagi mereka Pergerakan inflasi agregat serta komponen makan-
yang berpendapatan rendah. an dan non-makanan menunjukkan pentingnya pe-
Penulis berpendapat, transmisi inflasi makanan ngendalian inflasi makanan. Jika kebijakan moneter
kepada inflasi non-makanan salah satunya lebih mampu untuk mengendalikan inflasi makanan, ma-
dikarenakan adanya spill-over effect dari peningkat- ka tidak hanya masyarakat golongan miskin yang
an harga makanan terhadap harga non-makanan. diuntungkan tetapi juga seluruh golongan masya-
Karena kelompok barang makanan memiliki porsi rakat. Sebaliknya, jika inflasi makanan tidak dapat
terbesar dalam pembentukan harga5 , maka infla- dikendalikan, maka masyarakat miskin akan jauh
si makanan dapat dipersepsikan oleh produsen, lebih dirugikan.
baik itu kelompok barang makanan maupun non- Tabel 2 memperlihatkan FEVD dari hasil SVAR
makanan, sebagai peningkatan ekspektasi inflasi dengan menggunakan kerangka Persamaan (2). Ha-
secara agregat. Dengan demikian, kebijakan pene- sil tersebut menunjukkan bahwa pergerakan dari
tapan harga dari produsen non-makanan mengi- inflasi makanan pada jangka waktu pendek (2 bu-
kuti ekspektasi inflasi yang pada akhirnya akan lan) mayoritas hanya dipengaruhi oleh variabel itu
meningkatkan inflasi aktual pada kelompok ba- sendiri. Meskipun demikian, pada jangka panjang
rang non-makanan. Penyebab lainnya dari trans- (1 tahun), kejutan pada variabel harga minyak men-
tah dan nilai tukar secara signifikan berdampak
5 MenurutSurvei Biaya Hidup 2012 yang dilakukan oleh BPS, kepada varian dari inflasi makanan. Variabel mone-
proporsi biaya hidup untuk kelompok pengeluaran makanan ter yaitu suku bunga dan jumlah uang beredar tidak
pada tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah sebesar 36% memiliki peranan langsung yang cukup penting
dan 35%. Namun, survei ini dilakukan pada kota-kota besar dalam memengaruhi perubahan inflasi makanan.
di Indonesia (masing-masing 66 dan 82 kota pada tahun 2007
dan 2012), sehingga tidak mencerminkan pola pengeluaran ma- Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa pergerak-
syarakat pedesaan yang notabene memiliki pola yang berbeda. an inflasi makanan lebih besar dipengaruhi oleh
Berdasarkan data Susenas modul pengeluaran konsumsi tahun faktor non-domestik (imported inflation). Oleh sebab
2008 dan 2013 serta memperhitungkan pengeluaran masyarakat
desa dan kota, rata-rata pengeluaran kelompok makanan pada
itu, tidak mengherankan jika perubahan kebijakan
tahun 2007 dan 2012 masing-masing adalah sebesar 61% dan moneter yang lebih mengendalikan faktor domestik
58%. tidak berperan besar terhadap variasi dari inflasi
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 67

Tabel 2: FEVD Model Transmisi Kebijakan Moneter

Horison OIL FFR MS MD EX IP FI NFI


Inflasi Makanan 2 3,31 3,89 2,29 3,46 2,02 11,50 74,52 0,01
4 8,73 2,71 5,11 5,46 2,60 9,81 61,90 3,68
8 21,43 10,68 5,00 3,19 13,70 6,45 35,45 4,11
12 21,02 13,53 3,73 3,00 21,91 4,67 26,44 5,70
Inflasi Non-Makanan 2 4,90 4,04 13,22 10,97 13,82 2,60 12,71 37,74
4 16,29 5,92 21,97 7,76 14,38 2,67 9,01 22,00
8 20,06 7,91 21,84 8,07 17,86 2,45 7,17 14,64
12 19,50 10,66 14,53 6,02 25,56 2,97 8,03 12,73
Nilai Tukar 2 2,38 18,69 2,34 24,11 45,21 2,39 4,77 0,10
4 4,17 16,53 6,38 25,08 32,19 3,26 11,44 1,07
8 4,53 13,44 5,74 26,27 28,96 10,59 9,19 1,28
12 3,07 11,99 11,51 20,96 21,50 9,23 20,56 1,17
Keterangan: Masing-masing variabel dijelaskan pada Persamaan (2)
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

makanan. Kajian internal yang dilakukan oleh be- Di sisi lain, varian dari inflasi non-makanan me-
berapa bank sentral negara-negara berkembang miliki struktur yang cukup berbeda. Kejutan dari
seperti India dan Filipina menunjukkan konklusi harga minyak mentah memengaruhi pergerakan in-
yang serupa, yakni kebijakan moneter hanya sedikit flasi non-makanan, baik pada jangka waktu pendek,
atau bahkan tidak sama sekali memengaruhi inflasi menengah, maupun panjang. Hal ini disebabkan
makanan6 . karena industrial linkage dari komoditas makanan
Meskipun demikian, terdapat implikasi bahwa relatif lebih panjang dibandingkan dengan komo-
kebijakan moneter melalui suku bunga acuan BI ditas makanan. Artinya, proses produksi makanan,
rate dapat memengaruhi inflasi makanan melalui terutama bahan makanan, membutuhkan kompo-
transmisi jalur nilai tukar. Dalam hal ini, perubah- nen bahan bakar minyak yang relatif lebih rendah
an stance kebijakan moneter dapat memengaruhi dibandingkan dengan proses produksi komoditas
pergerakan nilai tukar untuk kemudian selanjutnya non-makanan, contohnya barang manufaktur.
berdampak kepada pergerakan inflasi makanan. Hasil FEVD juga menunjukkan bahwa transmi-
Namun, hasil empiris menunjukkan bahwa hal ter- si dari nilai tukar terhadap inflasi non-makanan
sebut tidak terjadi. Meskipun inflasi makanan pada relatif lebih cepat dibandingkan dengan transmisi
jangka panjang dipengaruhi oleh pergerakan nilai nilai tukar terhadap inflasi makanan, yang pada
tukar, namun perubahan kebijakan moneter BI ra- jangka waktu 4 bulan mencapai sekitar 14%. Pada
te bukan merupakan sumber utama dari fluktuasi jangka waktu yang sama, varian dari inflasi ma-
nilai tukar. Pergerakan nilai tukar rupiah lebih ba- kanan dipengaruhi oleh kejutan dari nilai tukar
nyak bersumber dari perubahan pada kebijakan hanya sekitar 2%, meskipun pada horison 12 bulan
moneter AS dan jumlah uang beredar. Dengan de- mencapai sekitar 21%. Hal ini dapat disebabkan
mikian, kejutan pada suku bunga fed rate memang karena proporsi impor dari produksi komoditas
sebaiknya direspons oleh BI dengan mengeluarkan makanan relatif lebih rendah dibandingkan dengan
kebijakan yang lebih berpengaruh terhadap jumlah komoditas non-makanan.
uang beredar, sehingga salah satu fokus utama BI Hasil dari FEVD tersebut juga menunjukkan bah-
yaitu stabilitas nilai tukar dapat tercapai. wa BI rate memiliki peranan yang penting terhadap
varian inflasi non-makanan, terutama pada jang-
6 ”Monetary policy has small impact on food, fuel inflation: Chi- ka waktu menengah, hingga mencapai sekitar 22%.
dambaram”. NDTV Profit – New Delhi Television (NDTV). Meskipun demikian, hal ini tidak berlaku sama bagi
Dapat diakses melalui http://profit.ndtv.com/news/economy/ inflasi makanan. Perubahan BI rate tidak memiliki
article-monetary-policy-has-small-impact-on-food-fuel
-inflation-chidambaram-373604, dan ”Tuano-Amador, M. A.
peranan signifikan terhadap varian inflasi makanan,
C. N. (2013). Supply Shocks, Inflation and Monetary Policy: baik itu secara langsung maupun tidak langsung
Philippine Experience. Slides presentation on Bank Negara (melalui jalur suku bunga dan nilai tukar).
Malaysia’s Conference on ”Monetary Policy in the New
Normal”, Sasana Kijang, 10–11 June 2013.” Dapat diakses
Merujuk dari hasil dari FEVD tersebut, Gambar
melalui http://w2.bnm.gov.my/documents/2013/mp/Session4 3 menunjukkan respons dari inflasi non-makanan
MariaAlmasaraCyd Slide.pdf (tanggal akses 24 April 2015). terhadap variabel yang secara signifikan meme-
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
68 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Gambar 3: Impulse Response Inflasi Non-Makanan


Keterangan: Lihat kembali Persamaan (2) untuk keterangan masing-masing variabel
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

Gambar 4: Impulse Response Inflasi Makanan


Keterangan: Lihat kembali Persamaan (2) untuk keterangan masing-masing variabel
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74


Pratikto, R. & Ikhsan, M. 69

ngaruhi pergerakannya. Secara umum, inflasi non- memiliki peranan yang lebih penting dalam meme-
makanan akan meningkat jika terjadi peningkatan ngaruhi pergerakan dari inflasi makanan. Hal ini
pada harga minyak mentah, jumlah uang beredar, akan dibahas lebih lanjut pada sub-bab berikutnya.
nilai tukar (depresiasi), dan inflasi makanan. Kebi- Hasil dari analisis model dinamika inflasi dan
jakan moneter (suku bunga) memiliki hubungan transmisi kebijakan moneter ini menunjukkan bah-
yang negatif dengan inflasi non-makanan sehingga wa inflasi makanan berperan penting dan signifi-
kebijakan disinflasi akan mencapai tujuan akhirnya kan bagi pengendalian inflasi agregat di Indonesia.
untuk kategori inflasi non-makanan. Seperti hasil Selain merupakan sumber terbesar bagi inflasi agre-
pada model Bhattacharya et al. (2013), perubah- gat, peningkatan inflasi makanan ditransmisikan
an tidak terduga dari inflasi makanan berdampak ke inflasi non-makanan dapat memberikan tekanan
kepada peningkatan inflasi non-makanan. Hasil inflasi total yang lebih dalam. Dengan demikian,
ini sekaligus mempertegas adanya transmisi dari kebijakan pengendalian inflasi yang dilakukan oleh
inflasi makanan ke non-makanan. BI melalui kerangka ITF ternyata tidak cukup un-
Gambar 4 menunjukkan respons dari inflasi ma- tuk mengendalikan inflasi makanan secara efektif
kanan terhadap perubahan positif dari variabel- karena lebih memiliki pengaruh yang signifikan
variabel yang secara signifikan memengaruhinya terhadap inflasi non-makanan.
berdasarkan hasil FEVD. Peningkatan harga mi- Melihat hasil tersebut, maka pertanyaan selanjut-
nyak mentah dunia akan mendorong peningkatan nya adalah apakah kebijakan moneter perlu untuk
inflasi makanan, serupa dengan apa yang terjadi merespons adanya tekanan inflasi makanan? Son
pada inflasi non-makanan. Peranan depresiasi nilai (2008) pada penelitiannya di Filipina berpendapat
tukar memiliki pengaruh positif terhadap inflasi bahwa pengendalian inflasi makanan sebaiknya
makanan pada jangka waktu 5 bulan ke atas, yang tidak dilakukan dengan kebijakan moneter. Meres-
pada periode sebelum bulan ke-5 memiliki penga- pons peningkatan inflasi makanan dengan kebijak-
ruh yang negatif. Hubungan yang ambigu antara an moneter dapat merugikan masyarakat miskin
nilai tukar dan inflasi makanan ini dapat dijelas- di negara Filipina. Hal ini dikarenakan inflasi pada
kan melalui pengaruhnya terhadap impor makanan komoditas makanan merupakan beban inflasi terbe-
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ma- sar yang harus dipikul oleh masyarakat miskin di
kanan. Depresiasi akan menurunkan permintaan negara tersebut. Respons kebijakan moneter diduga
terhadap impor makanan sehingga memberikan tidak berdampak kepada inflasi makanan, namun
penurunan inflasi makanan dari sisi permintaan. justru dapat menimbulkan resesi kecil (penurun-
Di sisi lain, penurunan impor berdampak kepada an pada pertumbuhan ekonomi). Pada akhirnya,
sisi penawaran dari komoditas makanan. Karena masyarakat miskin justru dirugikan dengan ada-
penurunan impor, maka terjadi tekanan inflasi ma- nya resesi kecil tersebut. Pendapat Son (2008) juga
kanan dari sisi penawaran karena berkurangnya didukung oleh Rosengren (2011) dalam konteks
suplai barang. Hubungan yang tidak stabil antara kebijakan moneter AS. Rosengren berpendapat bah-
nilai tukar dengan inflasi makanan ini memberikan wa merespons inflasi makanan yang bersumber
implikasi bahwa salah satu fokus kebijakan BI yaitu dari supply shocks (seperti yang terjadi pada tahun
menjaga stabilitas nilai tukar sudah tepat. Dalam 2007–2008) dengan kebijakan disinflasi cenderung
hal ini, pengendalian atas stabilitas nilai tukar di- akan memiliki dampak yang lebih buruk bagi du-
butuhkan agar inflasi makanan tidak berfluktuasi nia bisnis dan rumah tangga. Alasannya, pertama,
seperti yang diimplikasikan oleh hasil IRF tersebut. kebijakan moneter cenderung tidak akan berpenga-
Impulse Response pada Gambar 4 juga menunjuk- ruh terhadap inflasi makanan karena sumbernya
kan bahwa inflasi makanan tidak bereaksi secara yang berasal dari perekonomian luar negeri. Ke-
kuat terhadap perubahan pergerakan suku bunga. dua, berdasarkan pengalaman dari perekonomian
Selain dari pergerakannya yang tidak berfluktuasi, AS, kejutan pada harga makanan cenderung ha-
standar deviasi dari respons inflasi makanan terha- nya bersifat sementara (jangka pendek) sehingga
dap suku bunga pun relatif besar. Hasil ini semakin tidak berdampak kepada peningkatan ekspektasi
mempertegas konklusi yang diperoleh dari varian- inflasi maupun kepada inflasi inti (core/non-food).
ce decomposition. Dengan demikian, semakin kuat Karena tidak adanya transmisi tersebut, maka ke-
bukti empiris mengenai pergerakan dari inflasi ma- bijakan disinflasi hanya menimbulkan resesi tanpa
kanan di Indonesia bukan merupakan fenomena adanya efek signifikan terhadap inflasi itu sendiri.
moneter. Oleh karena itu, faktor struktural diduga Peningkatan suku bunga karena kebijakan moneter
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
70 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

disinflasi tentunya akan membuat cost of money me- hasil penelitian Pratikto et al. (2015), terdapat dua
ningkat yang menyebabkan cost of operating business komoditas non-makanan yang berperan cukup pen-
ikut meningkat. ting terhadap kesejahteraan masyarakat miskin di
Di sisi lain, terdapat pendapat yang berbeda atas Indonesia. Pertama adalah kelompok komoditas
pertanyaan mengenai haruskah otoritas moneter kebutuhan perumahan. Meskipun inflasi pada ke-
merespons tekanan pada inflasi makanan. Seperti lompok ini memiliki dampak distribusi yang lebih
yang dinyatakan oleh Walsh (2011), jika pembuat merugikan masyarakat non-miskin, namun dari sisi
kebijakan berusaha untuk menjaga stabilitas harga elastisitasnya terhadap peningkatan kemiskinan cu-
agregat, maka menghiraukan adanya perubahan kup tinggi (tertinggi kedua setelah bahan makanan).
pada inflasi makanan tidak akan tepat. Dengan Dengan demikian, peningkatan inflasi pada kebu-
adanya transmisi dari inflasi makanan ke inflasi tuhan perumahan akan meningkatkan kemiskinan
non-makanan dan pada akhirnya ke inflasi total, yang relatif tinggi pula. Kedua adalah kelompok ko-
kebijakan disinflasi dari bank sentral tetap dibu- moditas sandang. Inflasi pada kelompok komoditas
tuhkan untuk menjaga inflasi non-makanan tetap ini selain meningkatkan jumlah masyarakat miskin
terjaga sehingga tidak menekan inflasi headline yang juga memiliki dampak distribusi yang lebih meru-
notabene menjadi sasaran inflasi bank sentral ter- gikan masyarakat non-miskin. Karenanya, menjaga
sebut. Jika bank sentral tidak merespons tekanan tingkat inflasi non-makanan dari dampak spillover
pada inflasi makanan, maka akan berdampak kepa- inflasi makanan pun tetap diperlukan untuk tetap
da meningkatnya inflasi non-makanan yang pada menjaga tingkat daya beli dari masyarakat miskin.
akhirnya akan memberikan tekanan berikutnya Argumentasi tersebut mengimplikasikan tetap
kepada inflasi agregat. diperlukan adanya respons kebijakan moneter atas
Dari kedua argumentasi yang saling bertolak be- terjadinya tekanan pada inflasi makanan. Respons
lakang tersebut, penulis berpendapat bahwa seba- kebijakan moneter dari BI atas kejutan pada inflasi
iknya BI tetap memberikan respons atas terjadinya makanan tersebut hanya bertujuan untuk menjaga
inflasi makanan seperti pendapat yang dikemuka- stabilitas inflasi non-makanan sehingga tidak terja-
kan oleh Walsh (2011). Setidaknya ada dua alasan di tekanan kedua kepada inflasi agregat, yang pada
utama mengapa penulis lebih mendukung pen- akhirnya tetap memiliki dampak merugikan bagi
dapat Walsh tersebut. Pertama, argumentasi Son masyarakat miskin. Dengan demikian, maka dibu-
(2008) yang menyatakan bahwa kebijakan moneter tuhkan kebijakan komplementer dari pengendalian
sebaiknya tidak merespons inflasi makanan karena inflasi makanan agar dapat memiliki peran yang
adanya argumentasi bahwa kebijakan moneter ti- penting terhadap kesejahteraan masyarakat mis-
dak berdampak kepada inflasi makanan itu sendiri. kin. Hasil empiris ini kemudian juga memberikan
Meski demikian, penulis berpendapat bahwa argu- implikasi bahwa determinan dari inflasi makanan
mentasi tersebut belum lengkap. Karena temuan tidak bersumber dari sisi permintaan. Karenanya,
dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat penelitian ini kemudian juga melangkah lebih ja-
transmisi dari inflasi makanan ke non-makanan, uh dengan berusaha untuk mengidentifikasikan
maka tidak adanya respons dari kebijakan mone- determinan dari inflasi makanan.
ter akan meningkatkan inflasi non-makanan. Pada
akhirnya, inflasi agregat akan meningkat lebih ting- Determinan Inflasi Makanan
gi dari peningkatan awal pada inflasi makanan.
Argumentasi penulis sejalan dengan pendapat dari Pentingnya pengendalian inflasi makanan sebenar-
Rosengren (2011) yang menyatakan bahwa kebijak- nya terkait dengan persistensi dari inflasi makan-
an moneter AS sebaiknya tidak merespons inflasi an itu sendiri. Sbordone (2007) serta Moreno dan
makanan. Pendapat tersebut muncul karena ka- Villar (2010) menyatakan bahwa suatu perekono-
rakter dari inflasi di AS berbeda dengan apa yang mian dengan karakteristik inflasi yang persisten
terjadi di Indonesia, bahwa pada perekonomian menyebabkan kebijakan disinflasi yang dapat me-
AS tidak terdapat spillover dari inflasi makanan ke nimbulkan biaya yang tinggi, relatif terhadap biaya
inflasi inti maupun ekspektasi inflasi. trade-off penurunan output. Pada perekonomian je-
Kedua, hasil temuan Son (2008) pada negara Fi- nis ini, kebijakan stabilisasi inflasi melalui kebijakan
lipina menunjukkan bahwa hanya kelompok ko- sisi permintaan menimbulkan trade-off yang lebih
moditas makanan yang berperan besar terhadap merugikan dibandingkan dengan pembiaran terha-
peningkatan kemiskinan di negara tersebut. Pada dap tekanan inflasi yang timbul dari sisi struktural
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 71

tersebut. pada persamaan jangka panjang dapat teridentifika-


Terkait dengan karakteristik inflasi di Indonesia si, maka interpretasi atas koefisien tersebut adalah
sendiri, menurut Yanuarti (2007) dan Alamsyah serupa dengan metode regresi sederhana. Perbe-
(2008), derajat persistensi inflasi Indonesia relatif daannya adalah hanya terletak pada pernyataan
tinggi meskipun mengalami penurunan pada masa bahwa perubahan pada variabel eksogen pada Coin-
setelah krisis tahun 1997–1998. Seperti yang dinya- tegrating Coefficients adalah perubahan pada jangka
takan oleh Sbordone (2007), persistensi inflasi yang panjang. Meskipun demikian, penulis juga meng-
tinggi umumnya dikarenakan inflasi pada pere- gunakan metode Ordinary Least Squares (OLS) yang
konomian tersebut bersumber dari faktor-faktor bertujuan untuk robustness analysis. Selain itu, peng-
struktural (cost-push). Dengan demikian, kebijakan gunaan OLS juga bertujuan untuk memperoleh Beta
stimulasi sisi penawaran untuk mendorong produk- Coefficients yang dapat menjelaskan variabel mana
tivitas akan menurunkan harga makanan terutama yang memiliki pengaruh terbesar terhadap inflasi
pada jangka panjang. sebagai variabel endogen dalam model tersebut
Berdasarkan hal tersebut, penulis berusaha untuk (Schroeder et al., 1986).
mengidentifikasi sumber inflasi makanan di Indo- Dari sisi permintaan, deviasi jumlah uang beredar
nesia, apakah sumber itu dominan dipengaruhi dari dari nilai keseimbangannya (kelebihan uang/excess
sisi penawaran atau permintaan? Dengan mengiku- money) secara statistik tidak memengaruhi infla-
ti kerangka pemikiran oleh Zhang dan Law (2010), si makanan, baik itu pada hasil estimasi Johansen
penulis merepresentasikannya dengan Persamaan Cointegration maupun OLS. Hasil ini juga memper-
(3). tegas konklusi dari model SVAR kebijakan moneter,
yang menyatakan bahwa pergerakan jumlah uang
food
ηt  β0 β1 p y  y qt β2 mt
food
β3 yt
(3) beredar tidak memiliki pengaruh terhadap peru-
β4 pct et bahan inflasi makanan. Di sisi lain, peningkatan
permintaan total yang melebihi penawaran yang
mt  mt  mt (4) diproksi dengan variabel output gap secara statis-
mt  α0 α1 pt α2 yt α3 i t νt (5) tik signifikan memengaruhi inflasi makanan pada
estimasi Johansen Cointegration, namun tidak pada
ηfood yang bertindak sebagai variabel endogen da- metode OLS. Lebih lanjut, nilai koefisiennya yang
lam persamaan ini adalah tingkat inflasi kelompok sangat rendah menunjukkan bahwa peningkatan
makanan. Selanjutnya, p y  y q dan mt masing- permintaan tersebut tidak memberikan tekanan in-
masing merupakan output gap dan excess money. flasi yang tinggi (1% peningkatan output gap hanya
Kedua variabel tersebut merepresentasikan sisi per- meningkatkan inflasi makanan sebesar 0,03%). Hal
mintaan dari determinan inflasi. ini juga didukung oleh temuan dari Azis (2008)
Dengan mengikuti Zhang dan Law (2010), ou- bahwa kurva penawaran Indonesia relatif jauh le-
tput gap dan excess money merupakan deviasi dari bih landai dibandingkan dengan kurva permintaan.
masing-masing indikator dengan nilai ekuilibrium- Dengan kata lain, peningkatan permintaan tidak
nya. Nilai ekuilibrium output (potential output) di- akan menimbulkan peningkatan harga yang tinggi.
kalkulasikan dengan metode Hodrick-Presscott filter, Sisi penawaran menunjukkan hasil yang berbeda
sedangkan nilai ekuilibrium uang beredar dihitung dengan sisi permintaan. Kedua variabel yang me-
food
melalui Persamaan (4) dan (5). Variabel yt ada- wakili sisi penawaran, yaitu output makanan dan
lah output dari komoditas makanan dan pct adalah biaya produksi pangan, secara statistik signifikan
biaya produksi makanan. Kedua variabel terakhir memengaruhi inflasi makanan. Koefisien dari ke-
tersebut merepresentasikan determinan inflasi dari dua variabel tersebut pun relatif tinggi.
sisi penawaran. Hasil perhitungan ekonometri atas Pada metode estimasi Johansen Cointegration, pe-
Persamaan (3) tersebut dirangkum pada Tabel 3. ningkatan jangka panjang sebesar 1% pada output
Dengan menggunakan kerangka VAR, penulis makanan akan menurunkan inflasi makanan sebe-
menemukan bahwa metodologi yang sesuai untuk sar 1,72%, sedangkan peningkatan biaya produksi
diterapkan pada model ini adalah Johansen Coin- sebesar 1% akan meningkatkan inflasi makanan
tegration yang digunakan untuk melihat apakah sebesar 0,23%. Kedua hasil estimasi tersebut pun
terdapat hubungan jangka panjang antar-variabel kemudian dipertegas oleh nilai dari Beta Coefficients.
di dalam sistem VAR. Meskipun demikian, Johan- Dari keempat variabel determinan inflasi ini, output
sen (2002) menyatakan bahwa sepanjang koefisien makanan merupakan variabel yang memiliki pe-
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
72 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Tabel 3: Determinan Inflasi Makanan

Variabel Eksogen Estimasi A Estimasi B Koefisien β^


Efek Persisten (Konstanta) 0,037 1,519
(0,020) (1,139)
Output Gap 0,031*** 0,005 0,035
(0,005) (0,032)
Excess Money -0,141 -0,640 -0,144
(0,237) (0,843)
Output Makanan -1,715*** -1,064** -0,761
(0,608) (0,504)
Biaya Produksi Makanan 0,225*** 0,581** 0,663
(0,055) (0,279)
R-squared 0,715 0,617
Keterangan: ^ diperoleh dari estimasi B
Estimasi A: Johansen Cointegration
Estimasi B: Ordinary Least Squares
** signifikan pada taraf 5%
*** signifikan pada taraf 1%
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis

ngaruh terbesar terhadap inflasi makanan, diikuti an. Dengan menggunakan metodologi SVAR, hasil
oleh biaya produksi makanan. Hasil ini menunjuk- empiris menunjukkan adanya keterkaitan antara
kan bahwa fenomena inflasi makanan di Indonesia komponen pada inflasi itu sendiri, dalam hal ini
pada periode penelitian penulis lebih didominasi kelompok komoditas makanan dan non-makanan.
oleh sisi penawaran. Inflasi makanan memiliki pengaruh positif terha-
Berdasarkan hasil ini, maka penulis berpendapat dap inflasi non-makanan dan inflasi agregat, namun
bahwa kebijakan ekonomi yang lebih berperan un- tidak sebaliknya. Inflasi non-makanan sendiri ber-
tuk mendorong penurunan inflasi makanan adalah peran positif terhadap pergerakan inflasi agregat,
kebijakan yang mampu untuk mendorong pening- yang memberikan implikasi bahwa pengendalian
katan output makanan dan/atau menurunkan biaya inflasi di Indonesia relatif kompleks jika terjadi
produksi pangan. Menurut Sudaryanto (2011), salah peningkatan inflasi makanan.
satu kebijakan dalam jangka pendek adalah dengan Maka, kebijakan pengendalian inflasi yang efektif
melakukan impor pangan untuk memenuhi keku- terhadap kelompok barang makanan menjadi sa-
rangan suplai pangan. Meskipun demikian, penulis ngat penting. Penulis menemukan bahwa kebijakan
berpendapat bahwa kebijakan ini memiliki risiko moneter sebagai kebijakan yang diberikan kewe-
imported inflation jika terjadi kejutan perekonomian nangan dalam pengendalian inflasi ternyata tidak
dunia yang mendorong peningkatan harga pangan cukup efektif dalam menekan tingkat inflasi makan-
dunia. Penulis memandang bahwa kebijakan yang an. Di sisi lain, kebijakan ini mampu mengendalikan
lebih mendorong produktivitas pangan domestik inflasi non-makanan, yakni dengan kebijakan disin-
dan menjaga biaya produksi akan lebih efektif un- flasi dari BI melalui peningkatan suku bunga yang
tuk mengendalikan inflasi makanan. Kandidat dari akan menurunkan tingkat inflasi kelompok barang
kebijakan ini beberapa di antaranya adalah dengan ini. Karena adanya transmisi dari perubahan inflasi
meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur makanan ke non-makanan, maka jika terjadi kejutan
publik yang dapat memperlancar jalur distribusi se- inflasi makanan, sehingga kebijakan moneter diha-
kaligus menekan biaya distribusi, perluasan lahan rapkan tetap merespons kejutan tersebut. Merujuk
agrikultur, dan investasi pada sektor industri pa- dari hasil empiris penelitian ini, respons kebijakan
ngan yang dapat mendorong produktivitas pangan moneter tersebut dilakukan bukan dalam konteks
domestik. pengendalian inflasi makanan tetapi kepada inflasi
non-makanan, sehingga tidak memberikan second
round impact kepada inflasi agregat.
Kesimpulan Oleh sebab itu, penulis berkesimpulan bahwa
kebijakan moneter saja tidak cukup untuk secara
Penelitian ini menginvestigasi bagaimana penga- komprehensif mengontrol pergerakan inflasi ma-
ruh dari kebijakan moneter terhadap inflasi makan- kanan di Indonesia sehingga tidak dapat menjaga
JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74
Pratikto, R. & Ikhsan, M. 73

kemampuan daya beli masyarakat miskin secara Diakses dari http://www.rba.gov.au/publications/rdp/2005/


signifikan. Maka, penulis juga menganalisis lebih pdf/rdp2005-06.pdf. Tanggal akses 18 Desember 2016.
[10] Bernanke, B. S., & Mihov, I. (1998). Measuring Monetary
lanjut faktor-faktor apa saja yang menjadi deter- Policy. The Quarterly Journal of Economics, 113(3), 869–902.
minan inflasi makanan. Seperti hasil dari model DOI: https://doi.org/10.1162/003355398555775.
kebijakan moneter, penelitian ini memberikan buk- [11] Bernanke, B. S., Boivin, J., & Eliasz, P. (2005). Measuring
ti bahwa inflasi makanan lebih ditentukan oleh the Effects of Monetary Policy: A Factor-Augmented Vector
Autoregressive (FAVAR) Approach. The Quarterly Journal
faktor-faktor dari sisi penawaran. of Economics, 120(1), 387–422. DOI: https://doi.org/10.1162/
Dengan demikian, kebijakan moneter sebagai 0033553053327452.
kebijakan pengendalian inflasi sebaiknya dikalibra- [12] Brischetto, A., & Voss, G. (1999). A Structural Vector Auto-
regression Model of Monetary Policy in Australia. Research
sikan dengan kebijakan lain yang mampu mendo-
Discussion Paper, 1999-11. Economic Research Department –
rong faktor-faktor struktural sehingga akan lebih Reserve Bank of Australia. Diakses dari https://www.rba.
efektif mengendalikan inflasi makanan. Beberapa di gov.au/publications/rdp/1999/pdf/rdp1999-11.pdf. Tanggal
antaranya adalah dengan investasi pada sektor agri- akses 18 Desember 2016.
[13] Cheung, L., Szeto, J., Tam, C.-S., & Chan, S. (2008,
kultur dan perluasan lahan agrikultur yang dapat September). Rising Food Prices in Asia and Implications for
mendorong produktivitas pangan domestik. Selain Monetary Policy. Hong Kong Monetary Authority Quarterly
itu, peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruk- Bulletin. Diakses dari http://www.hkma.gov.hk/media/eng/
tur publik seperti jalan, pelabuhan, dan bandar publication-and-research/quarterly-bulletin/qb200809/
fa2 print.pdf. Tanggal akses 23 April 2015.
udara yang dapat memperlancar jalur distribusi [14] Enders, W. (2003). Applied Econometric Time Series, 2nd Edi-
juga sangat penting mengingat kondisi geografis tion. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Indonesia yang merupakan kepulauan. [15] Goeltom, M. S. (2008). The Transmission Mechanisms of
Monetary Policy in Indonesia. BIS Papers, 35, pp. 309–332.
Bank for International Settlements (BIS). Diakses dari http:
//www.bis.org/publ/bppdf/bispap35n.pdf. Tanggal akses 2
Daftar Pustaka September 2014.
[16] Granger, C. W. J., & Newbold, P. (1974). Spurious Regres-
[1] Affandi, Y. (2011). Unveiling Stubborn Inflation in Indone- sions in Econometrics. Journal of Econometrics, 2(2), 111–120.
sia. Economics and Finance in Indonesia, 59(1), 47–70. http://dx.doi.org/10.1016/0304-4076(74)90034-7.
[2] Agénor, P.-R., Izquierdo, A., & Jensen, H. T. (Eds.). (2007). [17] Harmanta. (2009). Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dam-
Adjustment Policies, Poverty, and Unemployment: The IMMPA paknya terhadap Persistensi Inflasi dan Strategi Disinflasi
Framework. Australia: Blackwell Publishing Ltd. di Indonesia: Dengan Model Dynamic Stochastic General
Equlibrium (DSGE). Disertasi. Program Pascasarjana Ilmu
[3] Agung, J. (1998). Financial Deregulation and the Bank
Lending Channel in Developing Countries: The Case of Ekonomi Universitas Indonesia.
[18] Johansen, S. (2002, October). The Interpretation of Coin-
Indonesia. Asian Economic Journal, 12(3), 273–294. DOI:
10.1111/1467-8381.00063. tegrating Coefficients in the Cointegrated Vector Autore-
gressive Model. Preprint No. 14. Department of Theoretical
[4] Alamsyah, H. (2008). Persistensi Inflasi dan Implikasinya
Terhadap Pilihan Kebijakan Moneter di Indonesia. Disertasi. Statistics University of Copenhagen.
[19] Kim, S., & Roubini, N. (2000). Exchange Rate Anomalies in
Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. the Industrial Countries: A Solution with a Structural VAR
[5] Anand, R., Ding, D., & Tulin, V. (2014). Food Infla- Approach. Journal of Monetary Economics, 45(3), 561–586.
tion in India: The Role for Monetary Policy. IMF http://dx.doi.org/10.1016/S0304-3932(00)00010-6.
Working Paper WP/14/78. International Monetary Fund. [20] Kusmiarso, B., Sukawati, E., Pambudi, S., Angkoro, D.,
Diakses dari https://www.imf.org//media/Websites/ Prasmuko, A., & Hafidz, I. S. (2002). Interest Rate Channel
IMF/imported-full-text-pdf/external/pubs/ft/wp/2014/ of Monetary Transmission in Indonesia. In Warjiyo P., &
wp14178.ashx. Tanggal akses 22 Maret 2015. Agung J. (Eds), Transmission Mechanism of Monetary Policy
[6] Azis, I. (2008). Macroeconomics Policy and Poverty. ADB in Indonesia, pp. 27–67. Direktorat Kebijakan Ekonomi dan
Institute Discussion Papers, 111. Tokyo: Asian Development Moneter Bank Indonesia.
Bank Institute. Diakses dari https://www.adb.org/sites/ [21] Moreno, R., & Villar, A. (2010). Inflation Expectations,
default/files/publication/156750/adbi-dp111.pdf. Tanggal Persistence and Monetary Policy. BIS Papers, 49, pp. 77–
akses 15 Februari 2015. 92. Bank for International Settlements (BIS). Diakses dari
[7] BPS. (2013). Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indo- http://www.bis.org/publ/bppdf/bispap49e.pdf. Tanggal ak-
nesia 2013. Jakarta: Badan Pusat Statistik. ses 8 Juli 2015.
[8] Bhattacharya, R., Rao, N., & Gupta, A. S. (2013). Under- [22] Pratikto, R., Ikhsan, M., & Mahi, B. R. (2015). Unequal
standing Food Inflation in India. ADB South Asia Working Impact of Price Changes in Indonesia. Economics and Finance
Paper Series, 26. Manila: Asian Development Bank. Diak- in Indonesia, 61(3), 180–195.
ses dari https://www.adb.org/sites/default/files/publication/ [23] Rosengren, E. S. (2011). A Look Inside a Key Economic Debate:
110974/south-asia-wp-026.pdf. Tanggal akses 11 Maret How Should Monetary Policy Respond to Price Increases Driven
2014. by Supply Shocks?. Remarks to the Massachusetts Chap-
[9] Berkelmans, L. (2005). Credit and Monetary Policy: An ter of NAIOP, the Commercial Real Estate Develop- ment
Australian SVAR. Research Discussion Paper, 2005-06. Eco- Association, May, 4. Federal Reserve Bank of Boston. Di-
nomic Research Department – Reserve Bank of Australia. akses dari https://www.bostonfed.org/-/media/Documents/

JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74


74 Inflasi Makanan dan Implikasinya...

Speeches/PDF/050411.pdf. Tanggal akses 29 April 2015.


[24] Sbordone, A. M. (2007). Inflation Persistence: Alter-
native Interpretation and Policy Implications. Federal
Reserve Bank of New York Staff Reports, 286. Diak-
ses dari https://www.newyorkfed.org/medialibrary/media/
research/staff reports/sr286.pdf. Tanggal akses 8 Juli 2015.
[25] Schroeder, L. D., Sjoquist, D. L., & Stephan, P. E. (1986).
Understanding Regression Analysis: An Introductory Guide.
Beverly Hills: Sage Publications.
[26] Sims, C. A., Stock, J. H., & Watson, M. W. (1990). Inferen-
ce in Linear Time Series Models with some Unit Roots.
Econometrica, 58(1), 113–144. DOI: 10.2307/2938337.
[27] Son, H. H. (2008). Has Inflation Hurt the Poor? Regional
Analysis in the Philippines. ERD Working Paper Series, 112.
Manila: Asian Development Bank (ADB).
[28] Son, H. H., & Kakwani, N. (2009). Measuring the Impact
of Price Changes on Poverty. Journal of Economic Inequality,
7(4), 395–410. DOI: 10.1007/s10888-008-9093-0.
[29] Sudaryanto, T. (2011). Policy Response to the Impact of Glo-
bal Food Crisis in Indonesia. Food and Fertilizer Techno-
logy Center (FFTC). Diakses dari http://www.agnet.org/
htmlarea file/library/20110726105258/eb624.pdf. Tanggal
akses 25 Februari 2015.
[30] UNDP. (2004). Indonesia Human Development Report 2004:
The Economics of Democracy: Financing Human Develop- ment
in Indonesia. BPS-Statistics Indonesia, Bappenas and UNDP
Indonesia. Diakses dari http://hdr.undp.org/sites/default/
files/indonesia 2004 en.pdf. Tanggal akses 21 Januari 2014.
[31] Walsh, J. P. (2011). Reconsidering The Role of Food Prices
in Inflation. IMF Working Paper, WP/11/71. Asia and Pacific
Department – International Monetary Fund.
[32] Yanuarti, T. (2007, October). Has Inflation Per-
sistence in Indonesia Changed? Bank Indonesia
Working Paper, WP/10/2007. Diakses dari http:
//www.bi.go.id/en/publikasi/lain/kertas-kerja/Documents/
8b2d297038da4581a81c587b2001df04WP200710.pdf.
Tanggal akses 20 Februari 2015.
[33] Zhang, W., & Law, D. (2010). What Drives China’s
Food-Price Inflation and How Does It Affect the Aggregate
Inflation? Hong Kong Monetary Authority Working Paper,
06/2010. Diakses dari http://www.hkma.gov.hk/media/
eng/publication-and-research/research/working-papers/
HKMAWP10 06 full.pdf. Tanggal akses 15 Februari 2014.

JEPI Vol. 17 No. 1 Juli 2016, hlm. 58–74

Anda mungkin juga menyukai