Anda di halaman 1dari 9

KEDUDUKAN HUKUM ANAK DAN HARTA BERSAMA DARI PEMBATALAN

PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM PERDATA INDONESIA

OLEH :

Nurventy Kristiani, SH.


Mahasiswa Magister Hukum Universitas Pembangunan Panca Budi Medan
Email : nurventy09@gmail.com

ABSTRAK

Perkawinan adalah hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang
memenuhi syarat-syarat tertentu. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu
sendiri, tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan dan
syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan dan apabila ada salah
satu syarat tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi tidak sah. Pembatalan perkawinan
dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya,
sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at Islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun
1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, “Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Kedudukan hukum anak dan harta
bersama dari pembatalan perkawinan tertuang dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau isteri yang beritikad baik kecuali
tehadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan berdasarkan adanya perkawinan lain
yang lebih dulu, dan pihak ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.

Kata Kunci : Perkawinan, Pembatalan Perkawinan, Kedudukan Anak dan Harta Bersama.
I. PENDAHULUAN
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah
melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan
perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan
ketenteraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.1
Perkawinan adalah hidup bersama antara seorang pria dengan seorang wanita yang
memenuhi syarat-syarat tertentu.2 Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu
sendiri, tanpa adanya salah satu rukun maka perkawinan tidak mungkin dilaksanakan.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam
perkawinan dan apabila ada salah satu syarat tidak dipenuhi maka perkawinan itu menjadi
tidak sah.
Rukun perkawinan menurut Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu calon
suami; calon istri; wali nikah; dua orang saksi; dan ijab qabul. Syarat-syarat Perkawinan
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:
“Pasal 6
1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2)
pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan, lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang dalam ayat (2),(3)
dan (4), pasal ini atau salah seorang atau di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut memberikan izin
setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini.

1
Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999, hal. 8.
2
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hal. 7.
6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.”
“Pasal 7
1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau Pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak
pria maupun pihak wanita.
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua
tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).”

Untuk syarat sahnya perkawinan menurut Undang-Undang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Di dalam perkawinan tersebut terdapat pula perkara-perkara perkawinan seperti
pencegahan perkawinan, perceraian, putusnya perkawinan, pembatalan perkawinan dan lain
sebagainya. Perkara -perkara tersebut timbul karena para pihak yang tersangkut dalam suatu
perkawinan itu tidak menjalankan hak dan kewajibannya dengan baik, sehingga berakibat
tujuan perkawinan yaitu mewujudkan keluarga yang kekal dan bahagia tidak tercapai.
Mengenai masalah pembatalan perkawinan, pembatalan perkawinan tersebut erat
kaitannya dengan ada tidaknya suatu perkawinan antara para pihak, sekalipun para pihak
telah hidup bersama, telah mempunyai keturunan, telah mempunyai harta kekayaan dan lain-
lain. Dalam pembatalan perkawinan, pada saat perkawinan itu belum dibatalkan perkawinan
tersebut sebenarnya sudah sah, tetapi kemudian terjadi hal - hal yang tidak memenuhi syarat
dalam perkawinan itu, seperti wali tidak sah, suami istri adalah saudara sesusuan dan lain
sebagainya yang menyebabkan perkawinan itu batal.
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Pembatalan Perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah tindakan pengadilan yang berupa keputusan yang
menyatakan perkawinan yang dilakukan itu dinyatakan tidak sah dan akibatnya ialah
bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Keputusan ini tidak ada upaya hukum
lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum
terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada. Dalam Pasal 27
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan
“Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut
hukum munakahat atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan
Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang
berkepentingan.”
Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu
Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau
di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Bagi mereka yang beragama
Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non
Islam di Pengadilan Negeri. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan
perkawinan adalah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami dan istri dan
orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut. Sesuai
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan, yaitu:

“Pasal 23
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap
orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan
tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau
kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at Islam,
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam Pasal 22
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan dapat
dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan
perkawinan.” Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini berarti
dapat difasidkan, jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan
berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran
terhadap aturan-aturan tertentu.3

3
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indoensia, Indonesia Center Publishing, Jakarta,
2002, hal. 25.
Pembatalan perkawinan diatur dalam bab IV Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Masalah pembatalan perkawinan berkaitan dengan berbagai pasal dan ketentuan
yaitu:

a. Pembatalan Perkawinan terkait dengan syarat dan rukun nikah.


b. Pembatalan Perkawinan terkait dengan masalah larangan perkawinan.
c. Menyangkut masalah perkawinan poligami.
d. Bahkan ada sangkut pautnya dengan pencatatan perkawinan yang diatur dalam
Bab II serta tata cara perkawinan yang terdapat dalam ketentuan Bab III
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.4

Dalam ajaran Islam, perkawinan itu tidaklah hanya sebagai suatu perjanjian biasa
melainkan merupakan suatu perjanjian suci, dimana kedua belah pihak dihubungkan
menjadi suami-istri.5 Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh yang
artinya merusakkan atau membatalkan. Dalam arti terminologis ditemukan beberapa
rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebagai berikut : “Pembatalan ikatan pernikahan oleh
Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan
Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum
pernikahan”. Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang
menjelaskan hakikat dari fasakh itu, yaitu, Pertama: kata “pembatalan” mengadung arti
bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Kedua: kata
“ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh
berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan perkawinan dan tidak terhadap yang
lainnya. Ketiga: kata “Pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau tempat
dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga Peradilan yang dalam hal ini
adalah Pengadilan Agama, bukan ditempat lain. Keempat: kata “berdasarkan tuntutan
istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan
yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”.6

4
Yahya Harahap. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7/ 1989, edisi ke dua,
Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hal 142.
5
Abdul Rohim, Kedudukan Hukum Perjanjian Sebagai Alasan Perceraian, Masalah-Masalah Hukum
Jilid 41, Universitas Diponegoro, Semarang, 2012, hal. 62.
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang
Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007, hal. 242.
B. Kedudukan Hukum Anak Dan Harta Bersama Dari Pembatalan Pernikahan
Berdasarkan Hukum Perdata Indonesia
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
batalnya suatu perkawinan dimulai setelah Putusan Pengadilan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan. Adanya keputusan
pengadilan tersebut berarti perkawinan dianggap tidak sah dan dengan sendirinya
dianggap tidak pernah kawin. Namun dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap sebagai
berikut;
a. Anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut agar
mempunyai status hukum yang jelas dan resmi sebagai anak dari orangtua
mereka.
b. Suami atau isteri yang beritikad baik kecuali tehadap harta bersama, apabila
pembatalan perkawinan berdasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dulu.
c. Pihak ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang
pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan tidak berlaku
surut, sehingga dengan demikian anak-anak ini dianggap sah, meskipun salah seorang
tuanya beritikad atau keduanya beritikad buruk. Dalam BW bila kedua orang tuanya
beritikad baik, atau salah seorang dari orang tuanya yang beritikad baik, maka anak
yang dilahirkan dalam perkawinan yang dibubarkan ini, disahkan. Sedangkan bagi
mereka yang kedua orang tuanya beritikad buruk, maka anank-anaknya dianggap anak
luar kawin, dan dianggap tidak ada perkawinan. Dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 lebih adil kiranya bahwa semua anak yang dilahirkan, dalam
perkawinannya yang dibatalkan, meskipun kedua orang tuanya beritikad buruk anak
tersebut masih anak sah.7

Bagi anak-anak yang orang tuanya telah dibatalkan perkawinannya mereka tetap
merupakan anak sah dari ibu dan bapaknya. Oleh karena itu anak-anak tetap menjadi

7
Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya
Perkawinan, Itikad Baik, Semarang, 1978, hal. 25.
anak sah, maka status kewarganegaraannya tetap memiliki warga negara bapaknya, dan
bagi warisan dan akibat perdata lainnya ia mengikuti kedudukan hukum orangtuanya.

Di lihat dari asal-usulnya harta suami istri itu dapat digolongkan pada tiga
golongan:8

1. Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum mereka


kawin baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka sendiri-sendiri atau
dapat disebut harta bawaan.
2. Harta masing-masing suami isteri yang dimilikinya sesudah mereka berada
dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari usaha mereka baik
seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi merupakan hibah, wasiat atau
warisan untuk masing-masing.
3. Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas
usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka atau disebut harta
pencarian.

Sedangkan dalam Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggariskan bahwa


pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena
perkawinan, adanya harta bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami dan isteri. Pasal 86 ayat (2) KHI menyatakan harta isteri tetap
menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi
hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

Bagi harta kekayaan bersama (gono-gini) merupakan harta bersama yang menjadi
milik bersama, hanya saja tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik,
bagaimanapun juga pihak yang beritikad baik harus diuntungkan, bahkan bagi pihak
yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian-kerugian termasuk bunga-
bunga harus ditanggung.

Segala perikatan hukum di bidang keperdataan yang dibuat oleh suami-isteri


sebelum pembatalan perkawinan adalah perikatan yang sah dan dapat dilaksanakan
kepada harta perkawinan atau dipikul bersama oleh suami isteri yang telah dibatalkan
perkawinannya secara tanggung-menanggung, baik terhadap harta bersama maupun
terhadap harta kekayaan masing-masing.

8
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 2009, hal. 83.
Adapun dalam Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa akibat hukum
terhadap pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad,
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut,
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik,
sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kedudukan hukum yang
tetap.

Pada Pasal 76 disebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan
hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Terpapar jelas bahwa di dalam
Kompilasi Hukum Islam secara eksplisit mengandung dua pengertian pembatalan
perkawinan, yaitu perkawinan batal demi hukum seperti yang termuat pada Pasal 70 dan
perkawinan yang dapat dibatalkan (relatif) seperti yang terdapat pada Pasal 71. Dan
pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang telah mereka
lahirkan seperti yang termuat pada Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam.

III. KESIMPULAN
1. Pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau
kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at
Islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan
dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.”
2. Pihak yang dapat mengajukan pembatalan pernikahan tertuang dalam Pasal 23
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu Para keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; Suami atau isteri; Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; dan Pejabat yang
ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
3. Kedudukan hukum anak dan harta bersama dari pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut, hal itu telah diatur dan dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku
surut terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau isteri
yang beritikad baik kecuali tehadap harta bersama, apabila pembatalan perkawinan
berdasarkan adanya perkawinan lain yang lebih dulu, dan pihak ketiga lainnya tidak
termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad
baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Rohim, Kedudukan Hukum Perjanjian Sebagai Alasan Perceraian, Masalah-Masalah Hukum
Jilid 41, Universitas Diponegoro, Semarang, 2012.

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang
Perkawinan, Kencana, Jakarta, 2007.

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indoensia, Indonesia Center Publishing, Jakarta,


2002.

Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1999.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta, 2009.

Wibowo Reksopradoto, Hukum Perkawinan Nasional Jilid II Tentang Batal dan Putusnya
Perkawinan, Itikad Baik, Semarang, 1978.

Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984.

Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7/ 1989, edisi ke
dua, Sinar Grafika, Jakarta, 2001.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Kompilasi Hukum Islam.

Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975.

Anda mungkin juga menyukai