Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Ketoasidosis Diabetikum


Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan
metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis yang
dapat menyebabkan koma diabetik.(1) KAD merupakan komplikasi akut
diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi
(300-600 mg/dl) , disertai tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+).(2)
KAD juga didefinisikan sebagai kondisi yang mengancam jiwa yang
disebabkan penurunan kadar insulin efektif di dalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan peningkatan produksi hormon-hormon kontra
regulator yakni glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone.(3)

Gambar 1. Trias Ketoasidosis Diabetikum

1
2.2 Epidemiologi
Laju insidens tahunan KAD diperkirakan antara 4,6 sampai 8 per 1000
pasien dengan diabetes. Sedangkan insidens DMT2 sendiri di Indonesia,
diperkirakan berkisar antara 6-8% dari total penduduk.(4) Tingkat kematian
telah turun secara signifikan dalam 20 tahun terakhir dari 7,96% menjadi
0,67%. Tingkat kematian masih tinggi di negara berkembang dan di antara
pasien yang tidak dirawat di rumah sakit. Tingkat kematian yang tinggi ini
menggambarkan perlunya diagnosis dini dan pelaksanaan program pencegahan
yang efektif.(5)

2.3 Etiologi
Insulin Dependen Diabetes Melitus (IDDM) atau Diabetes Melitus tipe 1
yang disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas akibat proses autoimun.
Sedangkan Non Insulin Dependen Diabetik Melitus (NIDDM) atau diabetes
melitus tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel B dan resistensi insulin.
Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghabat produksi
glukosa oleh hepar. Seb B tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini
sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini
terlihat dari kurangnya sekresi insulin pada perangsangan sekresi insulin,
berarti sel B pangkreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa.(6)
Pada DM tipe 1 timbul tidak hanya akibat adanya gen yang rentan diabetes
(diabetes susceptibility gene), akan tetapi juga terdapat faktor lingkungan yang
tidak diketahui yang dapat mencetuskan proses autoimun. Data dari berbagai
penelitian menyatakan bahwa peran faktor lingkungan dalam patogenesis
diabetes masih kontroversial. Faktor lingkungan yang dianggap berperan antara
lain, pemberian susu sapi sebelum usia 2 tahun, infeksi virus (virus coxsackie
B, cytomegalovirus, mumps dan rubella), dan defisiensi vitamin D.
Kemungkinan mekanisme untuk mulainya respons autoimun virus mencakup
cedera sel beta langsung melalui infeksi virus, reaktivitas silang antibodi, dan
aktivasi poliklonal limfosit B.Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling

2
sering untuk KAD, namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan
penghentian atau kurangnya dosis insulin dapat menjadi faktor pencetus
penting. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pasien menghentikan
penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan, ketakutan
hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit kronik
juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD.(4)
KAD dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu akibat hiperglikemia dan
akibat ketosis, yang sering dicetuskan oleh faktor-faktor antara lain infeksi,
kepatuhan minum obat diabetes atau insulin yang kurang, penderita tidak
mengerti jika menderita DM, stress fisik dan emosional, respon hormonal
terhadap stress mendorong peningkatan proses katabolik, penyakit lainnya
yang mendorong stress dan katabolik (infark miokardium, cedera otak, trauma,
kehamilan, pembedahan, akromegali, abses gigi), idiopatik.

2.4 Karakertistik Ketoasidosis Diabetikum


Ketoasidosis mempunyai karakteristik atau trias yaitu hiperglikemia,
asidosis dan ketosis. Pada hiperglikemia, kekurangan insulin menyebabkan
glukosa dalam darah tidak dapat digunakan oleh sel untuk metabolisme karena
glukosa tidak dapat memasuki sel, akibatnya kadar glukosa dalam darah
meningkat (hiperglikemia). Pada saat anak sakit walaupun tidak makan,
didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis sehingga tetap terjadi
hiperglikemia. Sedangkan asidosis dan ketosis terjadi karena kekurangan
insulin dan peningkatan hormon kontra-regulasi meningkatkan lipolisis pada
jaringan adiposa dan menghambat lipogenesis, yang menyebabkan pelepasan
asam lemak dan gliserol meningkat. Hepar dirangsang oleh glukagon untuk
mengoksidasi asam lemak bebas ke badan keton seperti adalah 3-beta
hidroksibutirat dan asetoasetat. Produksi keton melebihi kemampuan jaringan
untuk memanfaatkannya, sehingga ketonaemia. Tubuh keton sepenuhnya
terdisosiasi menjadi anion keton dan ion hidrogen. Tubuh mencoba
mempertahankan pH ekstraselular dengan mengikat ion hidrogen dengan ion
bikarbonat sehingga menghabiskan cadangan alkali menyebabkan asidosis

3
berkembang. Sistem pernapasan akan mengkompensasi asidosis dengan
meningkatkan kedalaman dan laju pernapasan untuk menghembuskan lebih
banyak karbon dioksida sehingga disebut respirasi Kussmaul. Napasnya berbau
buah seperti aseton karena keton aseton dihembuskan. Ginjal mengeluarkan zat
keton (ketonuria), dan sejumlah besar tumpahan glukosa ke dalam urin yang
menyebabkan diuresis osmotik, dehidrasi dan hemokonsentrasi. Hal ini pada
gilirannya menyebabkan iskemia jaringan dan peningkatan produksi asam
laktat yang memperburuk asidosis. Peningkatan asidosis menyebabkan enzim
menjadi tidak efektif dan metabolisme melambat. Bahkan lebih sedikit keton
yang dimetabolisme dan asidosis memburuk. Asidosis dapat menyebabkan
hipotensi karena efek vasodilasinya dan efek negatif pada kontraktilitas
jantung.

2.5 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetikum


Defisiensi insulin relatif akan terjadi akibat konsentrasi hormon kontra
regulator yang meningkat sebagai respon terhadap beberapa kondisi, hal ini
merupakan dampak dari tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan
sendiri suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes melitus,
mendapatkan infeksi atau penyakit berat lainnya seperti kematian otot jantung
stroke, dan sebagainya. Faktor-faktor pemicu tersebut akan menyebabkan
gangguan-gangguan metabolik yang ditemukan pada KAD adalah tergolong
konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.
Ketoasidosis terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin karena
dipakainya jaringan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi. Kombinasi dari
defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan kadar hormon kontra
regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, hormon pertumbuhan, dan
somatostatin) ini akan mengakibatkan akselerasi kondisi katabolik dan
inflamasi berat dengan peningkatan produksi glukosa oleh hati dan ginjal
(melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis) dan gangguan penggunaan
glukosa di perifer yang berakibat hiperglikemia dan hiperosmolaritas.
Defisiensi insulin dan peningkatan hormon kontra regulator terutama epinefrin

4
juga mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak yang
mengakibatkan peningkatan lipolisis. Peningkatan lipolisis dan ketogenesis
akan memicu ketonemia asidosis metabolik dan ketonuria. Populasi benda
keton utama terdiri dari 3-beta hidroksibutirat, asetoasetat dan aseton. Sekitar
75-85% benda keton terutama adalah 3-beta hidroksibutirat, sementara aseton
sendiri sebenarnya tidak terlalu penting. Walaupun sudah dibentuk banyak
benda keton untuk sumber energi, sel-sel tubuh tetap masih kekurangan dan
terus membentuk glukosa. Hiperglikemia dan hiperketonemia mengakibatkan
diuresis osmotik, dehidrasi, dan kehilangan elektrolit. Perubahan tersebut akan
memicu lebih lanjut hormon stres sehingga akan terjadi perburukan
hiperglikemia dan hiperketonemia. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa
yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan mengeksresikan glukosa
air
bersama-sama dan elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik
yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan menyebabkan
dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Penderita KAD yang berta dapat
kehilangan kira-kira 6,5L air dan sampai 400-500 mEq natrium, kalium serta
klorida selama periode waktu 24 jam. Jika permasalah tersebut tidak
diberhentikan dengan pemberian insulin dan cairan, maka akan terjadi
dehidrasi berat dan asidosis metabolik yang fatal. Ketoasidosis akan diperburuk
oleh asidosis laktat akibat perfusi jaringan yang buruk.(7) Selain itu ketoasidosis
diabetikum sering terjadi komplikasi edema serebral (lebih sering terjadi pada
pasien ketoasidosis diabetikum anak-anak), koma atau kematian. (8)
Selain itu terjadi glikosuria akan menyebabkan diures osmotik, yang
menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium, kalium, kalsium,
magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi terjadi dan akan menimbulkan
uremia pra renal dan dapat menimbukan syok hipovolemik. Asidosis metabolik
yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh pernapasan kussmaul.
Gejala muntah juga bisa sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan
air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian
dari siklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk
membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal.

5
Gambar 2. Patofisiologi KAD

2.6 Penegakkan Diagnosis (15)


Pada pasien dengan KAD, nausea vomitus merupakan salah satu tanda dan
gejala yang sering diketemukan. Nyeri abdominal terkadang dapat
diketemukan pada pasien dewasa (lebih sering pada anak-anak) dan dapat
menyerupai akut abdomen (tabel 1). Meskipun penyebabnya belum dapat
dipastikan, dehidrasi jaringan otot, penundaan pengosongan lambung dan ileus
oleh karena gangguan elektrolit serta asidosis metabolik telah diimplikasikan
sebagai penyebab dari nyeri abdominal. Asidosis, yang dapat merangsang

6
pusat pernapasan medular, dapat menyebabkan pernapasan cepat dan dalam
(Kussmaul).

Tabel 1. Frekuensi dan lama gejala dengan KAD sedang sampai berat.
Gejala Frekuensi,Persentasi Lama Gejala, Mean ±
Admisi SD, hari
Poliuria 75,2 22,3 ± 33,6
Polidipsia 74,4 23,1 V 33,9
Polifagia 33,1 26,3 ± 34,2
Penurunan berat 42,1 89,9 ± 97,7
Nausea 83,4 3,2 ± 3,1
Vomitus 78,5 3,1 ± 3,1
Nyeri abdomen 51,2 3,4 ± 3,3

Tabel 1 menunjukkan frekuensi dan lama gejala dari pasien yang dirawat
oleh karena KAD sedang sampai berat, berdasarkan studi ini nampaknya KAD
juga timbul secara bertahap. Gejala-gejala seperti poliuria, polidipsia dan
polifagia yang khas sebagai bagian dari diabetes tak terkontrol nampaknya
sudah timbul selama tiga sampai empat minggu sebelumnya dan pada beberapa
kasus dua bulan sebelum. Begitu pula dengan penurunan berat badan yang
bahkan telah timbul lebih lama lagi, yakni tiga sampai enam bulan sebelum
dengan rata-rata penurunan 13 kg. Patut diperhatikan gejala-gejala akut yang
timbul dalam waktu singkat, seperti nausea vomitus dan nyeri abdomen, di
mana dapat dijadikan sebagai peringatan untuk pasien bahwa dirinya sedang
menuju ke arah KAD.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan temuan-temuan lain seperti bau
napas seperti buah atau pembersih kuteks (aseton) sebagai akibat dari ekskresi
aseton melalui sistem respirasi dan tanda-tanda dehidrasi seperti kehilangan
turgor kulit, mukosa membran yang kering, takikardia dan hipotensi. Status
mental dapat bervariasi mulai dari kesadaran penuh sampai letargi yang berat;

7
meskipun demikian kurang dari 20% pasien KAD yang diperawatan dengan
penurunan kesadaran.
Pemeriksaan laboratorium termudah dan terpenting setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik adalah penentuan kadar glukosa darah dengan glukometer
dan urinalisis dengan carik celup untuk menilai secara kualitatif jumlah dari
glukosa, keton, nitrat dan esterase leukosit di urin.
Evaluasi laboratorium awal pada pasien dengan kecurigaan KAD harus
melibatkan penentuan segera analisa gas darah, glukosa darah dan urea
nitrogen darah, penentuan elektrolit serum,osmolalitas, kreatinin dan keton;
dilanjutkan pengukuran darah lengkap dengan hitung jenis. Kultur bakterial
urin, darah dan jaringan lain harus diperoleh dan antibiotika yang sesuai harus
diberikan apabila terdapat kecurigaan infeksi. Pada anak-anak tanpa penyakit
jantung, paru dan ginjal maka evaluasi awal dapat dimodifikasi, sesuai
penilaian klinisi, dengan pemeriksaan pH vena untuk mewakili pH arteri.
Pemeriksaan rutin untuk sepsis dapat dilewatkan pada kanak-kanak, kecuali
diindikasikan oleh penilaian awal, oleh karena pencetus utama KAD pada
kelompok usia ini adalah penghentian insulin.

Table 2. Kriteria diagnostik American Diabetes Association untuk tingkat


keparahan KAD.(7,8)
Ringan Sedang Parah
Glukosa >250mg/dl >250mg/dl >250mg/dl
plasma
pH arteri 7,25-7,30 7,00 sampai 7,24 <7,00
Serum 15-18 10 sampai <15 <10
bikarbonat
(mEq/l)
Keton urin Positif Positf Positif
Keton serum Positif Positif Positf
Anion gap >10 >12 >12

8
Status mental Gelisah Gelisah/mengantuk Stupor/coma

Pada tabel 2 memberikan gambaran ringkas mengenai kriteria biokimiawi


untuk diagnosis dan klasifikasi empirik KAD. Kriteria diagnosis KAD yang
paling luas digunakan adalah kombinasi dari glukosa darah >250 mg/dL, pH
arteri 10-12 mEq/L telah mengindikasikan adanya asidosis dengan peningkatan
gap anion. Oleh karena konsentrasi kalium dapat dipengaruhi oleh gangguan
asam basa dan cadangan kalium total tubuh, maka biasanya tidak disertakan
dalam perhitungan gap anion. Gap anion normal telah dilaporkan berkisar
diantara nilai 12 mEq/L dan nilai di atas 14-15 mEq/L telah dianggap sebagai
indikasi asidosis metabolik dengan peningkatan gap anion. Namun,
kebanyakan laboratorium saat ini menghitung natrium dan klorida
menggunakan elektroda spesifik ion,sehingga konsentrasi klorida plasma
terhitung lebih tinggi 2-6 mEq/L dibandingkan metoda sebelumnya; sehingga
gap anion normal terkini dilaporkan berkisar antara 7-9 mEq/L. Dengan
menggunakan nilai-nilai ini, maka gap anion >10-12 mEq/L telah
mengindikasikan adanya asidosis dengan peningkatan gap anion.
Kalkulasi kimia dalam serum:

9
Sebagai catatan, walaupun kriteria diagnosis untuk KAD baik diterapkan
pada penelitian klinis, namun pada prakteknya kriteria ini dapat menjadi
terlampau sempit.
Selain itu patut diperhatikan bahwa sepertiga pasien KAD datang dengan
hiperosmolaritas, dan penurunan kesadaran yang lebih terkait dengan
hiperosmolaritas ini dibandingkan dengan derajat asidemia.Pemeriksaan
diagnosis yang mampu membedakan dengan baik antara KAD dan KHH,
terlepas dari pH darah dan osmolaritas, adalah pemeriksaan keton urin. Kasus-
kasus dengan KAD keton urin selalu positif, seorang klinisi harus
mempertanyakan diagnosis KAD bila keton urin negatif, juga sebaliknya pada
kasus KHH bila keton urin positif maka lebih baik pasien ditegakkan diagnosis
sebagai KAD. (7,9)
. Klasifikasi ini harus disertai dengan pengertian dan pengenalan akan
kondisi penyerta pasien yang dapat mempengaruhi prognosis dan kebutuhan
terapi intravena untuk hidrasi.
Penilaian ketonuria dan ketonemia merupakan kunci diagnostik utama
KAD dan biasanya dilakukan dengan reaksi nitroprusida. Meskipun demikian,
reaksi nitroprusida hanya memberikan perkiraan semikuantitatif kadar
asetoasetat dan aseton. Reagen ini meremehkan derajat keberatan ketoasidosis
oleh karena tidak dapat mengenali keberadaan beta-hidroksibutirat, yang
merupakan asam ketoat utama di dalam KAD. Oleh karena itu, apabila
mungkin, pengukuran betahidroksibutirat secara langsung, yang sudah jamak
ditemukan di rumah sakit, lebih disarankan dalam menegakkan diagnosis
KAD.
Pada beberapa kasus, diagnosis KAD dapat dipersulit oleh adanya
kelainan asam basa lainnya. Kadar pH darah dapat normal ataupun meningkat,
tergantung dari derajat kompensasi pernapasan dan adanya alkalosis metabolik
dari muntah yang sering atau pemakaian diuretik. Konsentrasi glukosa darah
juga dapat normal atau hanya sedikit meningkat pada 15% pasien dengan KAD
(kadar glukosa <300mg/dl) terutama pada pasien alkoholik atau telah
menerima suntikan insulin sebeblumnya. Sebagai tambahan, variabilitas luas

10
dalam tipe asidosis metabolik juga telah dilaporkan. Pada sampai sebesar 46%
pasien dengan KAD dilaporkan mempunyai asidosis gap anion tinggi, 43%
dengan asidosis gap anion campuran dan 11% hanya mempunyai asidosis
metabolik hiperkloremik.
Konsentrasi natrium serum saat masuk perawatan biasanya rendah pada
pasien KAD, oleh karena adanya fluks osmotik air dari kompartemen
intraselular ke ekstraselular pada keadaan hiperglikemia. Untuk menilai
keberatan defisit natrium dan air, natrium serum dapat dikoreksi dengan
menambahkan 1,6 mEq pada kadar natrium serum terukur untuk setiap
peningkatan glukosa darah 100 mg/dL di atas 100 mg/dL.
Konsentrasi kalium serum pada saat masuk perawatan biasanya meningkat
oleh karena adanya pergeseran kalium intraselular ke ekstraselular sebagai
akibat dari asidemia, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Pada sisi lain, pasien
KHH biasanya mempunyai kadar natrium yang normal atau sedikit meningkat
oleh karena dehidrasi berat. Pada keadaan ini, konsentrasi sodium serum
terkoreksi dapat menjadi sangat tinggi. Konsentrasi fosfat serum saat masuk
perawatan pada KAD dapat pula meningkat walaupun dengan penurunan fosfat
tubuh total.
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) pada saat masuk perawatan sangat
berharga di dalam penatalaksanaan pasien dengan KAD. Beberapa keadaan
seperti hipokalemia, hiperkalemia, hipokalsemia, hiperkalsemia dan
hipomagnesemia dapat terdiagnosis dengan EKG. Selain itu EKG juga penting
untuk menyingkirkan infark miokard akut yang dapat terjadi dengan keluhan
klinis tidak jelas pada pasien dengan diabetes mellitus dan juga sering
menyebabkan KAD.

2.7 Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum (7,8)


Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut DM tipe 1 yang
disebabkan oleh kekurangan insulin. Sering ditemukan pada penderita DM tipe
1 tidak patuh jadwal dengan suntikan insulin, pemberian insulin dihentikan
karena anak tidak makan/sakit, kasus baru DM tipe 1 Kekurangan insulin

11
menyebabkan glukosa dalam darah tidak dapat digunakan oleh sel untuk
metabolisme karena glukosa tidak dapat memasuki sel, akibatnya kadar
glukosa dalam darah meningkat (hiperglikemia). Pada anak sakit walaupun
tidak makan, didalam tubuh tetap terjadi mekanisme glukoneogenesis sehingga
tetap terjadi hiperglikemia. Benda keton yang terbentuk karena pemecahan
lemak disebabkan oleh ketiadaan insulin. Akumulasi benda keton ini
menyebabkan terjadinya asidemia, dan asidemia ini dapat menimbulkan ileus,
menurunkan kemampuan kompensasi terhadap poliuria, dan menimbulkan
diuresis osmotik menyebabkan terjadinya dehidrasi berat. Makin meningkatnya
osmolaritas karena hiperglikemia dan asidosis yang terjadi, menyebabkan
penurunan fungsi otak sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran.Oleh karena
itu pada penderita KAD ditemukan berbagai tingkatan dehidrasi,
hiperosmolaritas, dan asidosis. Bila tidak segera ditangani dengan tepat maka
angka kematian karena KAD cukup tinggi.
Namun demikian pendekatan yang paling baik adalah melakukan
pencegahan, agar penderita DM tipe 1 tidak jatuh dalam KAD yaitu dengan
disiplin memberikan insulin sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Oleh karena
itu pemberian insulin merupakan terapi yang berpengaruh pada penderita DM
tipe 1 baik dalam keadaan biasa maupun dalam keadaan sakit. Pada KAD,
insulin merupakan farmakoterapi penyebab utama KAD. Insulin yang
diberikan adalah jenis kerja pendek dan mudah di filtrasi (short acting –
Humulin R atau Actrapid).
Dari beberapa studi prospektif dengan randomisasi didapatkan bahwa
pemberian insulin regular dosis rendah intravena merupakan cara yang efektif
dan terpilih. Insulin diberikan secara berkelanjutan melalui intra vena dosis
kecil 0,1 U/kgBB/jam dalam jalur infus tersendiri (sebaiknya menggunakan
syringe pump atau infusion pump agar pemberiannya tepat). Jika dosis insulin
intravena yang diberikan sekitar 0,1-1,15 unit/jam, maka sebenarnya tidak
diperlukan insulin bolus (priming dose) di awal. Dengan pemberian insulin
intravena dosis rendah diharapkan terjadi penurunan glukosa plasma dengan
kecepatan 50-100 mg/dL, lalu kecepatan insulin diturunkan menjadi 0,02-0,05

12
unit/kgBB/jam. Jika glukosa sudah berada di sekitar 150-200 mg/dL maka
pemberian infus dekstrose dianjurkan untuk mencegah hipoglikemia.(7)
Untuk lebih memperbaiki hiperglikemia, insulin harus ditambahkan ke
cairan intravena satu sampai dua jam setelah cairan dimulai. Bolus awal 0,1
unit/kg harus diberikan dengan infus 0,1 unit/kg/jam.(10) Beberapa percaya
bahwa bolus ini tidak diperlukan selama infus insulin yang memadai
dipertahankan.31 Infus 0,14 unit/kg/jam dianjurkan dengan tidak adanya bolus.
Tingkat glukosa harus turun sekitar 50-70 mg/dL (2,77 sampai 3,89
mmol/L)/jam, dan infus insulin harus disesuaikan untuk mencapai tujuan ini.(10)
Begitu kadar glukosa turun sampai 200 mg/dL, infus insulin tingkat harus
diturunkan menjadi 0,05-0,1 unit/kg/jam, dan dekstrosa harus ditambahkan ke
cairan intravena untuk mempertahankan tingkat glukosa antara 150-200 mg/dL
(8,32 dan 11,10 mmol per L).(10) Insulin subkutan adalah alternatif yang efektif
untuk insulin intravena pada orang dengan KAD yang tidak rumit.(11) Dalam
satu percobaan acak prospektif terhadap 45 orang, 15 menerima insulin aspart
(Novolog)/jam, 15 menerima insulin aspart setiap dua jam, dan 15 menerima
infus standar insulin reguler. Hasil fisiologis dan klinis identik pada ketiga
kelompok tersebut.(12)
Metaanalisis mendukung pemberian analog insulin cepat insulin subkutan,
seperti lispro (Humalog), setiap jam (bolus 0,3 unit/kg, kemudian 0,1 unit/kg)
atau dua jam (bolus dari 0,3 unit/kg, kemudian 0,2 satuan/kg) sebagai alternatif
yang masuk akal untuk insulin reguler intravena untuk mengobati KAD yang
tidak rumit.(11) KAD dipecahkan bila kadar glukosa kurang dari 200 mg/dL, pH
lebih besar dari 7,3, dan tingkat bikarbonat adalah 18 mEq/L atau lebih
tinggi.(10) Begitu tingkat ini tercapai dan cairan oral dapat ditoleransi, pasien
dapat dimulai dengan rejimen insulin yang mencakup insulin intermediate atau
longacting dan insulin short atau rapid acting. Bila insulin intravena
digunakan, harus tetap berada di tempat selama satu sampai dua jam setelah
insulin subkutan dimulai. Orang yang diketahui memiliki diabetes dapat
dimulai dengan dosis rawat jalan mereka, dengan penyesuaian untuk

13
memperbaiki kontrol. Mereka yang baru menerima insulin harus menerima 0,5
sampai 0,8 mg/kg/hari dalam dosis terbagi.(13)
Bila pada penilaian pendahuluan terhadap pasien ditemukan tanda-tanda
renjatan, segera lakukan penanganan renjatan sesuai standar (pemberian cairan
10–20 ml/kgBB/dalam 1-2 jam). Setelah teratasi, jumlah cairan yang diberikan
ditambahkan pada cairan rumatan yang diperhitungkan untuk pemberian
selama 36–48 jam ke depan, sesuai protokol KAD. Pemberian cairan yang
tepat baik dalam tonisitas, jumlah, dan kecepatan pemberian juga mampu
menurunkan kadar gula darah. Pemantauan harus dilakukan dengan cermat dan
gangguan elektrolit harus di atasi dengan baik. Kadar Na yang terukur saat
diagnosis KAD ditegakkan bukanlah kadar Natrium yang sebenarnya karena
keadaan hiperglikemia dan hiperlipidemia yang terjadi pada kondisi KAD akan
menarik cairan dari dalam sel sehingga mengencerkan kadar Natrium dalam
darah.
Bila angka koreksi natrium masih dalam kisaran hipernatremia,
mengindikasikan bahwa ruang intraseluler sangat hiperosmoler dan ini
menunjukkan masih terjadi dehidrasi berat. Angka koreksi natrium juga dapat
menunjukkan kecepatan rehidrasi. Penurunan yang drastis kadar natrium
sesungguhnya, memperlihatkan cairan yang diberikan terlalu cepat dan perlu
di perlambat. Asidosis yang ditemukan pada KAD seringkali sudah amat berat
(pH< 7,1), Natrium bikarbonat sebaiknya hanya diberikan bila pH darah
mencapai < 7,1 karena pada nilai pH yang serendah itu bisa terjadi gagal organ
yang mengancam jiwa. Pemberian koreksi Natrium bikarbonat sebaiknya
dilakukan per drip.
Kesuksesan pengelolaan KAD membutuhkan koreksi terhadap dehidaras,
hiperglikemia, gangguan elektrolit, komorbiditas, dan monitoring selama
perawatan. Karena spektrum klinis sangan beragam makan tidak semua kasus
KAD harus dirawat di ICU, hanya saja karena kasus yang ringan sekalipun
membutuhkan monitor yang intensif, maka sebaiknya minimal perawatan
adalah di ruangan yang bisa dilakukan monitor intensif (high care unit).(7)

14
Secara umum pemberian cairan adalah langkah awal penatalaksanaan
KAD setelah resusitasi kardiorespirasi. Terapi cairan ditunjukkan untuk
ekspansi cairan intraselulear, intravaskular, interstitial dan restorasi perfusi
ginjal. Jika tidak ada masalah kardiak atau penyakit ginjal kronik berat, cairan
salin isotonik (NaCl 0,9%) diberikan dengan dois 15-20 cc/kgBB/jam pertama.
Tindak lanjut cairan pada jam-jam berikutnya tergantung pada keadaan
hemodinamik, status hidrasi, elektrolit, dan produksi urin. Penggantian cairan
dapat dilakukan sampai dengan 24 jam dan penggantian cairan sangan
mempengaruhi pencapaian target gula darah, hilangnya benda keton, dan
perbaikan asidosis.(7)
Sejatinya pasien KAD akan mengalami hiperkalemia melalui mekanisme
asidemia, defisiensi insulin dan hipertonisitas. Jika saat masuk kalium pasien
normal atau rendah, maka sesungguhnya terdapat defisiensi kalium yang berat
di tubuh pasien sehingga butuh pemberian kalium yang adekuat karena terapi
insulin akan menurunkan kalian lebih lanjut. Monitor jantung perlu dilakukan
pada keadaan tersebut agar jangan terjadi aritmia. Untuk mencegah
hipokalemia maka pemberian kalium sudah dimulai manakala kadar kalium di
sekitar batas nilai normal.(7)
Meskipun kalium benar-benar habis pada orang dengan KAD, penurunan
kadar insulin, asidosis, dan deplesi volume menyebabkan peningkatan
konsentrasi ekstraselular. Kadar potassium harus dipantau setiap dua sampai
empat jam pada tahap awal KAD. Hidrasi saja akan menyebabkan kalium turun
karena pengenceran. Peningkatan perfusi ginjal akan meningkatkan ekskresi.
Terapi insulin dan koreksi asidosis akan menyebabkan serapan serapan kalium.
Jika kadar kalium berada dalam kisaran normal, penggantian bisa dimulai pada
10-15 mEq kalium/jam. Selama pengobatan KAD, tujuannya adalah untuk
menjaga kadar kalium serum antara 4 dan 5 mEq/L (4-5 mmol/L). Jika kadar
kalium antara 3,3 dan 5,2 mEq/L (3,3-5,2 mmol/L) dan output urin normal,
penggantian bisa dimulai pada 20-30 mEq kalium/jam. Jika kadar kalium lebih
rendah dari 3,3 mEq/L, insulin harus ditahan dan penggantian harus dimulai
pada 20-30 mEq kalium/jam. Jika kadar kalium lebih besar dari 5,2 mEq/L,

15
terapi insulin tanpa penggantian kalium harus dimulai, dan kadar kalium serum
harus diperiksa setiap dua jam. Bila kadar kalium antara 3,3 dan 5,2 mEq/L,
penggantian kalium harus dimulai.(10) Beberapa panduan merekomendasikan
penggantian kalium dengan kalium klorida, sementara yang lain
merekomendasikan penggabungannya dengan kalim fosfat atau kalium asetat.
Percobaan klinis kurang menentukan mana yang terbaik, meski dalam
menghadapi penipisan fosfat, kalium fosfat digunakan.(13)
Jika asidosis memang murni karena KAD, maka koreksi bikarbonat tidak
direkomendasikan diberkan rutin, kecuali jika pH darah kurang dari 6,9. Hanya
saja pada keadaan dengan gangguan fungsi ginjalyang signifikan seringkali
sulit membedakan apakah asidosisnya karena KAD atau karena gagal
ginjalnya. Efek buruk dari koreksi bikarbonat yang tidak pada tempatnya
adalah meningkatnya risiko hipokalemia, menurunnya asupan oksigen
jaringan, edema serebri dan asidosis susunan saraf pusat paradoksal.(7)
Terapi bikarbonat pada orang dengan KAD agak kontroversial. Pendukung
percaya bahwa asidosis berat akan menyebabkan komplikasi jantung dan
neurologis. Namun, penelitian belum menunjukkan hasil klinis yang lebih baik
dengan terapi bikarbonat, dan pengobatan dikaitkan dengan hipokalemia.
Dalam satu penelitian kuasieksperimental retrospektif terhadap 39 orang
dengan DKA dan pH antara 6,9 dan 7,1 tidak ada perbedaan hasil antara
mereka yang menerima terapi bikarbonat dan mereka yang tidak
melakukannya.(13) Studi kedua terhadap 106 remaja dengan KAD tidak
menunjukkan perbedaan dalam hasil pada pasien yang diobati dengan dan
tanpa sodium bikarbonat, namun hanya sedikit yang memiliki pH di bawah 7
dan hanya satu yang memiliki pH di bawah 6,9.(13) Pedoman Asosiasi Diabetes
Amerika saat ini terus merekomendasikan penggantian bikarbonat pada orang
dengan pH lebih rendah dari 6,9 menggunakan 100 mEq natrium bikarbonat
dalam 400 mL air steril dengan 20 mEq kalium klorida dengan laju 200 mL per
jam selama dua jam. Ini harus diulang setiap dua jam sampai pH pasien 6,9
atau lebih.(13)

16
Meskipun terjadi hipopasfatemia pada KAD, serum fosfat sering
ditemukan dalam keadaan normal atau meningkat saat awal. Kadar fosfat akan
turun dengan pemberian insulin. Dari beberapa studi tidak ditemukan manfat
yang nyata pemberian fosfat pada KAD, bahkan pembrian fosfat yang
berlebihan akan mencetuskan hipokalsemia berat. Pada keadaan konsentrasi
serum fosfat kurang dari 1 mg/dL dan di sertai dengan disfungsi kardiak,
anemia atau depresi nafas akibat kelemahan otot, maka koreksi fosfat menjadi
pertimbangan penting, (7)
Setelah krisis hiperglikemia teratasi dengan pemberian insulin intravena
dosis rendah, maka langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa KAD sudah
memasuki fase resolusi dengan kriteria gula darah kurang dari 200 mg/dl dan
dua dari keadaan berikut: serum bikarbonat lebih atau sama dengan 15 mEq/L,
pH vena >7,3 dan anion gap kurang atau sama dengan 12 mEq/L.(7)
Agar tidak terjadi hiperglikemia atau KAD berulang maka sebaiknya
penghentian insulin intravena dilakukan 2 jam setelah suntikan subkutan
pertama. Asupan nutrisi merupakan pertimbangan penting saat transisi ke
subkutan, jika pasien masih puasa karena sesuatu hal atau asupan masih sangat
kurang maka lebih baik insulin intravena diteruskan.(7)
Jika pasien sudah terkontrol regimen insulin tertentu sebelum mengalami
KAD, maka pemberian insulin tertentu sebelum mengalami KAD, maka
pemberian insulin dapat diberikan ke regimen awal dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan insulin pada keadaan terakhir. Pada pasien yang
belum pernah mendapatkan insulin maka pemberian injeksi subkutan terbagi
lebih diajurkan. Jika kebutuhan insulin masih tinggi maka regimen basal bolus
akan lebih meneyrupai insulin fisiologis dengan risiko hipoglikemia yang lebih
rendah.(7)

17
Gambar 3. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum

2.8 Komplikasi
Komplikasi tersering adalah hipoglikemia, hipokalemia dan hiperglikemia
berulang. Hiperkloremia juga sering didapatkan hanya saja biasanya sementara
dan tidak membutuhkan terapi khusus. Agar jangan terjadi komplikasi tersebut

18
maka diperlukan monitoring yang ketat (gula darah diperiksa tiap 1-2 jam) dan
penggunaan insulin dosis rendah. Harus menjadi catatan bahwa pasien KAD
yang mengalami hipoglikemia seringkali tidak menunjukkan gejala
hiperadrenergik.(7)
Komplikasi lain yang juga harus menjadi perhatian adalah kelebihan
cairan, termasuk edema paru, sehingga pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal dan gagal jantung pemberian cairan dimodifikasi sesuai dengan risiko
terjadinya kelebihan cairan. Edema paru dapat terjadi karena koreksi yang
berlebihan untuk terapi kehilangan cairan. Diuretik dan terapi oksigen
digunakan untuk pengelolaan edema paru. Sedangkan cederan miokardium
nonspesifik dapat terjadi pada KAD berat, yang berhubungan dengan
peningkatan biomarker miokardium (Troponin T dan CK-MB) dan perubahan
EKG dengan infark miokardium (MI). Asidosis dan asam lemak bebas yang
sangat tinggi dapat menyebabkan ketidakstabilan membran dan kebocoran
biomarker. Arteriografi koroner biasanya adalah normal, dan pasien biasanya
sembuh tampa disertai penyakit jantung iskemik. (7,14)
Hal lain yang jarang mendapatkan perhatian adalah komplikasi edema
serebri yang dapat muncul selama pengobatan KAD, walaupun jarang
didapatkan pada usia dewasa. Untuk menghindari edema serebri selama inisiasi
terapi maka perlu pengawasan ketat. Penurunan tingkat kesadaran biasanya
menunjukkan terjadinya edema serebri. MRI biasanya digunakan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Edema serebri membawa angka kematian tertinggi.
Meskipun manitol dan deksametason sering digunakan dalam situasi ini,
namun tidak ada pengobatan khusus yang terbukti bermanfaat dalam kasus
tersebut. (7,14)

2.9 Pencegahan
Edukasi merupakan tulang punggung pencegahan KAD, karena untuk
sampai ke keadaan KAD terntu melalui proses dekompensasi metabolik yang
berkepanjangan dan membutuhkan waktu. Ketosis merupakan keadaan

19
sebelum terjadinya KAD sehingga jika kita menemukan di fase ketosis
biasanya keadaan klinisnya lebih ringan dan pengelolaannya lebih mudah.(7)
Strategi pencegahan ketoasidosis diabetikum yaitu edukasi paripurna
tentang diabetes untuk pasien dan keluarga, monitoring gula darah secara
terstruktur, manajemen hari-hari sakit, mematau keton dan beta-hidroksibutirat,
suplementasi insulin kerja singkat saat dibutuhkan, diet makanan cair mudah
cerna saat sakit, mengurangi insulin saat pasien tidak makan, pedoman saat
pasien butuh perhatian medis, dan pemantauan ketat pada pasien risiko tinggi
setra edukasi khusus untuk pasien pengguna pompa insulin.(7)

2.10 Prognosis
Umumnya pasien membaik setelah diberikan insulin dan terapi standar
lainnya, jika komorbid tidak terlalu berat. Biasanya kematian pada pasien KAD
adalah terjadi karena penyakit penyerta berta yang datang pada fase lanjut.
Kematian meningkat seiring dengan meningkatnya usia dan beratnya penyakit
penyerta.(7)
Prognosis pasien diobati dengan ketoasidosis diabetes sangat baik,
terutama pada pasien yang lebih muda jika infeksi intercurrent tidak ada.
Prognosis terburuk adalah biasanya diamati pada pasien yang lebih tua dengan
penyakit intercurrent parah, misalnya infark miokardium, sepsis atau
pneumonia. Kehadiran koma mendalam pada saat diagnosis, hipotermia dan
oliguria merupakan tanda-tanda prognosis buruk.(14)

20
DAFTAR PUSTAKA

1. American Diabetes Association.2014. DKA & ketones. Dkutip 29 Maret dari


www.diabetes.org.
2. Perkumpulan Endokrinolgi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan
Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia; 2015.
3. Aksara B. Karakteristik Ketoasidosis Diabetik Pada Anak. Jakarta: Jurnal
Rumah Sakit Fatmawati; 2012.
4. Alwi, Idrus et all. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing; 2018:II h.2377.
5. Savage MW, Maggie SH, Gerry R, Hamish C, Ketan D, Philip D, etc. Joint
British Diabetes Societies Inpatient Care Group. The Management of Diabetic
Ketoacidosis in Adults; 2015:h.5.
6. Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, ect.
Acute Complications of Diabeties Melitus. Harrison,s Principles of Internal
Medicine 17th edition. USA: The McGraw-Hill Inc; 2008.
7. Supartondo, Setiyohadi B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-6.
Jakarta: Interna Publishing; 2018:2 h.2378-80.
8. Ramaesh A. Incidence and long-term outcomes of adult patients with diabetic
ketoacidosis admitted to intensive care: A retrospective cohort study.
Edinburgh: Original Article University of Edinburgh; 2016.
9. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja. Konsensus Pengelolaan Diabetes
Melitus Tipe 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2009. h.34
10. Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic Crisis in
Adult Patients with Diabetes. Diabetes Care; 2009:32(7) h.1335-43
11. Mazer M, Chen E. Is Subcutaneous Administration of Rapid-acting Insulin as
Effective as Intravenous Insulin for Treating Diabetic Ketoacidosis And
Emergency Medicine: 2009:53(2) h.259-263.
12. Umpierrez GE, Cuervo R, Karabell A, Latif K, Freire AX, Kitabchi AE.
Treatment of diabetic ketoacidosis with subcutaneous insulin aspart. Diabetes
Care; 2004:27(8) h.1873-78.

21
13. Westernberg DP. Diabetic Ketoacidosis: Evaluation and Treatment. Camden:
Cooper Medical School of Rowan University; 2013: 87 (5).
14. Hamdy O. Diabetic Ketoacidosis.US: Harvard Medical School; 2014. Di
unduh dari https://emedicine.medscape.com/article/118361-overview#showall
15. Sumantri S. Pendekatan Diagnostik dan tatalaksana Ketoasidosis Diabetikum.
Internal Medicine Departement; 2009:

22

Anda mungkin juga menyukai