Anda di halaman 1dari 3

BAB I

Kemunculan dan Pertumbuhan Lembaga Swadaya Masyarakat

1.1 PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai “Civil Society” atau “Masyarakat Sipil” bukan merupakan hal
yang baru karena isu ini telah dibahas dalam filosofi politik , sosiologi, dan teori sosial selama
ratusan tahun. Perdebatan klasik mengenai “civil society” telah mengantarkan ke bukti dan
pengetahuan akan hal tersebut. Para ahli mulai dari Aristoteles, hobbes, dan locke sampai
dengan Rosseau, Tocqueville, dan Gellner, memandang “civil society” telah menjadi inti dari
teori sosial sepanjang abad. Hal yang baru di sini adalah adanya peningkatan implementasi
konsep “ civil society” dalam pembangunan internasional selama dewasa terakhir. Civil
Society Organizations (CSOs) dikenal sebagai organisasi masyarakat madani di indonesia. Saat
ini di negara – negara seperti Ghana, Zimbabwe, dan kenya CSOs telah menyediakan 40%
pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada masyarakat, sementara jaringan CSOs sarvodaya
di Srilanka menyediakan pelayanan hingga ke-7.000 desa (Edwards, 2004). Di bolivia, jumlah
Nongovernmental Organization (NGO) atau LSM yang telah didaftar oleh pemerintah,
meningkat dari 100 pada tahun 1980 menjadi lebih dari 1.000 pada 1999 (Kohl, 2002). Jadi
NGO atau LSM mencapai 15-20% dari kemiskinan yang ada di dunia (Folwer, 2000). Pada
perkembangannya, LSM mempunyai anggaran global tahunan hingga US$5,5 miliar. Ini
membuktikan bahwa perhatian organisasi tersebut pada kebijakan publik dan penelitian telah
meningkatkan secara luar biasa atau drastis.
Di Indonesia, sampai dengan tahun 2002 menurut departemen dalam negeri (Depdagri),
jumlah NGO atau LSM adalah 13.500 organisasi dengan beragam misi, komitmen, kerumitan,
dan bentuk kegiatan. Hampir 90% dari LSM tersebut mengandalkan dana asing.
LSM di Asia umumnya memiliki keanekaragaman peran dan cara, seperti di korea
dengan bobot politik, di Bangladesh dengan bobot upaya swasta skala besar, dan di malaysia
dengan bobot subjek perlindungan pada konsumen. Di indonesia, gerakan LSM secara umum
terangkum dalam dua medan utama, yaitu politik dan ekonomi. Hubungan pemerintah dan
LSM dapat di identifikasi dalam beberapa kemungkinan, seperti saling mengabaikan, saling
mendukung, serta kerjasama atau kooptasi atas pertimbangan dimensi keuangan, organisasi
dan kebijakan.
Dalam tataran interaksi politik (pengaturan kehidupan sehari hari), ada dua unsur
utama, yaitu sektor negara dan sektor pasar. Di antara ruang interaksi sektor tersebut, terdapat
sektor ketiga, yaitu kiprah LSM yang memiliki ciri bukan instuisi pemerintah, tidak bermotif
keuntungan, sukarelawan, berbentuk solid dan berkesinambungan, memberikan kebaikan pada
unsur lain dengan potensi yang dimilikinya, serta mencintai sesama manusia/penderma
(Philantrophic). Jadi LSM memiliki karakter ekspansi dalam meliput ruangan yang tidak terisi
oleh kegiatan pemerintah atau kegiatan pasar dan masyarakat (State, market, and community)
1.2 PARADIGMA PEMBANGUNAN DAN PERTUMBUHAN ORGANISASI DI
MASYARAKAT

Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa indonesia.
Pembangunan di masa Orde Baru yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sistem
sentralisasi terbukti tidak berhasil baik di bidang sosial maupun politik; meskipun di bidang
ekonomi cukup menggembirakan. Implementasi pendakan dan sistem pembangunan tersebut
lebih memobilisasi masyarakat dalam pembangunan, bukan partiipasi. Oleh karena itu,
masyarakat semakin bergantung pada input pemerintah sehingga membuat masyarakat menjadi
kurang percaya diri, tidak kreatif, dan tidak inovatif.
Secara politik, dengan pendekatan top-down dan sistem sentralistis tersebut, hak hak
masyarakat terserp ke kepentingan pemerintah. Pemikiran kritis dari masyarakat sebagai
pengendali kebijakan pemerintah diharakan tidak muncul. Dampak negatif kebijakan tersebut
adalah memdarnya sejumlah lembaga tradisionla dan intervensi pemerintah yang terlalu jauh
pada berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Reaksi terhadap pendekatan pembangunan tersebut adalah munculnya diskusi tentang
civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi nonpemerintahan (LSM).
Wacana civil society ini tampaknya mendorong para penyelenggara negara untuk menerapkan
pendekatan baru, yaitu kebijakan pembangunan yang berpihak pada kebutuhan rakyat,
terutama demokratisasi dan hak asasi manusia. Berbagai seminar, semiloka dan workshop
dilaksanakan oleh berbagai pihak untuk merumuskan model pembangunan yang berbasis
konsep civil society tersebut.
Terkait dengan wacana civil society, pemikirn bangsa yang demokratis di mulai dari
bawah atau dari masyarakat akar rumput. Berdasarkan pengalaman masa lalu , masyarakat akar
rumput tersebut telah melaksanakan praktek praktek demokrasi yang benar. Dengan demikian,
apabila bangsa indonesia menghendaki terwujudnya pembangunan demokrasi, maka
pembelajaran kembali tentang kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat
akar rumput perlu dilakukan.
Secara teoritis, konsep “pembangunan” memiliki banyak definsi, pendekatan dan
pergeseran makna. Pendekatan “ Economic Well Being”, pendekatan “Minimum Acceptable
Standart of Living”, serta pendekatan yang di sesuaikan dengan nilai yang di anut oleh para
politisi dan cendekiawan suatu negara pada waktu tertentu merupakan ragam pendekatan yang
yang ada (Effendi, 1989). Namu semua pendekatan tersebut gagal menghasilkan kondisi yang
di cita citakan. Penyebabnya adalah orientasi pencapaian hasil dalam waktu sesingkat
sigkatnya, kurang mengutamakan pada proses, serta orientasi kepemimpinan publik dan
manajemen pelayanan publik yang tidak berorientasi ke rakyat.
Dalam konsep pembangunan ekonomi,orientasi pokoknya adalah hasil. Sebagai
contoh, tujuan berbagai kebijakan deregulasi yang di keluarkan pemerintah sejak tahun 1988
adalah diharapkan pada tahun 2000, indonesia mampu tumbuh secara meyakinkan dengan
catatan berbagai mark-up atau rekayasa atau manipulasi.
Setelah terlepas dari belenggu penjajah, masyarakat dunia ketiga menjadi begitu
antusias merencanakan dan memrogramkan pertumbuhan untuk mengejar ketinggalan dengan
mengadopsi model ekonometrik. Salah satu tokoh dari paradigma pertumbuhan itu adalah
W.W. Rostow dengan pemikiran spektakulernya yang tertuang dalam karyanya. “the Stages of
Economic Growth (1960)”. Bagi Rostow, proses pembangunan adalah serangkaian tahap
pertumbuhan keluaran produksi yang berurutan, di mana kuncinya adalah penanaman modal
dalam kapasitas produksi yang berteknologi modern. Pada awalnya, prasyarat untuk tahap
tinggal landas adalah pembentukan kekuatan untuk kemajuan ekonomi, sementara
pertumbuhan menjadi syarat utama pembangunan. Dari sekian banyak kelemahan paradigma
pertumbuhan, pengabaian aspirasi rakyat merupakan kelemahan dasar, pertumbuhan ekonomi
yang akan dicapai diharapkan menetes perlahan-lahan ke bawah (“trickle down effect”), namun
hasil nyatanya adalah ketimpangan (Effendi, 1989). Sejak awal tahun 1970-an, daftar
kelemahan paradigma pertumbuhan hanyalah bagian dari pembangunan. Pembangunan harus
berarti pemenuhan kebutuhan pokok,seperti kesempatan kerja dan berusaha, pemberantasan
kelaparan dan kekurangan gizi, pemeliharaan kesehatan, serta penyediaan air bersih dan
perumahan. Oleh karena itu, negara-negara berkembang direkomendasikan untuk menggeser
paradigma pembangunannya ke “paradigma basic needs”.
Paradigma pembangunan model ini memang lebih berorentasi pada kebutuhan pokok,
padat karya, berskala kecil, bertumpu pada sumber regional, berpusat pada desa, dan teknologi
tepat guna. Dalam praktiknya, implementasi paradigma berbenturan dengan kurangnya
keleluasaan politik lokal. Pada hakikatnya, strategi atau paradigma pembangunan basic
needs,meminjam istilah paulo freire, merupakan assistencialism, yaitu usahamembantu
masyarakat secara keuangan atau sosial yang bersifat sementara untuk memerangi gejala-
gejala, bukan memerangi penyebab terjadinya masalah (Freire, 1974:15). Strategi
pembangunan yang assistencialism ini tidak mendorong kemandirian masyarakat. Tujuan
membangun masyarakat tidak lagi dapat tercapai, karena masyarakat pelayanan dan pemberian
fasilitas sosial. Pembangunan masyarakat yang assistencialism ini memperbesar keuntungan
masyarakat pada uluran tangan pemerintahan, dan sekaligus merendahkan martabat warga
negara (Moeljarto, 1987,24).
Berdasarkan kelemahan kedua paradigma pembangunandi atas, muncullah sebuah
paradigma baru, yaitu paradigma “People Centered Development” (PCD). Dalam Paradigma
baru ini, strategi atau model pembangunan beroientasi pada pemangunan kualitas manusia.
Asumsi dasarnya adalah bahwa tujuan pembangunan merupakan upaya memberi manfaat bagi
manusia, baik dalam upayanya maupun dalam menikmati hasil dari upaya tersebut. Di samping
itu, paradigma pembangunan ini juga mampu memberi masyarakat kesempatan untuk
mengembangkan kepandaian yang kreatif bagi masa depannya sendiri dan masa depan
masyarakarat pada umumnya (korten,1984).
Secara konseptul,paradigma, paradigma People Centeral Development
mempromosikan fokus perencanaan,pelaksanaan,dan evaluasi hasil-hasil pembangunan pada
manusia (sebagai warga negara maupun sebagai masyarakat). Artinya, manusia menjadi subjek
sekaligus objek pembangunan yang aktif,sedangkan pemerintah lebih berperan sebagai
fasilitator,yaitu mendorong dan memberi contoh. Orientasi dan tujuan pemangunan adalah
memberdyakan rakyat (empowering) dan menumbuhkan partisipasi rakyat seluas-luasnya.
Manajemen pembangunan dilaksanakan dengan pendekatan”Community Based Resurce
Management”.Paradigma ini mensyaratkan struktur dan prosdur pemerintah melalui sistem
desentralisasi, transactive, demokratis, dibirokratisasi, deregulasi, dan otonomi yang luas bagi
pemerintah daerah/lokal. Sementara itu. Modal utamapembangunan adalah kretivitas dan
komitmen rakyat serta organisasi kemasyarakatan di tingkat lokal.

Anda mungkin juga menyukai