SKENARIO 2
Seorang laki-laki umur 25 tahun, diantar oleh keluarganya ke
puskesmas karena tadi pagi tiba – tiba matanya kuning dan merasa lemah.
Pada anamnesis didapat keterangan bahwa gejala tersebut tidak disertai
demam. Menurut keluarganya 1 hari sebelumnya penderita disengat
serangga.
KATA KUNCI
1. Laki-laki 25 tahun
2. Tiba-tiba mata kuning dan merasa lemah
3. Tidak disertai demam
4. Riwayat disengat serangga
PERTANYAAN
1. Jelaskan proses hematopoiesis ?
2. Jelaskan proses metabolisme sel-sel darah ?
3. Jelaskan patomekanisme gejala-gejala pada skenario?
4. Bagaimana hubungan lemah terhadap skenario?
5. Mengapa tidak disertai demam ?
6. Jelaskan langkah-langkah penegakkan diagnosis?
7. Jelaskan klasifikasi anemia?
8. Apa DD dari scenario ?
1
PEMBAHASAN
1. PROSES HEMATOPOIESIS :
2
megakariosit dapat diidentifikasikan dalam yolk sac pada masa gestasi 16
hari.
Sel induk primitif hematopoiesis berasal dari sel mesoderm mempunyai
respon terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin, IL-3, IL-6
dan faktor stem. Sel induk hematopoiesis (blood borne pluripotent
hematopoietic progenitors) mulai berkelompok dalam hati janin pada
masa gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 8 minggu blood island
mengalami regresi.
3) Hematopoiesis medular
Merupakan priode terakhir pembentukan sistem hematopoiesis dan
dimulai sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang
rawan dan tulang panjang dengan proses reabsorpsi.
Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang
diisi jaringan hematopoietik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi sel
darah. Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah
diambil alih oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi
membuat sel darah lagi. Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk
membentuk sel darah menjadi kurang, tetapi tetap ada dlaam susmsum
tulang, ahti, limpa, kelenjar getah bening dan dinding usus, dikenal
sebagai sistem retikuloendotelial.
Hematopoiesis bermula dari suatu sel induk pluripoten bersama, yang
dapat menyebabkan timbulnya berbagai jalur sel yang terpisah.
3
Diferensiasi sel terjadi dari sel induk menjadi jalur eritroid, granulositik,
dan jalur lain melalui progenitor hemopoietik terikat
(commitedhaemopoietic progenitor) yang terbatas dalam potensi
perkembangannya.
Atas dasar pemeriksaan kariotipe yang canggih (kromosom), semua
sel darah normal dianggap berasal dari satu sel induk pluripotensial
dengan kemampuan bermitosis. Sel induk dapat berdiferensiasi menjadi
sel induk limfoid dan sel induk mieloid yang menjadi sel-sel progenitor.
Diferensiasi terjadi pada keadaan terdapat faktor perangsang koloni,
seperti eritropoietin untuk pembentukan eritropoiesis ddan G-CSF untuk
pembentukan leukosit. Sel progenitor mengadakan diferensiasi melalui
satu jalan. Melalui serangkaian pembelahan dan pematangan, sel-sel ini
menjadi sel dewasa tertentu yang beredar dalam darah.
4
prekursor mieloid campuran yang terdeteksi paling dini, yang
menyebabkan timbulnya granulosit, eritrosit, monosit, dan
megakriosit, dan dinamakan CFU (colony forming unit / unit pembentuk
koloni pada media biakan agar)-GEMM. Sumsum tulang juga merupakan
tempat asal utama limfosit dan terdapat bukti adanya sel prekursor
sistem mieloid dan limfoid.
1. ERYTHROPOIESIS
Prekursor sel darah merah yang dapat dikenali paling awal adalah
pronormoblas.
Maturasi stage :
Stem cell – Pronormoblast – Basophilic Normoblast – Polychromatophilic
normoblast – Ortochromatophilic normoblast – retikulosit – Sel darah
merah matur.
2. GRANULOPOIESIS
Prekursor granulosit yang dikenali paling awal adalah Promielosit.
Maturasi Stage :
5
Myeloblast – Promyelocyte – Myelocyte – Metamyelocyte – Band form –
Matur PMN granulosit.
3. LYMPHOCYTOPOIESIS
Maturasi Stage :
Pre T cell (Thymic Lymphoblast) – Early thymocyte (Large Cortical
Thymocyte) – Intermediate Thymocyte (Small Cortical Thymocyte) – Late
Thymocyte (Medullary Thymocyte) – Mature T Cell.
4. THROMBOPOIESIS
Maturasi Stage :
Pluripotential stem cell – CFU Meg – Megakariosit – Megakariosit maturasi
– Platelet Shading.
ERITROSIT
Untuk mengangkut hemoglobin agar berkontak erat dengan jaringan
dan agar pertukaran gas berhasil, eritrosit yang berdiameter 8 µm harus
dapat secara berulang melalui mikrosirkulasi yang diameter minimumnya
3,5 µm, untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan tereduksi
(ferro) dan untuk mempertahankan keseimbangan osmotik walaupun
konsentrasi protein (hemoglobin) tinggi di dalam sel. Perjalanan secara
keseluruhan selama masa hidupnya yang 120 hari diperkirakan sepanjang
480 km (300 mil). Untuk memenuhi fungsinya ini, eritrosit adalah cakram
bikonkaf yang fleksibel dengan kemampuan menghasilkan energi sebagai
adenosin trifosfat (ATP) melalui jalur glikolisis anaerob (Embden-
Meyerhof) dan menghasilkan kekuatan pereduksi sebagai NADH melalui
jalur ini serta sebagai nikotinamida adenin dinukleotida fosfat tereduksi
(NADPH) melalui jalur pintas heksosa monofosfat (hexose monophosphate
shunt). Metabolisme eritrosit dapat melalui dua jalur, yaitu :
a. Jalur Embden-Meyerhof
6
Dalam rangkaian reaksi biokimia ini, glukosa di metabolisme
menjadi laktat. Untuk tiap molekul glukosa yang dipakai, dihasilkan dua
molekul ATP dan dengan demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi
tinggi. ATP menyediakan energi tinggi untuk mempertahankan volume,
bentuk, dan kelenturan eritrosit. Eritrosit mempunyai tekanan osmotik
lima kali lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran
menyebabkan pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus.
Diperlukan pompa natrium ATPase membran dan pompa ini menggunakan
satu molekul ATP untuk mengeluarkan 3 ion natrium dari sel dan
memasukkan dua ion kalium ke dalam sel.
Jalur Embden-Meyerhof juga menghasilkan NADH yang diperlukan
oleh enzim methemoglobin reduktase untuk mereduksi methemoglobin
(hemoglobin teroksidasi) yang tidak berfungsi, yang mengandung besi ferri
(dihasilkan oleh oksidasi sekitar 3% hemoglobin tiap hari) menjadi
hemoglobin tereduksi yang atif berfungsi 2,3-DPG yang dihasilkan pada
pintas Luebering-Rapoport (Luebering-Rapoport shunt), atau jalur
samping pada jalur ini membentuk suatu kompleks 1:1 dengan hemoglobin
yang penting dalam regulasi afinitas hemoglobin terhadap oksigen.
HEMOGLOBIN
Fungsi utama eritrosit adalah membawa O2 ke jaringan dan
mengembalikan karbondioksida (CO2) dari jaringan ke paru. Untuk
mencapai pertukaran gas ini, eritrosit mengandung protein khusus yaitu
hemoglobin. Tiap eritrosit mengandung sekitar 640 juta molekul
7
hemoglobin. Tiap molekul hemoglobin (Hb) A pada orang dewasa normal
(hemoglobin yang dominan dalam darah setelah usia 3-6 bulan) terdiri atas
empat rantai polipeptida α2β2, masing-masing dengan gugus hemenya
sendiri. Berat molekul HbA adalah 68.000. Darah orang dewasa normal
juga mengandung dua hemoglobin lain dalam jumlah kecil, yaitu HbF dan
HbA2. Keduanya juga mengandung rantai α, tetapi secara berurutan,
dengan rantai γ dan δ, selain rantai β. Perubahan utama dari hemoglobin
fetus ke hemoglobin dewasa terjadi 3-6 bulan setelah lahir.
Sintesis heme erutama terjadi di mitokondria melalui suatu
rangkaian reaksi biokimia yang bermula dengan kondensasi glisin dan
suksinil koenzim A oleh kerja enzim kunci yang bersifat membatasi
kecepatan reaksi yaitu asam δ-aminolevulinat (ALA) sintase. Piridoksal
fosfat (vitamin B6) adalah suatu koenzim untuk reaksi ini, yang dirangsang
oleh eritropoietin. Akhirnya, protoporfirin bergabung dengan besi dalam
bentuk ferro (Fe2+) untuk membentuk heme, masing-masing molekul
heme bergabung dengan satu rantai globin yang dibuat pada poliribosom.
Suatu tetramer yang terdiri dari empat rantai globin masing-masing
dengan gugus hemenya sendiri dalam suatu ”kantung” kemudian dibentuk
untuk menyusun suatu molekul hemoglobin.
8
Metabolisme Bilirubin Normal
Sekitar 80 % - 85 % bilirubin terbentuk dari pemecahan eritrosit tua dalam
sistem monosit- makrofag. Massa hidup rata rata eritrosit 120 hari. Setiap
hari dihancurkan sekitar 50 ml darah dan menghasilkan 250 – 350 mg
bilirubin. Sekitar 15 – 20 % pigmen empedu total tidak bergantung pada
mekanisme ini, tapi berasal dari destruksi sel eritrosit matur dari sumsum
tulang ( hematopoiesis tak efektif ) dan dari hemoprotein lain, terutama
dari hati.
Pada katabolisme hemoglobin (terutama terjadi pada limpa),
globin mula-mula dipisahkan dari heme, setelah itu heme diubah menjadi
beliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin.
Biliverdin adalah pigmen kehijauan yang dibentuk melalui oksidasi
bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak, tidak larut dalam
air, dan tidak dapat diekskresi dalam empedu atau urine. Bilirubin tak
terkonjugasi berikatan dengan albumindalam suatu kompleks larut-air,
kemudian diangkut oleh darah ke sel-sel hati. Metabolisme bilirubin di
dalam hati berlangsung dalam tiga langkah : ambilan, konjugasi, dan
ekskresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati, yaitu yang
diberi simbol sebagai protein Y dan Z. Konjugasi bilirubin dengan asam
glukuronat dikatalisis oleh enzim glukoronil transferase dalam retikulum
endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut
dalam air dan dapat diekskresi dalam empedu dan urine. Langkah terakhir
9
dalam metabolisme bilirubin hati adalah transpor bilirubin terkonjugasi
melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif.
Bilirubin tak terkonjugasi tidak diekskresikan ke dalam empedu, kecuali
setelah proses foto-oksidasi atau fotoisomerisasi.
Bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian
senyawa yang disebut sterkobilin atau urobilnogen. Zat – zat ini yang
menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10 hingga 20% urobinilogen
mengalami siklus interohipatik, sedangkan sejumlah kecil diekskresi dalam
urine.
10
Patomekanisme hyperbilirubinemia sehingga terjadi ikterus :
pembentukkan bilirubin yang berlebihan
peningkatan kecepatan desktruksi sel darah merah merupakan
penyebab utama dari pembentukan blirubin yang berlebihan. Ikterus yang
sering timbul disebut ikterus hemolitik. Konyugasi dan transfer pigmen
empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonyugasi
melampaui kemampuan hati.
Gangguan Pengambilan Bilirubin
pengambilan bilirubin yang tak terkonyugasi yang terikat albumin
oleh sel-sel hati dilakukan dengan cara memisahkannya albumin dan
mengikatkannya pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah
terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-
sel hati: asam flavaspidat(di pakai untuk mengobati cacing
pita),novobiosin, dan beberapa zat pewarna kolesisfografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonyugasi dan ikterus biasanya menghilang bila
obat yang menjadi penyebab dihentikan.
Gangguan Konyugasi Bilirubin
hiperbilirubinemia yang tak terkonyugasi yang berlebihan ( < 12,9
mg/ 100 mL) yang mulai terjadi pada hari kedua sampe kelima lahir
disebut ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang normal ini
disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronil transferase. Aktivitas
glukoronil transferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir
sampai sekitar minggu kedua, dan setelah itu ikterus biasa.
11
5. MENGAPA TIDAK DISERTAI DEMAM
Demam merupakan tanda adanya imnflamasi yang terjadi dan tanda
adanya perlawanan terhadap antibody terhadap toksin yang masuk ke
dalam tubuh manusia. Etiologi demam untuk scenario ini dapat diketahui
dengan melihat etiologi gejala-gejala lain dalam scenario dan hal-hal yang
berhubungan dengan terjadinya demam. Misalnya saja pada gejala mata
kuning. Gejala ini terjadi karena adanya kelebihan bilirubin yang terjadi
dalam darah. Dimana hal ini terjadi karena adanya destruksi eritrosit yang
terjadi sehingga hemoglobin lepas dari ieritrosit. Hemoglobin mengalami
hemolisis karena destruksi ini. Destruksi ini terjadi karena cairan toksin
yang dilepaskan serangga ke dalam tubuh manusia. Toksin yang pada
umumnya ada pada serangga yaitu pteromone yang tersusun dari protein
dan zat-zat kimia lain. Apabila hemolisis yang terjadi masih bisa
dikompensasi oleh sum-sum tulang maka tidak terjadi anemia. Namun bila
terjadi peningkatan destruksi eritrosis akan menyebakan hemolisis yang
berlebihan sehingga sum-sum tulang tidak mampu untuk mengkompensasi
kebutuhan eritrosit dalam darah. Terjadinya destruksi juga bias terjadi
karena antibody menyerang eritrosit sendiri. Antibody di dalam tubuh
manusia bekerja karena adanya benda-benda asing di dalam tubuh
manusia. Benda- benda asing ini bisa juga merupakan toksin yang masuk
melalui sengatan serangga. Namun, gejala demam yang terjadi tidak serta
merta saat masuknya toksin tersebut. Namun ada masa inkubasi dari virus
yang masuk ked alma tubuh manusia. Contohnya plasmodium vivax pada
malaria tersiana yang masa inkubasinya 8-14 hari. Intinya demam yang
terjadi bisa saja terjadi ada kasus ini. Hanya tinggal menunggu masa
ketahanan antibodinya (prof.I Made Bakta & Manual of Clinical
Hematology).
12
Untuk dapat melaksanakan ketiga langkah tersebut, dilakukan:
1. Pendekatan klinik
2. Pendekatan laboratorik
3. Pendekatan epidemiologik
Berikut ada rangkaian langkah untuk menegakkan diagnosis pada kasus-
kasus anemia:
1. Anamnesis
Seperti anamnesis pada umumnya, anamnesis pada kasus anemia harus
ditujukan untuk mengeksplorasi
a. Riwayat penyakit sekarang
b. Riwayat penyakit terdahulu
c. Riwayat gizi
d. Anamnesis mengenai lingkungan, pemaparan bahan kimia, dan fisik serta
riwayat pemakaian obat
e. Riwayat keluarga
2. Pemeriksaan fisik
a. Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan
kuning seperti jerami
b. Purpura : Petechie atau echymosis
c. Kuku : koilonychia
d. Mata : ikterus, konjungtiva pucat, perubahan fundus
e. Mulut : ulserasi, hypertrophy gusi, pendarahan gusi, atrofi papil, glossitis
dan stomatitis angularis
f. Limfadenopati
g. Hepatomegali
h. Splenomegali
i. Nyeri tulang atau nyeri sternum
j. Hemartrosis atau ankilosis sendi
k. Pembengkakan testis
l. Pembengkakan parotis
m. Kelainan sistem saraf
3. Pemeriksaan laboratorium hematologic
a. Tes penyaring: tes ini dikerjakan pada tahap awal setipa kasus anemia.
Dengan pemeriksaan ini dapat dipastikan adanya anemia dan morfologi
anemia tersebut. Pemeriksaan ini meliputi kadar hemoglobin, indeks
eritrosit (MCV, MCH, MCHC), RDW, dan apusan darah tepi.
13
b. Pemeriksaan rutin: pemeriksaan ini juga dikerjakan pada semua kasus
anemia untuk mengetahui kelainan leukosit dan trombosit. Pemeriksaan
yang dilakukan antara lain; LED, hitung differensial, dan hitung retikulosit.
c. Pemeriksaan sumsum tulang; pemeriksaan ini harus dikerjakan pada
sebagian besar kasus anemia untuk mendapatkan diagnosis definitive
walaupun tidak semua memerlukannya.
d. Pemeriksaan atas indikasi khusus: pemeriksaan ini baru dikerjakan jika
kita telah mempunyai dugaan diagnosis awal dengan tujuan untuk
mengkonfirmasi. Pemeriksaan tersebut antara lain:
· Anemia defisiensi besi : iron serum, TIBC, saturasi transferrin, dan
ferritin serum.
· Anemia megaloblastik: asam folat darah, vitamin B12.
· Anemia hemolitik : hitung retikulosit, tes Coomb’s , elekroforesis Hb.
· Anemia pada leukemia akut: pemeriksaan sitokimia
4. Pemeriksaan laboratorium non hematologik
Pemeriksaan-pemeriksaan yang harus dilakukan antara lain: faal
ginjal, faal endokrin, asam urat, faal hati, biakan kuman dan lain –lain.
Berbagai jenis anemia dapat disebabkan oleh penyakit sistemik seperti
gagal ginjal kronik, penyakit hati kronik dan lain-lain.
5. Pemeriksaan penunjang lain
Pada pemeriksaan kasus anemia diperlukan pemeriksaan penunjang
seperti;
a. Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
b. Radiologi
c. Pemeriksaan sitogenik
d. Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH dan lain-lain).
14
No Morfologi sel Keterangan Penyebab Jenis anemia
1 Anemia Penghancuran atau Kehilangan darah akut, a. Anemia aplastik
normokromik penurunan jumlah hemolisis, penyakit
b. Anemia posthemoragik
normositik eritrosit tanpa di kronis yang meliputi c. Anemia hemolitik
sertai kelainan infeksi, gangguand. Anemia Sickle Cell
bentuk dan endokrin, gangguane. Anemia pada penyakit
konsentrasi ginjal, kegagalan sum kronis
hemoglobin sum tulang, &
penyakit-penyakit
infiltratif metastasis pd
sum sum tulang.
2 Anemia Bentuk eritrosit yang Terganggunya a.
/ Anemia pernisiosa
normokromik besar dengan terhentinya sintesis
b. Anemia defisiensi folat
makrositik konsentrasi asam deoksiribonukleat
hemoglobin yang (DNA), serta dapat
normal terjadi pada
kemoterapi kanker
karena agen-agen
mengganggu sintesis
DNA
3 Anemia Bentuk eritrosit yang Umumnya a. Anemia defisiensi besi
hipokromik kecil dengan mencerminkan b. Anemia sideroblastik
mikrositik konsentrasi insufisiensi sintesis
c. Thalassemia
hemoglobin yang heme / kekurangan zat
menurun besi
7. KLASIFIKASI ANEMIA
15
a. Perdarahan à di akibatkan dari trauma / ulkus atau akibat perdarahan
kronis karena polip di kolon, keganasan, hemoroid / menstruasi.
b. Penghancuran SDM (hemolisis) à terjadi jika gangguan pada SDM itu sendiri
memperpendek siklus hidupnya (kelainan intrinsic) atau perubahan
lingkungan yang menyebabkan penghancuran SDM (kelainan ekstrinsik).
Keadaan SDM yang mengalami kelainan bersifat Herediter:
1) hemoglobin abnormal (hemoglobinopati) à anemia sel sabit
2) gangguan sintesis globin à thalasemia
3) kelainan membrane SDM à sferositosis herediter dan eliptositosis
4) defisiensi enzim à defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) dan
defisiensi piruvat kinase.
2. Berkurangnya / terganggunya produksi SDM (diseritropoiesis)
a. Keganasan jaringan (metastatic, leukemia, limfoma, & myeloma
multiple), Pajanan terhadap obat-obat & zat kimia toksik, serta Iradiasi
yang dapat mengurangi produksi efektif SDM.
b. Penyakit-penyakit kronis (ginjal & hati), serta infeksi dan defisiensi
endokrin.
8. Differensial Diagnosis
1. Anemia megaloblastik
a. Defenisi
Anemia megaloblastik merupakan anemia makrositosis yang
ditandai dengan adanya peningkatan ukuran sel darah
merah yang disebabkan oleh abnormalitas
hematopoiesisdengan karakteristik dismaturasi nukleus dan
sitoplasma sel mieloid dan eritroid akibat gangguan sintesis
DNA.
b. Epidemologi
Dapat terjadi pada usia berapapun (lebih menonjol pada
kelompok usia yang lebih tua karena penyebabnya lebih
lazim pada orang tua)
c. Etiologi
Bisa disebabkan karena defesiansi asan folat
Bisa disebabkan karena defesiensi vitamin B12
16
Keduanya merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam
sintesis nukleoprotein sehingga menyebabkan gangguan
sintesis DNA, RNA, kemudian diikuti protein lain.
Non-hipovitaminous :
Merupakan gangguan metilasi pada sintesis DNA,
RNA, Protein pada prekursor (pendahulu)
e. Patofisiologi
17
Gangguan Kegagalan Ukuran
siklus B12
diferensiasi dan SST eritrosit
pembelahan inti
koenzim m’besar
& As.
Proliferasi sel
Megaloblastik eritroblastik
18
Pemeriksaan darah lengkap, termasuk indeks
eritrosit, hapusan darah tepi dan pemeriksaan
sumsum tulang
h. Penatalaksanaan
Pengobatan tergantung dari etiologi tingkat anemia
dan gejala yang ditimbulkan
Dapat ditransfusi PRC apabila dalam keadaan darurat
Pasien yang kekurang vit. B12 maka diberi 100-1000
mg/bulan injeksi IM. Vit. B12. Sementara untuk
pasien dengan defesiensi asam folat maka diberikan
terapi pengganti asam folat secara peroral 1
mg/hari.
i. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada anemia megaloblastik
hipovitaminous sama dengan yang terjadi pada anemia
lainnya, yaitu gangguan oksigenasi
j. Prognosis
Pada umumnya baik, kecuali bila ada komplikasi
kardiovaskuler atau infeksi yang berat.
2. Anemia Hemolitik
a. Definisi
Anemia hemolitik adalah suatu kondisi dimana sel darah merah
hancur (lisis) dan dikeluarkan dari aliran darah sebelum masa
hidup normal mereka berakhir.
b. Epidemologi
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5 % dari semua anemia.
AIHA akut relatif jarang terjadi, dengan kejadian satu sampai
tiga kasus per 100.000 penduduk pertahun.
c. Etiologi
Anemia hemolitik terjadi saat sumsum tulang tidak membuat
cukup sel darah merah untuk menggantikan sel yang sedang
hancur. Ada beberapa kemungkinan penyebab anemia
hemolitik. Sel darah merah bisa hancur karena masalah
autoimun dimana sistem kekbalan tubuh secara keliru melihat
sel darah merah sebagai benda asing.
19
Cacat genetik di dalam SDM seperti anemia sel sabit,
thalassemia, dan def. G6PD
Paparan bahan kimia, obat-obatan terlarang, dan toksik
tertentu
Infeksi (malaria dan babesiosi)
Bekuan darah dalam pembuluh darah kecil
Incompatible transfusi PRC
d. Gejala klinik
Jaundice
Nyeri pada abdomen atas
Ulkus dan nyeri pada kaki
Reaksi yang parah terhadap transfusi darah seperti
histamin
e. Patofisiologi
a) Defek selluler : menyebabkan gangguan deformitas sel
darah merah
Defek membran
Defek enzim
Hemoglobinopati
b) Defek ekstraselluler : menyebabkan perubahan pada
permukaan SDM
Dipengaruhi atoimun
Fragmentasi hemolisis
Faktor plasma
Akibat terjadinya gangguan tersebut diatas
menyebabkan destruksi prematur eritrosit
sehingga terjadi penurunan eritrosit akibatnya
terjadi oksigenasi pada jaringan sementara itu
eritropietin meningkat sebagai respon tubuh
untuk melakukan eritropoiesis di SST dengan
terjadinya proses ini merangsang pelepasan
retikulosit disekitar pembuluh darah untuk
menghasilkan eritroid yang mana pada anemia
hemolisis terjadi hemolisis darah yang lebih besar
daripada eritropoiesis.
f. Diagnosis
Diagnosis anemia hemolitik didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemerikasaan laboratorium, serta
pemeriksaan penunjang.
Cbc
20
Hitung retikulosit
Peripheral smear
Tes coomb
Haptoglobin, bilirubin, dan tes fungsi hati
Elektroporesis hemoglobin
PNH
Osmotic fragility test
Tes G6PD
Tes urin
Tes sumsumtulang belakang
g. Penatalaksanaan
Transfusi darah
Obat-obatan (kortikosteroid, rituximab, dan
cyclosporine)
Plasmafaresis
Transplantasi SST
Perubahan gaya hidup
h. Komplikasi
Gagal jantung
Ikterus
Hemolisis intravaskuler, defesiensi Fe akibat
hemoglobinuria kronis dapat memperburuk anemia dan
kelemahan
i. Prognosis
Anemia hemolitik sering dapat ditangani atau dikendalikan.
Anemia hemolitik ringan mungkin tidak memerlukan perawatan
sama sekali. Anemia hemolitik yang parah membutuhkan
perawatan yang cepat dan tepat, atau mungkin fatal.
9. kesimpulan
21
REFERENSI
22