Laporan Skenario Malaria
Laporan Skenario Malaria
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin (Hb) : 7,5 g/dL, Hematokrit (Ht) : 21 %, Trombosit : 100.000/ mm3, Leukosit
20.000/mm3, Sediaan darah tebal: Ditemukan stadium tropozoit (sitoplasma teratur, gambaran
uniform)
Sediaan darah tipis : Ditemukan sel darah merah yang terinfeksi parasit, ukuran sel darah merah
normal, eritrosit mengkerut dengan bagian tengah berwarna merah muda dan bagian tepinya lebih
gelap, ditemukan titik Maurer. Gula darah Acak: 80 mg/dL
Pasien disarankan oleh dokter untuk di rawat di Rumah Sakit karena harus di terapi dan di pantau
kondisinya.
1
LANGKAH 1
Klarifikasi Kata Sulit
1. Schuffner
Merupakan teknik untuk mengukur pembesaran limfa, terbagi menjadi 8 titik. Normalnya tidak
teraba apa apa
2. Titik Maurer
Merupakan titik titik agak kasar dengan bentuk teratur yang bertempat dalam eritrosit yang
dihinggapi plasmodium falciparum
3. Stadium tropozoid
Merupakan tingkatan umur plasmodium, masuk ke tahap aseksual dengan intinya satu dan
terdapat dalam eritrosit.
2
LANGKAH 2
Rumusan Masalah
1. Mengapa pasien mengeluh demam satu minggu yang lalu dan normal pada pagi hari dan sore
hari meningkat ?
2. Mengapa keluhan disertai menggigil 30 menit ?
3. Mengapa pasien mengeluh nyeri kepala, nyeri perut, mual dan muntah ?
4. Apa hubungan mimisan dengan keluhan pasien ?
5. Mengapa tina mengalami penurunan nafsu makan ?
6. Bagaimana hubungan riwayat kepulangan dari papua 2 minggu yanglalu dengan keluhan ?
7. Mengapa keluhan tina tidak kunjung membaik walau diberi obat penurun panas?
8. Mengapa dokter UGD menyarankan tes darah lengkap dan GDA ?
9. Apa interpretasi pemeriksaan fisik ?
10. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium ?
11. Apa hubungan keluarga pasien tidak memiliki riwayat serupa dengan keluhan ?
12. Apa diagnosis dan diagnosis bandingnya ?
13. Tatalaksana apa yang diberikan kepada pasien ?
14. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
3
LANGKAH 3
Jawaban Rumusan Masalah (Brainstorming)
1. Mengapa pasien mengeluh demam satu minggu yang lalu dan normal pada pagi hari dan sore
hari meningkat ?
Jawaban :
Kemungkinan terkena malaria, demam mulai timbul pecahnya skizon darah dan
mengeluarkan antigen dan merangsang pengeluaran sitokin tnf dan il6 dan terjadi demam,
meningkat pada sore dikarenakan perbedaan jenis plasmodium. Demam meningkat waktu
skizogoni pecah. Kemungkinan karena malaria, nyamuk menggigit dan melepaskan sporozoit
dan kedarah lalu ke hati dan terbentuk skizon dan pecah merozoit dan menyerang darah merah,
merozoit menyerang sel darah merah tubuh mengeluargan zat pirogen dan merangsat set point
di hipotalamus naik sedangkan suhu tubuh merespon dengan menggigil untuk menaikkan suhu
tubuh. Kenapa 1 minggu? Masa inkubasi 5-7 hari dari plasmodium falciparum. Pola jenis
demam intermiten. Demam yg naik turun tifus,db, malaria.
2. Mengapa keluhan disertai menggigil 30 menit ?
Jawaban :
Trias malaria, pediode dingin panas berkeringat. Periode dingin 15-60 menit dng gejala
menggigil, peirode panas 12 jam untuk p.falciparum dimana nadi cepat panas tinggi, periode
berkeringat berlebihan dan merasa sehat. Kenapa menggigil? Upaya kompensasi tubuh ketika
terjadi demam dengan melakukan usaha menggigil untuk menormalkan suhu tubuh.
3. Mengapa px mengeluh nyeri kepala, nyeri perut, mual dan muntah?
Jawaban :
Nyeri kepala, diawali suatu infeksi mikroorganisme malaria yag menghasilkan GPI, toksin
tersebut aktivasi makrofag IL2 dan aktivasi sel TH dan sekresi IL3 dan aktifkan sel mast dan
sekresikan platelet kemudain aktivasi factor Hageman dimana akan sintesis bradikinin dan
merangsang serabut saraf di otak sehingga timbul nyeri dan sakit kepala. Perusakan membrane
eritrosit dan terjadi anemia dan hb turun kekurangan O2 dan terjadi perubahan cairan
intrakreanial dan menyebabkan nyeri kepala. Mual muntah diakibatkan toksin yang
mengaktifkan sel mast dan sekresi H2 dan meningkatkan sekresi asam lambung dan
menyebabkan mual Nyeri perut kemungkinan disebabkan karena splenomegaly yang
membesar dan meyebabkan nyeri perut. Meningkatkan resiko rupture limpa sehingga perut
terasa nyeri. Nyeri perut pembesaran limpa yang akan mendesar ruang disekitarnya yang teralu
kuat dan menyebabkan nyeri perut
4
4. Apa hubungan mimisan dgn keluhan px?
Jawaban :
Plasmodium falciparum pnya pathogenesis yg khusus dimana eritrosit yg terinfeksi akan
mengalami prses squestrasi yaitu tersebarnya eritroit yg berparasit ke pembuluh darah kapiler
akan bbertemu dan membentuk roset dimana akan meningkatkan resiko thrombus sehingga
pembuluh darah elastisitas rendah sehingga mekanisme feed back tubuh meningkatkan tekanan
darah dan elastisitas kapiler rendah sehingga memicu mimisan.
5. Mengapa tina mengalami penurunan nafsu makan?
Jawaban :
Merasa nyeri,mual muntah sehingga nafsu makan menurun da nada splenomegaly
menekan lambung dan ketika makan bisa terjadi refluks
6. Bagaimana hubungan riwayat kepulangan dari papua 2 minggu yanglalu dengan keluhan?
Jawaban :
Masa inkubasi 5-7 hari, papua Indonesia timur punya insidensi malaria tinggi daerah
endemis malaria dan dimana spesies parasite malaria plasmodium falciparum dll.
Kemungkinan besar tertular malaria, disebut daerah endemis dari intensitas j=curah hujan dll,
di sana kekebalan udah terbentuk dari malaria sehingga orang traveler tidak resisten dan bbisa
terkena gejala dari malaria.
7. Mengapa keluhan tina tidak kunjung membaik walau diberi obat penurun panas?
Jawaban :
Kemungkinan ibu hanya memberi obat penurun panas dan tidak memberikan obat yang
menyebuhkan penyebabnya.
8. Mengapa dokter UGD menyarankan tes darah lengkap dan GDA?
Jawaban :
Pada konfirmasi tes darah lengkap untuk mengetahui penyebab infeksi mikroskopis untuk
konfirmasi malaria melalui apusan darah tebal dan tipis dan untuk mengetahui jenis jenis
plasmodium yang mana, tes darah lengkapuntu melihat jenis malaria, plasmodium dan
kepadatan parasite. Disarankan GDA karena infeksi dan parasite itu makannya melalui glukosa
jadi tujuan dokternya untuk mensuspek jenis penyebabnya dan mengeliminasi dari virus. Untuk
mengetahui apakah hipoglikemia atau tidak
9. Apa interpretasi pemeriksaan fisik?
Jawaban :
Sakit berat, tbbb normal, TD batas rendah,RR naik,suhu demam, konjungtiva pucat tanda
anemia, leherkgb normal, toraks normal, bising usus normal, nyeri epigastrium karena
splenomegaly palpasi limpa udah mau sampai umbilicus, konsistensi keras karena infiltrasi
pemecahan eritrosit banyak.
5
10. Bagaimana interpretasi pemeriksaan laboratorium?
Jawaban :
Hb cenderung turun karena kondisi anemia, HT turun, trombosit turun potensi perdarahan
dan hambatan pembuluh darah, leukosit tinggi karena infeksi, sediaan darah tebal , sediaan
darah tipis, GDA rendah
11. Apa hubungan keluarga px tidak memiliki riwayat serupa dengan keluhan?
Jawaban :
Untuk menyiingkirkan diagnosis malaria kongenital
12. Apa diagnosis dan diagnosis bandingnya?
Jawaban :
Malaria falciparum, DD: demam tifoid, demam berdarah, leptospirosis
13. Tatalaksana awal apa yang diberikan kepada px?
Jawaban :
Tergantung penyebabnya, diagnosis falciparum:
- Dha dan dhp 1 tablet masing masing 40mg dan 320mg.
- Primakuin 2 tablet 1xsehari, BB>60kg 4 tablet dhp 1xsehari selama 2 hari dan primaquin 3
tablet 1xsehari
- GDA infus dextrose gentian sama nacl
- Mual muntah antiemetic
- Demamparasetamol
14. Apa hbungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan?
Jawaban :
Prevalensi tertinggi usia 5-9 tahun dan diikuti balita kebawah untuk penderita malaria.
Untuk jenis kelamin tidak berpengaruh tetapi cenderung laki laki.
6
LANGKAH 4
Problem Tree
7
LANGKAH 5
Merumuskan Learning Outcome
8
LANGKAH 6
Self Directed Learning (SDL)
Mahasiswa melakukan SDL untuk mengumpulkan informasi baru agar mampu memahami
dan mencapai tujuan pembelajaran pada saat tutorial kedua.
9
LANGKAH 7
Pembahasan Learning Outcome
2. Epidemiologi Malaria
Berdasarkan data WHO (2018), pada tahun 2017 terdapat 219 juta kasus malaria di seluruh
dunia dan sekitar 92% atau 200 juta kasus terjadi di Afrika. Pada tahun 2010 terdapat 239 juta
kasus dan pada tahun 2016 terdapat 217 juta kasus malaria.
Pada tahun 2017, terdapat sekitar 435.000 kematian karena malaria secara global, 451.000
kematian pada tahun 2016 dan 607.000 kematian pada tahun 2010. Anak-anak berusia di bawah 5
10
tahun adalah kelompok yang paling rentan terkena malaria. Pada tahun 2017, mereka menyumbang
61% atau 266.000 dari semua kematian akibat malaria di seluruh dunia (WHO, 2018)
Morbiditas malaria pada suatu wilayah di Indonesia ditentukan dengan Annual Parasite
Incidence (API) per tahun. API merupakan jumlah kasus positif malaria per 1000 penduduk dalam
satu tahun. Tren API secara nasional pada tahun 2011 hingga 2015 terus mengalami penurunan.
Hal ini menunjukkan keberhasilan program pengendalian malaria yang dilakukan baik oleh
pemerintah pusat, daerah, masyarakat dan mitra terkait (Kemenkes RI, 2016)
Menurut Kemenkes RI (2016), wilayah timur Indonesia memiliki angka API tertinggi.
Sedangkan DKI Jakarta dan Bali memiliki angka API nol dan sudah masuk dalam kategori provinsi
bebas malaria.
11
Indonesia menduduki urutan ketiga terburuk di ASEAN setelah Timor Leste dan Kamboja
dengan kasus malaria pada tahun 2010 sebesar 229.819 kasus dan persentase kematian anak balita
akibat malaria cenderung meningkat dari 1% pada tahun 2000 menjadi 2% pada tahun 2010
(WHO, 2012). Penelitian Hakim (2013) di Kabupaten Pangandaran menemukan Parasite Rate
(PR) paling tinggi pada kelompok umur dibawah lima tahun dengan PR sebesar 100,00%.
12
Faktor Manusia dan Nyamuk (Host)
a. Manusia
- Umur
Anak-anak lebih rentan terhadap infeksi malaria. Anak yang bergizi baik justru
lebih sering mendapat kejang dan malaria selebral dibandingkan dengan anak yang
bergizi buruk. Akan tetapi anak yang bergizi baik dapat mengatasi malaria berat
dengan lebih cepat dibandingkan anak bergizi buruk (Babba., 2007).
- Jenis Kelamin
Perempuan mempunyai respon yang kuat dibandingkan laki-laki tetapi apabila
menginfeksi ibu yang sedang hamil akan menyebabkan anemia yang lebih berat
(Babba., 2007).
- Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi malaria sebelumnya biasanya terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap malaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis
biasanya mempunyai imunitas alami terhadap penyakit malaria (Babba., 2007).
- Ras
Beberapa ras manusia atau kelompok penduduk mempunyai kekebalan alamiah
terhadap malaria, misalnya sickle cell anemia dan ovalositas (Babba., 2007).
- Status Gizi
Menurut Babba (2007), masyarakat yang gizinya kurang baik dan tinggal di daerah
endemis malaria lebih rentan terhadap infeksi malaria. Status gizi dihitung dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
b. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan
hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air. Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-
300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi
kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa (Babba., 2007).
Umur nyamuk relatif pendek, nyamuk jantan umurnya lebih pendek (kurang 1 minggu),
sedang nyamuk betina lebih panjang sekitar rata-rata 1-2 bulan (Babba., 2007).
13
Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang
ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi
setelah 24-48 jam setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk Anopheles betina yaitu darah,
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya. Nyamuk Anopheles yang ada di Indonesia berjumlah
80 spesies. Sampai saat ini di Indonesia telah ditemukan sejumlah 24 spesies yang dapat
menularkan malaria. Tidak semua Anopheles tersebut berperan penting dalam penularan malaria
(Babba., 2007).
14
Faktor Lingkungan
a. Lingkungan Fisik
- Suhu udara
Suhu udara sangat mempengaruhi panjang pendeknya siklus sporogoni atau masa
inkubasi ekstrinsik. Makin tinggi suhu (sampai batas tertentu) makin pendek masa inkubasi
ekstrinsik, dan sebaliknya makin rendah suhu makin panjang masa inkubasi ekstrinsik.
Pada suhu 26,7oC masa inkubasi ekstrinsik pada spesies Plasmodium berbeda beda yaitu
P.falciparumI 10 samapi 12 hari, P.vivax 8 samapi 11 hari, P.malariae 14 hari P.ovale 15
hari. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar
antara 25-30o C 32. Menurut penelitian Barodji (1987) bahwa proporsi tergigit nyamuk
Anopheles menggigit adalah untuk di luar rumah 23-24oC dan di dalam rumah 25-26oC
sebagai suhu optimal (Babba., 2007).
- Kelembaban udara
Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk. Kelembaban
mempengaruhi kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahan, dan lain-lain
dari nyamuk. Tingkat kelembaban 60% merupakan batas paling rendah untuk
memungkinkan hidupnya nyamuk. Pada kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih
aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan malaria. Menurut
penelitian Barodji (1987) menyatakan bahwa nyamuk Anopheles paling banyak menggigit
di luar rumah pada kelembaban 84-88%dan di dalam rumah 70-80% (Babba., 2007).
- Ketinggian
Secara umum malaria berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Hal ini
berkaitan dengan menurunnya suhu rata-rata. Pada ketinggian di atas 2000 m jarang ada
transmisi malaria. Ketinggian paling tinggi masih memungkinkan transmisi malaria ialah
2500 m di atas permukaan laut (Babba., 2007).
- Angin
Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat
terbangnya nyamuk ke dalam atau keluar rumah, adalah salah satu faktor yang ikut
menentukan jumlah kontak antara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight
range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang
nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat
perindukannya. Bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km
(Babba., 2007).
- Hujan
Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi bentuk dewasa.
Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan
15
jenis vektor dan jenis tempat perkembangbiakan (breeding place). Hujan yang diselingi
panas akan memperbesar kemungkinan berkembang biaknya nyamuk Anopheles (Babba.,
2007).
- Sinar matahari
Sinar matahari memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada spesies nyamuk.
Nyamuk An. aconitus lebih menyukai tempat untuk berkembang biak dalam air yang ada
sinar matahari dan adanya peneduh. Spesies lain tidak menyukai air dengan sinar matahari
yang cukup tetapi lebih menyukai tempat yang rindang, Pengaruh sinar matahari terhadap
pertumbuhan larva nyamuk berbeda-beda. An. sundaicus lebih suka tempat yang teduh, An.
hyrcanus spp dan An. punctulatus spp lebih menyukai tempat yang terbuka, dan An.
barbirostris dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang (Babba., 2007).
- Arus air
An. barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis / mengalir lambat, sedangkan
An. minimus menyukai aliran air yang deras dan An. letifer menyukai air tergenang. An.
Maculatus berkembang biak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau
berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti
dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An. subpictus air
payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi
nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya (Babba., 2007).
- Tempat perkembangbiakan nyamuk
Tempat perkembangbiakan nyamuk Anopheles adalah genangangenangan air, baik air
tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar
harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air
tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas
genangan air besar dan genangan air kecil (Babba., 2007).
- Keadaan dinding
Keadaan rumah, khususnya dinding rumah berhubungan dengan kegiatan
penyemprotan rumah (indoor residual spraying) karena insektisida yang disemprotkan ke
dinding akan menyerap ke dinding rumah sehingga saat nyamuk hinggap akan mati akibat
kontak dengan insektisida tersebut. Dinding rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan
lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Piyarat (1986) dibagian timur Thailand menemukan hubungan antara keadaan/tipe rumah
dengan kejadian malaria (p=0,000). Penelitian Suwendra (2003) menyebutkan bahwa ada
hubungan antara keadaan dinding/lantai rumah dengan kejadian malaria (p=0,000), dimana
rumah dengan dinding/lantai berlubang berpeluang menderita malaria 2,74 kali
dibandingkan dengan rumah yang keadaan dinding/lantai rapat. Penelitian Yoga (1999)
16
menyatakan bahwa penduduk dengan rumah yang dindingnya banyak berlubang berisiko
sakit malaria 18 kali di banding dengan rumah penduduk yang mempunyai dinding rapat
(Babba., 2007).
- Pemasangan kawat kasa
Pemasangan kawat kasa pasda ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak
nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat
masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat
mengurangi kontak antara nyamuk Anopheles dan manusia. Hasil penelitian Rizal (2001)
menyebutkan bahwa masyarakat yang rumahnya tidak terlindung dari nyamuk mempunyai
risiko 2,41 kali untuk tertular malaria dibandingkan dengan rumah yang terlindung dari
nyamuk. Demikian juga penelitian Masra (2002), yaitu ada hubungan antara pemasangan
kawat kasa pada ventilasi rumah dengan kejadian malaria (p=0,000, OR=5,689). Penelitian
Suwendra juga menyebutkan adanya hubungan antara kawat kasa dengan kejadian malaria
(p=0,000, OR=3,407). Menurut penelitian Akhsin bahwa ada hubungan antara pemasangan
kawat kasa dengan kejadian malaria (p=0,013, OR=10,67) (Babba., 2007).
b. Lingkungan Kimia
Dari lingkungan ini yang baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat
perkembangbiakan. Sebagai contoh An. Sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang
kadar garamnya berkisar antara 12 – 18% dan tidak dapat berkembang biak pada kadar
garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di Sumatera Utara An. Sundaicus sudah
ditemukan pula dalam air tawar. An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH rendah
(Babba., 2007).
c. Lingkungan Biologi
Tumbuhan bakau, lumut, ganggang dan berbagai tumbuhan lain dapat mempengaruhi
kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan
makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepala
timah (panchax spp), gambusia, nila, mujair dan lain-lain akan mempengaruhi populasi
nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau dan babi dapat
mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan
tidak jauh dari rumah (Babba., 2007).
d. Lingkungan Sosial Ekonomi dan Budaya
- Kebiasaan keluar rumah
Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat
eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Kebiasaan penduduk berada di
luar rumah pada malam hari dan juga tidak berpakaian berhubungan dengan kejadian
malaria (Babba., 2007).
17
- Pemakaian kelambu
Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemakaian kelambu secara teratur pada
waktu tidur malam hari mengurangi kejadian malaria. Menurut penelitian Piyarat (1986),
penduduk yang tidak menggunakan kelambu secara teratur mempunyai risiko kejadian
malaria 6,44 kali dibandingkan dengan yang menggunakan kelambu. Penelitian Fungladda
(1986), menyebutkan ada perbedaan yang bermakna antara pemakaian kelambu setiap
malam dengan kejadian malaria (p=0,046) sebesar 1,52 kali. Penelitian Suwendra (2003),
menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian
malaria (p=0,000). Penelitian Masra (2002), menunjukkan ada hubungan antara kebiasan
menggunakan kelambu dengan kejadian malaria (p=0,000).50 Penelitian CH2N-UGM
(2001) menyatakan bahwa individu yang tidak menggunakan kelambu saat tidur
berpeluang terkena malaria 2,8 kali di bandingkan dengan yang menggunakan kelambu
saat tidur (Babba., 2007).
- Obat anti nyamuk
Kegiatan ini hampir seluruhnya dilaksanakan sendiri oleh masyarakat seperti
menggunakan obat nyamuk bakar, semprot, oles maupun secara elektrik. Penelitian Subki
(2000), menyatakan bahwa ada hubungan antara penggunaan obat anti nyamuk dengan
kejadian malaria (p=0.001) (Babba., 2007).
- Pekerjaan
Hutan merupakan tempat yang cocok bagi peristirahatan maupun perkembangbiakan
nyamuk (pada lubang di pohon-pohon) sehingga menyebabkan vektor cukup tinggi.
Menurut Manalu (1997) dalam Babba (2007), masyarakat yang mencari nafkah ke hutan
mempunyai risiko untuk menderita malaria karena suasana hutan yang gelap memberikan
kesempatan nyamuk untuk menggigit. Penelitian Subki (2000) dalam Babba (2007),
menyebutkan ada hubungan bermakna antara pekerjaan yang berisiko (nelayan, berkebun)
dengan kejadian malaria sebesar 2,51 kali dibandingkan yang tidak berisiko (pegawai,
pedagang) (p=0,007) (Babba., 2007).
- Pendidikan
Tingkat pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian malaria
tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehatan seseorang. Hasil
penelitian Rustam (2002), menyatakan bahwa masyarakat yang tingkat pendidikannya
rendah berpeluang terkena malaria sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan yang
berpendidikan tinggi (Babba., 2007).
18
Faktor Agent (Plasmodium)
Menurut Babba (2007), agent atau penyebab penyakit adalah semua unsur atau
elemen hidup ataupun tidak hidup dimana dalam kehadirannya, bila diikuti dengan
kontak efektif dengan manusia yang rentan akan menjadi stimulasi untuk memudahkan
terjadinya suatu proses penyakit. Penyebab penyakit malaria dari genus Plasamodium,
family Plasmodiidae dan ordo Coccidiidae. Hingga saat ini parasit malaria yang
dikenal ada 4 macam, yaitu :
a. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika yang sering
menyebabkan malaria otak/berat dengan risiko kematian yang tinggi.
b. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
c. Plasmodium malariae, penyebab malaria quartana.
d. Plasmodium ovale, jarang dijumpai terbanyak ditemukan di Afrika dan
Pasifik Barat.
Pada penderita penyakit malaria, penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu
jenis plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed infection).
Kejadian infeksi campuran ini biasanya paling banyak dua jenis parasit, yakni
campuran antara Plasmodium falcifarum dengan Plasmodium vivax atau Plasmodium
malariae. Kadang-kadang di jumpai tiga jenis parasit sekaligus meskipun hal ini jarang
terjadi. Infeksi campuran ini biasanya terjadi di daerah yang tinggi angka penularannya
(Babba., 2007).
4. Etiologi Malaria
Menurut Nelson (2000), penyakit malaria ini disebabkan oleh parasit plasmodium. Species
plasmodium pada manusia adalah :
1. Plasmodium falciparum, penyebab malaria tropika.
2. Plasmodium vivax, penyebab malaria tertiana.
3. Plasmodium malariae, penyebab malaria malariae (quartana)
4. Plasmodium ovale, penyebab malaria ovale.
Menurut Riskesdas (2014), parasit yang menyebabkan malaria disebut plasmodium. Ada 170
jenis plasmodium, tapi hanya empat yang menyebabkan malaria pada manusia:
1. P. Falciparum, merupakan jenis yang banyak terdapat di Afrika dan menyebabkan gejala
yang parah
2. P. Vivax, merupakan jenis ang banyak terdapat di daerah tropis Asia
3. P. Malariae benyak terdapat di Afrika dan dapat berdiam di aliran darah tanpa
menimbulkan gejala apapun untuk beberapa tahun
19
4. P. Ovale, banyak terdapat di Afrika bagian barat.
Kini plasmodium knowlesi yang selama ini dikenal hanya ada pada monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), ditemukan pula ditubuh manusia. Penelitian sebuah tim internasional yang
dimuat jurnal Clinical Infectious Diseases memaparkan hasil tes pada 150 pasien malaria di rumah
sakit Serawak, Malaysia, Juli 2006 sampai Januari 2008, menunjukkan, dua pertiga kasus malaria
disebabkan infeksi plasmodium knowlesi (Nelson, 2000).
Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi yang berat dan bahkan dapat
menimbukan suatu variasi manisfestasi-manifestasi akut dan jika tidak diobati, dapat menyebabkan
kematian. Seorang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis plasmodium, dikenal sebagai infeksi
campuran / majemuk (mixed infection). Pada umumnya lebih banyak dijumpai dua jenis
plasmodium, yaitu campuran antara plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau
plasmodium malariae. Kadang-kadang dijumpai tiga jenis plasmodium sekaligus, meskipun hal ini
jarang terjadi. Infeksi campuran biasanya terdapat di daerah dengan angka penualaran tinggi (Band,
2004).
Nyamuk anophelini berperan sebagai vektor penyakit malaria. Nyamuk anophelini yang
berperan hanya genus Anopheles. Di seluruh dunia, genus anopheles ini diketahui jumlahnya kira-
kira 2000 species, diantaranya 60 species diketahui sebagai vektor malaria (Band, 2004).
Masa inkubasi yaitu rentan waktu sejak sporozoit masuk sampai timbulnya gejala klinis
yang ditandai denagan demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung species plasmodium.
Berbagai studi menunjukkan, pada infeksi plasmodium knowlesi, siklus reproduksi aseksual
(pembelahan diri dalam tubuh manusia atau hewan) terjadi dalam waktu 24 jam. Lebih cepat
dibandingkan siklus 48 jam pada plasmodium vivax, plasmodium ovale, dan plasmodium
falciparum, sedangkan 72 jam pada plasmodium malariae. Setiap kali sel-sel membelah akan
terjadi serangan demam.
Tabel 1. Masa Inkubasi Jenis Plasmodium
20
dalam berbagai fase perkembangannya dalam hospes vertebrata ataupun pada vektor nyamuk
ditemukan (Prasetyorini., 2008).
Pada P. vivax, stadium trofozoit mudanya tampak seperti cincin dengan titik kromatin pada
satu sisi dan cenderung menginfeksi retikulosit. Gametositnya berbentuk lonjong dan
mikrogametositnya mempunyai inti yang besar berwarna merah muda pucat dengan sitoplasma
yang berwarna biru pucat. Dibandingkan dengan P.vivax, P. malariae mempunyai ukuran merozoit
yang lebih kecil, jumlah merozoit eritrosit lebih sedikit, memerlukan lebih sedikit hemoglobin,
bentuknya menyerupai bunga seruni, gametosit mirip P.vivax, tetapi jumlah pigmennya lebih
sedikit. Untuk P. ovale, eritrosit yang lonjong serta bergerigi pada satu ujungnya merupakan tanda
yang spesifik untuk tipe parasit ini. Sedangkan bentuk cincin yang menempel pada pinggir
membran eritrosit merupakan ciri yang khas adanya infeksi oleh P. falciparum. Dua titik kromatin
di dalam satu bentuk cincin sering ditemukan pada infeksi dengan P. falciparum, sedangkan pada
infeksi dengan P. vivax atau P. malariae jarang ditemukan (Prasetyorini., 2008)
Ada beberapa perbedaan karakteristik Plasmodium sp. yang dapat menginfeksi manusia.
Selain perbedaan morfologi juga terdapat perbedaan ciri siklus skizogoni hati dan eritrosit yang
berlangsung dalam tubuh manusia. Di antara keempat jenis Plasmodium sp., P. falciparum
memiliki siklus skizogoni hati dan eritrosit yang paling singkat. Karakteristik lain tentang keempat
jenis Plasmodium sp. dapat dilihat pada Tabel x (Grandahusada, 2003).
21
Tabel 2. Karakteristik spesies Plasmodium sp.
Nyamuk memiliki ukuran tubuh yang relatif kecil, memiliki kaki panjang dan merupakan
serangga yang memiliki sepasang sayap sehingga tergolong pada Ordo Diptera dan Famili
Culicidae. Nyamuk dewasa berbeda dari Ordo Diptera lainnya karena nyamuk memiliki proboscis
yang panjang dan sisik pada bagian tepi dan vena sayapnya. Tubuh nyamuk terdiri atas tiga bagian
yaitu kepala, dada dan perut. Nyamuk jantan berukuran lebih kecil daripada nyamuk betina
(O’connor., 1999).
Nyamuk memiliki sepasang antena berbentuk filiform yang panjang dan langsing serta terdiri
atas lima belas segmen. Antena dapat digunakan sebagai kunci untuk membedakan kelamin pada
22
nyamuk dewasa. Bulu antena nyamuk jantan lebih lebat daripada nyamuk betina. Bulu lebat pada
antenna nyamuk jantan disebut plumose sedangkan pada nyamuk betina yang jumlahnya lebih
sedikit disebut pilose. Palpus dapat digunakan sebagai kunci identifikasi karena ukuran dan bentuk
palpus masing-masing spesies berbeda. Sepasang palpus terletak diantara antena dan proboscis.
Palpus merupakan organ sensorik yang digunakan untuk mendeteksi karbondioksida dan
mendeteksi tingkat kelembaban. Proboscis merupakan bentuk mulut modifikasi untuk menusuk.
Nyamuk betina mempunyai proboscis yang lebih panjang dan tajam, tubuh membungkuk serta
memiliki bagian tepi sayap yang bersisik (Brown., 1979).
Pada stadium dewasa palpus nyamuk jantan dan nyamuk betina mempunyai panjang yang
hampir sama dengan panjang probosisnya. Perbedaannya adalah pada nyamuk jantan ruas palpus
bagian apikal berbentuk gada (club form), sedangkan pada nyamuk betina ruas tersebut mengecil.
Sayap pada bagian pinggir (costa dan vena I) ditumbuhi sisik- sisik sayap yang berkelompok
membentuk gambaran belang-belang hitam putih. Bagian ujung sayap tumpul, bagian posterior
abdomen tidak seruncing nyamuk Aedes dan juga tidak setumpul nyamuk Mansonia, tetapi sedikit
melancip (Hoedojo., 1998).
Perut nyamuk tediri atas sepuluh segmen, biasanya yang terlihat segmen pertama hingga
segmen ke delapan, segmen-segmen terakhir biasanya termodifikasi menjadi alat reproduksi.
Nyamuk betina memiliki 8 segmen yang lengkap, akan tetapi segmen ke sembilan dan ke sepuluh
termodifikasi menjadi cerci yang melekat pada segmen ke sepuluh (Nukmal., 2011).
Nyamuk Anopheles dewasa mudah dibedakan dari jenis nyamuk yang lain, nyamuk ini
memiliki dua palpusmaxilla yang sama panjang dan bergada pada yang jantan. Scutellum bulat rata
dan sayapnya berbintik. Bintik sayap pada Anopheles disebabkan oleh sisik pada sayap yang
berbeda warna (Borror., 1996).
Klasifikasi nyamuk Anopheles menurut Borror (1996) adalah :
Kingdom : Animalia
Filum : Invertebrata
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culcidae
Genus : Anophelini
Spesies : Anopheles sp.
23
Menurut O’Connor (1999), cara mengidentifikasikan nyamuk Anopheles sp. berdasarkan
struktur morfologinya :
24
tubuh nyamuk masuk ke dalam darah manusia sehingga manusia tersebut terinfeksi lalu menjadi
sakit (Arsin., 2012).
25
membelah menjadi skizon yang mengandung merozoit (Arsin., 2012). Di dalam skizon
mengandung sekitar 10.000-30.000 merozoit (Tanto et al., 2016). Pada P. vivax dan P. ovale
ditemukan bentuk laten yang berada dalam fase ekso-eritrositik (EE) yang disebut bentuk
hipnozoit. Fase laten ini bisa dapat mengakibatkan relaps atau kambuh yang berlangsung
hingga bertahun-tahun bergantung pada jenis Plasmodium yang menginfeksi (Arsin., 2012).
Pada akhir fase pre-eritrositik terjadi ruptur sel hepatosit dan sel kuppfer sehingga skizon
melepaskan banyak merozoit dan segera menuju ke aliran darah yang akan masuk ke dalam
fase eritrositik (Tanto et al., 2016).
Fase Eritrositik
Setelah merozoit masuk ke dalam sirkulasi darah, merozoit segera menginfeksi eritrosit
dan melakukan multiplikasi kembali di dalamnya. Di dalam eritrosit merozoit akan berubah
menjadi tropozoit dan akan membentuk skizon yang akan merupturkan eritrosit dan
mengeluarkan banyak merozoit kembali ke dalam sirkulasi darah (Tanto et al., 2016).
Eritrosit ruptur dan merozoit kembali beredar di sirkulasi (parasitemia). Bersama rupturnya
eritrosit, merozoit akan mengeluarkan GPI yang akan menginduksi sel monosit untuk
mengeluarkan TNF yang akan menyebabkan kondisi demam (Arsin., 2012). Setelah
mengalami pembelahan skizogoni beberapa kali (2-3 siklus), sebagian merozoit akan
mengalami fase gametosit. Di dalam fase ini, merozoit akan membentuk mikrogametosit
dan makrogametosit yang siap untuk masuk ke dalam siklus seksual di dalam vektor
Anopheles ketika nyamuk tersebut menggigit kulit manusia (hospes) dan menghisap darah
manusia (hospes) (Tanto et al., 2016).
Fase Seksual
Siklus seksual di dalam vektor dimulai ketika nyamuk menghisap darah manusia
(hospes) yang terinfeksi Plasmodium dalam fase gametosit. Mikrogametosit dan
makrogametosit Plasmodium masuk ke dalam lambung nyamuk dan terjadi pembuahan
(Tanto et al., 2016). Mikrogametosit dan makrogametosit akan melepaskan sebutir kromatin
dan berubah menjadi mikrogamet dan makrogamet. Selanjutnya mikrogamet akan masuk ke
dalam makrogamet dan terjadi pembuahan yang menghasilkan zigot. Setelah itu zigot akan
berkembang menjadi ookinet yang berbentuk lonjong dan panjang. Ookinet akan bergerak
menembus dinding lambung (Arsin., 2012). Setelah ookinet menembus lapisan epitel-epitel
lambung, ookinet berkembang dan berubah menjadi ookista (Tanto et al., 2016). Dalam
ookista terlihat titik yang banyak sekali jumlahnya yang merupakan hasil dari pembelahan.
Apabila sudah tua ookista pecah dan keluarlah sporozoit yang masuk ke dalam cairan
rongga tubuh nyamuk dan bergerak menuju kelenjar ludah nyamuk (Arsin., 2012).
26
Gambar 7. Siklus Hidup Plasmodium
Sumber: Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemiologi, 2012
6. Patofisiologi Malaria
Secara umum, patofisiologi malaria dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti parasit, host
(inang), serta geografis dan sosial. Setelah melalui jaringan hati, Plasmodium akan melepaskan
merozoit ke dalam sirkulasi. Beberapa merozoit akan menginvasi sel darah merah. Siklus ini
disebut siklus aseksual dalam eritrosit. Keadaan inilah yang bertanggungjawab pada pathogenesis
malaria pada manusia. Invasi ke dalam sel darah merah dapat dimungkinkan dengan terdapatnya
reseptor-reseptor antara parasit dan sel darah merah (Harjianto, 2007).
Baik Plasmodium falciparum maupun Plasmodium vivax dapat menyebabkan anemia
berat, tetapi hanya Plasmodium falciparum yang dapat menyebabkan banyak komplikasi seperti
serebral malaria, hipoglikemia, asidosis metabolik, ARDS. Perbedaan itu disebabkan beberapa hal:
(1) Plasmodium falciparum menyerang sejumlah besar sel darah merah sedangkan Plasmodium
vivax hanya menyerang retikulosit. (2) Plasmodium vivax hanya menyerang Duffy Blood Group
dan Retikulosit, sedangkan Plasmodium falciparum punya banyak cara untuk menyerang sel darah
merah (Harjianto, 2007).
Perbedaan penting antara Plasmodium falciparum dengan jenis Plasmodium lainnya adalah
kemampuannya memodifikasi permukaan sel darah merah sehingga PRBC dapat berikatan dengan
endotelium dan plasenta. Pada permukaan P-RBC banyak terdapat knob-knob yang disinyalir
merupakan alat perlekatan ke sel-sel host serta merupakan alat penghindar parasit dari sistem imun
dan klirens limpa. Perlekatan antara P-RBC dengan sel-sel host inilah merupakan penyebab utama
patogenesis malaria. Perlekatan antara P-RBC dengan sel-sel host disebut sekuestrasi yang dapat
27
terjadi pada banyak organ seperti jantung, paru-paru, otak, hati, ginjal, jaringan subkutan, dan
plasenta (Miller et.al, 2002).
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Demam mulai
timbul bersamaan pecahnya skizon darah yang mengeluarkan macam-macam antigen. Antigen ini
akan merangsang makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan berbagai macam sitokin,
diantaranya Tumor Necrosis Factor (TNF). TNF akan dibawa aliran darah ke hipothalamus, yang
merupakan pusat pengatur suhu tubuh manusia. Sebagai akibat demam terjadi vasodilasi perifer
yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasite (Soemarwo, 2002.)
Gejala malaria salah satunya juga akibat adanya sitokin pro-inflamasi. Sitokin ini
terekspresi di sel endotel, monosit, dan makrofag yang mendapat stimulasi dari malaria
toksin (LPS, GPI). Sitokin-sitokin ini antara lain Tumor Necrosis Factor-α (TNF-α),
interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), interleukin-3 (IL-3), lymphotoxin (LT), dan
interferon-γ (IFN-γ) (Miller et al., 2002; Harijanto, 2007).
28
berbeda-beda, P. falciparum memerlukan waktu 36-48 jam, P. ovale/vivax 48 jam, dan P.
malariae 72 jam. Demam pada P. falciparum terjadi setiap hari, P. ovale/vivax selang satu
hari, dan P. malariae selang waktu 2 hari (Depkes RI, 2008).
Anemia terutama disebabkan oleh pecahnya eritrosit dan fagositosis oleh sistem
retikuloendotetial. Hebatnya hemolisis tergantung pada jenis plasmodium dan status imunitas
penjamu. P. falciparum menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehinga anemia dapat
terjadi pada infeksi akut maupun kronik. P. vivax/ovale hanya menginfeksi sel darah merah
muda yang jumlahnya hanya 2% dari jumlah seluruh sel darah merah, sedangkan P.
malariae menginfeksi sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah seluruh
sel darah merah, sehingga anemia yang terjadi karena P. vivax/ovale dan P. malariae
biasanya terjadi pada infeksi kronik (Depkes RI, 2008).
Anemia juga disebabkan oleh hemolisis autoimun, sekuentrasi oleh limpa pada eritrosit
yang terinfeksi maupun yang normal dan gangguan eritropoisis. Hiperglikemi dan
hiperbilirubinemia sering terjadi. Hemoglobinuria dan Hemoglobinemia dijumpai bila hemolisis
berat. Kelainan patologik pembuluh darah kapiler pada malaria tropika, disebabkan kartena sel
darah merah terinfeksi menjadi kaku dan lengket, perjalanannya dalam kapiler terganggu sehingga
melekat pada endotel kapiler karena terdapat penonjolan membran eritrosit. Setelah terjadi
penumpukan sel dan bahan-bahan pecahan sel maka aliran kapiler terhambat dan timbul hipoksia
jaringan, terjadi gangguan pada integritas kapiler dan dapat terjadi perembesan cairan bukan
perdarahan kejaringan sekitarnya dan dapat menimbulkan malaria cerebral, edema paru, gagal
ginjal dan malobsorsi usus (Band JD, 2004).
29
7. Manifestasi klinis dan Kriteria diagnosis Malaria
Anamnesis
Pada anamnesis perlu untuk diperhatikan :
a. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual, untah,
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat malaria
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria (Kemenkes, 2017).
Pemeriksaan Fisik
Tanda Patognomonis
a. Pada periode demam :
Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh meningkat dapat sampai di atas 40 0C
dan kulit kering
Pasien dapat juga terlihat pucat
Nadi teraba cepat
Pernapasan cepat (takipneu)
b. Pada periode dingin dan berkeringat :
Kulit teraba dingin dan berkeringat
Nadi teraba cepat dan lemah
Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan kesadaran (PPK, 2014).
Kepala : konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan pada malaria serebral dapat
ditemukan kaku kuduk .
Toraks : terlihat pernapasan cepat.
Abdomen : teraba pembersaran hepar dan limpa, dapat juga ditemukan asites.
Ginjal : bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman, oliguri atau anuri.
Ekstremitas : akral teraba dingin merupakan tanda-tanda menuju syok (PPK, 2014).
Pada malaria berat akan ditemukan Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal
satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (Kemenkes, 2017):
30
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%) (Kemenkes, 2017).
Kriteria Diagnosis
31
8. Pemeriksaan Penunjang Malaria
Pemeriksaan Laboratorium Untuk mendapatkan kepastian diagnosis malaria harus
dilakukan pemeriksaan sediaan darah. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan melalui cara berikut.
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan dengan mikroskop merupakan gold standard (standar baku) untuk diagnosis
pasti malaria. Pemeriksaan mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan tipis.
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis di rumah sakit/Puskesmas/lapangan untuk
menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif);
b) Spesies dan stadium Plasmodium;
c) Kepadatan parasit:
1) Semi Kuantitatif
a) (-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB/lapangan pandang besar)
b) (+) = positif 1 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 100 LPB)
c) (++) = positif 2 (ditemukan 11 –100 parasit dalam 100 LPB)
d) (+++) = positif 3 (ditemukan 1 –10 parasit dalam 1 LPB)
e) (++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu:
- Kepadatan parasit < 100.000 /ul, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas > 50 %
2) Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau
sediaan darah tipis (eritrosit). Contoh: Jika dijumpai 1500 parasit per 200 lekosit, sedangkan
jumlah lekosit 8.000/uL maka hitung parasit = 8.000/200 X 1500 parasit = 60.000 parasit/uL. Jika
dijumpai 50 parasit per 1000 eritrosit = 5%. Jika jumlah eritrosit 4.500.000/uL maka hitung parasit
= 4.500.000/1000 X 50 = 225.000 parasit/uL (Depkes RI., 2008).
Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda imunokromatografi. Tes ini digunakan pada unit gawat darurat, pada saat terjadi KLB, dan
di daerah terpencil yang tidak tersedia fasilitas laboratorium mikroskopis. Hal yang penting yang
perlu diperhatikan adalah sebelum RDT dipakai agar terlebih dahulu membaca cara
penggunaannya pada etiket yang tersedia dalam kemasan RDT untuk menjamin akurasi hasil
pemeriksaan. Saat ini yang digunakan oleh Program Pengendalian Malaria adalah yang dapat
mengidentifikasi P. falcifarum dan non P. Falcifarum (Depkes RI., 2008).
32
Pemeriksaan dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan Sequensing DNA
Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada fasilitas yang tersedia. Pemeriksaan ini penting
untuk membedakan antara re-infeksi dan rekrudensi pada P. falcifarum. Selain itu dapat digunakan
untuk identifikasi spesies Plasmodium yang jumlah parasitnya rendah atau di bawah batas ambang
mikroskopis. Pemeriksaan dengan menggunakan PCR juga sangat penting dalam eliminasi malaria
karena dapat membedakan antara parasit impor atau indigenous (Depkes RI., 2008).
Selain pemeriksaan di atas, pada malaria berat pemeriksaan penunjang yang perlu
dilakukan adalah:
a. pengukuran hemoglobin dan hematokrit;
b. penghitungan jumlah leukosit dan trombosit;
c. kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT dan SGPT, alkali fosfatase,
albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan kalium, analisis gas darah); dan
d. urinalisis (Depkes RI., 2008).
a. Infeksi otak
33
Penderita panas dengan riwayat nyeri kepala yang progresif, hilangnya kesadaran,
kaku kuduk, kejang dan gejala neurologis lainnya. Pada penderita dapat dilakukan
analisa cairan otak dan imaging otak.
c. Tifoid ensefalopati
Gejala demam tifoid ditandai dengan penurunan kesadaran dan tandatanda demam
tifoid lainnya (khas adalah adanya gejala abdominal, seperti nyeri perut dan diare).
Didukung pemeriksaan penunjang sesuai demam tifoid.
d. Hepatitis A
Prodromal hepatitis (demam, mual, nyeri pada hepar, muntah, tidak bisa makan
diikuti dengan timbulnya ikterus tanpa panas), mata atau kulit kuning, dan urin seperti
air teh. Kadar SGOT dan SGPT meningkat > 5 kali tanpa gejala klinis atau meningkat
> 3 kali dengan gejala klinis.
Demam dengan ikterus, nyeri pada betis, nyeri tulang, riwayat pekerjaan yang
menunjang adanya transmisi leptospirosis (pembersih selokan, sampah, dan lain lain),
leukositosis, gagal ginjal. Insidens penyakit ini meningkat biasanya setelah banjir.
f. Glomerulonefritis akut
Gejala gagal ginjal akut dengan hasil pemeriksaan darah terhadap malaria negatif.
g. Sepsis
Demam dengan fokal infeksi yang jelas, penurunan kesadaran, gangguan sirkulasi,
leukositosis dengan granula-toksik yang didukung hasil biakan mikrobiologi.
34
Demam tinggi terus menerus selama 2 - 7 hari, disertai syok atau tanpa syok
dengan keluhan sakit kepala, nyeri tulang, nyeri ulu hati, manifestasi perdarahan
(epistaksis, gusi, petekie, purpura, hematom, hemetemesis dan melena), sering muntah,
penurunan jumlah trombosit dan peningkatan hemoglobin dan hematokrit, uji serologi
positif (antigen dan antibodi).
Tatalaksana malaria menurut Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria, 2017 sebagai berikut:
35
Pemberian dosis DHP berdasarkan berat badan, apabila tidak bila dilakukan maka
pemberian berdarakan umur. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan maka dosis
yang dipakai adalah berdasarkan berat badan. Apabila pasien P.falsiparum dengan BB>80 kg
dating kembali dalam waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan sediaan darah masih
positif P.falsiparum maka diberikan DHP dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3
hari.
2. Pengobatan malaria vivax yang kambuh
Pengobatan kasus malaria vivax yang kambuh diberikan regimen ACT yang sama tapi
dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/KgBB/hari
3. Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT yaitu DHP ditambahn dengan
primakuin selama 14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan malaria vivax
4. Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P.malariae cukup diberikan ACT 1 kali perhari selama 3 hari, dengan dosis
sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin
36
Pengobatan malaria pada ibu hamil
Pengobatan malaria pada ibu hamil sama dengan pengobatan pada orang dewasa. Pada ibu
hamil tidak diberikan primakuin
37
glomerulus. Beberapa faktor resiko yang mempermudah terjadinya GGA ialah hiperparasitemia,
hipotensi, ikterus, hemoglobinuria (Zulkarnain,2006).
c. Kelainan Hati (Malaria Biliosa)
Jaundice atau ikterus sering dijumpai pada infeksi malaria falsiparum.Terjadi penurunan
aliran darah ke hepar, dan akan kembali normal pada fase penyembuhan. Mungkin ini disebabkan
karena sekuestrasi dan sitoadheren yang menyebabkan obstruksi mikro-vaskuler (Harijanto,2000).
d. Hipoglikemia:
Penyebab terjadinya hipoglikemi yang paling sering ialah karena pemberian terapi kina
(dapat terjadi 3 jam setelah infus kina). Penyebab lainnya ialah kegagalan glukoneogenesis pada
penderita dengan ikterik, hiperparasitemia oleh karena parasit mengkonsumsi karbohidrat, dan
karena TNF alfa yang meningkat (Harijanto,2000).
e. Malaria Haemoglobinuri (Blackwater Fever)
Adalah suatu sindrom dengan gejala karakteristik serangan akut, menggigil, demam,
hipotensi, hemolisis intravaskuler, homoglobinemi, hemoglobinuri dan gagal ginjal. Dahulu
dilaporkan terjadi sebagai komplikasi dari infeksi P.falciparum yang berulang-ulang pada orang
non-imun dengan pengobatan kina yang tidak teratur untuk profilak maupun pengobatan. Parasit
tidak dijumpai atau hanya sedikit. Penderita biasanya mengeluh nyeri pinggang, muntah, diare,
poliuria, diikuti oliguria dengan kencing warna hitam. Pada pemeriksaan fisik dijumpai
hepatosplenomegali, anemia dan ikterik.
Tahun 1990 terdapat 21 kasus Blackwater Fever dari orang Eropa yang tinggal di
SubSahara Afrika, semua pasien dengan makroskopis hemoglobinuria, ikterik dan anemia, gagal
ginjal akut terjadi pada 15 pasien dan 7 orang diantaranya dilakukan hemodialisa, perkiraan yang
menyebabkan Blackwater Fever adalah Halotantrine, kina dan meflokuin (Bronne et al,2001).
f. Malaria Algid
Adalah terjadinya syok vaskuler, ditandai dengan hipotensi (tekanan sistolik kurang dari
70 mmHg), perubahan tahanan perifer dan berkurangnya perfusi jaringan. Gambaran klinik berupa
perasaan dingin dan basah pada kulit, temperatur rektal tinggi, pernafasan dangkal, nadi cepat,
tekanan darah turun. Parasitemia biasanya padat dan sering dijumpai bentuk skizon. Adanya
hipotensi sering dihubungkan dengan terjadinya septisemia gram negatif, karena kultur darah
merupakan hal yang penting dilakukan. Selain itu perlu dikesampingkan pengaruh kekurangan
cairan (muntah, panas), edema paru, asidosis metabolik, perdarahan gastro-intestinal dan efek dari
pemberian obat malaria. Hipotensi biasanya berespon dengan pemberian NaCI 0,9% dan obat
inotropik disamping pemberian obat malaria (Mackintosh,2003).
g. Edema Paru
Sering terjadi pada malaria dewasa dan jarang pada anak. Edema paru merupakan
komplikasi yang paling berat dari malaria tropika dan sering menyebabkan kematian. Ada dua tipe
edema paru yang dapat terjadi : pertama karena kelebihan cairan, keadaan ini bila diketahui
38
secepatnya dapat diobati dengan pemberian diuretika, bentuk yang kedua ialah adult respiratory
distress syndrome, pada keadaan ini tekanan vena sentral normal dan pulmonary wedhe pressure
menurun (Harijanto,2000) .
h. Anemia
Anemia sering pada malaria, pada 30% kasus anemia diperlukan transfusi darah
(Thailand). Derajat anemia berkorelasi dengan parasitemia. Pada malaria akut, anemia berat sering
memberikan gejala serebral seperti tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, dan gejala
kardio-pulmonal (Harijanto,2000).
i. Limpa Ruptur
Sering dijumpai pada malaria kronik dengan limpa yang besar. Dapat terjadi secara
spontan atau karena trauma. Biasanya mulai dengan hematom subkapsular, yang diikuti perobekan
kapsular. Diagnosa dicurigai bila di jumpai syok sirkulasi dengan nyeri dan perasaan penuh pada
abdomen kiri atas (Harijanto,2000).
Prognosis
Pada infeksi malaria hanya terjadi mortalitas bila mengalami malari berat. Pada malaria
berat, mortalitas tergantung pada kecepatan penderita tiba di RS, kecepatan diagnosis dan
penanganan yang tepat. Walaupun demikian mortalitas penderita malaria berat di dunia masih
cukup tinggi bervariasi 15%-60% tergantung fasilitas pemberi pelayanan. Makin banyak jumlah
komplikasi akan diikuti dengan peningkatan mortalitas, misalnya penderita dengan malaria serebral
dengan hipoglikemia, peningkatan kreatinin, dan peningkatan bilirubin mortalitasnya lebih tinggi
dari pada malaria serebral saja (Harijanto,2000).
Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah doksisiklin dengan dosis 100mg/hari.
Obat ini diberikan 1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah tersebut sampai 4 minggu
setelah kembali. Tidak boleh diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah umur 8 tahun dan tidak
boleh diberikan lebih dari 6 bulan (Kemenkes RI, 2017).
Menurut Laihad dkk (2011), upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian
dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya antara lain meliputi diagnosis
39
dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang kesemuanya ditujukan
untuk memutus mata rantai penularan malaria
1. Pemakaian Kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan penyakit malaria.
Melalui bantuan Global Fund (GF) komponen malaria ronde 1 dan 6 telah dibagikan kelambu
berinsektisida ke 16 provinsi. Seperti terlihat pada gambar 16, kelambu dibagikan terbanyak di
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sedangkan di Sumatera Barat tidak ada laporan, hal ini
perlu dievaluasi untuk mengetahui penyebab tidak adanya laporan.
Gambar 11. Jumlah Kelambu Berinsektisida 2009
40
Untuk diagnosis malaria salah satu yang perlu dilihat adalah pemeriksaan sediaan darah.
Untuk pemeriksaan sediaan darah dari tahun 2008 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan penderita
malaria klinis yang diperiksa sediaan darahnya. Pada tahun 2008 dari 1.912.698 malaria klinis
diperiksa sediaan darahnya hanya 921.599 (48,18%). Tahun 2009 dan 2010 malaria klinis yang
diperiksa sedian darahnya sudah di atas 50% (tahun 2009 sebesar 75,61%, tahun 2010 sebesar
64,44%). Pencapaian ini dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan dengan dukungan dari
pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjaminan ketersediaan bahan/reagen lab/mikroskospis
malaria, kemampuan petugas kesehatan, jangkauan pelayanan kesehatan dan ketersediaan obat
malaria.
Cakupan Pengobatan ACT
Pengendalian malaria selalu mengalami perkembangan, salah satunya dalam hal
pengobatan. Dulu malaria diobati dengan klorokuin, setelah ada laporan resistensi, saat ini telah
dikembangkan pengobatan baru dengan tidak menggunakan obat tunggal saja tetapi dengan
kombinasi yaitu dengan ACT (Artemisinin-based Combination Therapy). Pada tahun 2010, dari
1.191.626 kasus malaria klinis yang diperiksa sediaan darahnya terdapat 237.394 kasus yang positif
menderita malaria, dan dari yang positif malaria, 211.676 (89,17%) mendapat pengobatan ACT.
Pencapaian ini jauh lebih tinggi daripada laporan Riskesdas tahun 2010, yang mendapatkan bahwa
pengobatan efektif baru mencapai 33%. Sebahagian besar pengobatan belum efektif, sehingga
perlu ada upaya baik dari pemerintah daerah dan pusat agar lebih yang memperhatikan
aksesibilitas/jangkauan pelayanan penderita malaria dan ketersediaan obat dan tenaga kesehatan di
daerah risiko tinggi malaria.
41
PETA KONSEP
42
43
SOAP
S Tina 5 tahun
KU : Demam, normal pada pagi hari meningkat pada sore hari
RPS : mengigil, nyeri kepala, mual muntah, nafsu makan dan minum turun
Riwayat Migrasi : 2 minggu yll dari papua
Riwayat Terapi : diberikan obat penurun panas tidak membaik
O Keadaan Umum : Lemah tampak sakit berat.TB: 100 cm, BB: 20 kg
Vital Sign :Tekanan darah: 90/60 mmHg, Nadi 120 x/menit, RR : 40x/menit,
Suhu: 39,5○C. Kepala: Konjungtiva pucat, mata cekung, bibir kering
Leher : Pembesaran KGB (-).
Thorax : Jantung dan Paru dalam batas normal.
Abdomen : didapatkan kesan normal pada inspeksi, bising usus normal, nyeri
pada palpasi regio epigastrium, pada
palpasi limpa juga teraba pada schuffner 3 dengan konsistensi keras.
A1 Malaria, Demam Tifoid, Demam Dengue, Leptospirosis
P1 Apusan darah tebal dan tipis, RDT
Darah lengkap dan GDA
A2 Malaria Tropika tanpa komplikasi (4A)
P2 Mrs
Infus RL : D5% = 1:1
Dhp + Primakuin
DHP 1,5 mg selama 3 hari
Primakuin : 0,5 tablet diberikan hari pertama satu kali saja
Antiemetic metoklopramid 2,5 mg 3xsehari
Demamparasetamol 10-15mg/kgbb 200mg diberikan tiap 4-6
jam sehari
Monef:
Pemeriksaan mikroskopis ulang di hari ke 3,7,14,21,28 saat klinis
membaik
Observasi dalam 28 hari
44
DAFTAR PUSTAKA
Arsin, A.A. 2012. Malaria di Indonesia: Tinjauan Aspek Epidemiologi. Makassar: Masagena Press
Babba, Ikrayama. 2007. Faktor-faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Malaria. Semarang:
Program Pascasarjana Universitas Diponegoro
Band JD.Malaria dalam tintinali JE Ed. 2004. Emergency medicine A Comprehensive Study Guide.
Edisi enam. New York : McGraw Hill. 953- 958.
Bronee F.Gachot B.2001.Resurgence of blackwater fever in long term European expatriates in
Africa.Clin Infect Dis Journal 32:1133-1140.
Brown, H.W. 1979. Dasar Parasitologi Klinis. Jakarta: Gramedia.
Clyde DF.Malaria.dalam: Nelson WE, Behrman RE,Kliegman R, Arvin AM,Ed. 2000. Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi 12. Jakarta : EGC. 328-334.
Departemen kesehatan RI. 2005. Pedoman Tatalaksana Kasus Malaria di Indonesia Jakarta. 1-37
Depkes, R.I., 2008. Pedoman penatalaksanaan kasus malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes RI.
Elsya, Aldonna. 2017. Pengaruh Transfuse Whoole Blood dan Packed Red Cell Terhadap Kadar
Hemoglobin. Unversitas Muhammadiyah Semarang
Gandahusada., Srisasi., Herry, D.I., dan Wita, P. 2003. Parasitologi Kedokteran edisi ketiga.
Jakarta: FKUI.
Hakim, Lukman. 2013. Faktor Risiko Penularan Malaria di Desa Pamotan Kabupaten
Pangandaran. Aspirator Vol.5 No. 2: 45-54. Ciamis: Badan Litbang Kesehatan Kemenkes
RI.
Harijanto, Paul. 2007. ‘Malaria’, in Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, ed. Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata, Setiati. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam.Jakarta: FK UI
Harijanto. 2006. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal:
1754-1766
Hoedojo. 1998. Morfologi, Daur Hidup dan Perilaku Nyamuk dalam Parasitologi Kedokteran
Edisi ketiga. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
IDAI. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medik Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid I. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Kementerian Kesehatan RI. 2016. InfoDATIN Malaria. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI.
45
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Buku Saku Penatalaksanaan Kasus Malaria. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI
Laihad, Ferdinand J, Paul Harijanto dan Jeanne Rini Poespoprodjo. 2011. Epidemiologi Malaria di
Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan Vol. 1. Triwulan 1. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Mackintosh CL, Beeson JG.2004. Clinical features and pathogenesis of severe malaria.Trends in
Parasitology.20:597-603.3.
Miller, L.H.; Baruch, D.I.; Marsh, K.; Doumbo, O.K. 2002. The pathogenic basis of malaria.
Nature
O'Connor, G.T., Olmstead, E.M., and Klein, R.Z. 1999. Randomized Trial on Calcium
Glucerophosphat-supplemented Infant Formula to Prevent Lead Absorption. U.S
American Journal Clinical Nutrition.
PPK. 2014. Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta:
Kementrian Kesehatan.
Prasetyorini, Nurul. 2008. Aktivitas Ekstrak Herba Sambiloto, Daun Pepaya, dan Buah Pare
terhadap Plasmodium Falciparum 2300 Resistensi Klorokuin. Bandung: ITB.
Riskesdas. 2013. Infodatin Situasi Malaria di Indonesia. Jakarta Selatan.
Soemarwo S. 2002. Malaria dalam Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis. Jakarta FK UI. 442-
461.
Zulkarnain I. Setiawan B. Malaria Berat.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid III.ed
IV:1767-1770.
46