Anda di halaman 1dari 8

Model Manajemen Islam

Abdus Saltar Abbasi, Kashif Ur Rehman and Amna Bibi

Mengelola sebuah organisasi adalah pekerjaan yang mebutuhkan keterampilan.


Saat ini, organisasi yang beroperasi secara global dihadapkan dengan banyak
tantangan. Baimana sosok para pemimpin perusahaan seharusnya menjalankan
kewajiban mereka, adalah salah satu dari pertanyaan penting bagi para peneliti
bisnis. Karya ilmiah ini menyajikan contoh atau model manjemen Islam; dimana
para pemeimpin terlebih dahulu harus menyerahkan otoritas kepemimpinan
mereka kepada Kuasa dan perintah Allah yang kemudian memperoleh
pengetahuan-pengetahuan dan lantas mempraktikan perintah-perintah tersebut
untuk melakukan pendekatan secara holistic dalam pengelolaan organisasi.
Berserah diri kepada Perintah Allah akan menanamkan kerendahan hati, rasa
tanggung jawab dan akuntabilitas diri bagi para pemimpin organisasi untuk
memenuhi tugas mereka sebaik mungkin. Pendekatan secara holistic terhadap
manajemen organisasi memberikan para pemimpi lebih banyak pilihan untuk
menyelesaikan masalah-maslah secara inovatif. Artikel ini menyimpulkan bahwa
model manajemen Islam cukup fleksibel untuk diterapkan atau diadapsikan sesuai
dengan keadaan-keadaan tertentu agar sebuah organisasi menghasilkan sesuatu
secara maksimal.

Kata kunci: Manajemen, pendekatan holistic, berserah diri, bertanggung jawab,


kerendahan hati, akuntabilitas

Pendahuluan

Islam berarti “Berserah diri” dimana manusia berserah diri atau bertawakal
terhadap kehendak dan tujuan Allah. Islam adalah sebuah kosa kata bahasa Arab
yang menyimbolkan ketundukan, kepasrahan dan kepatuhan. Sebagai sebuah
agama, Islam bermakna berserah diri secara sempurna dan patuh terhadap Allah
SWT. Arti harfiah lainnya dari kata Islam adalah “damai” dan hal ini berkonotasi
bahwa seseorang dapat mencapai kedamaian yang sesungguhnya baik bagi tubuh
dan juga pikiran mereka hanya dengan tunduk dan patuh kepada Allah SWT.
Islam sendiri terdiri atas kepatuhan dan ketundukan kepada Allah, Tuhan semesta
alam (Mawdudi, 1960). Islam menciptakan sebuah paradigma (cara pandang)
unik yang memelihara asas kesopanan, kemakmuran, keberagaman dan
kebahagiaan diantara orang-orang dari berbagai kepercayaan dan etnis di seluruh
dunia selama lebih dari 1000 tahun (Abbasi et al., 2010). Dalam sekenario global
saat ini, umat Islam harus berkomitmen untuk membangun organisasi-organisasi
yang mensimulasikan (mencerminkan) model manajemen Islam yang
menginspirasi. Perspektif Islam dalam kajian manajemen adalah bidang penelitian
yang penting bagi para sarjana manajemen modern (Abbasi et al., 2010).
Perspektif Islam sendiri dideskripsikan dan didiskusikan sebagai dasar sumber
pengetahuan Islam yang diungkap oleh Al-Qur’an dan Hadits, yang
menganggapnya sebagai sesuatu yang valid untuk tujuan penelitian. (Kazmi,
2003)

Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam. Dalam ajaran agama Islam, Al-Qur’an
adalah buku pedoman dan arahan dari Allah bagi umat manusia. Menurut
kepercayaan Islam, Al-Qur’an adalah wahyu terakhir yang diturunkan kepda Nabi
Muhammad saw oleh Allah SWT melalui perantara malaikat yang dikenal sebagai
Malaikat Jibril.

Hadits

Hadits adalah perkara-perkara kebiasaan Rasulullah yang berhubungan dengan


ucapan-ucapan serta perbuatan Nabi Muhammad saw. Hadits dianggap sebagai
sumber hukum yang penting dalam ajaran agama Islam. Keberhasilan suatu
organisasi bergantung pada kepemimpinan. Bahkan jika suatu perusahaan
mempunyai dana yang banyak dan mempunyai investor yang kaya raya,
kepemimpinan masih dianggap sebagai elemen pertama dalam keberhasilan suatu
manajemen. (Kvint, 2009).
Kepemimpinan dalam Islam

Umat Islam semestinya menjunjung tinggi dalam penerapan perintah (perkara-


perkara) yang telah dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw (sholawat serta
salam tercurahlimpahkan kepada beliau) sebagaimana ditahbiskan oleh Allah
SWT. Perintah-pertintah tersebut telah diabadikan di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Seorang hamba Allah memahami bahwa segala bentuk kekayaan di dunia ini
berada di tangan Allah SWT dan atas kehendak-Nya lah kekayaan tersebut
diberikan kepada mereka yang tepat. Penghormatan, kekuatan, reputasi, dan
segala bentuk otoritas hanya milik Allah SWT dan hanya Dia lah Dzat yang
pantas menyandang itu semua. Tugas manusia hanya berupaya dan berjuang
semaksimal mungkin. Manusia tahu bahwa sebuah kesuksesan bisa diraih atas
Rahmat Allah SWT. Jika Allah berkehendak untuk memberikannya, tidak ada
satu pun kekuatan yang mampu menghalangi untuk melakukan hal tersebut dan
juga sebaliknya, jika Allah berkehendak untuk tidak memberikannya maka tidak
ada satu pun yang mampu memaksanya (Mawdudi, 1960).

Kepemimpinan adalah sebuah kemampuan untuk mencarikan/menunjukan sebuah


jalan dan petunjuk, untuk mengarahkan atau mempengaruhi tindakan orang lain
(Majali, 1990). Di dalam manajemen kantor (manajemen korporasi ), Pemimpin
harus menyelesaikan tujuan-tujuannya (DeKrey et al., 2007). Budaya atau
kebisaan sebuah organisasi atau anggota dari organisasi tersebut dipengaruhi oleh
kepemimpinan yang ada. Pemimpin dipandang sebagai role model (pencerminan)
dimana tindakannya/tingkah lakunya direfleksikan menjadi sebuah budaya dan
aturan-aturan dari orgaisasi tersebut (Jabnon, 1994). Di dalam model manajemen
Islam, para pemimpin harus menyerahkan otoritas mereka kepada perintah-
perintah suci yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits (Figure 1). Otoritas
adalah kekuasaan untuk memerintah, memberikan perintah, membuat keputusan
dan ketaatan yang tepat. Di dalam model yang diusulkan, para pemimpin setuju
untuk menanggalkan posisi istimewa mereka dan percaya sepenuhnya kepada
aturan-aturan yang terdapat di dalam AL-Qur’an dan Hadits. Penyerahan diri ini
menanamkan 3 komponen penting di dalam kepemimpinan, yaitu kerendahan
hati, tanggung jawab dan akuntabilitas.

Kerendahan hati (humility)

Dalam merespon perintah Allah, Nabi Musa as memohon pertolongan Allah


untuk meningkatkan kemampuannya dan memungkinkan baginya dapat berhasil
menyelesaikan tugas yang diberikan. Memohon pertolongan kepada Allah
mewakili ciri khas bagi pemimpin muslim, penuh dengan kerendahan hati dan
menggantungkan segala sesuatunya kepada Rabb mereka (Unus, 2005). “(Nabi
Musa) berkata; “ Ya Rabbi, lapangkan dadaku dan mudahkan cobaan-cobaan
untuk ku;” (Al-Qur’an 20:25-26). Karisma para pemimpin selalu mempunyai
kepercayaan diri yang luar biasa, namun mereka sangat rendah hati. Mereka rela
mengakui bahwa mereka tidak tahu dan tidak mungkin bisa menjadi yang terbaik
dalam segala hal. Karena hal tersebutlah mereka akan terus mencari
pembelajaran-pembelajaran laiinya.

Tanggung jawab

Tanggung jawab adalah kekuatan atau kemampuan yang mengikat kepada arah-
arah tindakan (kemampuan memenejemen kebijakan dan pengambilan keputusan)
yang dibutuhkan oleh posisi kepemimpinan. Pemimpin harus mengetahui
tanggung jawab mereka, target mereka, serta apa yang mereka butuhkan untuk
mendapatkan sebuah pencapaian dan konsekuensi apa yang akan mereka terima
jika mereka membuat kesalahan (DeKey et al., 2007).

Nabi Muhammad saw bersabda: “ kapanpun Allah membuat seseorang


bertanggung jawab atas orang-orang lainnya, apakah dalam jumlah lebih besar
maupun lebih kecil, dia akan dipertanyakan (diminta pertanggung jawaban)
apakah dia mengambil keputusan berdasarkan ketentuan Allah atau tidak. Dan itu
belum semua, Allah akan bertanya lagi kepadanya tentang seluruh anggota
keluarganya (kepemimpinan di dalam keluarga)”. (Sumber : Ibn Hanbal, tentang
otoritas Ibn ‘Umar).
Akuntabilitas

Seorang pemimpin harus bertanggung jawab akan keputusan dan tindakannya,


karena dia telah menerima atau menyetujui hak preogratif untuk memimpin
(Chafee, 1997). Dia harus menyampaikan atau menyalurkan semua aspek
tanggung jawab yang dimilikinya (Kraines, 2001). Pemimpin yang muncul
sebagai yang terbaik di dalam sejarah adalah mereka yang menyadari bahwa
mereka mempunyai tanggung jawab untuk melayani para pengikut mereka (yang
dipimpin) (Firholm, 2001). Akuntabilitas menggambarkan sebuah citra
kepercayaan. Kedua hal ini baik itu instrument dan juga sebuah tujuan. Memulai
instrument-instrumen untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi secara bertahap
menjadi esensi dari sebuah tujuan juga. Akuntabilitas telah menjadi sebuah ikon
bagi kinerja sebuah kepemimpinan yang baik, entah itu dalam lingkup public atau
umum dan juga sector pribadi (swasta) (Bovens, 2005). Ajaran-ajaran Islam
dengan jelas memaparkan konsep tanggung jawab dalam ayat-ayat Al-Qur’an
berikut ini:

“Barang siapa mengerjakan kebaikan seberat atom (zarah) dia akan melihat
balasannya, dan barang siapa mengerjakan keburukan seberat atom (zarah) maka
dia akan melihat balasannya”. (Al-Qur’an 99:7-8)

“dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan jika seseorang
yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu
tidak akan dipikulkan sedikitpun. (Al-Qur’an 35: 18 )

Akuntabilitas dalam pengertian yang lebih luas, pada dasarnya digunakan untuk
mempengaruhi kinerja dan keadaan seorang pemimpin secara positif. Hal tersebut
mendatangkat sifat “responsive”, rasa tanggung jawab, dan kemauan untuk
bertindak dengan cara yang benar dan terpercaya (Bovens, 2005).

Pengetahuan dan praktik

Pengetahuan membawa potensi dan kemampuan untuk meningkatkan kinerja dan


reputasi, sementara praktik menerjemahkannya menjadi sebuah tindakan untuk
mencapai suatu hasil yang diinginkan. Berikut ini merupakan komponen-
komponen yang sesuai dengan system nilai Islam mencangkup pengetahuan serta
praktik yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits dalam manajemen
organisasi.

Ketulusan

Ketika seseorang dengan tulus melakukan suatu tugas, kemudian dia


melakukannya, pasti tugas tersebut akan selesai dengan hasil dan usaha terbaik
yang dimilikinya. Karena ketulusan merupakan penyempurna terbaik (Emerson,
2008) bagi seseorang yang dapat mengubah organisasi (menjadi lebih baik).
Ketulusan adalah sesuatu yang absolute (pasti), apakah dia tulus atau justru
sebaliknya. Tidak ada istilah diantara keduanya antara tulus dan tidak tulus. Jika
ada yang masih merasa tidak tulus itu menggambarkan bahwa ada niat lain di
dalam dirinya (Alhabshi et al., 1994).
Katakanlah “Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-Nya
dalam menjalankan agamaku: (Al-Qur’an 39:14)

Loyalitas karyawan adalah salah satu perhatian utama diantara masalah-masalah


keorganisasian. Alasan besarnya ada dua, apakah organisasi tersebut dirasa tidak
cukup mempedulikan karyawannya atau karyawan tersebut yang justru tidak
dipersiapkan secara etis, untuk membangun nilai positif bagi organisasi. Dalam
kedua kasus tersebut, kurangnya nilai dalam system budaya organisasi menjadi
alasan yang cukup kritis. Ketulusan itu menular; jika ada nilai ketulusan di dalam
budaya organisasi, maka setiap pemangku kepentingan akan bertindak dengan
tulus untuk meningkatkan nilai/tujuan operasi organisasi. Upaya yang tulus
menghasilkan efisiensi dan efisiensi mengarah ke kinerja individu yang lebih
baik.

Kemahiran

Kemahiran secara umum dipahami sebagai dapat melakukan sesuatu hal sedikit
lebih banyak dari persyaratan minimum yang disyaratkan (Alhabshi, et.al, 1994).
Setidaknya terdapat 2 tipe orang; yang pertama, orang yang melakukan tugasnya
dengan cermat, namun tidak menunjukan komitmen tambahan (hanya memenuhi
persyaratan minimal yang diminta), dan yang lain adalah orang yang mendorong
diri mereka melampaui tugas mereka (rela melakukan tugas yang sebenarnya di
luar tanggung jawabnya) (Beekun and Badawi, 1999) mereka diberi semangat dan
bersedia berkorban untuk melaksanakan tugas mereka. Mereka adalah orang-
orang yang memiliki ihsan dan bekerja tanpa kenal lelah untuk menunaikan tugas
mereka dan bahkan sesuatu yang sebenarnya bukan kewajiban mereka.

Kemahiran adalah kualitas yang memastikan bahwa setiap anggota organisasi


dapat menunjukan sesuatu yang lebih dari tugas yang diberikan. Kemahiran
memiliki makna yang luas. Dan hal tersebut tidak mungkin bisa mengcover
seluruh aspek, namun itu semua dapat dimanifestasikan (diwujudkan), kemahiran
berarti berperilaku dengan orang lain sedemikian rupa sehingga membuat mereka
nyaman dan bahagia. Kemahiran berarti melakukan pekerjaan dengan baik atau
melakukan beberapa pekerjaan dengan cara yang mahir (lebih dari sekedar bagus).
Jika setiap anggota organisasi dapat melakukan suatu kemahiran (ihsan) itu akan
secara signifikan meningkatkan kinerja organisasi. “berbuat baiklah kamu
terhadap orang lain, sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu.” (Al-Qur’an
28:77)

Keadilan

Dalam sistem nilai Islam (Islamic Value System), ada kontrak atau janji secara
eksplisit di antara semua anggota organisasi untuk beroperasi secara adil dan
dengan keadilan (Beekun et.al., 1999). Keadilan adalah elemen penting untuk
menjaga urusan individu dan kolektif (bersama) agar berjalan lurus (tidak
berbenturan satu sama lain) (Murphi, 1999). Seperti halnya ketulusan, keadilan
adalah mutlak. Tidak ada yang namanya relatif adil atau tidak adil, yang ada
adalah adil atau tidak adil. Keadilan jelas merupakan nilai dan kebajikan dalam
semua agama dan dijunjung tinggi oleh semua masyarakat. Dengan demikian,
keadilan merupakan nilai universal yang dapat diterima oleh setiap orang
(Alhabshi et.al., 1994). Allah memerintahkan untuk berperilaku adil dan
melakukan kebaikan (Al-Qur’an 16:90). Keadilan adalah batu fondasi dari sistem
nilai Islam. Tidak bisa dibayangkan jika pola manajemen Islam tidak akan
menegakkan keadilan. Islam sama sekali tidak ambigu (jelas) dalam memberantas
semua bentuk ketidakadilan, keberpihakan, eksploitasi, penindasan dan kesalahan
dalam proses manajemen khususnya, dan dalam masyarakat pada umumnya,
dengan demikian, seseorang tidak dapat merampas hak orang lain dan memenuhi
kewajibannya terhadap mereka. Inilah bagaimana sistem manajemen Islam
menanamkan asas kepuasan dan perlindungan di antara anggota organisasi dan
memastikan bahwa mereka melakukan tugas mereka dengan pikiran tenang.
Keadilan juga berkontribusi dalam menanamkan rasa tanggung jawab di setiap
anggota organisasi untuk melakukan tugas mereka dengan kemampuan terbaik
mereka. Dengan demikian, hal ini akan mengarah pada peningkatan kinerja
organisasi.

Anda mungkin juga menyukai