Anda di halaman 1dari 9

Luka Bakar pada Anak

A. Definisi
Luka bakar adalah salah satu bentuk trauma pada jaringan yang disebabkan oleh
kontak dengan sumber panas kering (api), panas lembab (uap air, cairan panas), bahan
kimia, sumber listrik dan radiasi. Luka bakar merupakan permasalahan kesehatan
yang membutuhkan penanganan yang komprehensif, terutama pada anak-anak. Luka
bakar pada anak merupakan permasalahan serius yang memiliki tingkat morbiditas
dan mortalitas yang cukup tinggi (Mathias dan Srinivas, 2017)

Berdasarkan WHO Global Burden Disease, pada tahun 2004 diperkirakan 310.000
orang meninggal akibat luka bakar, dan 30% pasien berusia kurang dari 20 tahun.
Luka bakar karena api merupakan penyebab kematian ke-11 pada anak berusia 1 – 9
tahun. Anak – anak beresiko tinggi terhadap kematian akibat luka bakar, dengan
prevalensi 3,9 kematian per 100.000 populasi. Luka bakar dapat menyebabkan
kecacatan seumur hidup .

Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga pada anak setelah kecelakaan dan
tenggelam. Setidaknya 1/3 kasus luka bakar di Amerika Serikat terjadi pada anak-
anak. Setiap tahunnya terdapat lebih dari 400.000 kasus luka bakar pada anak yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit dengan 10.000 anak menderita disabilitas
permanen yang cukup parah dan 2.500 di antaranya berujung kematian (Pubmed)

Secara umum berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agen, lamanya
terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan
kondisi penyakit sebelumnya. Luka bakar disebabkan oleh perpindahan energi dari
sumber panas ke tubuh. Penanganan luka bakar pada orang dewasa dan anak-anak
hampir sama, namun terdapat perbedaan yang signifikan baik secara fisik maupun
psikologinya (Mathias dan Srinivas, 2017).

B. Etiologi
Luka bakar yang terjadi pada anak sering dikaitkan dengan tingkat perkembangan dan
perilaku anak. Pada balita di mana kebanyakan kasus luka bakar terjadi, dipengaruhi
oleh perilaku aktif yang cenderung mudah penasaran dengan lingkungan sekitar.
Anak usia balita cenderung belum mengerti apa saja hal-hal yang berbahaya di
sekitarnya, sehingga akan meningkatkan faktor risiko terjadinya luka bakar. Selain
itu, faktor orang tua atau pengawas juga sangat penting. Pada kebanyakan kasus luka
bakar anak tidak jarang juga dipengaruhi oleh pengawasan yang tidak seksama,
pembiaran atau bahkan kekerasan yang dilakukan oleh orang tua (Toon, dkk, 2011).
Berikut merupakan tipe-tipe luka bakar pada anak berdasarkan mekanisme terjadinya:
a. Thermal Injury
Kasus luka bakar thermal kebanyakan terjadi karena kontak langsung dengan
benda-benda bersuhu tinggi, misalnya api, cairan panas, dan benda panas.
Skenario yang paling umum terjadi pada anak adalah tidak sengaja tersiram air
panas atau terjatuh kemudian tercebur atau mengenai air panas.
Derajat keparahan luka bakar thermal tergantung pada kedalaman luka bakar dan
distribusi luka dalam tubuh.
b. Electrical Injury
Luka bakar akibat listrik merupakan kasus yang kecelakaan rumah tangga yang
cukup sering terjadi pada anak-anak. Skenario yang paling sering terjadi pada
anak adalah memegang stop kontak atau kabel yang sudah terkelupas. Luka bakar
listrik diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu tegangan rendah (<1000 V) dan
tegangan tinggi (>1000 V). Kedua kelompok tersebut sama-sama memiliki tingkat
morbiditas yang serius, misalnya amputasi, kecacatan permanen dan kejadian
kematian mendadak karena cardiac arrest. Luka bakar listrik dapat sangat
berbeda dengan luka bakar lainnya di mana kerusakan kulit yang cenderung
tersembunyi dan nekrosis yang terlihat hanya sebagian kecil dari kerusakan
jaringan yang terjadi. Derajat keparahan luka bakar listrik dapat dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu resistensi jaringan yang dilewati, tipe arusnya, dan durasi atau
lamanya kontak.
c. Chemical Injury
Eksplorasi mencoba-coba meminum produk pembersih rumah tangga merupakan
kasus yang paling banyak terjadi dan menyebabkan luka bakar kimia pada anak-
anak. Sehingga banyak kasus luka bakar kimia yang terjadi di saluran pencernaan
bagian atas. Dibandingkan luka bakar thermal, kerusakan jaringan yang terjadi
pada luka bakar kimia disebabkan karena adanya reaksi kimia secara langsung.
Secara garis besar luka bakar kimia dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu luka
bakar karena zat asam dan zat basa. Luka bakar karena zat asam biasanya
menghasilkan nekrosis yang koagulatif dengan penetrasi minimal. Sedangkan luka
bakar karena zat basa menghasilkan luka yang lebih penetratif dan tidak jarang
menimbulkan perforasi.
d. Intentional Injury
Luka bakar yang disengaja sering dikaitkan dengan kekerasan dalam rumah
tangga. Luka bakar yang disengaja dilaporkan dapat menghasilkan luka yang
sangat parah dengan penanganan yang lebih lama di rumah sakit. Beberapa faktor
yang dapat memengaruhi terjadinya luka bakar disengaja diantaranya
penyimpangan perilaku orang tua, depresi, penghasilan yang rendah, single
parents, dan keluarga dengan banyak anak.
C. Patofisiologi
Patofisiologi luka bakar serupa pada dewasa dan anak-anak, namun, perbedaan dalam
ukuran dan kondisi metabolik membutuhkan pertimbangan ekstra dalam perawatan
luka bakar anak. Kekhawatiran dalam pengobatan luka bakar adalah trauma inhalasi,
yang merupakan salah satu aspek yang paling mematikan dari luka bakar. Subyek
dengan luka bakar harus dipantau untuk keracunan karbon monoksida dan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS). Risiko gangguan saluran napas dan
kemungkinan untuk intubasi meningkat pada pasien anak-anak karena saluran napas
yang lebih kecil dan risiko lebih besar untuk penutupan dari edema.
Ketika terjadi luka bakar, respon inflamasi terjadi yang ditandai dengan pelepasan
katekolamin, mediator vasoaktif, dan mediator inflamasi yang dapat memicu
terjadinya Systemic Inflammatory Release Syndrome (SIRS), tanpa memandang usia
subjek. Kebocoran kapiler menyebabkan hilangnya protein dan edema interstisial.
Kombinasi cedera jaringan, peradangan respon, dan hypovolemia dapat menyebabkan
hipotensi terkait shock dan depresi miokard. Takikardia sering diamati pada mereka
dengan luka bakar, tanpa memandang usia.
Respon peradangan subjek pediatrik dapat lebih besar dan umumnya lebih rentan
terhadap efek sistemik. Mereka juga lebih rentan terhadap keadaan hipermetabolik
pasca-terbakar yang disebabkan oleh pelepasan faktor inflamasi. Dalam keadaan ini,
katabolisme meningkat dan kadar hormon anabolik menurun, menyebabkan hilangnya
otot dan kepadatan mineral tulang yang berpotensi mengganggu penyembuhan luka,
apalagi kondisi kulit yang cenderung lebih tipis dan lapisan lemak yang tipis dapat
memperparah keadaan. Sehingga penangan pasien anak-anak dengan luka bakar harus
melibatkan dukungan nutrisi untuk mempertahankan massa tubuh tanpa lemak dan
untuk mempercepat penyembuhan luka.
Luka bakar yang terjadi pada anak ditentukan berdasarkan tingkat kedalamannya.
Namun, kondisi kulit anak–anak yang lebih tipis menyebabkan kontribusi kedalaman
luka yang lebih besar dibandingkan orang dewasa non-geriatri. Sebagai contoh pada
orang dewasa akan menghasilkan mid dermal burn jika terpapar panas dengan suhu
820C, sedangkan pada anak-anak dapat terjadi hanya dengan suhu sebesar 760C. Kulit
yang tipis ditambah dengan lapisan lemak yang sedikit mengakibatkan penilaian
derajat luka bakar pada anak cenderung lebih sulit.
Kehilangan kulit karena luka bakar dapat merusak termoregulasi dan mengurangi
kemampuan tubuh untuk menahan panas dan air. Subyek dengan luka bakar
memerlukan konservasi panas untuk mencegah hipotermia serta resusitasi cairan
untuk mengkompensasi kehilangan cairan dan kebocoran kapiler. Luas permukaan
tubuh dibanding massa anak-anak tiga kali lipat dari orang dewasa, yang
menyebabkan kehilangan cairan karena penguapan lebih besar pada anak. Neonatus,
bayi, dan anak-anak juga memiliki volume darah yang lebih tinggi dibandingkan
dengan massa mereka dengan rata-rata ~ 80 mL / kg berat badan dibandingkan
dengan rata-rata dewasa 70 mL / kg . Dengan demikian, resusitasi cairan pada kasus
luka bakar pediatrik membutuhkan volume yang lebih besar (Romanowski, dkk,2017)
D. Klasifikasi
Faktor yang mempengaruhi derajat keparahan luka bakar dapat dikelompokkan
berdasarkan kedalaman luka dan luasnya area tubuh yang terkena (Krishnamoorthy,
2012)
Klasifikasi derajat luka bakar berdasarkan kedalamannya antara lain :
1. Superfisial (Derajat 1)
 Hanya mengenai lapisan epidermis.
 Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
 Kulit memucat bila ditekan.
 Edema minimal.
 Tidak ada blister.
 Kulit hangat/kering.
 Nyeri / hyperethetic
 Nyeri berkurang dengan pendinginan.
 Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48 jam.
 Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari.
2. Superficial Partial Thickness (Derajat 2a)
 Mengenai epidermis dan dermis superfisial
 Kulit memucat bila ditekan
 Terbentuk blister
 Nyeri
 Dapat sembuh spontan dalam wakt 14 hari
3. Deep Partial Thickness (Derajat 2b)
 Mengenai epidermis dan dermis bagian dalam
 Tidak memucat bila ditekan
 Bisa nyeri atau bahkan kehilangan rasa
 Berisiko tidak dapat sembh spontan
 Terkadang membutuhkan tindakan operasi
 Penyembuhan dala 21 hari
4. Full Thickness (Derajat 3)
 Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai
permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.
 Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau
hitam.
 Tanpa ada blister.
 Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
 Edema.
 Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
 Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
 Memerlukan skin graft.
 Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jika tidak dilakukan tindakan
preventif.
5. Derajat 4
 Meliputi seluruh bagian (subkutan, otot dan tulang)
 Hangus
 Tidak ada sensasi
 Tidak bisa sembh spontan
 Terkadang membutuhkan amputasi atau fasciotomy
Penentuan derajat luka bakar jga ditentukan oleh luas area yang terkena. Terdapat
beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi rule of nine, Lund and
Browder, dan hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan dengan menggunakan
salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan dengan prosentase dari
permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari perhitungan bervariasi
menurut metode yang digunakan dan p\engalaman seseorang dalam menentukan luas
luka bakar.

Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak tahun 1940-an sebagai suatu alat
pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan ukuran / luas luka bakar. Dasar
dari metode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam bagian-bagian anatomic, dimana
setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia 1 %.

Selain dari metode tersebut di atas, dapat juga digunakan cara lainnya yaitu
mengunakan metode hand palm. Metode ini adalah cara menentukan luas atau
persentasi luka bakar dengan menggunakan telapak tangan. Satu telapak tangan
mewakili 1 % dari permukaan tubuh yang mengalami luka bakar (Sharma, 2010)

Gambar 1. Perhitungan luas luka bakar berdasarkan Rule of Nine oleh Wallace

E. Penatalaksanaan
1. Primary Survey:
a. Airway (Jalan nafas)
Perhatikan adanya stridor (mengorok), suara serak, dahak berwana jelaga (black
sputum), gagal napas, bulu hidung yang terbakar, bengkak pada wajah. Luka bakar
pada daerah orofaring dan leher membutuhkan tatalaksana intubasi (pemasangan pipa
saluran napas ke dalam trakea/batang tenggorok) untuk menjaga jalan napas yang
adekuat/tetap terbuka. Intubasi dilakukan di fasilitas kesehatan yang lengkap.
b. Breathing (Penilaian Pernafasan)

Jika didapatkan tanda-tanda insufisiensi pernafasan seperti susah nafas, stridor, batuk,
retraksi suara nafas bilateral atau anda –tanda keracunan CO maka dibutuhkan
oksigen 100% atau oksigen tekan tinggi yang akan menurunkan waktu paruh dari CO
dalam darah.

c. Circulation (Penilaian Sirkulasi Darah)

Pengukuran tekanan darah dan nadi untk mengetahut stabilitas hemodinamik. Untuk
mencegah syok hipovolemik diperlukan resusitasi cairan intravena. Pada pasien
dengan trauma inhalasi biasanya biasanya dalam 24 jam pertama digunakan cairan
kristaloid 40- 75 % lebih bnayak dibandingkan pasien yang hanya luka bakar saja.

d. Dissability (Kesadaran Neurologik)

Pasien yang berespon atau sadar membantu untuk mengetahui kemampuan mereka
untuk melindungi jalan nafas dan merupakan indikator yang baik untk mengukur
kesussesan resusitasi. Pasien dengan kelainan neurologik seringkali memerlukan
analgetik poten

e. Exposure pada Luka bakar

Periksa seluruh badan untuk mengetahui adanya trauma lain dan luka bakar. Cuci
NaCl kulit yang tidak terbakar untuk menghindari sisa zat toksik

2. Medikasi
a. Kortikosteroid: Digunakan untuk menekan inflamasi dan menurunkan edema
b. Antibiotik: Mengobati infeksi sekunder yang biasanya disebabkan oleh Staphylococus
Aureus dan Pseudomonas Aeruginosa pada pasien-pasien dengan kerusakan paru
c. Amyl dan sodium nitrit untuk mengobati keracunan sianida tetapi harus berhati-hati
jika ditemukan pula tanda-tanda keracunan CO kerena obat ini dapat menyebabkan
methahemoglobinemia. Oksigen dan sodium tiosulfat juga dapat sebagai antidotum
sianida, antidotum yang lain adalah hidroksikobalamin dan EDTA
d. Bronkodilator untuk pasien-pasien dengan bronkokontriksi. Pada kasus-kasus berat,
bronkodilator digunakan secara intravena.

3. Resusitasi cairan (diperlukan untuk luka bakar permukaan tubuh > 10%).
Gunakan larutan Ringer laktat dengan glukosa 5%, larutan garam normal dengan
glukosa 5%, atau setengah garam normal dengan glukosa 5%.
a. 24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan cairan
dari kebutuhan cairan rumatan dan kebutuhan cairan resusitasi (4 ml/kgBB
untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar)
Berikan ½ dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam pertama, dan
sisanya 16 jam berikutnya.
Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka bakar 25%.
Total cairan dalam waktu 24 jam pertama
= (60 ml/jam x 24 jam) + 4 ml x 20kg x 25% luka bakar
= 1440 ml + 2000 ml = 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)
b. 24 jam kedua: berikan ½ hingga ¾ cairan yang diperlukan selama hari
pertama
c. Awasi pasien dengan ketat selama resusitasi (denyut nadi, frekuensi napas,
tekanan darah dan jumlah air seni)
d. Transfusi darah mungkin diberikan untuk memperbaiki anemia atau pada
luka-bakar yang dalam untuk mengganti kehilangan darah.
Dafpus:

Mathias, E. and Srinivas Murthy, M. (2017). Pediatric Thermal Burns and Treatment: A Review of
Progress and Future Prospects. Medicines, 4(4), p.91.

Romanowski, K. and Palmieri, T. (2017). Pediatric burn resuscitation: past, present, and future. Burns
& Trauma, 5(1).

Toon, M., Maybauer, D., Arceneaux, L., Fraser, J., Meyer, W., Runge, A. and Maybauer, M. (2011).
Children with burn injuries-assessment of trauma, neglect, violence and abuse. Journal of Injury and
Violence Research, 3(2), pp.99-111.

Krishnamoorthy, V., Ramaiah, R. and Bhananker, S. (2012). Pediatric burn injuries. International
Journal of Critical Illness and Injury Science, 2(3), p.128.

Sharma, R. and Parashar, A. (2010). Special considerations in paediatric burn patients. Indian
Journal of Plastic Surgery, 43(3), p.43.

Women’s and Children’s Hospital. Guidelines for the Management of Paediatric Burns.
Australia: SA Health. 2010

Reference.medscape.com. (2018). Surgical Treatment of Burns in Children Workup: Laboratory


Studies, Imaging Studies, Procedures. [online] Available at:
https://reference.medscape.com/article/934173-workup#c3 [Accessed 29 May 2018].

Anda mungkin juga menyukai