Anda di halaman 1dari 15

JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

FILSAFAT DIVINITAS (KEILAHIAN)


ATAU “TEOLOGI”

Armada Riyanto

ABSTRACT:

On December 10, 2014, a national seminar discussing the theme "Philosophy of Divinity:
Rethinking Theology in the Context of Scientific Discourse, Higher Education and Society" took
place in Sanata Dharma University, Yogyakarta. At the seminar, the author presented his ideas
regarding the mention of theology as "philosophy of divinity". The author argues that theology
that we know as the systematic reflection on faith can be referred as "philosophy of divinity". By
tracing the development of theology in history, the author find that the term "divinity"
(indonesian translation for keilahian) designates the content of what is now understood as
theology. The mention of theology as philosophy of divinity does not eliminate its meaning, let
alone the essence. In history of its development, theology always interacted with philosophy. After
accountable argument with the historical perspective, the author draws some practical
implications of "changing" theology into philosophy of divinity. This article is a further
development of the ideas the author presented in the seminar.

Kata-kata kunci:
Filsafat, teologi, divinitas (keilahian), sejarah, kurikulum.

NAMA “DIVINITAS” Adalah penulis suci yang menyebut diri


“Dionysius dari Areopagus” (yang kemudian
“Teologi” sebagai sebuah nama ilmu
disebut Pseudo-Dionysius Areopagus, yang
datang kemudian. Tidak serta merta
di sekitar tahun lima ratusan menulis buku
“teologi” hadir seiring dengan kehadiran
yang kerap dikategorikan sebagai “traktat
traktat tentang Tuhan. Jika Theos adalah
teologis pertama”, De Divinis Nominibus.
Tuhan dalam bahasa Yunani, dan logos
Dalam periodisasi filosofis, Pseudo-Diony-
mengatakan disiplin ilmu; sudah barang
sius diposisikan pada “abad pertengahan”,
tentu terjadi suatu revolusi pengertian yang
saat Neoplatonisme mendominasi peradab-
berabad-abad lamanya. Dalam abad-abad
an filosofis-teologis Gereja pada waktu itu.
awali perkembangan, saat Gereja didera
oleh kontroversi seputar kodrat keallahan Saat kontroversi tentang Theos sangat
Kristus, sudah pasti terjadi kesimpang- rentan pada zaman itu (berkaitan dengan
siuran pemahaman tentang “teologi” pertentangan heresi mengenai kodrat
sebagai ilmu tentang Tuhan. Belum lagi keallahan Kristus), Pseudo-Dionysius me-
bicara tentang metodologi berteologi. nulis sebuah traktat tentang “Divinitas”.
Metodologi berteologi jelas memiliki sejarah Barangkali tulisan ini dapat dipandang se-
luar biasa panjang dan menarik. Tulisan ini bagai sebuah traktat teologis paling kompre-
tentu terlalu ringkas untuk bisa hensif (mungkin juga paling panjang) di
menjangkau semuanya. periode perkembangan Gereja awali sejak

57
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

Paulus hingga abad Pertengahan. Bahwa berkaitan dengan Allah sebagai pemberi
penulis menyebut diri sebagai “Dionysius tata hukum dan keteraturan; dan bab
Areopagus”, halnya berkaitan dengan kot- terakhir menggaris bawahi Allah sebagai
bah Paulus di Atena (Kis 17:16 dst.), di “Sempurna” dan “Sang Satu” (Yang Maha
mana saat kotbah itu diejek oleh para filsuf Esa), yang tentangnya Allah adalah sumber
Atena dan “berakhir sunyi”, terdapat segala apa yang ada.
beberapa nama yang percaya kepada kotbah
DDN memiliki metodologi berteologi
Paulus, di antaranya “Dyonisius”. Penulis
yang aktual pada zaman itu. Yaitu, reflektif-
dengan demikian menggambarkan dirinya
apofatis yang difondasikan pada filsafat
sebagai yang “dipertobatkan” oleh kotbah
Neoplatonisme. Filsafat Plato – yang konon
Paulus tentang Kristus.
identik dengan filsafat itu sendiri (untuk
Traktat “Divinitas” ini kelak juga menyebut betapa saat orang memasuki
disimak oleh Thomas Aquinas, setelah filsafat Plato, dia tidak akan mengalami
rentang waktu hampir delapan ratusan “kekurangan” apa pun) – diposisikan seba-
tahun. Tulisan yang “teologis” ini difondasi- gai sebuah “bahasa” dalam berteologi.
kan pada filsafat Neoplatonisme. Dengan Terminologi Neoplatonian diambil untuk
demikian, dalam karya teologis awali ini, dipakai dalam membahasakan iman kepada
kita menyimak pula konsep-konsep filosofis. Allah, seperti “the One”, “Logos”, “the
Keterpautan kedua “ilmu” ini (filsafat dan Good”, “the Beauty”, “Emanating”, “Proces-
teologi) sudah demikian kental dalam karya sing”, dan seterusnya. Kitab Suci yang
luar biasa ini. Jelas ini sebuah tulisan menjadi sumber dalam berteologi diterje-
teologis. Tetapi, tidak keliru bila disebut mahkan kembali dan terus-menerus dalam
juga sebuah tulisan filosofis Kristiani. bahasa-bahasa manusia, filsafat Neopla-
tonis. Upaya ini dalam periodisasi filsafat
De Divinis Nominibus (DDN) terdiri
Patristik, disebut periode “Pembaptisan
dari tiga belas bab. Seluruh bab mendis-
Filsafat Yunani” atau “Pengkristianian
kusikan “kodrat” siapa Tuhan dengan
Filsafat Yunani.”
menyebut “Divine Names”. Bab 1 bicara
tentang Allah yang transenden; bab 2 DDN menjadi sebuah contoh bagai-
tentang Kristus; bab 3 berbicara tentang mana teologi telah demikian erat terpaut
kekuatan doa; sementara bab 4 mendikusi- dengan filsafat. DDN juga menjadi sema-
kan “nama-nama” Keilahian, seperti “Baik”, cam deklarasi “traktat teologis” dengan
“Terang”, “Indah”, “Cinta”, dan sekitar itu menggarap Divinitas. Seolah Pseudo-
serta Allah sebagai sumber dari segala keba- Dionysius Areopagus hendak mengatakan
ikan dan problem kejahatan. Bab 5 bicara bahwa pembahasan tentang Nama-nama
tentang “Being” dan segala yang mengalir Ilahi (Keilahian) adalah gerbang refleksi
dari Allah; bab 6 tentang Kehidupan yang akal budi manusia tentang kodrat Keallahan
ilahi yang mengatasi segala tata ciptaan; Tuhan.
bab 7 mengurus tentang “Kebijaksanaan”,
Pseudo-Dionysius Areopagus itu sendiri
“Akal budi”, “Kata”, “Kebenaran”, “Iman”
bergabung dengan kebenaran seperti yang
sebagai yang berasal dari Tuhan turun
telah digariskan dalam Konsili Nicea-
kepada mahluk rasional. Berikutnya, bab 8
Kalsedon perihal kodrat Kristus, sekaligus
mendiskusikan “kekuasaan”, “kebenaran”,
Allah sekaligus Manusia. Halnya terungkap
“keselamatan”, “penyelamatan”, “ketidaka-
dalam kutipan berikut:1
dilan” sebagai poin-poin perkara “Divinitas”
dalam tata dunia; bab 9 menggagas tentang You ask how it could be that Jesus, who
nama-nama “besar”, “kecil”, “serupa”, transcends all, is placed in the same order of
“beda” dan seterusnya. Bab 10 mendiskusi- being with all men. He is not called a man
kan Allah sebagai Yang Mahakuasa; bab 11 here in the context of being the cause of man
but rather as being himself quite truly a man
tentang Allah sebagai “Damai”, “Ada itu
in all essential respects. But we do not define
sendiri”, “Kekuatan itu sendiri” dan sete- Jesus in human terms (ouk anthropikôs). For
rusnya; bab 12 Pseudo-Dionysius menyebut he is not simply a man, nor would he be
Allah sebagai “Raja dari segala raja” atau supra-essential (hyperousios) if he were only
“Tuhan atas segala tuhan-tuhan”, yang a man. Out of his very great love for

58
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

humanity, he became quite truly a human, “kristianisasi” filsafat. Filsafat Yunani mulai
both superhuman and among humans; and, menyibukan diri dalam urusan iman Kristi-
though himself beyond being, he took upon ani. Konsep monoteisme Kristiani mengge-
himself the being of humans. Yet he is not
less overflowing with supra-essentiality
ser politeisme Yunani. Berikutnya, prinsip
(hyperousiotês), always supra-essential as he penciptaan dari ketiadaan (creatio ex
is, and supra-abundantly so. While truly nihilo) mendominasi tema-tema refleksi
entering into essence, he was essentialized in antara realitas konkret dan Yang Absolut.
a supraessential way and superior to man Panteisme Platonian tidak lagi dominan,
though he was, he performed (enêrgei) the kendati unsur-unsur pemahamannya juga
activities of men. Furthermore, it was not by
terasa di satu dua pemikiran Agustinus
virtue of being God that he did divine things,
not by virtue of being a man that he did what (misalnya, “manusia” disebut sebagai
was human, but rather, by the fact of being aliqua portio creaturae). Konsep Allah
God-made-man (andrôthentos theou), he sebagai pribadi yang inkarnatoris memung-
accomplished something new in our midst, the kinkan pemahaman dunia yang antropo-
activity of the God-man (theandrikê sentris menggantikan tema-tema diskusi
energeia). (Ep. 4, 1072AB) kosmologis mengenai dunia hidup manusia.
Bukan maksud saya untuk menguraikan Pengertian hukum kodrat dalam filsafat
secara panjang lebar tentang DDN. Apa Yunani yang amat rasional “dibaptis”
yang ingin saya sampaikan ialah bahwa menjadi pengertian yang lebih teologal,
nama “Divinitas” jelas tidak menampilkan yaitu hukum itu berasal dari Allah. Ketidak-
nuansa beda dengan apa yang dimaksudkan taatan terhadap hukum Allah adalah dosa
“Teologi”. Dan, halnya telah ditunjukkan dan mengakibatkan keterpisahan manusia
secara gamblang dalam tradisi Gereja, sejak dari Allah. Tema tentang “cinta” Kristiani
Dionysius Areopagus. yang berasal dari Allah menggantikan
diskusi filosofis cinta yang bertumpu hanya
Dengan demikian bukanlah sebuah dari pengalaman manusiawi (yang dalam
tragedi, bila nama “teologi” kini menjadi filsafat Yunani terbatas rincian pengertian-
“filsafat divinitas” (filsafat keilahian). Tidak nya). Dengan demikian juga aneka keuta-
ada pergeseran makna, apalagi esensi dari maan lain yang mengalir dari cinta
isi ilmu ini. Studi divinitas adalah studi menikmati pembahasan filosofis yang
ranah teologi itu sendiri. mendalam pada periode ini. Persoalan
keabadian jiwa manusia sebagaimana
ANCILLA THEOLOGIAE sangat diminati oleh filsafat Yunani, pada
Tertullianus barangkali merupakan periode Patristik, menemukan pemaknaan
kekecualiaan. Ia berpendapat, percaya teologisnya. Jiwa manusia menyatu dengan
kepada Tuhan dalam iman Kristiani sudah Sang Pencipta. Tema yang menyeruak
cukup. Filsafat Hellenisme hanyalah hebat, tentu saja, juga soal kebangkitan
produk dari kultur manusia, tidak berguna badan. Filsafat Yunani tidak memiliki minat
untuk keselamatan. akan soal ini. Tetapi, filsafat Patristik
mempromosikannya dalam cara yang amat
Tetapi, para patristik pada umumnya mengesankan. Pendek kata, filsafat pada
mengadopsi dan mengintegrasikan filsafat periode Bapa-Bapa Gereja telah menampil-
ke dalam teologi. Ambrosius, Agustinus, kan transformasi pilihan refleksi yang luas
Origenes, Basilius Agung, Gregorius Nisa, dan mendalam tentang iman Kristiani. 2
Yohanes Krisostomus, dan para Bapa Gereja
yang lain tidak sejalan dengan Tertullianus. Dan, Pseudo-Dionysius dari Areopagus
Mereka memandang bahwa filsafat sangat merupakan salah satu filsuf Kristiani awali
berperan dalam refleksi iman Kristiani. yang mengeksplorasi filsafat Neoplatonisme
Dan, sebaliknya. Iman Kristiani untuk menjelaskan iman Kristiani. Dari
mempengaruhi diskursus filsafat, Dionysius Areopagus ini, filsafat Platonian
mentransformasikannya dan membabtis- mengalir ke Agustinus, Thomas Aquinas
nya. dan banyak filsuf Medieval.
Pada periode Patristik memang terjadi Pengalaman Paulus berkotbah di Atena
apa yang lebih tepat disebut sebagai merupakan emblem perjumpaan teologi

59
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

dan filsafat. Dan momen itulah awal Bagi Agustinus, sebagaimana juga para
rincian episode elaborasi filsafat sebagai filsuf Medieval yang lain, iman mencari
ancilla theologiae dan praeambulum fidei. pengertian. Fides quaerens intellectum.
Ancilla theologiae (hamba teologi) merupa- Artinya, beriman itu tidak ngawur. Tidak
kan terminologi yang dikatakan oleh para membabi buta. Orang yang beriman itu
Bapa Gereja, dan menjadi terkenal dalam mencari dan berkelana mengejar penger-
filsafat Thomas Aquinas. Praeambulum tian yang benar. Beriman kepada Tuhan
fidei artinya bahwa filsafat merupakan berarti terus mencari pengertian tentang
pendahuluan, pembuka, pengantar iman. Tuhannya. Di lain pihak, menurut Agusti-
nus, jika tidak beriman tak mungkin
Prinsip-prinsip akal budi, seperti Prin-
mengerti Tuhan. Intellego ut credam (saya
sip Non-Kontradiksi, Prinsip Intelligibili-
mencari pengertian agar saya beriman) dan
tas, Prinsip “Sufficient Reason” (Leibniz),
credo ut intellegam (saya beriman agar saya
dan Prinsip Kausalitas merupakan produk
mendapat pengertian yang benar) memiliki
akal budi yang menjadi “tools” dalam
arti yang sama. Maksudnya, pengetahuan
pencarian dan penemuan akan Allah.
akan misteri Tuhan sangat meminta syarat
Thomas Aquinas telah menggunakan beriman, berserah diri sekaligus mencari
prinsip kausalitas dalam membuktikan akan pengertian tiada henti. Inquietum est cor
eksistensi Tuhan dalam quinque viae. meum donec requiescat in te (gelisah hatiku
Prinsip “cukup alasan” (sufficient reason) sampai beristirahat di dalam Engkau)
dipakai sebagai pembuka bahan perdebatan melukiskan pergumulan Agustinus yang
mengenai pembuktian eksistensi Allah oleh beriman sekaligus terus gelisah untuk
Frederick Copleston SJ dengan Bertrand mencari pengertian tentang imannya.
Russell. Dalam prinsip cukup alasan, jika
Thomas Aquinas yang menjadi repre-
disimak secara mendalam alasan masuk
sentasi filsafat medieval merupakan figur
akal dari segala apa yang ada – yang harus
yang “mengintegrasikan” keduanya, teologi
diakui benar oleh rasio manusia – ialah
dan filsafat. Dialah yang mengawinkan
realitas ilahi, Allah sendiri.
antara filsafat dan teologi dalam suatu cara
Sebagai ancilla theologiae, filsafat bagai yang amat sistematis. Thomas Aquinas –
hamba yang bertugas memudahkan manu- seperti para filsuf pendahulunya– mengola-
sia memahami secara rasional aneka borasi pengertian-pengertian misteri Eka-
misteri iman yang diwahyukan Allah. risti, perubahan dari roti menjadi tubuh
Wahyu sering kali “tidak masuk akal”. Kristus dan dari anggur menjadi darah
Contoh paling jelas adalah apa yang disebut Kristus. Transubstantiatio merupakan ter-
sebagai “Inkarnasi”. Inkarnasi jelas berten- minologi filosofis yang diadopsi untuk men-
tangan dengan prinsip “Actus Purus” kodrat jelaskan misteri Ekaristi. Teologi Thomas
Allah. Filsafat membantu teologi sedemi- memiliki karakter filosofis. Dan filsafatnya
kian rupa bahwa misteri iman yang tidak memiliki rincian pembahasan tema-tema
bisa dipahami oleh budi manusia sepenuh- teologis.
nya itu tidak berarti irrasional.
Mengenai diskursus ancilla theologia
GELOMBANG BARU
dan praeambulum fidei, Thomas Aquinas, Sesudah Doctor Angelicum, gaya berfil-
Agustinus, Dionysius dari Areopagus, Ansel- safat yang memesrakan hubungan antara
mus, Bonaventura (yang menulis Itinera- iman dan filsafat mengendor. Terjadi bebe-
rium Mentis in Deum atau Peziarahan Budi rapa “gelombang baru” dalam peradaban
menuju ke Allah yang secara tegas rasionalitas. Kita berada di periode Renai-
menjelaskan bahwa pengembaraan budi san. Renaisan (dalam bahasa Italia:
manusia akan sampai kepada Allah!), Rinascimento) berarti “lahir kembali.”
Scotus Eriugena adalah tokoh-tokoh Artinya, manusia mulai memiliki kesadar-
terdepan yang tidak boleh dilupakan oleh an-kesadaran baru yang mengedepankan
para pembelajar filsafat penyoal eksistensi nilai dan keluhuran manusia. Jika dalam
Allah. Abad pertengahan, nilai-nilai manusia
direlatifkan pada nilai-nilai keilahian

60
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

karena iman, periode Renaisan memegang berangkat dari kesadaran sendiri mengenai
teguh kodrat manusia yang luhur dalam Being subjektif (bukan pertama-tama
dirinya sendiri. Renaisan disebut zaman berkaitan dengan realitas obyektif). Cogito
“kelahiran kembali,” karena suasana gaya ergo sum. Saya (subyek) berpikir atau
dan budaya berpikirnya memang melukis- menyadari, maka saya ada. Pandangan ini
kan “kembali kepada semangat awali,” yaitu memiliki konsekuensi revolusioner. Penega-
semangat zaman filsafat Yunani kuno yang san cogito ergo sum dapat dikatakan
mengedepankan penghargaan kodrat membalik gaya berpikir Aristotelian.
manusia sendiri, tidak dalam hubungannya Dengan Descartes, pengembaraan budi
dengan agama. manusia tidak lagi berurusan dengan
realitas obyektifnya, melainkan menemu-
Renaisan menggulirkan alur semangat
kan pusatnya pada rasionalitas manusia.
baru yang menghebohkan terutama dalam
Filsafat mengalami revolusi metodologis
hubungannya dengan karya seni, ilmu
(beranjak dari subyek, bukan dari obyeknya)
pengetahuan, sastra. Galileo Galilei adalah
sekaligus perubahan obyek materialnya
contoh filsuf dan ilmuwan revolusioner
(bukan lagi mempersoalkan korespondensi
produk Renaisan. Demikian pula Thomas
atau diskrepansi budi manusia dengan
Hobbes, perintis filsafat politik modern yang
realitas, melainkan menguji rasionalitas
menjadi cikal bakal teori-teori individualis-
manusia).
me – liberalisme – kapitalisme berada pada
suasana zaman ini. Newton, salah satu Mulai dari zaman inilah rasionalisme
pendekar ilmu fisika dan pencetus teori menguasai pengembaraan budi manusia.
gravitasi, juga hadir pada zaman ini. Lantas, Manusia secara tegas dimengerti sebagai
Bacon dengan jargon kritisnya bahwa res cogitans, entitas yang berpikir, yang
science is power mendobrak kebekuan cara rasional. Rasionalisme mengalami puncak-
berpikir tradisional (Abad Pertengahan). nya pada Immanuel Kant yang memprokla-
Bila Abad Pertengahan memegang konsep masikan bahwa kebenaran sejati pengeta-
ilmu pengetahuan sebagai rangkaian huan manusia ialah pengetahuan a priori,
argumentasi logis dan spekulasi, Renaisan pengetahuan yang diproduksi oleh struktur
merombaknya dengan paham baru bahwa akal budi manusia sebelum (atau tidak
ilmu pengetahuan itu soal eksperimentasi. berdasarkan) pengalaman dengan sistem
Pembuktian kebenaran bukan lagi aneka kategori imperatif yang sudah
pembuktian argumentatif-spekulatif, mela- terpatri dalam budi manusia. Kant bukan
inkan eksperimental, matematis, kalkulatif. saja menegaskan bahwa kesadaran kita
Metode semacam ini menjadi cikal bakal tertutup sama sekali dari res in se (realitas
ilmu pengetahuan alam modern. Sebuah obyektif di dalam dirinya sendiri), melain-
pendekatan yang meminta verifikasi kan juga menggariskan sistem pengetahuan
eksperimental dan bukan argumentasi dalam rasio murni manusia. Jika dalam
spekulatif. Aristoteles kategori-kategori adalah leges
entis (aneka tata realitas segala apa yang
Sesudah Renaisan, muncul gelombang
ada), dalam Kant kategori-kategori menjadi
cara berpikir baru, “Filsafat Modern”. Rene
leges mentis (aneka tata pengetahuan
Descartes adalah perintisnya. Dengan
transendental dalam akal budi manusia).
Descartes, filsafat tidak lagi bertolak dari
Esse (ada), melainkan Conscientia (kesa- Rasionalisme bukan cuma pengedepan-
daran). Dengan kata lain, berfilsafat tidak an akal budi dan pembelakangan segala
lagi berangkat dari obyek yang dipikirkan, sesuatu yang tidak berpartisipasi di
melainkan dari subyek yang memikirkan. dalamnya. Peradaban rasionalisme secara
Pengetahuan budi manusia tidak lagi ekstrim dan menyolok identik dengan
merupakan pengetahuan obyektif, melain- pembangunan atau konstruksi sistem-
kan pengetahuan intuitif atau subyektif. sistem di segala bidang kehidupan manusia.
Artinya, jika dalam Aristoteles pengetahuan Apa maksudnya konstruksi sistem di segala
budi manusia pertama-tama adalah soal bidang kehidupan? Maksudnya konstruksi
korespondensi dengan realitas obyektif, itu merambah pada sistem hubungan
dalam Descartes pengetahuan manusia antara subyek dengan obyek (dalam taraf

61
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

epistemologis); pada sistem hubungan akan Yang Absolut dalam arti Hegelian
antara subyek dengan tingkah lakunya diambil untuk pencapaian pengetahuan
sendiri (dalam taraf, etis, moral, eksisten- akan Tuhan dalam iman.
sialis, psikologis, psikodinamis); pada sistem
Kelak menurut Kierkegaard (murid
hubungan antara subyek dengan dunianya
sekaligus salah satu penentang Hegel)
(dalam taraf kosmologis, fenomenologis),
upaya untuk “menteologikan” konstruksi
dengan sesamanya atau lingkungan
sistem Hegelian merupakan tindakan yang
masyarakatnya (dalam taraf sosiologis),
tidak mungkin. Refleksi tentang Tuhan
dengan dunia materi-ekonomis-nya (dalam
hanya menjadi mungkin oleh pengalaman
taraf ekonomis, politis yang mencetuskan
pergumulan hidup manusia sebagai single
aneka sistem ideologi kapitalisme,
(eksistensi unik) dalam penderitaan, kece-
sosialisme, Marxisme, dan seterusnya);
masan, ketakutan, pergumulan akan peng-
pada sistem hubungan antara subyek
harapan. Kaum Kanan Hegelian hanyalah
dengan Tuhannya (dalam taraf teologis,
salah satu kelompok para pemikir Kristiani
doktrinal agama atau segala sesuatu yang
yang gerakannya masih diliputi nostalgia
secara organisasional dan spiritual menun-
mentalitas manusia Abad Pertengahan.
juk kepada agama).
Mereka mengira dengan “mengemas”
Konstruksi rasionalis sistem kehidupan teologi dalam skema konstruksi filsafat
mencapai puncaknya pada Abad Pencerah- Hegel mampu menjawab tantangan
an dan idealisme Hegel. Filsafat Hegelian peradaban rasionalis. Kierkegaard, sebalik-
konon merupakan sistem filsafat itu sendiri. nya, meyakini bahwa sudah tidak
Idealisme Hegelian dengan sistem “Dialek- diperlukan lagi sistem-sistem canggih yang
tika Roh,” menurut Habermas, secara hanya berada dalam level rasional untuk
meyakinkan menjadi representasi absolut mengefektifkan pengalaman akan Tuhan.
konstruksi sistem filsafat rasionalisme Abad Pengedepanan eksistensi manusia oleh
Pencerahan. Nanti Marx membumikan Kierkegaard – yang lantas berlanjut pada
sistem dialektika Hegelian pada taraf “pemujaan” altar the self – cukup meyakin-
materialis ekonomis. Konstruksi sistem kan. Pemusatan pergumulan pengalaman
tetap dibela (tesis-antitesis-sintesis), tetapi dengan self-center menggiring peradaban
relevansinya menyentuh realitas hidup kepada subyektivisme yang menghantam
konkret. Pada taraf historis, sistem ini aneka kebenaran obyektif iman. Iman yang
mengejawantah dan terealisasikan dalam benar, menyelamatkan berarti iman yang
pertentangan antara kelas borjuis/pemilik menyembuhkan eksistensi manusia. Men-
modal dengan kelas proletariat/buruh yang talitas self-center dewasa ini menjadi tan-
akan mensintesis menjadi masyarakat tanpa tangan tidak kurang runyamnya bagi
kelas, masyarakat komunis. aktualitas dan relevansi iman.
Dalam peradaban modern yang Ketika popularitas “ideologi” mendo-
“homogen” oleh ambisi para filsuf rasionalis minasi kemodernan, teologi makin “dide-
konstruktor sistem realitas, bagaimanakah sak” untuk melepaskan diri dari skema
perkembangan teologi? Para teolog bekerja tradisional. Berteologi harus menjadi sema-
keras untuk menjawab tantangan peradab- cam cara Gereja untuk merespon keadaan.
an. Kaum Kanan Hegelian mencoba Tema-tema sosial menjadi tema-tema
mengawinkan sistem canggih yang pernah teologi. Metodologi berteologi tidak lagi
digagas oleh manusia Hegel dengan refleksi “mengulang-ulang” dalil-dalil kebenaran
iman. Iman pun disistematisasikan sedemi- argumentatif-spekulatif warisan Abad
kian rupa. Bulan madu filsafat dan teologi Pertengahan melainkan mulai mengadopsi
dalam skema ancilla theologiae dan beberapa temuan baru metode-metode
praeambulum fidei menjadi tidak mungkin ilmiah. Teologi secara perlahan menjadi
lagi karena pudarnya pamor filsafat interdisipliner.
Aristotelian dan Platonian. Teologi mulai
Hermeneutika pun tidak semata dipon-
diurus dengan skema dialektika Hegelian.
dasikan pada kebenaran Wahyu dalam
Yaitu, dialektika sebagai metode yang
Kitab Suci melainkan membuka diri juga
memungkinkan pencapaian pengetahuan

62
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

terhadap pemahaman-pemahaman ilmu- diallahkan hanyalah pemecah belah


ilmu baru. Historis-kritis kerap menjadi kesatuan dan pendera kehidupan manusia
perspektif yang menerobos kebekuan yang damai.
filsafat skolastik. Kecemasan terhadap
Posmodern adalah gelombang filsafat
“kemodernan” yang mengobrak-abrik tradi-
kritis, atau lebih tepat, filsafat “Tidak”.
sionalitas dalam Gereja mulai ditinggalkan
Maksudnya posmodern memroklamasikan
seiring dengan pilihan Gereja untuk
“tidak-sistem”, “tidak-konstruksi budaya”,
“berziarah” bersama bangsa manusia
“tidak-keseragaman”, “tidak-aneka paket-
dengan segala pengalaman duka dan
paket atau pola-pola mati mengenai bidang-
kecemasannya.
bidang kehidupan kehidupan”.
WARNA REALITAS Dalam artian ini posmodern adalah
gelombang filsafat yang secara dahsyat
Apakah realitas punya warna? Punya.
menggoyang Enlightenment (Abad Pence-
Ini keyakinan “Posmodern”. Pada periode
rahan) yang menjadi kebanggaan sekaligus
Medieval, agama merupakan aksioma.
legitimasi setiap konsep kemajuan pem-
Aufklaerung memiliki ambisi rasionalisme.
bangunan, teknologi, ideologi, ilmu penge-
Modernitas memuja akal budi dan science.
tahuan. Karakteristik abad Pencerahan
Periode ideologi, manusia tidak punya
yang berupa: (1) faith in the European
keunikan apa-apa selain “merah” (sosialis)
Reason and human Rationality to reject the
dan lawannya (kapitalis). Pada periode
tradition and the preestablished
Posmodern segala apa yang menjadi produk
institutions and thoughts, dan (2) search
kehidupan dimaknai dalam cara yang lebih
for the practical, useful knowledge as the
kompleks, dalam ranah bahasa,
power to control nature, 3 telah ketinggalan
interpretasi, hermeneutika, studi
kereta peradaban manusia yang telah
kebudayaan, dan kekayaan keseharian.
sampai pada titik kekompleksannya.
Posmodern adalah gelombang cara Menuturkan kegagalan mentalitas kemo-
berpikir, yang secara sepintas dapat disebut, dernan, Posmodern menunjuk pada aneka
“sesudah” filsafat modern. Bukan hanya macam penindasan dengan segala dalih
dalam artian kronologis, melainkan meto- yang justru bertentangan dengan akal budi
dologis. Metode filsafat posmodern melam- manusia itu sendiri, seperti Holocaust
paui cara-cara berpikir yang hanya meng- (pemberhangusan orang-orang Yahudi oleh
umbar kemajuan (modern). Posmodern rezim Hitler yang kejam) yang mengerikan
memandang sistem-sistem, prinsip-prinsip, untuk pengunggulan ras Aria (Jerman),
metode-metode, ide-ide yang pasti, sahih aneka pembunuhan dan intimidasi yang
dan rasional yang menjadi ciri khas filsafat brutal dalam revolusi masyarakat komunis
modern telah rontok dan ketinggalan di Rusia dan di berbagai tempat di dunia,
zaman. Posmodern memproklamasikan revolusi kaum Islam Shiah di Iran, pembe-
bahwa peradaban rasionalisme telah rontok rontakan masyarakat demokratis di Revo-
seiring dengan berkembangnya peradaban lusi Perancis, juga aneka tindakan pemba-
baru yang mendobrak bentuk-bentuk batan komunis dengan segala kaumnya oleh
kemapanan di segala bidang kehidupan para penegak Orde Baru di Indonesia –
manusia. Sistem ideologi telah mati. yang kebrutalannya hampir semua direlatif-
Perkembangan ilmu pengetahuan dan kan pada alasan-alasan ideologi, agama, dan
teknologi telah terbukti malah tidak makin aneka paham represif yang lain. Atau
memanusiawi. Aneka macam sistem perpecahan dan pertikaian sangat menge-
pemerintahan demokrasi dan yang lain rikan yang terjadi di eks-Yugoslavia atas
hanyalah legitimasi bentuk-bentuk korupsi nama keadilan ras, agama, suku, demokrasi
dan manipulasi (tengok tidak perlu jauh- dan tetek bengek yang lain.
jauh, pengalaman Indonesia!). Ideologi
Jürgen Habermas manyadari semua
hanyalah sebuah sarana untuk
kegagalan kemodernan itu. Tetapi dia tetap
mendominasi dan menghegemoni yang
setia hendak melanjutkan program
lain. Agama dan segala macam bentuk
modernisme dengan mengajukan sistem
refleksi mengenai Allah atau siapa saja yang

63
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

teori emansipatoris dan pencerahan baru, texts, the unity of the human self, the
yaitu masyarakat komunikatif, masyarakat cogency of the distinctions between rational
yang mengajukan pola-pola hubungan inquiry and political action, literal and
komunikatif, emansipatoris, kritis bukan metaphorical meaning, science and art, and
dengan jalan kekerasan melainkan dengan even the possibility of truth itself.
diskursus argumentatif. Menurut Haber-
Filsafat posmodern adalah filsafat tidak.
mas, masyarakat yang demikian itu meng-
Tidak kepada apa? Posmodern berkata
andaikan konsensus untuk menciptakan
tidak kepada pengetahuan immediately
komunikasi yang menyatukan. Caranya?
presented; kepada origin; kepada unity;
Komunikasi itu harus sampai pada kesepa-
kepada transcendence; kepada book.
katan: tentang dunia obyektif, kebenaran
Posmodern mengajukan apa yang disebut
(truth); tentang norma-norma moral dan
sebagai the idea of constitutive otherness.
sosial, keadilan (rightness); tentang
Rincian ide-ide yang disangkal ini
kesesuaian dunia batiniah, ketulusan
mendominasi diskusi filsafat posmodern.
(sincerity).
Posmodern menolak paham-paham
Tetapi, cita-cita Habermas dipandang
pengetahuan yang berkarakter immediately
utopis oleh para Posmodernis, misalnya
presented atau pengetahuan kesekaligusan/
oleh Lyotard. Menurut Lyotard seluruh
keserentakan/ kesekarangan mengenai
usaha untuk meraih klaim-klaim kesepakat-
realitas; dan mengajukan kesadaran bahwa
an seperti itu justru memperkosa kodrat
realitas itu hanyalah represented atau
heterogenitas ilmu pengetahuan dan
realitas adalah sistem simbol-simbol yang
kemajuan pluralitas peradaban manusia.
mewakili realitas sebenarnya.
Sistem Habermasian yang demikian tentu
saja sangat ambisius. Habermas memola- Di sini posmodern berhadapan dengan
kan kehidupan pada level frame-frame yang fenomenologi. Adalah Edmund Husserl
indah dan mempesona, tetapi sejarah yang membuka tabir ketertutupan
mencatat strategi semacam itu tidak lebih kesadaran manusia akan realitas (Kant
dari mendulang kegagalan yang telah misalnya berkata bahwa kita tidak bisa
berulang-ulang terjadi. Demi aneka klaim- mengetahui realitas itu sendiri; yang bisa
klaim kebenaran semacam itu, berapa ratus kita ketahui hanyalah penampakan-penam-
juta manusia telah dikorbankan! Demikian pakannya!). Fenomenologi mencermati
antara lain komentar sinis seorang fenomen sebagai pengetahuan itu sendiri.
posmodernis. Kaum posmodern kurang Apa yang sesungguhnya disebut pengetahu-
percaya akan “emansipasi” dan pencerahan an adalah apa yang diketahui, dikenali,
yang dijanjikan oleh Habermas. dicermati pada waktu itu. Ada semacam
karakter kesekaligusan dalam rangka kita
Posmodernisme pertama-tama diinspi-
mau menggapai pengetahuan realitas.
rasikan oleh Nietzsche yang kritis terhadap
Posmodernisme menggasak fenomenologi
rasionalitas modern dan memandang
dengan mengklaim bahwa realitas di
bahwa rasio – yang telah menjadi dewa
hadapan kita hanyalah simbol-simbol yang
Abad Pencerahan – hanyalah bersifat
merepresentasi realitas sebenarnya. Reali-
komplementer belaka. Maka, rasio tidak
tas sebenarnya tidak bisa sekaligus kita
mungkin menjadi segala-galanya bagi
tangkap. Realitas yang demikian itu masih
kehidupan manusia. Dengan demikian,
harus dicari, ditemukan.
juga segala sistem yang diproduksi oleh
rasio secanggih apa pun (misalnya Posmodern juga menyangkal origin.
secanggih seperti yang digagas oleh Hegel) Artinya, bagi posmodern tidak ada penda-
tidak valid sedemikian rupa. saran asal-usul suatu pengetahuan. Bagi
para filsuf self-centering (misalnya, existen-
Terminologi “posmodernism” me-
sialisme, psikoanalisis, juga marxisme),
nunjuk pada “post-strukturalism” (1960-
menemukan origin of the self berarti
an) di Perancis: gerakan ini menolak
menemukan otentisitas! Posmodern me-
kemungkinan pengetahuan obyektif tentang
nyangkal kemungkinan semacam ini.
dunia nyata, “univocal” meaning words and
Posmodern menolak “kembali kepada

64
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

origin” sebagai suatu realitas di balik itu selalu merupakan produk dari proses
phenomena, realitas sumber, realitas dan selalu merupakan imanensi. Bukan
terakhir. Dalam aktivitas kuliah untuk sebagai itu yang mengatasi segala-galanya,
memahami suatu teks tulisan Aristoteles, melainkan sebagai itu yang diproduksi oleh
misalnya, menurut Nietzsche, provokator proses – yang berlangsung dalam ruang dan
posmodernisme – tidak diperlukan lagi waktu tertentu. Ini tentu saja mengkom-
maksud original-nya. Mengapa? Karena plikasi setiap klaim mengenai keadilan dan
Aristoteles sudah tidak hidup lagi, dan aneka kebenaran mengenai relasi-relasi
teksnya sudah bukan untuk pembaca pada sosial yang ada. Penolakan transendensi di
zamannya, melainkan untuk kita sekarang satu pihak, dan penegasan proses imanensi
ini. Dari sebab itu pemahaman teks di lain pihak memberi ruang kepada
Aristoteles tidak perlu mesti mengenal manusia untuk mengedepankan proses
privilese pemaknaan asali-nya. Upaya belajar, writing, negosiasi, dan realitas-
penemuan arti asali teks itu terlalu bersifat realitas sosial yang memproduksi apa-apa
authoritarian, seakan-akan setelah ditemu- yang menyapa.
kan semuanya selesai, tuntas. Bagi
Di samping itu, posmodern mengajukan
Nietzsche, every author is a dead author.
strategi memahami realitas dengan
Dalam skema pemahaman ini, Derrida
penelaahan lewat The idea of constitutive
menulis mengenai the end of book and the
otherness. Realitas bagi posmodern itu
beginning of writing. Artinya, book sebagai
bagaikan sebuah teks. Realitas masyarakat
kristalisasi dari maksud origin dari
kita adalah society yang dibangun dalam
penulisnya sudah tidak berlaku lagi (setiap
atau dengan mengeksklusifkan yang lain.
pengarang adalah pengarang yang mati!).
Misalnya, era reformasi dipahami dengan
Tetapi mulai suatu penulisan, artinya mulai
mengeksklusifkan era Order Baru; sama
suatu pemahaman-pemahaman kon-
persis ketika era Orde Baru muncul, yang
tekstual yang tidak lagi dibuntu oleh
diekslusikan adalah Orde Lama. Strategi
maksud orisinalnya. Dan pada saat yang
constitutive otherness artinya “kelainan”
sama pembacaan baru mengenai suatu
(segala sesuatu yang mengitari atau menge-
tulisan, mulai!
lilingi atau yang dieksklusifkan) justru
Posmodern juga menolak paham unity. bersifat konstitutif. Gagasan ini secara
Bagi posmodern apa yang kita lihat, kurang lebih tepat hendak mengatakan
pandang, mengerti, pikirkan tak pernah bahwa setiap formasio atau pendidikan
merupakan suatu eksistensi singular, haruslah bersifat well-oriented. Setiap
integral, uniter. The human self is not a pendidikan tidak boleh sekedar melatihkan
simple unity, tegas para posmodernis, segala sesuatu agar memproduksi peserta
karena manusia itu eksistensi kompositoris, didik “siap pakai.” Melainkan, pendidikan
tersusun atas banyak elemen. Dari sebab itu mesti membawa peserta didik kepada
itu, menurut posmodern, manusia itu lebih kesiapsiagaan untuk menghadapi fenomen
tepat memiliki selves daripada a self. tantangan apa saja yang ada di sekeliling
Realitas lebih pas untuk diapresiasi karena ruang lingkup hidupnya (lifeworld).
kekayaan keragamannya, daripada dire-
Demikian pula dengan formasio
duksi dalam keseragaman, ketunggalan.
teologis, hendaknya. Posmodernisme me-
Bendera posmodern ialah multikulturalitas.
mungkinkan realitas seperti “memiliki
Saking banyaknya jenis dan ragamnya
warna-warni”. Realitas itu demikian
budaya, sampai-sampai tidak mungkin
beragam; dan keragamannya tidak hanya
melakukan generalisasi pengertiannya.
mengatakan “keaneka”an melainkan kon-
Posmodern menolak transendensi teks yang sangat kaya dan mendalam.
norma-norma. Menolak transendensi itu Berteologi kini harus mengandaikan pula
menolak apa? Menolak norma-norma “proyek-proyek” baru untuk mengenal dan
sebagai truth, goodness, beauty, oneness, mendalami “konteks”.
rationality sebagai semacam pondasi
Dalam sosok Yohanes Paulus II Gereja
terakhir. Maksudnya, bagi posmodern,
Katolik telah membuka posibilitas yang
norma-norma sebagai truth dan seterusnya

65
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

lantas menjadi “emblem” pontifikal-nya, Yang berada dalam Rumpun Umum:


yaitu dialog. Berteologi tidak hanya sebuah Pancasila, Kewiraan, Ilmu Sosial Dasar,
upaya refleksi, studi, dan aksi untuk Ilmu Alamiah Dasar, Pengantar Filsafat
mendalami dan mewartakan iman, melain- Timur, Pengantar Filsafat Barat.
kan juga melakukannya dalam cara-cara
Rumpun Teologi mencakup mata
dialogal. Dialogalitas seolah juga menjadi
kuliah: Pengantar Ilmu Teologi, Pengantar
salah satu “kodrat” model berteologi.
Hermeneutik PL, Pengantar Hermeneutik
PB, PL I, PL II, Sejarah Agama Kristen,
KESAN “PATRONISASI”
Kristologi, Eklesiologi, Etika Kristen,
Jika “teologi” kini berganti nama Teologi Pastoral, Pendidikan Agama,
menjadi Filsafat Divinitas (sebagai Program Liturgika, Homiletika.
Studi), tidakkah halnya memberi kesan
Sementara Rumpun Konteks meliputi:
adanya patronisasi disiplin ilmu teologi ke
Metodologi Penelitian Sosial, Metodologi
dalam filsafat? Apakah teologi masih
Penelitian Teologi, Agama dan Iptek,
“sejajar dengan” atau menjadi “bagian dari”
Sejarah Gereja Indonesia, Agama dan
filsafat?
Masyarakat, Agama Hindu dan Budha,
Saya memandang secara lebih positif. Agama Islam, Agama Suku dan Kebatinan,
Dalam sejarah tradisi keilmuan filsafat dan Teologi dan Komunikasi, Teologi dan
teologi, kesan “patronisasi” tersebut tak Manajemen, Teologi Agama-agama, Teologi
pernah ada. Malah, Filsafat Divinitas seolah Kontekstual, Teologi Sosial, Misiologi.
menegaskan sekali lagi keterpautan funda-
Jika di lingkungan Kristen Protestan,
mental antara filsafat dan teologi di satu
penerjemahan Prodi Teologi dijabarkan
pihak dan pengembangan yang leluasa
dalam penataaan rumpun-rumpun ilmu;
dalam perspektif dialogal dengan ilmu-ilmu
dalam Gereja Katolik perkaranya dicakup
modern di lain pihak. Jadi, teologi perlu
dalam apa yang disebut sebagai Studia
dan makin harus menegaskan karakter
Requisita. Seorang calon pastor Katolik
interdisiplinernya.
dinyatakan telah memenuhi segala persya-
Tahun 1996, tertanggal 24 Desember, ratan untuk tahbisannya apabila telah
Keputusan Menteri Pendidikan dan memenuhi Studia Requisita dalam jenjang
Kebudayaan RI, No. 0359/U/1996 menegas- pendidikan teologinya. Namun perlu
kan pengakuan formal teologi sebagai diketahui, tak pernah ada “satu” pedoman
program studi. Ilmu teologi berada dalam mengenai Studia Requisita, sebab Studia
kedudukan yang sejajar dengan ilmu-ilmu Requisita lebih mengatakan kadar minimal
sejarah, filsafat, religi, antropologi budaya, (kuantitatifnya), dan bukan bagaimana
dan seterusnya. Di kalangan kawan-kawan disiplin ilmu-ilmu teologi dikembangkan
Kristen Protestan, prodi teologi diterjemah- secara baru. Dengan demikian di
kan sedemikian rupa sehingga filsafat dan lingkungan Katolik pun, ilmu-ilmu teologi
disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi semacam terus berada dalam ranah “pencarian”
“pendukung” bagi matakuliah-matakuliah model-model pengembangannya.
teologi. Halnya tampak dari pembagian tiga
Dalam Gereja Katolik, pendidikan
“cluster” matakuliahnya, yang dibagi
teologi selalu gandeng dengan filsafat.
menjadi tiga (Bdk. Dengan tiga “cluster”
Keterpautan kedua bidang ilmu memiliki
perspektif dari David Tracy, yaitu
fondasi Tradisi sejak zaman para rasul,
academia, public, and Church).
terutama dari pewartaan Rasul Paulus.
Dalam penerjemahan SK Mendikbud Kemandirian ilmu teologi selalu berada
1996 tersebut di ranah kurikulum teologi, dalam keterpautan dengan ilmu filsafat.
PERSETIA (Persekutuan Sekolah Teologi Nyaris tak terpisahkan. Sepengetahuan
dan Ilmu Alkitab) membedakan saya, belum pernah ada dalam sejarah
matakuliah-matakuliah dalam tiga rumpun: Gereja Katolik, momen “keterpisahan”
(1) Rumpun Umum, (2) Rumpun Teologi, teologi dengan filsafat.
dan (3) Rumpun Konteks. 4

66
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

Salah satu momen paling kritis dalam ideologi sosialis. Perkembangan


sejarah teologi terjadi pada waktu filsafat kemodernan ini “meminggirkan” filsafat
Kantian merajai diskusi dan pergulatan skolastik.
intelektual manusia. Ketika Kant
Tetapi sejak Ensiklik Aeterni Patris
menerbitkan buku Kritik der reinen
(1879) dari Paus Leo XIII, filsafat Kristen –
Vernunft (1781), terjadi krisis mendalam
dalam hal ini yang dimaksud Filsafat
dalam teologi Kristen. Pasalnya, epistemo-
Thomas Aquinas – dipandang sebagai
logi Kantian yang mendeklarasikan konsep
komponen fundamental dalam teologi.
“Rasio murni” sebagai yang bebas dari
Meskipun Aeterni Patris lebih melukiskan
pengalaman mendepak prinsip-prinsip
“kecemasan” Gereja karena filsafat Kristen
metafisis Aristotelian yang menjadi fondasi
sedang berada di persaingan sengit dengan
dari teologi Kristiani. Metafisika Aristotelian
ideologi dan ilmu-ilmu modern, Ensiklik ini
mengawali diskusi filosofis (pengetahuan)
menjadi semacam peristiwa “dipulihkan-
dari Esse (Being). Kant sebaliknya rasio
nya” filsafat (Skolastik) dalam ranah diskusi
manusia telah memiliki struktur kategoris
ilmu teologi. Filsafat Skolastik wajib
pengetahuan. Kant menyingkirkan meta-
diajarkan di seminar-seminari di seluruh
fisika. Teologi Kristiani berada di “ujung
dunia. Thomas Aquinas menda-patkan
tanduk”, karena mendapat serangan dari
kembali penyambutannya yang sepadan
fondasinya. Kita tahu, rasionalisme Kantian
dalam lingkup Gereja Katolik.
meminggirkan filsafat Skolastik.
Tetapi sejak Ensiklik Maximum Illud
Kant adalah juga salah satu deklarator
(1919) dari Benediktus XVdan Rerum
Aufklaerung, yang menjadi “asal usul”
Ecclesiae (1926) dari Pius XI aktivitas
kebudayaan Barat. Aufklaerung merupakan
“berteologi” tidak hanya (tidak boleh hanya)
upaya akal budi manusia untuk
beku di pemahaman-pemahaman filosofis
“melepaskan diri” dari inferioritas di
Skolastik. Berteologi mesti pula membuka
hadapan institusi kekuasaan apa pun.
diri terhadap ilmu-ilmu “profan”. Sebutan
Motto Aufklaerung adalah sapere aude
ilmu profan menunjuk pada ilmu-ilmu
(beranilah berpikir sendiri). Motto ini
sosial yang berkembang pesat seiring
menggambarkan betapa kebangkitan
dengan kondisi sosial manusia dan relasi-
manusia diasalkan dari akal budinya.
relasi yang makin intens karena kemajuan
Aufklaerung menjadi gelombang yang
teknologi dan akibat-akibat perang.
membawa angin segar kehadiran mentalitas
“Otoritas” intelektual di lingkup Gereja
baru di satu pihak, tetapi menghempaskan
Katolik makin menyadari pentingnya belajar
konsep-konsep filosofis-skolastik di lain
disiplin ilmu-ilmu seperti “antropologi”,
pihak.
“sosiologi”, dan ilmu-ilmu yang menjadi
Perkembangan ilmu pengetahuan tak fondasi kemajuan teknologi. Sesudah
terbendung, terutama yang positivistic perang, berteologi menjadi aktivitas
sciences. Jika filsafat Skolastik dengan interdisipliner. Sosiologi mulai diajarkan di
logika silogisme dan “olah pengertian recta seminari-seminari. Hal ini terlihat jelas
ratio” membuat manusia puas dan lega dengan dokumen-dokumen sosial yang
dengan definisi-definisi; ilmu pengetahuan dilansir oleh Gereja Katolik. Dokumen-
positivistik memicu eksperimentasi secara dokumen sosial itu lantas mengerucut
luar biasa. Produk-produk eksperimentasi menjadi sebuah metodologi berteologi
ilmu pengetahuan memroduksi prinsip- secara baru, yaitu berteologi sosial.
prinsip teknologis; dan teknologi mengantar Lahirlah Ajaran Sosial Gereja yang menjadi
kepada terciptanya masyarakat baru, khasanah kekayaan berteologi dengan
masyarakat industrialisasi. Di lain pihak, berangkat dari realitas konkret kehidupan
kehadiran insdustrialisasi tata kehidupan sosial masyarakat. Prinsip-prinsip filosofis
melahirkan ketimpangan-ketimpangan so- Thomas Aquinas berdialog secara intens
sial yang menyesakkan. Lahirlah lantas dengan prinsip-prinsip filosofis sosial yang
ideologi-ideologi “modern”, persaingan terus berkembang.
antara kaum kapitalis dan proletariat.
Ideologi pasar bersaing sengit dengan

67
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

Dan, Optatam Totius malahan pertemuan agama-agama, dan seterusnya,


menyebut agar para petugas pastoral yang semuanya memungkinkan kontak
dibekali pendekatan-pendekatan terbaru dengan realitas kekayaan kultural filosofis
dalam ilmu sosial. Karena itu, sosiologi atau kontekstual hidup manusia. Dalam
antropologi menjadi bagian yang makin Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus
perlu. malahan mendorong upaya pendalaman
praktek-praktek “kesalehan” yang menjadi
IMPLIKASI KARAKTER milik masyarakat setempat (“kesalehan
Artikulasi dimensi kekinian (aktual- populer”).
kontekstual) dalam studi filsafat dan Studi filsafat dan teologi menawarkan
teologi. Kuliah teologi sebagai suatu transformasi peserta didik untuk terbuka
penjelajahan reflektif dan studi integratif kepada perubahan dunia dan budaya luas.
dari iman kepada Tuhan terasa harus segar Ensiklik Fides et Ratio (1998) menegaskan
dan baru terus-menerus. Sekurang- bahwa filsafat adalah lapangan yang sangat
kurangnya kalau ingin agar refleksi iman kaya dan luas. Filsafat adalah medan dialog
atas wahyu Allah yang demikian komuni- manusia tanpa batas dengan dirinya,
katif mampu menjawabi tantangan dan sesamanya, dunia, dan alam kehidupannya.
kebutuhan zaman sekarang hic et nunc (di Jika ensiklik sebelumnya, Veritatis Splendor
sini saat ini). Diperlukan pembaharuan- membela dasar-dasar obyektif prinsip-
pembaharuan dalam metodologi yang tidak prinsip moral, Fides et Ratio membela
memandang sepele aneka penemuan dan dasar-dasar obyektif pengetahuan akal budi
kreativitas yang menyapa masyarakat. manusia. Dengan iman dan budi, manusia
Penjabaran relasi filsafat dan teologi, sanggup menggapai kebenaran sejati yang
jangan sampai reduktif. Hubungan filsafat senantiasa menjadi kerinduan dan
dan teologi perlu dipahami secara kedahagaannya. Kebenaran sejati tidak
komprehensif, jangan reduktif dalam pernah atau tidak akan pernah mengantar
nostalgia Abad Pertengahan (ancilla manusia kepada sikap-sikap anti-toleransi.
theologiae dan praeambulum fidei) sejauh Sebaliknya, kebenaran itu menjadi dasar
bertolak melulu dari filsafat Aristotelian- kokoh bagi kemungkinan terbukanya
Thomistik, yang meskipun menurut saya pencarian dialog dalam keanekaragaman
tetap memikat untuk didalami. Kaitan apa saja meliputi budaya, ekonomi, ras,
filsafat dan teologi dewasa ini hampir tak agama, politik dan yang lainnya. Seorang
tersistematisasikan, tak terkonstruksikan, pencinta kebenaran tidak menyisihkan
tak bisa lagi direduksi. Misalnya, belajar siapa pun, dan tidak mengisolasikan dirinya
filsafat cuma berarti sejauh mendukung dari kehadiran siapa pun. Suatu kebenaran
fasilitasi pemahaman apa yang diberikan sejati itu tidak memecah belah. Ia
dalam kuliah teologi dogmatik. Cara menyatukan, menawar-kan rekonsiliasi,
pandang semacam ini reduktif. Seakan- dan mengantar siapa pun kepada kerjasama
akan filsafat selesai setelah mahasiswa yang tulus. Ensiklik Fides et Ratio
mengerti secara lebih masuk akal mengenai menyangkal setiap pandangan yang
misteri-misteri iman yang digumuli dalam mengatakan bahwa iman mengalienasi
teologi. Justru diperlukan kreativitas dan manusia dari kehidupannya yang nyata.
tekad-tekad pencarian untuk menggagas Dalam semangat ini pula, saya kira sudah
relevansi dan aktualitas pertautannya di saatnya, perguruan tinggi filsafat teologi
zaman yang meminta pertanggungjawaban membuka pintu terhadap kelompok umat
iman secara lebih radikal ini. Filsafat harus atau siapa pun yang berminat belajar filsafat
makin membuka mata kita akan suatu dan teologi; dan tidak mengasingkan diri
dunia yang makin berubah dan meminta dari pergaulan masyarakat/dunia. Sudah
pembaharuan relevansi iman terus- tidak mungkin lagi, sebuah perguruan
menerus. Perlu dipikirkan semacam teologi tinggi filsafat teologi, memagari diri dengan
antropologis, misalnya, dalam suatu mata tembok-tembok tinggi, kokoh. Karena dunia
kuliah yang bersifat semi seminar. Atau, luar pun sedang menunggu kita, meminati
teologi dialog, teologi politik, teologi apa yang sedang kita tekuni, dan menawar-

68
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

kan rincian kerjasama yang perlu ditindak- memalukan. Bertolak dari keprihatinan
lanjuti. mengenai realitas hidup beriman semacam
ini, hadir bersliweran di dalam benak kita
Studi filsafat teologi mesti
aneka pertanyaan yang tidak mudah
memungkinkan orang untuk peka dan
dijawab. Bukankah agama tidak mempro-
responsif terhadap aneka gelombang
mosikan kekerasan? Soal pertautan agama
mentalitas yang berubah dan berkembang.
dan kekerasan pada intinya adalah
Ensiklik Fides et Ratio memberikan
pertanyaan yang menggugat agama dan
penegasan-penegasan yang menjadi seruan
kepentingan iman dalam hidup kemanu-
keprihatinan. Berkaitan dengan filsafat,
siaan kita. Bukan menggugat eksistensi
ensiklik ini mengajukan aneka gelombang
Tuhan. Soal-soal inilah yang membedakan
pemikiran yang perlu mendapat tanggapan
gelombang mentalitas manusia beriman
serius. 5 Ensiklik menyebut antara lain,
dewasa ini dan abad pertengahan (yang
Eklektisme, suatu gaya berpikir yang
suka bergumul dengan argumentasi
menggabungkan beberapa argumentasi
metafisis untuk membuktikan eksistensi
filosofis/teologis tanpa perduli konteks
Tuhan). Dari sebab itu, juga pengertian
historisnya sedemikian rupa sehingga
relasi filsafat teologi tidak boleh sekedar
diperoleh kesimpulan-kesimpulan yang
direduksi pada konstatasi bahwa filsafat
baru sama sekali yang kerap menyangkal
mendukung teologi dan teologi didukung
kebenaran universal. Aliran-aliran lain yang
filsafat! Filsafat menggugat kenaifan dalam
menjadi keprihatinan ialah scientisme,
beragama/beriman. 6 Dan refleksi teologis
historisme, dan relativisme. Selain itu,
mesti korespondensi dengan aktualitas
pragmatisme, menurut ensiklik ini, juga
tantangan zaman.
tidak kurang bahayanya. Aliran-aliran yang
jelas diandaikan disanggah ialah nihilisme, Artikulasi Subjektif-eksistensial
fideisme, dan marxisme. Mereka semua ini dalam studi agama-agama. Dalam perjum-
tidak hanya menyempitkan kapasitas paan iman dan filsafat (Skema Yerusalem –
kemungkinan budi manusia untuk meraih Atena) dalam Paulus di Atena, dalam
kebenaran, melainkan juga memandeg- Gereja Katolik terdapat adagium, Fides
kannya pada suatu level ketidakpastian dan quaerens intellectum (iman yang mencari
ketidaktentuan. Nihilisme merupakan akar pengertian). Beriman berarti mencari
baru dari cara berpikir manusia yang kedalaman pengertian makna hidup dan
menolak identitas sendiri. Fideisme menyi- misteri keselamatan yang diimani. Tetapi
sihkan pengetahuan rasional mengenai dunia modern memberlakukan terminologi
iman akan Allah. Sementara tuduhan institusional untuk apa yang disebut dengan
bahwa agama hanya menimbulkan suatu “beriman”, yaitu Agama (religion). Saya
sistem totaliter bagi manusia disembulkan mencoba mendistingsi pengertian agama
oleh Marxisme. Paham terakhir ini dalam apa yang saya sebut esensi dan
merupakan humanisme ateis yang tentu eksistensi. Bila berkaitan dengan “esensi”
saja menghantam setiap bentuk keper- saya maksudkan ajaran atau doktrin;
cayaan adikodrati. sementara dengan “eksistensi” saya
maksudkan manusia, subjek beragamanya.
Refleksi mendalam tentang pertautan
Berikut ini distingsi ringkasnya. 7
filsafat teologi secara kokoh mencegah
kerancuan penghayatan agama yang ESENSI AGAMA EKSISTENSI AGAMA

campur baur dengan tindakan kekerasan OBYEKTIF: SUBYEKTIF:


agama sebagai realitas agama sebagai suatu realitas
dan fanatisme sempit. Dewasa ini aktivitas obyektif; konstatasi subyektif, langsung berkaitan
konkret beriman telah gandeng dan rentan kebenaran dogmanya tak bisa dengan manusia sebagai
soal-soal kemanusiaan dengan intensitas diperdebatkan/ditawar subyek beragama

yang sangat serius: kekerasan. Kekerasan DOKTRINAL: EKSISTENSIAL:


agama adalah suatu “ajaran” agama sebagai kesaksian
terjadi di mana-mana dengan label agama.
Aktivitas beriman terasa tidak menambah WAHYU: PENGALAMAN:
agama sebagai berasal dari agama adalah sebuah
kedamaian, malah menghantam realitas “Atas,” diturunkan pengalaman relasional
kemanusiaan dalam taraf sangat oleh Tuhan manusia dengan Tuhan

69
Filsafat Divinitas (Keilahian) atau “Teologi” (Armada Riyanto)

TRANSENDENTAL: IMANENSIAL: Hubungan filsafat teologi akhirnya


agama menawarkan prinsip- agama menghadirkan mesti bermuara pada pembangunan
prinsip kebenaran yang kebenaran yang menyentuh
mengatasi akal budi dan dan berurusan dengan Kerajaan Allah dan cara baru dalam
konteks hidup sehari-hari konteks hidup manusia beriman/beragama. Hidup beriman dalam
ONTOLOGIS: ANTROPOLOGIS: societas – dari sendirinya – tidak boleh
kebenaran yang ditawarkan kebenaran ilahi dihadirkan dipikirkan melulu sekedar dalam kaitannya
absolut, mutlak, universal, dalam cara-cara manusiawi,
necessary insani, kontekstual
dengan maksud mengejar kebahagiaan jiwa
melainkan juga merangkul penghargaan
terhadap realitas manusia. 8 Dialog menem-
Sebenarnya agama mencakup ke- pati kepentingan yang sangat menyolok.
duanya, realitas subyektif dan obyektif. Mengapa dialog? Dewasa ini makin disadari
Tetapi, artikulasi studi perlu juga diletakkan realitas kekayaan kehidupan bersama.
pada realitas subyektif. Agama pertama- Realitas kebenaran yang saya pegang, saya
tama bukanlah serangkaian prinsip-prinsip hayati, saya hidupi belumlah selesai. Dialog
suci. Agama adalah realitas dari manusia- lahir justru dari kesadaran bahwa ternyata
manusia sebagai subyek-subyek beragama. kehidupan bersama kita ini sangat kaya dan
Artinya, esensi agama adalah eksistensinya. mempesona.
Keluhuran prinsip-prinsip ajaran Kitab Suci
Mengikuti jejak Kristus: dialog
menjadi mungkin apabila ditampilkan
inkarnatoris. Inkarnasi adalah tindakan
dalam keluhuran perilaku manusia-
Allah yang paling menyentuh hati manusia
manusia sebagai subyek-subyek yang
sedalam-dalamnya. Inkarnasi itu dialog
menghidupinya.
Allah dalam kehadiran dan bahasa
Dari realitas subyektif, dimungkinkan manusia. Allah tidak berada pada posisi
relasi antarmanusia sebagai umat lebih tinggi, melainkan setara, sepadan,
beragama karena nilai-nilai universal. senasib dengan manusia. Di sini kodrat
Artinya, hidup bersama sebagai umat dialog tidak memaksudkan berkata-kata
beragama tali temali dengan berbagai verbal, melainkan hidup dan menyusuri
prinsip yang mengedepankan kemanusiaan. pengalaman keseharian. Kristus sebagai
Etika ketetanggaan yang menjadi ciri khas Allah inkarnatoris tidak hanya mengajar
keseharian kita bukan hanya penting, tetapi meninggalkan “Keallahan-Nya” dan
melainkan juga selaras dengan ketaatan hadir sebagai seorang manusia yang terus-
kepada Tuhan. Etika ketetanggaan adalah menerus berdialog.
etika yang mengedepankan persahabatan
antartetatangga. Dalam persahabatan itu
bukan hanya konflik dicegah, melainkan Armada Riyanto
juga kebaikan bersama diupayakan. Etika Dosen Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi
ketetanggaan mengejar kerukunan, kerja-
STFT Widya Sasana Malang,
sama, kedamaian. Etika ketetanggaan
memperlakukan sesamanya bukan sebagai Email: fxarmadacm@gmail.com
tamu asing yang tidak dikenal dan merepot- CATATAN AKHIR
kan, melainkan memandang sesamanya
sebagai bagian dari kesibukan keseharian. 1
Seperti dikutip dari Sarah Klitenik Wear and
Tetangga saya adalah dia yang menyapa John Dillon, 2007, Dionysius the Areopagite
dan saya sapa. Di lain pihak, saya juga and the Neoplatonist Tradition, 5.
2
sangat menghargai aneka kesibukannya Cf. Giovanni Reale – Dario Antiseri, 1993,
sebagai yang berbeda dari saya. Kehadiran- Storia della Filosofia: Dall’Antichita’ al
nya menyapa tetapi juga memiliki otonomi Medioevo, Editrice La Scuola, Brescia, 394.
3
Jadi ada dua karakteristik: pengedepanan
sendiri yang harus saya hargai. Etika
rasionalitas manusia di satu pihak (dan ini
ketetanggaan bukanlah aturan, tetapi
memiliki konsekuensi penolakan atas tradisi
mengajukan nilai-nilai kemanusiaan. yang sudah ada, atau berarti tradisi agama –
Dalam etika ketetanggaan dimungkinkan Kant membahasakannya sebagai saat manusia
suatu cetusan makna agama yang menjun- bangkit melawan inferioritasnya dari
jung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. kungkungan hegemoni tradisi agamis, dan

70
JURNAL TEOLOGI, Volume 04, Nomor 01, Mei 2015, 57-71

dengan demikian saat manusia berdiri di kaki Ethics,” dalam The Ethics of
sendiri) dan pencarian cara-cara baru untuk Posmodernity, edited by Gary B.
mengontrol alam demi menggapai kemajuan Madison and Marty Fairbairn, Illinois.
di lain pihak (secara konkret mulai dalam Dulles, Avery SJ., “Reason, Philosophy, and
ilmu-ilmu pengetahuan empiris,
the Grounding of Faith: Reflection on
eksperimental untuk mencari jalan bagaimana
mengembangkan kehidupan manusia – dalam
Fides et Ratio,” in International
lapangan epistemologis/ilmu pengetahuan Philosophical Quarterly, Vol. XL, No.
John Locke termasuk menjadi pionir untuk 4, Issue No. 160, December 2000,
urusan ini karena ia mengajukan tesis bahwa 479-490.
pengetahuan manusia itu diasalkan dari Gilson, É., 1932, L’Esprit de la Philosophie
pengalaman). Dua karakteristik ini memadu Médiévale, Paris.
sedemikian rupa dalam kehidupan manusia Holzer, Vincent CM, 1995, Le Dieu Trinité
sehingga secara umum dapat disimpulkan dans l’histoire, Paris.
bahwa abad Enlightenment adalah abad John Paul II, 1998, Fides et Ratio, Vatican.
rasionalitas manusia. Sistem sebagai demikian
Julian Wolfreys ed., 1998, The Derrida
diakarkan pada mentalitas gelombang filsafat
yang demikian. Di Perancis, pada abad ini
Reader. Writing Performances,
produk monumentalnya direalisir dalam Edinburgh.
pembuatan ensiklopedia untuk pertama Manintim, Marcelo C.M., 1993, The
kalinya pada tahun 1770: tentang ilmu Concept of Lifeworld in Jürgen
pengetahuan, seni, dan profesi. Ensiklopedia Habermas, Rome.
ini muncul sebagai suatu sistem baru dalam Paden, William E., 2000, “World,” in Willi
memberdayakan rasio manusia untuk Braun-Russell T. McCutcheon ed.,
menggariskan sistem kehidupan secara Guide to the Study of Religion,
keseluruhan pada taraf kognitif. London.
4
Bdk. Drewes B.F & Julianus Mojau M, 2007,
Plato, 1989, Apology (dari Plato. The
Apa itu Teologi: Pengantar ke dalam Ilmu
teologi, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 10-14. Collected Dialogues, edited by Edith
5
Yohanes Paulus II, 1998, Encyclic Fides et Hamilton and Huntington Cairns,
Ratio, Vatican, Chapter VII. Princeton).
6
Cf. Armada Riyanto, 2000, Agama-Kekerasan: Rahner, Karl, 1983, “The Current
Membongkar Eksklusivisme, Malang. Relationship between Philosophy and
7
Mengenai skema ini, lih. Armada Riyanto, Theology,” in Theological
2003, Membangun Gereja dari Konteks, Investigation XIII, New York.
Malang artikel 1-2. ----------, “On the Relationship between
8
Simak Vincent Holzer CM, 1995, Le Dieu Theology and the Contemporary
Trinité dans l’histoire, Paris. Khusus bab I
Sciences,” in Ibid.
tentang Esquisse du Rapport Philosophie-
Théologie sous l’Horizon Théologique d’une Robert C. Salazar, 1998, “The
Ouverture Kénotique de-à l’Absolu (Hans Urs fundamentalist Evangelical Movement
von Balthasar); juga bab II tentang Le in the Philippines: An Overview,”
Rapport Philosophie-Théologie sous l’Horizon dalam Rethinking New Religious
Théologique de la Selbstmitteilung Gottes: Movements, ed. By Michael A Fuss,
Dieu comme Donateur, Don et Fondement de Rome.
l’Acceptation du Don (Karl Rahner). Shamir, Khalil S., 1999, “Monotheism and
Trinity. The Problem of God and Man
and its Implications for Life in our
DAFTAR RUJUKAN Society”, in Vincentiana, July-
October.
Aristotle, 1984, Metaphysics dari The Thonnard, F.J., 1963, Précis d’Histoire de
Complete works of Aristotle, edited by la Philosophie, Paris.
Jonathan Barnes, New Jersey. Tilliette, Xavier, 1999, “Du Dieu théiste à la
Cahoone, L., ed., 1997, From Modernism to Trinité spéculative”, Communio, No
Posmodernism. An Anthology, Oxford. XXIV 5-6.
Charles E. Scott, 1999, “The Sense of ---------, 1991, Filosofi Davanti a Cristo,
Transcendence and the Question of Brescia.

71

Anda mungkin juga menyukai