Efek yang
ditimbulkan berupa kelumpuhan tubuh bagian kanan, kelopak mata mengecil, bahkan amnesia. Lebih
dari itu, Dinda mengalami meningoensefalitis Tb (tuberkulosis), dimana bakteri TBC ikut andil menyerang
selaput otaknya. Bisa dibayangkan bagaimana Dinda ‘belajar keras’ menerima keadaan dirinya. Dan,
Dinda menuliskan semua pengalaman itu dengan lugas, sekaligus menegaskan ketegarannya yang luar
biasa. Pada tahap awal, Dinda hanya sering merasakan demam dan pusing, sebagaimana gejala flu biasa.
Seorang dokter menyarankannya untuk segera operasi usus buntu. Dinda melakoninya. Namun, tak
kunjung sembuh. Hingga di awal tahun 2004, Dinda, yang saat itu masih aktif di Komnas Perempuan,
mengalami puncak sakitnya. Hasil pemeriksaan, baik CT-scan maupun MRI, menyimpulkan adanya
peradangan di selaput otak (meningitis) dengan deskripsi meningitis Tb. Mulailah, hari-hari Dinda dilalui
di rumah sakit, ruang terapi, dan kamar rawat. Rasa rendah diri Dinda yang pertama adalah kesulitan
bicara. Dengan kondisi bibir yang miring ke kiri dan bicara yang terbata, membuatnya sedih. “Ya Tuhan,
kalau begini terus, aku tidak tahan menerima cobaan ini.” Rasa percaya diri semakin hilang saat tahu
dirinya terkena amnesia, pandangannya jadi dobel, dan mata kirinya semakin mengecil. Kehilangan
ingatan merupakan satu siksaan tersendiri. Terutama bila kenangan akan aktivitas menyenangkan yang
pernah dilakukannya tak bisa dilakukan lagi. Untuk melakukan hal-hal biasa (rutin) saja tentu menjadi
kerinduan luar biasa. Di bagian-bagian selanjutnya, Dinda bercerita bagaimana ia harus belajar lagi
mengoperasikan Mic. Word, sebuah aktivitas biasa yang telah mahir dilakukannya jauh sebelum sakit.
Belum usai dari keterpurukan, Dinda harus menerima fakta pahit di tempatnya bekerja. Maret 2005,
selang ia sedang memulihkan keadaanya, Dinda di-PHK tanpa prosedur semestinya. Dinda pun
meradang. Ia menuntut Komnas Perempuan secara hukum. Tidak main-main, hampir 15 bulan lamanya,
Dinda berjuang mendapatkan haknya. Dan, untuk kesekian kalinya, jauh di lubuk hatinya, Dinda makin
merasa sangat sepi. Sakit dan penderitaan yang dialaminya seolah membuatnya banyak kehilangan
teman dan juga “nasib” baik. Masa pemulihan Keakrabannya dengan penderitaan di saat sakit, membuat
Dinda mulai terbiasa dan bisa menerima keadaan dirinya. Perlahan-lahan, Dinda bangkit sebagaimana ia
sendiri mengeraskan hati untuk sembuh. Aktivitas demi aktivitas dia lakukan, konsultasi, terapi, dan
menulis artikel di media massa. Yang menarik adalah tumbuhnya kesadaran Dinda untuk melakukan
konsientisasi tentang meningoensefalitis, termasuk dituliskannya di buku ini. Tentunya supaya jangan ada
lagi orang yang terkena penyakit ini. Menurut data dari berbagai sumber, angka kematian penderita
meningoensefalitis di Indonesia mencapai 18-40 persen, dengan angka kecacatan 30-50 persen.
Meningitis sendiri, lebih sering terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-2 tahun. Gejala yang umum terjadi
adalah demam, sakit kepala, dan kekakuan otot pada leher. Penderita ini juga mengalami fotofobia (takut
cahaya) dan fonofobio (takut dengan suara yang keras), mual, muntah, sering tampak bingung, susah
untuk bangun tidur, bahkan tak sadarkan diri. Pada bayi, umumnya menjadi sangat rewel dan terjadi
gangguan kesadaran. Gejala lainnya adalah warna kulit menguning (jaudice), tubuh dan leher terasa
kaku, demam ringan, tidak mau makan atau minum ASI. Tangisannya pun menjadi lebih keras dan
bernada tinggi, serta ubun-ubunnya terdapat benjolan atau bagian itu terasa kencang. Menjaga
kebersihan diri adalah kiat pertama mencegah terjangkitnya penyakit ini. Media penularan bakteri
Neisseria meningitidis meningokokus ini melalui udara. Hubungan langsung dengan terkena lendir atau
percikan hidung atau tenggorokan ketika orang bersin, mencium, batuk, atau barang-barang pribadi
seperti gelas dan sikat gigi, juga rentan pada penularan. Pencegahan lain bisa dilakukan dengan vaksinasi
Hemophilus influenzae tipe b untuk anak-anak. Sementara vaksin meningokukus diberikan untuk orang
dewasa. Para jamaah haji biasanya mendapatkan vaksin ini sebelum masuk di negara Arab Saudi.
Akhirnya, Dinda menyadari bahwa di dalam penderitaanya, ia masih bisa mensyukuri semua nikmat yang
diberikan Tuhan. Perhatian orang-orang dekat, keluarga, dan sahabatnya membuatnya semakin
semangat menyalakan api hidup.
Pemeriksaan Penunjang
Foto torak basanya abnormal. Pemeriksaan liquor serebrospinal menunjukkan
peningkatan kadar protein, penurunan kadar gula dan limfositosis. Jamur ini cukup
sulit ditemukan pada kultur liquor, tetapi pemeriksaan serum antibodi biasanya
positif dan merupakan indikator aktifasi penyakit. Paa CT Scan dengan kontras
nampak penyangatan sisterna basalis yang akan hilang setelah pengobatan. Pada
beberapa keadaan ditemukan abses di medulla spinalis, biasanya di servikal atau
torakal.
Pengelolaan
Ampoterisin B telah dipakai untuk pengobatan infeksi jamur sejak 30 tahun
yang lalu. Pada pemberian secara intravena kadar obat dalam ruang subaraknoid
sangat rendah sehingga beberapa klinisi memberikan injeksi langsung ke intratekal.
Dosis untuk injeksi intratekal adalah 0.25-0.5 mg/hari. Efek samping pemberian
ampoterisin B intratekal adalah araknoiditis, vaskulitis dan infeksi sekunder.
Obat lain untuk penanganan infeksi jamur pada susunan saraf pusat adalah
dengan obat gabungan antara ampoterisi B dengan flusitosin atau ketokonazol tetapi
pemakaian obat ini pada manusia belum ada laporan yang jelas. Untuk obat tunggal
dosis ketokonazol adalah 1200 mg/hari.
Prognosa
Seperti pada semua kasus meningitis fungsi, umumnya jelek. Menurut Craven
dan kawan kawan angka kematian mencapai 40% pada tahun pertama dan
mencapai 60% bila ada hidrosefalus.
Cryptococcosis
Cryptococcosis merupakan infeksi jamur yang paling sering ditemukan pada
susunan saraf pusat, tetapi akhir-akhir ini kedudukannya digeser oleh candidiasis.
Cryptococcosis dapat menyerang orang sehat maupun immunocompromised.
Klinis
Infeksi pertama pada paru-paru, kemudian menyebar ke otak pada 10-50%
kasus. Gejala awal biasanya nyeri kepala, muntah dan afebris, tetapi gejala yang
paling sering adalah febris yang berlangsung subakut-klinis, kelemahan umum dan
kejang. Pada funduskopi ditemukan pepil udem sampai 40% kasus dan 30% kasus
dengan parese n.VI. Granuloma fokal atau abses menyebabkan defisit neurologis
fokal, hemiparese atau gejala TTIK.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan foto torak positif pada 40-50% kasus. Pada pemeriksaan darah
ditemukan jumlah leukosit kurang dari 10.000/mm3. Hasil pemeriksaan liqour
bervariasi, pada pasien imunocompromised gejala klinis tidak berat, tetapi jumlah
cryptococcus lebihbanyak dibanding leukosit. Pada lebih dari 50% kasus, pleositosis
dengan leukosit mononuklear dominan. Kadar protein diatas 40 mg% atau lebih
tinggi dengan kadar gula yang rendah pada 55% kasus.
Pemeriksaan lain yang penting adalah ditemukannya antigen terhadap cryptoccocus.
Pengecatan dengan tinta India hanya positif pada 60% kasus dan antigen positif
pada 90% kasus, dengan titer antigen >1:8.
CT Scan dengan gambaran penyangatan di daerah sisterna basalis dengan
batas tidak jelas, ditemukan daerah/lesi hipodens di substansia alba.
Pengobatan
Pemberian obat gabungan antara ampoterisin B(0.3 mg/hari) dan flusitosin
(150 mg/koagulan) selama 6 minggu dan obat tunggal ampoterisin B 0.4 mg/hari
selama 10 minggu memberi hasil yang sama. Keuntungan pemberian obat gabungan
adalah memperpendek waktu pengobatan, mengurangi efek nefrotosik ampoterisin B
karena dosis lebih kecil ettapi tidak mengurangi efek toksik dari flusitosin pada
sumsum tulang, hati dan saluran cerna. Oleh karena itu setelah pemberian selama
1-2 minggu perlu diperiksa kadar flusitosin dalam darah yaitu harus kurang dari 100
mikrogram/ml. Pada dosis flusitosin 100 mg/koagulan/hari kadar obat dalam plasma
adalah 30-80 mikrogram/ml.
Prognosa buruk bila ada hidrosefalus danudem serebri. Pemeriksaan antigen
harus diulang karena umunya ditemukan positif palsu. Bila kadar awaal kurang dari
1:256 maka prognosanya baik. Angka kematian akibat cryptococcosis dengan terapi
agresif ± 30% .
Candidiasis
Jarang menginfeksi individu sehat,karena merupakan flora normal di daerah
mulut danmerupakan jamur pathogen opportunistic.
Patogenesis
Berbeda dengan jamur lain, candidi tidak melalui jalur paru, tetapi lewat jalur
saluran cerna, saluran kemih, saluran pernafasan dan masuk ke aliran darah
langsung lewat pemasangan kateter. Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi pada
50% dari infeksi candidiasis sistemik, dan mencapai 80% pada kasus candida
endocarditis dengan distribusi yang sama pada semua kelompok umur.
Klinis
Manifestasi klinis tergantung usia, meningitis biasanya ditemukan pada
neonatus dananak sedang pada orang dewasa berbentuk mikro atau makro abses.
Pemeriksaan penunjang
Oleh karena angka kejadian infeksi ke susunan saraf pusat cukup tinggi,
maka pada kasus kandidiasis sistemik harus dilakukan pemeriksaan CT Scan dan
lumbai fungsi segera. Pada CT Scan nampak daerah dengan densitas rendah tanpa
penyangatan dan ini ditemukan pada individu yang immunocompromised. Gambaran
liquor sama dengan meningitis bakterialis lain, tetapi pada abses otak ec candida
gambaran liquornya normal. Pemeriksaan lain dengan tes serologi dan kultur.
Pengelolaan
Tidak seperti infeksi jamur lain, pada candidiasis dapat terjadi keadaan
sembuh sendiri secara spontan. Obat pilihan pertama tetap ampoterisin B, kemudian
obat gabungan antara ampoterisis B (0.3 mg/koagulan) dengan flusitosin oral 100-
150 mg/koagulan/hari, terbagi dalam 4 kali pemberian.
Prognosa
Angka kesembuhan pada meningitis candida mencapai 90%, tetapi pada
kasus abses otak, angka kematian tinggi dan ini disebabkan oleh kegagalan banyak
organ (multi-organ failure).
Pemeriksaan penunjang
Pada CT Scan nampak gambaran abses multifokal dengan kontras
enhancement
Pengobatan
Terapi spesifik dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin. Dosis
pirimetamin hari pertama 75 mg selanjutnya 25 mg dengan sulfadiazin 1 gr setiap 6
jam ditambah asam folat 10 mg/hari, sedikitnya selama 3-6 minggu. Selama
pemberian obat ini pasien harus banyak minum untuk menghindari kristaluria.
Prgnosa tergantung saat penyakit ditemukan.
Amebiasis
Entamoeba histolytica menghuni kolon dan menyebabkan disentri. Komplikasi
ekstraintestinal yang sering adalah abses hati, pleurisy, pneumonia, pericarditis dan
meningoensefalitis.
Patogenesa
Organisme mencapai otak lewat embolisasi. Entamoeba menyebabkan
nekrose, dengan reaksi radang ringan pada parenkim otak, udem, kejang dan
kadang pembentukan abses. Diagnosa lewat pemeriksaan fases dan biopsi jaringan .
Amebiasis susunan saraf pusat jarang terdiagnosa saat pasien masih hidup.
Penanganan
Penanganan dengan pemberian obat amebicid seperti metronidazol dengan
dosis 35-50 mg/koagulan bb selama 5-10 hari.
INFEKSI PARASIT FOKAL
Cysticercosis
Cysticerosis merupakan penyakit akibat parasit/larva dari Taenia solium yang
mempunyai afinitas khusus terhadap jaringan saraf dan menimbulkan bermacam
sindroma tergantung dari lokasi dalam neuraxis.
Patogenesa
Manusia dan babi dapat terserang larva pada jaringan tubunhya. Penularan
lewat makan daging yang tidak dimasak dengan baik. Saat ini diketahui paling tidak
ada lima tipe cycticercosis otak. Lokasi cysticerosis adalah recemose meningobasal,
cystic parenchimal, cerebromeningeal, ventricular dan spinal. Gambaran khas
recemose cycticercosis adalah vesikel kecil yang multipel (encysted larvae) di ruang
subarakmoid, terutama di sisterna basalis. Gejala lain adalah parese saraf otak dan
hidrosefalus. Larva bersifat iritatif dan menyebabkan proses desak ruang sehingga
menimbulkan araknoiditis dan sumbatan daerah sisterna. Bentuk khas lesi
intraparenkim adalah kista multipel yang kadang mengalami kalsifikasi. Karena
sifatnya yang iritatif maka mudah menimbulkan kejang dan defisit sensorimotor. SOL
akibat cysticercosis tidak berbahaya.
Diagnosa
Diagnosa cysticerosis dibuat berdasarkan gambaran radiologis dantes
serologis. Gambaran darah tepi adalah eosinofilia. Pada liquor ditemukan pleositosis
eosinofilia, dengan kadar gula dan protein normal.
Pengelolaan
Penanganan dengan pengangkatan kista, sedang obat untuk kista parenkimal
adalah praziquantel (10-20 mg/koagulan bb) atau albendazol (400 mg), sedang
cacingnya sendiri dapat dikeluarkan dari usus dengan pemberian niclosamide (2 gr).
Echinococcosis (hydatid disease)
Echinococcosis adalah penyakit parasistik yang disebabkan oleh infestasi kista
echinococcus granulosa, cacing pita anjing. Host perantara cacing ini adalah domba,
unta dan sapi.
Patogenesa
Peneybaran penyakit dari saluran cerna lewat aliran darah menyerang hati,
paru, tulang dan otak. Larva membentuk kista tunggal yang cepat membesar.
Setelah beberapa bulan dinding kista akan berdiferensiasi menjadi lapisan dalam
(internal germinal layer) dari kista berikutnya,akibatnya kista akan semakin besar
berisi cairan dan partikel parasit yang dikenal sebagai hydatid sand. 3% kasus
echinococcosis sistemik sampai otak, dengan kista yang seliter, besar dan lokasinya
superfisial.
Klinis
Gejala awal biasanya adalah tekanan tinggi intrakranial.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan lewat pemeriksaan darah eosinofilla dan tes intradermal
(Casoni intradermal skin test) dan tes fixasi komplemen (Weinberg).
Pengelolaan
Pengangkatan kista saat operasi harus hati-hati, karena bila pecah akan
menyebarkan kista karena dalam kista terdapat larva hydatid hidup. Tilang
tengkorak dan vertebrata dapat rusak oleh adanya kista dan saat operasi kista sulit
diangkat secara utuh.
Paragonimiasis
Paragonimiasis disebabkan oleh infeksi cacing paru Paragonimus westermani.
Pada manusia paragonimiasis berbentuk meningoensefalitis karena granulomatosis
multipel. Host primer adalah krustasea, dan manusia sebagai perantara.
Diagnosa
Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya telur dari sputum atau feses.
Pada CT Scan nampak granuloma intraserebral yang sering mangalami kalsifikasi.
Pengobatan
Pengobatan dengan bithionol (30-50 mg/koagulan selang sehari selama 10 –
15 kali pemberian) danreaksi granuloma.
KESIMPULAN
Telah dibicarakan infeksi susunan saraf pusat oleh karena beberapa jamur
dan parasit yang masing-masing dapat memberi gejala difus danfokal. Pengelolaan
infeksi oleh jamur umumnya masih memakai ampoterisin B suatu obat antifungal
yang dipakai sejak 30 tahun yang lalu, sedang untuk infeksi parasit obatnya
bervariasi.
Ilustrasi Kasus
Pasien laki-laki, 28 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sakit kepala bertambah berat
sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Sakit kepala terasa seperti diremas-remas
hampir di seluruh bagian kepala; rasa berputar tidak ada; makan obat jenis parasetamol tidak ada
perbaikan; sakit kepala membuat pasien tidak dapat tidur. Bila sakit kepala timbul akan disertai
dengan muntah. Muntah tidak menyemprot; keluar isi makanan; tidak ada darah.
Tiga hari SMRS, pasien mengalami kejang-kejang sekitar 3-5 kali per hari; selama 10 menit;
kejang berhenti sendiri; setelah kejang berhenti pasien tidak sadar; kejang ditandai dengan mata
yang mendelik ke atas sedangkan tangan dan kaki tidak ikut kelojotan; kejang ini baru pertama
kali dialami pasien; riwayat kejang waktu kecil tidak ada. Pandangan mata kabur. Tidak
ditemukan adanya riwayat kelumpuhan pada anggota tubuh. Tengkuk terasa sakit. Tidak ada
riwayat trauma. Buang air besar dan buang air kecil normal.
Satu tahun SMRS, pasien punya riwayat batuk lama. Batuk berdahak; pernah mengeluarkan
darah sebanyak 1x; sesak nafas tidak ada; demam tidak ada; ada penurunan nafsu makan; ada
penurunan berat badan. Akhir tahun 2005, pasien berobat ke rumah sakit ”S” karena batuk
tersebut. Diagnosis dari RS ”S” tidak diketahui pasien dan keluarga, hanya dikatakan bukan sakit
berat; obat yang diberikan tidak ada yang membuat kencing warna merah; lama minum obat
hanya 2 minggu.
Bulan Januari 2006, pasien dikatakan sakit paru oleh puskesmas ”TT”. Kemudian saat berobat di
puskesmas tersebut, pasien diberi tahu oleh petugas kesehatan disana untuk berobat ke klinik ”B”
agar mendapat pengobatan gratis. Disana pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan darah di
RS ”C” karena dicurigai mengidap HIV. Hasil pemeriksaan menunjukkan HIV positif. Pasien
diberi obat HIV dan paru. Setelah minum obat paru (obat menyebabkan kencing warna merah)
selama 3,5 bulan, pasien berhenti sendiri karena sudah merasa lebih baik.
Riwayat seks bebas ada; transfusi darah disangkal; obat terlarang dan suntik disangkal. Pasien
juga memiliki riwayat keluar cairan dari telinga 15 tahun lalu, tidak pernah diobati dan berhenti
sendiri. Pasien memelihara 4 ekor anjing di rumah.
Pemeriksaan fisik menunjukkan tanda vital pasien baik. Oral thrush (+). Paru
terdengar rhonki +/+ basah kasar. Lain-lain dalam batas normal. Status neurologis pasien
menunjukkan GCS 15; pupil bulat, anisokor, 4 mm/3 mm; kaku kuduk (+); hemiparesis nervus
VII dekstra sentral; fungsi motorik dan sensorik baik.
Pada laboratorium dijumpai peningkatan laju endap darah (40 mm). Pemeriksaan
liquor didapatkan peningkatan protein (0,78 g/L), None (-), Pandi (+), sel mononuklear 75%,
polimorfonuklear 25%, dan Kriptokokus (+) dengan tinta India. Anti-TB (+), HbsAg (-), anti-
HCV (-), anti toxoplasma IgG 0, anti-CMV IgG 391, anti-CMV IgM (-), sel T CD4 16.
CT-Scan kepala brain window tanpa dan dengan kontras memberi kesan adanya
mastoiditis bilateral dengan kecurigaan serebritis. Sementara itu, thorax posterior-anterior
menunjukkan pneumonia.
Diagnosis yang ditegakkan pada pasien ini adalah meningoensefalitis kritpokokus.
Pendahuluan
Kriptokokosis termasuk penyakit infeksi yang jarang diderita oleh orang sehat. Umumnya,
kriptokokosis mudah dialami pada penderita dengan sistem imun yang rendah, contohnya HIV,
seperti halnya pada kasus diatas. Di sisi lain, menurut penelitian oleh Tiksnadi A dkk yang
dimuat dalam Neurona 2004, etiologi terbanyak komplikasi susunan saraf pusat pada penderita
HIV adalah toxoplasma.
Di Indonesia, menurut data September 2002, dari jumlah penduduk tahun 2001 sekitar
214.840.000, diperkirakan terdapat penderita (baik anak-anak maupun dewasa) HIV/AIDS
sekitar 130.000 jiwa, sebagian besar bersamaan dengan penyalahgunaan narkoba. Prevalensi
HIV pada pasien yang dirawat di Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta adalah
18% (1999), 40% (2000) dan 48% (2001). Prevalensi HIV positif pada pengguna narkoba suntik
di Indonesia diperkirakan antara 50-90%. Beberapa laporan menyebutkan bahwa angka kejadian
HIV yang mengenai susunan saraf pusat (SSP) adalah sekitar 40%, bahkan terdapat laporan
neuropatologik yang menemukan kelainan pada 90% spesimen posmortem penderita HIV yang
diperiksa. Angka kejadian ini semakin meningkat apabila disertai penyalahgunaan narkoba
suntik. Meningkatnya jumlah penderita HIV disertai tingkat penyalahgunaan narkoba yang
semakin tinggi, maka diperkirakan jumlah penderita dengan komplikasi neurologi juga akan
semakin tinggi dan sering dijumpai.
Menurut laporan dari Rumah Sakit Penyakit Tropis di Ho Chi Minh, Vietnam, jumlah penderita
HIV yang mengalami kriptokokosis terus meningkat setiap tahunnya. Di Thailand, prevalensi
meningitis kriptokosis sebesar 18,5% pada pasien HIV dan menjadi penyebab infekasi
oportunistik tersering pada SSP.
Kondisi lain selain HIV yang juga menjadi faktor predisposisi kriptokokosis adalah pasien yang
menjalani terapi imunosupresif paska transplantasi organ, sarkoidosis, penyakit limfoproliferatif,
hipogammaglobulinemia, terapi kortikosteroid, systemic lupus erythematosus (SLE), sirosis, dan
dialisis peritoneal.
Patofisiologi
Cryptococcus neoformans menyebar secara hematogen ke sistem saraf pusat dari fokus di paru
yang mana biasa bersifat subklinis. Tidak ada pneumonitis ditemukan pada 85% pasien dengan
penyakit kriptokokal di SSP. Selain, paru-paru dan SSP, kriptokokus juga menyerang kulit,
tulang dan saluran kelamin. Meninges merupakan tempat yang paling sering. Sebabnya masih
belum jelas, tetapi beberapa teori telah dikemukakan seperti sifat antigen kapsul kriptokokus di
cairan serebrospinal yang terbatas sehingga reaksi inflamasi tidak terinduksi. Selain itu cairan
serebrospinal juga merupakan media pertumbuhan yang baik, mungkin disebabkan karena
kandungan dopamin dan neurotransmiter lain di cairan serebrospinal dn tidak adanya protein
yang toksik bagi kriptokokus. Penyakit ini biasanya berkembang bila kadar limfosit T helper
CD4 berada dibawah 100 sel/mm3. Pada tahap ini, makrofag juga tidak berfungsi dengan baik.
Gejala Klinis
Gejala klinis yang paling sering dialami adalah sakit kepala, disusul kemudian oleh demam.
Gejala klinis lain adalah mual, muntah, lemas, gangguan memori, dan penurunan kesadaran
(stupor atau koma).
Dari pemeriksaan fisik pada pasien ditemukan penurunan kesadaran (apatis), kaku kuduk dan
gangguan saraf kranialis nervus VII dextra sentral. Oleh karena itu, dipikirkan pasien mengalami
meningoensefalitis. Sakit kepala progresif akibat tumor dapat disingkirkan karena pada pasien
ditemukan tanda rangsang meningeal positif.
Diagnosis
Diagnosis definitif pada meningitis kriptokokus memerlukan pungsi lumbal yang disertai dengan
pengukuran opening pressure. Cairan serebrospinal yang telah dipungsi selanjutnya diuji dengan
pewarnaan tinta India atau dikultur. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal adalah leukositosis
mononuklear ringan (50-500 sel/mL), protein >500-1000 mg/dL atau normal, dan glukosa sedikit
menurun. Hasil itu mencerminkan meningoensefalitis kronik.
Cairan serebrospinal yang telah diwarnai dengan tinta India dilihat di bawah mikroskop dengan
pembesaran kuat (minyak emersi). Yang terlihat adalah sel ragi yang berbentuk halo
disekelilingnya. Adanya halo tersebut dikarenakan kapsul glukuronoxylomannan. Sensitivitas tes
tinta India mencapai 75%. Akan tetapi, jumlah koloni sel ragi <104 colony forming units (CFU)
akan menyulitkan deteksi sehingga diperlukan kultur atau tes antigen kriptokokus. Selain itu,
perlu juga dilakukan pemeriksaan tes basil tahan asam terhadap bakteri Mycobacterium
tuberculosis untuk mengeksklusi meningitis tuberkulosis.
Kultur cairan serebrospinal dilakukan pada agar darah atau Sabouraud pada suhu 35oC. Kultur
lebih sensitif daripada tinta India dengan sensitivitas mencapai 90%.
Tes antigen kriptokokus sangat sensitif dan spesifik. Sensitivitasnya dapat mencapai lebih dari
90%. Tes antigen kriptokokus dirancang untuk menilai secara kualitatif apakah seseorang positif
menderita kriptokokus, bukan kuantitatif (jumlah bakteri). Di samping itu, dapat pula digunakan
untuk menilai respon pengobatan.
Fase-Fase Terapi
Berdasarkan pedoman terapi meningitis kriptokokus yang disusun oleh Saag dkk, seperti dilansir
dari Clinical Infection and Disease 2000, terdapat 3 fase terapi yaitu fase induksi, konsolidasi,
dan pemeliharaan. [Tabel 1] Kombinasi amfoterisin B dan flusitosine dianjurkan menjadi obat
lini pertama pada fase induksi (2 minggu). Penelitian oleh van de Horst dkk dalam N Engl J Med
1997 menyimpulkan, eliminasi kriptokokus akan lebih cepat pada pasien yang mendapat
kombinasi amfoterisin B dengan flusitosin daripada amfoterisin B saja. Selanjutnya, flukonazole
diberikan pada fase konsolidasi (8 minggu). Setelah dua fase itu terlaksana, fase selanjutnya
adalah fase pemeliharaan dimana jangka waktunya dapat seumur hidup. Akan tetapi, dapat
dihentikan apabila CD4 >100 sel/mL. Risiko relaps pada fase pemeliharaan adalah sekitar 2%.
Amfoterisin B bersifat fungisidal. Resistensi secara in vitro masih jarang ditemukan. Efek
samping yang paling dikhawatirkan adalah nefrotoksisitas, tetapi sifatnya reversible apabila
dosis total tidak melebihi 4 gr. Nefrotoksisitas dapat tereksaserbasi apabila pasien mengalami
kekurangan natrium. Untuk mencegah keadaan itu, pasien sebaiknya mendapatkan infus NaCl
0,9% selama pengobatan amfoterisin B. Bioavailabilitas amfoterisin B buruk pada pemberian
oral sehingga harus diberikan secara intravena. Amfoterisin B menyebabkan kerusakan membran
melalui ikatan sterol pada sel membran. Selain itu, amfoterisin B juga diduga merangsang fungsi
makrofag. Pemberian intratekal dianjurkan hanya sebagai terapi salvage pada pasien relaps.
Flusitosine adalah analog nukleotida. Secara in vitro, ditemukan kerja yang sinergis dengan
amfoterisin B. Pada studi acak oleh Horst dkk dilaporkan bahwa eliminasi kriptokokus pada
cairan serebrospinal lebih cepat pada pasien yang diberikan flusitosine dan amfoterisin B
daripada amfoterisin B saja. Flusitosine akan diubah menjadi fluoro-urasil pada sel jamur, dan
merupakan zat aktif dari obat itu. Toleransi pengobatan yang kurang baik dan resistensi yang
cenderung meningkat menjadi alasan flusitosine tidak digunakan sebagai monoterapi.
Golongan azole mempunyai potensi, tolerabilitas, dan penetrasi pada cairan serebrospinal yang
baik. Mekanismenya berlawanan dengan amfoterisin B yaitu menghambat pembentukan sterol
sehingga efek terapi akan kurang baik apabila keduanya digunakan secara kombinasi meski
percobaan pada hewan belum membuktikan hal tersebut.
Sementara itu, terapi meningoensefalitis kriptokokus berdasarkan Standard of Procedure Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) agak berbeda dengan yang dikemukakan Saag dkk.
Hari 2-14
Dosis amfoterisin B 0,7-1 mg/kg dimasukkan dalam 500 ml
dextrose 5% diberikan secara infus intravena dalam jangka
waktu 6 jam. Setelah pemberian amfoterisin B selesai, infus
dapat diganti sesuai dengan kebutuhan pasien.
Prognosis
Meningitis kriptokokus akan berakibat fatal bila tidak diobati. Dengan pengobatan, angka
ketahanan hidup akan bertambah tetapi risiko kematian tetap tinggi antara 5,5-46%. Sebagian
kecil pasien meninggal dalam 6 minggu pertama setelah diagnosis tanpa pengobatan. Sedangkan
sebagian yang lain dapat hidup lebih hingga 18 bulan lebih lama. Angka kekambuhan setelah
pengobatan cukup tinggi, sebesar 30-50%. Toksisitas obat sering terjadi yaitu mencapai 60%
pasien. Maka dari itu, hidup serasa di ujung tanduk gara-gara jamur!
Meningoensefalitis merupakan suatu peradangan pada selaput dan jaringan otak. Pada anak-
anak, penyakit ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri seperti H.influenza, S.pneumonia,
N.meningitidis, dll. Untuk mengatasi meningoensefalitis akibat bakteri, maka perlu diberikan
obat yang dapat menghilangkan bakteri penyebab, yaitu dengan pemberian antibiotik yang
sesuai dengan kuman penyebabnya. Pasien dengan meningoensefalitis tidak memerlukan
kortikosteroid dosis tinggi untuk menyembuhkan penyakitnya.
Setiap tindakan yang dilakukan pasti memiliki risiko. Namun, dengan adanya risiko
tersebut bukan berarti tindakan tersebut tidak boleh dilakukan karena manfaat dari
tindakan tersebut lebih besar dari kemungkinan timbulnya risiko akibat tindakan
tersebut. Demikian pula dengan pungsi lumbal (pengambilan cairan serebrospinal).
Pungsi lumbal dapat menimbulkan sakit kepala, kelemahan hingga kelumpuhan anggota
gerak, masuknya infeksi baru dari luar, terbentuknya kista dermoid, dll. Namun, tidak
setiap pungsi lumbal dapat menimbulkan efek negatif tersebut. DIsamping itu, tindakan
tersebut harus dilakukan pada kasus anak teman anda, karena dengan dilakukannya
pungsi lumbal maka penyebab penyakit dapat diketahui sehingga dapat diberikan
pengobatan yang tepat.