656 2900 2 PB
656 2900 2 PB
656
Sutjipto, Pandangan Guru Dalam Pengembangan Kurikulum Pendidikan Khusus
Sutjipto
Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan Litbang, Kemendikbud
Jl. Gunung Sahari Raya, Nomor 4A, Jakarta Pusat.
E-mail: sutjipto.55@gmail.com
Abstract: The purpose of this research is to comprehensively examine the views of special
school teachers in the development of special educational curricula on the design and
principles. The research involved fourty three teachers froms eight different special schools.
Data was collected through forum group discussion dan analyzed by descriptive qualitative
method. The results show, first, from the teacher’s point of view, that in designing a
special educational curriculum for learners with special needs it should contain practical
knowledge, moral character qualities and performance, essential skills, competence, art,
and literacy praxis. Secondly, flexibility, functionality, independence, literacy, and vocational
are the principles of developing a special education curriculum for learners with special
needs.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara komprehensif pandangan guru
sekolah luar biasa dalam pengembangan kurikulum pendidikan khusus pada dimensi
perancangan dan asasnya. Penelitian melibatkan empat puluh tiga guru sekolah luar biasa
dari delapan sekolah. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik diskusi kelompok
terpumpun dan teknik analisis data menggunakan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa dari sudut pandang guru dalam perancangan kurikulum pendidikan
khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus harus mengandung muatan-muatan
pengetahuan praktis, kualitas karakter moral dan kinerja, keterampilan penting, kompetensi,
seni, dan praksis literasi. Selain itu, keluwesan, fungsional, kemandirian, literasi, dan
kejuruan merupakan asas-asas pengembangan kurikulum pendidikan khusus bagi peserta
didik berkebutuhan khusus.
Apabila sudut pandang guru ditempatkan secara untuk mendorong perubahan sosial masyarakat
proporsional dalam penyusunan konsep di sekitarnya yang senantiasa dikaitkan dengan
perancangan dan konten kurikulum maka akan harapan dan tantangan masa depan. Tantangan
lebih mudah merangsang penyusunan lateral masa depan begitu kompleks, seperti globalisasi
pengetahuan maupun kompetensi yang dan berbagai isu yang berkaitan dengan masalah
dibutuhkan peserta didik berkebutuhan khusus. lingkungan hidup, kemajuan teknologi informasi
Terdapat beberapa rasionalitas mengapa dan komunikasi, turbulensi ekonomi, kebangkitan
pemangku kepentingan perancang kebijakan industri kreatif, perubahan budaya, dan
mengetengahkan semangat penyusunan perkembangan ranah pendidikan di semua
kurikulum yang melibatkan guru. Pertama, tingkatan. Itu semua membutuhkan tanggapan
adanya keinginan untuk menawarkan tantangan yang segera terwujud dalam kurikulum.
dan peluang bagi para guru untuk terlibat secara Ketiga , mekani sme kera ngka kerja
aktif dalam menyusun sebuah kurikulum yang pengembangan kurikulum selama ini kurang
khas, seperti ide dan desain, metodologi, meli ba tkan guru da n di anggap kurang
pembelajaran, pengelolaan kelas, dan sistem menyentuh pengalaman baik mereka. Hal ini
penilaian. Pola kerja penyusunan seperti ini dapat dimaknai kurang mendekatkan fakta-
membutuhkan kerja sama berbagai pihak yang fakta sosial yang ada di sekitar peserta didik
berkepentingan. Mengutip pernyataan Rock, et berkebutuhan khusus. Pola kerja tersebut
al. (2016), butuh keberanian dengan ajakan kurang terbuka mewadahi sudut pandang guru
bertindak agar menghayati terwujudnya terkait gagasan-gagasan terhadap pengem-
pendidikan dan pembudayaan yang sarat makna. bangan kurikulum. Kurangnya keterbukaan
Secara teoretis, pengembangan kurikulum pelibatan guru ini diperkuat temuan Li dan
pendidikan khusus sejak dulu tidak berubah. Laidlaw (2006) dalam penelitiannya tentang
Hakikat kurikulum secara prinsip mempunyai esensi kerja sama, penelitian tindakan kelas,
kesamaan, yaitu sebagai rancangan pem- dan penyusunan kurikulum di Cina pedesaan
belajaran yang berupa seperangkat rencana yang mengatakan pentingnya menjaga pikiran
untuk membangun dan memberdayakan potensi terbuka dalam meningkatkan wawasan
peserta didik. Perbedaan kurikulum yang pengembangan suatu kurikulum. Apabila strategi
dikembangkan terletak pada muatannya. kerja pengembangan kurikulum yang kurang
Perbedaan muatan disebabkan oleh filosofi dan melibatkan guru masih dipertahankan, muncul
kepercayaan (beliefs), konteks, dan kondisi yang pertanyaan apakah kebijakan pengembangan
dimiliki dan dihadapi oleh kekhasan jenis kurikulum yang kurang melibatkan guru memang
pendidikan. Oleh karena itu, aktivitas kepakaran tepat bagi setiap guru pendidikan khusus. Di
tim pengembang tidak pernah akan selalu samping mendidik dan mengajar, guru juga
dibutuhkan walaupun untuk konteks yang sama. didorong untuk terlibat dalam merancang
Secara naluri, selalu ada kecenderungan pada kurikulum, yaitu dari kurikulum yang kaku menuju
diri pengembang untuk menghasilkan rancangan kurikulum yang lebih fleksibel dan fungsional yang
yang human dan berdasarkan kebermanfaatan meneka nkan pemecah an masal ah dan
yang tinggi. komunikasi dalam berbagai bentuk.
Kedua, pelibatan guru dalam mengem- Keberadaan kurikulum diibaratkan sebagai
bangkan sebuah kurikulum untuk pendidikan narasi kontrak sosial. Berbagai latar belakang
khusus merupakan sebuah pengalaman dan hambatan yang dimiliki peserta didik berke-
tantangan baru. Guru meyakini bahwa kurikulum butuhan khusus amat kompleks. Pengembangan
merupakan instrumen penting dan strategis kurikulum akan lebih bermakna apabila dilakukan
oleh guru yang memiliki pertimbangan idealisme, Kurikulum untuk peserta didik berkebutuhan
aspiratif, normatif, dan teknis yang khas. Dengan khusus telah banyak dirancang dengan isu-isu
demikian, kurikulum yang dihasilkan dapat kesesuaian, seperti berisi pelbagai jenis
dijadikan wahana pengembangan berbagai pengetahuan untuk membantu, menemukan,
aktivitas peserta didik berkebutuhan khusus itu dan mengembangkan kemampuan yang akan
sendiri secara kontekstual. Kerangka kerja menjadikan mereka sanggup dalam menghadapi
seperti ini menjadi rujukan karena ada kepekaan, dinamika kehidupan yang akan datang. Namun,
kemampuan mengidentifikasi, dan mencatat rancangan kurikulum tersebut selalu menyisakan
kebutuhan mereka. Laporan eksekutif UNICEF sebuah pertanyaan, yaitu bagaimana sesung-
menekankan pentingnya pedagogi yang lebih guhnya sebuah rancangan kurikulum supaya
inklusif, yang menggeser fokus dari gaya selaras dengan tuntutan siswa berkebutuhan
pembelajaran yang terpusat pada guru ke gaya khusus. Banyak pengalaman dari pengembang
pembelajaran ber-pusat pada peserta didik yang kurikulum dan tindakan dari para guru pendidikan
bisa merangkul berbagai gaya pembelajaran. khusus yang dimasukkan ke dalam perancangan
Model seperti itu, menuntut guru memiliki kurikulum yang sesuai kebutuhan. Oleh karena
pemahaman yang jelas tentang kurikulum itu, manakala kontemplasi dan refleksi dinamika
(UNICEF, 2013). Laporan UNICEF tersebut pandangan guru dalam merancang kurikulum
memberi catatan bahwa untuk peserta didik direkomendasikan, maka perannya juga harus
berkebutuhan khusus memerlukan pendekatan dikuatkan. Satu dari rekomendasi yang dimaksud
yang fleksibel terhadap pengembangan kurikulum adalah terlibat dalam pengembangan kurikulum.
sehingga dapat mengembangkan kurikulum Kerangka pikir pelibatan guru dalam merancang
yang bisa merangkul berbagai gaya pembe- kurikulum selaras dengan temuan Doabler,
lajaran yang menggambarkan kebutuhan Clarke, Fien, Baker, Kosty, dan Cary (2014)
mereka. dalam penyelidikan awal terhadap rancangan
Esensi kebutuhan peserta didik ber- kurikulum matematika Tier 2 untuk memperbaiki
kebutuhan khusus adalah keterampilan, hasil belajar siswa kelas satu yang mengalami
pengetahuan praktis, kompetensi, karakter baik, kesulitan belajar matematika. Hasil penelitian
dan pengalaman yang diperlukan untuk menemukan bukti awal bahwa penyusunan
kemandirian secara luwes. Peserta didik kurikulum dan evaluasi untuk mereka perlu ditata
berkebutuhan khusus yang mandiri merupakan ulang berdasar pada teori perubahan yang
keluaran pendidikan yang bertanggung jawab ditentukan oleh guru.
dalam kegiatan memerankan kehidupan. Oleh Temuan Doa bl er tersebut m emberi
karena itu, kurikulum pendidikan khusus yang penguatan bahwa mekanisme perancangan
baik adalah kurikulum yang dikembangkan para kurikulum pendidikan khusus memerlukan
guru peserta didik berkebutuhan khusus yang gagasan-gagasan konkret yang konseptual dan
berorientasi akhir pada kebutuhan dan komprehensif dari sudut pandang guru secara
kesanggupan memenuhi harapan, keinginan, dan terbuka. Karena itu, mekanisme pengembangan
kebutuhan mereka. Semangat keterlibatan guru kurikulum pendidikan khusus untuk peserta didik
dalam pengembangan kurikulum pendidikan berkebutuhan khusus yang telah terjadi menarik
khusus perlu dibangkitkan. Dengan demikian, untuk ditulis. Pertama, dengan kurikulum yang
produk kurikulum peserta didik berkebutuhan dirancang oleh guru pendidikan khusus akan
khusus yang diimplementasikan sesuai dengan memiliki derajat kesesuaian yang memenuhi
yang diharapkan. syarat. Kedua, kurikulum yang dihasilkannya
memiliki makna mendalam karena dikembangkan
oleh orang-orang yang paham dengan hambatan dimaknai dan sekaligus sebagai acuan bagi:1)
mereka. peserta didik dalam memperoleh bekal
Pemahaman tentang hambatan peserta kemampuan hidup, 2) guru dalam melaksanakan
didik berkebutuhan khusus yang dituangkan ke pembelajaran, 3) kepala sekolah dan pengawas
dalam sebuah kurikulum memerlukan medium dan dalam melaksanakan supervisi, 4) orangtua
wacana kritis dari para guru tentang pencapaian dalam membimbing anak-anak belajar, dan 5)
dan keterlibatan peserta didik dalam melalui dan masyarakat dalam memberikan bantuan
mengeksplorasi berbagai ragam aktivitas di terhadap terselenggaranya pembelajaran di
seluruh kurikulum. Pada situasi global seperti sekolah agar menghasilkan pendidikan yang lebih
saat ini, percepatan perubahan terjadi di segala baik.
sektor. Perancang kurikulum akan sulit menahan Dalam konteks kurikulum sebagai acuan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi pendidikan pada tingkat sekolah, dapat dimaknai
(terlebih teknologi informasi dan komunikasi), kurikulum sebagai proses belajar peserta didik
dan sosial-budaya yang tidak kontekstual. dan proses pengajaran yang memerlukan
Menurut Plotner dan Dymond (2016) cakupan keterlibatan perancangan oleh guru. Kerangka
kurikulum sangat luas dan kompleks karena pikir seperti itu selaras dengan hasil penelitian
menyangkut arah kehidupan masyarakat ke Figueiredo, Leite, dan Fernandes (2016) untuk
masa depan. Dinam ika perubahan dan dua negara Portugal dan Inggris dalam
perkembangan yang terjadi dalam kehidupan menanggapi keinginan badan-badan Eropa agar
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak menciptakan proses evaluasi eksternal sekolah
terpisahkan dari perkembangan ilmu penge- (school external evaluation-SEE) dalam upaya
tahuan dan teknologi, senibudaya, globalisasi, memperbaiki pendidikan dan kurikulumnya.
dan digitalisasi. Perkembangan dan perubahan Penelitian menyimpulkan:1) kurikulum dipahami
yang terjadi tersebut, menuntut adanya sebagai proyek terbuka, 2) kerangka kerja SEE
perbaikan dan penyelarasan dalam kurikulum dari kedua negara membahas kurikulum dengan
pendidikan. Oleh karena itu, perwujudan sebuah memusatkan perhatian pada peran guru sebagai
rancangan kurikulum merupakan jawaban dari pengembang kurikulum dan proses penyusunan
tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap arah kurikulum mereka, dan 3) kerangka kerja dari
dan hasil dari pendidikan khusus. Portugal dan Inggris mengungkapkan kepri-
Arah dan hasil pendidikan khusus yang hatinan atas lingkungan dan fungsi kelas yang
diharapkan perlu dikonstruksi dan dirumuskan ada.
dalam konsep-konsep ideal secara sosial, Hasil penelitian Figueiredo tersebut memberi
mental, dan operasional dari pandangan dan sinyal kuat bahwa keterlibatan guru SLB sebagai
gagasan guru di tingkat sekolah. Merujuk kajian perancang kurikulum pendidikan khusus akan
Pusat Kurikulum dan Perbukuan (2011) pokok bisa menjaga harapan peserta didiknya. Strategi
pikiran terkait program pembelajaran pendidikan kerja pengembangan kurikulum seperti ini dapat
khusus yang dirancang, memiliki dimensi yang memberi ruang luas kepada guru agar terlibat
cukup komprehensif, yakni kurikulum sebagai dalam menentukan arah perjalanan peserta
suatu: 1) ide/gagasan, 2) rencana tertulis, 3) didiknya. Isi kurikulum pendidikan khusus
kegiatan implementasi nyata, dan 4) rancangan peserta didik berkebutuhan khusus yang baru
yang perlu dievaluasi. Dengan demikian, fungsi akan lebih sesuai dengan penggunanya karena
utama kurikulum adalah sebagai acuan bagi disusun oleh guru mereka.
terciptanya aktivitas pembelajaran di sekolah. Berdasarkan latar belakang di atas, dapat
Dengan fungsi seperti itu, maka kurikulum dapat dirumuskan permasalahan utama, yakni:
khusus harus mampu berperan pula mendorong kesamaan ketentuan kurikulum dengan alternatif
pemerataan kesempatan pendidikan yang mata pelajaran akademis sebagai landasan
bermutu bagi mereka. Pandangan ini dapat utamanya.
dimaknai bahwa rancangan kurikulum yang Pandangan yang diungkapkan para guru
dihasilkan harus memiliki kepekaan fleksibilitas pada temuan umum kedua tersebut banyak
yang sesuai dengan karakteristik masing-masing ditemui dalam beberapa isu pembelajaran yang
peserta didik. Ada dua hal yang bisa diambil kait-mengkait. Hal ini menegaskan pada urgensi
pelajaran dari pandangan tersebut, yaitu menjawab tantangan perancangan kurikulum
kurikulum dan sistem persekolahan. Kurikulum bagi peserta didik berkebutuhan khusus guna
harus dirancang terutama untuk membekali berhasilnya lulusan berkebutuhan khusus. Selain
peserta didik berkebutuhan khusus menjadi mutu, yang sangat mendesak untuk diwujudkan
warga negara yang baik. Sistem persekolahan adalah muatan utama bahan kajian perancangan
pendidikan khusus, di manapun lembaga kurikulum untuk kebutuhan mereka. Esensinya,
tersebut berada, harus mampu menjamin bukanlah model perancangannya, melainkan
pemerataan kesempatan bagi mereka untuk kelebihan apa yang dimuat dari kurikulum dan
bersekolah. Mereka tidak lagi merasa di- hal pokok apa yang perlu ada dalam rancangan
tinggalkan. Dengan demikian, peningkatan akses kurikulum.
dan mutu pendidikan merupakan keniscayaan. Ketiga, para guru umumnya berpandangan
Begitu pula kurikulum yang ingin dirancang untuk agar mereka dilibatkan secara aktif, interaktif,
mereka dalam sebuah dokumen juga harus dan produktif dalam bentuk kegiatan workshop
mampu mendorong kesempatan yang sama perancangan kurikulum, mulai dari pembahasan
kepada semua warga negara yang berkebutuhan ide, filosofi, desain, dokumen, implementasi, dan
khusus. evaluasi. Pola kerja semacam itu menyisakan
Warga negara yang berkebutuhan khusus sebuah pertanyaan bagaimana alam pikiran
dan tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah pembuat kebijakan pendidikan khusus terhadap
reguler harus dijamin dapat mengikuti kurikulum model seperti itu? Apakah mereka menangkap
pendidikan khusus. Agar mereka memperoleh makna sebuah perancangan kurikulum yang lebih
kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak sederhana, yang lebih sesuai atau yang lain?
dan bermutu, harus dilayani dengan kurikulum Dengan rancangan kurikulum yang lebih
khusus pula. Untuk merancang kurikulum peserta sederhana, dapat mendorong sebuah kebijakan
didik berkebutuhan khusus yang bermutu, salah yang penting karena memiliki tingkat keluwesan
satu parameternya harus diterjemahkan secara bagi peserta didik berkebutuhan khusus dalam
langsung dan esensial dari pikiran dan rancang mengikuti pembelajaran. Dalam kenyataannya,
pendidikan yang mengarahkan mereka memenuhi peserta didik berkebutuhan khusus memiliki
harapan dan aspirasi masyarakat. Kurikulum aspek pemahaman yang kompleks dan rumit
pendidikan khusus diibaratkan sebagai elemen dalam mengikuti pembelajaran. Dengan kondisi
strategis dalam sebuah program pendidikan dan seperti itu, perancangan kurikulum yang peka
proses perancangannya pun memerlukan terhadap keluwesan menjadi tuntutannya.
pemikiran yang strategis dari pandangan guru. Dalam arti yang hakiki,kurikulum pendidikan
Pemikiran strategis tersebut menjawab tiga khusus sebenarnya terletak pada diri peserta
masalah utama yang direkomendasikan Collins didik berkebutuhan khusus itu sendiri.
dan Yates (2009), yakni: 1) memprioritaskan Rancangan kurikulum tersebut dapat berupa
keadilan sosial, 2) fokus pada perkembangan program untuk meningkatkan kemampuan
peserta didik secara individual, dan 3) pencarian akademik, nonakademik, maupun program
kebutuhan khusus sehingga mampu mereduksi khusus yang dihasilkan menjadi sarat makna
hambatan yang diakibatkan oleh kekhususan karena mewadahi kepentingan dan sesuai
mereka. Oleh karena itu, kurikulum harus dengan keadaan, kebutuhan, dan karakteristik
dirancang sederhana, mudah diterapkan, dan peserta didik yang juga berkebutuhan khusus.
sesuai karakteristik peserta didik. Dalam konteks Sejumlah pandangan guru yang disampaikan
perancangan kurikulum sederhana, tidak semua membawa pada kesamaan pandangan dari Lamb
guru harus berpikiran sama, tetapi bersama- dan Branson (2015) dalam makalahnya tentang
sama berpikir tentang peserta didik ber- pendidikan perubahan kepemimpinan melalui
kebutuhan khusus yang berpotensi, beragam, lensa teori, yang mereka sebut zona baru. Lamb
berbeda, dan unik. Potensi tersebut menunggu dan Branson merekomendasikan agar peserta
komitmen semua pemangku kepentingan untuk didik berhasil dalam matematika disarankan
dimanifestasikan pada kemampuan memahami, mengubah perancangan kurikulum di sekitar
mencerna, dan menerjemahkan pengetahuan- mereka. Pandangan ini memberi makna bahwa
pengetahuan praktis, dan kemudian diterje- perancangan kurikulum yang sesuai dengan
mahkan ke dalam tindakan-tindakan yang juga konteks latar belakang peserta didik berke-
praktis. butuhan khusus tentu menjadi bagian strategi
Dari tiga temuan umum di atas, perlu yang melayani, yang dicintai, dan yang dicari.
dipikirkan kebijakan seperti apa yang harus Secara sederhana, instrumen kebijakan tersebut
dikembangkan oleh pengembang kurikulum di mampu memahami dan memandu realitas.
Kemendikbud di masa yang akan datang. Tindakan guru yang mengekspresikan
Pandangan para guru tersebut menjadi bahan kebijakan dalam workshop perancangan
perenungan. Peserta didik berkebutuhan khusus kurikulum dan sejumlah kegiatan lainnya serta
pada umumnya memiliki kelainan fisik, emosional, semangat guru berani meniru yang baik dari apa
mental, sosial, dan hambatan lainnya dalam yang tumbuh pada diri peserta didik di sekolah
koridor konsepsi yang bersifat multidimensi dan menjadi konsep rancangan kurikulum. Konsep
secara alamiah guru yang lebih mengetahui. Pada rancangan selanjutnya diperkaya dengan
kenyataannya, pada setiap jenis ketunaan sentuhan kecakapan yang sistematis dengan
tertentu maupun antarketunaan, mereka ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya
umumnya juga memiliki hambatan dan yang sesuai dengan lingkungan peserta
kemampuan yang bervariasi. Bervariasinya didiknya. Semangat seperti itulah yang mestinya
hambatan dan kemampuan disebut dengan di upayakan secara terus-menerus dan
istilah tuna ganda. Berkaitan dengan hambatan dilaksanakan oleh tim pengembang kurikulum
tersebut, guru umumnya memberikan pandangan pendidikan khusus dalam membantu pendidikan
bahwa kurikulum yang dirancang di samping bagi sebagian masyarakat yang tidak bisa
sederhana juga harus mampu mengayomi, tidak mengikuti program pendidikan secara normal.
mengab aikan serta mew adah i strategi Dalam arti, rancangan kurikulum yang dapat
kontekstualisasi keragamam tersebut. Ran- dijadikan sebagai kebijakan yang mampu
cangan kurikulum yang peka dengan hal itu, mewadahi, menjalin, dan mengikat realitas
pada peserta didik akan memperoleh nilai konteks pada sebuah konsepsi yang bersifat
kepastian, kasih sayang, rasa aman, kenya- multidimensi peserta didik.
manan, dan berkeadilan sehingga mereka tidak Perancangan kurikulum yang harus dipikirkan
merasa ditelantarkan. bagi sebagian masyarakat yang tidak bisa
Dengan berbagai pandangan guru seba- sekolah secara normal karena memiliki beragam
gaimana di atas, rancangan kurikulum pendidikan hambatan dan ketunaan adalah bagaimana agar
mereka setelah mengikuti pendidikan mampu kurikulum pendidikan khusus yang dirancang
menjalani kehidupan sehingga tidak menjadi beserta dokumen pendukungnya tidak hanya
beban orang lain. Arah rancangan kurikulum abstraksi, tetapi juga dilengkapi berbagai contoh
untuk peserta didik berkebutuhan khusus baik, pilihan, dan arah dengan fokus utama pada
hendaknya menuju pada mereka belajar untuk daya guna dan hasil guna. Hal tersebut akan
kehidupan. Perancangan kurikulum senantiasa berdampak pada peningkatan mutu peserta didik
mentransformasikan diri untuk mengembangkan berkebutuhan khusus yang menjalankan
melalui pendekatan dan penerapan model-model tugasnya. Kemampuan menjalankan tugas
pembelajaran yang dapat meningkatkan antara dengan hasil baik selain bermuatan pengetahuan
lai n ji wa kewirausahaan, kemandi ri an, praktis, keterampilan, kekokohan kompetensi
produktivitas, kreativitas sebagai bekal dasar juga bermuatan sistem nilai kualitas karakter
untuk hidup di masyarakat. Dengan demikian, yang memandu sikap dan perilaku. Sistem nilai
mereka yang memiliki hambatan tertentu dapat karakter yang dimaksud di antaranya ke-
didorong agar memiliki keyakinan menjadi bagian agamaan, moral, etika, disiplin, tanggung jawab,
dari bangsa yang mandiri, maju, sejahtera, dan kinerja, sosial, budaya, kearifan lokal, politis,dan
berdaya saing tinggi. lainnya.
Dalam perkembangannya, keyakinan Pijakan dan strategi kerja proses peran-
peserta didik berkebutuhan khusus terhadap cangan kurikulum amat tepat apabila mampu
relevansi dan aktualisasi melalui sebuah melibatkan berbagai pemangku kepentingan
rancangan kurikulum bisa bertambah dan mulai dari birokrat pembuat kebijakan, praktisi,
berkurang seiring arus pengaruh dan dinamika pengguna lulusan, ahli, guru hingga pemerhati
perubahan secara internal dan eksternal di pendidikan. Pelibatan berbagai pemangku
sekolah maupun di rumah. Keyakinan akan kepentingan perancangan kurikulum, selaras
senantiasa menguat manakala proses pendidikan dengan hasil penelitian Richardson (2005) yang
mampu membantu peserta didik berkebutuhan menyimpulkan bahwa karakteristik demografis
khusus memahami kekhasan potensi dirinya, orang yang merespon survei berbeda dari mereka
sekaligus kemampuan menempatkan diri dalam yang tidak menanggapi dalam hal usia dan kelas
konteks keseimbangan dan keberlangsungan sosial. Hasil penelitian Richardson (2005) juga
kehidupan bermutu. Sementara itu, penurunan dapat dimaknai bahwa perancangan kurikulum
keyakinan bisa terjadi manakala terdapat pendidikan khusus akan memiliki botot nilai yang
kesenjangan antara idealitas rancangan berdaya serta memandirikan manakala mampu
kurikulum dan realitas output produk kurikulum memberdayakan sumber daya pemangku
dalam kehidupan. kepentingan pelaksana pendidikan secara
Pada diskusi kelompok terpimpin, guru optimal. Dua pijakan ini saling melengkapi karena
umumnya juga memberikan pandangan bahwa dapat diasumsikan bahwa guru yang mem-
tidak ada bangsa maju dan berdaya saing tinggi berikan pandangan terkait perancangan
tanpa didukung pendidikan yang baik dengan kurikulum melalui FGD memiliki umpan balik yang
kurikulum yang dirancang futuristik serta berbeda secara sistematis dari mereka yang
pembelajaran sesuai kebutuhan peserta tidak menanggapi.
didiknya. Pembangunan sumber daya manusia Pengembang kurikulum pusat dapat
yang cakap, cerdas, kreatif, dan kompeten memelihara potensi kekayaan pandangan para
harus disiapkan dengan perancangan kurikulum guru dengan pemberi an peran sebagai
yang sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan pengembang kurikulum di daerahnya. Peran guru
kecakapan masyarakat masa depan. Untuk itu, SLB dalam perancangan kurikulum pendidikan
khusus adalah penting karena mereka mampu demikian, karya kurikulum dapat diterima para
mengenali dan menemukan keberagaman guru dalam komunitas mereka.
peserta didik berkebutuhan khusus yang ada di Penelitian Gerrard, et al. (2013) terkait
sekolah. Melalui mekanisme sistem pelibatan praktik dan tata kelola pendidikan meng-
ya ng d iren canakan den gan baik, akan informasikan bahwa di bawah naungan ‘Revolusi
menghasilkan kualitas rancangan kurikulum masa Pendidikan’, pemerintah telah memberikan ruang
depan sesu ai kebutuhan pes erta did ik lingkup yang luas untuk mengkaji terhadap
berkebutuhan khusus. Kualitas rancangan perubahan sistem dan praktik tingkat sekolah
kurikulum menentukan pula kualitas keluaran termasuk dalam reformasi kurikulum berskala
peserta didik. Proses ini merupakan idealisme besar. Temuan penelitian ini memberi gambaran
perancangan kurikulum pendidikan sebagai basis bahwa perancangan kurikulum sebaiknya
untuk berinvestasi di bidang pembangunan dilakukan dengan cara memberi kesempatan
sumber daya manusia. kep ada semu a pemangku kepen ti ngan
Perancangan kurikulum yang dicetuskan pendidikan bukan sekadar ornamen, melainkan
para guru dapat menjadi sumber di dalamnya substansi pembelajaran. Dengan memberikan
tercantum muatan-muatan bahan kajian, ruang kepada guru untuk mempelajari muatan-
seperti pengetahuan praktis, keterampilan, muatan yang relevan bagi peserta didik
kualitas karakter, dan kemampuan dengan berkebutuhan khusus dari lingkungan sekitar,
harapan peserta didik berkebutuhan khusus maka rancangan kurikulum itu memiliki derajat
memiliki etos hidup yang baik. Guru mampu adekuat. Dengan demikian, hasil perancangan
memahami masalah-masalah peserta didik kurikulum akhirnya dapat menopang ter-
berkebutuhan khusus yang kompleks dan susunnya instrumen penting pendidikan.
mampu menemukan pemecahan atas masalah- Arah kurikulum pendidikan khusus yang
masalah yang kompleks itu tanpa menimbulkan dirancang harus mampu mengintervensi dan
masalah baru. Rancangan kurikulum yang bersesuaian dengan kebutuhan akademik
diarahkan tidak hanya pada kebutuhan peserta maupun nonakademik peserta didik berkebutuhan
di dik berkebutuhan khusus, melainkan khusus sebagai penyiapan untuk meningkatkan
diharapkan mereka juga mampu menguasai ilmu mutu kehidupan secara bertanggung jawab.
pengetahuan, memiliki sikap, memiliki perilaku, Intervensi yang dimaksud adalah perancangan
dan kecakapan hidup. kurikulum direncanakan dengan pendekatan
Miller (2011) mengatakan ketika guru partisipatif, humanistik, dan konstruktif yang
memahami “gaya kurikulum mereka sendiri”, dilakukan dengan pendekatan kontekstual dan
mereka dapat membuat keputusan secara sadar berpusat pada peserta didik. Hal ini meng-
tentang menggabungkan gaya lain ke dalam indikasikan bahwa guru sebagai penggagas
praktik mereka, yaitu tentang realita. Hal ini pandangan perancangan kurikulum memiliki
dapat diartikan bahwa manakala perancangan kepekaan dan kemampuan mengidentifikasi,
kurikul um sebag ai kebij akan strateg is menemukan, dan mencatat kebutuhan peserta
merupakan hasil karya dari pandangan para didik. Kebutuhan penyandang suatu ketunaan
guru, maka kebijakan tersebut dapat dimaknai berbeda dengan kebutuhan penyandang
sebagai memahami dan memandu realitas. Ia ketunaan lainnya.
menjadi instrumen simbolis, yakni cara berpikir Dengan memberi ruang yang luas peran-
dibentuk oleh beragam metode, teknik, dan cangan kurikulum yang dikembangkan harus
pengalaman yang digali dari para guru. Dengan memiliki ciri kesesuaian dengan konteks sosial
budaya yang diwarnai oleh nilai lain, seperti perancangan kurikulum dan pembelajaran
nilai-nilai kearifan lokal, norma, dan etika. peserta didik berkebutuhan khusus yang sarat
Pemikiran seperti itu akan mengarahkan peserta dengan beragam muatan diberikan peluang
didik berkebutuhan khusus memiliki kemampuan terbuka dan cukup waktu untuk berlatih bekerja,
berupa sikap dan perilaku berkehidupan bersama. berkarya, dan memasuki kehidupan maka
Perancangan kurikulum pendidikan di alam mereka akan makin berdaya.
Indonesia sesungguhnya telah memiliki suatu Rancangan kurikulum juga harus mampu
konsepsi bersama menyangkut nilai-nilai dan mendorong pemberian sarana kepada peserta
moral bagi peserta didik, yakni tujuan pendidikan didik berkebutuhan khusus untuk mengenali dan
nasional. Dalam tujuan tersebut telah memiliki mengembangkan kebudayaan. Kebudayaan
landasan keyakinan normatif dan preskriptif yang sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan
jelas dan visioner sebagai fundamen etik sistem peri laku i ni secara keseluruhan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan membentuk lingkungan sosial yang dapat
bernegara. Karenanya, rancangan kurikulum menentukan apakah pengetahuan praktis yang
yang bersifat nasional dan lokal turut menjadi dimilikinya, keterampilan, kompetensi, karakter,
warna pertimbangan guru. Pada konteks lain, praksis literasi serta budaya bersekolah dapat
pandangan guru dalam perancangan kurikulum berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk.
juga harus senantiasa mempertimbangkan Menjadi lebih baik merupakan tujuan utama dari
kebutuhan bangsa, yaitu kecakapan dan sebuah rancangan kurikulum. Kebaikan sebagai
kualitas karakter bangsa Indonesia. Pada domain dampak dari pendidikan akan memunculkan bibit
pengimplementasian, pembelajarannya pun unggul bagi warga bangsa. Bibit-bibit unggul
harus sarat dengan sentuhan penguatan individu harus tumbuh melalui sebuah rancangan
kecakapan dan internalisasi nilai-nilai yang kurikulum yang bermakna.
dirancangkan.
Pada saat FGD sebagian besar guru juga Asas-Asas Kurikulum
menyatakan bahwa perancangan kurikulum Eksplorasi pandangan para guru SLB melalui FGD
hendaknya mampu memberikan dorongan memiliki dampak pada hasil belajar peserta didik
semangat peserta didik berkebutuhan khusus berkebutuhan khusus yang lebih baik. Setiap
agar tidak putus asa dan tidak tergantung kegiatan di sekolah melalui kurikulum merupakan
kepada orang lain. Pembelajaran peserta didik suatu pengalaman yang berkaitan dengan
berkebutuhan khusus diberi kepercayaan dan banyak hal lain di sekitarnya. Oleh karena itu,
akses yang luas ke berbagai bidang agar mereka menurut sebagian besar pandangan guru,
berdaya, percaya diri, serta mandiri. Mereka kurikulum pendidikan khusus harus di-
mampu berkontribusi terhadap pembangunan, kembangkan dengan menajamkan beragam asas
bahkan turut serta menciptakan lapangan secara kontekstual dan menarasikan aspek lain
pekerjaan, asalkan diberi kesempatan dan sesuai kebutuhan peserta didik yang memiliki
waktu. Hasil penelitian Mogilner, Chance, dan beragam hambatan.
Norton (2012) tentang pemberian waktu, Asas kurikulum dalam konteks penelitian ini
menemukan bahwa umumnya seseorang tidak dimaknai sebagai prinsip dasar yang menjadi
memiliki cukup waktu. Dengan memberikan acuan dari sudut pandang guru dalam berpikir
sebagian waktu peserta didik akan lebih mau mengambil keputusan terkait pengembangan
berkomitmen di masa depan sehingga rasa kurikulum pendidikan khusus. Cara pandang guru
kesejahteraan waktu subjektif mereka dapat dalam merepresentasikan gagasan-gagasan
meningkat. Temuan ini memberi arti jika berkait asas-asas pengembangan kurikulum
Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 sekolah sebaiknya disusun secara luwes dan
tentang Rencana Pembangunan Jangka disajikan dalam bentuk dokumen. Kurikulum
Menengah Nasional 2015-2019 yang menje- sebagai suatu b entu k dokumen ha rus
laskan bahwa sasaran pemba-ngunan di bidang memberikan petunjuk yang cukup rinci mengenai
pendidikan antara lain tersedianya kurikulum berbagai hal yang mencakup pertumbuhan
yang andal (Badan Perencana Pembangunan secara emosional, sosial, fisik, dan akademik.
Nasional, 2015). Dengan demikian, muatan- Hollins (2011) dalam kajiannya terhadap
muatan yang disusun dalam kurikulum pendidikan penyiapan calon pengajar yang berkualitas
khusus selain mendasarkan pada asas-asas mengun gkap kan bahw a sikap fi l osofis
kurikulum walau masih bersifat gagasan, juga mempengaruhi desain pengalaman belajar,
harus berfokus pada potensi peserta didik yang pembingkaian kurikulum, dan konteks sosial di
ingin dikembangkan. dalam kelas. Bingkai kurikulum dibuat selaras
dengan konteks sosial peserta didik ber-
Asas Keluwesan kebutuhan khusus dalam bentuk rencana
Dari diskusi kelompok terpumpun, guru umumnya program pendidikan yang luwes agar bisa
mengutarakan bahwa pengembangan kurikulum memberikan dorongan semangat belajar bagi
pendidikan khusus hendaknya berprinsip pada penggunanya.
asas keluwesan. Dalam arti, konten disusun Pada konteks lain, program pendidikan
secara luwes sesuai karakteristik peserta didik khusus juga merupakan jalan untuk membangun
berkebutuhan khusus. Dengan demikian, budaya dan peradaban. Dengan demikian, asas
dokumen kurikulum selain berorientasi pada pengembangan kurikulum pendidikan khusus
pemberdayaan peserta didik juga menjadi hendaknya memiliki kelenturan pembentukan
orientasi dan tujuan utama dari pendidikan adab dan budaya yang melaluinya. Pada sisi
khusus itu sendiri. Berkaitan dengan kristalisasi yang lain, kurikulum pendidikan khusus ditujukan
orientasi asas dan tujuan program pendidikan untuk mengantisipasi kebutuhan mereka baik
tersebut, Schoenfeld (2016) mencirikan pada saat sekarang maupun di masa yang
kurikulum yang dikonseptualisasikan yaitu yang akan datang. Sebagai rambu-rambu, kehadiran
mampu menjalankan fungsi restoratifnya sebagai kurikulum seyogianya memuat materi yang luwes
program pendidikan yang khusus untuk dan mudah diajarkan, dipelajari, dan diukur
membangun narasi tentang peserta didik pencapaiannya. Konsep berbagai kemudahan itu
berkebutuhan khusus. Kurikulum pendidikan diperkuat oleh Pugach dan Blanton (2012) dalam
khusus untuk peserta didik berkebutuhan khusus studi eksplorasi terhadap kurikulum program
tidak boleh distandarkan. Gagasan dalam pendidikan guru. Perhatian terhadap kecacatan
konteks tidak distandarkan tersebut dikuatkan lebih menonjol daripada memperhatikan penanda
oleh Bouck dan Kulkarni (2009) dalam studinya identitas sosial lainnya seperti ras, kelas,
tentang cara terbaik untuk mengajar matematika budaya, atau bahasa. Temuan ini menyiratkan
bagi peserta didik dengan ketidakmampuan bahwa peserta didik berkebutuhan khusus
belajar mengungkapkan bahwa peserta didik memerlukan kurikulum yang lebih luwes daripada
dengan ket idakmampuan bel ajar ti dak sekadar konten pembelajaran yang terstruktur
diuntungkan dengan menerima kurikulum kaku.
matematika yang distandarkan. Kurikulum bukan sekadar daftar materi
Kurikulum yang merupakan rencana yang pelajaran yang dipindahkan dalam diri peserta
dibuat untuk membimbing dan mengarahkan didik. Kurikulum merupakan sebuah rancangan
peserta didik berkebutuhan khusus belajar di yang luwes yang memberikan ruang seluas-
luasnya bagi tumbuhkembangnya keadaban dan melalui kurikulum. Dalam arti, bervariasi sesuai
berkembangnya potensi diri. Kondisi diri peserta konteks, sesuai kebutuhan mereka karena
didik berkebutuhan khusus umumnya sangat memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
beragam, baik secara akademik maupun serta hambatan intelektual. Bahkan, kadangkala
nonakademik. Pengembangan kurikulum dengan masih disertai dengan penyandang down
paradigma asas keluwesan sebagai acuan syndrome. Dengan asas pengembangan
diharapkan dapat diadaptasi oleh guru dengan kurikulum yang luwes seperti itu, pada akhirnya
menambah atau mengurangi keluasan dan akan mengungkit potensi sumber daya yang ada.
kedalaman materi, atau menggantinya dengan Para guru percaya setiap peserta didik
materi yang lebih sesuai bagi peserta didik. Kata berkebutuhan khusus memiliki sesuatu untuk
“berkebutuhan khusus” menjadi dasar pijakan disampaikan dan mereka berhak mendapat
dalam melihat apa yang menjadi masalah dan kesempatan untuk memperlihatkan potensi
kebutuhan peserta didik dan bukan pada “label” terbesar mereka sehingga pelaksanaan
hambatan yang ada padanya. Di saat guru implementasi kurikulum dinilai lebih bersahabat,
terlibat mengembangkan kurikulum, mereka inklusif, dan adil.
berpandangan bahwa setiap peserta didik
berkebutuhan khusus memiliki potensi, ragam, Asas Fungsional
berbeda, dan unik. Karakteristik ini dijadikan Dari FGD terungkap bahwa masalah-masalah
panduan bagaimana asas yang lebih tepat dalam yang dihadapi peserta didik berkebutuhan
kurikulum agar memenuhi kebutuhan mereka. khusus umumnya adalah masalah bimbingan,
Asas keluwesan akan menuntun guru dalam pendampingan, perhatian dan kasih sayang,
konsep diversifikasi kurikulum. Kerangka pikir layanan pendidikan, putus harapan, dan
diversifikasi ini amat berguna untuk mengatasi pencarian alternatif pendidikan di luar rumah.
hambatan dan mengoptimalkan potensi empat Problematika sosial seperti itu membutuhkan
area fungsi, yakni area fungsi belajar (learning), pemecahan khusus dari sebuah kurikulum yang
sosial emosi (socio-emotional), komunikasi dikembangkan dengan prinsip dasar yang
(communication), dan neuromotor. Dengan bersifat fungsional. Dalam artian, jabaran konten
kurikulum yang didiversifikasi, upaya-upaya maupun strukturnya memiliki landasan asas
pemberian layanan pendidikan terhadap peserta fungsi yang kuat secara filosofis, pedagogis,
didik berkebutuhan khusus secara optimal bisa dan teoritik. Dengan menempatkan pandangan
difokuskan pada potensi-potensi yang dapat para guru pada asas fungsi onal dal am
dikembangkan melalui pengamatan guru secara mengarahkan pengembangan kurikulum, pada
berkesinambungan dan sistematik dalam proses akhirnya program tersebut dapat menjawab
identifikasi dan asesmen. Melalui identifikasi dan tantangan dan kebutuhan peserta didik
asesmen diharapkan guru dapat memberikan berkebutuhan khusus.
layanan pendidikan yang baik secara luwes dan Azas utama tantangan dan kebutuhan
sesuai dengan kondisi dan karakteristik mereka peserta didik berkebutuhan khusus adalah
sehingga potensi dirinya berkembang secara keadaban dan pembudayaan untuk kehidupan.
optimal. Walau mereka memiliki berbagai hambatan fisik
Den gan kuri kulu m ya ng mewad ahi maupun nonfisik, menjadi manusia yang beradab
kebutuhan dan karakteristik peserta didik dan berbudaya merupakan fungsi utamanya.
berkebutuhan khusus secara luwes, variasi Sudut pandang berpikir guru tersebut sesuai
konteks kelainan dan hambatan-hambatan yang dengan dari hasil penelaahan Hamilton,
dimiliki dan lingkungan yang ada bisa dijawab McFarland, dan Mirchandani (2000) dalam
Fornaciari menemukan bahwa kemandirian dan adalah kemampuan pengendalian diri. Tinggi
kinerja peserta didik dapat ditingkatkan dengan rendahnya kemampuan peserta didik berke-
sangat baik dan sesuai hasil belajar yang di- butuhan khusus dalam mengendalikan diri akan
inginkan apabila dapat dipupuk dengan mempengaruhi persepsi orangtua pada proses
menawarkan jenis struktur tertentu kepada pendidikan. Meinert dan Reinecke (2017)
mereka, dengan cara-cara tertentu pula, seperti melakukan studi untuk menguji stabilitas dan
kegiatan pramuka, kursus, pemberian tugas, dan perubahan pengendalian diri selama masa remaja
instruktur yang kapabel. Hasil studi ini memberi dan menyelidiki hubungan timbal balik kontrol
makna bahwa apa pun asas pengembangan diri dan kontrol sosial orangtua. Dalam studi
kurikulum, apabila dalam praktik pembelajarannya tersebut diungkapkan bahwa pengendalian diri
kurang kuat menumbuhkembangkan mental yang rendah mempengaruhi persepsi kontrol
mandiri, maka kemandirian tidak bisa tumbuh orangtua pada awal masa remaja. Karena itu,
dengan kuat. kurikulum pendidikan khusus yang dikembangkan
Menjadikan peserta didik berkebutuhan dengan asas memandirikan menjadi sangat
khusus menjadi mandiri juga sangat bergantung relevan.
bagaimana pembelajaran dapat difokuskan pada Rel eva nsi pandang an guru dengan
penghalang-penghalang yang menghambat di mengetengahkan asas kemandirian pada
lingkungan fisik, sosial, budaya, dan ekonomi pengembangan kurikulum pendidikan khusus juga
sehingga mereka bisa berpartisipasi dan bermakna mengarahkan karakteristik yang
memberikan kontribusi sesuai dengan potensi diorientasikan pada upaya memecahkan
dan kemampuan yang dimiliki. Misalnya, jangan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik
karena mereka memiliki kekurangan dan berkebutuhan khusus menjadi manusia yang
hambatan kemudian terus dijadikan stigma tidak mandiri. Misalnya, mereka dilatih mampu
bisa berbuat apa-apa. Padahal, etos dan mengurus segala keperluan diri sendiri setiap
kemandirian sangat dibutuhkan, antara lain di hari, mampu menyelesaikan tugas dan pekerjaan
bidang pendidikan, pekerjaan, perilaku sosial, sendiri, pergi ke sekolah, menjadi lebih percaya
pembangunan kapasitas, perspektif pilah gender, diri, dan bekerja sehingga memperoleh
dan pemenuhan hak-hak mereka. Kemandirian penghasilan. Selain itu, kurikulum tersebut juga
bukan berarti berkesendirian, melainkan adanya diperlukan untuk memandirikan peserta didik
berani berpikir, bersikap, berdaulat, dan berkebutuhan khusus mengatasi masalah
bertindak secara sendiri dalam mengarungi keterbatasan akses, atau ketidakbisaan
hidup. Menurut gagasan para guru, telah ada memasuki sekolah formal/reguler karena adanya
upaya untuk mentransformasi pemikiran yang berbagai keterbatasan, hambatan, dan
menjembatani segala sesuatu yang telah ada kekurangan yang mereka miliki.
saat ini (what it is) dan segala sesuatu yang Konteks pandangan guru sebagaimana
seharusnya ada di masa yang akan datang diungkap di atas dapat diartikan, bahwa asas
(what should be next) dalam kurikulum kurikulum yang diyakini akan mampu mewadahi
pendidikan khusus. aktivitas pada etos dan logos peserta didik
Pada sisi lain, pengembangan kurikulum berkebutuhan khusus sehingga mereka dapat
pendidikan khusus hendaknya juga memper- diarahkan untuk bisa berperilaku tidak ber-
timbangkan berbagai sebab lain sehingga gantung pada orang lain. Asas tersebut seka-
peserta didik menjadi lebih siap dalam memasuki ligus juga sebagai upaya mengarahkan pencip-
kehidupan di masyarakat. Salah satu indikator taan ruang kreatif, arena sosial atau publik yang
kesiapan memasuki kehidupan di masyarakat produktif sehingga mereka juga semakin mandiri.
literate terhadap banyaknya informasi yang koridor kurikulum. Muatan keterampilan dan
dapat diserap secara kritis, logis, dan tidak kompetensi kejuruan tersebut diarahkan
mudah diperdaya oleh informasi menyesatkan mengubah keadaan atau lingkungan sekitar
yang diterimanya. untuk mengembangkan kapasitas diri mereka
Begitu mudah dan banyaknya informasi, dengan bermodalkan keterampilan membuat
maka kemampuan mencari, mengevaluasi, produk dan atau layanan jasa.
menganalisis, dan menggunakan informasi Guru berpandangan bahwa sebuah kurikulum
seyogianya terpancar dalam pengembangan pendidikan khusus dikembangkan atas dasar
kurikulum yang dibutuhkan untuk dapat asas kejuruan. Dengan demikian, hambatan
digunakan sebagai bahan memecahkan masalah yang bersifat struktural dan fungsional berkaitan
kehidupan secara efektif. Pada satu sisi, dengan dengan keterampilan dan kemampuan yang
menguasai kecakapan literasi secara baik dibutuhkan peserta didik berkebutuhan khusus
peserta didik berkebutuhan khusus dapat bisa diatasi. Menguasai keterampilan dan
menciptakan bukan hanya keberaksaraan kompetensi kejuruan amat penting, mengingat
berbasis keterampilan (skills-based literacy) selama ini kemampuan lulusan peserta didik
melainkan juga memanfaatkan secara etis. Di berkebutuhan khusus untuk mendapatkan
sisi yang lain, dengan kecakapan literasi yang pekerjaan masih menjadi masalah yang
kuat peserta didik SLB bisa menunjukkan kepada memerlukan pemecahan segera. Kenyataan
kalangan pemakai lulusan agar tidak ragu bahwa lulusan kurang memiliki kesempatan untuk
terhadap keberadaan sekolah mereka. Kalangan mendapatkan pekerjaan di sektor formal
pemakai bisa terus memberi masukan atas dibandingkan dengan pekerjaan di sektor
beberapa persoalan yang dihadapi lulusan SLB nonformal maupun informal juga belum berubah.
saat ini, tidak sebatas kecakapan literasi, tetapi Sudiarja (2014) menyatakan bahwa pendidikan
lebih dari itu. saat ini bagaikan model bank, yang hanya
menumpuk pengetahuan dalam kepala peserta
Asas Vokasi didik, belum mengubah situasi. Situasi dimaksud
Pada saat FGD para guru juga memberikan bi sa mengarah pada keterampilan dan
pandangan bahwa asas vokasi harus dijadikan kemampuan bekerja yang selaras dengan
prinsip dasar dalam mengembangkan kurikulum perkembangan kebutuhan seseorang.
pendidikan khusus. Asas vokasi (selanjutnya Bekal keterampilan dan kompetensi bidang
ditulis dengan istilah kejuruan) yang tepat kejuruan bagi peserta didik berkebutuhan
sangat dibutuhkan peserta didik berkebutuhan khusus bukan hanya penting untuk bekerja,
khusus. Guru meyakini bahwa kurikulum kejuruan melainkan juga mampu mengembangkan
sarat dengan muatan untuk mengasah keterampilan, kemampuan, kecakapan kerja,
keterampilan dan kemampuan kejuruan pada pemahaman, sikap, budaya kerja, dan apresiasi.
saat bekerja. Pandangan para guru tersebut Adhikary (2005) menyebutkan bahwa peserta
dapat dimaknai sebagai memiliki harapan besar didik yang menguasai bidang kejuruan mampu
agar lulusan SLB terlatih etos kerja, kecakapan memasuki pekerjaan dan membuat kemajuan-
kerja, dan budayanya sehingga mereka siap kemajuan dalam pekerjaan secara penuh makna
bekerja. Hal ini berarti, kapasitas peserta didik dan produktif. Hasil penelaahan Ritter, Small,
berkebutuhan khusus yang telah lulus ditentukan Mortimer, dan Doll (2017) terhadap kebutuhan
bukan hanya kemampuan diri mereka semata, para pengusaha di l ingkunga n kerja
melai nkan sebagai hasil olah dan asah menyimpulkan bahwa desain perancangan ulang
keterampilan dan kompetensi kejuruan dalam kurikulum saat ini agar fokus pada penyusunan
soft-skills bagi pekerja. Simpulan hasil telaah yakni bisa mandiri. Artinya, asas kejuruan
Ritter, et al. tersebut memberi makna bahwa sebagai kerangka kerja pengembangan kurikulum
kurikulum yang dikembangkan perlu mem- bertujuan menyiapkan pribadi dalam kese-
pedulikan aspek-aspek potensi peserta didik imbangan dan kesatuan organisasi, harmonis,
yang terkait dengan domain afektif untuk dan dinamis guna mencapai tujuan hidup
penguatan soft-skills yang seimbang dengan kemanusiaan.
hard-skills. Asas kejuruan dalam mengem- Pada saat FGD terungkap pula pandangan
bangkan kurikulum di samping berguna sebagai sebagian besar guru bahwa kecakapan-
bekal peserta didik berkebutuhan khusus, kecakapan lainnya sebagai pelengkap bidang
bermanfaat pul a bagi masyarakat dan kejuruan hendaknya juga menjadi pertimbangan.
bangsanya serta bagi umat manusia secara Menurut mereka, saat ini kecakapan nonvokasi
keseluruhan. juga sangat diperlukan mengingat adanya
Bagi peserta didik berkebutuhan khusus perubahan karakteristik dunia kerja. Jenis
mampu menguasai bidang kejuruan yang pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang
dilatihkan melalui kecakapan soft-skills yang lebih umum justru makin dibutuhkan. Menurut
seimbang dengan hard-skills merupakan koridor Fadel (2008) maupun Fadel, Bialik, dan Trilling
penting. Hal ini amat diperlukan agar memiliki (2009) kecakapan-kecakapan nonvokasi yang
daya terampil dan kompetensi yang dituntut merupakan kecakapan hidup dan berkarier yang
pasar kerja serta dunia usaha dan dunia industri kini sangat dibutuhkan, di antaranya: 1) berpikir
(DUDI). Asas vokasi pada pengembangan kritis dan mengatasi masalah; 2) kecakapan
kurikulum akan menjadikan peserta didik berkomunikasi; 3) kecakapan berkolaborasi; dan
berkebutuhan khusus lebih berdaya dalam 4) kreativitas dan inovasi. Keempat kecakapan
menjawab tantangan pekerjaan. Demikian pula, tersebut dikenal dengan the 21st century skills.
saat mereka memasuki arena masyarakat Bahkan, merujuk pada kajian yang dilakukan
menjadi lebih siap, tangguh, dan produktif. Fadel, Bialik, dan Trilling (2015), kecakapan
Berbekal keterampilan dan kemampuan bidang kolaborasi yang melibatkan orang-orang dengan
kejuruan dapat mendorong harga diri, martabat beragam latar belakang, kecakapan, dan
dan eksistensi, dan identitas diri mereka dengan perspektif akan semakin dibutuhkan karena
segala aktivitas dan kekurangan yang dimilikinya masalah dan tantangan yang dihadapi dunia
menjadi kuat. Mereka akan berdaya karena semakin kompleks.
rancangan kurikulum dan praktik kejuruan yang Konten kurikulum pendidikan khusus
lebih baik sehingga mereka mampu mengatasi memerlukan muatan the 21st century skills
masalah sosial-ekonominya karena pekerjaan sektor jasa akan tumbuh
Arah rancangan kurikulum pendidikan khusus dengan pesat, dan permintaan pasar kerja akan
yang bermuatan kecakapan bidang kejuruan pekerja terampil semakin tinggi (Jerald, 2009).
tersebut selaras dengan laporan World Bank Pekerjaan dengan upah tinggi akan semakin
(2010) yang menyebutkan agar lulusan kejuruan membutuhkan lebih banyak kompetensi
bisa diterima oleh pemberi kerja, yang pendidikan yang bercirikan soft-skills. Dengan
dibutuhkan saat ini bukan memperbanyak dibekali kecakapan soft-skills dan hard-skills
sekolah kejuruan melainkan mengembangkan yang seimbang akan menghasilkan peserta didik
keterampilan dan kemampuan untuk me- berkebutuhan khusus yang sigap, ulet, cekatan,
ningkatkan kualitas. Dasar mengembangkan dan tangguh. Ketangguhan maupun ketidak-
keterampilan dan kemampuan melalui kurikulum tangguhan lulusan sangat bergantung pada
kejuruan ialah cita-cita kemanusiaan universal, rencana tertulis program pembelajaran dan
unsur yang melaksanakan program tersebut. tertentu, mereka juga dapat mendorong
Apabila di SLB terdapat satu unsur yang tidak munculnya tenaga kerja kompetitor. Selain
selaras maka hasil belajar untuk mencapai menjadi tenaga kerja yang terampil, mereka juga
ketangguhan tadi sulit diwujudkan. Implementasi diharapkan memiliki kecakapan hidup untuk
kurikulum dengan paradigma asas kejuruan membuka usaha baru atau menciptakan profesi
memerlukan sinergi antarunsur-unsur warga baru sehingga berdampak terhadap pere-
sekolah, unsur masyarakat nondisabilitas dan konomi an n egara secara keselu ruha n.
unsur masyarakat disabilitas, serta unsur Melengkapi peserta didik berkebutuhan khusus
pemakai lulusan. dengan kemampuan hidup yang kaya dengan
Dari pandangan guru di atas yang dimaknai pelatihan kejuruan akan dapat menjadi penentu
sebagai kerangka berpikir, dapat ditarik benang pertumbuhan suatu negara (Sulaiman, Bala,
merah bahwa asas pengembangan kurikulum Tijani, Waziri, & Maji (2015); Pilz, Krisanthan,
pendidikan khusus yang fokus menempatkan Krisanthan, Zenner, & Li (2016)). Peserta didik
objek bidang kejuruan sebagai bahan kajian berkebutuhan khusus yang tumbuh dengan
utama merupakan keharusan. Oleh karena itu, memiliki keterampilan, kemampuan, dan
semua mata pelajaran yang distrukturkan dalam kecakapan sebagi modal dasar akan mampu
kurikulum pendidikan khusus hendaknya berkontribusi pada diri sendiri, keluarga,
mendukung pencapaian keterampilan dan masyarakat, dan negara. Bahkan, mampu
kompetensi kejuruan yang dikehendaki. Dengan menepis stigma anggapan sebagian masyarakat
demikian, isi dan tujuan pembelajaran yang bahwa mereka tidak berdaya.
semangatnya merupakan muatan-muatan Agar rancangan kurikulum pendidikan khusus
kejuruan harus dipilih dan dipilah agar dapat mampu memenuhi harapan sebagaimana sudut
mengembangkan seoptimal mungkin ketera- pandang guru di atas, salah satu tugas utama
mpi lan dan kema mpua n pesert a di dik pengembang kurikulum adalah mengetengahkan
berkebutuhan khusus. asas pengembangan kurikulum yang sarat
Demikian pula seluruh tujuan pendidikan dengan muatan kompetensi kejuruan. Muatan
bidang kejuruan hendaknya diorientasikan pada kompetensi kejuruan tersebut oleh Rychen
aktivitas dan kekhususan bidang tersebut, baik (2009) disebut sebagai kompetensi kunci.
dalam hal isi maupun pelaksanaannya. Dampak Kompetensi kunci adalah kompetensi untuk
dari asas kejuruan dalam pengembangan sebuah pekerjaan atau fungsi tertentu, tidak
kurikulum akan memiliki daya tawar yang relatif spesifik bagi pekerja tertentu atau industri
tinggi bagi peserta didik berkebutuhan khusus tertentu, tetapi menopang kompetensi spesifik
untuk bekerja dan mencari pekerjaan. Karena dari industri sehingga mempunyai nilai ekonomis.
terampil, kompeten, dan kapabel, mereka akan Rancangan kurikulum yang berprinsip pada
mampu menyelaraskan dengan profesinya. kejuruan dan penguasaan bidang kejuruan bagi
Menyiapkan mereka memiliki sebuah profesi dan peserta didik berkebutuhan khusus akan menjadi
bekal kejuruan merupakan kapasitas penting arah karena terkandung seperangkat muatan
yang harus dimiliki para pengembang kurikulum. keterampilan dan kompetensi yang bermuara
Bekal kurikulum yang sarat dengan asas pada kemampuan bekerja dan berbudaya kerja.
kejuruan yang tepat guna akan menjadikan Kedua aspek tersebut dikembangkan dengan
lulusan lebih siap menghadapi kebutuhan DUDI. berorientasi pada penggabungan antara
Selain peserta didik berkebutuhan khusus instruction dan construction dengan pende-
memiliki keterampilan dan kompetensi layanan katan utama pembelajaran yang mengacu pada
jasa dan produksi pada bidang kejuruan frasa praktik kejuruan dan berorientasi pada hasil
produk dan layanan jasa yang diinginkan. pengembangan kurikulum. Misalnya pengim-
Kerangka berpikir tersebut sesuai dengan plementasian kurikulum bagi peserta didik
pendapat Toner (2010) yang mengatakan bahwa berkebutuhan khusus hendaknya mendorong
kurikulum yang mewadahi sistem pelatihan harus perlakuan secara adil dan beradab. Tidak boleh
menjadi agen utama dalam proses pendidikan ada diskriminasi perlakuan kepada mereka dalam
kejuruan. beragam kegiatan di sekolah. Mereka juga
Proses pengembangan kurikulum yang sarat diberikan pemberdayaan, fasilitas, dan perhatian
dengan muatan kejuruan perlu melibatkan yang sama agar mereka merasa bisa berprestasi
masyarakat sekitar sekolah, termasuk DUDI. dari kerja kerasnya sendiri dan maju karena
Keterlibatan bisa dilakukan dengan cara dialog, pengalamannya sendiri.
urun gagasan, dan analisis kebutuhan. Hal ini Kebaikan-kebaikan yang dibangun akan lebih
untuk memastikan bahwa perancangan kurikulum bermakna manakala dalam pengembangan
SLB dapat menjawab tuntutan masyarakat/ kurikulum pendidikan khusus dilengkapi pula
komunitas sekitar. Konteks pelibatan ini dapat dengan muatan-muatan kompetensi masa
dimaknai sebagai ekosistem pendidikan antara depan. Semangat kompetensi masa depan
sekolah, masyarakat, dan DUDI yang telah disiapkan untuk tumbuhkembangnya potensi diri
terjalin dengan baik. Jalinan ini sekaligus peserta didik berkebutuhan khusus memasuki
memberi garansi bahwa asas kejuruan dalam era global yang oleh Pink (2006) disebut sebagai
pengembangan kurikulum pendidikan khusus “conceptual era” atau era konseptual. Manusia
telah memiliki arah yang cermat. yang akan berjaya dalam era tersebut, menurut
Bergulirnya ekosistem pendidikan di lembaga Pink perlu memilki “Six high-concept and high-
pendidikan khusus dapat diartikan bahwa tought senses in the conceptual age”, yakni:
sumber daya sekitar sekolah memiliki pemahaman 1)not just function but also design, 2) not just
yang sama tentang pentingnya meningkatkan argument but also story,3) not just focus but
mutu sekolah. Hal ini menandakan bahwa also symphony,4) not just logic but also
kerang ka kerja pan dangan guru untuk emphaty,5) not just seriousness but also play,
menghasilkan kebijakan kurikulum sekaligus and 6) not just accumulation but also meaning.
memiliki spirit penyusunan budaya dan ekonomi Inti dari gagasan Pink (2006) ini menyiratkan
lokal. Dengan demikian, rasa memiliki masyarakat bahwa prinsip dasar pengembangan kurikulum
sekitar sekolah menjadi semakin kuat. Persepsi hendaknya juga memiliki arah dan tujuan masa
masyarakat menjadi terbangun karena lembaga depan yang jelas. Kejelasan tersebut akan
pendidikan khusus yang ada mampu menye- memancar manakala dikendalikan dalam
diakan layanan pendidikan bagi kebutuhan implementasinya, seperti proses pembelajaran
peserta didik berkebutuhan khusus. Lembaga yang menggairahkan, praksis keterampilan dan
tersebut sekaligus dapat mengatasi perma- kemampuan yang bermakna, melewati praksis
salahan sosial, pekerjaan, budaya, realitas, dan literasi, menebalkan empati terhadap sesama,
kebutuhan. Misalnya, daerah yang berada di dan menggerakkan semua indera peserta didik
tepi pantai bisa menyusun kurikulum pendidikan berkebutuhan khusus secara optimal.
khusus tentang budi daya laut, seperti rumput Selain beragam asas yang dikemukakan di
laut, perikanan laut, kerajinan hasil laut, atas, masih dibutuhkan asas lainnya, seperti
makanan hasil laut, dan lain sebagainya. pemberdayaan, kecakapan abad-21, berbasis
Di samping lima pandangan asas pengem- kewirausahaan, berbasis produksi, dan lainnya.
bangan kurikulum di atas, dari FGD guru juga Semakin lengkap dimensi asas kurikulum yang
menyampaikan sejumlah usulan lain terkait arah digagas berbagai pihak, semakin mampu
PUSTAKA ACUAN
Adhikary, P.K. (2005). Educational reform for linking skills development with employment in
Nepal. In M. Singh (Eds.), Meeting basic learning needs in the informal sector
integrating education and training for decent work. Empowerment and Citizenship (pp.
215-228). Hamburg, Germany: UNESCO Institute for Education.
Alwell, M. & Cobb, B. (2009). Functional life skills curricular interventions for youth with
disabilities a systematic review. Career Development for Exceptional Individuals, 32(2),
82-93.
Badan Perencana Pembangunan Nasional. (2015). Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.
Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional.
Berbiglia,V. A. (2011). The self-care deficit nursing theory as a curriculum conceptual
152.
Jerald, C. D. (2009). Defining A 21st century education. Alexandria, VA: The Center for Public
Education.
Lamb, J. & Branson, C. M. (2015). Educational change leadership through a new zonal theory
lens: Using mathematics curriculum change as the example. Policy Futures in Education,
13(8), 1010-1026.
Lambert, D. (2013). Geography in school and a curriculum of survival. School Field, 11(1), 85-
98.
Leask, B. (2013). Internationalizing the curriculum in the disciplines-imagining new possibilities.
Journal of Studies in International Education, 17(2), 103-118.
Li, Peidong & Laidlaw, M. (2006). Collaborative enquiry, action research, and curriculum
development in rural China: How can we facilitate a process of educational change?
Action Research, 4(3), 333-350.
Machin-Mastromatteo, J. D. (2014). Thinking outside of literacy: Moving beyond traditional
information literacy activities. Information Development, 30(3), 288-290.
Meinert, J. & Reinecke, J. (2017). Self-control during adolescence: Examining the stability of
low self-control and the effects of parental social controls. European Journal of
Criminology.
Miller, D. L. (2011). Curriculum theory and practice: what’s your style? Phi Delta Kappan, 92(7),
32-39.
Mogilner, C., Chance, Z. & Norton, M. I. (2012). Giving time gives you time. Psychological
Science, 23(10), 1233-1238.
Moore, A. (2015). Understanding the school curriculum: Theory, politics and principles. New
York: Routledge.
Nasution, S. (2014). Asas-asas kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.
Nuttall, A. (2016). The ‘curriculum challenge’: Moving towards the ‘Storyline’ approach in a case
study urban primary school. Improving Schools, 19(2), 154-166.
Pilz, M., Krisanthan, B., Michalik, B., Zenner, L. & Li, Jun. (2016). Learning for life and/or work:
The status quo of pre-vocational education in India, China, Germany and the USA.
Research in Comparative and International Education, 11(2), 117-134.
Pink, Daniel H. (2006). A whole new mind: Why right-brainers will rule the future. New York:
Riverhead Books.
Plotner, A. J. & Dymond, S. K. (2016). How vocational rehabilitation transition specialists
influence curricula for students with severe disabilities. Rehabilitation Counseling Bulletin
1–10, Hammill Institute on Disabilities 2016.
Pugach, M. C. & Blanton, L. P. (2012). Enacting diversity in dual certification programs. Journal
of Teacher Education, 63(4), 254-267.
Pusat Kurikulum dan Perbukuan. (2011). Naskah akademik penyusunan kurikulum, tidak
Diterbitkan. Jakarta: Puskurbuk.
Richardson, J.T.E. (2005). Instruments for obtaining student feedback: a review of the
literature. Assessment & Evaluation in Higher Education 30(4), 387–415.
Ritter, B.A., Small, E.E., Mortimer, J.W. & Doll, J.L. (2017). Designing management curriculum for
workplace readiness: Developing students’ soft skills. Journal of Management Education,
42(1), 80–103.
Rock, M.L., Spooner, F., Nagro, S., Vasquez, E., Dunn, C., Leko, et al. (2016). 21st Century
change drivers: considerations for constructing transformative models of
special education teacher development. Teacher Education and Special Education, 39(2),
98-120.
Rychen, D.S. (2009). Key competencies: Overall goals for competence development: An
international and interdisciplinary perspective. InR. Maclean, D. Wilson, dan C. Chinien
(Eds.). International Handbook of Education for the Changing World of Work, Bridging
Academic and Vocational Learning (pp. 2571-2584). Germany: Springer.
Scheibe, C. L. (2004). A deeper sense of literacy: curriculum-driven approaches to
media literacy in the K-12 classroom. American Behavioral Scientist, 48(1), 60-68.
Schleicher, A. (Ed.). (2012). Preparing Teachers and Developing School Leaders for the
21stCentury: Lessons from Around the World. Paris: OECD Publishing.
Schoenfeld, A.H. (2016). 100 Years of curriculum history, theory, and research. Educational
Researcher, 45(2), 105-111.
Seikkula-Leino, J., Ruskovaara, E., Hannula, H. dan Saarivirta, T. (2012). Facing the changing
demands of europe: Integrating entrepreneurship education in finnish teacher training
curricula. European Educational Research Journal, 11(3), 382-399.
Siuty, M. B., Leko, M.M. & Knackstedt, K.M. (2016). Unraveling the role of curriculum in teacher
decision making. Teacher Education and Special Education, 41(1), 39-57.
Spence, K.K & McDonald, M.A. (2015). Assessing vertical development in experiential
learning curriculum. Journal of Experiential Education, 38(3), 296-312.
Spooner, F., Kemp-Inman, A., Ahlgrim-Delzell, L., Wood, L. & Davis, L.L. (2015).
Generalization of literacy skills through portable technology for students with severe
disabilities. Research and practice for persons with severe disabilities, 40(1), 52-70.
Sudiarja, A. (2014). Pendidikan dalam tantangan zaman. Yogyakarta: PT Kanisius.
Sulaiman, C., Bala, U., Tijani, B.A., Waziri, S.I. & Maji, I.K. (2015). Human capital, technology,
and economic growth evidence from Nigeria. SAGE Open, 5(4).
Toner, P. (2010). Innovation and vocational education. The Economic and Labour Relations
Review, 21(2), 75-98.
Trilling, B. & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our times. San Fransisco,
CA: Jossey-Bass Publishing Co.
United Nations Children’s Fund (UNICEF). (2013). Keadaan anak di dunia 2013 anak penyandang
disabilitas. Rangkuman Eksekutif. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Agus
Riyanto. New York: Unicef.
World Bank. (2010). Education, training and labor market outcomes for youth in Indonesia.
Jakarta: The World Bank Office Jakarta.
Zaini, M. (2009). Pengembangan kurikulum: Konsep implementasi evaluasi dan inovasi. Cetakan
1. Yogyakarta: Teras.