Anda di halaman 1dari 8

Perempuan Di Luar Ruang

Cerita Pendek Naning Pranoto


Embun merapuh, aku kehilangan Subuh. Jiwaku kosong, tiada yang merengkuh. Perempuan
itu, yang mengaku pengasuhku, kemarin tubuhnya dibasuh. Payung kuning, mendung pekat
berarak, keranda, air mataku jatuh luluh. Rahasia pun terkuak, ia ibuku –selir ayahku. Tapi, ini
bukan cerita tentang: selingkuh!
*
Kusuka bibirnya yang memerah, gambir-sirih baginya berkah. Maka, ia kunyah setiap pagi
dan menjelang ia tidur. Mulutnya pun berbingkai bibir memerah. Mulut itu juga harum, kala
mendongengiku tanpa judul. Tapi aku selalu merasa terhibur. Saat aku menjelang dewasa,
kisah-kisah cerita wayang yang pernah kudengar darinya menjadi pelita kegelapan gua:
gua perasaanku. Perasaan yang selalu dilliputi pertanyaan gelap, tentang asal-
usulku, dibesarkan keluarga berdarah biru: siapa ibu kandungku sebenarnya?
Ada dua perempuan di rumah Romo – ayahku. Perempuan Pertama, di Dalam Ruang.
Perempuan Kedua, di Luar Ruang. Bagiku, Ruang Dalam maupun Luar Ruang adalah ayahku
berserta rumahnya bergaya joglo. Ruang Dalam rumah ayahku terdiri dari rumah inti –
dalem, disertai gandok 1*), pringgitan 2*), sepen 3*) dan tubuh ayahku serta Sosok
Perempuan Pertama. Bulat wajahnya, berbedak putih tebal. Bibirnya berpoles kosmetika,
beraroma permen. Nafasnya sering terengah terdesak dadanya yang montok-meluap, efek
kaitan kutang ketat bermangkok sangga kawat. Kebaya brokat tipis semrawang,
dipadu batik sogan, pakaian khasnya. Berhak tinggi, sepatu atau sandalnya. Maka jadi
jangkung tampilannya.
“Kanjeng Ibu,”demikian aku memangggil Perempuan Pertama itu, atas permintaan ayahku.
Kanjeng Ibu artinya, Ibu Yang Agung. Tapi maaf, bagiku –ia bukan seorang ibu yang agung.
Melainkan adigang-adigung yang artinya angkuh.
Luar Ruang, terdiri dari pendapa 4*), kuncung dan Perempuan Kedua. Aku berada di antara
Dalam Ruang dan Luar Ruang. Tapi aku yakin, jiwaku berada di Luar Ruang sepenuhnya,
berumah di Perempuan Kedua: Jumirah, namanya. Kumerasa aman dan damai dalam
dekap dan kehangatan nafasnya.
“Mbok Rah!” aku memanggilnya, Kanjeng Ibu yang mengajarkannya.
Mbok Rah menempati kuncung, bangunan kecil di samping joglo. Walau tak luas, kuncung
memiliki sebuah kamar tidur, ruang tamu, dapur dan kamar mandi dilengkapi sumur
kerek. Kala malam tiba, Mbok Rah tidur di amben –tempat tidur dari bambu dialasi kasur
kapuk tipis, juga berbantal tipis. Sepasang meja kursi bambu mengisi ruang tamu. Ada juga
sebuah lemari kayu, untuk menyimpan pakaian Mbok Rah yang kuhitung tak lebih dari
tujuh. Sedangkan pakaian Kanjeng Ibu, sebanyak lima lemari penuh berisi kain batik halus,
kebaya brokat dan sutera diharumi kapur barus.
*
Catatan masa kecilku berbicara:
Mendung tebal menopeng malam, hadirkan kelam. Kilat-kilat berlidah api mempalu
langit, menggelegar. Tubuhku kuyup keringat, gemetaran. Bagiku saat itu, rumah
ayahku berubah jadi monster, mencengkeramku brutal.
“Romo! Romo….”teriakku serak, ke luar kamar, mencari ayahku.
Tak ada jawaban. Aku baru ingat, ia masih di luar kota. Sarungku pun merosot,
membuatku jatuh menggelosot. Dengkulku luka perih. Jalanku jadi tertatih-tatih.
“Kanjeng Ibuuu…!”kupanggil perempuan yang mengaku sebagai ibu kandungku.
Kuketuk pintu kamarnya, tak ada jawaban. Sepi. Semua pembantu, lima orang, juga
membisu. Hujan lebat. Kutembus pekatnya malam, menuju kuncung di ujung.
Daun pintu kayu di depanku terbuka, sebelum kuketuk. Kudengar suara memanggil
namaku: “Mas Maruti. ”Seraut wajah tersenyum cerah menyembul dari balik pintu,
langkahnya bergegas. Ia memelukku erat-erat. “Takut gludug ya. Ndak apa-apa, Mas.
Mbok selalu siap menjaga Mas.”Rambutku diusap-usapnya.

Nafasku terengah-engah, mendekap Mbok Rah penuh pasrah. Ketakutanku sirna. Apalagi
setelah ia memberiku segelas susu-coklat hangat kesukaanku. Tak lama kemudian aku jatuh
tertidur lelap. Dekapannya sungguh-sungguh hangat.
Aku terbangun ketika aroma gambir-sirih menggelitik telingaku. Mbok Rah
mengajariku Subuh. “Jika Mas Maruti rajin shalat, Gusti Allah akan jadikan
Mas pemuda ampuh…,”Mbok Rah rajin memotivasiku.
“Dan…Sakti mandraguna…Mbok,”lanjutku manja, menirukan harapan luhurnya
terhadapku, yang sering ia ucapkan padaku.
“Oiya, … ampuh, sakti mandraguna…pintar banget, jadi dokter mata.”Mbok Rah menekan-
nekan hidungku dengan gerakan lucu, membuatku tertawa.
Ia menggadang-gadangku jadi dokter mata. Katanya, agar kelak aku bisa mengobati
matanya yang selalu merah warnanya. Ternyata, mata Mbok Rah terserang glaucoma – itu
kutahu setelah aku belajar biologi di bangku SMP. Tapi, ia tidak bisa membaca bukan
karena cidera matanya itu, melainkan karena kemiskinannya. Orangtuanya yang buruh tani,
tak mampu menyekolahkannya. Ia lalu menjadi pembantu, pengasuhku. Kanjeng Ibu
menyebutnya babu, sosok rendah – tak layak dihargai dan punya harapan.

“Sadar posisimu, Rah. Jangan mimpi, matamu diobati putraku! Lancang kamu.”Kanjeng Ibu
selalu naik pitam bila mendengar Mbok Rah menggandangku.
Tapi, ayahku mendukung. Ia tersenyum dengan mata dan bibirnya kala berkata. “Bagus. Kau
kelak jadi dokter ahli mata, agar bisa sembuhkan mata Mbok Rah.”
“Apaaa??!”Kanjeng Ibu melototi ayahku juga Mbok Rah. Aku diseretnya, agar aku lepas
dari Mbok Rah. Malam itu, juga terjadi. Aku meronta. Mbok Rah melepasku dengan air
mata. Tangisku pecah, menyaingi ledakan halilintar. Kanjeng Ibu menyumpal mulutku
dengan sapu tangan kumal, bau busuk, membuatku muntah-muntah sepanjang malam.
*
Aku pendiam, komentar ayahku. Aku bisu, kata Kanjeng Ibu. Aku suka mengoceh, canda
Mbok Rah. Memang, aku hanya mau bicara banyak dengan Mbok Rah. Ia tempatku
bercurah dan berumah. Bagiku ia rumah yang teduh, karena tutur katanya lembut, halus dan
menyentuh. Bila aku dianggapnya salah atau lemah, ditegurnya dengan kalimat yang
membuatku paham –ke mana aku harus mengarah. Kalimat-kalimat itu ia kaitkan dengan
tokoh-tokoh pewayangan yang sering ia ceritakan padaku.
“Tak baik jadi anak cengeng. Jadilah seperti Gatotkaca yang sakti perkasa, karena kuat
digembleng di Kawah Candradimuka,”tegasnya, jika aku menangis hanya karena hal-hal
sepele.
“Mari…mari rajin belajar agar secerdas Ganesha,”demikian cara Mbok Rah memotivasiku bila
aku malas belajar. Ganesha adalah Dewa Ilmu Pengetahuan.
Bila aku malas mandi dan malas menyikat gigi, Mbok Rah menjulukiku Cakil –raksasa
berahang panjang, giginya mencuat ke depan. Tentu, aku tak suka dijuluki Cakil yang buruk
rupa. Mauku, dipuji segagah Bima, setampan Arjuna dan sesabar serta sejujur si Sulung
Pandawa, Yudhistira. Tapi, ayahku menginginkanku berwatak Anoman, si Kerah Putih yang
berhati suci dan pemberani. Ia mampu mengalahkan Rahwana yang berwajah sedasa,biang
angkara murka. Ayahku menegaskan, Anoman –seorang satria sejati yang membaktikan
hidupnya untuk Nusa dan Bangsa. Maka, aku dinamai Maruti, nama Anoman ketika masih
teruna.
*
Ya, Maruti –namaku. Saudagar batik, ayahku. Sayang, aku sulit menyebssut, siapa
sebetulnya ibu kandungku: Mbok Rah atau Kanjeng Ibu? Pertanyaan ini selalu mencuat-cuat
walau kumemendamnya dalam-dalam. Pertanyaanku itu bak ubi –justru tumbuh dan
membesar ketika dipendam. Celakanya, pertanyaanku bukanlah ubi manis, melainkan ubi
pedang. Ubi yang merobek-robek dadaku: pilu…pilu. Aku tak tahu cara mengenyahkannya.
Jalan buntu yang kutemui, yang ada teka-teki.
Ya, teka-teki yang harus kupecahkan: sikap Kanjeng Ibu dan sikap Mbok Rah terhadapku.
Kanjeng Ibu sering menghardikku, menyeretku, bahkan memukulku –anehnya, ia mengaku
sebagai ibu kandungku. Sedangkan Mbok Rah, pengasuhku, selalu bersikap sebaliknya –
terhadapku. Sikap itu yang membuatku betah tinggal bersamanya di Luar Ruang. Waktuku
lebih banyak kuhabiskan tinggal di kuncung, daripada di dalem –Dalam Ruang, di mana
Kanjeng Ibu tinggal.
Luar Ruang –kuncung, kurasakan adem kalem. Dalam Ruang –dalem, kurasakan panas
menyengat. Kuncung adalah Mbok Rah. Dalem adalah Kanjeng Ibu. Mbok Rah, bagiku
rembulan –memancarkan sinar tanpa panas. Kanjeng Ibu, bagiku matahari –memancarkan
sinar dengan memanggang. Aku selalu merindukan rembulan itu, siang dan malam. Aku
selalu ingin dalam dekapnya. Maka, malam itu, aku mengendap-nedap ke luar
dari kamarku, menuju ke kuncung untuk mendapatkan dekapan sepanjang malam Mbok
Rah –rembulanku. Tapi, apa yang kudapat?

Sungguh, aku sangat terkejut. Di keremangan lampu kamar Mbok Rah, aku melihat ayahku
bersama Mbok Rah. Mereka di atas amben berhimpitan, seperti bayi kembar siam yang
kulihat di televisi. Mata mereka memejam, Mbok Rah merintih dan nafas ayahku tersengal-
sengal. Gerak dan suara mereka membuat tubuhku gemetar. Aku berlari ketakutan,
langsung masuk ke kamar. Sejak itu, aku membenci Mbok Rah. Benci sekali. Kerinduanku
padanya kutumpas mati. Aku lebih suka menyendiri.. Mulutku jadi terkunci, sulit berkata-
kata walau itu hanya bunyi –kata yang ke luar tanpa arti.
*
Selir! Kekasih lelaki ningrat yang telah beristri. Selir disebut juga gundik, istri tidak resmi
secara hukum dan dikutuk ajaran agama. Kupelajari arti kata selir dan gundik, dari Kamus
Besar Bahasa Indonesia yang kubaca di Perpustakaan Sekolah, secara diam-diam.
Dua kata, selir dan gundik kucari setelah aku melihat Mbok Rah dan ayahku jadi bayi
kembar siam di atas amben itu. Amben yang sering jadi tempat tidurku kala aku tidur dalam
dekapan hangat Mbok Rah. Di amben itu pula aku mengajarinya membaca dan
menulis. Kami saling jadi murid dan guru titis. Kami menjadi lahir dan batin yang menyatu
hangat dan padu. Tapi, kini berubah, sejak Mbok Rah dan ayahku menyatu di amben itu.
Bagiku, tak ada kenyamanan lagi di Luar Ruang. Juga tak ada lagi rembulan di ruang itu.
Yang ada: perempuan pendosa, perempuan kotor, perempuan neraka. Sungguh pilu aku
dibuatnya. Mengapa ia mengajariku shalat dan mengaji? Mengapa pula ia mengajariku
bertata-krama, berbahasa halus dan melatunkan tembang Mocopat yang mengajarkan
keluhuran moral?
Perasaanku makin pilu. Inikah yang dinamakan munafik, pelakunya Mbok Rah?
Kepiluanku membuatku kosong. Aku enggan masuk sekolah, walau ujian akhir SD-ku telah
di ambang pintu. Kuhabiskan waktuku di sudut alun-alun kota sepanjang pagi hingga
siang. Kembali ke rumah kala matahari meninggalkan poros langit, selepas Dzuhur. Sampai
di rumah, aku mengunci diri. Jika aku merasa sepi, berdialog dengan bantal, guling, kasur,
lampu, tembok, meja, lemari, kursi, juga dengan cecak –dan, semua benda yang ada di
kamarku. Dialogku sunyi. Kata-kataku mengggulung-gulung di dada, menikam jantung,
membelah paru-paru dan merajang nadi. Hanya satu keinginanku: mati!
Kubangkit dari tempat tidur, mencari tali untuk menggantung diri. Yang kutemukan
hanya rafia di laci meja tulisku. Tentu, jenis tali ini tak memadai sebagai alat bunuh diri.
Selain pendek, juga tipis teksturnya. Tiba-tiba aku punya ide, bunuh diri dengan ikat
pinggang yang ada di lemari pakaianku. Ketika lemari kubuka, ada sebuah buku kecil tiba-
tiba jatuh menimpa hidungku. Buku kecil itu bersampul hijau. Belum pernah sekalipun
kulihat. Aku penasaran.

Mataku membelalak, ketika melihat halaman awal dari buku itu. Tanganku gemetar –tak
percaya melihat sepasang foto yang tertera: foto ayahku dan foto Mbok Rah. Buku kecil
yang sedang kupegang adalah Surat Nikah. Di halaman tengah Surat Nikah kutemukan
selembar foto ayahku bersama Mbok Rah yang sedang menggendong bayi lelaki. Aku yakin,
bayi itu adalah diriku, karena di kening kanannya ada tembong –tanda hitam bawaan bayi.
Kudekap erat foto itu, hingga membasah oleh keringat tangan dan air mataku. Selain
diliputi perasaan haru, aku ingin tahu: siapa yang meletakkan Surat Nikah ayahku dengan
Mbok Rah, di lemariku?

Tiba-tiba rasa rindu pada Mbok Rah kembali menyemi, lalu berbunga…aku ingin
menjumpainya. Aku berlari menuju kuncung, Surat Nikah kuselipkan di kaos dalamku.
Betapa kecewanya aku, ketika yang kujumpai di kuncung adalah Kanjeng Ibu yang sedang
bertolak pinggang, mengkomandoi beberapa pembantu yang sedang membersihkan
ruangan itu.
“Jumirah pulang ke desanya. Mau menikah. Baguslah, dapat jodoh, daripada terus
menjanda. Ngundang fitnah.”Tutur Kanjeng Ibu, sebelum aku bertanya.
Aku hanya diam. Lalu, membalik badan. Perasaanku seperti dicincang-cincang.
*
Aku tak tahu ke desa mana Mbok Rah pulang. Kanjeng Ibu tak mengatakan. Tanya ayahku,
aku segan. Aku makin jadi pendiam dan merasa jadi orang asing di Dalam Ruang maupun di
Luar Ruang. Aku sedikit menemukan diriku ketika ayahku mengirimku belajar di SMP Kota,
berjarak 60 kilometer dari Dalam Ruang dan Luar Ruang. Jarak itu makin jauh dan jauh,
ketika aku melanjutkan belajar di bangku SMA. Bahkan, aku menyeberangi lautan dan
angkasa, ketika melanjutkan belajar di Perguruan Tinggi di Benua Australi. Surat Nikah
ayahku dengan Mbok Rah yang menjadi benang merah antara diriku dengan Tanah Air.
Menjelang ujian akhirku, ayahku menelponku dengan suara serak diiringi isak tangis,
“Maruti, pulanglah segera. Ibumu sakit.”
“Kanjeng Ibu –sakit apa?”tanyaku gugup.
“Bukan Kanjeng Ibu…tapi…,”Suara ayahku terpenggal.
Malam harinya aku bermimpi, melihat perempuan berwajah Ibu Agung Pandawa, Dewi
Kunthi –Ibu Sejati, mandi di Telaga Warna dengan ritual bunga setaman. Aku mencium
tangannya, saat ia telah berbusana putih berkilau, berhiaskan mutiara. Tapi, aku tak lagi
melihat wajahnya. Yang kulihat, wajah Mbok Rah.

Di luar mimpiku, aku mengangkasa mengendarai burung baja selama sembilan jam. Ketika
kedua kakiku menginjak bumi, ayahku langsung memelukku dan menuntunku ke
mobilnya. Kami tidak berkata-kata. Hanya deru mesin mobil yang terdengar, kukemudikan
menuju ke selatan atas arahan ayahku. Mesin kupadamkan ketika ayahku mengajakku turun
di depan sebuah bangunan beratap limas, berlantai tanah. Ketika aku masuk ke dalamnya,
kulihat sosok membujur berwajah pias kering membiru. Matanya lekat memejam, lingkar
hitam menilas luka bakar merajam. Bibirnya membiru. Tiada lagi merah gambir-sirih
meronanya. Tapi aku masih mengenali wajah itu: Rembulan, rembulanku!
“Mbok Rah, Ibuku….,”bisikku dengan lidah kelu.
“Kanker menyerang ke dua matanya sejak ia terserang glaucoma,”seorang lelaki berpakaian
putih memberitahuku.
Paham. Aku tahu glaucoma itu sejak dulu. Perempuan itu bagian dari jantungku.
*
Ayahku berdiri memaku. Ia algojo perempuan yang melahirkanku, yang kini membujur kaku
di depanku. Aku ingin memenggal kepala ayahku, sebagai hukuman setimpal dengan apa
yang diperbuatnya, terhadap perempuan yang melahirkanku itu. Tapi, aku tak punya
guillotine untuk mengeksekusinya. Kasih yang kupunya, warisan dari perempuan yang kini
berada di Luar Ruang yang sesungguhnya: Ruang Keabadian-Nya. *
Catatan kaki:
Gandok 1*) Gandok merupakan bangunan yang terletak di samping rumah, menempel
dengan bangunan rumahm inti. Bangunan ini dikenal pula sebagai pavilion ala Jawa
Pringgitan 2*) Pringgitan merupakan bangunan yang terletak di antara pendopo dan dalem.
Zaman dulu bangunan ini dipakai untuk pementasan wayang atau sebagai beranda
Sepen 3*) Bagian dari dalem, dulu fungsinya untuk menyepi tapi bisa juga digunakana
sebagai kamar tidur.
Pendapa 4*) pendapa adalah bagian depan Rumah Joglo yang mempunyai ruangan luas
tanpa sekat-sekat, biasanya digunakan untuk menerima tamu atau ruang bermain anak dan
tempat bersantai keluarga

Anda mungkin juga menyukai