Contoh Makalah
Contoh Makalah
Masyarakat Madani
DOSEN PENGAMPU
DISUSUN OLEH
2019
Latar Belakang
Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang
mandiri dan demokratis. Masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi,
hubungan keduanya ibarat ikan dengan air. Pembahasan makalah ini akan membahas tentang
masyarakat madani, yang umumnya dikenal dengan istilah masyarakat sipil (civil society):
pengertian, sejarah pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di
Indonesia serta unsure-unsur di dalamnya
Rumusan Masalah
1. Pengertian dariMasyarakat Madani?
2. Karakteristik dari Masyarakat Madani?
Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui pengerrtian dari masyarakat madani
2. untuk mengetahui karateristik masayarakat madani
Pembahasan
1
A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta Selatan: Kencana,2003), hal 216.
Sejarah Singkat Masyarakat sipil ( Civil Society )
Sejarah awal civil society tidak bisa dilepaskan dari filsuf Yunani Aristoteles (384-
322 SM) yang memandang konspe civil society (masyarakat sipil) sebagai sistem kenegaraan
atau identik dengan negara itu sendiri.Konsep civil society pada masa ini dikenal sebagai
istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai peraturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang dikemukakan Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis di mana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan
hukum. Pandangan ini mengalami perubahan dengan pengertian civil society yang
berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara.
Berbeda dengan Aristoteles, negarawan Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
mengistilahkan masyarkat sipil dengan societies cvilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi politik kota sebagai komponen utamanya.
Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya yang menjelma menjadi
entitas yang terorganisir. Berbasis pada keberadaan kota sebagai pusat peradaban kaum
pendatang, rumusan Cicero ini lebih menekankan konsep civility atau kewargaan urbanity,
atau budaya perkotaan. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi
penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679
M) dan John Locke (1632-1704 M).Keduanya memandang perkembangan Civil Society
sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Menurut
Hobbes, sebagai entitas negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam
masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak yang mampu mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil society adalah untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.Mengingat sifatnya yang demikian
itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak
dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk
memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada perkembangan selanjutnya Adam Ferguson (1767) mengkontekstualisasikan
wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia dengan perkembangan
kapitalismenya yang berdampak pada krisis sosial.Berbeda dengan pemikir sebelumnya,
Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Menurut
Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa publik
secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentiment moral yang dapat menghalangi
munculnya kembali despotisme. Kekhawatiran Ferguson atas semakin menguatnya sikap
individualistis dan berkurangnya tanggung jawab sosial masyarakat mewarnai pandangannya
tentang civil society pada waktu itu.
Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan
oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M).Bersumber dari pengalamannya mengamati
budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok
penyeimbang kekuatan negara.Menurutnya, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan
kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri,
dan kedewasan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi
dan mengontrol kekuatan negara.
Pandangan Gramsci tentang civil society dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih
pada sisi ideologis. Gramsci meletakkanya pada superstruktur yang berdampingin dengan
negara yang ia sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan
tempat perebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni
untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Dalam sejumlah model dan pandangan tentang civil society, mazhab Gramscian dan
Toquevilian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Eropa Tengah
pada dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup di bawah dominasi negara terbukti
telah melumpuhkan kehidupan sosial masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society
kemudian mewabah menjadi sebuah landasan ideologis untuk perjuangan kelompok
demokrasi di belahan dunia lain untuk membebaskan masyarakat dari cengkaraman negara
secara sistematis melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.2
2
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta:LP3ES,1999), hal 130
Karakteristik Masyarakat Madani
FREE public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua
warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan tranksaksi sosial
dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan diluar civilsociety.
Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai wilayah
bebas dimana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang
bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya ,
ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak
bebas dimana negara mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial-
politiknya.
2. Demokrasi
DEMOKRASI adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society
yang murni (genuine). Tanpa Demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.
Secara umum Demokrasi adalah suatan tatanan sosial-politik yang bersumber dan
dilakukan oleh, dari , dan untuk warga negara.
3. Toleransi
TOLERANSI adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, tolransi,
mengacu pandangan Nurcholish madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilakan adanya tata cara pergaulan
yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus diapahami sebagai nikmat atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Dalam prepektif ini, toleransi bukan sekedar tuntunan sosial maysarakat majemuk
belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajran moral agama.
Senada Madjid Azra menyatakan bahwa dalam kerangka menciptakan
kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/civility), masyarakat
madani(civil society) menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-
individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga
bangsa.
4. Kemajemukan
KEMAJEMUKAN atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil
society Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
pernytaan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat tuhan yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Madjid, Pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Bahkan menurutnya pula pluralisme merupakan suatu keharus bagi keselamatan umat
manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and
balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh
pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk. Secara teologis , tegas Madjid, kemajemukan sosial
merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.
5. Keadilan Sosial
KEADILAN sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional
atas hak dan kewajiban setiap warga nergara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan:ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain,
keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan
yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.3
3
M.Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, (Jakarta:LP3ES, 1999), hal 156
Model pengembangan demokrasi ini pun pada kenyataannya tidaklah menjamin demokrasi
berjalan sebagaimana layaknya.Kegagalan demokrasi di sejumlah negara dalam banyak hal
berhubungan dengan tingkat kemiskinan warga negaranya.
Iwan Gardono, mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organisasi atau kelompok
masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pandangan lain
mengatakan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif non-
kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang
mapan.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial.Gerakan
sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh
pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (corporation atau market),
dan masyarakat sipil.Berdasarkan pembagian ini maka terdapat gerakan politik yang berada
di ranah negara dan gerakan ekonomi di ranah ekonomi.
4
Miftah Thoha,Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2002), hal 80
Pembagian ini telah dibahas oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan
dengan gerakan politik, yakni upaya perbutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai
politik melalui pemilu. Sementara itu, gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby di mana
terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik
tersebut.Selain itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Harbemas yang melihat
gerakan sosial merupakan resistensi progesif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi.Jadi,
salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah aktornya, yakni parpol di
ranah politik, lobbyist dan perusahaan ekonomi (pasar), dan organisasi masyarakat sipil atau
kelompok sosial di ranah masyarakat sipil.
Berdasarkan pemetaan di atas, secara empiris ketiganya dapat dapat saling bersinergi.
Pada ranah negara (state) dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol
dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial, demikian
pula upaya lobby dalam ranah ekonomi dapat pula seolah-olah sebagai gerakan sosial.
Sebagai contoh, gerakan sosial oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan
dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi lain.
5
Widodo Usman, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2000), hal 115
Kesimpulan
Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat.Inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani,
diantaranya wilayah public yang bebas ( free public sphere), demokrasi, teoleransi,
kemajemukan (pluralism), dan keadilan sosial
Daftar Pustaka
Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Cetakan ke-2. Jakarta: LP3ES.
Usman, Widodo. 2000. Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.