Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Masyarakat Madani

DOSEN PENGAMPU

AHMAD MUSTAMI, M.Pd.I

DISUSUN OLEH

MUHAMMAD HATAMI (1820304041)

MUHAMMAD MUSTOFA (1820304042)

RAHMA JUWITA (1820304048)

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDI DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2019
Latar Belakang
Masyarakat madani adalah sebuah tatanan masyarakat sipil (civil society) yang
mandiri dan demokratis. Masyarakat madani lahir dari proses penyemaian demokrasi,
hubungan keduanya ibarat ikan dengan air. Pembahasan makalah ini akan membahas tentang
masyarakat madani, yang umumnya dikenal dengan istilah masyarakat sipil (civil society):
pengertian, sejarah pemikiran, karakter dan wacana masyarakat sipil di Barat dan di
Indonesia serta unsure-unsur di dalamnya

Rumusan Masalah
1. Pengertian dariMasyarakat Madani?
2. Karakteristik dari Masyarakat Madani?

Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui pengerrtian dari masyarakat madani
2. untuk mengetahui karateristik masayarakat madani
Pembahasan

Pengertian masyarakat madani


Wacana masyarakat madani di Indonesia memiliki banyak kesamaan istilah dan
penyebutan, namun memiliki karakter dan peran yang berbeda satu dari yang lainnya.Seperti
halnya demokarasi, sejarah masyarakat sipil atau masyarakat madani lahir untuk pertama
kalinya dalam perjalanan politik masyarakat sipil di Barat.Istilah masyarakat sipil dikenal
luas dengan penyebutan istilah civil societ.Kalangan ahli mendefinisikan karakter masyarakat
sipil sebagai komunitas sosial dan politik yang pada umumnya memiliki peran dan fungsi
yang berbeda dengan lembaga negara.
Di kawasan Asia Tenggara, istilah ‘Masyarakat Madani’ dimunculkan untuk pertama
kalinya oleh cendekiawan Malaysia, Anwar Ibrahim. Berbeda dengan prinsip masyarakat
sipil di Barat yang berorientasi penuh pada kebebasan individu, menurut mantan Perdana
Menteri Malaysia itu, masyarakat madani adalah sebuah sistem sosial yang tumbuh
berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan
kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dengan masyarakat berupa pemikiran, seni
pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan
individu. Menurutnya pula, masyarakat madani mempunyai ciri-cirinya yang khas:
kemajemukan budaya (multicultural), hubungan timbal balik ( reprocity), dan sikap saling
memahami dan menghargai. Meminjam istilah Malik Bennabi, Anwar menjelaskan watak
masyarakat madani yang ia maksudkan sebagai guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide
yang mendasari keberadaannya, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musyawarah, dan
demokrasi.1
Dawan Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses penciptaan
peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama. Menurutnya, dalam
masyarakat madani, warga negara bekerja sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif,
dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat nonnegara. Selanjutnya, Rahardjo menjelaskan
dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan
pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang
menyebabkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan.
Sejalan dengan ide-ide di atas, menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih
dari sekedar gerakan prodemokrasi, karena ia mengacu pada bentukan masyarakat
berkualitas dan ber-tamaddun (civility). Menurut tokoh cendekiawan Muslim Indonesia
Nurcholish Madjid, sesuai makna akar katanya yang berasal dari kata tamaddun (Arab), atau
civility (Inggris), istilah masyarakat madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-
pribadi untuk menerima pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial.

1
A.Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta Selatan: Kencana,2003), hal 216.
Sejarah Singkat Masyarakat sipil ( Civil Society )
Sejarah awal civil society tidak bisa dilepaskan dari filsuf Yunani Aristoteles (384-
322 SM) yang memandang konspe civil society (masyarakat sipil) sebagai sistem kenegaraan
atau identik dengan negara itu sendiri.Konsep civil society pada masa ini dikenal sebagai
istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai peraturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang dikemukakan Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah
masyarakat politis dan etis di mana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan
hukum. Pandangan ini mengalami perubahan dengan pengertian civil society yang
berkembang dewasa ini, yakni masyarakat sipil di luar dan penyeimbang lembaga negara.
Berbeda dengan Aristoteles, negarawan Romawi Marcus Tullius Cicero (106-43 SM)
mengistilahkan masyarkat sipil dengan societies cvilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi politik kota sebagai komponen utamanya.
Istilah yang digunakan Cicero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya yang menjelma menjadi
entitas yang terorganisir. Berbasis pada keberadaan kota sebagai pusat peradaban kaum
pendatang, rumusan Cicero ini lebih menekankan konsep civility atau kewargaan urbanity,
atau budaya perkotaan. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekedar sebuah konsentrasi
penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679
M) dan John Locke (1632-1704 M).Keduanya memandang perkembangan Civil Society
sebagai kelanjutan dari evolusi masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Menurut
Hobbes, sebagai entitas negara civil society mempunyai peran untuk meredam konflik dalam
masyarakat sehingga ia harus memiliki kekuasaan mutlak yang mampu mengontrol dan
mengawasi secara ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil society adalah untuk
melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.Mengingat sifatnya yang demikian
itu, civil society tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak
dapat dikelola masyarakat dan memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk
memperoleh haknya secara adil dan proporsional.
Pada perkembangan selanjutnya Adam Ferguson (1767) mengkontekstualisasikan
wacana civil society dengan konteks sosial dan politik di Skotlandia dengan perkembangan
kapitalismenya yang berdampak pada krisis sosial.Berbeda dengan pemikir sebelumnya,
Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society dalam kehidupan sosial. Menurut
Ferguson, ketimpangan sosial akibat kapitalisme harus dihilangkan. Ia yakin bahwa publik
secara alamiah memiliki spirit solidaritas sosial dan sentiment moral yang dapat menghalangi
munculnya kembali despotisme. Kekhawatiran Ferguson atas semakin menguatnya sikap
individualistis dan berkurangnya tanggung jawab sosial masyarakat mewarnai pandangannya
tentang civil society pada waktu itu.
Wacana civil society sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan
oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M).Bersumber dari pengalamannya mengamati
budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok
penyeimbang kekuatan negara.Menurutnya, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan
kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat.
Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri,
dan kedewasan berpolitik, menurutnya warga negara di mana pun akan mampu mengimbangi
dan mengontrol kekuatan negara.
Pandangan Gramsci tentang civil society dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih
pada sisi ideologis. Gramsci meletakkanya pada superstruktur yang berdampingin dengan
negara yang ia sebut sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan
tempat perebutan posisi hegemoni di luar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni
untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Dalam sejumlah model dan pandangan tentang civil society, mazhab Gramscian dan
Toquevilian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Eropa Tengah
pada dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hidup di bawah dominasi negara terbukti
telah melumpuhkan kehidupan sosial masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society
kemudian mewabah menjadi sebuah landasan ideologis untuk perjuangan kelompok
demokrasi di belahan dunia lain untuk membebaskan masyarakat dari cengkaraman negara
secara sistematis melemahkan daya kreativitas dan kemandirian masyarakat.2

2
Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, (Jakarta:LP3ES,1999), hal 130
Karakteristik Masyarakat Madani

1. Wilayah Publik yang bebas

FREE public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk
mengemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua
warga negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan tranksaksi sosial
dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan diluar civilsociety.
Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai wilayah
bebas dimana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang
bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya ,
ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasana tidak
bebas dimana negara mengontrol warga negara dalam menyalurkan pandangan sosial-
politiknya.

2. Demokrasi
DEMOKRASI adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society
yang murni (genuine). Tanpa Demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud.
Secara umum Demokrasi adalah suatan tatanan sosial-politik yang bersumber dan
dilakukan oleh, dari , dan untuk warga negara.

3. Toleransi
TOLERANSI adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, tolransi,
mengacu pandangan Nurcholish madjid, adalah persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilakan adanya tata cara pergaulan
yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu
harus diapahami sebagai nikmat atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar.
Dalam prepektif ini, toleransi bukan sekedar tuntunan sosial maysarakat majemuk
belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting dari pelaksanaan ajran moral agama.
Senada Madjid Azra menyatakan bahwa dalam kerangka menciptakan
kehidupan yang berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/civility), masyarakat
madani(civil society) menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-
individu untuk menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga
bangsa.

4. Kemajemukan
KEMAJEMUKAN atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil
society Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima
pernytaan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat tuhan yang
bernilai positif bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Madjid, Pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-
ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility).
Bahkan menurutnya pula pluralisme merupakan suatu keharus bagi keselamatan umat
manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and
balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh
pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam
masyarakat yang majemuk. Secara teologis , tegas Madjid, kemajemukan sosial
merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.

5. Keadilan Sosial
KEADILAN sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proposional
atas hak dan kewajiban setiap warga nergara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan:ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesempatan. Dengan pengertian lain,
keadilan sosial adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan
yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.3

Masyarakat Madani di Indonesia: Paradigma Dan Praktik


INDONESIA memiliki tradisi kuat civil society(Masyarakat Madani). Bahkan jauh
sebelum negara bangsa berdiri , masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh
kiprat beragam organisasi sosial keagaman dan pergerakan nasional dalam perjuangan
merebut kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegak HAM dan
perlawanan terhadap kekuasaan kolonial, organisasi berbasis islam , seperti Syarikat Islam
(SI), Nahdalatul Ulama(NU), dan Muhammadiyah , telah menunjukkan kiprah nya sebagai
komponen civil society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di
Indonesia . Sifat kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi
tersebut merupakan karakter khas dari sejarah Masyarakat Madani di Indonesia.
Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana
seharusnya bangunan Masyrakat Madani bisa Terwujud di Indonesia:
Pertamana, pandangan intergrasi nasional dan politik . Pandangan ini menyatkan
bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup sehari-hari
dalama masyrakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat .
Bagi pengikut panadangan ini praktik berdemokarasi ala Barat (demokrasi liberal) hanya
akan berakibat konflik antara sesama warga bangsa baik sosial maupun politik. Demokrasi
tanpa kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat di kalangan warga negara, demokarasi
hanya akan di pahami sebagai kebebasan tanpa batas yang diwujudkan dengan tindakan-
tindakan anarkis yang berpotensi pada lahirnya kekacauan sosial, ekonom, dan politik.
Kedua,pandangan reformasi sitem politik demokrasi, yaki pandangan yang
menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung pada
pembangunan ekonimi. Dalam tataran , pambangunan institusi-institusi politik demokratis
lebih diutaman oleh negara dibanding pembangunan ekonomi.

3
M.Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani, (Jakarta:LP3ES, 1999), hal 156
Model pengembangan demokrasi ini pun pada kenyataannya tidaklah menjamin demokrasi
berjalan sebagaimana layaknya.Kegagalan demokrasi di sejumlah negara dalam banyak hal
berhubungan dengan tingkat kemiskinan warga negaranya.

Ketiga, paradigma membangun Masyarakat Madani sebagai basis utama


pembangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua
pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi. Berbeda
dengan dua pandangan pertama, pandangan ini lebih menekankan proses pendidikan dan
penadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas mengah. Hal itu mengingat bahwa
demokrasi membutuhkan topangan kulturan, selain dukungan struktural . Usaha-usaha
pendidikan dan penyadaran olitik warga negara merupakan upaya membangun budaya
demokrasi di kalangan warga negara. Secara teoretis, upaya pendidikan dan penyandaran
politik kelas menengah dapat di anggap sebagai bagian dari proses penyandaran ideologis
warga negara , sebagaimana pernah di singgung olleh Gramsci (1891-1937 M).
Melalui proses pendidikan politik, diharapkan lahir tatanan masyarakat yang secara
dan politik mandiri. Kemandirian mereka pada akhirnya akan melahirkan kelompok
Masyarakat Madani yang mampu melakukan kontrol terhadap hegemoni negara.
Bersandar pada tiga paradigma diatas , pengembangan demokrasi dan Masyarakat
madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan tersebut. Sebaliknya ,
untuk mewujudkan Masyarakat Madani yang seimbang dengan kekuatan negara dibutuhkan
gabungan strategi dan paradigma. Setidaknya tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam
pengembangan demokrasi di masa transasi sekarang melalui cara:
1. Memperluas golongan menegah melalui pemberian kesempatan bagi kelas menengah
untuk berkembang menjadi kelompok Masyarakat Madani yang mandiri secara politik
dan ekonomi. Dalam pandangan ini , negara harus menempatakan diri sebagai
regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi nasional. Tantangan pasar bebas
dan demokrasi global mengharuskan negara mengurangi perannya sebagai aktor
dominan dalam proses pembangnan Masyarakat Madani yang tangguh.
2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lembaga
demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Sikap pemerintah
untuk tidak mencampuri atau memengaruhi putusan hukum yang dilakukan oleh
embaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting dari pembangunan
kemandirian lembaga demokrasi.
3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga negara secara
keseluruhan . Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan demokrasi yang
dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua unsur masyarakat melalui
prisnsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan dari , oleh dan untuk warga negara.

Tetnatang Masyarakat Madani di Indonesia , menurut Rahardjo, masih merupakan


lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik represif. Ciri kritisnya lebih menonjol
daripada kostruktifnya. Mereka, Menurutnya, lebih banyak melakukan protes daripada
mengajukan solusi, lebih banyak menuntut daripada memberikan sumbangan terhadap
pemecahan masalah.
Senada ddengan Rahardjo, menurut AS. Hikam, karakter Masyarakat Madani di
Indonesia masih sangat bergantung terhadap negara sehingga selalu berada pada posisi
suborniat, khusunya bagi mereka yang berada pada strata sosial bawah.karena itu menurut
Hikam, dalam konteks pengembangan demokrasi kenyataan ini merupakan tantangan
mendesak untuk memperlancar proses demokratisasi.

Mahasiswa merupakan salah satu komponen strategis bangsa Indonesiadalam


pengembangan demokrasi dan msyarakat Madani. Peran aktif mahasiswa dalam proses
perjuangan reformasi menumbangkan rezim otoriter seharusnya ditindak lanjuti dengan
keterlibatan mahasiswa dalam proses demokratisasibangsa dan pengembangan msyarakay
madani di Indonesia. Sebagai bagian darikelas menengah, mahasiswa mempunyai tugas dan
tanggung jawab terhadap nasib masa depan demokrasidan masyarakat madanidi Indonesia.
Sikap dan tanggung jawab itu dapat diwujudkan dengan pengembangan sikap-sikap
demokratis,toleran dan kritisdalam prilaku sehari hari.

Sikap demokratissalah satunya bisa diekpresikan melalui peran aktif mahasiswa


dalam proses pendemokrasisan semua lapisan masyarakat melalui cara-cara dialogis, santu,
dan bermatabat. Sikap toleran bisa ditunjukkan di antaranya. Dengankeasdaran tinggi bahwa
perbdeaan adalah rahmat tuhan yang harus disyukuri, dipelihara, dan “dirayakan” dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun sikap kritis dapat dilakukan denganmengamati, mengkritisi,
dan mengontrol pelaksanaan kebijakan pemerintah atau lembaga publik terkait, khusunya
kebijakan yang berhubungan langsung dengan hajatorang banyak dan masa depan bangsa.
Sejalan dengan sikap ini, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu strategis
bangsa, seperti mutu pendidikan, pendidikan murah, disiplin nasional, pemberantasan
korupsi, KKN, isu-isu lingkungan hidup yang terkaitdengan perubahan iklim global (climate
change), dan sebagainya. Sejak demokrasi menghajatkan partisipasi warga negara
menyuarakan aspirasi masyrakat secara santun dan berkeadaban (civilitized democrazy) di
Indonesia. Demokrasi berkeadaban tidak mungkin tercapai tanpa praktik-praktik demokrasi
yang santun di kalangan warga negara. Dalam konteks itidak lain merupakan sarana unuk
mewujudkan masyarakat madani.4

Gerakan Sosial Untuk Memeperkuat Masyarakat Madani (Civil Society)

Iwan Gardono, mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organisasi atau kelompok
masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial. Pandangan lain
mengatakan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk perilaku politik kolektif non-
kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena mengancam stabilitas cara hidup yang
mapan.
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial.Gerakan
sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang didasari oleh
pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar (corporation atau market),
dan masyarakat sipil.Berdasarkan pembagian ini maka terdapat gerakan politik yang berada
di ranah negara dan gerakan ekonomi di ranah ekonomi.

4
Miftah Thoha,Birokrasi dan Politik di Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2002), hal 80
Pembagian ini telah dibahas oleh Sidney Tarrow yang melihat political parties berkaitan
dengan gerakan politik, yakni upaya perbutan dan penguasaan jabatan politik oleh partai
politik melalui pemilu. Sementara itu, gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby di mana
terdapat upaya melakukan perubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik
tersebut.Selain itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Harbemas yang melihat
gerakan sosial merupakan resistensi progesif terhadap invasi negara dan sistem ekonomi.Jadi,
salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah aktornya, yakni parpol di
ranah politik, lobbyist dan perusahaan ekonomi (pasar), dan organisasi masyarakat sipil atau
kelompok sosial di ranah masyarakat sipil.
Berdasarkan pemetaan di atas, secara empiris ketiganya dapat dapat saling bersinergi.
Pada ranah negara (state) dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan oleh parpol
dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh gerakan sosial, demikian
pula upaya lobby dalam ranah ekonomi dapat pula seolah-olah sebagai gerakan sosial.
Sebagai contoh, gerakan sosial oleh masyarakat sipil seperti mereka yang pro atau anti
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan
dengan kelompok atau parpol di ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi lain.

Organisasi NonPemerintah Dalam Ranah Masyarakat Madani (Civil Society)

Istilah organisasi nonpemerintah adalah terjemahan harfiah NGO (Non-Governmental


Organization) yang telah lama dikenal dalam pergaulan internasional.Istilah NGO merujuk
pada organisasi nonnegara yang mempunyai kaitan dengan badan-badan PBB atau mitra
organisasi ini ketika berinteraksi dengan organisasi nonpmerintah.Istilah ini perlahan-lahan
menyebar dan di pakai oleh komunitas internasional.Ketika masuk ke Indonesia, istilah asing
ini tidak memunculkan persoalan.Namun saat dialihbahasakan dari NGO menjadi organisasi
nonpemerintah dalam sebuah konferensi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
pada 1976, pemerintah Indonesia bereaksi keras.Beberapa aktivis juga kurang sependapat
dengan istilah ini karena dinilai merujuk pada ideologis maupun politis antara pemerintah
(government) dan nonpemerintah (non-government).Mereka yang tidak setuju menggunakan
istilah ini, beragumen bahwa pengertian organisasi nonpemerintah dapat mencakup berbagai
organisasi yang luas (asalkan bukan organisasi pemerintah) baik organisasi bisnis, kalangan
pers, paguyuban seni, olahraga, dan lain-lain.Padahal NGO yang dimaksud lebih khusus,
yaitu berhubungan langsung dengan pembangunan. Berdasarkan pengalaman sejarah, dikenal
istilah “Non” dan “ Co”: ketika dijajah belanda, ada sekelompok masyarakat yang bekerja
sama dengan Belanda (golongan Co) dan ada kelompok yang menolak bekerja sama
(golongan Non). Istilah NGO atau organisasi nonpemerintah dapat diartikan atau dituduh
sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau bekerja sama dengan pemerintah.
Dalam arti umum, pengertian organisasi nonpemerintah mencakup semua organisasi
masyarakat yang berada di luar struktur dan jalur formal pemerintah, dan tidak dibentuk oleh
atau merupakan bagian birokrasi pemerintah.Karena cakupan pengertiannya uang luas,
penggunaan istilah organisasi nonpemerintah, sering membingungkan dan juga bisa
mengaburkan pengertian organisasi atau kelompok masyarakat yang semata-mata bergerak
dalam rangka pembangunan sosial-ekonomi masyarakat tingkat bawah.Istilah organisasi
nonpemerintah bagi mereka yang tidak setuju memakai istilah ini berpotensi memunculkan
pengertian tidak menguntungkan.Pemerintah khususnya menolak menggunakan istilah ini
dengan alasan makna organisasi nonpemerintah terkesan “menghadapkan” serta seolah-olah
“oposan pemerintah”.Pengertian organisasi nonpemerintah memang terlalu luas karena
mencakup sector swasta (bisnis) dan organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya yang
bersifat nonpemerintah.
Di dalamnya bisa termasuk serikat pekerja, kaum buruh, himpunan para petani atau nelayan,
rukun tetangga, rukun warga, yayasan sosial, lembaga keagamaan, klub olahraga,
perkumpulan mahasiswa, organisasi profesi, partai politik, ataupun asosiasi bisnis swasta. 5

5
Widodo Usman, Membongkar Mitos Masyarakat Madani, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2000), hal 115
Kesimpulan
Masyarakat madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral
yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan
masyarakat.Inisiatif dari individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan
pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu.
Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani,
diantaranya wilayah public yang bebas ( free public sphere), demokrasi, teoleransi,
kemajemukan (pluralism), dan keadilan sosial

Daftar Pustaka

Rozak, Abdul dan Ubaedillah A. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan. Cetakan ke-13.


Jakarta Selatan: Kencana.

Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Cetakan ke-2. Jakarta: LP3ES.

Usman, Widodo. 2000. Membongkar Mitos Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Rahardjo, M.Dawam. 1999. Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Jakarta: LP3ES.

Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai