Anda di halaman 1dari 20

PENGOLAHAN LIMBAH PADA SISTEM RESIRKULASI AKUAKULTUR

Oleh: Jaap Van Rijn


Department of Animal Sciences, The Robert H. Smith Faculty of Agriculture, Food and Environment,
The Hebrew University of Jerusalem, Israel.
dalam: Aquaculture Engineering Journal, Vol. 53. 2013. Halaman 49-56
Penerjemah: Muhammad Fuadi

ABSTRAK
Sistem resirkulasi akuakultur (RAS, recirculating aquaculture system) dapat dioperasikan
sebagai sistem outdoor atau indoor. Dikarenakan budidaya ikan intensif banyak yang menggunakan
sistem ini, maka pengolahan limbah serta buangan dari dan dalam sistem tersebut akan menjadi
perhatian utama. Proses pada RAS outdoor (di luar ruangan) sering ditemukan dalam bentuk rangkaian
resirkulasi. Dalam sistem ini, organisme ekstraktif seperti organisme fototrofik dan detritivor tumbuh
pada kompartemen perlakuan yang relatif besar dimana sebagian limbah yang dihasilkan oleh
organisme utama diubah dalam bentuk biomassa. Pada RAS indoor (di dalam ruangan), pengikatan
limbah padatan dan konversi amoniak menjadi nitrat melalui proses nitrifikasi umumnya merupakan
tahapan utama dalam rangkaian resirkulasi. Penghilangan limbah dapat dicapai pada beberapa RAS
indoor budidaya ikan air tawar dan air laut dengan menggabungkan proses denitrifikasi dan pengolahan
lumpur. Pada banyak RAS, baik dioperasikan sebagai sistem indoor maupun outdoor, limbah sering
diolah terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang. Pengolahan limbah tersebut terdiri dari perangkat
pengumpulan/penebalan lumpur dan perangkat pengolahan lumpur untuk menghilangkan fosfat
organik dan nitrogen. Limbah yang dibuang dari RAS air tawar dapat diolah pada fasilitas pengolahan
limbah daerah atau dapat digunakan untuk tujuan pertanian dalam bentuk pupuk atau kompos,
sedangkan upaya pengolahan buangan limbah pada RAS air laut masih terbatas. Dalam makalah ini
disajikan estimasi produksi limbah dan metode penghilangan/pengurangan limbah pada rangkaian RAS
air tawar dan air laut. Makalah ini lebih memfokuskan pada penggunaan RAS untuk proses-proses yang
mengacu pada pengurangan limbah daripada proses-proses pengikatan limbah/padatan dan
pengkonversian.

Kata Kunci: Sistem Resirkulasi Akuakultur, Pengolahan Limbah, Produksi Limbah, Pembuangan Air.

1. PENDAHULUAN
Dampak berbahaya yang berhubungan dengan kegiatan akuakultur (terutama pada industri
akuakultur) merupakan satu hal yang perlu diketahui untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
(Sapkota et al., 2008; Subasinghe et al., 2009). Seringkali dampak berbahaya dari kegiatan akuakultur
ini sangat erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan, seperti: 1) perusakan situs alam seperti lahan
basah dan bakau, 2) penyebaran penyakit, 3) penurunan keanekaragaman hayati populasi akibat
hilangnya spesies ikan asal, dan 4) pencemaran air tanah dan air permukaan akibat limbah yang dibuang
(Boyd, 2003).
Sistem resirkulasi akuakultur (RAS) dimana air disirkulasikan antara proses budidaya dan proses
pengolahan limbah, merupakan sebuah jawaban untuk beberapa masalah yang dikemukakan di atas
karena sistem ini dapat memelihara ikan pada lingkungan yang relatif terisolasi (terpisah dari lingkungan
sekitar). Namun, keuntungan ini tentunya mengeluarkan biaya karena banyak tantangan yang dihadapi
saat budidaya ikan dalam sistem dengan muatan yang besar. Pengontrolan kualitas air dan pengelolaan
limbah adalah hal yang paling penting diperhatikan dari tantangan tersebut.
Desain dan manajemen RAS yang cermat dan teliti merupakan dasar keberhasilan produksi dan
pengolahan limbah. Pengoperasian RAS dengan pengontrolan kondisi budidaya yang baik berkontribusi
secara signifikan pada efisiensi pemanfaatan pakan sehingga limbah yang dihasilkan akan sangat
rendah. Selanjutnya, penggabungan prosedur pengolahan air yang tepat dalam rangkaian resirkulasi
atau pada aliran limbah dapat berkontribusi lebih untuk mengurangi produksi limbah secara siginifikan.
Pada sebagian besar RAS indoor, limbah yang dihasilkan oleh ikan akan dikumpulkan dan dibuang dalam
bentuk aliran limbah terkonsentrasi yang dapat diolah terlebih dahulu sebelum pembuangan akhir.
Pengolahan limbah tersebut umumnya melibatkan proses penebalan/pemadatan lumpur dan proses
stabilisasi aliran yang dirancang agar memungkinkan bakteri menguraikan limbah padatan tersebut.
RAS outdoor, sebagian besar terletak pada iklim yang hangat, sering dioperasikan melalui pengurangan
sebagian limbah dalam rangkaian resirkulasi. Pada bagian sistem RAS outdoor yang terakhir, organisme
fototrofik seperti tumbuhan air dan ganggang sering terlibat dalam pengolahan air sistem resirkulasi
tersebut.
Penelitian ini merangkum beberapa masalah yang berkaitan dengan manajemen limbah pada
RAS. Penelitian ini menyajikan estimasi jumlah limbah yang dihasilkan dan metode untuk mengurangi
limbah dalam rangkaian dan aliran resirkulasi pada RAS air tawar dan air laut. Penelitian ini lebih
memfokuskan pada penggunaan RAS untuk proses-proses yang mengacu pada pengurangan limbah
daripada proses-proses pengikatan limbah/padatan dan pengkonversian.

2. PERATURAN PEMBUANGAN LIMBAH


Peraturan terkait limbah dapat berbeda antarnegara. Di beberapa wilayah hukum terdapat
standar/baku mutu limbah yang secara tidak langsung dapat membatasi jumlah pakan dan air yang
digunakan oleh pelaku usaha akuakultur perseorangan. Namun, kecenderungan pada banyak negara
adalah bahwa dibandingkan dengan mengadakan standar/baku mutu limbah, akan lebih baik jika
diberikan sebuah pedoman tentang manajemen praktis yang baik atau kode etik yang disusun bersama-
sama dengan memastikan kepatuhan terhadap pedoman tersebut (misalnya, Badan Perlindungan
Lingkungan, 2004; Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia/FAO, 1995). Rasional dari pendekatan ini
adalah didasarkan pada kenyataan bahwa pedoman umum untuk standar/baku mutu limbah sulit untuk
dirumuskan karena perbedaan hidro-geografik, iklim, dan kondisi lingkungan pada negara atau daerah
tertentu. Salah satu pendekatan umum adalah perkiraan siklus hidup (life cycle assessment, LCA).
Metode ini telah menarik banyak perhatian dalam beberapa tahun terakhir dan menjadi instrumen
yang diakui dalam menilai dampak lingkungan pertanian serta proses produksi lainnya. Baru baru ini
juga telah diterapkan untuk mengevaluasi dampak lingkungan pada beberapa sistem akuakultur,
termasuk RAS (Martins et al., 2010). Tidak hanya badan legislatif tetapi juga organisasi produsen
menganjurkan kebijakan terkait aturan pemantauan produksi. Kualitas produk, transparansi produksi,
dan produk baru dengan nilai tambah “ramah lingkungan” merupakan faktor utama dalam hal promosi
kebijakan tersebut (Boyd, 2003).
Barkaitan dengan RAS, diharapkan bahwa penyelenggara dari sistem pengelolaan ini mampu
memantau dan melaporkan aturan-aturannya. Faktor-faktor yang berkontribusi dalam hal transparansi
dalam pelaporan proses dan sistem produksi ini antara lain: banyaknya ikan yang dipelihara, metode
produksi sepanjang tahun, penggunakan sistem monitoring, dan kemungkinan adanya pengolahan
limbah terkonsentrasi.

3. PRODUKSI LIMBAH
3.1 Konversi Pakan pada RAS
Meskipun besar kemungkinan adanya perbedaan pada parameter operasional produksi, dapat
disimpulkan bahwa pemanfaatan pakan oleh ikan yang dibudidayakan pada RAS sering terlihat lebih
baik dibandingkan dengan ikan yang dipelihara dengan sistem budidaya lainnya (Tabel 1). Produksi
limbah pada RAS, seperti halnya pada sistem akuakultur yang lain, tergantung pada beberapa faktor
penting, diantaranya: (a) jenis dan umur ikan, (b) kompisisi pakan, (c) metode pemberian pakan, dan
(d) kondisi umum kualitas air yang ada pada sistem.
Tabel 1. Rasio konversi pakan (FCR) pada sistem budidaya yang berbeda
Spesies Flow RAS Kolam Jaring Referensi
Through Tanah
Rainbow trout (Oncorhynchus 0.8-1.2 0.8-1.1 - 1.1-1.3 Bureau et al (2003), Roque
mykiss) d’Orbcastel et al (2009a,b,c)

Kakap putih - 0.8-1.1 1.5-2.2 1.6-2.0 FAO (2012), Peet (2006),


(Lates calcarifer) Schipp et al (2007)

Tilapia - 1.0-2.2 0.8-3.5 >1.5 El-Sayed (2006),


(Oreochromis spp.) Leenhouwers et al. (2007)
Little et al (2008). Martins et
al (2009), Perschbacher
(2007), Shnel et al (2002)

Gilthead seabream - 0.9-1.9 - 1.4-2.2 Cromey dan White (2004),


(Sparus aurata) Zohar et al., (2008)

Cobia - 1.0 1.5 1.5-2.0 Kaiser dan Holt (2005)


(Rachycentron canadum)

Pada RAS, efisiensi pemanfaatan paka yang tinggi dapat dicapai dengan mengendalikan
beberapa faktor. Misalnya, pemberian pakan pada RAS (apakah secara manual atau otomatis)
sebaiknya dimonitor. Oleh karena itu, kesalahan dari banyaknya pakan yang terbuang akan dengan
mudah diidentifikasi sehingga meminimalkan pakan yang berlebih overfeeding) dan akumulasi masalah
yang dapat ditimbulkan oleh pakan yang tidak termakan dalam sistem tersebut. Selain itu, pemisahan
ikan berdasarkan ukuran yang seragam akan berkontribusi pada efisiensi pemanfaatan pakan pada RAS
(Karipoglou dan Nathanalides, 2009). Faktor lain yang berkontribusi dalam hal pengurangan limbah
pakan pada RAS adalah pengontrolan kualitas air. Sistem pengolahan pada RAS dirancang untuk
mengontrol suhu air dan parameter kritis kualitas air berada dalam kisaran yang dapat diterima
sehingga terhindar dari kondisi kualitas air buruk yang selanjutnya akan berkurangnya efisiensi
pemanfaatan pakan oleh ikan. Akhirnya, dalam sistem budidaya yang relatif terkontrol dengan baik,
respons cepat dalam mengatur kondisi kualitas air dapat juga berperan dalam peningkatan efisiensi
pemanfaatan pakan oleh ikan (Martins et al., 2010).

3.2 Pengukuran Produksi Limbah


Produksi limbah dalam sistem akuakultur diukur baik dengan pendekatan nutrisi melalui
penentuan kecernaan pakan oleh ikan maupun dianalisis langsung dengan mengukur produk ekskresi
dalam media budidaya (Cho et al., 1991). Nilai yang dihitung sering berasal dari uji coba pakan dengan
kondisi percobaan yang terkontrol dengan baik tetapi tidak selalu menunjukkan tingkat kecernaan
pakan oleh ikan pada kondisi budidaya yang sebenarnya. Selain itu, dikarenakan adanya kerusakan
parsial limbah yang dapat berubah bentuk menjadi gas di dalam sistem budidaya, maka tidak semua
limbah ikan yang dihasilkan dibuang melalui aliran air. Meskipun memiliki kekurangan, pendekatan
nutrisi sering digunakan sebagai metode alternatif dimana limbah diukur secara langsung dalam sistem
budidaya. Pengukuran produksi limbah dengan metode ini, bahkan dalam sistem percobaan yang
sederhana sekalipun, merupakan metode yang rumit karena kesulitan menyesuaikan antara teknik
pengambilan sampel (sampling) dengan estimasi akurat fluktuasi produksi limbah ikan. Selanjutnya,
faktor-faktor seperti teknik pembersihan pada sistem budidaya, frekuensi dan durasi pergantian air
pada sistem budidaya, serta kesalahan analisis produksi limbah (sebagai contoh penyiapan sampel,
ketidakakuratan analisis) akan berkontribusi pada ketidaktepatan pengukuran dengan metode tersebut
(Roque d’Orbcastel et al., 2008).
Pemanfaatan bahan organik, nitrogen, dan fosfor oleh ikan merupakan indikator utama untuk
menentukan efisiensi penggunaan pakan. Seringkali paramater ini juga digunakan untuk mengukur
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh limbah akuakultur. Selain limbah yang terkonsentrasi tinggi,
kandungan yang berpotensi merusak lingkungan pada limbah akuakultur lainnya, seperti bahan
anorganik, logam berat, obat-obatan dan bibit penyakit, dipantau pada kondisi minimal. Singkatnya,
produksi bahan organik, nitrogen, dan fosfor secara langsung berkaitan dengan rasio konversi pakan
dan metode pemberian pakan yang berbeda, suhu, spesies dan ukuran ikan serta sistem budidaya
(Tabel 2). Metode pengukuran secara langsung, sebagian nitrogen dan fosfor dalam limbah padat dan
cair telah diteliti pada banyak spesies ikan konsumsi (seperti Azevedo et al., 2011; Lupatsch dan Kissil,
1998; Piedrahita, 2003; Roque d’Orbcastel et al., 2008). Meskipun memiliki variabilitas yang besar
antara spesies ikan dan sistem budidaya, dapa disimpulkan dari penelitian-penelitian tersebut bahwa –
secara umum- sebagian besar limbah nitrogen (60-90%) ditentukan dalam bentuk terlarut (terutama
amonia), sedangkan proporsi fosfor yang lebih besar diekskresikan sebagai limbah feses (25-85%)
Tabel 2. Produksi limbah beberapa spesies ikan yang ditentukan melalui pendekatan nutrisi
Total
Total N Total P
Spesies Ikan Padatan Referensi
(kg per ton ikan)
Rainbow trout 148-338 41-71 7.5-15.2 Azevedo et al (20110,
(Oncorhyncus Bureau et al (2003), Roque
mykiss) d’Orbcastel et al (2008)

Brown trouta 438 (589) 49.2 (45.8) 6.2 (10.5) Cho et al. (1994)
(Salmo trutta)
Lake Trout 564 (562) 65.3 (59) 6.8 (6.8) Cho et al. (1994)
(Salvelinus
namaycush)
Kakap putih 29.0-302.3 21.8-101.7 4.2-15.4 Bermudes et al (2010)
(Lates calcarifer)
Gilthead 447.5 102.9 17.8 Lupatsch dan Kissil (1998)
seabream (Sparus
aurata)

Tilapia 520-650 72.4 23-29 Beveridge (1984)


(Oreochromis
spp.)

Tilapia (O. 192-268.8 48-72.7 0.6-8.9 Beveridge da Philles (1993)


niloticus)

Salmon atlantik 224 32 1.1 Schneider et al (2003),


(Salmo solar) Reid (2007)
a
angka dalam kurung ‘()’ menunjukkan nilai yang ditentukan dengan pengukuran secara
langsung limbah dalam media budidaya.

Pada sistem budidaya intensif seperti sistem flow-through dan sistem jaring, produksi limbah
yang didasarkan pada pendekatan nutrisi (kecernaan) dapat memberikan estimasi yang cukup akurat
untuk limbah yang dibuang karena sebagian besar limbah ikan pada sistem ini dibuang melalui
pergantian air. Namun, dalam RAS dengan level resirkulasi yang tinggi, limbah yang dicerna secara
pasif ataupun aktif (Chen et al., 1993; Van Rijn et al., 2006) dan limbah produksi dari sistem tersebut
lebih rendah dibandingkan dengan perkiraan pendekatan nutrisi. Dikarenakan perbedaan susunan dan
manajemen RAS, nilai kehilangan nitrogen dan karbon dalam sistem juga dapat berbeda (Chen et al.,
1997; Piedrahita, 2003). Pengukuran produksi limbah yang benar pada sistem tersebut didapatkan
dengan melakukan pengukuran secara langsung dari aliran limbah.

4. PENGOLAHAN LIMBAH
4.1 Penghilangan Limbah dalam RAS
Pada kebanyakan RAS dalam ruangan (indoor), penghilangan amonia dan pengikatan padatan
merupakan proses pengolahan utama dalam rangkaian sistem resirkulasi. Meskipun dimaksudkan
untuk mengumpulkan atau mengkonversi limbah ikan, proses pengolahan ini dapat menyebabkan
penghilangan limbah yang cukup banyak melalui produksi gas karbon dan senyawa nitrogen oleh proses
pembusukan biologis. Tingkat pembusukan ini terutama dikarenakan mikroorganisme heterotrofik
yang sangat tergantung pada susunan sistem yang spesifik. Secara khusus, faktor utama yang mendasari
aktivitas bakteri heterotrofik antara lain, waktu retensi air dan padatan pada sistem, serta metode yang
digunakan untuk pengolahan air di dalam rangkaian resirkulasi. Akumulasi lumpur sebanyak 14% dari
penambahan pakan, jauh lebih rendah dari produksi lumpur yang dihitung (38-46%) pada sistem
resirkulasi yang tidak dilengkapi dengan langkah pengolahan khusus untuk menghancurkan lumpur
(Chen et al., 1993, 1997). Selain itu, Suzuki et al. (2003) menemukan nilai produksi lumpur yang sama
rendahnya yaitu 18% dari penambahan pakan dalam RAS yang tidak dilengkapi dengan
pengolahan/pembuangan lumpur. Tidak hanya karbon organik tetapi juga nitrogen akan hilang dari
RAS. Hilangnya nitrogen terutama dikarenakan proses denitrifikasi pada zona tidak beroksigen dalam
sistem dan dapat menghilangkan sebesar 21% nitrogen pada beberapa RAS (ditinjau oleh Van Rijn et al,
2006).
Proses khusus yang utama untuk menghilangkan limbah dalam rangkaian resirkulasi terdapat
pada RAS air laut dan air tawar di luar ruangan (outdoor). Dalam proses ini, nutrisi dari media budidaya
dihilangkan dengan mengkombinasikan antara proses asimilasi dan disimilatori, yang dimediasi oleh
organisme hetetrofik dan fototrofik. Pada sistem polikultur yang modern, produksi ikan konsumsi
(seperti ikan, udang) diintegrasikan dengan spesies ekstraktif tersebut. Sebagian besar dari sistem ini
disebut sebagai sistem akuakultur multi-trofik terpadu (IMTA) dimana dihasilkan spesies ekstraktif yang
terdiri dari organisme fototrofik (tanaman, beberapa mikroalga), organisme penyaring, detritivor, dan
bakteri heterotrof. Contoh beberapa sistem IMTA yaitu sistem terintegrasi air laut (Neori et al., 2004),
kolam alga dengan kepadatan tinggi (Maxeta et al., 2006; Pagand et al., 2000), sistem akuaponik
(Racocy, 2007), sistem akuakultur terpartisi (Brune et al., 2003), kolam dengan suspensi aktif
berdasarkan teknologi bioflok (Avnimelech, 2006; Cram et al., 2007), sistem perifiton (Schneider et al.,
2005; Verdegem et al., 2005), dan lahan basah terkonstruksi (Lin et al., 2005; Tilley et al., 2002; Zachritz
et al., 2008; Zhong et al., 2011). Pada berbagai sistem IMTA tersebut, produksi spesies hewan air yang
utama dikombinasikan dengan pertumbuhan tanaman yang bernilai ekonomis tinggi seperti tumbuhan
air, ikan pengurai dan detritivor (misalnya kerang dan tiram). Jika komponen ini diadakan, maka solusi
terbaik untuk meningkatkan produktivitas sistem akan dapat diperoleh seiring berkurangnya
pengeluaran limbah (Nobre et al., 2010). Bergantung pada desain dan operasi tertentu, sistem IMTA
dioperasikan tanpa pembuangan limbah (misalnya sistem budidaya terpartisi, kolam dengan suspensi
aktif), dengan pembuangan padatan (misalnya sistem akuaponik, kolam alga berkepadatan tinggi), atau
–yang umum pada sistem air laut- dengan padatan dan pembuangan sebagian air. Sebagian besar
sistem tersebut di atas (dimana pengolahan yang dilakukan dalam rangkaian resirkulasi dan sebagian
bergantung pada organisme fototrofik) merupakan sistem yang dioperasikan di luar ruangan (outdoor)
dengan area pengolahan yang relatif besar dengan kondisi iklim yang menguntungkan. Oleh karena itu,
sistem ini merupakan sistem yang bergantung pada lokasi dibandingkan dengan RAS yang tersusun
‘rapat dan padat’ di dalam ruangan (indoor).
Beberapa RAS indoor, dimana amonia diubah menjadi nitrit dan nitrit diubah menjadi nitrat,
memiliki reaktor khusus untuk menumbuhkan bakteri pengurai nitrat menjadi gas nitrogen dalam
kondisi tidak ada oksigen (anoksik). Sebagian besar reaktor ini dilengkapi dengan sumber karbon
eksternal sebagai bahan bakar denitrifikasi heterotrofik. Terdapat juga rancangan lainnya yang
memungkinkan terjadinya denitrifikasi dengan menggunakan sumber karbon internal yang dihasilkan
di dalam RAS (Van Rijn et al., 2006).
Proses fermentasi oleh bakteri memegang peranan penting dalam menyediakan senyawa
karbon untuk denitrifikasi dimana sebagian besar karbon organik akhirnya teroksidasi menjadi CO2.
Oleh karena itu, tidak hanya nitrogen tetapi juga karbon organik yang dihilangkan melalui kombinasi
pengolahan ini (Eding et al., 2003; Van Rijn et al., 1995). Eding et al. (2009) menghitung bahwa
dengan menggunakan penghancuran limbah dan penghilangan nitrat dalam aliran resirkulasi, maka
pembuangan limbah nitrogen dan padatan organik dapat direduksi masing-masing sebesar 81% dan
60%. Sebuah metode pengolahan alternatif yang didasarkan pada penghancuran lumpur dan
penghilangan bakteri nitrogen dalam rangkaian resirkulasi telah dikemukakan oleh Tal et al. (2009).
Dalam sistem resirkulasi air laut tersebut, penghancuran lumpur dalam wadah khusus diproses
dalam kondisi nilai potensial reduksi dan oksidasi yang rendah untuk menghasilkan sulfida yang
kemudian digunakan untuk energi/bahan bakar denitrifikasi autrofik dalam reaktor tambahan. RAS
yang menggunakan gabungan penghancur lumpur dan proses denitrifikasi dapat dioperasikan dengan
sedikit atau tidak ada pembuangan limbah karena sebagian besar limbah dikonversi menjadi gas.
Komponen tersebut dioperasikan dengan volume perlakuan yang relatif kecil dibandingkan dengan RAS
outdoor (Tabel 3). Pada RAS outdoor, sebagian besar pelepasan fosfor terjadi karena adanya proses
asimilasi oleh organisme ekstraktif. Pada RAS indoor, fosfor tidak hilang dalam sistem tetapi dibuang
melalui aliran pembuangan. Namun, dalam sistem kombinasi penghancur lumpur dan denitrifikasi pada
rangkaian resirkulasi, sebagian besar ortofosfat terlarut dihentikan produksinya selama perlakuan
berlangsung.
Tabel 3. Beberapa karakteristik RAS indoor dan outdoor dengan komponen perlakuan dalam rangkaian resirkulasi
Biomassa Volume dan Luas Area Pengolahan
Jenis
Spesies Budidaya Maksimum Referensi
Perlakuan Total Per kg Biomassa
(kg)
RAS Outdoor Kolam dengan 320 14.0 m3 26.0 m2 0.044 m3 0.081 m2 Metaxa et al.
Seabass alga denstitas (2009)
(Dicentrachus tinggi
labrax)

Gilthead Kolam dengan 520 12.0 m3 43.7 m2 0.023 m3 0.084 m2 Schuenhoff


seabream (Sparus alga denstitas et al. (2003)
aurata) tinggi

Tilapia Lahan basah 1230 50.0 m3 55.0 m2 0.041 m3 0.045 m2 Zachritz et al.
(Oreochromis (2008)
mossambicus x O.
aureus)

Udang putih Lahan basah 924 21.0 m3 32.0 m2 0.023 m3 0.035 m2 Lin et al.
(Litopenaeus (2005)
vannamei)

Tilapia (O. Akuaponik 2184 80.0 m3 232.0 m2 0.037 m3 0.106 m2 Rakocy et al.
niloticus) (2004)

RAS Indoor
Tilapia (O. Denitrifikasi/ 4800 40.0 m3 23.0 m2 0.008 m3 0.005 m2 Shnel et al.
niloticus x O. penghancuran (2002)
aureus) lumpur

Gilthead Denitrifikasi/ 106 1.55 m3 2.75 m2 0.015 m3 0.026 m2 Gelfand et al.


seabream (Sparus penghancuran (2003)
aurata) lumpur

Gilthead Denitrifikasi/ 1752 14.4 m3 11.1 m2 0.008 m3 0.006 m2 Tal et al.


seabream (Sparus annamox/ (2009)
aurata) penghancuran
lumpur
a
sistem perlakuan dilengkapi perangkat penghilangan padatan dan nitrifikasi
b
sistem perlakuan dilengkapi perangkat penghilangan padatan
c
sistem perlakuan dilengkapi perangkat nitrifikasi

Saat ini, pengolahan air tambahan (dalam bentuk desinfeksi melalui ozonisasi dan paparan sinar
UV) pada media budidaya dan air limbah banyak digunakan pada pengoperasian RAS indoor (Goncalves
dan Gagnon, 2011; Summerfelt et al, 2009). Selebihnya, metode adsorpsi untuk menghilangkan
senyawa obat-obatan juga digunakan dalam sistem tersebut (Aitcheson et al., 2000). Dalam kondisi ini,
sistem indoor juga berpotensi untuk dikombinasikan dengan teknologi pengolahan air yang
dikembangkan akhir-akhir ini seperti metode elektrokimi dan bioelektrokimia untuk menghilangkan
bahan organik dan anorganik (Mook et al., 2012; Virdis et al., 2008).

4.2 Pengolahan Aliran Limbah


4.2.1 Penebalan Padatan/Lumpur (Sludge)
Umumnya, limbah RASS ditandai dengan kandungan padatan yang rendah (<2%) dan
volumenya berfluktuasi sebagai akibat adanya metode pemberian pakan yang diatur dan teknik
pembersihan dan pemeliharaan sistem. Dikarenakan pembuangan langsung limbah ini berbiaya mahal,
maka penebalan padatan dan stabilisasi aliran limbah merupakan metode yang sering diperlukan
sebelum proses pembuangan akhir. Penebalan lumpur pada RAS dapat dilakukan pada wadah atau
kolam pengendapan khusus (Bergheim et al., 1993), melalui penangkapan/pengikatan padatan dengan
kantong geotekstil (Schwartz et al., 2004, 20050, atau, baru-baru ini, dengan penyaringan (Timmons
dan Ebeling, 2007), serta melalui reaktor membran (Sharrer et al., 2007). Berbagai metode tersebut
sering dikombinasikan penggunaannya dengan proses koagulasi/flokulasi untuk menyempurnakan
penghilangan padatan terlarut serta fosfor dari aliran air RAS (Danaher et al., 2011b; Ebeling et al.,
2003, 2006; Sharrer et al., 2009). Pengkombinasian dengan metode penghilangan/penyusutan air
(dewatering), berbagai metode yang digunakan untuk penebalan lumpur dapat menghasilkan lumpur
dengan kandungan padatan antara 5% dan 22% (Sharrer et al., 2009).

4.2.2 Penghancuran Lumpur (Sludge Disgestion)


Selain metode penebalan lumpur, metode untuk meningkatkan degradasi biologis lumpur juga
digunakan dalam pengolahan limbah RAS. Kolam stabilisasi limbah seperti danau aerob dan anaerob
dan penghancur lumpur dapat digunakan untuk tujuan degradasi biologis ini (Chen et al., 1997). Pada
berbagai kolam/reaktor yang digunakan untuk penghancuran lumpur, waktu tinggal lumpur (umur
lumpur) merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat degradasi lumpur. Terlepas dari lamanya
waktu lumpur terekspos pembusukan mikroba, waktu tinggal juga mempengaruhi jenis akseptor
elektron yang terlibat dalam degradasi lumpur. Pada saat retensi relatif rendah (misalnya wadah
pengendapan) oksigen akan berfungsi sebagai akseptor elektron utama sedangkan pada waktu retensi
yang lebih tinggi (misalnya danau anaerob), dikarenakan oksigen menipis, akseptor elektron lain seperti
nitrat, sulfat (dalam sistem air laut) dan karbon dioksida akan dilepaskan. Pembusukan lumpur yang
cepat dalam kondisi terdapat oksigen juga bersamaan dengan cepatnya pertumbuhan biomassa
heterotrofik dari mikroorganisme yang berperan dalam pembususkan lumpur. Konstanta degradasi
aerob dari lumpur ‘segar’ ditentukan dalam kisaran 0.07 hingga 0.04 per hari (Boyd, 1973; Chen et al.,
1997). Pada area/wadah pengendapan dioperasikan pada waktu retensi yang relatif panjang, kerusakan
lumpur yang cepat bersamaan dengan produksi gas dapat menyebabkan komponen lumpur
mengendap dengan tidak sempurna (Timmons dan Ebeling, 2007). Pada reaktor yang dioperasikan
dengan waktu retensi yang lebih lama dimana akseptor elektron dilepaskan (selain oksigen),
pembusukan lumpur berada pada tingkat yang lebih rendah dan jauh dari kondisi aerob serta
menghasilkan biomassa bakteri eutrofik yang sedikit. Konstanta pembusukan lumpur berkisar antara
0.024-0.006 per hari dalam reaktor yang dioperasikan dengan lumpur yang sudah lama dan nitrat
sebagai akseptor elektron utama (Van Rijn et al., 1995). Meskipun pembusukan terlihat lambat, jenis
reaktor ini, dengan ukuran yang baik/sesuai, dapat dioperasikan untuk jangka waktu yang lama tanpa
membuang lumpur dan dapat digunakan pada tahap pengolahan dalam rangkaian perlakuan. Degradasi
lumpur sebesar 30-40% terjadi pada reaktor denitrifikasi dengan limbah RAS air laut dan dioperasikan
pada waktu retensi yang lebih pendek yaitu 11 hari (Klas et al., 2006).
Reaktor sekuensing skala laboratorium dioperasikan di bawah kondisi aerob dan anoksik untuk
menghilangkan bahan organik dan nitrogen dari konsentrat lumpur pada fasilitas pemeliharaan udang
yang dilakukan oleh Boopathy et al. (2007) dan Fontenot et al. (2007). Mereka menunjukkan bahwa
pada waktu retensi hidrolik 8 hari, reduksi bahan organik berkurang sebesar 74% dn pengurangan total
nitrogen dapat dicapai dengan skema perlakuan ini. Anaerob sempurna, penghancuran metanogen dari
lumpur akuakultur telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (ditinjau dari Mirzoyan et al., 2010).
Meskipun kondisi operasional sangat berbeda di anatra beberapa penelitian yang dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa degradasi dan stabilisasi yang cukup besar dari lumpur akuakultur dapat dicapai
melalui penghancuran metanogenik. Masalah-masalah seperti penghambatan aktivitas metanogenik
oleh konsentrasi amonia yang tidak terionisasi dikarenakan rendahnya rasio C/N dari lumpur tersebut,
bobot kering kandungan lumpur optimal, dan waktu retensi hidrolik optimal dalam reaktor
metanogenik, masih memerlukan penelitian lebih lanjut sebelum menggunakan sistem tersebut dalam
skala yang utuh.

4.2.3 Transformasi Nutrien Anorganik


Konsentrasi nutrien anorganik dalam wadah pengendapan dan penghancuran ditentukan oleh
keseimbangan antara proses kimia, fisika, dan biologi. Waktu tinggal lumpur memiliki pengaruh besar
dalam proses ini. Berkaitan dengan nitrogen, konsentrasi amonia sering ditemukan meningkat karena
amonifikasi dari bahan organik yang mengandung nitrogen (Conroy dan Couturier, 2010; Stewart et al.,
2006). Berbagai proses dapat menghindari akumulasi amonia tersebut. Asimilasi amonia dalam reaktor
dioperasikan pada kondisi potensial redoks yang tinggi karena biomassa bakteri selama nitrifikasi
amonia relatif meningkat tajam dan dapat mengganggu proses aerob dalam reaktor tersebut (Cytryn
et al., 2005; Klas et al., 2006). Tidak hanya dalam kondisi aerob tetapi juga pada kondisi anaerob,
penghilangan amonia dapat terjadi. Dalam kondisi seperti itu, nitrat yang selalu terukur dalam aliran
limbah RAS, tidak hanya akan terdenitrifikasi menjadi unsur nitrogen pada waktu retensi hidrolik yang
sesuai, tetapi juga dapat secara tidak langsung (melalui pengurangannya menjadi nitrit), berfungsi
sebagai akseptor elektron untuk bakteri anammox dimana amonia dan nitrit dikonversi menjadi gas
nitrogen (Lahav et al., 2009; Tal et al., 2003).
Selain melepaskan amonia, hidrolisis lumpur dalam reaktor penghancur dan reaktor
penampung juga akan memicu pelepasan ortofosfat. Dalam penelitian Conroy dan Couturier (2010)
tentang hidrolisis lumpur akuakultur dalam kondisi statis, menunjukkan bahwa ortofosfat terlepas dari
lumpur sangat erat kaitannya denan kelarutan kalsium ortofosfat pada pH rendah. Para penulis yang
sama tidak mengamati pelepasan ortofosfat pada pH di atas 7.0. Penurunan nilai ortofosfat dalam
kolom air reaktor yang digunakan untuk menghancurkan lumpur akuakultur telah diamati dalam banyak
studi (Barak et al., 2003; Barak dan Van Rijn, 2000a; Klas et al., 2006; Neori et al., 2007; Sharrer et al.,
2007; Tal et al., 2009). Selain pengendapan kimia terutama dengan ion kalsium dan besi, proses yang
mungkin penting selama penghancuran lumpur akuakultur adalah proses biologi yang memanfaatkan
fosfat. Dalam wadah penghancur yang kaya akan nitrat pada RAS air tawar dan air laut ditemukan
bahwa organisme denitrifikasi mengakumulasi ortofosfat sebagai polifosfat intraseluler sebagai syarat
proses metabolik (Barak et al., 2003; Barak dan Van Rijn, 2000a). Dalam RAS ini, lumpur dari area
denitrifikasi intensif ditemukan mengandung hingga 19% fosfor bobot kering sementara denitrifikasi
yang terisolasi dari sistem tersebut ditemukan mengandung 9% fosfor dalam bentuk bobot sel kering
(Barak dan Van Rijn, 2000b).
Pelepasan unsur sulfur anorganik selama penebalan/penghancuran lumpur dapat
menimbulkan potensi masalah yang berkaitan dengan limbah buangan. Hal ini terutama berlaku untuk
RAS air laut dimana sulfida (dalam kondisi anaerob) diproduksi sebagai hasil mineralisasi bahan organik
dan penurunan kadar sulfat (Cytryn et al., 2003; Scwermer et al., 2010; Sher et al., 2008). Pada sistem
air laut tersebut ditemukan bahwa keberadaan nitrat selama penghancuran lumpur dapat mencegah
pembentukan sulfida selain oleh bakteri pengurai sulfida (Schwermer et al., 2010) serta dengan oksidasi
sulfat oleh organisme denitirfikasi aututrof (Sher et al., 2008; Tal et al., 2009).
Bergantung pada akumulasi bahan organik dan nutrien terlarut dalam reaktor pengumpulan
atau penghancuran lumpur, perlakuan lebih lanjut pada cairan yang dihasilkan pada reaktor tersebut
harus dilakukan sebelum akhirnya dibuang. Brazil dan Summerfelt (2006) menguji pengaruh perlakuan
aerob dari luapan cairan pada wadah pengumpulan lumpur akuakultur. Reaktor aerob yang
dioperasikan pada lama waktu retensi hidrolik hingga 6 hari, menunjukkan penghilangan bahan organik
dan total amonia nitrogen sebesar 87% dan penghilangan ortofosfat sebesar 65%. Selain itu, sistem
perlakuan outdoor, seperti yang digunakan dalam rangkaian resirkulasi (misalnya lahan basah, kolam
dengan alga kepadatan tinggi) dapat juga digunakan untuk mengolah limbah cair sebelum pembuangan
akhir.

5. PEMBUANGAN LIMBAH
Ciri dan jumlah limbah yang dibuang dari RAS sangat tergantung pada fasilitas perlakuan yang
digunakan. Banyak alternatif yang tersedia untuk pengolahan limbah RAS air tawar, tetapi pada RAS air
laut, pengolahan limbahnya terbatas pada metode tertentu. Limbah cair dan padat dari RAS air tawar
dapat diolah pada fasilitas terpusat seperti pengolahan limbah milik umum (POWT) yang digunakan
untuk mengolah limbah ternak lainnya serta limbah domestik dan industri. Jika ketersediaan lahan dan
biaya terbatas, maka pengolahan pada fasilitas terpusat tersebut dapat dilakukan dengan kolam
stabilisasi dan lahan basah. Alternatif lainnya, pengolahan limbah RAS dapat juga dilakukan dengan
menggunakan fasilitas pengolahan limbah cair domestik dan industri yang memiliki tahapan primer,
sekunder, dan tersier. Namun, pengolahan limbah akuakultur dalam sistem ini terkesan boros karena
konsentrasi bahan toksik dan bahan-bahan lain yang membahayakan kesehatan dalam limbah
akuakultur sangat rendah dibandingkan limbah domestik dan industri. Oleh karena itu, penggunaan
limbah akuakultur sebagai pupuk dapat secara langsung diaplikasikan (Bergheim et al., 1993; Yeo et al.,
2004) atau digunakan sebagai bahan produksi kompos (Adler dan Sikora, 2004; Danaher et al., 2011a)
dapat menjadi alternatif yang berkelanjutan. Produksi kompos mungkin memerlukan penyesuaian rasio
C/N dan penurunan kadar air dengan penambahan bahan karbon pemadat sehingga dekomposisi aerob
menjadi optimal (Adler dan Sikora, 2004). Sama halnya dengan lumpur, fraksi cair dari limbah RAS dapat
digunakan untuk irigasi tanaman pertanian. Penggunaan limbah padat dan cair untuk tujuan pupuk
sangat tergantung pada lokasi. Tidak tepatnya aplikasi limbah RAS dapat menjadi masalah (Yeo et al.,
2004).
Kebanyakan RAS air laut terletak berdekatan dengan laut, pembuangan limbah langsung ke laut
masih merupakan cara umum. Sementara, limbah RAS air laut yang diolah sebelum dibuang akan
memperkecil dampak lingkungan yang ditimbulkan. Pada kondisinya, jumlah limbah yang dihasilkan RAS
tidak jauh berbeda dengan sistem budidaya pada jaring. Pada daerah pesisir, lahan basah dibangun
dapat menjadi metode yang menjanjikan untuk mengolah limbah akuakultur (Gregory et al., 2010; Su
et al., 2011).

6. KESIMPULAN
Tekonologi pengolahan air telah mengalami perkembangan yang dinamis beberapa tahun
terakhir, dengan metode pengolahan baru yang muncul dengan cepat. Pada RAS, banyak pilihan dari
berbagai metode pengolahan yang berbeda. Pemilihan metode pengolahan yang tepat bergantung
pada analisis biaya/kemanfaatan dan lokasi sistem resirkulasi, kondisi iklim, ketersediaan air, peraturan
pembuangan dan pengolahan limbah, dan ketersediaan lahan. Faktor-faktor ini merupakan penentu
utama untuk jenis metode yang akan digunakan. Jika dikaitkan dengan nilai pasar spesies budidaya,
penggunaan metode yang canggih dapat dibenarkan. Namun untuk mencapai keuntungan yang
optimal, penggunaan metode pengolahan air yang relatif sederhana dengan penghematan air dan
intensitas produksi dapat menjadi pertimbangan.
Pada kebanyakan RAS outdoor, pengurangan/penghilangan limbah umumnya tercapai dalam
rangkaian resirkulasi dengan pendekatan integratif dimana karbon organik dan nutrien anorganik
diasimilasi oleh organisme fototrofik dan heterotrofik. Karena faktor pembatas lahan dan iklim, RAS
indoor biasanya dioperasikan sesuai dengan protokol pengolahan yang berbeda dimana fokusnya
terletak pada penangkapan/pengikatan padatan dan transformasi amonia menjadi nitrat.
Diharapkan dengan meningkatnya permintaan ikan serta kesadaran masyarakat terkait dengan
masalah penangkapan ikan berlebih (overfishing), penghematan air, polusi, kesejahteraan hewan dan
etika pertenakan, maka penelitian tentang RAS serta pengembangan komersil akan menghasilkan
pertumbuhan yang stabil dalam waktu dekat. Peningkatan efisiensi biaya dan metode pengolahan
limbah yang berkelanjutan akan menjadi aspek penting dan berperan pada penggunaan sistem yang
lebih luas.

DAFTAR PUSTAKA
Adler, P.R., Sikora, R.J., 2004. Composting fish manure from aquaculture operations. Biocycle 45, 62–
66.

Aitcheson, S.J., Arnet, J., Murray, K.R., Zhang, J., 2000. Removal of aquaculture therapeutants by carbon
adsorption: 1. Equilibrium adsorption behaviour of single components. Aquaculture 183, 269–284.

Avnimelech, Y., 2006. Biofilters: the need for a comprehensive approach. Aquacultural Engineering 34,
172–178.

Azevedo, P.A., Podemski, C.L., Hesslein, R.H., Kasian, S.E.M., Findlay, D.L., Bureau, D.P., 2011. Estimation
of waste outputs by a rainbow trout cage farm using a nutritional approach and monitoring of lake
water quality. Aquaculture 311, 175–186.

Barak, Y., van Rijn, J., 2000a. Biological phosphate removal in a prototype recirculating aquaculture
treatment system. Aquacultural Engineering 22, 121–136.

Barak, Y., van Rijn, J., 2000b. Atypical polyphosphate accumulation by the denitrifying bacterium
Paracoccus denitrificans. Applied and Environmental Microbiology 66, 1209–1212.

Barak, Y., Cytryn, E., Gelfand, I., Krom, M., van Rijn, J., 2003. Phosphate removal in a marine prototype
recirculating aquaculture system. Aquaculture 220, 313–326.
Benetti, D.D., Orhun, M.R., Sardenberg, B., O’Hanlon, B., Welch, A., Hoenig, R., Zink, I., Rivera, J.A.,
Denlinger, B., Bacoat, D., Palmer, K., Cavalin, F., 2008. Advances in hatchery and grow-out technology
of cobia Rachycentron canadum (Linnaeus). Aquaculture Research 39, 701–711.

Bergheim, A., Kristansen, R., Kelly, L., 1993. Treatment and utilization of sludge from land based farms
for salmon. In: Wang, J.K. (Ed.), Techniques for Modern Aquaculture. American Society for Agricultural
Engineers, St. Joseph, MI, pp. 486–495.

Bermudes, M., Glencross, B., Austen, K., Hawkins, W., 2010. The effects of temperature and size on the
growth, energy budget and waste outputs of barramundi (Lates calcarifer). Aquaculture 306, 160–166.

Beveridge, M.C.M., 2012. Cage and Pen fish Farming. Carrying Capacity Models and Environmental
Impact. FAO Fish. Tech. Pap. 255. Blue Ocean Institute, Barramundi, 131pp.
www.blueocean.org/seafood/seafood-view?spc id=161/.

Beveridge, M.C.M., Phillips, M.J., 1993. Environmental impact of tropical inland aquaculture. In: Pullin,
R.S.V., Rosenthal, H., Maclean, J.M. (Eds.), Environment and Aquaculture in Developing Countries.
ICLARM Conference Proceedings, vol. 31. , pp. 213–236, 359pp.

Boopathy, R., Bonvillain, C., Fontenot, Q., Kilgen, M., 2007. Biological treatment of low-salinity shrimp
aquaculture wastewater using sequencing batch reactor. International Biodeterioration and
Biodegradation 59, 16–19.

Boyd, C.E., 1973. The chemical oxygen demand of waters and biological materials from ponds.
Transactions of the American Fisheries Society 103, 606–611.

Boyd, C.E., 2003. Guidelines for aquaculture effluent management at the farm-level. Aquaculture 226,
101–112.

Brazil, B.L., Summerfelt, S.T., 2006. Aerobic treatment of gravity thickening tank supernatant.
Aquacultural Engineering 34, 92–102.

Brune, D.E., Schwartz, G., Eversole, A.G., Collier, J.A., Schwedler, T.E., 2003. Intensification of pond
aquaculture and high rate photosynthetic systems. Aquacultural Engineering 28, 65–86.
Bureau, D.P., Gunther, S.J., Cho, C.Y., 2003. Chemical composition and preliminary theoretical estimates
of waste outputs of rainbow trout reared in commercial cage culture operations in Ontario. North
American Journal of Aquaculture 65, 33–38.

Chen, S., Coffin, D.E., Malone, R.F., 1993. Production, characteristics, and modeling of aquacultural
sludge from a recirculating aquacultural system using a granular media biofilter. In: Wang, J.-K. (Ed.),
Techniques for Modern Aquaculture. ASAE, St. Joseph, Michigan, pp. 16–25.

Chen, S., Coffin, D., Malone, R., 1997. Sludge production and management for recirculating aquacultural
systems. Journal of the World Aquaculture Society 28, 303–315.

Cho, C.Y., Hynes, J.D., Wood, K.R., Yoshida, H.K., 1991. Quantitation of fish culture wastes by biological
(nutritional) and chemical (limnological) methods; the development of high-nutrient dense (HND) diets.
In: Cowey, C.B., Cho, C.Y. (Eds.), Nutritional Strategies and Aquaculture Waste. Proceedings, 1st
International Symposium on Nutritional Strategies in Management of Aquaculture Waste. University of
Guelph, Guelph, Ont., 1990, pp. 37–50.
Cho, C.Y., Hynes, J.D., Wood, K.R., Yoshida, H.K., 1994. Development of high-nutrientdense, low
pollution diets and prediction of aquaculture waste using biological approaches. Aquaculture 124, 293–
305.

Cohen, I., Neori, A., 1991. Ulva lactuca biofilters for marine fishpond effluents. I. Ammonia uptake
kinetics and nitrogen content. Botanica Marina 34, 475–482.

Conroy, J., Couturier, M., 2010. Dissolution of minerals during hydrolysis of fish waste solids.
Aquaculture 298, 220–225.

Crab, R., Avnimelech, Y., Defoirdt, T., Bossier, P., Verstraete, W., 2007. Nitrogen removal techniques in
aquaculture for a sustainable production. Aquaculture 270, 1–14.

Cromey, C.J., White, P., 2004. Potential farm management practices for the reduction of aquaculture
impact. In: The Meramed Project: Development of Monitoring Guidelines and Modeling Tools for
Environmental Effects from Mediterranean Aquaculture, meramed.akvaplan.com/.

Cytryn, E., Barak, Y., Gelfand, I., van Rijn, J., Mintz, D., 2003. Diversity of microbial communities
correlated to physiochemical parameters in a digestion basin of a zero-discharge mariculture system.
Environmental Microbiology 5, 55–63.

Cytryn, E., van Rijn, J., Schramm, A., Gieseke, A., de Beer, D., Mintz, D., 2005. Identification of bacterial
communities potentially responsible for oxic and anoxic sulfide oxidation in biofilters of a recirculating
mariculture system. Applied and Environmental Microbiology 71, 6134–6141.

Danaher, J.J., Shultz, R.C., Rakocy, J.E., 2011a. Evaluation of two textiles with or without polymer
addition for dewatering effluent from an intensive biofloc production system. Journal of the World
Aquaculture Society 42, 66–72.

Danaher, J.J., Rakocy, J.E., Shultz, R.C., Bailey, D.S., Pantanella, E., 2011b. Dewatering and composting
aquaculture waste as a growing medium in the nursery production of tomato plants. Acta Horticulturae
89, 223–230.

Ebeling, J.M., Welsh, C.F., Rishel, K.L., 2006. Performance evaluation of the Hydrotech belt filter using
coagulation/flocculation aids (alum/polymers) for the removal of suspended solids and phosphorus
from intensive recirculating aquaculture microscreen backwash effluent. Aquacultural Engineering 35,
61–77.

Ebeling, J.M., Sibrell, P.L., Ogden, S., Summerfelt, S.T., 2003. Evaluation of chemical coagulation–
flocculation aids for the removal of phosphorus from recirculating aquaculture effluent. Aquacultural
Engineering 29, 23–42.

Eding, E.H., Klapwijk, A., Verreth, J.A.J., 2003. Design and performance of an upflow sludge blanket
reactor in a zero discharge recirculating system. Abstracts and Extended Communications of
Contributions Presented at the International Conference Aquaculture Europe “Beyond Monoculture”,
Trondheim. Norway. EAS Spec. Publ. No. 33, pp. 172–174.

Eding, E., Verdegem, M., Martins, C., Schlaman, G., Heinsbroek, L., Laarhoven, B., Ende, S., Verreth, J.,
Aartsen, F., Bierbooms, V., 2009. Tilapia farming using Recirculating Aquaculture Systems (RAS) – case
study in the Netherlands, in a handbook for sustainable Aquaculture, Project N◦: COLL-CT-2006-
030384. http://www.sustainaqua.org/.
El-Sayed, A.F.M., 2006. Tilapia Culture. CABI Publ., Wallingford, UK, 277pp. Environmental Protection
Agency (EPA), 2004. Effluent Guidelines: Aquatic Animal Production Industry. www.epa.gov/ost/guide/
aquaculture/.

Fontenot, Q., Bonvillain, C., Kilgen, M., Boopathy, R., 2007. Effects of temperature, salinity, and carbon:
nitrogen ratio on sequencing batch reactor treating shrimp aquaculture wastewater. Bioresource
Technology 98, 1700–1703.

Food and Agricultural Organization (FAO), 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO, Rome,
41pp. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/005/v9878e/v9878e00.pdf.

Food and Agricultural Organization (FAO), 2012. Cultured Aquatic Species Information Programme.
Lates calcarifer. Cultured Aquatic Species Information Programme.
http://www.fao.org/fishery/culturedspecies/Lates calcarifer/en.

Gelfand, I., Barak, Y., Even-Chen, Z., Cytryn, E., Krom, M., Neori, A., van Rijn, J., 2003. A novel zero-
discharge intensive seawater recirculating system for culture of marine fish. Journal of the World
Aquaculture Society 34, 344–358.

Goncalves, A.A., Gagnon, G.A., 2011. Ozone application in recirculating aquaculture systems: an
overview. Ozone Science and Engineering 33, 345–367.

Gregory, S.P., Shields, R.J., Fletcher, D.J., Gatland, P., Dyson, P.J., 2010. Bacterial community responses
to increasing ammonia concentrations in model recirculating vertical flow saline biofilters. Ecological
Engineering 36, 1485–1491.

Kaiser, J.B., Holt, G.J., 2005. Species profile Cobia. Southern Regional Aquaculture Center Publication
No. 7202. www.scribd.com/doc/16595767/Cobia-SRAC7202.

Karipoglou, C., Nathanailides, C., 2009. Growth rate and feed conversion efficiency of intensively
cultivated European eel (Anguilla anguilla L.). International Journal of Fisheries and Aquaculture 1, 11–
13.
Klas, S., Mozes, N., Lahav, O., 2006. Development of a single-sludge denitrification method for nitrate
removal from RAS effluents: lab-scale results vs. model prediction. Aquaculture 259, 342–353.

Lahav, O., Bar Massada, I., Yackoubov, D., Zelikson, R., Mozes, N., Tal, Y., Tarre, S., 2009. Quantification
of anammox activity in a denitrification reactor for a recirculating aquaculture system. Aquaculture 288,
76–82.

Leenhouwers, J.I., Ortega, R.C., Verreth, J.A.J., Schrama, J.W., 2007. Digesta characteristics in relation
to nutrient digestibility and mineral absorption in Nile tilapia (Oreochromis niloticus L.) fed cereal grains
of increasing viscosity. Aquaculture 273, 556–565.

Lin, Y.F., Jing, S.R., Lee, D.Y., Chang, Y.F., Chen, Y.M., Shih, K.C., 2005. Performance of a constructed
wetland treating intensive shrimp aquaculture wastewater under high hydraulic loading rate.
Environmental Pollution 134, 411–442.

Little, D.C., Murraya, F.J., Azima, E., Leschena, W., Boyd, K., Watterson, A., Young, J.A., 2008. Options
for producing a warmwater fish in the UK: limits to “Green Growth”? Trends in Food Science and
Technology 19, 255–264.
Lupatsch, I., Kissil, G.W., 1998. Predicting aquaculture waste from gilthead seabream (Sparus aurata)
culture using a nutritional approach. Aquatic Living Resources 11, 265–268.

Martins, C.I.M., Ochola, D., Ende, S.S.W., Eding, E.H., Verreth, J.A.J., 2009. Is growthretardation present
in Nile tilapia Oreochromis niloticus cultured in low water exchange recirculating aquaculture systems?
Aquaculture 298, 43–50.

Martins, C.I.M., Eding, E.H., Verdegem, M.C.J., Heinsbroek, L.T.N., Schneider, O., Blancheton, J., Roque
d’Orbcasteld, E., Verreth, J.A.J., 2010. New developments in recirculating aquaculture systems in
Europe: a perspective on environmental sustainability. Aquacultural Engineering 43, 83–93.

Metaxa, E., Deviller, G., Pagand, P., Alliaume, C., Casellas, C., Blancheton, J.P., 2006. High rate algal pond
treatment for water reuse in a marine fish recirculation system: water purification and fish health.
Aquaculture 252, 92–101.

Mirzoyan, N., Tal, Y., Gross, A., 2010. Anaerobic digestion of sludge from intensive recirculating
aquaculture systems: review. Aquaculture 306, 1–6.

Mook, W.T., Chakrabarti, M.H., Aroua, M.K., Khan, G.M.A., Ali, B.S., Islam, M.S., Abu Hassan, M.A., 2012.
Removal of total ammonia nitrogen (TAN), nitrate and total organic carbon (TOC) from aquaculture
wastewater using electrochemical technology: a review. Desalination 285, 1–13.

Neori, A., Cohen, I., Gordin, H., 1991. Ulva lactuca biofilters for marine fishpond effluents: II. Growth
rate, yield and C:N ratio. Botanica Marina 34, 483–489.

Neori, A., Krom, M.D., van Rijn, J., 2007. Biochemical processes in intensive zeroeffluent marine fish
culture with recirculating aerobic and anaerobic biofilters. Journal of Experimental Marine Biology and
Ecology 349, 235–247.

Neori, A., Chopin, T., Troell, M., Buschmann, A.H., Kraemer, G.P., Halling, C., Shpigel, M., Yarish, C., 2004.
Integrated aquaculture: rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in
modern mariculture. Aquaculture 231, 361–391.
Nobre, A.M., Robertson-Andersson, D., Neori, A., Sankar, K., 2010. Ecological–economic assessment of
aquaculture options: comparison between abalone monoculture and integrated multi-trophic
aquaculture of abalone and seaweeds. Aquaculture 306, 116–126.

Pagand, P., Blancheton, J.P., Lemoalle, J., Casellas, C., 2000. The use of high rate algal ponds for the
treatment of marine effluent from a recirculating fish rearing system. Aquaculture Research 31, 729–
736.

Peet, C., 2006. Farmed barramundi. Seafood report, Monterey Bay Aquarium.
www.montereybayaquarium.org/MBASeafoodWatch/.

Perschbacher, P.W., 2007. Growth rates of GMT and mixed-sex Nile tilapia Oreochromis niloticus on
natural and supplemental feeds. Asian Fisheries Science 20, 425–431.

Piedrahita, R.H., 2003. Reducing the potential environmental impact of tank aquaculture effluents
through intensification and recirculation. Aquaculture 226, 35–44.
Racocy, J.E., 2007. Aquaponics: integrated fish and plant culture. In: Timmons, M.B, Ebeling, J.M. (Eds.),
Recirculating Aquaculture. NRAC Publ. no. 01-007. Cayuga Aqua Ventures, Ithaca, NY, pp. 767–822,
975pp.

Rakocy, J.E., Bailey, D.S., Shultz, R.C., Thoman, E.S., 2004. Update on tilapia and vegetable production
in the UVI aquaponic system. In: New Dimensions on Farmed Tilapia: Proceedings of the Sixth
International Symposium on Tilapia in Aquaculture, Manila, Philippines, pp. 676–690.

Reid, K.R., 2007. Nutrient release form salmon culture. In: Nutrient impacts of farmed Atlantic salmon
(Salmo salar) on pelagic ecosystems and implications for carrying capacity. Report of the Technical
Working Group (World Wildlife Fund) on nutrients and carrying capacity of salmon aquaculture
dialogue. www.worldwildlife.org/../WWFBinaryitem11788.pdf.

Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Aubin, J., 2009a. Towards environmentally sustainable
aquaculture: comparison between two trout farming systems using life cycle assessment. Aquacultural
Engineering 40, 113–119.

Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Belaud, A., 2009b. Water quality and rainbow trout
performance in a Danish Model Farm recirculating system: comparison with a flow through system.
Aquacultural Engineering 40, 135–143.

Roque d’Orbcastel, E., Person-Le-Ruyet, J., Le Bayon, N., Blancheton, J.P., 2009c. Comparative growth
and welfare in rainbow trout reared in re-circulating and flow through rearing systems. Aquacultural
Engineering 40, 79–86.

Roque d’Orbcastel, E., Blancheton, J.P., Boujard, T., Aubin, J., Moutounet, Y., Przybyla, C., Belaud, A.,
2008. Comparison of two methods for evaluating waste of a flow through trout farm. Aquaculture 274,
72–79.

Sapkota, A., Sapkota, A.R., Kucharski, M., Burke, J., McKenzie, S., Walker, P., Lawrence, R., 2008.
Aquaculture practices and potential human health risks: current knowledge and future priorities.
Environment International 34, 1215–1226.

Schipp, G., Bosmans, J., Humphrey, J., 2007. Northern Territory Barramundi Farming Handbook.
Department of Primary Industry, Fisheries and Mines, Australia, 71pp. www.nt.gov.au//NTBarra-
Farming-Handbook-Online/.

Schneider, O., Sereti, V., Eding, E.H., Verreth, J.A.J., 2005. Analysis of nutrientflows in integrated
intensive aquaculture systems. Aquacultural Engineering 32, 379–401.

Schneider, O., Amirkolaie, A.K., Vera-Cartas, J., Eding, E.H., Schrama, J.W., Verreth, J.A.J., 2004.
Digestibility, feces recovery, and related C, N, and P balances of five feed ingredients evaluated as
fishmeal alternatives in Oreochromis niloticus L. Aquaculture Research 35, 1370–1379.

Shnel, N., Barak, Y., Ezer, T., Dafni, Z., van Rijn, J., 2002. Design and performance of a zero-discharge
tilapia recirculating system. Aquacultural Engineering 26, 191–203.

Schuenhoff, A., Shpigel, M., Lupatsch, I., Ashkenazi, A., Msuya, F.E., Neori, A., 2003. A semi-recirculating,
integrated system for the culture of fish and seaweed. Aquaculture 221, 167–181.
Schwartz, M.F., Ebeling, J., Summerfelt, S.,2004. Geotextile tubes for aquaculture waste management.
In: Proceedings of the Fifth International Conference on Recirculating Aquaculture. Virginia Polytechnic
Institute and State University, Blacksburg, VA.

Schwartz, M.F., Ebeling, J.M., Rishel, K.L., Summerfelt, S.T., 2005. Dewatering aquaculture biosolids with
geotextile bags. In: Aquaculture America 2005, New Orleans, LA. World Aquaculture Society, Baton
Rouge, LA, p. 118.

Schwermer, C.U., Ferdelman, T.G., Stief, P., Gieseke, A., Rezakhani, N., van Rijn, J., de Beer, D., Schramm,
A., 2010. Effect of nitrate on sulfur transformations in sulfidogenic sludge of a marine aquaculture
biofilter. FEMS Microbiology Ecology 72, 476–484.

Sindilariu, P.D., Brinker, A., Reiter, R., 2009. Waste and particle management in a commercial, partially
recirculating trout farm. Aquacultural Engineering 41, 127–135.

Sharrer, M.J., Rashel, K.L., Summerfelt, S.T., 2009. Evaluation of geotextile filtration applying coagulant
and flocculant amendments for aquaculture biosolids dewatering and phosphorus removal.
Aquacultural Engineering 40, 1–10.

Sharrer, M.J., Tal, Y., Ferrier, D., Hankins, J.A., Summerfelt, S.T., 2007. Membran biological reactor
treatment of a saline backwash flow from a recirculating aquaculture system. Aquacultural Engineering
36, 159–176.

Sher, Y., Schneider, K., Schwermer, C.U., van Rijn, J., 2008. Sulfide induced nitrate reduction in the
sludge of an anaerobic treatment stage of a zero-discharge recirculating mariculture system. Water
Research 42, 4386–4392.

Stewart, N.T., Boardman, G.D., Helfrich, L.A., 2006. Characterization of nutrient leaching
rates from settled rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) sludge. Aquacultural Engineering 35, 191–198.

Su, Y.-M., Lin, Y.-F., Jing, S.-R., Lucy Hou, P.C., 2011. Plant growth and the performance of mangrove
wetland microcosms for mariculture effluent depuration. Marine Pollution Bulletin 62, 1455–1463.

Subasinghe, R., Soto, D., Jia, J., 2009. Global aquaculture and its role in sustainable development.
Reviews in Aquaculture 1, 2–9.

Summerfelt, S.T., Sharrer, M.J., Tsukuda, S.M., Gearheart, M., 2009. Process requirements for achieving
full-flow disinfection of recirculating water using ozonation and UV irradiation. Aquacultural
Engineering 40, 17–27.

Suzuki, Y., Maruyama, T., Numata, H., Sato, H., Asakawa, M., 2003. Performance of a closed recirculating
system with foam separation, nitrification and denitrification units for intensive culture of eel: towards
zero emission. Aquacultural Engineering 29, 165–182.

Tal, Y., Watts, J.E.M., Schreier, S.B., Sowers, K.R., Schreier, H.J., 2003. Characterization of the microbial
community and nitrogen transformation processes associated with moving bed bioreactors in a closed
recirculated mariculture system. Aquaculture 215, 187–202.

Tal, Y., Schreier, H.J., Sowers, K.R., Stubblefield, J.D., Place, A.R., Zohar, Y., 2009. Environmentally
sustainable land-based marine aquaculture. Aquaculture 286, 28–35.
Tilley, D.R., Badrinarayanan, H., Rosati, R., Son, J., 2002. Constructed wetlands as recirculation filters in
large-scale shrimp aquaculture. Aquacultural Engineering 26, 81–109.

Timmons, M.B., Ebeling, J.M., 2007. Recirculating Aquaculture. NRAC Publ. No. 01-007. Cayuga Aqua
Ventures, Ithaca, NY, 975pp.

van Rijn, J., Fonarev, N., Berkowitz, B., 1995. Anaerobic treatment of fish culture effluents: digestion of
fish feed and release of volatile fatty acids. Aquaculture 133, 9–20.

van Rijn, J., Tal, Y., Schreier, H.J., 2006. Denitrification in recirculating systems: theory and applications.
Aquacultural Engineering 34, 364–376.

Verdegem, M.C.J., Eding, E.H., Sereti, V., Munubi, R.N., Santacruz-Reyes, R.N., van Dam, A.A., 2005.
Similarities between microbial and periphytic biofilms in aquaculture systems. In: Azim, M.E.,
Verdegem, M.C.J., van Dam, A.A., Beveridge, M.C.M. (Eds.), Periphyton, Ecology, Exploitation and
Management. CABI Publishing, Cambridge, MA, USA, pp. 191–206, 325pp.

Virdis, B., Rabaey, K., Yuan, Z., Keller, J., 2008. Microbial fuel cells for simultaneous carbon and nitrogen
removal. Water Research 42, 3013–3024.

Yeo, S.E., Binkowski, F.P., Morris, J.E., 2004. Aquaculture Effluents and Waste byproducts.
Characteristics, Potential Recovery, and Beneficial Reuse. NCRAC Publications Office, North Central
Regional Aquaculture Center, Iowa State University, 45pp.

Zachritz I.I., W.A., Hanson, A.T., Sauceda, J.A., Fitzsimmons, K.M., 2008. Evaluation of submerged
surface flow (SSF) constructed wetlands for recirculating tilapia production systems. Aquacultural
Engineering 39, 16–23.

Zhong, F., Liang, W., Yu, T., Cheng, S.P., He, F., Wu, Z.B., 2011. Removal efficiency and balance of
nitrogen in a recirculating aquaculture system integrated with constructed wetlands. Journal of
Environmental Science and Health, Part A: Toxic/Hazardous Substances and Environmental Engineering
46, 789–794.

Zohar, Y., Tal, Y., Schreier, H., Steven, C., Stubblefield, J., Place, A.R., 2005. commerciallyfeasible urban
recirculated aquaculture: addressing the marine sector. In: Costa-Pierce, B., DesBonnet, A., Edwards,
P., Baker, D. (Eds.), Urban Aquaculture. CABI Publishing, Wallingford, UK, pp. 159–171.
***

Anda mungkin juga menyukai