Anda di halaman 1dari 25

Laporan Pendahuluan Dengan Diagnosa Dermatitis

oleh Ny. N di Ruangan Gelatik di RS Bhayangkara


Makassar

Disusun Oleh:

Ulfa Wildana Hasan

70300116051

Keperawatan B

CI Lahan CI Institusi

( ) ( )

PRODI KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2019
A. Konsep Dasar Medis
1. Definisi
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai
respon terhadap pengaruh factor eksogen dan factor endegon,
menimbulkan kelainan klinis berupa efloresensi polimorfik (eritme,
edema, papul, vesikel, skuama, likenifikasi) dan keluhan gatal. Dermatitis
cenderung residif dan menjadi kronis. (Djuanda Adhi, 2010) & (Nurarif &
Kusuma, 2015)
Dermatitis atau lebih dikenal sebagai eksim merupakan penyakit kulit
yang mengalami peradangan kerena bermacam sebab dan timbul dalam
berbagai jenis, terutama kulit yang kering, umumnya berupa
pembengkakan, memerah, dan gatal pada kulit.

2. Anatomi dan fisiologi


Kulit merupakan pembatas tubuh dengan lingkungan sekitar karena
posisinya yang terletak di bagian paling luar. Luas kulit dewasa 1,5 m2
dengan berat kira-kira 15% berat badan.
Klasifikasi berdasar :
a. Warna :
1) Terang (fair skin), pirang, dan hitam
2) merah muda : pada telapak kaki dan tangan bayi
3) Hitam kecokelatan : pada genitalia orang dewasa
b. Jenisnya :
1) Elastis dan longgar : pada palpebra, bibir, dan preputium
2) Tebal dan tegang : pada telapak kaki dan tangan orang dewasa
3) Tipis : pada wajah
4) Lembut : pada leher dan badan
5) Berambut kasar : pada kepala
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama,
yaitu:
a. Lapisan Epidermis (kutikel)
1) Stratum Korneum (lapisan tanduk)
Lapisan kulit paling luar yang terdiri dari sel gepeng yang mati,
tidak berinti, protoplasmanya berubah menjadi keratin (zat tanduk)
2) Stratum Lusidum
Terletak di bawah lapisan korneum, lapisan sel gepeng tanpa inti,
protoplasmanya berubah menjadi protein yang disebut eleidin.
Lapisan ini lebih jelas tampak pada telapak tangan dan kaki.
3) Stratum Granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel gepeng dengan sitoplasma berbutir
kasar dan terdapat inti di antaranya. Butir kasar terdiri dari
keratohialin. Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini.
4) Stratum Spinosum (stratum Malphigi) atau prickle cell layer
(lapisan akanta). Terdiri dari sel yang berbentuk poligonal,
protoplasmanya jernih karena banyak mengandung glikogen,
selnya akan semakin gepeng bila semakin dekat ke permukaan. Di
antara stratum spinosum, terdapat jembatan antar sel (intercellular
bridges) yang terdiri dari protoplasma dan tonofibril atau keratin.
Perlekatan antar jembatan ini membentuk penebalan bulat kecil
yang disebut nodulus Bizzozero. Di antara sel spinosum juga
terdapat pula sel Langerhans.
5) Stratum Basalis. Terdiri dari sel kubus (kolumnar) yang tersusun
vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar
(palisade). Sel basal bermitosis dan berfungsi reproduktif.
a) Sel kolumnar : protoplasma basofilik inti lonjong besar, di
hubungkan oleh jembatan antar sel.
b) Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell : sel
berwarna muda, sitoplasma basofilik dan inti gelap,
mengandung pigmen (melanosomes)
b. Lapisan Dermis (korium, kutis vera, true skin)
Lapisan Dermis adalah lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih
tebal dari epidermis, terdiri dari lapisan elastik dan fibrosa pada
dengan elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar
lapisan ini dibagi menjadi bagian, yaitu:
1) Pars Papilare: bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung
serabut saraf dan pembuluh darah.
2) Pars Retikulare: bagian bawah yang menonjol ke subkutan. Terdiri
dari serabut penunjang seperti kolagen, elastin, dan retikulin. Dasar
(matriks) lapisan ini terdiri dari cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut
kolagen dibentuk oleh fibroblas, selanjutnya membentuk ikatan
(bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin.
Kolagen muda bersifat elastin, seiring bertambahnya usia, menjadi
kurang larut dan makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda.
Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf, dan
mudah mengembang serta lebih elastis.
c. Lapisan Subkutis (hipodermis)
Lapisan paling dalam, terdiri dari jaringan ikat longgar berisi sel
lemak yang bulat, besar, dengan inti mendesak ke pinggir sitoplasma
lemak yang bertambah. Sel ini berkelompok dan dipisahkan oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel lemak disebut dengan panikulus
adiposa, berfungsi sebagai cadangan makanan. Di lapisan ini terdapat
saraf tepi, pembuluh darah, dan getah bening. Lapisan lemak berfungsi
juga sebagai bantalan, ketebalannya berbeda pada beberapa kulit. Di
kelopak mata dan penis lebih tipis, di perut lebih tebal (sampai 3 cm).
Vaskularisasi di kuli diatur pleksus superfisialis (terletak di bagian atas
dermis) dan pleksus profunda (terletak di subkutis).
d. Adneksa kulit terdiri atas:
1) Kelenjar kulit terdapat di lapisan dermis, terdiri atas :
a) Kelenjar Keringat (glandila sudorifera) ada 2 macam, yaitu :
b) Kelenjar ekrin dibentuk sempurna pada 28 minggu
kehamilan dan baru berfungsi 40 minggu setelah kelahiran.
Terletak dangkal didermis dan sekrenya lebih kental
c) Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf edregernik, terdapat
di axial, arelamamae, pubis, labia minora dan saluran telinga
luar. Terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental
2) Kelenjar palit (glandula sebasea).
Terletak diseluruh permukaan kulit manusia kecuali telapak
tangan dan kaki. Kelenjar ini disebut juga kelenjar holokrin
karena tidak berlumen dan secret kelenjar berasal dari
dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar ini terdapat disampng
akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen akar rambut
3) Kuku adalah bagian terminal tanduk (stratum koroneum yang
menebal). Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut
akar kuku (naiklroot) bagian yang terbuka diatas dasar jaringan
lemak kulit pada ujung jari disebut bagian kuku (nailplate) dan
yang paling ujung disebut bagian kuku bebas
4) Rambut terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar
rambut) dan bagian yang berada diluar kulit (batang rambut) .
ada 2 macam tipe rambut :
a) Lanugo yang merupakan rambut halus tidak mengandung
pigmen dan terdapat pada bayi
b) Terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak
pigmen, mempunyai medulla dan terdapat pada orang
dewasa

Fisiologi Kulit
a. Fungsi Proteksi
Kulit punya bantalan lemak, ketebalan, serabut jaringan penunjang
yang dapat melindungi tubuh dari gangguan:
1) fisis/ mekanis : tekanan, gesekan, tarikan.
2) kimiawi : iritan seperti lisol, karbil, asam, alkali kuat
3) panas : radiasi, sengatan sinar UV
4) infeksi luar : bakteri, jamur
Beberapa macam perlindungan :
1) Melanosit adalah lindungi kulit dari pajanan sinar matahari dengan
mengadakan tanning (penggelapan kulit)
2) Stratum korneum impermeable terhadap berbagai zat kimia dan air.
3) Keasaman kulit kerna ekskresi keringat dan sebum: perlindungan
kimiawo terhadap infeksi bakteri maupun jamur
4) Proses keratinisasi sebagai sawar (barrier) mekanis karena sel mati
melepaskan diri secara teratur.
b. Fungsi Absorpsi
Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2, dan uap air memungkinkan
kulit ikut mengambil fungsi respirasi. Kemampuan absorbsinya
bergantung pada ketebalan kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme,
dan jenis vehikulum. PEnyerapan dapat melalui celah antar sel,
menembus sel epidermis, melalui muara saluran kelenjar.
c. Fungsi Ekskres
Mengeluarkan zat yang tidak berguna bagi tubuh seperti NaCl,
urea, asam urat, dan amonia. Pada fetus, kelenjar lemak dengan
bantuan hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk
melindungi kulitnya dari cairan amnion, pada waktu lahir ditemui
sebagai Vernix Caseosa.
d. Fungsi Persepsi
Kulit mengandung ujung saraf sensori di dermis dan subkutis.
Saraf sensori lebih banyak jumlahnya pada daerah yang erotik.
1) Badan Ruffini di dermis dan subkutis: peka rangsangan panas
2) Badan Krause di dermis : peka rangsangan dingin
3) Badan Taktik Meissner di papila dermis: peka rangsangan rabaan
4) Badan Merkel Ranvier di epidermis: peka rangsangan rabaan
5) Badan Paccini di epidemis: peka rangsangan tekanan
e. Fungsi Pengaturan Suhu Tubuh (termoregulasi)
Dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan (otot
berkontraksi) pembuluh darah kulit. Kulit kaya pembuluh darah
sehingga mendapat nutrisi yang baik. Tonus vaskuler dipengaruhi oleh
saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi, dinding pembuluh darah belum
sempurna sehingga terjadi ekstravasasi cairan dan membuat kulit bayi
terlihat lebih edematosa (banyak mengandung air dan Na)
f. Fungsi Pembentukan Pigmen
Karena terdapat melanosit (sel pembentuk pigmen) yang terdiri
dari butiran pigmen (melanosomes)
g. Fungsi Keratinisasi
Keratinosit dimulai dari sel basal yang mengadakan pembelahan,
sel basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya
menjadi sel spinosum, makin ke atas sel makin menjadi gepeng dan
bergranula menjadi sel granulosum. Makin lama inti makin
menghilang dan keratinosit menjadi sel tanduk yang amorf. Proses ini
berlangsung 14-21 hari dan memberi perlindungan kulit terhadap
infeksi secara mekanis fisiologik.
h. Fungsi Pembentukan Vitamin D
Kulit mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar
matahari. Tapi kebutuhan vit D tubuh tidak hanya cukup dari hal
tersebut. Pemberian vit D sistemik masih tetap diperlukan. (Djuanda
Adhi, 2010)

3. Etiologi
a. Faktor Endogen
1) Sawar Kulit
Penderita DA pada umumnyamemiliki kulit yang relatif
kering baik didaerah lesi maupun nonlesi, dengan mekanisme yang
kompleks danterkait erat dengan kerusakan sawar kulit.
Disebabkan karena hilangnya ceramide yang berfungsi sebagai
molekul utama pengikat air di ruang ekstra seluler stratum
korneun. Kelainan fungsi sawar kulit mengakibatkan peningkatan
transepidermal water lost (TEWL), kulit akan makin kering dan
merupakan port d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritasi,
bakteri dan virus. Bakteri pada pasien dermatitis atopik mensekresi
ceramidase yang menyebabkan metabolisme ceramide menjadi
sphingosine dan asam lemak, selanjutnya semakin mengurangi
ceramide di stratum korneum, sehingga menyebabkan kulit makin
kering (Soebaryo, 2009).
Selain itu, faktor luar (eksogen) yang dapat memperberat
keringnya kulit adalah suhu panas, kelembaban yang tinggi, serta
keringat berlebih. Demikian pula penggunaan sabun yang bersifat
lebih alkalis dapat mengakibatkan gangguan sawar kulit. Gangguan
sawar kulit tersebut meningkatkan rasa gatal, terjadilah garukan
berulang (siklus gatal-garuk-gatal) yang menyebabkan kerusakan
sawar kulit. Dengan demikian penetrasi alergen, iritasi, dan infeksi
menjadi lebih mudah (Boediardja, 2009).
2) Genetik
Pendapat tentang faktor genetik diperkuat dengan bukti, yaitu
terdapat DA dalam keluarga. Jumlah penderita dikeluarga
meningkat 50% apabila salah satu orang tuanya DA, 75% bila
kedua orang tuanya menderita DA. Risiko terjadi DA pada kembar
monozigot sebesar 77% sedangkan kembar dizigot sebesar 25%.
Dari berbagai penelitian terungkap tentang polimorfisme gen
dihubungkan dengan DA. Selain itu pada penderita DA atau
keluarga sering terdapat riwayat rinitis alergik dan alergi pada
saluran napas. Mekanisme imunologik berkaitan erat dengan
ekspresi gen penyandi, diantaranya (Boediardja, 2009):
3) Hipersensitivitas
Berbagai hasil penelitian terdahulu membuktikan adanya
peningkatan kadar IgE dalam serum dan IgE di permukaan sel
Langerhans epidermis. Data statistik menunjukkan peningkatan
IgE pada 85% pasien DA dan proliferasi sel mast. Pada fase akut
terjadi peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 yang diproduksi sel Th2, baik
di kulit maupun dalam sirkulasi, penurunan IFN-γ, dan
peningkatan IL-4. Produksi IFN-γ juga dihambat oleh
prostaglandin (PG) E2 mengaktivasi Th1, sehingga terjadi
peningkatan produksi IFN-γ, sedangkan IL-5 dan IL-13 tetap
tinggi. Pasien DA bereaksi positif terhadap berbagai alergen,
misalnya terhadap alergen makanan 40-96% DA bereaksi positif
(pada food challenge test) (Boediardja, 2009).
4) Faktor Psikis
Didapatkan antara 22-80% penderita DA menyatakan lesi DA
bertambah buruk akibat stres emosi (Boediardja, 2009).
b. Faktor Eksogen
1) Iritan
Kulit penderita DA ternyata lebih rentan terhadap bahan
iritan, antara lain sabun alkalis, bahan kimia yang terkandung pada
berbagi obat gosok untuk bayi dan anak, sinar matahari dan
pakaian wol (Boediardja, 2009).
2) Alergen
Penderita DA mudah mengalami terutama terhadap beberapa
alergen,anatra lain:
a) Alergen hirup, yaitu debu rumah.
b) Alergen makanan, khususnya pada bayi dan anak usis kurang
dari 1 tahun (mungkin karna usus yang belum bekerja
sempurna).
c) Infeksi: infeksi Staphylococcus aureus ditemukan pada > 90%
lesi DA dan hanya pada 5% populasi normal. Hal tersebut
mempengaruhi derajat keparahan dermatitis atopik, pada kulit
7
yang mengalami inflamasi ditemukan 10 unit koloni setiap
sentimeter persegi. Salah satu cara S.aureus menyebabkan
eksaserbasi atau mempertahankan inflamasi ialah dengan
mensekresi sejumlah toksin (Staphylococcal enterotoin
A,B,C,D - SEA-SEB-SEC-SED) yang berperan sebagai
superantigen, menyebabkan rangsangan pada sel T dan
makrofag. Superantigen S.aureus yang disekresi permukaan
kulit dapat berpenetrasi di daerah inflamasi Langerhans untuk
memproduksi IL-1, TNF dan IL-12. Semua mekanisme
tersebut meningkatkan inflamasi pada DA dengan
kemungkinan peningkatan kolonisasi S.aureus. Demikian pula
jenis toksin atau protein S.aureus yang lain dapat mengindusi
inflamasi kulit melalui sekresi TNF-α oleh keratinosit atau efek
sitotoksik langsung pada keratinosit (Soebaryo, 2009).
3) Lingkungan
Faktor lingkungan yang kurang bersih berpengaruh pada
kekambuhan DA, misalnya asap rokok, polusi udara (nitrogen
dioksida, sulfur dioksida), suhu yang panas, kelembaban dan
keringat yang banyak akan memicu rasa gatal dan kekambuhan
DA. Di negara 4 musim, musim dingin memperberat lesi DA,
mungkin karena penggunaan heater (pemanas ruangan). Pada
beberapa kasus DA terjadi eksaserbasi akibat reaksi fotosensitivitas
terhadap sinar UVA dan UVB (Boediardja, 2009).

4. Patofisiologi
Immunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan
immunogen atau allergen dari luar yang mencapai kulit, dapat melalui
sirkulasi setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit.
Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana allergen dapat
ditangkap oleh sel penyaji antigen (antigen precenting cell = APC) untuk
kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T. Hal ini
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali allergen tersebut melalui
reseptor T ( T – Cell receptor = TCR). Setelah paparan sel T akan
berdeferensiasi menjadi sub populasi sel Th2 karena mensekresi IL – 4
dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan
memproduksi IgE (yang spesifik terhadap allergen). Begitu ada di dalam
sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast (MC) dan basofil. Pada
paparan allergen berikutnya, IgE telah terssedia pada permukaan sel mast,
sehingga terjadi ikatan antara allergen dan IgE. Ikatan ini akan
menyebabkan degranulasi MC yang akan mengeluarkan mediator
baikyang telah tersedia seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi
segera.
Sel langerhans epidermal (LC) berperan penting dalam patogenesis
DA oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya
yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin.
Apabila ada elergem masuk akan diikat dan disajikan pada sel T yang akan
mensekresi limfokin. Sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul
ditempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang
akan membuat kerusakan jaringan (Boediardja, 2009).

5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis dermatitis atopic (DA) secara umum adalah gatal,
kulit kering dan timbulnya eksim (eksematous inflammation) yang
berjalan kronik dan residiv. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan
sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark), yang akan
diikuti kelainan sekunder berupa papula, erosi, eksoriasi dan selanjutnya
terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis . Papula dapat terasa sangat
gatal (prurigo papules) bersamaan dengan timbulnya vesikel
(papulovesikel), dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous dan
likenifikasi dapat menjadi erosive bila terkena garukan dan terjadi
eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basa
dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan lanjut. (Kariosentono.
H,2009)
Gejala timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada :
(Kariosentono. H,2009)
a. Bayi
1) Dimulai pada wajah kemudian menyebar terutama kedaerah
ekstensor.
2) Lesi biasanya basa, eksudativ, berkrustae dan sering terjadi infeksi
sekunder
3) Sebagian kasus akan sembuh pada usia 18 bulan, sisanya berlanjut
ke anak
b. Anak
1) Bersifat kronis dan akan berlanjut pada usia sekolah
2) Biasanya terdapat pada lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan
tangan
3) Pada jari tangan sering terjadi lesi eksudatif
4) Perubahan pigmen kulit
c. Dewasa
1) Mirip lesi pada anak – anak
2) Likenifikasi terutama pada daerah lipatan – lipatan dan tangan.

6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Tidak ada hasil laboratorium yang spesipik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis autopik, hasil
yang dapat ditemukan pada dermatitis atopik misalnya kenaikan kadar
Ig.E dalam serum, mengurangnya jumlah sel-T (terutama T-
Supressor) dan immunitas seluler, jumlah eosinofil dalam darah relatif
meningkat. (Kariosentono. H,2009)
b. Dematografisme Putih
Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga respon
yakni berturut turut akan terlihat : garis merah ditempat penggoresan
selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik,
edema timbul selama beberapa menit. Penggoresan pada penderita
yang atopi akan bereaksi berlainan . Garis merah tidak disusul warna
kemerahan, tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan
edema tidak timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
(Kariosentono. H,2009)
c. Percobaan Asetil Kolin
Suntikan secara intra kutan solu asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hyperemia pada orang normal, pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokontruksi terlihat kepucatan selama
satu jam. (Kariosentono. H,2009)
d. Percobaan Histamin
Jenis histamin pospat disuntikkan pada lesi pada penderita
dermatitis atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain
sebagai kontrol, kalau obat tersebut dimasukkan parenteral, tampak
eritema bertambah pada kulit orang normal. (Kariosentono. H, 2009).

8. Komplikasi
a. Problem mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan
gangguan visus dan skar kornea. Keratokonjungtivitis atopic biasanya
bilateral dan menimbulkan gejala gatal, terbakar, keluar air mata dan
sekresi mukoid. Keratokonus adalah deformitas konikal kornea akibat
gosokan kronik. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat.
Belum jelas apakah ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai
akibat pemakaian ekstensif steroid topical dan sistemik. (Kariosentono.
H,2009)
b. Infeksi
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang
merupakan refleksi dari defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang
paling serius adalah akibat infeksi herpes simplek, menghasilkan
Kaposi varicelliform eruption atau eczema herpeticum. Setelah
inkubasi 5-12 hari, lesi vesikopustular, multipel dan gatal timbul dalam
pola diseminata; lesi vesikuler ber umbilated dan cenderung
berkelompok, dan sering mengalami perdarahan dan berkrusta,
menghasilkan erosi punch-out dan sangat nyeri. Lesi dalam bergabung
menjadi area besar (dapat seluruh tubuh) yang mengelupas dan
berdarah. Vaksinasi smallpox pada pasien DA (bahkan pajanan pasien
dengan individu yang mendapat vaksinasi), dapat menyebabkan erupsi
luas berat (eczema vaccinatum) yang tampak sangat mirip dengan
eczema herpeticum. Pasien DA menunjukkan peningkatan prevalensi
infeksi T rubrum dibandingkan control nonatopik. Antibodi (IgE)
terhadap M furfur biasa dijumpai pada pasien DA, sebaliknya jarang
pada control normal dan pasien asmatik. M furfur dan dermatofit lain
penting karena setelah terapi anti jamur, akan terjadi penurunan
keparahan kulit DA. Staphylococcus aureus dijumpai pada > 90% lesi
kulit DA. Krusta kuning madu, folikulitis, pioderma dan pembesaran
KGB regional, merupakan indikasi adanya infeksi sekunder (biasanya
oleh S aureus) dan memerlukan terapi antibiotik. Pentingnya S aureus
pada DA didukung oleh observasi bahwa pasien DA berat, walaupun
tanpa infeksi berat, dapat menunjukkan respon klinis terhadap terapi
kombinasi dengan antibiotik dan steroid topikal. (Kariosentono.
H,2009)
c. Dermatitis Tangan
Pasien DA sering mengalami dermatitis tangan nonspesifik.
Dermatitis ini sering dipicu oleh basah berulang dan pencucian tangan
dengan sabun, detergen, dan desinfektan. (Kariosentono. H,2009)
d. Dermatitis/Eritroderma Eksfoliatif (Kariosentono. H,2009)
Komplikasi ini terjadi akibat superinfeksi, seperti S aureus
penghasil toksin atau infeksi herpes simplek, iritasi berulang, atau
terapi yang tidak mencukupi. Pada beberapa kasus, penghentian steroid
sistemik yang dipakai mengontrol DA berat dapat menjadi factor
pencetus eritroderma eksfoliatif.
9. Penatalaksanaan
Untuk memperoleh keberhasilan terapi DA, diperlukan pendekatan
sistematik meliputi hidrasi kulit, terapi farmakologis, dan identifikasi serta
eliminasi factor pencetus seperti iritan, alergen, infeksi, dan stressor
emosional. Selain itu, rencana terapi harus individualistik sesuai dengan
pola reaksi penyakit, termasuk stadium penyakit dan faktor pencetus unik
dari masing-masing pasien. (Kariosentono. H,2009)
Penelitian tentang praktik penatalaksanaan Dermatitis Atopik (AD)
pada pasien pediatrik di Amerika Serikat dipublikasikan pada Journal of
Pediatrics edisi Desember 2013. Penelitian dalam bentuk survey ini
merupakan penilaian komprehensif yang dihimpun dari berbagai praktik
intervensi kesehatan rutin dalam aspek penatalaksanaan atau terapi AD
anak usia kurang dari 3 tahun, dimana prosedur yang dievaluasi
merupakan prosedur rutin yang dilakukan di Amerika Serikat. AD adalah
penyakit kulit yang paling sering dan kronis pada pasien bayi dan anak di
Amerika Serikat. Survey ini melibatkan 153 dokter termasuk dokter
spesialis anak, spesialis alergi dan spesialis kulit dari sejumlah negara
bagian di Amerika Serikat. Pendekatan terapi AD yang didokumentasikan
pada survey ini adalah prosedur farmakologis dan intervensi diet atau
nutrisi.
Hasil penelitian ini menunjukan, para dokter terutama dokter
spesialis kulit sangat mengandalkan pendekatan farmakologis dibanding
pendekatan diet atau nutrisi pada pasien mereka dengan AD. Lebih lanjut
hasil survey ini juga diperoleh data bahwa ketika para dokter
menggunakan pendekatan diet atau nutrisi, banyak diantara mereka
merekomendasikan formula soya atau protein kedelai meskipun
sebenarnya evidence based medicine terhadap pendekatan terapi dengan
formula protein kedelai untuk AD masih sangat tidak adekuat dan lemah.
Para peneliti menyimpulkan terdapat perbedaan nyata dan signifikan
dalam aspek terapi AD diantara para dokter yang mengikuti survey,
kemungkinan disebabkan belum adanya pendekatan standard yang adekuat
untuk terapi AD pada anak. Publikasi ini menekankan adanya kebutuhan
penting terhadap metode penatalaksanaan AD yang konsisten di kalangan
tenaga kesehatan. (Saavedra JM, Boguniewicz M, dkk,2013; 163:1747-53)
.
10. MEDIKASI
a. Hidrasi Kulit.
Pasien DA menunjukkan penurunan fungsi sawar kulit dan xerosis
yang berkontribusi untuk terjadinya fissure mikro kulit yang dapat menjadi
jalan masuk pathogen, iritan dan alergen. Problem tersebut akan diperparah
selama winter dan lingkungan kerja tertentu. Lukewarm soaking baths
minimal 20 menit dilanjutkan dengan occlusive emollient (untuk menahan
kelembaban) dapat meringankan gejala. Terapi hidrasi bersama dengan
emolien menolong mngembalikan dan memperbaiki sawar lapisan tanduk,
dan dapat mengurangi kebutuhan steroid topical. (Kariosentono. H,2009)
b. Steroid Topical.
Karena efek samping potensial, pemakaian steroid topikal hanya untuk
mengontrol DA eksaserbasi akut. Setelah control DA dicapai dengan
pemakaian steroid setiap hari, control jangka panjang dapat dipertahankan
pada sebagian pasien dengan pemakaian fluticasone 0.05% 2 x/minggu
pada area yang telah sembuh tetapi mudah mengalami eksema. Steroid
poten harus dihindari pada wajah, genitalia dan daerah lipatan. Steroid
dioleskan pada lesi dan emolien diberikan pada kulit yang tidak
terkena. Steroid ultra-poten hanya boleh dipakai dalam waktu singkat
dan pada area likenifikasi (tetapi tidak pada wajah atau lipatan).
Steroid mid-poten dapat diberikan lebih lama untuk DA kronik pada
badan dan ekstremitas. Efek samping local meliputi stria, atrofi kulit,
dermatitis perioral, dan akne rosasea. (Kariosentono. H,2009)
c. Inhibitor Kalsineurin Topical.
Takrolimus dan pimekrolimus topikal telah dikembangkan sebagai
imunomodulator nonsteroid. Salap takrolimus 0.03% telah disetujui
sebagai terapi intermiten DA sedang-berat pada anak ≥ 2 tahun dan
takrolimus 0.1% untuk dewasa. Krim pimekrolinus 1% untuk anak ≥
2 tahun dengan DA ringan-sedang. Kedua obat efektif dan dengan profil
keamanan yang baik untuk terapi 4 tahun bagi takrolimus dan 2 tahun
untuk pimekrolimus. Kedua bahan tersebut tidak menyebabkan atrofi kulit,
sehingga aman untuk wajah dan lipatan; dan tidak menyebabkan
peningkatan kecenderungan mendapat superinfeksi virus.
(Kariosentono. H,2009)
d. Identifikasi Dan Eliminasi Faktor Pencetus.
Faktor pencetus yang perlu diidentifikasi di antaranya sabum atau
detergen, pajanan kimiawi, rokok, pakaian abrasif, pajanan ekstrim
suhu dan kelembaban.
1) Alergen spesifik. Alergen potensial dapat didentifikasi dengan
anamnesis detil, uji tusuk selektif, dan level IgE spesifik. Uji kulit
atau uji in vitro positif, terutama terhadap makanan, sering tidak
berkorelasi dengan gejala klinis sehingga harus dikonfirmasi
dengan controlled food challenges dan diet eliminasi. Bayi dan
anak lebih banyak mengalami alergi makanan, sedang anak yang
lebih tua dan dewasa lebih banyak alergi terhadap aeroallergen
lingkungan.
2) Anti-infeksi. Sefalosporin dan penicillinase-resistant penicillins
(dikloksasilin, oksasilin, kloksasilin) diberikan untuk pasien yang tidak
dikolonisasi oleh strain S aureus resisten. Stafilokokus yang resisten
terhadap metisilin memerlukan kultur dan uji sensitivitas untuk
menentukan obat yang cocok. Mupirosin topikal dapat berguna
untuk lesi yang mengalami infeksi sekunder terbatas. Terapi
antivirus untuk infeksi herpes simplek kulit,sangat penting untuk
pasien DA luas. Asiklovir oral 3 x 400 mg/h atau 4 x 200 mg/h
untuk 10 hari untuk dewasa dengan infeksi herpes simplek kulit.
Sedangkan asiklovir iv diberikan untuk eczema herpetikum
diseminata. Infeksi dermatofit dapat menyebabkan eksaserbasi DA,
sehingga harus diterapi dengan anti-jamur topical atau sistemik.
3) Pruritus. Steroid topikal dan hidrasi kulit untuk mengurangi radang dan
kulit kering, sering mengurangi keluhan gatal. Alergen hirup dan
makanan yang terbukti menyebabkan rash pada controlled challenges,
harus disingkirkan. Antihistamin sistemik bekerja terutama memblok
reseptor H1 dalam dermis, karenanya dapat menghilangkan
pruritus akibat histamine. Karena histamine hanya merupakan satu
mediator penyebab gatal, beberapa pasien hanya mendapat
keutungan minimal terhadap terapi antihistamin. Keuntungan
beberapa antihistamin adalah mempunyai efek anxiolytic ringan
sehingga dapat lebih menolong melalui efek sedatif. Antihistamin
non-sedatif baru menunjukkan hasil yang bervariasi, dan akan
berguna bila DA disertai dengan urtikaria atau rhinitis alergika.
Karena pruritus biasanya lebih parah pada malam hari, antihistamin
sedatif, hidroksizin atau difenhidramin, mempunyai kelebihan (oleh
efek samping mengantuk) bila diberikan pada waktu tidur. Doksepin
memiliki efek antidepresan dan efek blok terhadap reseptor H1 dan H2.
Obat ini dapat diberikan dengan dosis 10-75 mg oral malam hari
atau sampai 2 x 75 mg pada pasien dewasa. Pemberian doksepin
5% topikal jangka pendek (1 minggu) dapat mengurangi pruritus
tanpa menimbulkan sensitisasi. Walaupun demikian, dapat terjadi
efek sedasi pada pemberian topical area yang luas dan dermatitis
kontak alergik.
4) Preparat ter batubara mempunyai efek antipruritus dan anti-
inflamasi pada kulit tetapi tidak sekuat steroid topikal. Preparat ter
dapat mengurangi potensi steroid topikal yang diperlukan pada
terapi pemeliharaan DA kronis. Produk ter batubara baru telah
dikembangkan sehingga lebih dapat diterima pasien berkaitan
dengan bau dan mengotori pakaian. Sampo mengandung ter dapat
menolong untuk dermatitis kepala. Preparat ter tidak boleh
diberikan pada lesi kulit radang akut, karena dapat terjadi iritasi
kulit. Efek samping ter di antaranya folikulitis dan fotosensitif.
5) Terapi foto. UVB broadband, UVA broadband, UVB narrowband
(311 nm), UVA-1 (340-400nm), dan kombinasi UVA-B dapat
berguna sebagai terapi penyerta DA. Target UVA dengan/tanpa
psoralen adalah sel LC dan eosinofil, sedangkan UVB berfungsi
imunosupresif melalui penghambatan fungsi sel penyaji antigen,
LC dan merubah produksi sitokin oleh keratinosit. Efek samping
jangka pendek terapi foto di antaranya eritema, nyeri kulit, garal,
dan pigmentasi; sedangkan efek samping jangka panjang adalah
penuaan kulit premature dan keganasan kulit. (Kariosentono.
H,2009).
e. Rawat inap
Pasien DA yang tampak eritrodermik atau dengan penyakit kulit berat
dan luas yang resisten terhadap terapi outpatient, harus dirawat inap
sebelum mempertimbangkan terapi sistemik alternatif, dengan maksud
menjauhkan pasien dari alergen lingkungan atau stress emosional.
Bersihnya lesi kulit selama dirawat, memberikan kesempatan untuk
dilakukan uji kulit dan controlled challenge. (Kariosentono. H,2009)
f. Terapi sistemik
1) Steroid sistemik. Pemakaian prednison oral jarang pada DA kronik.
Beberapa pasien dan dokter lebih menyukai pemberian steroid
sistemik karena terapi topical dan hidrasi kulit memberikan hasil
yang lambat. Perlu diingat, bahwa hasil yang dramatis oleh steroid
sistemik sering disertai rebound flare berat DA setelah steroid
dihentikan. Untuk DA eksaserbasi akut dapat diberikan steroid oral
jangka pendek. Bila ini diberikan, perlu dilakukan tapering dosis
dan memulai skin care, terutama dengan steroid topical dan
frequent bathing, dilanjutkan dengan pemberian emolien untuk
cegah rebound flare DA.
2) Siklosporin adalah obat imunosupresif poten yang bekerja terutama
terhadap sel T dengan cara menekan transkripsi sitokin. Agen
mengikat sitopilin, dan komplek ini seterusnya menekan
kalsineurin (molekul yang diperlukan memulia transkripsi gen
sitokin. Pasien DA dewasa dan anak yang refrakter terhadap terapi
konvensional, dapat berhasil dengan siklosporin jangka pendek.
Dosis 5 mg/kg umumnya dipakai secara sukses dalam pemakaian
jangka pendek dan panjang (1 tahun), sedang beberapa peneliti lain
memakai dosis tak bergantung berat badan untuk dewasa, dosis
rendah (150 mg) atau 300 mg (dosis tinggi) perhari memakai
siklosporin mikroemulsi. Terapi siklosporin disertai dengan
menurunnya penyakit kulit dan perbaikan kualitas hidup.
Penghentian terapi dapat menghasilkan kekambuhan (beberapa
pasien tetap remisi lama). Meningkatnya kreatinin serum atau yang
lebih nyata gengguan ginjal dan hipertensi adalah efek samping
spesifik yang perlu diperhatikan pada terapi siklosporin.
3) Antimetabolit. Mycophenolate mofetil adalah inhibitor biosintesis
purin yang digunakan sebagai imunosupresan pada transplantasi
organ, telah pula digunakan dalam terapi penyakit kulit inflamatori.
Studi open label melaporkan MMF oral (2 g/h) jangka pendek, dan
monoterapi menghasilkan penyembuhan lesi kulit DA dewasa yang
resisten terhadap obat lain (steroid oral dan topical, PUVA). Obat
tersebut ditoleransi baik (hanya 1 pasien mengalami retinitis
herpes). Supresi sumsum tulang (dose-related) pernah dilaporkan.
Bila obat tidak berhasil dalam 4-8 minggu, obat harus dihentikan.
4) Allergen immutherapy. Imunoterapi dengan aeroallergen tidak
terbukti efektif dalam terapi DA. Penelitian terbaru, imunoterapi
spesifik selama 12 bulan pada dewasa dengan DA yang disensitasi
dengan alergen dust mite menunjukkan perbaikan pada SCORAD
dan pengurangan pemakaian steroid.
5) Probiotik. Pemberian probiotik (Lactobacillus rhamnosus strain
GG) saat perinatal, menunjukkan penurunan insiden DA pada anak
berisiko selama 2 tahun pertama kehidupan. Ibu diberi placebo atau
lactobasilus GG perhari selama 4 minggu sebelum melahirkan dan
kemudian baik ibu (menyusui) atau bayi terus diberi terapi tiap hari
selama 6 bulan. Hasil di atas menunjukkan bahwa lactobasilus GG
bersifat preventif yang berlangsung sesudah usia bayi. Hal ini
terutama didapat pada pasien dengan uji kulit positif dan IgE
tinggi. (Kariosentono. H,2009)

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas: dapat terjadi pada semua usia. Wanita lebih tinggi
dibandingkan pria.
b. Keluhan utama: pruritus, eritema, nyeri, susah tidur
c. Riwayat penyakit sekarang: pada usia 2 bulan- 2 tahun terdapat
eritema berbatas tegas, disertai papul-papul dan vesikel-vesikel miliar,
bersifat erosif, eksudatif, dan berkrusta. Usia 3-10 tahun lesi tidak
eksudatif lagi, sering disertai hiperkeratosis, hiperpigmentasi, dan
hipopigmentasi. Sedangkan pada usia > 13 tahun, lesi selalu kering dan
dapat diserta likenifikasi dan hiperpigmentasi. Selain itu, pruritus hebat
menyebabkan penggarukan terus-menerus mengakibatkan eksematosa.
d. Riwayat penyakit dahulu: Tanyakan adanya riwayat dengan asma,
hayfever, dan rhinitis kronik terutama anak-anak. Adanya alergi
terhadap berbagai alergen, misalnya iritasi kulit oleh wol, air, sabun
yang keras.
e. Riwayat penyakit keluarga: adanya penyakit atopik pada keluarga
f. Pengkajian psikologi: keadaan stres dapat memicu keparahan
dermatitis atopik. Anak-anak sering mengalami ketidaknyamanan
sehingga rewel.
g. Pengkajian lingkungan : adanya perubahan cuaca, kelembaban yang
cukup. Lingkungan yang berdebu dapat sebagai alergen.
h. ADL :
1) Nutrisi : kaji diet yang berhubungan dengan eksaserbasi penyakit.
Biasanya anak-anak mengalami gangguan tumbuh kembang akibat
dari pemasukan nutrisi yang tidak adekuat. Ketidaknyamanan dari
adanya lesi membuat anak rewel sehingga menyebabkan gangguan
pemasukan nutrisi (makanan maupun minuman).
2) Eliminasi : biasanya tidak ditemukan masalah
3) Hygiene : kebersihan diri pada awalnya harus dikaji, karena
kebersihan diri yang kurang juga sebagai salah satu predisposisi
untuk dermatitis atopik.
4) Aktivitas : dapat tergantung pada distribusi lesi yang ada.
i. Pemeriksaan fisik
1) Pemeriksaan persistem
2) B1 (Breathing): pneumonia.
3) B2 (Blood): septikemi, hipotermia, dekompensasi kordis,
trombophlebitis.
4) B3 (Brain): nyeri (pruritus).
5) B4 (Bladder)
6) B5 (Bowel): diare.
7) B6 (Bone): pruritus, kulit kering, pitriasis, ruam, eritema,
eksim/krusta, hiperpigmentasi. (Putri, Intan Permata. 2012)

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan Dermatitis Atopik (Heardman T.Heather &
Kamitsuru S,2017)
a. Gangguan rasa nyaman.
b. Kerusakan integritas kulit
c. Defisit perawatan diri
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan Tujuan dan Rasional
Intervensi
kriteria hasil:
Gangguan Setelah dilakukan 1. Kaji kembali 1. Mengetahui dengan
integritas tindakan kerusakan jaringan, jelas dan valid
keperawatan
kulit selama…. bentuk, ukuran, kerusakan jaringan,
Gangguan integritas jenis, dan bentuk, ukuran,
kulit tidak terjadi
distribusinya jenis, dan
dengan kriteria
hasil: 2. Anjurkan klien distribusinya
1. Integritas kulit untuk banyak 2. Untuk mengurangi
yang baik bisa istirahat mobilisasi/
dipertahankan
2. Melaporkan 3. Pertahankan pergerakan
adanya integritas jaringan
gangguan
sensasi atau kulit dengan jalan 3. Mencegah adanya
nyeri pada mempertahankan iritasi kulit yang
daerah kulit
yang mengalami kebersihan dan bertambah luas
gangguan kelembaban kulit
3. Mampu
melindungi kulit 4. Pertahakan 4. Memberikan rasa
dan kebersihan dan nyaman pada pasien
mempertahanka
n kelembaban kenyamanan
kulit dan tempat tidur
perawatan alami
4. Sensasi dan 5. Jika terjadi infeksi 5. Untuk pemberian
warna kulit sekunder, obat yang tepat obat
normal
kolaborasikan topical diperlukan
dengan tim medis untuk mengurangi
untuk pemberian gatal dan sebagai
obat topikal antibiotik
Gangguan rasa Setelah dilakukan 1. Jelaskan gejala gatal 1. Dengan mengetahui
nyaman perawatan selama ... berhubungan dengan proses fisiologis dan
X 24 jam, klien
menunjukkan penyebabnya (misal: psikologis dan prinsip
berkurangnya pruritus keringnya kulit) dan gatal serta
dengan kriteria hasil:
prinsip tercapainya penenangnya akan
1. Berkurangnya
(misal : hidrasi) dan meningkatkan rasa
lecet akibat
garukkan siklus gatal-garuk- kooperatif
2. Klien tidur gatal-garuk
nyenyak tanpa
2. Cuci semua pakaian 2. Pruritus sering
terganggu rasa
gatal sebelum digunakan disebabkan oleh
3. Klien untuk dampak iritan atau
mengungkapkan
menghilangkan alergendari bahan
adanya
peningkatan rasa formaldehid dan kimia atau komponen
nyaman bahan kimia lain pelembut pakaian.
serta hindari
menggunakan
pelembut pakaian
buatan pabrik
3. Gunakan deterjen 3. Bahan yang tertinggal
ringan dan bilas (deterjen) pada
pakaian untuk pencucian pakaian
memastikan sudah dapat menyebabkan
tidak ada sabun yang iritasi
tertinggal
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Penerbit : Balai FK UI,
Jakarta.
Nurarif, Amin Huda dan Kusuma, Hardhi. 2015. NANDA (North American
Nursing Diagnosis Association) NIC-NOC Jilid 1. Yogyakarta : Media
Action.
Boerdiardja, 2009. Panduan Praktis Morfologi dan Terminologi Penyakit Kulit.
Jakarta: FKUI.
Soebaryo, 2009. Dermatologi Praktis. Penerbit Buku Cipta: Solo.
Herdman T. Heather & Kamitsuru. S, 2017. Diagnosis Keperawatan (Defenisi &
Klasifikasi) Edisi 10. Jakarta. EGC
Kariosentono. H,2009. Dermatitis Atopik (Eksema). Surakarta. UNS
Putri, Intan Permata. 2012. Gambaran Kelainan Kulit pada Pasien Dermatitis
Atopik di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD dr. Pirngadi Medan
Tahun 2011. Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/35350. Tanggal terbit: 15
Maret 2013.
Saavedra JM, dkk, 2013. Patterns of Clinical Management of Atopic
Dermatitis in Infants and Toddlers: A Survey of Three Physician
Specialties in the United States. 163:1747-53. Amerika serikat.
https://www.nestlenutrition-institute.org 2014/02/05

Anda mungkin juga menyukai