Atau malah seseorang yang sebelumnya kamu yakini jodohmu justru menjauh?
Memang begitulah jodoh, kadang seolah serasa dekat tapi tak dapat-dapat,
kadang ada yang tak terduga yang tiba-tiba datang malah bersanding akhirnya.
Saya akan berbagi kisah nyata tentang perjalanan pencarian jodoh seseorang
yang membuktikan bahwa jodoh itu memang tidak kemana, namun tetap harus
ada usaha untuknya.
Mari kita mulai kisah ini, kisah nyata yang menceritakan tentang perjalanan Mas
Rojul menemukan belahan cintanya Mbak Nisa.
Kisah ini akan menjadi beberapa part karena cukup panjang jika jadi satu part
saja.
Saya adalah rojul, laki-laki, umur 26 tahun lebih namun tidak banyak, masih
layak disebut 26 tahun.
Saat ini saya sudah membangun keluarga kecil bersama istri tercinta, Nisa dan
alhamdulillah kami baru saja dikaruniai jagoan kecil calon ulama, Hadid.
Segitu dulu perkenalan singkatnya, seiring dengan tulisan ini saya akan
memperkenalkan hal lain dari kami.
Saya pernah mengalami fase dimana ada beberapa pilihan yang seolah semua
sebanding dan sulit memilihnya.
Lalu saya juga pernah mengalami fase dimana semua seolah menjadi tidak
relevan dan tidak mungkin dia jodohku, entah karena prinsip, restu, maupun hal
lain.
Kamu yang sedang mengalami fase-fase itu, coba tanyakan kembali kepada
dirimu apakah kamu sudah benar-benar berniat menikah?
Apakah jika ada seseorang yang mau menjadi pasanganmu di pelaminan saat ini
juga, kamu siap mengiyakan dengan segala konsekuensiny?
Percayalah, bahwa niat itu yang akan membimbing kita dari alam bawah sadar.
Percayalah, Allah akan mempermudah jalan bagi orang yang benar-benar sudah
berniat untuk menikah.
Saya berani bilang begini karena saya pernah mengalaminya dan pengalaman
teman-teman maupun para senior saya juga begitu.
Saat fase dimana seolah sudah tidak ada lagi seseorang yang “dijagakne” untuk
menjadi calon istri, saya merenungkan lagi niat.
Apakah benar saya akan menikah saat seseorang menjawab lamaran saya
dengan kata “iya”.
Saat itu jawaban saya adalah belum, dalam hati saya masih banyak hal yang
mendahului sebelum kata menikah itu.
Saya masih berpikir, “ya setahun lagi, masa ketemu terus mau nikah”.
“hey, terus selama setahun kalian mau ngapain guys? Pacaran? Itu dosa jol,
rojul.”
Setelah itu saya tersadar bahwa ternyata alasan mengapa selama berbulan-
bulan bahkan tahun setelah saya “berniat menikah” belum juga dipertemukan
dengan si dia adalah “berniat menikah” saya belum benar-benar “berniat
menikah”.
Saat itu saya heran dengan keputusan yang saya ambil. Bahkan sampai hari ini.
Semua mengalir begitu saja.
Membeli jam beker untuk alibi.
Meminta izin kepada orang tua.
Meminta bantuan teman untuk menginap di kosnya.
Semua terjadi begitu saja.
Semua mudah saja.