Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
USULAN PENELITIAN
IYAN MARYANAH
2215024
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: “Bagaimana Hubungan Onset Laktasi Dengan
Ikterus Neonatorum di RSUD Panembahan Senopati Bantul”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan onset laktasi dengan ikterus neonatorum di
RSUD Panembahan Senopati Bantul.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pada ibu postpartum di
RSUD Panembahan Senopati Bantul.
b. Untuk mengetahui gambaran onset laktasi pada ibu postpartum di
RSUD Panembahan Senopati Bantul.
c. Untuk mengetahui kejadian ikterus neonatorum pada bayi baru yang
di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
d. Untuk mengetahui keeratan hubungan onset laktasi dengan ikterus
neonatorum di RSUD Panembahan Senopati Bantul.
D. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di
bidang keperawatan anak terkait hubungan onset laktasi ibu dengan
kejadian ikterus pada bayi baru lahir.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi tenaga kesehatan
Diharapkan perawat dan bidan di RSUD Panembahan Senopati Bantul
dapat memberikan edukasi dan asuhan keperawatan atau kebidanan
pada ibu postpartum sehingga onset laktasi lebih dini diberikan pada
bayi dan kejadian ikterus lebih rendah.
b. Bagi ibu postpartum
Memberikan pengetahuan bagi ibu postpartum di RSUD Panembahan
Senopati Bantul pentingnya menyusui dini untuk mengurangi
terjadinya ikterus neonatorum.
c. Peneliti selanjutnya
Sebagai data dasar untuk melakukan penelitian yang berhubungan
dengan onset laktasi pada ibu postpartum dengan ikterus neonatorum
dengan mengunakan variabel yang berbeda.
E. Keaslian Penelitian
1. Mercedes N, P (2015) melakukan penelitian Hubungan Inisiasi
Menyusui Dini dengan Ikterus Neonatorum di RSUD Wates Kulon
Progo. Tujuan penelitian mengetahui korelasi antara IMD dengan
kejadian ikterus neonatorum di RSUD Wates Kulon Progo. Jenis
penelitian ini adalah survey analitik dengan desain chort studi, jumlah
responden dalam penelitian ini yaitu 65 responden, dengan hasil
sebagai berikut, bayi yang tidak dilakukan IMD dengan kategori ikterus
sebanyak 27 (71,1%) responden, sedangkan bayi yang tidak dilakukan
IMD dengan kategori tidak ikterus sebanyak 11(28,9%), selanjutnya
bayi dilakukan IMD dengan kategori ikterus sebanyak 5 (18,5%)
responden dan bayi dilakukan IMD dengan kategori tidak ikterus
sebanyak 22 (81,5%). Berdasarkan hasil tersebut dilakukan uji hipotesis
dengan menggunakan chi-squaare hasil Ada hubungan yang signifikan
antara inisiasi menyusu dini dengan ikterus neonatorum p = 0,000.
Persamaan dalam penelitian ini yaitu pada variabel dependen, jenis
penelitian dan desain yang digunakan. Sedang perbedaan dalam
penelitian ini yaitu pada variabel independen, uji hipotesis, jumlah
sampel, tempat penelitian dan waktu penelitian.
2. Reza tavkoli Z et al (2018) melakukan penelitian tentang Maternal Risk
Factor For Neonatal Jaundice: a Hospital- Based Cross-sectional
Study in Tehran. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi faktor risiko
ibu yang berkontribusi terhadap insiden Hiperbilirubinemia di antara
bayi baru lahir yang dirawat di rumah sakit Imam Khomeini dan
Ziaeean selama tahun 2015. Jenis peneliatan ini adalah survey analitik
dengan design penelitian crosectional study. Jumlah responden dalam
penelitian ini yaitu 200 respondent, data kemudian di analisa
menggunkan formula chi-square test untuk data kualitatif dan sample
T-Test untuk data kuantitatif dengan tingkat signifikansi p < 0,05
didapatkan hasil sebagai berikut, hubungan kejadian ikterus dengan
BMI ibu P= 0,01, hubungan kelahiran pertama dengan isident ikterus
p=0,00, hubungan rata – rata usia ibu dengan kejadian ikterus p=0,02,
hubungan cara lahir spontan (per vagina) dengan kejadian ikterik
p=0,02, hubungan cara lahir SC dengan ikterus pada bayi p=0,01.
Persamaan dalam penelitian ini adalah pada variabel dependen, design
penelitian, formula teknik sampling yang digunakan uji statistic
kuantitatf yang digunakan. Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini
adalah variabel independen, tempat, waktu penelitian.
3. Hanneke Brits et al (2017) melakukan penelitian tentang The
Prevalence of Neonatal Jaundice and Risk Factorr in Healthy Term
Neonates at National District Hospital in Bloemfontein. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menentukan prevalensi penyakit kuning
neonatal dan yang kedua untuk mengeksplorasi faktor-faktor risikonya
pada neonatus cukup bulan yang sehat. Desain penelitian ini adalah
cross-sectional study dengan jumlah sampel 96 pasang ibu postpartum
dan bayi baru lahir. Uji statik dalam penelitian ini menggunakan uji chi-
square. Hasil penellitian ikterus pada bayi terdapat 53 (52,2%)
responden yang mengalami ikterik, namun hanya 9 (17%) responden
yang terbukti secara klinis mengalami peningkatan kadar bilirubin,
berdasarkan faktor resiko cara lahir sebagian besar ikterus terjadi pada
bayi dengan tindakan section caesarea yitu 29 (46,8%) responden,
berdasarkan kategori faktor resiko suku/ras didapatkan tingkat
siginifikansi rendah yaitu p=0,60, faktor resiko ikterik usia bayi 72 jam
dengan tingkat signifikan yang tinggi yaitu p=0,016, faktor resiko ibu
merokok dengan tingkat signifikan p=0,10, faktor resiko pemberian
induksi oxitosin p=0,44, faktor resiko cara kelahiran pervagina p=0.04.
faktor resiko yang behubungan dengan tidak dilakukan pemberian ASI
p=0,65. Persamaan dalam penelitian ini adalah pada desain penelitian.
Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini adalah variabel penelitian,
uji hipotesis, jumlah responden, tempat, waktu penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikterus
1. Definisi
Ikterus merupakan suatu tanda klinis yang dapat terlihat pada
kulit, mukosa, sklera yang disebabkan terjadinya penumpukan kadar
bilirubin didalam darah atau bilirubin takterkonjugasi, terjadinya
akumulasi bilirubin dalam darah akan menimbulkan hiperpigmentasi
bilirubin yang berwarna kuning. Ikterus adalah gambaran klinis berupa
pewarnaan kuning karena adanya deposisi produk akhir katabolisme hem
yaitu bilirubin. Secara klinis, ikterus pada neonatus akan tampak bila
konsentrasi bilirubin serum lebih 5 mg/dL. Ikterus neonatus terjadi pada
awal kehidupan pada bayi yang disebabkan oleh banyak hal (Karlina.,
2010, Ng & How., 2015).
Ikterus adalah konsentrasi bilirubin serum total (BST) ≥ 5 mg/dl
(86µmoI/L) keadaan ini dapat ditemukan pada bayi dengan berbagai usia
gestasi 35 minggu ditemukan sekitar 60%, dan 84% pada usia gestasi
kurang dari 35 minggu (pan & Rivas, 2017., Rulina, 2010). Ikterus pada
orang dewasa atau anak akan tampak ikterus apabila serum bilirubin >
1,5 mg/dl(26μmol/L) sedangkan pada neonatus baru tampak apabila
serum bilirubin > 5mg/dl (86μmol/L) (Brits et al, 2018, Karlina, 2010).
2. Klasifikasi hiperbilirubin Neonatus
Menurut Karlina (2016) kejadian ikterus neonatus dapat
dibedakan menjadi dua bagian , yaitu:
a. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologi adalah ikterus yang timbul pada hari kedua dan hari
ketiga serta tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi karena ikterus Adapun tanda-tanda sebagai berikut :
1) Timbul pada hari kedua dan ketiga
2) Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus
cukup bulan.
3) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
4) Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg %.
5) Ikterus menghilang pada 10 hari pertama. Tidak terbukti
mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.
b. Ikterus patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar
patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut
hiperbilirubinemia, Adapun tanda-tandanya sebagai berikut :
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin > 10 mg/dl pada neonatus cukup bulan atau >
12,5% pada neonatus kurang bulan.
3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg/dl per hari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Menurut Ermalinda (2016)., Pan dan Rivas (2018) ikterus
neonaturum dibedakan menjadi lima derajat, yaitu sebagai berikut:
1) Derajat 1 : kuning daerah kepala, leher perkiraan bilirubin 4-8 mg/dl
2) Derajat 2 : kuning sampai badan atas, perkiraan bilirubin 5-12 mg/dl
3) Derajat 3 : kuning sampai badan bagian bawah hingga tungkai,
perkiraan kadar bilirubin 8-15 mg/dl
4) Derajat 4 : kuning hingga meliputi tangan dan tugkai, perkiraan
bilirubin dalam darah >15 mg/dl
5) Derajat 5 : kuning meliputi telapak tangan dan kaki, perkiraan kadar
bilirubin 16 mg/dl.
3. Penyebab Terjadinya Ikterus Neonatus
Menurut Karlina (2016), Pan dan Rivas (2018) Ikterus pada bayi
baru lahir dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
a. Produksi yang berlebihan hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas Rh, ABO, defisiensi G6PD, piruvat kinase,
perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya
substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat
asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil
transferase (Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah
defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh
obat misalnya salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar
hepar. Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan
bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau
kerusakan hepar oleh penyebab lain.
e. Ikterus fisiologis
Sulitnya pengeluaran bilirubin tak terkojugasi dalam saluran
pencernaan pada neonatus, karena belum maturnya sistem
pencernaan pada bayi.
f. Brestfeeding jaundice
Kurangnya asupan ASI pada neonatus dan biasanya terjadi pada hari
ke dua dan ketiga pasca lahir.
g. Breastmilk jaundice
Terjadi ikterus akibat ASI ibu yang tidak cocok sehingga terjadi
penumpukan bilirubin indirek, selain itu terjadi pemanjangan fase
ikterik fisiologis yang mencapai 4-7 hari.
h. Ketidak cocokan golongan darah atau ABO inkompatibilitas
Terjadinya kasus auto imun dimana anti bodi ibu akan memangsa sel
darah merah janin sehingga menyebabkan pecahnya sel darah merah
sehingga akan menyebabkan pelepasan bilirubin berlebihan.
4. Metabolisme bilirubin pada neonatus secara normal
Pemecahan hemoglobin menjadi heme dan globin, heme akan di
oksidasikan oleh enzime heme oksigenase menjadi bentuk biliverdin
(pigmen hijau) kemudian selanjutnya biliverdin yang larut dalam air
mengalami proses degradasi menjadi bentuk bilirubin indirek, yaitu
bilirubin yang tidak larut dalam air dan akan diikat oleh albunmin untuk
dibawa kedalam hati untuk dimetabolisme menjadi bilirubin direk.
Kemudian selanjutya bilirubin direk akan ditransfer kedalam
bilier oleh transpoter spesifik, setelah dieksresi kedalam hati bilirubin
akan disimpan dalam kantong empedu, proses minum akan merangsang
pengeluaran empedu kedalam duodenum. Bilirubin direk tidak akan
diserap oleh epitel usus melainkan dipecah menjadi sterkobilin dan
urobilinogen yang akan dieksresikan melalui feses dan urin, bilirubin
direk sebagian kecil akan didekonjugasi oleh beta-glukoronidase yang
ada pada epitel usus menjadi bilirubin indirek dan akan diangkut kembali
kedalam hati yang disebut proses enterohepatik (Pan & Rivas 2018.,
Rulina, 2010).
5. Penatalaksanaan Neonatus Ikterus
Menurut Karlina (2016), Ng & How (2015), beberapa hal yang
harus diperhatikan dalam menangani neonatus ikterus , diantaranya ialah:
a. Segera hubungi pelayanan kesehatan dan bawa segera ke pelayanan
kesehatan bila bayi tampak kuning:
1) Timbul kuning dalam 24 jam pertama kelahiran
2) Kuning menetap lebih dari 8 hari pada bayi aterm dan lebih dari
14 hari pada bayi prematur
3) Tinja berwarna pucat
4) Pada bayi dengan tanda warna kuning pada kulit mencapai lutut
5) Bayi menolak minum/ menyusu, kaki dan tangan lemas dan suhu
> 37,5
a. Pemeriksaa laboratorium diperlukan untuk menunjang diagnosa
b. Berikan ASI cukup dengan frekuensi pemberian 8 samapai 12 kali
dalam 24 jam
c. Lakukan penyinaran oleh matahari untuk membantu memecahkan
bilirubin dengan cara menempatkan bayi didekat jendela yang terpapar
sinar matahari pagi antara jam 7 hingga jam 8 pagi dan hindari sinar
matahari berpaparan langsung dengan mata bayi, lakukan selama 30
menit. 15 menit dengan posisi terlentang dan 15 menit dengan posisi
telungkup dengan kondisi bayi tidak menggunakan pakaian.
d. Berikan terapi medis foto terapi dan bila diperlukan tranfusi tukar.
Menurut panduan AAP dalam Rulina (2010), Pan & Rivas (2018)
Penatalaksanaa hiperbilirubin berdasarkan parameter yang dibuat The
America Academy Of Pediatrics (AAP) terapi hiperbillirin selain
dilakukan penyinaran juga diberikan suport ASI dengan frekuensi 8-10
kali dalam 24 jam, selanjutnya dilakukan pemantauan jumlah ASI yang
diberikan cukup atau tidak, tidak memberikan cairan per oral selain ASI,
memantau kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK dan jika
kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl perlu diberikan cairan ASI ektra. Jika
kadar bilirubin 20 mg/dl dilakukan penyinaran foto terapi.
Berikut ini adalah tabel panduan penatalaksanaan hiperbilirubin
menurut AAP pada bayi cukup bulan, dan sehat, sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tatalaksana hiperbilirubin pada bayi cukup bulan sehat
Kadar Bilirubin Serum Total (BST) (mg/dl atau µmol/L)
Usia (jam) Pertimbangkan terapi Terapi sinar Tranfusi tukar Tranfusi tukar
sinar jika terapi sinar da terapi sinar
gagal instensif
≤ 24 - - - -
25-48 ≥12 (170) ≥15 (260) ≥20 (340) ≥25 (430)
49-72 ≥15(260) ≥18 (310) ≥25 (430) ≥30 (510)
>72 ≥17(290) ≥20 (340) ≥25 (430) ≥30 (510)
Subcommitte on hyperbilirubinnemia AAP Pediatrik 1994 dalam Rulina (2010)
Keterangan:
1. Terapi sinar yang dilakukan merupakan pilihan yang disesuaikan dengan
penilaian klinis
2. Terapi sinar intensif menurunkan BST sebesar 1-2 mg/dl. Kadar BST dapat
turun lagi dan menetap dibawah ambang batas untuk terapi tranfusi tukar,
jika hal ini tidak terpenuhi maka terapi sinar di anggap gagal
3. Bayi cukup bulan yang tampak kuning pada usia ≥ 24 jam dianggap tidak
sehat dan memerlukan evaluasi.
Gambar. 2.1 pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu
Keterangan:
1. Gunakan penilaian pada acuan nilai bilirubin serum total tanpa dikurangi
bilirubin direk atau indirek
2. Faktor resiko: penyakit isoimun, defisiesi G6PD, asfiksia, letargi signifikan,
instabilitas suhu, sepsis, asidosis, albumin < 3.0 gr/dl
3. Neonatus usia 35-37 minggu dengan kondisi sehat: intervesi dapat mengacu
pada resiko sedang
4. Terapi sinar kovesional atau standar dapat dilakukan dirumah sakit atau
dirumah bila kadar BST 2-3 mg/dl atau (35-50 mmol/L)
5. Foterapi intensif digunakan apabila nilai BST sudah melampaui cut of point
untuk foto terapi setiap kategori.
B. Postpartum
1. Definisi
Postpartum merupakan kondisi pasca melahirkan janin dan plasenta dan
biasa disebut tahap pemulihan organ reproduksi yang biasanya
berlangsung selama enam minggu dimulai dari 2 jam pasca lahirnya
plasenta, dalam bahasa latin disebut puer, masa postpartum akan berakhir
setelah organ dan fungsinya telah kembali seperti sebelum masa
kehamilan (Pitriani & Andriyani, 2014., Kumala & Rini, 2016).
Pada masa postpartum adalah masa transisi dan timbulnya
beberapa masalah atau perubahan pada ibu pasca melahirkan yang
akibatnya dapat menimbulkan masalah baik pada diri ibu postpartum itu
sendiri maupun terhadap bayi yang dilahirkan, seperti masalah kematian
ibu pasca melahirkan, gangguan psikologi ibu dan masalah perubahan
pada beberapa organ fisik diantaranya yaitu, merasakan kontraksi pada
organ reproduksi, haluaran lochea, rasa kelelahan, payudara membesar
dan mengeluarkan ASI, dan mengalami fase taking in, taking hold dan
latting go (Walyani & Purwoastuti, 2015, Karacam & Saglik, 2018).
2. Tahapan-tahapan masa nifas
Menurut Marmi (2012) tahap masa nifas di bagi menjadi 3 yaitu :
a. Puerperium dini merupakan suatu proses pemulihan dimana ibu yang
baru baru melahirkan sudah diperbolehkan berdiri dan berjalan pada
tahap ini ibu sedikit demi sedikit belajar untuk mengembalikan
keadaan seperti keadaan sebelum hamil.
b. Puerperium intermedial merupakan proses dimana masa pemulihan
organ- organ reproduksi secara menyeluruh yang membutuhkan
waktu 6-8 minggu.
c. Perubahan remote puerperium merupakan proses dengan sempurna
terutama pada ibu yang mengalami komplikasi pada saat hamil
maupun melahirkan. Di sini membutuhkan waktu sekitar 6-8 minggu.
d. Perubahan remote puerperium merupakan tahap dimana memerlukan
waktu yang cukup lama untuk proses pemulihan secara sempurna
seperti sebelum hamil terutama pada ibu yang mengalami komplikasi
pada saat hamil maupun melahirkan.
3. Perubahan sistem reproduksi pada masa nifas
Involusi merupakan kemunduran yang terjadi pada setiap organ dan
saluran reproduktif tetapi involusi lebih mengarah pada pemunduran
uterus.
a. Involusi uterus merupakan proses pengembalian bentuk atau ukuran
uterus seperti keadaan sebelum hamil dengan kualitas 60 gram. Ada
pun proses involusi uterus diantaranya: iskemia meometrium, yang di
sebabkan adanya kontraksi atau retraksi uterus secara trus menerus
Setelah mengeluarkan plasenta sehingga uterus mengalami
kekurangan darah dan menyebabkan otot atrofi menjadi erat. Trofi
jaringan, merupakan reaksi di mana proses menghentikan hormon
esterogen saat pelepasan plasenta. Autolysis merupakan proses
penghancuran sel oleh enzim proteolitic di dalam uterus. Enzim ini
juga bisa mengembalikan atau memendekkan jaringan otot yang
mengendur hingga menyebabkan penurunan hormon estrogen dan
progesterone. Penurunan hormon tersebut mengakibatkan terjadinya
kerusakan secara lansung dan peningkatan volume jaringan atau
organ secara berlebihan.
b. Involusi tempat plasenta, setelah melahirkan plasenta akan
meninggalkan pembuluh darah yang besar yang tersumbat oleh
trombosit sehingga menyebabkan permukan tempat plasenta menjadi
besar dan tidak teratur namun setelah plasenta lahir luka akan
kembali dengan sendirinya. Luka akibat bekas plasenta tidak
meninggalkan parut karna diikuti oleh pertumbuhan lapisan baru di
bawah permukaan luka, pertumbuhan lapisan jaringan baru
membutuhkan waktu 6 minggu.
c. Involusi ligamen adalah terjadinya peregangan pada bagian
penghubung antara panggul atas dan bawah pada saat hamil dan
melahirkan.
d. Involusi pada serviks adalah perubahan terjadi akibat dari kontraksi
korvus uteri yang menyebabkan serviks terbuka lebar, sedangkan
yang tidak terjadi kontraksi konvus uteri akan membentuk seperti
cincin. Ciri-ciri nya berwarna merah kehitaman karna penuh dengan
pembulu darah, pinggirnya tidak rata akibat dari robekan pada saat
persalinan.
e. Involusi pada vulva, vagina adalah perubahan yang terjadi akibat dari
adanya penekanan dan pergerakan yang besar pada vulva dan vagina
sehingga menyebabkan kekendoran pada keduanya, setelah 3 minggu
selsai melahirkan vulva dan vagian akan kembali lagi pada keadaan
seperti sebelum hamil. (Marmi 2012)
4. Tujuan Asuhan Ibu PostPartum
Menurut Walyani dan Purwoastuti (2015), Kumala & Rini, (2016) tujuan
dilakukannnya asuhan ibu pasca melahirkan, diantaranya yaitu:
Mendeteksi adanya perdarahan, menjaga kesehatan ibu dan bayi,
melaksankan scrining secara komprehensif, memberikan pendidikan
kesehatan tentang laktasi dan pewatan payudara, Konseling terkait dengan
kontra sepsi.
C. Proses Laktasi
1. Definisi
Proses Laktasi adalah aktivitas memberikan (air susu ibu)
kepada bayi secara ekslusif atau tanpa makanan tambahan apapun jenis
makan tambahan atau pendamping yang dimaksud adalah susu formula,
air putih, air gula, madu, teh buah-buahan, biskuit, bubur meliputi: susu,
tim, nasi (Walyani & Purwoastuti, 2015). Proses laktasi merupakan cara
pemberian ASI secara alamiah dengan cara yang tepat dan tanpa
diberikan makanan tambahan apapun baik dalam bentuk cair maupun
makanan bentuk padat dan berlangsung minimal 4 bulan dan lebih tepat
dilakukan 6 bulan (Pitriani & Andriyani, 2014).
Pemberian air susu sesaat setelah lahir yaitu pemberian cairan
kolostrum pada hari pertama hingga hari ketiga pasca bayi lahir yang
selanjutnya akan dilanjutkan dengan pemberian air susu matur pada hari
keempat hingga usia bayi 6 bulan, cairan kolostrum ini sangat baik untuk
dikonsumsi bayi dalam kondisi system pencernaan bayi yang belum
matur dan mempercepat onset keluarnya ASI matur pada hari ke empat
(Walyani & Purwoastuti, 2015).
Onset laktasi adalah waktu yang dibutuhkan untuk
mengeluarkan ASI pertama kali yang ditandai hal sebagai berikut:
payudara mengencang, tersa berat, terasa penuh dan ditandai keluarnya
kolostrum dan air susu. Dewey et al (2018) mengungkapkan bahwa
pasangan ibu dan bayi harus dilakukan pememntauan ketat terkait
asupan ASI pada bayi dan produksi ASI pada ibu postpartum hingga 96
jam paska melahirkan.
2. Komposisi ASI
Menurut Karlina (2016) Komposisi zat gizi yang terdapat dalam ASI
terdiri dari komponen tertentu :
a. Karbohidrat
Karbohidrat utama ASI adalah laktosa (gula). Air susu ibu
mengandung lebih banyak laktosa dibanding dengan susu mamalia
lainnya atau sekitar 20-30% lebih banyak dari susu sapi. Laktosa
diperlukan untuk pertumbuhan otak, salah satu 12 produk dari laktosa
yaitu galaktosa, ini penting bagi jaringan otak yang sedang tumbuh.
Laktosa meningkatkan penyerapan kalsium yang sangat penting
untuk pertumbuhan tulang. Laktosa meningkatkan pertumbuhan
bakteri usus yang baik yaitu lactobacillus bifidus. Laktosa oleh
fermentasi akan diubah menjadi asam laktat, adanya asam laktat akan
memberikan beberapa keuntungan antara lain menghambat
pertumbuhan bakteri yang berbahaya (Roesli, 2011).
b. Protein
Selama menyusui ibu membutuhkan tambahan protein diatas
kebutuhan normal sebesar 20 g/hari. Dasar ketentuan ini ialah bahwa
dalam tiap 100 cc ASI mengandung 1,2 g protein. 850 cc ASI
mengandung 10 gram protein, efisiensi konversi protein makanan
menjadi protein susu hanya 70% (dengan variasi perorangan).
Peningkatan kebutuhan ini bukan hanya untuk transformasi menjadi
protein susu, tetapi juga untuk sintesis hormon yang memproduksi
(prolaktin) serta yang mengeluarkan ASI yaitu hormon oksitoksin
(Arisman, 2004). Kandungan protein susu sapi sekitar tiga kali ASI.
Hampir semua protein dari susu sapi berupa kasein dan hanya sedikit
berupa ” souluble whey protein”. Porsi kasein yang besar ini
membentuk gumpalan liat dalam perut bayi. ASI mengandung total
protein lebih rendah tetapi lebih banyak ”soluble whey protein”,
komposisi inilah yang membentuk gumpalan lebih lunak yang lebih
mudah dicerna dan diserap.
c. Lemak
Sekitar separuh dari energi ASI berasal dari lemak yang terdapat
mudah diserap dibandingkan dengan susu sapi. Hal ini karena ada
enzim lipase dalam ASI. Kandungan lemak total ASI bervariasi
antara ibu satu dengan lainnya dari satu fase laktasi ke fase lanilla
(Suhardjo, 1995) Kadar lemak dalam ASI pada mulanya rendah,
kemudian meningkat jumlahnya. Lemak dalam ASI berubah
kadarnya setiap kali dihisap oleh bayi dan hal ini terjadi secara
otomatis. Komposisi lemak pada lima menit pertama isapan akan
berbeda dengan hari kedua dan akan terus berubah menurut
perkembangan bayi dan kebutuhan energi yang diperlukan. Jenis
lemak yang ada dalam ASI mengandung lemak rantai panjang yang
dibutuhkan oleh sel jeringan otak dan Sangat mudah dicerna karena
mengandung enzim lipase. Lemak dalam bentuk Omega 3, Omega 6,
dan DHA yang sangat diperlukan untuk sel-sel jeringan otak.
d. Mineral
Air susu ibu (ASI) mengandung mineral yang lengkap, walaupun
kadarnya relative rendah, tetapi cukup untuk bayi sampai umur 6
bulan. Zat besi dan kalsium dalam ASI merupakan mineral yang
sangat stabil dan jumlahnya tidak dipengaruhi oleh diet ibu.
e. Vitamin
Air susu ibu (ASI) mengandung vitamin yang lengkap, vitamin yang
terkandung dalam ASI cukup untuk 6 bulan sehingga tidak perlu
ditambah. Vitamin K, karena bayi baru lahir ususnya belum mampu
mambentuk vitamin K, sebagai proses pembekuan darah, sehingga
vitamin tambahan yang diberikan pada bayi adalah vitamin K.
3. Hambatan Pemberian ASI
Menurut Rulina (2010) terdapat beberapa hambatan memberikan ASI
pada bayi atau pada fase menyusui, yaitu diantaranya:
Puting atau papila terasa nyeri, Payudara bengkak, Mastitis dan abses
payudara, Ibu postpartum sectio caesaria.
4. Payudara
Walyani (2015) mengungkapkan mengenai anatomi dan fisiologi
payudara hingga proses pengeluaran ASI yaitu :
a. Anatomi papila
Papila atau sering disebut puting susu adalah bagian yang akan
lagsung bersentuhan dengan mukosa bibir bayi ketika memberikan
ASI, papila terdiri dari beberapa lubang kecil yang merupakan duktus
laktiferus, ujung syaraf otot polos yang tersusun secara sirkuler
sehingga apabila terdapat kontraksi maka duktus latiferus akan
memadat menyebabkan papila ereksi. Duktus laktiferus terdapat 15-
20 dan bercabang 20-40 duktuli kemudian bercabang lagi menjadi
10-100 alveoli yang masing-masing berhubungan langsung dengan
aliran ASI.
b. Fisiologi
Menurut Purwoastuti (2015) Berdasarkan fungsinya payudara akan
memproduksi ASI pada dua hari pasca persalinan karena pada hari
kedua prolaktin meningkat dan hormon penghambat ASI estrogen
dan progersteron menurun sehingga pada hari kedua eksresi ASI akan
banyak, jika pada sesaat pasca kelahiran diberikan rangsangan hisap
pada papila maka akan terbetuknya prolaktin hipofisis sehingga
eksresi ASI akan semakin lancar. Terdapat dua reflek penting dalam
proses laktasi pada ibu menyusui yaitu reflek prolaktin dan reflek
aliran (let down reflek).
1) Reflek prolaktin
Pada saat bayi menghisap papila akan terbentuk rangsangan
melalui serabut efference yang mengirim impuls ke hipotalamus di
dasar otak lalu memerintahkan hipofiss memproduksi hormon
prolaktin, hormon prolaktin mengalir bersama aliran darah
memicu sel kelenjar alveoli memproduksi ASI.
2) Reflek aliran (let don reflex)
Rangsangan yang timbul akibat proses hisapan bayi saat meyusu,
hal ini selain mempengaruhi hipofisis anterior untuk
memperoduksi hormon prolaktin rangsangan ini juga
mempengaruhi hiposis posterior mengeluarkan hormon oksitosin.
Hormon oksitosin akan memacu otot-otot polos yang mengelilingi
alveoli memeras ASI keluar menuju puting.
5. Cara tepat memberikan ASI
Walyani (2015) mengungkapkan terdapat beberapa teknik atau tahapan
tepat memberikan ASI pada bayi, untuk mendapatkan menyusui yang
baik, yaitu sebagai berikut:
1) Cara memasukan puting susu kedalam mulut bayi
Posisikan bayi menghadap ke dada ibu dengan posisi kepala berada
pada siku tangan ibu dan telapak tangan ibu menyangga bokong dan
paha bayi, sanggah payudara ibu menggunakan empat jari tangan kiri,
lalu basahi bagian papila dan areola dengan ASI, arahkan puting ke
mulut bayi, setelah bayi membuka mulut pastikan papila dan area
areola tertutupi mulut bayi, biarkan bayi menghisap 8-10 menit.
Ibu postpartum
1. Sectio caesaria
2. Normal
BBL Menyusui
1. Aterm
2. Preterm
Onset Onset
Laktasi Laktasi
Lambat Cepat
1. Pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan laboratorium Normal bilirubi:
Direk: 0,4 mg/dl
Idirek: 0,3 – 1,1
mg/dl
Gambar 2.2
Sumber : Purwoastuti (2015), Kumala & Rini, (2016), Dewey et al (2018),
(Brits., 2018, Karlina, 2010). Ermalinda, (2016), Pan dan Rivas (2018) ikterus
E. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Variabel Confounding
Prematur
BBLR
Bayi Sepsis
Bayi Asfiksia
Kelainan kongenital
GOL Darah ABO
Incom
Defisiensi G6PD
Keterangan:
F. Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ada Hubungan Antara Onset
Laktasi Ibu Postpartum dengan Kejadian Ikterus Pada Bayi Baru Lahir Di
RSUD Panembahan Senopati Bantul.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survei analitik yaitu satu bentuk penelitian
ingin mengetahui korelasi variable satu dengan yang lainnya, Desain
penelitian ini cross sectional yaitu peneliti mempelajari dinamika korelasi
faktor resiko (cause) atau paparan dan faktor efek, dengan cara pengumpulan
data sekaligus dalam satu waktu (point time approach), akan tetapi bukan
berarti semua subjek penelitian di amati pada waktu yang bersamaan
(Swarjana, 2015). Dinamika korelasi dalam penelitian ini yaitu Hubungan
onset laktasi dengan kejadian ikterus pada bayi baru lahir.
𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑒 2 )
Keterangan:
117
𝑛=
117(0,01 )
117
𝑛=
1 + 1,17
𝑛 = 54
3. Sampling
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dengan metode
consecutive sampling, yaitu peneliti mengambil sampel yang memenuhi
kriteria penelitian, baik kriteria inklusi ataupun ekslusi dalam waktu
tertentu (Hidayat, 2007).
1. Kriteria sampel
a. Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri - ciri yang perlu dipenuhi
oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel
(Notoatmodjo, 2012). Kriteria inklusi dalam penelitian ini terdiri
dari:
1) Lahir tanpa penyulit, tidak asfiksia, tidak infeksi berat, tidak
mengalami gangguan nafas.
2) Bayi lahir tanpa cacat kongenital
3) Ibu dan bayi tidak tidak mengalami Rh inkompatibilitas dengan
ketidak cocokan golongan darah ABO inkmpatibilitas.
4) Gestasi usia kehamilan ≥ 35 minggu
5) Bayi diberikan ASI
b. Ekslusi
Kriteria ekslusi adalah ciri-ciri anggota populasi yang tidak dapat
diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2012). Kriteria ekslusi
dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Ibu eklampsia, perdarahan
2) Tidak bisa menulis dan membaca.
3) Ibu kelainan bentuk papila (Inverted)
D. Variable Penelitian
1. Variable independen
Variabel independen (Variable Bebas) adalah variabel yang menjadi
sebab timbulnya perubahan pada variabel dependen, jadi variabel
independen adalah variabel yang mempengaruhi (Swarjana, 2015).
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Onset laktasi ibu postpartum.
2. Variable dependen
Variabel dependen (Variabel Terikat), yaitu variabel yang dipengaruhi
atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas (Swarjana, 2015).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah insiden ikterus neonatorum.
3. Variabel confounding
Variabel luar/penganggu adalah variabel yang memperkuat atau
memperlemah hubungan variabel bebas dan terikat yang mempengaruhi
kedua variabel tersebut (Sugiono, 2007). Variabel ini ada apabila terdapat
faktor atau variabel ketiga yang berkaitan dengan faktor resiko dan faktor
efek (Notoatmodjo, 2010). Variabel pengganggu dalam penelitian yang
dapat dikendalikan yaitu kelainan kongenital, perbedaan golongan darah
ABO incompatibilitas, bayi lahir sepsis, bayi BBLR, dan usia gestasi,
variabel ini akan di kendalikan dengan memilih responden berdasarkan
ketetapan kriteria responden dalam penelitian.
E. Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Onset Masa permulaan untuk Kuesioner 1. Onset laktasi ≤ Ordinal
laktasi memperbanyak ASI 72 jam
atau fase come in ASI 2. Onset laktasi >
keluar dimana pada 72 jam
fase ini ibu postpartum
akan merasakan
sensasi payudara
terasa penuh,
mengencang, bengkak
dan terasa berat,
jangka waktu yang
diperlukan untuk
mengeluarkan ASI
pertama kali pasca
persalinan dimulai dari
≤ 72 jam pasca
persalinan, kategori
onset laktasi dibagi
menjadi dua, yaitu:
onset laktasi cepat
ASI keluar ≤ 72 pasca
bersalin dan onset
laktasi lambat ASI
keluar > 72 jam pasca
bersalin
Ikterus Ikterus neonatorum Observasi 1. Ikterus dengan Ordinal
neonato terjadi pewarnaan bilirubin ≥ 5
rum kuning pada kulit, mg/dl
mukosa, dan sclera 2. Tidak ikterus <
sebagai akibat dari 5 mg/dl
meningkatnya kadar
bilirubin dalam darah
> 5 mg/dl yang
muncul secara
fisiologis pada bayi
usia 72 jam atau 3 hari
pasca kelahiran
dengan kenaikan
bilirubin total per hari
tidak < 5%. Dikatakan
ikterus apabila
ditandai muncul warna
kuning pada area,
kepala, wajah, leher,
lengan, badan, tangan,
tungkai hingga telapak
kaki.
F. Instrument dan Metode Pengumpulan Data
1. Instrument pengumpulan data
a. Data demografi
Data demografi adalah memberikan gambaran karakteristik, frekuensi
data responden dan dalam hal ini sebagai data pendukung dalam
pengolahan data dan pembahasan (Notoatmodjo, 2010). Data
demografi responden yang diambil dalam penelitian ini meliputi , usia
BBL, Jenis kelamin Bayi, Cara kelahiran, Berat badan BBL, Usia
gestasi partum diambil dengan cara pengisian lembar kuesioner.
b. Kuesioner/angket
Kuesioner/angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
yang harus dijawab responden untuk mendapatkan informasi data
primer dari responden tersebut (Hidayat, 2007). pengukuran onset
laktasi pada ibu postpartum dan kejadian ikterus pada bayi baru lahir
digunakan kuesioner dan lembar observasi sebagai berikut:
1. Kuesioner onset laktasi, Intrumen ini menggambarkan onset laktasi
pada ibu postpartum berdasarkan indikator secara teoritis. Bentuk
pernyataan dalam kuesioner ini adalah bentuk pernyataan tertutup
secara dichotomous choice dimana pernyataan dalam kuesioner ini
hanya mempunyai 2 alternatif jawaban. Kuisioner ini terdiri dari 2
bagian yaitu bagian pertama pernyataan tentang identitas
responden dan bagian ke dua berisi tentang pernyataan untuk
mengukur onset laktasi berdasarkan indikator keberhasilan laktasi
pasien yang di ukur dengan skala ordinal, kuesioner ini terdiri dari
18 butir pernyataan. Dimana jika jawaban pada pertanyaan positif
“Ya” diberi nilai (1) dan jawaban “Tidak” diberi nilai (0).
Sedangkan pada pertanyaan negatif jawaban “Ya” diberi skor (0)
dan jawaban tidak di beri skor (1). Alat ukur ini mempunyai 2
kategori kesimpulan yaitu onset laktasi cepat ≤ 72 jam = X > cut of
point, onset laktasi lambat > 72 jam = X < cut of point.
3. 2 Kisi – Kisi Kuisioner Onset Laktasi
No. Item
Komponen
Variable Total
yang Diukur
Favorable Unfavorable
Fisiologis 2, 6, 8,
4, 5, 7, 6
Produksi ASI
Onset 1, 3, 9, 10,
Lantasi Manajemen 11, 12,
13
laktasi 14,15,16,17,
18,19,20,21 15
2. Lembar Observasi
Lembar observasi berisi penilaian area ikterik pada bayi usia 48
jam dan 72 jam pasca kelahiran dimana akan diberikan tanda check
list bila ditemukan tanda ikterik. Indikator penilaian ini di adopsi
dari Ermalinda, (2016), Pan dan Rivas (2018) ikterus neonaturum
dibedakan menjadi lima derajat, yaitu sebagai berikut:
6) Derajat 1 : kuning daerah kepala, leher perkiraan bilirubin 4-8
mg/dl
7) Derajat 2 : kuning sampai badan atas, perkiraan bilirubin 5-12
mg/dl
8) Derajat 3 :kuning sampai badan bagian bawah hingga tungkai,
perkiraan kadar bilirubin 8-15 mg/dl
9) Derajat 4 :kuning hingga meliputi tangan dan tugkai,
perkiraan bilirubin dalam darah >15 mg/dl
10) Derajat 5 : kuning meliputi telapak tangan dan kaki, perkiraan
kadar bilirubin 16 mg/dl
𝑘 ∑ 𝑆𝑖2
rii = [1 − ]
𝑘−1 𝑆𝑡2
Keterangan:
𝑓
P= 𝑛 × 100%
Keterangan:
P : Prosentase
F : Jumlah data
n : Jumlah seluruh item
H. Etika Penelitian
Peneliti perlu mendapatkan rekomendasi dari institusinya dan dari pihak lain
dengan mengajukan izin kepada institusi tempat peneliti. Setelah mendapatkan
persetujuan, maka peneliti dapat melakukan penelitian dengan menekankan
etika penelitian yang mengacu pada Aziz Alimul (2008)
1. Informed Consent
a. Pada awal pertemuan, peneliti telah menjelaskan tentang penelitian
yang akan dilakukan meliputi, tujuan, manfaat, dan kerugian penelitian
kepada responden
b. Peneliti memberikan lembar persetujuan kepada responden untuk
menandatangi consent.
2. Anomity (tanpa nama)
Pada data yang diinput kedalam SPSS versi 16.0 peneliti tidak
mencantumkan nama responden, tetapi data tersebut telah peneliti berikan
kode.
3. Confidentiality
Peneliti telah menjaga kerahasiaan data responden, dan peneliti tidak
memasukan data apapun yang bersifat rahasia pada laporan akhir.
4. Kejujuran
Penelitian ini akan memiliki manfaat apabila diaplikasikan karena
penelitian terlaksana berdasarkan jujur dalam pengumpulan bahan pustaka,
pengumpulan data, pelaksanaan metode, dan prosedur penelitian.
5. Tidak melakukan diksriminasi
Dalam penelitian ini peneliti telah menghindari perbedaan perlakuan
karena alasan jenis kelamin, ras, suku, dan faktor-faktor lain.
I. Jalannya Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Tahap persiapan merupakan kegiatan yang dilakukan sebelum penelitian,
meliputi:
a) Melakukan konsultasi dengan pembimbing untuk menentukan
langkah - langkah penyusunan usulan penelitian.
b) Pengajuan judul penelitian
c) Studi pustaka untuk menentukan acuan penelitian yang bersumber
dari buku, makalah, jurnal, dan lain-lain.
d) Melakukan studi pendahuluan pada tanggal 26 Desember - 29
Desember 2018 di RSUD Panembahan Senopati Bantul
e) Menyusun proposal dan mengkonsulkan kepada pembimbing.
f) Mempresentasikan proposal yang telah di konsulkan kepada
pembimbing.
g) Memperbaiki proposal yang sudah di presentasikan.
h) Melakukan uji instrumen di RSUD Sleman
i) Melakukan izin penelitian kepada instansi terkait.
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian
a. Melakukan perjanjian kerja sama dengan perawat ruangan untuk
membantu memberikan informasi kepada peneliti.
b. Peneliti mendatangi calon responden di bangsal bersalin dan
postpartum
c. Peneliti memperkenalkan diri kepada calon responden dengan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan.
d. Peneliti menjelaskan bahwa peneliti akan menjaga kerahasiaan data
dari masing – masing responden.
e. Peneliti memilih responden yang sesuai kriteria inklusi.
f. Peneliti meminta persetujuan responden untuk kesediaannya menjadi
responden dan responden menandatangani informed consent.
g. Memberikan kuesioner kepada responden ibu post partum dan
melakuklan observasi pada bayi 24 jam pertama, 48 jam dan 72 jam.
h. Setelah di adakan pengecekan kemudian dianalisis dengan dibuat
kode - kode untuk memudahkan dalam tabulasi data kemudian
dikelompokkan dianalisis, dan dibuat kesimpulan hasil penelitian.
3. Tahap Akhir Penelitian
Tahap akhir dari penelitian ini adalah mengolah dan menganalisis data.
Selanjutnya peneliti melakukan penyelesaian dan menyusun laporan hasil
penelitian, revisi laporan sesuai saran dan koreksi dari pembimbing untuk
mempersiapkan seminar hasil penelitian.
Lampiran I. Data Demografi
PETUNJUK PENGISIAN
Kode :
Tgl. pengisian :
A. Data Biografi
1. Nama ibu :
2. Usia ibu :
3. Pekerjaan ibu : Kode diisi petugas
4. Usia bayi saat ini
Usia bayi : jam
5. Jenis Kelamin bayi
Laki-laki Perempuan
6. Cara kelahiran
Spontan/normal Sectio caesarea (sesar)
7. Berat badan bayi
2500-3000 grm 3000-4000 grm
8. Usia Gestasi
35 Minggu 40 Minggu
Lampiran 2. Lembar evaluasi dan intervensi Onset laktasi
Petunjuk pengisian:
Lembar pernyataan ini di isi oleh pasien berdasarkan kondisi anda sebenarnya
dengan memberi tanda Check list (√)
Jawab
No Item Pertanyaan
Ya Tidak
1 Saya memberikan ASI sejak bayi lahir atau dimulai pada
hari ke - 0.
2 Saya memberikan ASI sesering mungkin (8-10 kali)
dalam 24 jam.
3 Saya tidak mengalami kesulitan mengeluarkan ASI sejak
bayi lahir
4 Saya merasakan kencang pada payudara sejak 12 jam
pasca melahirkan
5 Saya merasakan payudara mengencang, terasa penuh
pada 72 jam pasca melahirkan
6 Saya merasakan payudara menjadi berat bila tidak
menyusui sejak 24 jam pertama pasca melahirkan
7 Saya merasa ringan dan tidak mengencang pada payudara
bila saya tidak menyusui
8 Saya membiarkan bayi menyusu disatu payudara dalam
waktu sekurang-kurangnya 10 menit atau payudara sudah
terasa kosong.
9 Saya melakukan perah ASI untuk persedian pemberian
ASI pada bayi.
10 Saya melepaskan hisapan bayi dengan cara memasukan
jari kelingking melalui sudut mulut bayi
11 Saya tidak dapat mengeluarkan ASI pada hari pertama
pasca melahirkan
12 Saya tetap menyusui bayi saya meskipun ASI belum
keluar pada hari pertama pasca melahirkan
13 Saya sering mengkonsumsi makanan sayuran
14 Saya faham cara merawatan payudara selama kehamilan
15 Saya faham cara menyusui yang baik dan benar
16 Saya menerima bayi untuk memberikan ASI
17 ASI saya keluar ≤ 72 jam
18 Saya memberikan ASI secara bergantian dari sebelah kiri
ke sebelah kanan
19 Saya melakukan pijat payudara agar produksi ASI saya
banyak
20 Saat saya memence puting, keluar kolostrum
21 Setelah saya menyusui bayi tampak kenyang (tidak rewel)
Lampiran 3. Lembar Observasi Ikterus
Petunjuk pengisian:
Lembar evaluasi di isi oleh petugas/ peneliti berdasarkan hasil observasi dan
wawancara kepada klien dengan metode pengisian check list (√)
Check list
No Indikator Area Ikterik 72
Ya Tidak
1 Meliputi Area kepala dan leher
2 Meliputi Badan bagian atas
Meliputi Badan bagian bawah
3
hingga tugkai
Meliputi Kedua Kaki dan tangan,
4
tungkai
5 Meliputi Telapak tangan dan kaki
Tak tampak kuning pada seluruh
6
bagian tubuh/hiperbilirubin
DAFTAR PUSTAKA
Brits, H., Adendorff, J., Huisamen, D., Beukes, D., Botha, K., Herbst, H., &
Joubert, G. (2018). The prevalence of neonatal jaundice and risk factors in
healthy term neonates at National District Hospital in
Bloemfontein. African journal of primary health care & family
medicine, 10(1), 1-6.
Bhutta, Z. A., Das, J. K., Rizvi, A., Gaffey, M. F., Walker, N., Horton, S., &
Maternal and Child Nutrition Study Group. (2013). Evidence-based
interventions for improvement of maternal and child nutrition: what can be
done and at what cost The lancet, 382(9890), 452-477.
Ng, M. C. W., & How, C. H. (2015). When babies turn yellow. Singapore medical
journal, 56(11), 599.
Pan, D. H., & Rivas, Y. (2017). Jaundice: Newborn to age 2 months. Pediatrics in
review, 38(11), 499-510.
Rulina, Suradadi dkk. (2010). Indonesia Menyusui: ASI ekslusif. Jakarta. IDAI
Tavakolizadeh, R., Izadi, A., Seirafi, G., Khedmat, L., & Mojtahedi, S. Y. (2018).
Maternal risk factors for neonatal jaundice: a hospital-based cross-
sectional study in Tehran. European journal of translational
myology, 28(3).