Anda di halaman 1dari 53

PRESENTASI KASUS

SEORANG LAKI-LAKI USIA 76 TAHUN


DENGAN PPOK DAN PNEUMONIA

DISUSUN OLEH:
Amalina Yasserli Amraini G99172033

PEMBIMBING:
dr. Yunita Fatmawati, Sp.KFR

KEPANITERAAN KLINIK / PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI MEDIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
STATUS PASIEN

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : Tn. WS
Umur : 76 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan : Tidak bekerja
Alamat : Sukoharjo, Jawa Tengah
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal Masuk : 8 Juli 2018
Tanggal Periksa : 30 Juli 2018
No. RM : 01203xxx
B. Keluhan Utama
Sesak nafas
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD Dr. Moewardi
dengan keluhan sesak nafas sejak 6 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak
muncul saat berjalan dari kamar mandi. Sesak tidak dipengaruhi cuaca dan
debu. Riwayat terbangun di malam hari karena sesak disangkal. Pasien
nyaman tidur dengan dua bantal. Terdapat riwayat menggunakan obat semprot
Ventolin dan Symbicort: bronkodilator).
Batuk muncul disaat pasien mengalami sesak. Batuk setelahnya masih
ada, dengan sifat hilang timbul. Terdapat dahak putih kental setiap bangun
tidur pagi. Batuk darah disangkal. Nyeri dada disangkal.
Pasien tidak mengeluhkan demam maupun sumer-sumer. Riwayat
keringat malam tanpa aktivitas disangkal. Mual dan muntah disangkal. Tidak

1
ada penurunan berat badan maupun nafsu makan. BAB dan BAK dalam batas
normal.
Pasien mulai mengalami keluhan sesak napas pada tahun 2012 dan
pernah dirawat di RSUD dr. Moewardi dengan diagnosis pemeriksaan PPOK.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan serupa : (+) sejak tahun 2012, menggunakan
obat semprot
2. Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat diabetes melitus : disangkal
5. Riwayat hipertensi : disangkal
6. Riwayat sakit jantung : disangkal
7. Riwayat sakit ginjal : disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat sakit serupa : disangkal
2. Riwayat asma : disangkal
3. Riwayat alergi : disangkal
4. Riwayat diabetes melitus : disangkal
5. Riwayat hipertensi : disangkal
6. Riwayat sakit jantung : disangkal
7. Riwayat sakit ginjal : disangkal
8. Riwayat sakit paru : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan dan Gizi
1. Riwayat makan : Pasien makan tiga kali sehari dengan
sepiring nasi dan lauk pauk berupa
tahu, tempe, telur, ikan dan sayur
2. Riwayat merokok : (+) berhenti sejak tahun 2012, lama
merokok 30 tahun, 3 bungkus per hari (36 batang). Indeks Brinkman=
36x30 tahun= 1080 (Klasifikasi: Perokok berat)

2
3. Riwayat mengonsumsi alkohol : disangkal
4. Riwayat olahraga : jarang
G. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sudah tidak bekerja dan tinggal bersama istrinya. Pasien berobat
dengan fasilitas BPJS.
II. PEMERIKSAAN FISIK
A. Status Generalis
Keadaan umum kesan umum tampak sakit sedang, composmentis GCS
E4V5M6, gizi kesan underweight
B. Tanda Vital
Tekanan darah : 135/75 mmHg
Nadi : 100x/menit, isi cukup, irama teratur
Respirasi : 26x/menit, irama teratur, tipe thoracoabdominal
Suhu : 36.6°C per aksiler
Berat badan : 49 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 17.4 kg/m2 kesan gizi kurang
C. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-), venektasi (-), spider
naevi (-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
D. Kepala
Bentuk mesocephal, kedudukan kepala simetris, luka (-), rambut hitam, tidak
mudah rontok, tidak mudah dicabut, atrofi otot (-)
E. Mata
Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem palpebra (-/-), sekret (-/-),
strabismus (-/-), pterigium (-/-), erosi kornea (-/-)
F. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-/-), sekret (-/-)

3
G. Telinga
Normotia, deformitas (-/-), darah (-/-), sekret (-/-)
H. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-), mukosa pucat (-), gusi berdarah
(-), pursed lips breathing
I. Leher
Simetris, trakea di tengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar,
nyeri tekan (-), benjolan (-), hipertrofi musculus sternocleidomastoideus (+)
J. Thorax
a. Retraksi (-), barrel chest (-), simetris
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 1 cm ke arah lateral linea
midclavicularis sinistra, tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kesan = melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
c. Paru
Inspeksi : Pengembangan dinding dada kanan = kiri (normal), sesak
napas (+)
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri (lemah)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara vesikuler (+/+) menurun, RBK (+/+), RBH (-/-),
wheezing (+/+) posterior
d. Pemeriksaan ekspansi thorax
Dapat dilakukan dengan dua acara: manual palpasi thorax dan
menggunakan medline. Pada orang sehat, pemeriksaan menggunakan
medline dalam inspirasi dan ekspirasi normal (tidal) didapatkan hasil
ekspansi sebesar 0,5-1 cm, sedangkan pada inspirasi dan ekspirasi
maksimal didapatkan ekspansi sebesar 3-4 cm. Pada pasien ini, didapatkan

4
ekspansi thorax yang sedikit menurun. Hal tersebut disebabkan karena
adanya penyakit PPOK pada pasien yang menimbulkan gangguan pada
inspirasi dan ekspirasi dan adanya dispneu sehingga thorax tidak dapat
melakukan ekspansi secara sempurna dan maksimal.
K. Trunk
Inspeksi : simetris, shoulder tilt (-), deformitas (-), skoliosis (-)
edema (-), inflamasi (-), wasting muscle (-)
Palpasi : suhu normal, nyeri gerak (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra (-)
L. Abdomen
Inspeksi : dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal 12 x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
M. Ekstremitas
Oedem Akral dingin

- - - -

- - - -

N. Status Psikiatri
Deskripsi Umum
1. Penampilan : laki-laki tampak sesuai umur, berpakaian rapi,
perawatan diri baik
2. Kesadaran : Kuantitatif : GCS E4V5M6 / composmentis
Kualitatif : tidak berubah
3. Perilaku dan aktivitas motorik : baik
4. Pembicaraan : baik, realistik
5. Sikap terhadap pemeriksa : kooperatif
Afek dan mood : eutimik

5
Gangguan Persepsi
 Halusinasi : tidak ada
 Ilusi : tidak ada
Proses Pikir
 Bentuk : realistik
 Isi : waham tidak ada
 Arus : koheren
Sensorium dan Kognitif
 Daya konsentrasi : baik
 Orientasi : baik
 Daya ingat : Jangka pendek : baik
Jangka panjang : baik
Daya Nilai : daya nilai realitas dan sosial baik
Insight : tilikan derajat 6
Taraf dapat dipercaya : dapat dipercaya
O. Fungsi Motorik Range of Motion (ROM) dan Manual Muscle Test (MMT)
ROM Pasif ROM Aktif MMT
Ekstremitas Superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Fleksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 160° 0 – 160° 4 4
Ekstensi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Abduksi 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 0 – 180° 5 5
Shoulder
Adduksi 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 0 – 60° 5 5
Eksternal Rotasi 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 0 – 90° 5 5
Internal Rotasi 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Fleksi 0 – 70° 0 – 70° 5 5
Ekstensi 0 – 10° 0 – 10° 5 5
Right lateral
Trunk 0 – 35° 0 – 35° 5 5
bending
Left lateral
0 – 35° 0 – 35° 5 5
bending

6
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Spirometri (18 Juli 2018)
Pemeriksaan Hasil Satuan
%KV 33.68 %
%KVP 29.19 %
%VEP1 19.5 %
VEP1% 56.98 %
Interpretasi:
%VEP1(VEP1/VEP1 pred)= 19.5% (< 80%)
VEP1% (VEP1/KVP)= 56.98% (< 75%)
Klasifikasi tingkat keparahan GOLD (The Global Initiative for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease) berdasarkan hasil pengukuran spirometri:
Pada pasien dengan VEP1/KVP < 70%
GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
GOLD 4 Sangat berat VEP1 < 30% prediksi

Berdasarkan klasifikasi tersebut, pada pasien ini terjadi PPOK Sangat berat
dengan obstruksi fungsi paru

7
B. Foto Rontgen Thorak Lateral-PA (18 Juli 2018)

Kesan:
Emfisematous lung dengan Pneumonia

8
C. MSCT Thorax/ Abdomen atas/ Abdomen bawah pelvis (23 Juli 2018)

Kesan:
1. Interstitial lung disease
2. Emfisematous lung
D. Skala Indeks Barthel untuk Menentukan nilai Activities Daily Living (ADL)
No. Item yang dinilai Skor Nilai
1. Makan 0 = Tidak mampu
2
(Feeding) 1 = Butuh bantuan memotong, mengoles

9
mentega dll.
2 = Mandiri
2. Mandi (Bathing) 0 = Tergantung orang lain
0
1 = Mandiri
3. Perawatan diri 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
(Grooming) 1 = Mandiri dalam perawatan muka, 1
rambut, gigi, dan bercukur
4. Berpakaian 0 = Tergantung orang lain
(Dressing) 1 = Sebagian dibantu (misal mengancing
1
baju)
2 = Mandiri
5. Buang air kecil 0 = Inkontinensia atau pakai kateter dan
(Bowel) tidak terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24
2
jam)
2 = Kontinensia (teratur untuk lebih dari 7
hari)
6. Buang air besar 0 = Inkontinensia (tidak teratur atau perlu
(Bladder) enema)
2
1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7. Penggunaan 0 = Tergantung bantuan orang lain
toilet 1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat
1
melakukan beberapa hal sendiri
2 = Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang) 2
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu orang 3
3 = Mandiri (meskipun menggunakan alat
bantu seperti, tongkat)
10. Naik turun 0 = Tidak mampu
1
tangga 1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)

10
2 = Mandiri
Interpretasi hasil:
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Total
Jumlah skor Barthel 15 (Ketergantungan ringan)
IV. ASSESSMENT
Klinis : PPOK, pneumonia
Topis : kedua lapang paru
Etiologis : emfisematous lung, pneumonia
V. DAFTAR MASALAH
A. Masalah Medis
PPOK, pneumonia komunitas, hipersekresi bronkus
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : sesak napas, batuk, sekresi sputum yang berlebih
2. Speech terapi : Tidak ada
3. Okupasi terapi : Tidak ada
4. Sosiomedik : Tidak ada
5. Ortesa-protesa : Tidak ada
6. Psikologi : Tidak ada
VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Medikamentosa
1. Tirah baring
2. Diet tinggi protein 1500 kkal
3. O2 3-4 lpm
4. Nebulizer Combivent dan Flixotide setiap 6 jam
5. IVFD ringer asetat 1 kolf 20 tpm

11
6. Aminofilin drip
7. Inj. Ciprofloxacin 400mg/ 12 jam
8. Inj. Metilprednisolon 30mg/ 8 jam
9. N asetilsistein 3x200mg
10. MP pro 3x1
11. Inj. Ranitidine 50mg/ 12 jam
12. Furosemide tab 20mg 1-0-0
B. Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi :
a. Mobilisasi duduk bersandar
b. Chest therapy dengan clapping
c. Breathing exercise (deep breathing excercise)
d. General ROM exercise aktif
2. Terapi Wicara : Tidak ada
3. Okupasi terapi : Tidak ada
4. Sosiomedik : Tidak ada
5. Orthesa dan prothesa : Tidak ada
6. Psikologi : Tidak ada
VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP
Impairment : PPOK, pneumonia komunitas, hipertrofi m.
sternocleidomastoideus, hipersekresi bronkus
Disabilitas : skor status ambulasi dengan Barthel Index 15
(ketergantungan ringan), mudah lelah bila melakukan aktivitas
berat
Handicap : keterbatasan dalam melakukan aktivitas sosial di masyarakat
seperti kerja bakti di kampung
VIII. PLANNING
1. Planning Diagnostik : tidak ada
2. Planning Terapi : fisioterapi

12
3. Planning Edukasi :
 Penjelasan penyakit dan komplikasi yang bisa terjadi
 Edukasi untuk home exercise dan ketaatan untuk melakukan terapi
 Membatasi pasien agar tidak melakukan aktivitas berat. Penilaian
kemampuan pasien dapat dilakukan dengan tes jalan 6 menit. Pada
orang dewasa sehat, dalam 6 menit setidaknya dapat menempuh jarak
500-630 m. Pada pasien PPOK, jarak yang dapat ditempuh dalam 6
menit akan mengalami penurunan akibat adanya penurunan
kemampuan paru-paru dalam melakukan kerjanya. Apabila aktivitas
yang dilakukan melebihi kapasitas kemampuan paru-paru dalam
bekerja maka akan menimbulkan keadaan sesak napas pada pasien.
4. Planning Monitoring : evaluasi hasil fisioterapi chest therapy dengan
clapping dan breathing exercise.
IX. GOAL
A. Jangka pendek
1. Mengurangi sesak napas
2. Mengeluarkan dahak
3. Merelaksasi musculus sternocleidomastoideus
B. Jangka panjang
1. Meningkatkan toleransi aktivitas pasien sehingga mampu mandiri dan
melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari
X. PROGNOSIS
Prognosis PPOK cukup buruk karena PPOK tidak dapat disembuhkan secara
permanen. 30% penderita dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam
waktu satu tahun, 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Hal tersebut terjadi
karena adanya kegagalan napas, pneumonia, aritmia jantung, maupun emboli
paru.

13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Saluran Napas
A. Anatomi
Proses pernapasan terdiri dari inspirasi dan ekspirasi. Organ yang
terlibat adalah rongga hidung, faring, laring, trakhea dan paru-paru. Pada
paru-paru terdapat percabangan dari bronkus utama yang bercabang menjadi
bronkus lobalis dan segmentalis. Bronkus lobalis dan segmentalis terpecah
lagi menjadi bagian yang lebih kecil yang dinamakan bronkiolus.
Percabangan terkecil terakhir dinamakan bronkiolus terminalis. Saluran udara
terminalis, berhubungan langsung dengan bronkiolus terminalis, yang juga
dikenal dengan parenkim paru-paru.
Paru-paru berbentuk kerucut dan menempati kantong pleura parientalis
dan pleura viseralis. Antara kedua pleura ini terdapat rongga yang disebut
kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara sehingga
paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit cairan (eksudat)
yang berguna untuk membasahi pleura, membasahi paru-paru dan dinding
dada saat bernafas dan bergerak. Di dalam paru terdapat dua pasang pembuluh
darah limfe yang saling berhubungan. Bagian superfisial limfe yang terletak
dalam pleura ini berukuran relatif besar dan membatasi lobus di permukaan
paru, pembuluh limfe tampak hitam karena penghisapan zat karbon.
Pembuluh limfe yang lebih kecil membentuk jala halus pada tepi lobulus.
Pembuluh superfisial ini mengalir sepanjang tepi paru-paru menuju ke hilus
bagian profunda atau pulmonal berjalan bersama ke bronkus sedangkan arteri
pulmonalis dan bronki meluas hanya sampai ke duktus alveolaris bagian tepi.
Semua mengalir ke bagian pusat hilus dan bertemu dengan pembuluh limfe
eferen superfisial.

14
Gambar 1. Paru-paru (Putz ddk, 2001)
Keterangan:
Paru kanan Paru kanan Paru kiri
Upper lobe Lower lobe Upper lobe
1. Apical 6. Superior 1-2. Apical- posterior
2. Posterior 7. medial basal 3. Anterior
3. Anterior 8. Anterior basal 4. Superior Lingula
Middle lobe 9. Lateral basal 5. Inferior Lingula
4. Lateral 10. Posterior basal Lower lobe
5. Medial 6. Superior
7-8. Anterior basal
9. Lateral basal
10. Posterior basal

15
B. Otot-otot Pernapasan
Dalam bernapas, berperan otot-otot yang membantu proses inspirasi
dan ekspirasi diantaranya:
1. Otot inspirasi utama: diafragma, intercostalis externus, levator costalis,
scaleni
2. Otot bantu inspirasi: sternocleiomastoideus, trapezius, seratus anterior,
pectoralis mayor, pectoralis minor, latisimus dorsi
3. Otot ekspirasi utama: intercostalis internus
4. Otot bantu ekspirasi: obliquus internus, obliquus eksternus, rectus
abdominis, longisimus, iliocostalis lumborum

Gambar 2. Otot-otot pernapasan (Spelle Hutx, 2010)


Keterangan:
1. M. Sternocleidomastoideus 8. M. Trapezius
2. M. Pectoralis minor 9. M. Deltoid
3. M. Intercostalis internus 10. M. Pectoralis mayor
4. M. Serratus anterior 11. M. Linea alba
5. M. Rectus abdominis 12. M. Obliquus externus
6. M. Obliquus internus 13. M. Aponeurosis obliquus
7. M. Transversus abdominis externus

16
II. PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis)
A. Pengertian PPOK
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran
udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel
parsial. The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(GOLD) tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
sebagai penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati,
ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat
progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis
saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu.
Eksaserbasi dan komorbid berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada
seorang pasien. Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan
gabungan dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkim dengan
kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK
merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir
serupa dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan
bronkiolitis. Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK
disebabkan oleh penyakit pada saluran napas dan rusaknya parenkim paru.
B. Epidemiologi PPOK
Data prevalensi PPOK yang ada saat ini bervariasi berdasarkan metode
survei, kriteria diagnostik, serta pendekatan analisis yang dilakukan pada
setiap studi. Berdasarkan data dari studi PLATINO, sebuah penelitian yang
dilakukan terhadap lima negara di Amerika Latin (Brasil, Meksiko, Uruguay,
Chili, dan Venezuela) didapatkan prevalensi PPOK sebesar 14,3%, dengan
perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 18,9% dan 11.3%. Pada studi
BOLD, penelitian serupa yang dilakukan pada 12 negara, kombinasi
prevalensi PPOK adalah 10,1%, prevalensi pada laki-laki lebih tinggi yaitu
11,8% dan 8,5% pada perempuan. Data di Indonesia berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar 2013 (RISKESDAS), prevalensi PPOK adalah sebesar 3,7%.

17
Angka kejadian penyakit ini meningkat dengan bertambahnya usia dan lebih
tinggi pada laki-laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%).
C. Klasifikasi PPOK
PPOK dapat dibagi menjadi 4 kategori GOLD yaitu, PPOK ringan,
PPOK sedang, PPOK berat, dan PPOK sangat berat. Terdapat ketidak
sesuaian antara nilai VEP1 dan gejala penderita, oleh sebab itu perlu
diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi
dengan VEP1.
1. PPOK Ringan
a. Gejala: Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila exercise, tidak ada
gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan pada latihan sedang (misal:
berjalan cepat, naik tangga)
b. Spirometri: VEP1 > 80% prediksi, VEP1/KVP < 75%
2. PPOK Sedang
a. Gejala: Tidak ada gejala waktu istirahat tetapi mulai terasa pada
latihan/ kerja ringan (misal: berpakaian), gejala ringan pada istirahat
b. Spirometri: VEP1 50 - 80% prediksi, VEP1/KVP < 75%
3. PPOK Berat
a. Gejala: Gejala sedang pada waktu istirahat, gejala berat pada saat
istirahat, tanda-tanda corpulmonal
b. Spirometri: VEP1 30 - 80% prediksi, VEP1/KVP < 75%
4. PPOK Sangat berat
a. Gejala: Gejala sedang pada waktu istirahat, gejala berat pada saat
istirahat, tanda-tanda corpulmonal
b. Spirometri: VEP1 < 30% prediksi, VEP1/KVP < 75%
D. Patofisiologi PPOK
Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran
napas, parenkim paru sampai struktur vaskukler pulmonal. Di berbagai bagian
paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8) dan

18
neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai
mediator seperti Leukotrien B4, IL8, TNF yang mampu merusak struktur paru
dan atau mempertahankan inflamasi neutrofilik. Di samping inflamasi ada 2
proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase
di paru dan stres oksidatif.
Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai disaluran napas
besar (central airway), saluran napas kecil (peripheral airway), parenkim paru
dan vaskuler pulmonal. Pada saluran napas besar dijumpai infiltrasi sel-sel
radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mucus
membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan
hipersekresi bronkus. Pada saluran napas kecil terjadi inflamasi kronis yang
menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran napas.
Proses repair ini akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding
saluran napas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan
jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi kronis
saluran pernapasan. Pada parenkim paru terjadi destruksi yang khas terjadi
pada emfisema sentrilobuler. Kelainan ini lebih sering di bagian atas pada
kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh lapangan paru dan juga
terjadi destruksi pulmonary capilary bed.
Perubahan vaskular pulmonal ditandai oleh penebalan dinding
pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan
struktur yang pertama kali terjadi adalah penebalan intima diikuti peningkatan
otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika
penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikan dan kolagen
bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal. Pada bronkitis
kronis maupun emfisema terjadi penyempitan saluran napas. Penyempitan ini
dapat mengakibatkan obstruksi dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis
kronik, saluran pernapasan yang berdiameter kecil (<2mm) menjadi lebih
sempit dan berkelok-kelok. Penyempitan ini terjadi karena metaplasi sel

19
goblet. Saluran napas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi
kelenjar mukus. Pada emfisema paru, penyempitan saluran napas disebabkan
oleh berkurangnya elastisitas paru-paru.
Hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis.
Emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,
disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis
emfisema:
1. Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke
perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
2. Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara
merata dan terbanyak pada paru bagian bawah
3. Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas
distal, duktus dan sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat
pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu: inflamasi, fibrosis,
metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas.
Konsep patogenesis PPOK

Gambar 1. Patogenesis PPOK

20
E. Tanda dan gejala PPOK
Gejala yang paling sering terjadi pada pasien PPOK adalah sesak
napas. Sesak napas juga biasanya menjadi keluhan utama pada pasien PPOK
karena terganggunya aktivitas fisik akibat gejala ini. Sesak napas biasanya
menjadi komplain ketika FEV1 <60% prediksi. Pasien biasanya
mendefinisikan sesak napas sebagai peningkatan usaha untuk bernapas, rasa
berat saat bernapas, gasping, dan air hunger. Batuk bisa muncul secara hilang
timbul, tapi biasanya batuk kronis adalah gejala awal perkembangan PPOK.
Gejala ini juga biasanya merupakan gejala klinis yang pertama kali disadari
oleh pasien. Batuk kronis pada PPOK bisa juga muncul tanpa adanya dahak.
F. Faktor risiko PPOK
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam
pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan:
a. Riwayat merokok
1) Perokok aktif
2) Perokok pasif
3) Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok
dalam tahun:
1) Ringan : 0-200
2) Sedang : 200-600
3) Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktivitas bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

21
G. Diagnosis PPOK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Pada penderita PPOK baru diketahui atau dipikirkan sebagai PPOK,
maka riwayat penyakit yang perlu diperhatikan diantaranya:
1. Faktor risiko terpaparnya pasien seperti rokok (riwayat merokok atau
bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan) dan paparan
lingkungan ataupun pekerjaan (riwayat terpajan zat iritan yang bermakna
di tempat kerja).
2. Riwayat penyakit sebelumnya termasuk asma bronchial, alergi, sinusitis,
polip nasal, infeksi saluran nafas saat masa anak-anak, dan penyakit
respirasi lainnya.
3. Riwayat keluarga PPOK, emfisema, atau penyakit respirasi lainnya.
4. Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di rumah sakit untuk penyakit
respirasi.
5. Ada penyakit dasar seperti penyakit jantung, osteoporosis, penyakit
muskuloskeletal, dan keganasan yang mungkin memberikan kontribusi
pembatasan aktivitas.
6. Pengaruh penyakit pada kehidupan pasien termasuk pembatasan aktivitas,
pengaruh pekerjaan atau ekonomi yang salah.
7. Berbagai dukungan keluarga dan sosial ekonomi pada pasien
8. Kemungkinan mengurangi faktor risiko terutama menghentikan merokok.
Pada awal perkembangannya, pasien PPOK tidak menunjukkan
kelainan saat dilakukan pemeriksaan fisik. Pada pasien PPOK berat biasanya
didapatkan bunyi mengi dan ekspirasi yang memanjang pada pemeriksaan
fisik. Pada inspeksi dapat ditemukan pursed lips breathing (mulut setengah
terkatup mencucu), barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal
sebanding), penggunaan otot bantu napas, hipertrofi otot bantu napas,
pelebaran sela iga, bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena
jugularis di leher dan edema tungkai, penampilan pink puffer atau blue

22
bloater. Pink puffer merupakan gambaran yang khas pada emfisema,
penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed lips breathing. Blue
bloater merupakan gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk
sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, serta ada
sianosis sentral dan perifer. Pursed lips breathing adalah sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang
terjadi pada gagal napas kronik.
Barrel chest merupakan tanda hiperinflasi yang mungkin ditemukan.
Sianosis, kontraksi otot-otot aksesori pernapasan, dan pursed lips breathing
biasa muncul pada pasien dengan PPOK sedang sampai berat. Tanda-tanda
penyakit kronis seperti muscle wasting, kehilangan berat badan, berkurangnya
jaringan lemak merupakan tanda-tanda saat progresifitas PPOK. Clubbing
finger bukan tanda yang khas pada PPOK, namun jika ditemukan tanda ini
maka harus dipastikan apa penyababnya. Pada palpasi emfisema, fremitus
melemah dan sela iga melebar. Perkusi pada emfisema hipersonor dan batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah. Pada
auskultasi terdapat suara napas vesikuler normal atau melemah, terdapat ronki
dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa,
ekspirasi memanjang, dan bunyi jantung terdengar jauh.
Spirometri merupakan pemeriksaan penunjang definitif untuk diagnosis
PPOK seperti yang sudah dijelaskan, dimana hasil rasio pengukuran FEV1/
FVC < 0,7. Selain spirometri, bisa juga dilakukan Analisis Gas Darah untuk
mengetahui kadar pH dalam darah, radiografi bisa dilakukan untuk membantu
menentukan diagnosis PPOK, dan Computed Tomography (CT) Scan
dilakukan untuk melihat adanya emfisema pada alveoli. Beberapa studi juga
menyebutkan bahwa kekurangan α-1 antitripsin dapat diperiksa pada pasien
PPOK maupun asma.

23
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan rutin
a. Faal paru
1) Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
a) Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau
VEP1/KVP (%). Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80%
dan VEP1% (VEP1/KVP) < 75%.
b) VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk
menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
c) Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin
dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai
sebagai alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%.
2) Uji bronkodilator
a) Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada
gunakan APE meter.
b) Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan,
15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE,
perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
c) Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
b. Darah rutin: Hb, Ht, leukosit
c. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain. Pada emfisema terlihat gambaran:
1) Hiperinflasi
2) Hiperlusen
3) Ruang retrosternal melebar
4) Diafragma mendatar

24
5) Jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop
appearance)
Pada bronkitis kronik:
1) Normal
2) Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a. Faal paru
1) Volume Residu (VR), Kapasitas Residu Fungsional (KRF),
Kapasitas Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
2) DLCO menurun pada emfisema
3) Raw meningkat pada bronkitis kronik
4) Sgaw meningkat
5) Variabilitas Harian APE kurang dari 20%
b. Uji latih kardiopulmoner
1) Sepeda statis (ergocycle)
2) Jentera (treadmill)
3) Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil
PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
d. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral
(prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama
2minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan
minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal
paru setelah pemberian kortikosteroid
e. Analisis gas darah, terutama untuk menilai :
1) Gagal napas kronik stabil
2) Gagal napas akut pada gagal napas kronik

25
f. Radiologi
1) CT - Scan resolusi tinggi
2) Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema
atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
3) Scan ventilasi perfusi
4) Mengetahui fungsi respirasi paru
g. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh pulmonal dan
hipertrofi ventrikel kanan.
h. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan.
i. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur
resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan
penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
j. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema
pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di
Indonesia.
I. Penatalaksanaan PPOK
Tujuan penatalaksanaan:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah eksaserbasi berulang
3. Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
4. Meningkatkan kualiti hidup penderita
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi:
1. Edukasi
2. Obat – obatan

26
3. Terapi oksigen
4. Ventilasi mekanik
5. Nutrisi
6. Rehabilitasi
PPOK merupakan penyakit paru kronik progresif dan nonreversibel,
sehingga penatalaksanaan PPOK terbagi atas (1) penatalaksanaan pada
keadaan stabil dan (2) penatalaksanaan pada eksaserbasi akut.
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang
pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada
asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan
progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan
mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang
masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat
adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma. Tujuan edukasi
pada pasien PPOK:
a. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
b. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
c. Mencapai aktivitas optimal
d. Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut
secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri
maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang
rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara
intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling,
karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien
PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan
aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara

27
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK. Bahan dan cara
pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit,
tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi
penderita. Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah:
a. Pengetahuan dasar tentang PPOK
b. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
c. Cara pencegahan perburukan penyakit
d. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
e. Penyesuaian aktivitas
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut:
a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan
b. Penggunaan obat – obatan
1) Macam obat dan jenisnya
2) Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
3) Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu
atau jika perlu saja)
4) Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
1) Kapan oksigen harus digunakan
2) Berapa dosisnya
3) Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
e. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Tanda
eksaserbasi:
1) Batuk atau sesak bertambah
2) Sputum bertambah

28
3) Sputum berubah warna
f. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
g. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel. Pemberian
edukasi berdasar derajat penyakit:
a. Ringan
1) Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
2) Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus,
antara lain berhenti merokok
3) Segera berobat bila timbul gejala
b. Sedang
1) Menggunakan obat dengan tepat
2) Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini
3) Program latihan fisik dan pernapasan
c. Berat
1) Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi
2) Penyesuaian aktivitas dengan keterbatasan
3) Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat – obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit (lihat tabel 2). Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi,
nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada

29
derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release)
atau obat berefek panjang (long acting). Macam-macam bronkodilator:
1) Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping
sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4
kali perhari).
2) Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi.
Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet
yang berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan
jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
3) Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang
berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih
sederhana dan mempermudah penderita.
4) Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk
tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih

30
golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai
terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif
yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20%
dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan:
1) Lini I : amoksisilin, makrolid
2) Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon,
makrolid baru
Perawatan di Rumah Sakit dapat dipilih:
1) Amoksilin dan klavulanat
2) Sefalosporin generasi II & III injeksi
3) Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
4) Aminoglikosid per injeksi
5) Kuinolon per injeksi
6) Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup,
digunakan N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang
rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik
dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK
bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

31
f. Antitusif
Diberikan dengan hati – hati.
Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala Tanpa obat
Gejala intermiten Agonis ß2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
(pada waktu aktivitas)
Gejala terus menerus Antikolinergik Ipratropium bromide 2 - 4 semprot
20 μgr → 3 - 4 x/hari
Inhalasi Agonis
ß2 Fenoterol 100μgr/ 2 - 4 semprot
kerja cepat semprot → 3 - 4 x/hari

Salbutamol 100μgr/ 2 - 4 semprot


semprot → 3 - 4 x/hari
Terbutalin 0,5μgr/ 2 - 4 semprot
semprot → 3 - 4 x/hari
Prokaterol 10μgr/ 2 - 4 semprot
semprot → 3 x/hari
Ipratropium bromide
Kombinasi
20μgr+salbutamol 2 - 4 semprot
terapi 100μgr→ → 3 - 4 x/hari
persemprot
Inhalasi Agonis
1 - 2 semprot
Pasien memakai ß2
→ 2x/hari
Inhalasi kerja lambat Formoterol 6μgr,
tidak
agonis ß2 kerja (tidak 12μgr/semprot
melebihi
dipakai untuk
2x/hari
eksaserbasi)
Atau

1 - 2 semprot
Timbul gejala pada → 2x/hari
salmeterol
waktu tidak
25μgr/semprot
malam atau pagi hari melebihi
2x/hari
Teofilin lepas
lambat 400- 800mg/
Teofilin Teofilin/ aminofilin hari
150 3 - 4 x/hari
mg x 3 - 4x/hari
Antioksidan N asetil sistein 600mg/hr
Pasien tetap Kortikosteroid Prednison 30 - 40mg/hr
mempunyai oral Metil prednisolon selama 2mgg

32
gejala dan atau (uji
terbatas kortikosteroid )
dalam aktivitas harian
meskipun mendapat
pengobatan
bronkodilator
maksimal
Uji kortikosteroid Beklometason
Inhalasi 1 - 2 semprot
memberikan respons 50μgr,
Kortikosteroid → 2 - 4 x/hari
positif 250μgr/semprot
200 - 400μgr
Budesonid 100μgr,
→ 2x/hari
250μgr,
maks
400μgr/semprot
2400μgr/ hari
Sebaiknya pemberian
kortikosteroid inhalasi Flutikason 125 - 250μgr
dicoba bila mungkin 125μgr/semprot → 2x/hari
untuk maks
memperkecil efek 1000μgr/ hari
samping
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya. Manfaat oksigen:
a. Mengurangi sesak
b. Memperbaiki aktivitas
c. Mengurangi hipertensi pulmonal
d. Mengurangi vasokonstriksi
e. Mengurangi hematocrit
f. Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
g. Meningkatkan kualitas hidup
Indikasi:
a. PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%

33
b. PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 >89% disertai cor pulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
Macam terapi oksigen:
a. Pemberian oksigen jangka panjang
b. Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
c. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
d. Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit.
Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat
berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen
diberikan pada PPOK eksaserbasi akut di unit gawat daruraat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di
rumah dibedakan:
a. Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy =
LTOT)
b. Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
c. Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan
stabil terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam
setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi
oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering
terjadi bila penderita tidur. Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan
menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktivitas.
Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%. Alat
bantu pemberian oksigen:
a. Nasal kanul
b. Sungkup venture

34
c. Sungkup rebreathing
d. Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu ini disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan
kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut.
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan
gagal napas akut, atau pada penderita PPOK derajat berat dengan gagal
napas kronik. Ventilasi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan
intubasi atau tanpa intubasi.
5. Nutrisi
Malnutrisi pada pasien PPOK sering terjadi, disebabkan karena
bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respiratorik yang
meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan
terjadinya hipermetabolisme.
6. Rehabilitasi
Rehabilitasi PPOK bertujuan untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Program ini dapat
dilaksanakan baik di luar maupun di dalam Rumah Sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitasi ini terdiri dari latihan fisik, psikososial dan
latihan pernapasan.
III. Pneumonia
A. Definisi
Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit dan lain-
lain). Biasanya pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
tidak dimasukkan. Secara anatomis pneumonia dapat diklasifikasikan sebagai
pneumonia lobaris, pneumonia segmentalis dan pneumonia lobaris yang lebih
dikenal sebagai bronkopneumonia dan biasanya mengenai paru bagian bawah.

35
B. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme,
yaitu bakteri, virus, jamur dan protozoa. Pneumonia yang terdapat di
masyarakat banyak disebabkan bakteri gram positif, sedangkan pneumonia di
rumah sakit banyak disebabkan bakteri gram negatif dan pneumonia aspirasi
banyak disebabkan oleh bakteri anaerob. Cara pegambilan bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik dapat dengan cara dibatukkan (sputum),
trantorakal aspirasi, transtrakeal aspirasi, bilasan/sikatan bronkus.
C. Patofisiologi
Dalam keadaan sehat, pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh mekanisme pertahanan paru.
Terdapat bakteri di dalam paru merupakan akibat ketidakseimbang antara
daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, sehingga mikroorganisme
dapat berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Masuknya
mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat melalui berbagai cara yaitu:
1. Inhalasi langsung dari udara
2. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring ,orofaring dan isi
lambung
3. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
4. Penyebaran secara hematogen
Pada pneumonia biasanya mikroorganisme masuk secara inhalasi atau
apsirasi. Umumnya mikroorganisme yang terdapat di saluran napas bagian
atas sama dengan di saluran napas bagian bawah, akan tetapi pada beberapa
penelitian tidak ditemukan jenis mikroorganisme yang sama.
D. Pneumonia Komunitas
Pneumonia komunitas merupakan pneumonia yang didapat dari
masyarakat. Penularan infeksi terjadi di luar rumah sakit. Penyebab
pneumonia komuniti banyak disebabkan kuman gram positif dan dapat pula
kuman atipik. Berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan, kuman yang

36
ditemukan antara lain: S. viridans, S. pneumoniae, S . aureus, K. pneumoniae,
P. aeruginosa. Untuk mendapatkan penyebab pneumonia dapat dilakukan
dengan berbagai cara, yaitu :
1. Diagnosis pasti bila dilakukan dengan cara yang steril, bahan didapatkan
dari darah, cairan pleura, transtrakeal aspirasi atau transtorakal aspirasi,
kecuali ditemukan kuman yang bukan koloni di saluran napas atas seperti
M.tuberculosis, Legionella, P.carinii
2. Diagnosis tidak pasti (kemungkinan) : sputum, bahan yang didapatkan
melalui bronkoskopi (BAL, sikatan, bilasan bronkus)
Gambaran klinik biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam menggigil,
suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot dan
sendi. Juga disertai batuk dengan sputum mukoid atau purulen kadang-kadang
berdarah. Pada pemeriksaan fisik dada, terlihat bagian yang sakit tertinggal
waktu bernapas dengan suara napas bronkial kadang-kadang melemah.
Didapatkan ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada
stadium resolusi Foto toraks, merupakan pemeriksaan penunjang yang sangat
penting. Foto toraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi. Gambaran
konsolidasi dengan “air bronchogram” (pneumonia lobaris), tersering
disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae. Gambaran radiologis pada
pneumonia yang disebabkan kuman Klebsiela sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan, kadang-kadang dapat
mengenai beberapa lobus. Gambaran lainnya dapat berupa bercak-bercak dan
kaviti. Kelainan radiologis lain yang khas yaitu penebalan (“bulging”) fisura
interlobar. Pneumonia yang disebabkan kuman Pseudomonas sering
memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran bronkopneumonia. Diagnosis
pneumonia komunitas didapatkan dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
fisis, foto toraks dan laboratorium.

37
Diagnosis pneumonia komunitas ditegakkan jika ditemukan pada foto
toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif ditambah dengan 2 atau
lebih gejala di bawah ini:
1. Batuk-batuk bertambah
2. Perubahan karakteristik dahak/purulent
3. Suhu tubuh > 37,50C(oral)/riwayat demam
4. Pemeriksaan fisik: ada ronki atau konsolidasi atau napas bronkial
5. Leukosit > 10.000 atau < 4500
Dalam mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati
di rumah.
1. Penderita yang tidak dirawat
c. Istirahat di tempat tidur, bila panas tinggi dikompres
d. Minum banyak
e. Obat-obat penurun panas, mukolitik dan ekspektoran
f. Antibiotika
2. Perawatan di Rumah Sakit
Indikasi rawat penderita pneumonia adalah penderita sangat muda atau
tua, keadaan klinis berat (misalnya sesak napas, kesadaran menurun.
gambaran kelainan foto toraks cukup luas), ada penyakit lain yang
mendasari (seperti bronkiektasis, bronkitis kronik), ada komplikasi dan
tidak ada respons terhadap pengobatan yang diberikan. Pada penderita
yang dirawat penatalaksanaan dibagi atas: penatalaksanaan umum dan
pengobatan kausal.
a. Penatalaksanaan umum
1) pemberian oksigen
2) pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit
3) mukolitik dan ekspektoran, bila perlu dilakukan pembersihan jalan
napas

38
4) obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu
tinggi, takikardi atau terjadi kelainan jantung
5) bila nyeri pleura hebat dapat diberikan obat anti nyeri
6) obat-obat khusus pada keadaan tertentu
b. Pengobatan kausal
Dalam pemberian antibiotika pada penderita pneumonia sebaiknya
berdasarkan data MO (mikroorganisme) dan hasil uji kepekaannya,
akan tetapi beberapa hal perlu diperhatikan:
1) penyakit yang disertai panas tinggi untuk penyelamatan nyawa
dipertimbangkan pemberian antibiotika walaupun kuman belum
dapat diisolasi
2) kuman patogen yang berhasil diisolasi belum tentu sebagai
penyebab sakit, oleh karena itu diputuskan pemberian antibiotika
secara empirik. Pewarnaan gram sebaiknya dilakukan pada semua
sediaan yang dicurigai sebagai sumber infeksi dan sebagai
petunjuk pilihan pada pengobatan pendahuluan
3) perlu diketahui riwayat pemberian antibiotika sebelumnya pada
penderita.
IV. Program Rehabilitasi Medik pada Penderita PPOK
Rehabilitasi Medik PPOK dilakukan dengan tujuan meningkatkan toleransi
latihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita dengan PPOK. Penderita yang
dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah
mendapatkan pengobatan optimal yang disertai simptom pernapasan berat,
beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun.
Dalam mengelola penderita PPOK, rehabilitasi medik pada paru mempunyai 2
aspek yaitu:
E. Rehabilitasi fisik, terdiri dari:
1. Latihan relaksasi
2. Terapi fisik dada

39
3. Latihan pernapasan
4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
F. Rehabilitasi psikososial dan vokasional, terdiri dari:
1. Pendidikan perseorangan dan keluarga
2. Latihan pekerjaan
3. Penempatan tugas
4. Latihan merawat diri sendiri
Kedua aspek rehabilitasi medis tersebut diterapkan dalam mengelola semua
penderita PPOK tanpa memandang etiologi dan derajat penyakitnya.
A. Rehabilitasi Fisik
Rehabilitasi fisik dapat dilakukan pada stadium dini atau stadium lanjut
dari penyakitnya. Penderita dilatih untuk memakai cadangan napasnya
seefektif mungkin dengan mengubah pola bernapas untuk memperoleh
potensi yang optimal bagi kegiatan fisiknya. Rehabilitasi psikososial dan
vokasional dipertimbangkan bila penderita tidak dapat mencapai keinginan
fisik-psikologis untuk melakukan kegiatan seperti biasanya. Bila pendidikan
pada tingkat tersebut tidak mungkin, rehabilitasi ditujukan untuk memberi
kesempatan pada penderita untuk dapat melakukan kegiatan minimal
termasuk mengurus diri sendiri.
1. Latihan relaksasi
Tujuan latihan relaksasi adalah:
a. Menurunkan tegangan otot pernapasan, terutama otot bantu
pernapasan.
b. Menghilangkan rasa cemas karena sesak napas.
c. Memberikan sense of well being.
Penderita PPOK yang mengalami insufisiensi pernapasan selalu
merasa tegang, cemas dan takut mati tersumbat. Untuk mengatasi keadaan
ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan terutama
bagi gerakan diafragmanya. Sikap ini dicapai dengan memutar bahu ke

40
depan dan membungkukkan badan ke depan pula. Sikap ini selalu diambil
setiap akan memulai rehabilitasi fisik (drainase postural, latihan
pernapasan). Agar penderita memahami, latihan ini harus diperagakan.
Latihan relaksasi hendaknya dilakukan di ruangan yang tenang, posisi
yang nyaman yaitu telentang dengan bantal menyangga kepala dan guling
di bawah lutut atau sambil duduk.
2. Terapi fisik dada
Timbunan sekret yang sangat kental jika tidak dikeluarkan akan
menyumbat saluran napas dan merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah
obstruksi saluran napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu
mekanisme batuk dan gerakan mukosilier, maka timbunan sekret
merupakan penyulit yang cukup serius. Terapi fisik (fisioterapi) dada
ditujukan untuk melepaskan dan membantu menggerakkan sekret dan
saluran napas kecil ke trakea, dapat dilakukan dengan cara :
a. Drainase Postural
1) Menggunakan prinsip hukum gravitasi
2) Pasien diletakkan dalam posisi sedemikian rupa, untuk suatu
waktu tertentu, sehingga oleh karena gaya berat → sekret dalam
saluran nafas mengalir & berkumpul di bronkus → dibatukkan
keluar
3) Jadi, di dalam posisi tersebut, lobus yg akan di “drain”
ditempatkan pada posisi yg lebih tinggi dari bronkus utama →
sehingga posisi perlu disesuaikan dengan arah-arah “bronchial
tree”
4) Tujuan:
a) Cegah penumpukan lendir pada pasien dengan risiko
komplikasi pulmonal (contoh pasien tirah baring lama, pakai
ventilator, dan sebagainya)

41
b) Mengeluarkan sekret yang terkumpul di paru
5) Kontraindikasi:
a) Hemoptisis berat
b) Edema pulmo berat
c) CHF
d) Efusi pleura massif
e) Cardiovascular instability (aritmia, hipertensi/hipotensi berat,
AMI)
f) Recent neurosurgery → jika posisi kepala dibawah → TIK
meningkat
Bentuk tindakan drainase postural:
1) Segmen Apikal
Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi.

2) Lobus Atas Kanan Segmen Anterior


Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal bawah
lutut.

42
3) Lobus Atas Kiri Segmen Anterior
Tidur dengan beberapa bantal di bawah kepala, tanpa bantal bawah
lutut.

4) Lobus Atas Segmen Posterior


Tidur menelungkup pada bantal

b. Perkusi dinding dada


1) Tujuan:
a) Melepaskan sekret di paru secara mekanis sehingga sekret
mudah keluar
b) Dengan cupped hand diatas paru yang di drain
c) Cara: mengetuk dinding dada secara berulang dengan ujung
jari → pada tiap segmen paru → 1-2 menit

43
2) Kontraindikasi:
a) Tulang yang osteoporotic
b) Perdarahan (contoh trombositopeni)
c) Unstable angina, nyeri dada (contoh operasi rongga dada)
d) Batuk darah (contoh TB, abses paru, ca paru, dan lain-lain)
e) Peradangan paru akut dimana infeksi dapat menyebar ke
daerah lain paru-paru

44
c. Vibrasi Dada
1) Gerakan cepat yang dilakukan pada dinding dada
2) Dapat dilakukan manual/ dengan alat vibrator
3) Diberikan saat exhalasi/ ekspirasi
4) Tujuan: sama dengan perkusi
5) Teknik:
a) Nafas dalam, tahan beberapa detik, vibrasi diberikan saat
ekspirasi
b) Satu session latihan, hendaknya diberikan setelah 5-6 nafas
dalam.
c) Setelah tindakan vibrasi dapat dilakukan postural drainage.

Perkusi dengan vibrasi cepat, ketukan dengan telapak tangan


(clapping), atau memakai rompi perkusi listrik serta latihan batuk akan
memperbaiki mobilisasi dan klirens sekret bronkus dan fungsi paru,
terutama pada penderita PPOK dengan produksi sputum yang
meningkat (>30 ml/ hari), bronkiektasis, fibrosis kistik, dan
atelektasis. Pada penderita dengan serangan asma akut, pneumonia
akut, gagal napas, penderita yang memakai ventilator, dan penderita
PPOK dengan produksi sputum yang minimal (<30 ml/hari),
fisioterapi dada tidak berefek dan bahkan membahayakan.
Dalam melakukan drainase postural harus diperhatikan posisi
penderita yang disesuaikan dengan anatomi percabangan bronkus.
Tindakan ini dilakukan 2 kali sehari selama 5 menit. Sebelum

45
dilakukan drainase postural sebaiknya penderita minum banyak atau
diberikan mukolitik, bronkodilator perinhalasi untuk memudahkan
pengaliran sekret.
3. Latihan pernapasan
Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai
penderita. Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:
a. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping
b. Memperbaiki fungsi diafragma
c. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks
d. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas
tanpa meningkatkan kerja pernapasan
e. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas
lebih efektif dan mengurangi kerja pernapasan.
Diafragma dan otot interkostal merupakan otot-otot pernapasan yang
paling penting. Pada orang normal dalam keadaan istirahat, pengaruh
gerakan diafragma sebesar 65% dan volume tidal. Bila ventilasi
meningkat barulah digunakan otot-otot bantu pernapasan (seperti scaleni,
sternocleidomastoideus, otot penyangga tulang belakang); ini terjadi bila
ventilasi melampaui 50 l/menit. Pada penderita PPOK sering kali terdapat
pernapasan yang tidak sinkron gerakannya (paradoksal), yaitu pada waktu
akhir inspirasi tiba-tiba dinding perut bergerak ke dalam dan kemudian
bergerak keluar waktu ekspirasi. Penderita dengan keadaan demikian
mempunyai prognosis yang kurang baik. Selain itu pada penderita PPOK
terdapat hambatan aliran udara terutama pada waktu ekspirasi. Pada
umumnya letak diafragma rendah dan posisi sangkar toraks sangat tinggi
sehingga secara mekanis otot-otot pernapasan bekerja kurang efektif. Pada
umumnya fungsi diafragma penderita PPOK kurang dan 35% volume
tidal, akibatnya penderita selalu menggunakan otot-otot bantu pernapasan.

46
Latihan otot-otot pernapasan akan meningkatkan kekuatan otot
pernapasan, meningkatkan tekanan ekspirasi (PEmax) sekitar 37%.
Latihan pernapasan meliputi:
a. Latihan pernapasan diafragma
1) Tujuan latihan pernapasan diafragma adalah menggunakan
diafragma sebagai usaha pernapasan, sementara otot-otot bantu
pernapasan mengalami relaksasi.
2) Manfaat pernapasan diafragma:
a) Mengatur pernapasan pada waktu serangan sesak napas dan
waktu melakukan pekerjaan/latihan.
b) Memperbaiki ventilasi ke arah basal paru.
c) Melepaskan sekret yang melalui saluran napas.
Dengan pernapasan diafragma maka akan terjadi peningkatan
volume tidal, penununan kapasitas residu fungsional dan peningkatan
ambilan oksigen optimal. Latihan ini dapat dilakukan dengan prosedur
berikut:
1) Sebelum melakukan latihan, bila terdapat obstruksi saluran napas
yang reversibel dapat diberi bronkodilator. Bila terdapat
hipersekresi mukus dilakukan drainase postural dan latihan batuk.
Pemberian oksigen bila penderita mendapat terapi oksigen di
rumah.
2) Posisi penderita bisa duduk, telentang, setengah duduk, tidur
miring ke kiri atau ke kanan, mendatar atau setengah duduk.
3) Penderita meletakkan salah satu tangannya di atas perut bagian
tengah, tangan yang lain di atas dada. Akan dirasakan perut bagian
atas mengembang dan tulang rusuk bagian bawah membuka.
Penderita perlu disadarkan bahwa diafragma memang turun pada
waktu inspirasi. Saat gerakan (ekskursi) dada minimal, dinding
dada dan otot bantu napas relaksasi.

47
4) Penderita menarik napas melalui hidung dan saat ekspirasi pelan-
pelan melalui mulut (pursed lips breathing), selama inspirasi,
diafragma sengaja dibuat aktif dan memaksimalkan protrusi
(pengembangan) perut. Otot perut bagian depan dibuat
berkontraksi selama inspirasi untuk memudahkan gerakan
diafragma dan meningkatkan ekspansi sangkar toraks bagian
bawah.
5) Selama ekspirasi penderita dapat menggunakan kontraksi otot
perut untuk menggerakkan diafragma lebih tinggi. Beban seberat
0,51 kg dapat diletakkan di atas dinding perut untuk membantu
aktivitas ini.
Latihan pernapasan pernapasan diafragma sebaiknya dilakukan
bersamaan dengan latihan berjalan atau naik tangga. Selama latihan,
penderita harus diawasi untuk mencegah kesalahan yang sering terjadi
seperti:
1) Ekspirasi paksa
Hal ini akan memperberat obstruksi saluran napas, meningkatkan
tekanan intrapleura dan terjadi air trapping jika saluran napas yang
rusak dan mudah kolaps ditekan oleh tekanan intrapleura.
2) Perpanjangan ekspirasi:
Menyebabkan pernapasan berikutnya tidak teratur dan tidak
efisien, pola pernapasan kembali ke pernapasan dada bagian atas
yang tidak teratur disertai dengan aktifnya otot bantu pernapasan.
3) Gerakan tipuan abdomen
Otot perut berkontraksi dan relaksasi tetapi tidak ada perbaikan
dan ventilasi.
4) Penggunaan dada bagian atas secara berlebihan
Hal ini dapat mengganggu gerakan diafragma, kebutuhan O2
meningkat karena otot bantu pernapasan bekerja lebih keras.

48
b. Pursed lips breathing
Pursed lips breathing dilakukan dengan cara menarik napas
(inspirasi) secara biasa beberapa detik melalui hidung (bukan menarik
napas dalam) dengan mulut tertutup, kemudian mengeluarkan napas
(ekspirasi) pelan-pelan melalui mulut dengan posisi seperti bersiul,
lamanya ekspirasi 23 kali lamanya inspirasi, sekitar 46 detik. Penderita
tidak diperkenankan mengeluarkan napas terlalu keras. Pursed lips
breathing dilakukan dengan atau tanpa kontraksi otot abdomen selama
ekspirasi. Selama PLB tidak ada udara ekspirasi yang mengalir
melalui hidung, karena terjadi elevasi involunter dari palatum molle
yang menutup lubang nasofaring. Dengan pursed lips breathing akan
terjadi peningkatan tekanan pada rongga mulut, kemudian tekanan ini
akan diteruskan melalui cabang-cabang bronkus sehingga dapat
mencegah air trapping dan kolaps saluran napas kecil pada waktu
ekspirasi. Hal ini akan menurunkan volume residu, kapasitas vital
meningkat dan distribusi ventilasi merata pada paru sehingga dapat
memperbaiki pertukaran gas di alveoli. Selain itu pursed lips
breathing dapat menurunkan ventilasi semenit, frekuensi napas,
meningkatkan volume tidal, PaO2 saturasi oksigen darah, menurunkan
PaCO2 dan memberikan keuntungan subjektif karena mengurangi rasa
sesak napas pada penderita.
Pursed lips breathing akan menjadi lebih efektif bila dilakukan
bersama-sama dengan pernapasan diafragma. Ventilasi alveoler yang
efektif terlihat setelah latihan berlangsung lebih dari 10 menit.
c. Latihan batuk
Batuk merupakan cara yang efektif untuk membersihkan benda
asing atau sekret dan saluran pernapasan. Batuk yang efektif harus
memenuhui kriteria:
1) Kapasitas vital yang cukup untuk mendorong sekret.

49
2) Mampu menimbulkan tekanan intra abdominal dan intratorakal
yang cukup untuk mendorong udara pada fase ekspulsi.
Cara melakukan batuk yang baik:
Posisi badan membungkuk sedikit ke depan sehingga memberi
kesempatan luas kepada otot dinding perut untuk berkontraksi
sehingga menimbulkan tekanan intrathorak. Tungkai bawah fleksi
pada paha dan lutut, lengan menyilang di depan perut. Penderita
diminta menarik napas melalui hidung kemudian menahan napas
sejenak, disusul batuk dengan mengkontraksikan otot-otot dinding
perut serta badan sedikit membungkuk kedepan. Cara ini diulangi
dengan satu fase inspirasi dan dua tahap fase ekspulsi. Latihan diulang
sampai penderita menguasai. Penderita yang mengeluh sesak napas
saat latihan batuk, diistirahatkan dengan melakukan Iatihan
pernapasan diantara latihan batuk. Bila penderita tidak mampu batuk
secara efektif, dilakukan rangsangan dengan alat penghisap (refleks
batuk akan terangsang oleh kateter yang masuk trakea) atau menekan
trakea dari satu sisi ke sisi yang lain.
4. Latihan meningkatkan kemampuan fisik
Bertujuan meningkatkan toleransi penderita terhadap aktivitas dan
meningkatkan kemampuan fisik, sehingga penderita hidup lebih aktif dan
lebih produktif. Pengaturan tingkat latihan dimulai dengan tingkat berjalan
yang disesuaikan dengan kemampuan awal tiap penderita secara
individual, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan ke tingkat
toleransi yang paling besar. Jarak maksimum dalam latihan berjalan yang
dicapai oleh penderita merupakan batas untuk mulai meningkatkan latihan
dengan menaiki tangga. Selama latihan penderita harus dibantu dengan
pemberian oksigen untuk menghindari penununan saturasi oksigen secara
drastis yang dapat membahayakan jantung. Penderita harus diawasi
dengan baik, secara berkala gas darah arteri diukur tenutama pada

50
penderita dengan hipoventilasi alveoler, untuk mencegah retensi CO2 yang
berlebihan. Pemberian oksigen selama latihan harus diteruskan sampai
penderita mendapat manfaat yang maksimal, setelah itu lambat laun dapat
disapih.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Aditama TY. 2005. Patofisiologi Batuk. Bagian Pulmonologi Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Unit Paru RS Persahabatan. Jakarta.

2. Alsaggaf H, et al. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit
Paru FK Unair. Surabaya.

3. American Thoracic Society Statement. 2002. Guidelines for the six-minute


walk test. Am J respire Crit Care Med. Vol 166: 111-117.

4. Garisson SJ. 2001. Dasar-Dasar Terapi dan Rehabilitasi Fisik. Departement


of Physical Medicine and Rehabilitation. Texas

5. Pauwels R, et al. 2003. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung


Disease, Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management and Prevention
(Update, July 2003).

6. Petty, Thomas L. 2006. The History of COPD. International Journal of


COPD. Vol 1(1):3-14.

7. Sat Sharma. 2006. Obstructive Lung Disease. Division of Pulmonary


Medicine, Department of Internal Medicine, University of Manitoba.
www.emedicine.com

8. Sheety, Sachin, et al. 2006. A Low Cost Pulmonary Rehabilitation


Programme for COPD Patients : Is it any Good?. IJPMR. Vol 17(2): 26-32.
9. Soeroto AY, Suryadinata H. 2014. Penyakit Paru Obstruktif Kronis. Ina J
Chest Crit and Emerg Med. Vol 1(2): 83-88.

10. Stoller JK. 2004. Overview of Management of Acut Exacerbation of Chronic


Obstructive Pulmonary Disease. In Rose, B.D., Up To Date 12.1

52

Anda mungkin juga menyukai