Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker kolon adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar yaitu kolon (bagian
terpanjang dari usus besar).1 Kanker kolon merupakan keganasan ketiga terbanyak setelah
kanker paru dan kanker payudara, serta menjadi penyebab kematian keempat terbanyak didunia.
Diperkirakan terdapat 1.233.000 kasus kanker baru/tahun dengan angka mortalitas mencapai
608.000 kasus.2
Kanker kolon pada tahun 2008 terdapat 1,2 juta kasus baru di dunia. Insidensi tertinggi kanker
kolon dijumpai di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru, dan Eropa, sedangkan insidensi yang
rendah ditemukan di Afrika dan Asia.3 Kanker kolon merupakan keganasan saluran cerna kedua
terbanyak setelah keganasan hepatoseluler di Indonesia. Indonesian Cancer mencatat, pada tahun
2002 di temukan sebanyak 3.572 kasus baru kanker kolon. Menurut data statistik kanker di
Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional, kanker kolon termasuk dalam 10 kanker
tersering rawat jalan pada tahun 2007 dengan lebih rinci 60 kasus baru pada kanker kolon.
Penelitian yang dilakukan oleh Zendrato di Rumah Sakit Umum Pendidikan (RSUP) H. Adam
Malik Medan tahun 2009, terdapat sejumlah 210 orang yang terdiagnosis kanker kolon dari
tahun 2005-2007.3
Umumnya perkembangan kanker kolon merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan
faktor genetik, serta dihubungkan juga dengan faktor predisposisi berupa diet rendah serat,
kenaikan berat badan dan konsumsi alkohol. Faktor lingkungan tersebut bereaksi terhadap
predisposisi genetik atau defek yang didapat dan berkembang menjadi kanker kolon.4
Terdapat beberapa faktor pemicu kanker kolon, secara garis besar dapat dibagi dua, yakni
faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi adalah riwayat kanker atau polip adenoma baik individual maupun keluarga,
dan riwayat penyakit kronis inflamatori usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi adalah
kurangnya aktivitas fisik yang menyebabkan obesitas, konsumsi daging merah yang tinggi, diet
rendah serat, merokok, konsumsi alkohol, dan diabetes.2
Terbentuknya kanker kolon dapat terjadi oleh karena dikaitkan dengan adanya mutasi DNA
pada sel penyusun dinding kolon yang terakumulasi sejalan dengan bertambahnya umur, serta
adanya penurunan sistem imunitas tubuh yang bertambah seiring dengan penambahan umur yang

1
ditandai dengan penurunan produksi imunoglobulin, konfigurasi limfosit dan reaksinya dalam
melawan infeksi berkurang dan penurunan kemampuan sistem imunitas tubuh dalam mengenali
benda asing yang masuk dalam tubuh.4
Keluhan yang dapat di jumpai pada pasien dengan kanker kolon berupa perdarahan peranum
disertai peningkatan frekuensi defekasi dan atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur);
perdarahan peranum tanpa gejala anal (> 60 tahun); peningkatan frekuensi defekasi atau diare
selama minimal 6 minggu (>60 tahun); massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur),
tanda-tanda obstruksi mekanik usus; setiap penderita dengan anemia defisiensi besi (Hb<11 gr%
pada pria dan Hb<10 gr% pada wanita pasca menopause). Pemeriksaan colok dubur dilakukan
pada setiap penderita dengan gejala anorektal, dengan cara menetapkan keutuhan sfingter ani,
ukuran dan derajat fiksasi serta jarak tumor dari garis anokutan. Terdapat tiga macam
pemeriksaan penunjang yang efektif didalam diagnosis kanker kolon yaitu barium enema,
endoskopi dan CT-kolonoskopi. Diagnosis pasti suatu kanker kolorektal adalah dengan
pemeriksaan patologi anatomi.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI dan FISIOLOGI KOLON


A. Anatomi
Kolon merupakan bagian dari sistem digestive. Secara embriologik, saluran pencernaan mulai
berkembang selama minggu keempat masa kehamilan. Usus berasal dari endoderm dan terbagi
menjadi tiga segmen, yaitu foregut, midgut, dan hadgut. Baik midgut dan hadgut berkontribusi
pada usus besar, rectum, dan anus.3 Midgut berkembang menjadi usus kecil, kolon ascendens,
dan kolon ascendens proksimal, serta menerima suplai darah dari arteri mesenterika superior.3
Kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri sampai dengan rektum berasal dari
usus belakang. Lapisan otot longitudinal kolon membentuk tiga buah pita, disebut taenia, yang
lebih pendek dari kolon itu sendiri sehingga kolon berlipat-lipat dan berbentuk seperti sakulus,
yang disebut haustra. Kolon transversum dan kolon sigmoideum terletak intraperitoneal dan
dilengkapi dengan mesenterium.3
Usus besar terdiri dari caecum, appendix, kolon ascendens, kolon transversum, kolon
descendens, kolon sigmoideum dan rektum serta anus. Mukosa usus besar terdiri dari epitel
selapis silindris dengan sel goblet dan kelenjar dengan banyak sel goblet, pada lapisan
submukosa tidak mempunyai kelenjar. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar
longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa
membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae.
Didalam mukosa dan submukosa banyak terdapat kelenjar limfa, terdapat lipatan-lipatan yaitu
plica semilunaris dimana kecuali lapisan mukosa dan lapisan submukosa ikut pula lapisan otot
sirkuler. Diantara dua plica semilunares terdapat saku yang disebut haustra coli, yang mungkin
disebabkan oleh adanya taenia coli atau kontraksi otot sirkuler. Letak haustra in vivo dapat
berpindah pindah atau menghilang.3
Colon ascendens panjangnya sekitar 13 cm, dimulai dari caecum pada fossa iliaca dextra
sampai flexura coli dextra pada dinding dorsal abdomen sebelah kanan, terletak di sebelah
ventral ren dextra, hanya bagian ventral ditutup peritoneum visceral. Jadi letak colon ascendens
ini retroperitoneal, kadang kadang dinding dorsalnya langsung melekat pada dinding dorsal
abdomen yang ditempati muskulus quadratus lumborum dan ren dextra. Arterialisasi colon

3
ascendens dari cabang arteri ileocolic dan arteri colic dextra yang berasal dari arteri mesentrica
superior.3,4
Colon transversum panjangnya sekitar 38 cm, berjalan dari flexura coli dextra sampai flexura
coli sinistra. Bagian kanan mempunyai hubungan dengan duodenum dan pankreas di sebelah
dorsal, sedangkan bagian kiri lebih bebas. Flexura coli sinistra letaknya lebih tinggi daripada
yang kanan yaitu pada polus cranialis ren sinistra, juga lebih tajam sudutnya dan kurang
mobile.Flexura coli dextra erat hubunganya dengan facies visceralis hepar (lobus dextra bagian
caudal) yang terletak di sebelah ventralnya.Arterialisasi didapat dari cabang cabang arteri colica
media. Arterialisasi colon transversum didapat dari arteri colica media yang berasal dari arteri
mesenterica superior pada 2/3 proksimal, sedangkan 1/3 distal dari colon transversum mendapat
arterialisasi dari arteri colica sinistra yang berasal dari arteri mesenterica inferior.4
Colon descendens panjangnya sekitar 25 cm, dimulai dari flexura coli sinistra sampai fossa
iliaca sinistra dimana dimulai colon sigmoideum.Terletak retroperitoneal karena hanya dinding
ventral saja yang diliputi peritoneum, terletak pada muskulus quadratus lumborum dan erat
hubungannya dengan ren sinistra. Arterialisasi didapat dari cabang-cabang arteri colica sinistra
dan cabang arteri sigmoid yang merupakan cabang dari arteri mesenterica inferior.3,4
Colon sigmoideum mempunyai mesosigmoideum sehingga letaknya intraperitoneal, dan
terletak didalam fossa iliaca sinistra. Radix mesosigmoid mempunyai perlekatan yang variabel
pada fossa iliaca sinistra. Colon sigmoid membentuk lipatan-lipatan yang tergantung isinya
didalam lumen, bila terisi penuh dapat memanjang dan masuk ke dalam cavum pelvis melalui
aditus pelvis, bila kosong lebih pendek dan lipatannya ke arah ventral dan ke kanan dan akhirnya
ke dorsal lagi. Colon sigmoid melanjutkan diri kedalam rectum pada dinding mediodorsal pada
aditus pelvis di sebelah depan os sacrum. Arterialisasi didapat dari cabang- cabang arteri
sigmoidae dan arteri haemorrhoidalis superior cabang arteri mesenterica inferior. Aliran vena
yang terpenting adalah adanya anastomosis antara vena haemorrhoidalis superior dengan vena
haemorrhoidalis medius dan inferior, dari ketiga vena ini yang bermuara kedalam vena porta
melalui vena mesenterica inferior hanya vena haemorrhoidalis superior, sedangkan yang lain
menuju vena iliaca interna. Jadi terdapat hubungan antara vena parietal (vena iliaca interna) dan
vena visceral (vena porta) yang penting bila terjadi pembendungan pada aliran vena porta
misalnya pada penyakit hepar sehingga mengganggu aliran darah portal. Mesosigmoideum
mempunyai radix yang berbentuk huruf V dan ujungnya letaknya terbalik pada ureter kiri dan

4
percabangan arteri iliaca communis sinistra menjadi cabang-cabangnya, dan diantara kaki-kaki
huruf V ini terdapat reccessus intersigmoideus.6

Gambar 2.1 anatomi colon

Gambar 2.2 Colon merupakan bagian dari usus besar, dan mempunya 4 bagian : colon
ascending, colon transversus, colon descendens, dan colon sigmoid6

5
Dalam perkembangan embriologik, kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional sehingga
kolon kanan dan sekum mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan
terjadinya putaran atau volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan
mesenterium yang panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit. Batas antara
kolon dan rektum tampak jelas karena pada rektum ketiga taenia tidak tampak lagi. Batas ini
terletak di bawah ketinggian promontorium, kira-kira 15 cm dari anus. Pertemuan ketiga taenia
di daerah sekum menunjukkan pangkal apendiks bila apendiks tidak jelas karena perlengketan.
Sekum, kolon asendens, dan bagian kanan kolon transversum dipendarahi oleh cabang arteri
mesenterika superior, yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Kolon
transversum bagian kiri, kolon desendens, kolon sigmoid, dan sebagian besar rektum dipendarahi
oleh arteri mesenterika inferior melalui arteri kolika sinistra, arteri sigmoid, dan
arteri hemoroidalis superior.5
Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya. Aliran darah vena disalurkan melalui
vena mesenterika superior untuk kolon asendens dan kolon transversum, dan melalui vena
mesenterika inferior untuk kolon desendens, sigmoid, dan rektum. Keduanya bermuara ke dalam
vena porta, tetapi vena mesenterika inferior melalui vena lienalis. Aliran vena dari kanalis analis
menuju ke vena kava inferior. oleh karena itu, aliran yang berasal dari keganasan rektum dan
anus dapat ditemukan di paru, sedangkan yang berasal dari kolon ditemukan di hati. Pada batas
rektum dan anus, terdapat banyak kolateral arteri dan vena melalui peredaran hemoroidal antara
sistem pembuluh saluran cerna dan sistem arteri dan vena iliaka.4

6
Gambar 2.3 vaskularisasi colon

Aliran limfe kolon sejalan dengan aliran darahnya. Hal ini penting diketahui sehubungan
dengan penyebaran keganasan dan kepentingannya dalam reseksi keganasan kolon. Sumber
aliran limfe terdapat pada muskularis mukosa. Jadi, selama suatu keganasan kolon belum
mencapai lapisan muskularis mukosa, kemungkinan besar belum ada metastasis. Metastasis dari
kolon sigmoid ditemukan di kelenjar regional mesenterium dan retroperitoneal pada arteri kolika
sinistra, sedangkan dari anus ditemukan di kelenjar regional di regio inguinalis.4,5
Kolon dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus splanknikus dan pleksus
presakralis serta oleh serabut parasirnpatis yang berasal dari nervus vagus. Karena distribusi
persarafan usus tengah dan usus belakang, nyeri alih pada kedua bagian kolon kiri dan kanan
berbeda. Lesi pada kolon bagian kanan yang berasal dari usus tengah terasa mula-mula pada
epigastrium atau di atas pusat. Nyeri pada apendisitis akut mula-mula terasa pada epigastrium,
kemudian berpindah ke perut kanan bawah. Nyeri dari lesi pada kolon desendens atau sigmoid
yang berasal dari usus belakang terasa mula-mula di hipogastrium atau dibawah pusat.5

7
B. Fisiologi
Kolon ialah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebnyak 90 %
kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1-2 L per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif
melalui NA-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi sebanyak 400 mEq perhari. Air diserap
secara pasif mengikuti dengan natrium melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif
disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida diabsoprsi secara aktif
melalui pertukaran klorida-bikarbonat.3
Degradasi bakteri dari protein dan urea menghasilkan amonia. Amonia adalah substansi yang
diabsorpsi dan ditransportasikan ke hati. Absorpsi amonia ini tergantung dari pH intraluminal.
Penggunaan antibiotik akan menyebabkan penurunan bakteri usus dan penuran pH intraluminal
yang akan menyebabkan penurunan absorpsi amonia.3
Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin, dan elektrolit, ekskresi mukus, serta
menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 mL cairan usus halus
yang diterima oleh kolon, hanya 150 - 200 mL yang dikeluarkan sebagai feses setiap harinya.5
Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah. Oksigen dan CO2 di dalamnya
diserap di usus, sedangkan nitrogen bersama dengan gas hasil pencernaan dan peragian
dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah gas di dalam usus mencapai 500 mL sehari. Pada infeksi usus,
produksi gas meningkat dan bila mendapat obstruksi usus gas tertimbun di saluran cerna yang
menimbulkan flatulensi.5

2.2 EPIDEMIOLOGI
Menurut American Cancer Society, kanker kolon adalah kanker ketiga terbanyak dan
merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat.
Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens kanker kolon di seluruh dunia menempati urutan
ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan perempuan) dan
menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000 penduduk [8,5%],
keseluruhan laki-laki dan perempuan).1
Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus kanker
kolon baru, dan 49.190 kematian yang terjadi akibat kanker kolon. Secara keseluruhan risiko
untuk mendapatkan kanker kolon adalah 1 dari 20 orang (5%).2

8
Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor
lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolon. Angka kematian
kanker kolon telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya
deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolon.1
Insiden kanker kolon di indonesia cukup tinggi, demikian juga dengan angka kematiannya.
Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada orang muda. Sekitar 75 %
ditemukan di rektosigmoid. Kurang dari 50 % kanker kolon di temukan di rektosigmoid.6

2.3 FAKTOR RESIKO


1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi : 3
a.) Usia
Diagnosis kanker kolon meningkat progresif sejak usia 40 tahun, meningkat tajam
setelah usia 50 tahun. Lebih dari 90% kasus kanker kolon terjadi di atas usia 50 tahun.
Angka kejadian pada usia 60-79 tahun 50 kali lebih tinggi dibandingkan pada usia kurang
dari 40 tahun.
b.) Faktor Herediter
Riwayat familial berkontribusi pada sekitar 20% kasus kanker kolon. Kondisi yang
paling sering diwariskan adalah familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC), dikenal sebagai sindrom Lynch. Gen-gen yang
berperan dalam pewarisan kanker kolon ini telah diidentifikasi. HNPCC berhubungan
dengan mutasi gen-gen yang terlibat dalam jalur perbaikan DNA, disebut gen MLH1 dan
MLH2. FAP disebabkan mutasi tumor supresor gen APC (Antigen Presenting Cell).
HNPCC terjadi pada 2-6% kanker kolon. Risiko kanker kolon seumur hidup pada orang
dengan mutasi HNPCC berkisar 70-80% dan rerata umur saat didiagnosis adalah pada
pertengahan usia 40 tahun. Mutasi MLH1 dan MLH2 juga berhubungan dengan
peningkatan risiko relatif kanker lain, termasuk beberapa keganasan ekstra kolon seperti
kanker uterus, gaster, usus halus, pankreas, ginjal, dan ureter.
c.) Faktor Lingkungan
Kanker kolon dipertimbangkan sebagai suatu penyakit yang dipengaruhi lingkungan,
faktor pola hidup, sosial, dan kultural ikut berperan. kanker kolon adalah suatu kanker
dengan penyebab-penyebab yang dapat dimodifikasi, dan sebagian besar kasusnya secara

9
teori dapat dicegah. Bukti risiko lingkungan diperoleh melalui studi para imigran dan
keturunannya. Di antara individu yang bermigrasi dari daerah risiko rendah ke risiko
tinggi, angka insidens kanker kolon cenderung meningkat menyerupai populasi di area
tersebut. Selain faktor migrasi, terdapat beberapa faktor geografi yang mempengaruhi
perbedaan insidens kanker kolon, salah satunya adalah insidens yang lebih tinggi pada
penduduk perkotaan. Orang yang tinggal di area perkotaan memiliki prediktor risiko yang
lebih kuat dibandingkan orang yang lahir di area perkotaan.

2. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi :3


a.) Pola Diet dan Nutrisi3
Diet berpengaruh kuat terhadap risiko kanker kolon, dan perubahan pola makan dapat
mengurangi risiko kanker ini hingga 70%. Insidens kanker kolon meningkat pada orang-
orang yang mengonsumsi daging merah dan/atau daging yang telah diproses. Konsumsi
daging merah dilaporkan memiliki hubungan lebih erat dengan insidens kanker rektum,
sedangkan konsumsi daging yang diproses dalam jumlah besar berhubungan dengan
kanker kolon bagian distal. Implikasi lemak dihubungkan dengan konsep tipikal diet
Barat, terjadi perkembangan flora bakterial yang mendegradasi garam empedu menjadi
komponen N-nitroso yang berpotensi karsinogenik. Mekanisme potensial asosiasi positif
antara konsumsi daging merah dengan kanker kolorektal termasuk adanya heme besi
pada daging merah. Beberapa jenis daging yang dimasak pada temperatur tinggi memicu
produksi amino heterosiklik dan hidrokarbon aromatik polisiklik, keduanya dipercaya
merupakan bahan karsinogenik. Larson, dkk. melalui studi prospektif menyarankan
pembatasan konsumsi daging merah dan daging yang diproses untuk mencegah kanker
kolon. Penelitian juga membuktikan bahwa individu yang mengonsumsi buah, sayuran,
dan sereal memiliki risiko kanker kolon lebih kecil. Perbedaan asupan diet berserat serta
perbedaan geografi berperan pada insidens kanker kolon, diet berserat diperhitungkan
sebagai faktor pembeda insidens kanker kolon di Afrika dan negara-negara dengan gaya
hidup Barat.
b.) Aktivitas Fisik dan Obesitas3
Dua faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan saling berhubungan, aktivitas fisik dan
kelebihan berat badan, dilaporkan berpengaruh pada sepertiga kasus kanker kolon.

10
Aktivitas tinggi berhubungan dengan rendahnya insidens kanker kolon. Aktivitas fisik
reguler dan diet sehat membantu menurunkan risiko. Mekanisme biologi yang berperan
dalam hubungan antara menurunnya aktivitas fisik dan kanker kolon mulai dipahami.
Aktivitas fisik meningkatkan angka metabolik dan meningkatkan ambilan oksigen
maksimal. Dalam jangka panjang, aktivitas reguler serupa meningkatkan efisiensi dan
kapasitas metabolik tubuh, juga menurunkan tekanan darah dan resistensi insulin. Selain
itu, aktivitas fisik meningkatkan motilitas usus kurangnya aktivitas fisik harian juga
meningkatkan insidens obesitas, faktor lain yang berhubungan dengan kanker kolon.
Kelebihan berat badan dan obesitas meningkatkan sirkulasi estrogen dan menurunkan
sensitivitas insulin, juga dipercaya mempengaruhi risiko kanker, dan berhubungan
dengan penimbunan adipositas abdomen. Namun, peningkatan risiko yang berhubungan
dengan kelebihan berat badan dan obesitas tampaknya tidak hanya berhubungan dengan
peningkatan asupan energi, hal ini juga dapat mencerminkan perbedaan efisiensi
metabolisme. Studi menunjukkan bahwa individu yang menggunakan energi lebih efisien
memiliki risiko kanker kolon lebih rendah. Skala Indeks Massa Tubuh (IMT)
memberikan pengukuran kelebihan berat badan yang lebih akurat dibandingkan berat
badan saja. IMT dihitung dengan membagi berat badan (dalam kilogram) dengan kuadrat
tinggi badan (dalam meter). Panduan IMT Asia Pasifik berbeda dengan klasifikasi IMT
oleh National Institutes of Health (NIH) karena kandungan lemak tambahan dan
perbedaan distribusi lemak pada orang Asia. Orang Asia menunjukkan peningkatan
akumulasi lemak walaupun IMT-nya rendah. Obesitas menyebabkan penimbunan
hormon, peningkatan kadar insulin dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1), pemicuan
regulator pertumbuhan tumor, gangguan respons imun dan stres oksidatif, sehingga
memicu terjadinya karsinoma kolon.3
c.) Merokok3
Sebesar 12% kematian kanker kolon berhubungan dengan kebiasaan merokok.
Karsinogen rokok meningkatkan pertumbuhan kanker kolon, dan meningkatkan risiko
terdiagnosis kanker. Merokok menyebabkan pembentukan dan pertumbuhan polip
adenomatosa, lesi prekursor kanker kolon. Terdapat hubungan statistik signifikan
berdasarkan dosis merokok per tahun setelah merokok lebih dari 30 tahun; individu
dengan riwayat merokok lama dan kemudian berhenti merokok tetap memiliki risiko

11
kanker kolon. Polip berukuran besar di kolon dan rektum dihubungkan dengan kebiasaan
merokok jangka panjang. Onset kanker kolon penderita pria dan wanita perokok lebih
muda.
d.) Alkohol3
Konsumsi alkohol reguler berhubungan dengan perkembangan kanker kolon.
Konsumsi alkohol merupakan faktor risiko kanker kolon pada usia muda, juga
meningkatnya insidens kanker kolon distal. Metabolit reaktif pada alkohol seperti
asetaldehid bersifat karsinogenik. Terdapat korelasi antara alkohol dan merokok, rokok
menginduksi mutasi spesifik DNA yang perbaikannya tidak efektif karena adanya
alkohol. Alkohol berperan sebagai solven, meningkatkan penetrasi molekul karsinogen
lain ke dalam sel mukosa. Efek alkohol dimediasi melalui produksi prostaglandin,
peroksidase lipid, dan generasi ROS (Reactive Oxygen Species) bebas. Konsumsi tinggi
alkohol biasanya berhubungan dengan nutrisi rendah, sehingga jaringan rentan terhadap
karsinogenesis. Konsumsi alkohol 2-4 porsi per hari meningkatkan risiko hingga 23%
dibandingkan individu yang mengonsumsi kurang dari 1 porsi per hari. Porsi yang
dimaksud adalah satuan jumlah minuman yang dikeluarkan oleh National Institute on
Alcohol Abuse and Alcoholism, 1 porsi mengandung sekitar 14 gram alkohol murni,
volumenya berbeda-beda untuk minuman beralkohol yang beredar di masyarakat, 1 porsi
= 355 ml bir (kadar alkohol 5%), 148 ml wine (kadar alkohol 7%), 29,5 ml brandy atau
minuman keras lainnya (kadar alkohol 40%). Riwayat mengonsumsi alkohol juga
memiliki risiko tinggi.
e.) Lain-lain3
Peranan suplementasi kalsium dan vitamin D untuk mencegah kanker kolon masih
perlu diteliti lebih lanjut. Studi meta-analisis menunjukkan kalsium 1200 mg menurunkan
risiko adenoma secara bermakna, sedangkan hubungan antara vitamin D dan kanker
belum diketahui pasti. Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Digestif Indonesia
memberikan rekomendasi tingkat B untuk aspirin dan OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-
Steroid) dalam menurunkan risiko kanker kolon, namun penggunaannya tidak dianjurkan
karena efek samping obat. Penggunaan terapi sulih hormon pasca-menopause secara
teratur dan jangka panjang juga menurunkan risiko KKR, namun meningkatkan risiko
kanker payudara dan penyakit kardiovaskuler.

12
2.4 PATOGENESIS6
Kanker kolon adalah penyakit yang berasal dari sel epitel yang melapisi kolon saluran
pencernaan, paling sering sebagai akibat mutasi pada jalur Wntsignaling yang meningkatkan
signal-inaktivity. Mutasi dapat diwariskan atau diperoleh dan yang paling mungkin terjadi di
stem cell kripta usus. Gen yang paling sering bermutasi pada semua kanker kolorektal adalah gen
APC, yang menghasilkan Protein APC. Protein APC mencegah akumulasi protein β-catenin.
Tanpa APC β-catenin akumulasi menjadi sangat tinggi dan translokasi (perpindahan) ke dalam
nukleus, mengikat DNA, dan mengaktifkan transkripsi proto-onkogen. Gen-gen ini biasanya
penting untuk pembaharuan dan diferensiasi sel induk, tetapi ketika diekspresikan secara tidak
tepat pada tingkat yang sangat tinggi, mereka dapat menyebabkan kanker. Sementara APC
bermutasi pada sebagian besar kanker kolon, beberapa kanker telah meningkatkan beta-catenin
karena mutasi pada β-catenin (CTNNB1) yang memblokir sendiri kerusakan, atau memiliki
mutasi pada gen lain dengan fungsi yang mirip dengan APC seperti AXINI, AXIN2, TCF71.2
atau NKDI.6
Selain defek pada jalur signal Wnt, mutasi lain juga terjadi pada sel menjadi bersifat kanker.
Protein p53 yang diproduksi oleh gen TP53, biasanya memonitor pembelahan sel dan membunuh
sel jika mereka memiliki cacat jalur Wnt. Alhasil, sel memperoleh mutasi pada gen TP53 dan
mengubahnya dari tumor epitel jinak menjadi kanker sel epitel invasif. Terkadang gen yang
mengkode p53 tidak bermutasi, tetapi protein pelindung lain bernama BAX bermutasi sebagai
gantinya. Karsinoma kolon dapat dikategorikan ke dalam tipe tumor hipermutasi dan non-
hipermutasi. Selain mutasi onkogenik dan inaktivasi, sampel non-hypermutated juga
mengandung gen mutasi (CTNNBI, FAM123B, SOX9, ATM, dan ARDI A. melalui serangkaian
peristiwa genetik yang berbeda, tumor yang hipermutasi terbentuk dari ACVR2A, TGFBR2,
MSH3, MSH6, SLC9A9, TCF71.2 and BRAF. umumnya di antara gen-gen ini, di kedua jenis
tumor adalah keterlibatan mereka dalam jalur pensinyalan WNT dan TGF-β, yang menghasilkan
peningkatan aktivitas MYC penyebab utama dalam kanker kolorektal.6
Field defect. Istilah "field cancerization" pertama kali digunakan pada tahun 1953 untuk
menggambarkan area "field" epitel yang telah dikondisikan oleh proses-proses yang sebagian
besar tidak diketahui pada waktu itu, sehingga cenderung mempengaruhi perkembangan kanker.
Sejak saat itu, istilah "field cancerization", "field carcinogenesis", "field defect", dan "field
effect" telah digunakan untuk menggambarkan jaringan pra-ganas atau pra-neoplastik di mana

13
kanker baru cenderung terjadi. field defect penting dalam perkembangan menjadi kanker kolon.
Rubin menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian kanker yang telah dilakukan pada tumor
yang terdefinisi dengan baik pada in vivo, atau pada fokus neoplastik diskrit in vitro. Vogelstein
et al menunjukkan bahwa lebih dari setengah mutasi somatik yang diidentifikasi pada tumor
terjadi pada fase preneoplastik (pada field defect), selama pertumbuhan sel-sel tampak normal.
Dalam Pandangan yang lebih luas field effect telah disebut sebagai: yang mencakup tidak hanya
perubahan molekuler dan patologis disel pra-neoplastik tetapi juga pengaruh faktor lingkungan
eksogen dan perubahan molekuler di lingkungan mikro lokal pada evolusi neoplastik dari inisiasi
tumor hingga kematian tumor.6
Epigenetik. Vogelstein menggambarkan bahwa kanker kolon rata-rata hanya memiliki 1
hingga 2 onkogen mutasi dan 1 sampai 5 mutasi penekan tumor (secara bersama-sama disebut
"driver mutasion"), dengan sekitar 60 "passenger" mutasi. Namun perbandingannya, perubahan
epigenetik pada kanker usus besar sering terjadi dan mempengaruhi ratusan gen. Misalnya, ada
beberapa jenis RNA. Ekspresi miRNA ini bisa jadi diubah secara epigenetik. Sebagai salah satu
contoh, perubahan epigenetik yang terdiri dari metilasi CpG island dari DNA sequence yang
mengkode miR-137 mengurangi ekspresinya. Perubahan tingkat ekspresi miR-137 menghasilkan
perubahan ekspresi mRNA dari gen target oleh 2 hingga 20 kali lipat, meskipun sering lebih
kecil pada perubahan dalam ekspresi produk protein dari gen. microRNAs lain, dengan jumlah
gen target yang mungkin sebanding, bahkan secara epigenetik lebih sering mengubah field defect
kolon dan pada kanker kolon yang timbul. Selain perubahan epigenetik dari ekspresi miRNA,
jenis umum epigenetik lainnya dikanker yang mengubah tingkat ekspresi gen termasuk
hipermetilasi langsung atau hipmetilasi dari CpG island dari gen penyandi protein dan perubahan
histones dan arsitektur kromosom yang memengaruhi ekspresi gen. Bukti terbaru menunjukkan
bahwa pengurangan epigenetik yang cepat dari ekspresi perbaikan enzim DNA kemungkinan
mengarah pada ketidakstabilan karakteristik genomik dan epigenomik kanker.6

2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi pentahapan kanker digunakan untuk menentukan luas atau ekstensi kanker dan
nilai prognostik pasien. Sistem yang paling banyak digunakan adalah sistem TNM. Sistem ini
dibuat oleh American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan International Union for Cancer

14
Control (UICC). TNM mengklasifikasi ekstensi tumor primer (T), kelenjar getah bening regional
(N) dan metastasis jauh (M), sehingga staging akan dinilai berdasarkan T, N dan M.1,7

Tabel 2.1 Tumor primer (T)

Tabel 2.2 Kelenjar getah bening (N)

15
Tabel 2.3 Metastasis (M)

Tabel 2.4 Stadium kanker kolon

Stadium pertumbuhan karsinoma di bagi menurut klasifikasi dukes. Klasifikasi dukes di bagi
berdasarkan didalamnya infiltrasi karsinoma ke dinding usus.5
Prognosis hidup
Dukes Dalamnya infiltrasi
setelah 5 tahun
A Terbatas di dinding usus 97 %
Menembus lapisan muskularis
B 80 %
mukosa
C Metastasis kelenjar limfe

16
Beberapa kelejar limfe dekat tumor
C1 primer 65 %
Dalam kelenjar limfe jauh
C2 35 %
D Metastasis jauh <5%

Tabel 2.5 klasifikasi dukes

2.6 GAMBARAN KLINIS


Nyeri perut adalah gejala yang paling sering muncul. Nyeri bervariasi menurut jenis, lokasi,
dan intensitas.
Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan kanan. Karsinoma kolon kiri sering
bersifat skirotik sehingga lebih banyak menimbulkan stenosis dan obstruksi, terlebih karena feses
sudah menjadi padat. Pada karsinoma kolon kanan, jarang terjadi stenosis dan feses masih cair
sehingga tidak ada faktor obstruksi.5
Gejala dan tanda dini karsinoma kolorektal tidak ada. Umumnya, gejala pertama timbul
karena penyulit, yaitu gangguan faal usus, obstruksi, perdarahan, atau akibat
penyebaran. Karsinoma kolon kiri dan rektum menyebabkan perubahan pola defekasi, seperti
konstipasi atau defekasi dengan tenesmi. Makin ke distal letak tumor, feses makin menipis, atau
seperti kotoran kambing, atau lebih cair disertai darah atau lendir. Tenesmi merupakan gejala
yang biasa didapat pada karsinoma rektum. Perdarahan akut jarang dialami; demikian juga nyeri
di daerah panggul berupa tanda penyakit lanjut. Bila pada obstruksi penderita dapat flatus perut
penderita akan terasa lega.5
Gambaran klinis tumor sekum dan kolon asendens tidak khas. Dispepsia, kelemahan umum,
penurunan berat badan, dan anemia merupakan gejala umum. Oleh karena itu, penderita sering
datang dalam keadaan menyedihkan. Nyeri pada kolon kiri lebih nyata daripada kolon kanan.
Tempat yang dirasa nyeri berbeda karena asal embriogenik yang berlainan, yaitu dari usus
tengah dan usus belakang. Nyeri dari kolon kiri bermula di bawah umbilikus, sedangkan dari
kolon kanan di epigastrium.5

17
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Berikut ini adalah gejala dan tanda yang menunjukkan nilai prediksi tinggi akan adanya KKR:
a) Keluhan utama dan pemeriksaan klinis:
1) Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama
minimal 6 minggu (semua umur)
2) Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun) Peningkatan frekuensi
defekasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun)
3) Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur) Massa intra-luminal di dalam
rektum
4) Tanda-tanda obstruksi mekanik usus. Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb
< 11 g% untuk laki-laki atau < 10 g% untuk perempuan pasca menupause).1
b) Pemeriksaan colok dubur
Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan sfingter ani dan menetapkan
ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan
colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
1) Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah
terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau uiung Os
coccygis.
2) Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Ekstensi dan ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan
sirkuler.1
2. Pemeriksaan Penunjang
a.) Endoskopi
Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan dengan
sigmoidoskopi (>35% tumor terletak di rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi total.
Kolonoskopi memberikan keuntungan sebagai berikut, yaitu tingkat sensitivitas di dalam
mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%, kolonoskopi berfungsi
sebagai alat diagnostik (biopsi) dan terapi (polipektomi), kolonoskopi dapat
mengidentifikasi dan melakukan reseksi synchronous polyp dan tidak ada paparan

18
radiasi. Sedangkan kelemahan kolonoskopi adalah pada 5–30% pemeriksaan tidak dapat
mencapai sekum, sedasi intravena selalu diperlukan, lokalisasi tumor dapat tidak akurat
dan tingkat mortalitasnya adalah 1 : 5.000 kolonoskopi.1
b.) Enema barium dengan kontras ganda Pemeriksaan
Enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda karena memberikan
keuntungan sebagai berikut, sensitivitasnya untuk mendiagnosis KKR: 65-95%, aman,
tingkat keberhasilan prosedur sangat tinggi, tidak memerlukan sedasi dan telah tersedia di
hampir seluruh rumah sakit. Sedangkan kelemahan pemeriksaan barium enema, yaitu lesi
T1 sering tak terdeteksi, rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi di rekto-sigmoid
dengan divertikulosis dan di sekum, rendahnya akurasi untuk mendiagnosis lesi tipe
datar, rendahnya sensitivitas (70-95%) untuk mendiagnosis polip.1
c.) CT colonography (Pneumocolon CT)9
Pemeriksaan CT colonography dipengaruhi oleh spesifikasi alat CT scan dan software
yang tersedia serta memerlukan protokol pemeriksaan khusus. Modalitas CT yang dapat
melakukan CT colonography dengan baik adalah modalitas CT scan yang memiliki
kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering. Kolonoskopi virtual juga
memerlukan software khusus. Keunggulan CT colonography adalah dapat digunakan
sebagai skrining setiap 5 tahun sekali (level of evidence 1C, sensitivitas tinggi di dalam
mendiagnosis KKR); toleransi pasien baik; dapat memberikan informasi keadaan di luar
kolon, dan termasuk untuk menentukan stadium melalui penilaian invasi lokal, metastasis
hepar, dan kelenjar getah bening. Sedangkan kelemahannya adalah tidak dapat
mendiagnosis polip.9

2.8 PENATALAKSANAAN
1. Terapi Bedah5,10
Satu-satunya kemungkinan terapi kuratif ialah tindak bedah. Tujuan utama tindak bedah alah
memperlancar saluran cerna, baik bersifat kuratif maupun nonkuratif. Kemoterapi dan radiasi
bersifat paliatif dan tidak memberi manfaat kuratif.5
Tindak bedah terdiri atas reseksi luas karsinoma primer dan kelenjar limfe regional. Bila
sudah terjadi metastasis jauh, tumor primer akan direseksi juga dengan maksud mencegah
obstruksi, perdarahan, anemia, inkontinensia, fistel, dan nyeri. Pada karsinoma rektum, teknik

19
pembedahan yang dipilih bergantung pada letaknya, khususnya jarak batas bawah karsinoma dan
anus. Sedapat mungkin anus dengan sfingter eksterna dan slingter interna dipertahankan untuk
menghindari anus preternaturalis.5
Bedah kuratif dilakukan bila tidak ditemukan gejala penyebaran lokal maupun jauh. Pada
tumor sekum atau kolon asendens, dilakukan hernikolektomi kanan, dilanjutkan dengan
anastomosis ujung-keujung. Pada tumor di fleksura hepatika dilakukan juga hemikolektomi.
Pada tumor kolon tranversum, dilakukan reseksi kolon transversum yang dilanjutkan dengan
anastomosis ujung-ke-ujung sedangkan pada tumor kolon desendens, dilakukan hemikolektomi
kiri. Pada tumor sigmoid, dilakukan reseksi sigmoid, dan pada tumor rektum sepertiga proksimal
dilakukan reseksi anterior. Pada tumor rektum sepertiga tengah, dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan amputasi
rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles*.5
Pada operasi ini, anus turut dikeluarkan. Tumor yang teraba pada pemeriksaan colok dubur
umumnya dianggap terlalu rendah untuk tindakan preservasi sfingter anus. Eksisi lokal
dengan mempertahankan anus hanya dapat dipertanggungjawabkan pada tumor tahap dini. Pada
pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid
dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar limf
retroperitoneal. Kemudian, anus dieksisi melalui insisi perineal dan dikeluarkan seluruhnya
bersama rektum melalui abdomen. Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui
laparatomi menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal
rendah. Eksisi lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi
penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan endoskopi
ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam dinding rektum dan adanya
kelenjar ganas pararektal.5
Cara lain yang dapat digunakan atas indikasi dan seleksi khusus ialah fulgerasi (koagulasi
listrik). Pada cara ini, tidak dapat dilakukan pemeriksaan histopatologik. Cara ini kadang
digunakan pada penderita yang berisiko tinggi untuk menjalani pembedahan. Koagulasi dengan
laser digunakan sebagai terapi paliatif, sedangkan radioterapi, kemorerapi, dan imunoterapi
digunakan sebagai terapi adjuvan. Tindak bedah yang didahului dan disusul radioterapi disebut
terapi sandwich. Semuanya kadang berefek positif untuk waktu terbatas.5

20
Penyulit yang sering terjadi pada reseksi rektum abdominoperineal radikal maupun reseksi
rektum anterior rendah ialah gangguan fungsi seks. Pada diseksi kelenjar limf pararektal dan
daerah retroperitoneal sekitar promonterium dan di daerah (pre)aortal, dilakkukan juga eksisi
saraf Otonom, simpatik, maupun parasimpatik. Gangguan seks mungkin berupa libido kurang
atau hilang, gangguan ereksi, gangguan lubrikasi vagina, orgasme, atau ejakulasi. Gangguan
yang terjadi mungkin berupa salah satu atau kombinasi dari beberapa gangguan yang disebut di
atas. Dengan teknik pembedahan khusus yang halus dan teliti, angka kejadian penyulit ini dapat
diturunkan.5
Reseksi tumor secara paliatif dilakukan untuk mencegah atau mengatasi obstruksi atau
menghentikan perdarahan supaya kualitas hidup penderita lebih baik. Jika tumor tidak dapat
diangkat, dapat dilakukan bedah pintas atau anus preternaturalis. Pada metastasis hati yang tidak
lebih dari dua atau tiga nodul, dapat dipertimbangkan eksisi metastasis. Pemberian sitostatik
melalui arteri hepatika, yaitu perfusi secara selektif, yang kadang ditambah lagi dengan terapi
embolisasi dapat berhasil menghambat pertumbuhan sel ganas.5
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis yang dibuat
untuk sementara atau menetap. Kolostomi sementara dibuat, misalnya. pada penderita gawat
perut dengan peritonitis yang telah dilakukan reseksi sebagian kolon. Pada keadaan demikian,
membebani anastomosis baru dengan pasase feses merupakan tindakan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, untuk pengamanan anastomosis, aliran feses dialihkan
sementara melalui kolostomi dua sroma yang biasanya disebut stoma laras ganda. Dengan cara
Hartmann, pembuatan anastomosis ditunda sampai radang di perut telah reda. Kolostomi tetap
dibuat pada reseksi rektoanal abdominoperineal menurut Quenu-Miles berupa anus
preternaturalis sejati. Esofagostomi, gastrostomi, yeyunostomi, dan sekostomi biasanya
merupakan Stoma sementara. Ileostomi dan kolostomi sering berupa stoma tetap. Indikasi
kolostomi ialah untuk mendekompresi usus pada obstruksi, membuat stoma sementara pada
bedah reseksi usus akibat radang atau perforasi, dan sebagai anus pasca reseksi usus distal untuk
melindungi anastomosis distal.5
Kolostomi dapat berupa stoma kait (loop colostoma) atau stoma ujung (end colostoma). Pada
kolostoma sigmoid, biasanya pola defekasi sama dengan semula. Banyak penderita mengadakan
pembilasan sekali sehari sehingga mereka tidak terganggu oleh pengeluaran feses dari stomanya;
Kolostoma pada kolon transversum mengeluarkan isi usus beberapa kali sehari karena isi kolon

21
transversum tidak padat sehingga lebih sulit diatur. Anus preternaturalis sering menjadi penyulit.
Hernia parastoma dapat berisi kolon, omentum, atau usus halus.5
2. Kemoterapi
Kemoterapi untuk kanker kolorektal dilakukan dengan berbagai pertimbangan, antara lain
adalah stadium penyakit, risiko kekambuhan dan performance status. Berdasarkan pertimbangan
tersebut kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi adjuvan, neoadjuvan
atau paliatif. Terapi adjuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang
memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang terambil <12 buah,
tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular atau limfatik atau perineural; tumor dengan
obstruksi atau perforasi; dan PT4. Kemoterapi adiuvan diberikan kepada pasien dengan WHO
performance status (PS) 0 atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu
dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin),
serta elektrolit darah.10
a) Kemoterapi tunggal :
1) Capecitabine 850-1250 mg/m2 , 2 kali sehari, hari 1-14, setiap 3 minggu x 24 minggu.
2) 5-FU/leucovorine (Roswell Park, simplified, de grammont)
2.1 Roswell Park regimen: Leucovorin 500 mg/m2 IV selama 2 jam, hari 1, 8, 15, 22,
29, dan 36; 5-FU 500 mg/m2 bolus IV 1 jam setelah dimulai leucovorin, hari 1, 8,
15, 22, 29 dan 36, diulang setiap 8 minggu.
2.2 Simplified biweekly infusional: 5-FU/LV (sLV5FU2): Leucovorin 400 mg/m2 IV
selama 2 jam pada hari 1, diikuti dengan 5-FU bolus 400 mg/m2 dan kemudian
1200 mg/m2/hari x 2 hari (total 2400 mg/m2 selama 46-48 jam) infus continuous,
diulang setiap 2 minggu.
2.3 Mingguan: Leucovorin 20 mg/m2 IV selama 2 jam pada hari 1, 5- FU 500 mg/m2
bolus injeksi IV 1 jam setelah dimulai leucovorin, diulang setiap minggu; 5-FU
2600 mg/m2 dalam infus 24 jam ditambah leucovorin 500 mg/m2 , diulang setiap
minggu.1
b) Kemoterapi doublet
1) mFOLFOX6
1.1 Oxaliplatin 85 mg/m2 IV selama 2 jam, hari ke-1.1
1.2 Leucovorin 400 mg/m2 IV selama 2 jam, hari ke-1

22
1.3 5-FU 400 mg/m2 IV bolus pada hari ke-1, kemudian 1200 mg/m2/hari x 2 hari
(total 2400 mg/m2 selama 46-48 jam) secara IV infus kontinyu, ulangi setiap 2
minggu.
2) CapeOX
2.1 Oxaliplatin 130 mg/m2 selama 2 jam, hari ke-1.
2.2 Capecitabine 1000 mg/m2 , 2 kali sehari, per oral hari ke-1 sampai ke-14, ulangi
setiap 3 minggu x 24 minggu
3) FOFIRI
3.1 Irinotecan 180 mg/m2 IV selama 30–90 menit, hari ke-1
3.2 Leucovorin 400 mg/m2 IV selama 2 jam, hari ke-1
3.3 5-FU 400 mg/m2 IV bolus pada hari ke-1, kemudian 1200 mg/m2/hari x 2 hari
(total 2400 mg/m2 selama 46-48 jam) secara IV infus kontinyu, ulangi setiap 2
minggu
4) IROX
4.1 Oxaliplatin 85 mg/m2 IV selama 2 jam, diikuti irinotecan 200 mg/m2 selama
30 atau 90 menit setiap 3 minggu.1

23
Tabel 2.6 Rangkuman penatalaksanaan kanker kolon.

2.9 PROGNOSIS
Prognosisnya bergantung pada ada tidaknya metastasis jauh, yakni bergantung pada
klasifikasi penyebaran tumor dan tingkat keganasan sel tumor.5
Pada tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup
lima tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran
kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh satu persen. Bila disertai diferensiasi sel tumor buruk,
prognosisnya sangat buruk. yang sering terjadi pada orang gemuk. Prolaps, stenosis, nekrosis,
dan retraksi merupakan komplikasi teknik yang kurang sempurna. Kadang terjadi infeksi dinding
perut dan iritasi kulit akibat rangsang sisa pencernaan.5

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Basir I. 2017. Panduan Penatalaksanaan Kanker Kolorektal. Komite Penanggulangan

Kanker Nasional. KEMENKES RI.

2. Marley A, Nan H, 2016. Epidemiology of Colorectal Cancer. International Journal of

Molecular Epidemiology and Genetics. Vol. 7. no. 3. 105-114.

3. Kelly M, Rothenberger D. 2015. Colon, Rectum and Anus. In Schwartz’s Principles of

Surgery.10th edition. USA: McGraw-Hill. P 1175-70.

4. Baxter N, Guillem J, 2007. Colorectar cancer; Epidemiology, Etiology, and Molecular

Basis. In The ACRS Textbook of Colon and Rectal Surgery. The American Society of Colon

and Rectal Surgeons. Hal. 335-353

5. Sjamsuhidayat. 2010. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. EGC, Jakarta.

6. Murtaza R, et al. 2016. Colorectal Cancer: Pathogenesis, Management and Prevention.

Journal of Dental and Medical Sciences. Volume 15, Issue 5.

7. American Joint Committee on Cancer. 2009. Colon and Rectum Staging 7th edition.

American Cancer Society.

8. Weiss E, Lavery I. 2007. Colon Cancer Evaluation and Staging. In The ACRS Textbook of

Colon and Rectal Surgery. The American Society of Colon and Rectal Surgeons. Hal. 385

9. Khosama Y. 2015. Faktor resiko kanker kolorektal. Tinjauan pustaka. vol. 42 no. 11.

10. Ernts J, William M, Lieberman D, et al. 2015. Colorectal Cancer. Diakses tanggal 04

Februari 2019. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4874655/

25

Anda mungkin juga menyukai