Definisi
Luka gigitan adalah cidera yang disebabkan oleh mulut dan gigi hewan atau manusia. Hewan
mungkin menggigit untuk mempertahankan dirinya, dan pada kesempatan khusus untuk mencari
makanan. Gigitan dan cakaran hewan yang sampai merusak kulit kadang kala dapat mengakibatkan
infeksi. Beberapa luka gigitan perlu ditutup dengan jahitan, sedang beberapa lainnya cukup dibiarkan
saja dan sembuh dengan sendirinya.
Luka gigitan penting untuk diperhatikan dalam dunia kedokteran. Luka ini dapat
menyebabkan :
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia (Sumber :
Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan
sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang
termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan
suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang
mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks,
terutama protein, yang memiliki aktivitas enzimatik.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein, termasuk enzim
dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun dapat pula
menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel mengandungbeberapa
prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah.
Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung
oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor
pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi pembuluh darah dan
menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan fosfolipase A) racun
polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan permeabilitas membran sel dan menyebabkan
pembengkakan setempat. Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – enzim ini dapat menghancurkan membran sel, endotel,
otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) – merupakan
phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya melepaskan transmiter asetilkolin lalu
meningkatkan pelepasannya.
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin untuk mendapat
reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis kuraonium
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5
nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini
menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis atau
pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Hialuronidase merusak bahan dasar sel
sehingga memudahkan penyebaran racun.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa neurotoksik,
yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya
bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan merusak
(menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding
sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan keluar
menembus pembuluh-pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput
mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar luka
gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan tanda-tanda kulit
sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjut nya
mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti
saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah mata. Bisa
dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20
mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang terlewati sejak
gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung
merespon terhadap emisi panas dari mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah
bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-bahan
penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit
viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan sistemik dari fungsi
sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati biasanya tidak terjadi saat
venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstitial
di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa kematian sel
yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan
membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade neuromuskuler dapat menyebabkan
perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi.
Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria dan gangguan ginjal.
D. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR
Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake, mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak
mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar berbicara, susah
menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur, parestesia di
sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat gigitan
yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam
atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, dilatasi
pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai dengan urin berwarna
coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal, serta henti jantung
F. DIAGNOSA KLINIK
Anamnesis2 :
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan tanda baik lokal dan sistemik
merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya bekas
taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak pasien
terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera setelah terkena gigitan ular, bisa
didapatkan sebagian kecil tanda dan gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila
pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular berbisa),
bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel viper(ular berbisa), bila terjadi
saat memetik buah, pit viper hijau(ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang
sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien. Apabila ular
yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang
ke rumah sakit, untuk memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular samasekali) pasien dapat segera ditenangkan dan
dipulangkan dari rumah sakit.
4. apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular
yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia atau mengalami
gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien
sebaiknya ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau ganda, kemungkinan
menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan fisik
Tidak ada cara yang sederhana untuk mengidentifikasi ular berbisa yang berbahaya. Beberapa ular
berbisa yang tidak berbahaya telah berkembang untuk terlihat hampir identik dengan yang berbisa.
Akan tetapi, beberapa ular berbisa yang terkenal dapat dikenali dari ukuran, bentuk, warna, pola sisik,
prilaku serta suara yang dibuatnya saat merasa terancam.
Beberapa ciri ular berbisa adalah bentuk kelapa segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas
gigitan tedapat bekas gigi taring.
Gambar 3. Bekas gigitanan ular. (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular berbisa dengan
bekas taring (Sumber : Sentra Informasi Keracunan Nasional adan POM, 2012)
Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang
yang digigit ular, meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas
menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda
gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan
pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks),
nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae)2.
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
Gambar 4. Gejala Umum Gigitan Ular Tanda dan gejala sistemik :
a. Umum (general)
mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b. Kardiovaskuler (viperidae)
gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema
konjunctiva (chemosis).
c. Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang terus-menerus
dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-
healed wounds), perdarahan sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial
(meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh
perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan pervaginam,
perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit (petekie,
purpura, perdarahan diskoid, ekimosis), serta perdarahan retina.
d. Neurologis (Elapidae, Russel viper)
mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal,
paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengauatau afonia,
regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid
generalisata.
e. destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B. candidus,
western Russell’s viper Daboia russelii)
nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria, hiperkalemia, henti jantung,
gagal ginjal akut.
f. Sistem Perkemihan
nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan gejala
uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain).
g. gejala endokrin
insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior. Pada fase akut : syok,
hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan
rambut seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism.
1. Pertolongan pertama, harus dilaksanakan secepatnya setelah terjadi gigitan ular sebelum korban
dibawa ke rumah sakit. Hal ini dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di tempat
kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk menghambat penyerapan bisa, mempertahankan
hidup korban dan menghindari komplikasi sebelum mendapatkan perawatan medis di rumah sakit
serta mengawasi gejala dini yang membahayakan. Langkah-langkah pertolongan yang dilakukan
adalah menenangkan korban yang cemas, imobilisasi (membuat tidak bergerak) bagian tubuh yang
tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak terjadi kontraksi otot, karena
pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah
bening; pertimbangkan pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap
luka gigitan karena dapat meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Gambar 6. Metode pressure-immobilisation pada gigitan Elapidae (Sumber : WHO,2005)
2. Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang aman dan senyaman
mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk mencegah peningkatan penyerapan bisa.
Beberapa alat transportasi yang dapat digunakan untuk membawa pasien adalah tandu, sepeda, motor,
kuda, kereta, kereta api, atau perahu, atau pasien dapat dipikul (dengan fireman’s metode). Pasien
diposisikan miring (recovery posotion) bila ia muntah dalam perjalanan
Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat
meningkat maka diberikan SABU
Anti bisa ular harus diberikan segera setelah memenuhi indikasi. Anti bisa ular dapat melawan
envenomasi (keracunan) sistemik walaupun gejala telah menetap selama beberapa hari, atau pada
kasus kelainan haemostasis, yang dapat belangsung dua minggu atau lebih. Untuk itu, pemberian anti
bisa tepat diberikan selama terdapat bukti terjadi koagulopati persisten. Apakah antibisa ular dapat
mencegah nekrosis lokal masih menjadi kontroversi, namun beberapa bukti klinins menunjukkan
bahwa agar antibisa efektif pada keadaan ini, anti bisa ular harus diberikan pada satu jam pertama
setelah gigitan.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan laboratorium :
1. Penghitungan jumlah sel darah
2. Pro trombine time dan activated partial tromboplastin time
3. Fibrinogen dan produk pemisahan darah
4. Tipe dan jenis golongan darah
5. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN dan Kreatinin
6. Urinalisis untuk myoglobinuria
7. Analisis gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
b. Pemeriksaan radiologis :
1. Thorax photo untuk pasien dengan edema pulmonum
2. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Pemeriksaan lainnya :
a. Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersialtersedia alat yang steril,
sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Styker pressure monitor).
Indikasi pengukuran tekanan kompartemen adalah bila terdapat pembengkakan yang
signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul
pada ekstremitas yang tergigit
TINDAK LANJUT
Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit :
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi gawat
Darurat selama 8-10 jam; namun, hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan. Pasien dengan tanda
envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-
produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi
untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam. Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut
dan untuk menyingkirkan sindroma kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan
kompartemen setiap 30-120 menit. Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40
mmHg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.
Pada pasien yang terkena bisa ular viper, setelah terjadi respon awal terhadap antibisa ular
(perdarahan berkurang, koagulopati darah terhenti), tanda keracunan sistemik dapat terjadi kembali
dalam 24-48 jam.Hal ini dapat terjadi karena :
a. Absorbsi bisa yang berlanjut dari ‘depot’ pada lokasi gigitan, kemungkinan didukung oleh
peningkatkan aliran darah setelah koreksi syok, hipovolemia, dsb, setelah terjadi eliminasi
antibisa (tergantung waktu paruh antibisa : IgG 45 jam, F(ab’)2 80-100 jam; Fan 12-18 jam)
b. Redistribusi bisa dari jaringan ke dalam ruang intravaskuler, diakibatkan oleh terapi antibisa.
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDA
K YA
KETERANGAN SKEMA TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
RAWAT
TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP RAWAT
LOKAL ( pada bekas gigitan) Sistemik ANTIBISA (MAX 80-100 ml)
a. Tanda gigitan taring (fang marks) Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut, lemah,
b. Nyeridari
Disadur lokal
WHO Guidelines for The mengantuk, lemas.
TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
c. Perdarahan
Clinical lokal of Snake Bite in Kelainan RUJUK
Management hemostatik
SEGERA : perdarahan spontan (klinis),
OBSERVASI* DI RS
The
d. South East Asia Region 2005
Kemerahan koagulopati, atau trombositopenia.
e. Limfangitis Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia eksternal,
f. Pembesaran kelenjar limfe paralisis, dan lainnya.
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas) Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok, arritmia
h. Melepuh (klinis), kelainan EKG.
i. Infeksi lokal, terbentuk abses Cidera ginjal akut (gagal ginjal) : oligouria/anuria
j. Nekrosis (klinis), peningkatan kreatinin/urea urin (hasil
laboratorium). Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin
coklat gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan
adanya hemolisis intravaskuler atatu rabdomiolisis
generalisata (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis, hasil
laboratorium). Serta adanya bukti laboratorium lainnya
terhadap tanda venerasi.
1
KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan sebagai infus
dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila diperlukan (misalnya
gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat diberikan setiap 24 jam sampai
maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan dapat diberikan langsusng sebagai suntikan
intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis
untuk dewasa.Cara lain adalah denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml
diinjeksikan secara intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih
tinggi. Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Amati 30 menit
Amati 30 menit
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini :pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)
KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :
a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jam atau perdarahan setelah 1-2 jam, terdapat
perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2 jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa, dosis yang
sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis besar antibisa diberikan
( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan bisa ular) diberikan pada awal,
waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor
pembekuan lainnya adalah 3-9 jam.
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus diulang antara
1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal antibisa harus
diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
2
RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR
a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan dapat hilang
secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30 menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang menyembuh
sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan aritmia
seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan membaik dalam
30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya membutuhkan waktu bebeerapa jam.
Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin akan
kembali ke warna normal.
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular, pemeriksaan
penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di Instalasi
gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan khusus di
ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan
memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg. Tergantung dari
derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu
pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin, Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi
luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi
hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko
lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih
kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh
immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme,
vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis.
Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan
penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks
antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya
arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus
diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.