Disusun Oleh :
Dedy Setiyawan (17052009)
Program Studi Teknik Industri
FAKULTAS TEKNIK
SURABAYA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
1.2.Tujuan Penulisan
1. Mengobservasi Korupsi
2. Pengaruh Korupsi Terhadap Sosial, budaya, hukum, ekonomi dan politik dll
3. Membandingkan kasus KORUPSI di Indonesia dan Negara Lain
BAB II
PEMBAHASAN
1. INDONESIA
A. Gambaran Umum Indonesia
Indonesia merupakan Negara kesatuan Republik yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang
menduduki jabatan Presiden secara berkala. Presiden sebagai pemimpin utama di negara
Indoensia mempunyai kewenangan dalam merumuskan, membuat, dan melaksanakan
kebijakan atau undang-undang.Negara Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau memiliki
penduduk 241 juta orang yang sebagian besar bermatapencaharian di bidang agraris dan
kelautan
Seperti yang kita ketahui bahwa kasus korupsi di Indonesia sudah tidak terhitung banyaknya.
Dimulai dari perebutan kekuasaan dimasa kerajaan hingga zaman reformasi sekarang ini.
Tindak pidana korupsi yang terjadi memang mencap seorang pejabat negara dan pengusaha
sebagai pelakunya, sedangkan masyarakat adalah korbannya karena pejabat negara dan
pengusaha tersebut telah memakan uang rakyat yang bukan haknya.
Namun, jika kita telusuri bahwa banyak masyarakat yang melakukan tindak pidana korupsi
kecil-kecilan. Walaupun memang tindakan korupsi yang kecil, tetapi akan berdampak besar
pada keadaan selanjutnya.
Tugas KPK secara rinci dicantumkan dalam pasal 6 No. 30/2002, yaitu:
a.) Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
b.)Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
c.) Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi
d.)Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e.)Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pmerintah.
Di Indonesia ada tiga lembaga hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Kejaksaan Agung dan Polri yang bersinergi dalam menangani kasus. Mereka membentuk
Satuan Tugas Antikorupsi (Satgas Antikorupsi). Ketiganya akan bersama menangani kasus
korupsi yang dinilai rumit dan kompleks.
Melihat jumlah korupsi terus meningkat kita menilai jika penganan korupsi di Indonesia
belum maksimal. Secara umum penanganan kasus korupsi yang terjadi di Indonesia masih
jauh dengan apa yang diharapkan.
Mengutip dari berita CNN.com , Staf Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah mengatakan
ada sebanyak 1.775 kasus korupsi dari tahun 2010 sampai 2014, yang ada di Kejagung masih
dalam proses penyidikan. Sementara 900 kasus sudah ada perkembangan dan 800 lebih kasus
belum tersentuh sama sekali.
Banyak pihak menilai hukuman untuk tidak pidana korupsi di Indonesia masih terbilang
lemah jika dibandingkan dengan negara lain. Masyarakat bertanya-tanya mengapa seorang
koruptor tidak di hukum mati, padahal mereka sudah melakukan korupsi yang merugikan
negara.
Sebenarnya ada Undang-Undang yang mengatur seorang koruptor harus dihukum mati.
Hukuman mati untuk koruptor tercantum dalam Pasal 3 undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pada pasal tersebut mengatur bahwa dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang
tercantum dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Keadaan tertentu yang dimaksud adalah ketika negara dalam keadaan berbahaya, pada waktu
bencana alam nasional, atau pada waktu negara dalam krisis ekonomi.
Hukuman untuk Koruptor di Negara Lain
1. Cina
Hukuman mati untuk Koruptor di Cina membuktikan bahwa penegakan hukuman ini dapat
menimbulkan efek jera sehingga koruptor berkurang drastis. Di Cina semua koruptor yang
melakukan korupsi sebelum tahun 1998 dilakukan pemutihan jadi semua pejabardiagap
bersih. Tetapi jika Ada yang korupsi sesudah pemutihan pejabar tersebut akan langsung
dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di Cina dijatuhi
hukuman mati.
2. Amerika
Amerika sebagai negara adidaya juga sangat menindak keras para pelaku koruptor. Tidak ada
ganjaran hukuman mati seperti di Cina tetapi dipenjara dalam waktu yang cukup lama dan
membayar denda yang berat.
Lama hukuman tersebut minimal adalah 5 tahun dan denda sebesar 2 juta dollar. Selain
hukuman yang berat seorang koruptor juga dapat diusir dari negaranya jika terbukti bersalah
dalam kasus yang berat.
3. Arab Saudi
Hukum mati untuk para koruptor di Arab Saudi diberlakukan sesuai dengan syariat Islam.
Bahwa setiap pembunuh harus dihukum dengan dibunuh atau Qisas. Hukum mati berupa
hukum pancung atau penggal.
Walaupun dinilai kurang manusiawi, qisas mampu membuat efek jera yang efektif untuk para
koruptor.
4.Malaysia
Jika di negara tettanga Malaysia, mereka lebih tegas dan berani dalam memberantas
korupsi.Pada 1997, berlaku Anti CorruptionAct, yang makin menguatkan hukum untuk para
koruptor di Malaysia. Dan bila terbukti bersalah, koruptor akan langsung divonis hukuman
gantung.
Hal tersebut juga menjadikan pelaku korupsi di Malaysia semakin berkurang jika
dibandingkan dengan Indonesia.
5. Singapura
- Menjaga intergritas dari public service dan memastikan ada nya transaksi yang bebas
korupsi di sektor publik. Biro ini juga memastikan tidak adanya mal praktek yang dilakukan
aparat publik dan apabila terjadi mal praktek, biro ini harus melaporkannya pada departemen
pemerintah yang bersangkutan dan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai aksi
mendisiplinkan aparat. Walaupun tugas utama dari biro ini adalah melakukkan investigasi
korupsi, biro ini juga melakukan investigasi terhadap hal lain yang sejenis dengan korupsi
berdasarkan undang-undang.
- Melakukan pencegahan korupsi dengan menganalisa cara kerja dan prosedur dari lembaga-
lembaga publik untuk mengidentifikasi kelemahan administrasi yang ada di lembaga tersebut
yang dapat menimbulkan peluang melakukan korupsi dan mal praktek kemudian melaporkan
hal tersebut kepada kepala lembaga badan yang bersangkutan sehingga sistem dapat
diperbaiki dan pencegahan korupsi dapat dilakukan.
A. Dampak negative
1.Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan
cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif
mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem
pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik
menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat
yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti
kepercayaan dan toleransi.
2.Ekonomi
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak
efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena
kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup,
dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada yang menyatakan
bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang
baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk
membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi
ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan "lapangan perniagaan". Perusahaan yang memiliki
koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-
perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan
investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih
banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk
menyembunyikan praktik korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan.
Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup,
atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan
infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor
keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman
modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka
adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank
di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu
potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar
dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang luar
negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya pembangunan)
telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson). Dalam kasus
Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga kenyataan bahwa
pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang sering didapat dari
korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk kekayaan mereka di luar
negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi pada masa depan.
Menurut survei persepsi korupsi , tigabelas negara yang paling korup adalah:
Azerbaijan
Bangladesh
Bolivia
Kamerun
Indonesia
Irak
Kenya
Nigeria
Pakistan
Rusia
Tanzania
Uganda
Ukraina
Namun, nilai dari survei tersebut masih diperdebatkan karena ini dilakukan berdasarkan
persepsi subyektif dari para peserta survei tersebut, bukan dari penghitungan langsung
korupsi yg terjadi (karena survey semacam itu juga tidak ada)
Sumbangan kampanye dan "uang haram"
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit lagi untuk
membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip menyangkut politisi.
Politisi terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya demi
keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
3.Tuduhan korupsi sebagai alat politik
Sering terjadi di mana politisi mencari cara untuk mencoreng lawan mereka dengan tuduhan
korupsi. Di Republik Rakyat Tiongkok, fenomena ini digunakan oleh Zhu Rongji, dan yang
terakhir, oleh Hu Jintao untuk melemahkan lawan-lawan politik mereka.
Mengukur korupsiSunting
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara
alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi,
menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi
Korupsi(berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini);
Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan
pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela
perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga
menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank
Dunia mengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Mengukur korupsi
Mengukur korupsi - dalam artian statistik, untuk membandingkan beberapa negara, secara
alami adalah tidak sederhana, karena para pelakunya pada umumnya ingin
bersembunyi. Transparansi Internasional, LSM terkemuka di bidang anti korupsi,
menyediakan tiga tolok ukur, yang diterbitkan setiap tahun: Indeks Persepsi
Korupsi(berdasarkan dari pendapat para ahli tentang seberapa korup negara-negara ini);
Barometer Korupsi Global (berdasarkan survei pandangan rakyat terhadap persepsi dan
pengalaman mereka dengan korupsi); dan Survei Pemberi Sogok, yang melihat seberapa rela
perusahaan-perusahaan asing memberikan sogok. Transparansi Internasional juga
menerbitkan Laporan Korupsi Global; edisi tahun 2004 berfokus kepada korupsi politis. Bank
Duniamengumpulkan sejumlah data tentang korupsi, termasuk sejumlah Indikator
Kepemerintahan.
Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan
lagi merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam
seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu menempati posisi
paling rendah. Keadaan ini bisa menyebabkan pemberantasan korupsi di Indonesia
semakin ditingkatkan oleh pihak yang berwenang.
Perkembangan korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di
Indonesia. Namun hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan
titik terang melihat peringkat
dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap rendah. Hal ini juga ditunjukkan
dari banyaknya kasus-kasus korupsi di Indonesia. Sebenarnya pihak yang berwenang,
seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) telah berusaha melakukan kerja
maksimal. Tetapi antara kerja yang harus digarap jauh lebih banyak dibandingkan
dengan tenaga dan waktu yang dimiliki KPK.
Pemberantasan korupsi di Indonesia
Pemberantasan korupsi di Indonesia dibagi dalam 3 periode, yaitu pada
masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.
PARAN yang diketuai oleh A. H. Nasution tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan
maksimal karena rata-rata pejabat yang diperiksa bersembunyi dibalik perlindungan
presiden sampai akhirnya PARAN diserahkan kembali kepada pemerintah pada masa
kabinet Juanda karena dianggap tidak efektif. PARAN kemudian diganti
dengan Operasi Budhi yang memiliki tugas yang lebih berat yaitu bertujuan
penyelesaian dengan sidang pengadilan. Sasarnnya adalah lembaga-lembaga dan
perusahaan negara. Dalam kurun waktu tiga bulan keuangan negara yang dapat
diselamatkan kurang dari 11 Milyar Rupiah.
Angka yng cukup fantastis pada saat itu, namun karena dianggap mengganggu prestise
Presiden, sejak soebandrio prestise Presiden harus ditegakkan diatas semua kepentingan
yang laindalam suatu pertemuan di bogor. Operasi Budhi dibubarkan. Diganti dengan
KONTRAR yang diketuai oleh Presiden Soekarno langsung, pada titik inilah upaya
pemberantasan korupsi Indonesia berjalan di tempat.
Setelah Orde Lama Jatuh, Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto membawa
isu pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama pemerintahan yang
dipimpinnya. Dalam pidato kenegaraan dihadapan anggota DPR/MPR tanggal 16
Agustus 1967, Presiden Soeharto mengisyaratkan pemberantasan korupsi yang telah
merajalela dan berporos di Istana. Pidato tersebut ditindak lanjuti dengan Tim
Pemberantasa Korupsi (TPK) yang diketuai oleh Jaksa Agung waktu itu Sugih Arto
dengan dibantu Kapolri, Panglima ABRI, dan Menteri Kehakiman.
Pada tahun 1970 dibentuklah Komisi Empat bernaggotakan empat tokoh yaitu
Mohammad Hatta, Anwar Tjokroaminoto, Herman Johannes dan Soetopo Yoewono.
Komisi Empat ini diketuai oleh Mohammad Hatta dengan target pemeriksaan adalah
dugaan penyimpangan dipertamina, BULOG, Penebangan hutan dan beberapa
departemen atau badan usaha milik negara lainnya yang berpotensi menyalahgunakan
keuangan negara. Pada saat yang bersamaan anggkatan 66 yang dikomandoi oleh Akbar
Tandjung juga mendirikan Komisi Anti Korupsi yang hanya bertahan kurang lebih 2
bulan. Pada tahun 1971 lahir Undang-Undang No. 3 Tahun 1971.
Pada tahun 1977 pemerintah melaksanakan Operasi penertiban (Opstib) untuk
memberantas Korupsi. Opstib dibawah komando Pangkopkamtib laksamana Soedomo
dengan potensi menangani 1127 kasus. Akan tetapi Opstib lagi-lagi tidak terdengar lagi
kiprahnya. Hal ini diyakini sebagian orang sebagai akibat dari perbedaan pendapata
antara Pangkopkamtib Soedomo dengan. A.H. Nasution mengenai metode penanganan
Korupsi.
Pada tahun 1980 an sampai dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Penanganan
korupsi dirasakan kurang transparan. Dilakukan secara terbatas tanpa diketahui secara
luas oleh Publik. Beberapa kasus diajukan ke muka pengadilan, tetapi kasus-kasus
korupsi tersebut kebanyakan hanya melibatkan aparat pemerintah kelas bawah. Sebagian
masyarakat percaya bahwa pada masa itu korupsi di Indonesia berada pada masa puncak
akibat dominasi tentara disemua jabatan-jabatan dipemerintahan yang strategis dan
jabatan-jabatan politis.
Pada era reformasi, semangat yang menggebu-gebu sebagai wujud era baru, kebebasan
berpendapat dan keterbukaan informasi memaksa pemimpin negara pada saat itu untuk
segera bertindak agar dinilai berpihak kepada rakyat. Pada masa ini lahirlah undang-
undang pemberantasan korupsi yang dinanti-nanti oleh masyarakat lluas dan menjadi
tumpuan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai negara madani yang bebas
korupsi. Undang-Undang itu adalah UU No. 31 tahun 1999, pada masa Presiden
Abdurrahman Wahid dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK yang dipimpin oleh jaksa agung yang beranggotakan jaksa, polisi dan anggota
masyarakat yang kemudian dibubarkan berdasarkan Putusan MA RI atas judicial review
terhadap pembentukan TGPTPK dan putusan Praperadilan Nomor
11/Pid/Prap/2000/PN.JAKSEL di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk kasus hakim
Agung Ny. Hj. Harnis, Kahar, S.H. dan Ny. Hj. Supraptini Sutarto, S.H.
Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, KPK mulai menjalankan fungsinya,
walaupun belum lengkap perangkat hukumnya. Pada tahun 2004 KPK sudah melakukan
penyidikan dan persidangan terhadap Gubernur NAD Abdullah Puteh dengan dakwaan
tindak pidana korupsi terkait dengan pembelian helikopter yang menurut KPK
terdapat mark-up.
Setelah presiden Susilo Bambang Yudoyono terpilih, disamping keberadaan KPK,
dibentuk Tipikor dibawah Jaksa Agung dengan tujuan menuntaskan perkara-perkara
dugaan korupsi yang belum ditangani kejaksaan dan perkara-perkara lainnya yang
merupaka hasil penyidikan kejaksaan. Pada tahun 2008 KPK menggebrak dunia hukum
dengan penyidikan disertai dengan penangkapan terhadap oknum kejaksaan agung,
anggota DPR RI dan pejabat-pejabat Bank Indonesia. Hal menggemparkan yang
berkaitan dengan korupsi adalah penggeledahan KPK terhadap beberapa ruangan
digedung DPR-MPR RI yang semula menuai penolakan dan ketidaksetujuan dari unsur
pimpinan DPR RI.
Pemberantasan Korupsi pada era Reformasi:
Saran
Seharusnya pemerintah lebih tegas terhadap terpidana korupsi, Undang –undang yang adapun
dapat digunakan dengan sebaik-baiknya.
Agar korupsi tidak menjadi budaya lagi
DAFTAR PUSTAKA
www.google.co.id
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/28/09531001/melihat-
perjalanan-setya-novanto-dalam-kasus-e-ktp-pada-2017
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/14/09035951/setya-novanto-
kasus-e-ktp-dan-citra-dpr-yang-tercoreng?page=all
http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2017/11/07/kronologis-
terbongkarnya-kasus-e-ktp-413203
https://www.kompasiana.com/ingepratiwi/5a0da7dc9346084ba41251f4/an
alisis-kasus-setya-novanto
http://makalainet.blogspot.co.id/2013/10/korupsi.html