3. Perang Saudara
Perang saudara terjadi dalam hal perebutan terhadap kekuasaan turut
andil dalam melemahnya dari Sejarah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada
masa pemerintahan Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (tahun 1795-1824),
seorang keturunan dari Sultan yang dibuang bernama Sayyid Hussain
mengklaim mahkota kesultanan Aceh dengan mengangkat putranya
menjadi Sultan tandingan yang bernama Sultan Saif Al-Alam. Perang
saudara kembali terjadi namun berkat bantuan dari Thomas Raffles dan
Koh Lay Huan yaitu seorang pedagang dari Penang kedudukan dari Sultan
Alauddin Jauhar Alamsyah (yang mampu berbahasa Perancis, Inggris dan
Spanyol) dikembalikan kembali. Tak sampai disitu, terjadi perang saudara
lagi yang kembali merebutan mahkota Kesultanan Aceh antara Tuanku
Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim yang kelak akan bergelar Sultan Mansur
Syah (tahun 1857-1870).
E. Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak negara Belanda menyatakan perang terhadap
Kesultanan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873 setelah melakukan berbagai ancaman
diplomatik, namun Belanda belum berhasil merebut wilayah yang besar. Perang
kembali dikobarkan pada tahun 1883, namun lagi-lagi mengalami kegagalan, dan
pada tahun 1892 dan tahun 1893, pihak negara Belanda menganggap bahwa
mereka telah gagal merebut wilayah Aceh.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang
ahli Islam dari Universitas Leiden telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari
banyak pemimpin di Kesultanan Aceh, memberikan masukan kepada negara
Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumat habis-habisan para kaum
ulama. Masukan ini baru dilaksanan ketika Gubernur Jenderal Joannes Benedictus
van Heutsz memimpin. Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus
oleh Belanda untuk mengejar habis-habisan para pejuang Aceh hingga masuk
pedalaman.
Pada tahun 1879 dan tahun 1898, Sultan Kesultanan Aceh pada masa itu,
yaitu Sultan Muhammad Daud Syah II, meminta negara Rusia untuk diberikan
status protektorat kepada Kesultanan Aceh dan meminta bantuan melawan Belanda.
Namun, permintaan dari sultan ini ditolak Rusia.
Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya
menyerahkan diri kepada negara Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya
ditawan oleh tentara Belanda. Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja
Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul menyerahkan diri pada tahun 1903 pada
bulan September. Perjuangan Aceh di lanjutkan oleh ulama keturunan dari Tgk.
Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau Teungku Mayed tewas
ketika perang pada tahun 1910 di Gunung Halimun.