Anda di halaman 1dari 14

PERITONITIS

1. Definisi
Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi
rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyakit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari
luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme yang
hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup Eschericia coli
atau Bacteroides. Sedangkan Stafilokokus dan Streptokokus sering kali masuk dari
luar. (Sjamsuhidayat, 2011)
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan fibrinosa
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus. (Schwartz, 2000)
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau
bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan
timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria,
dan mungkin shock. (Sjamsuhidayat, 2011)

2. Klasifikasi
Klasifikasi peitonitis berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi:
1) Primary peritonitis (Spontaneous Bacterial Peritonitis)
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) adalah infeksi bakteri akut pada cairan
asites. Kontaminasi dari rongga peritoneal diduga hasil dari translokasi bakteri di
dinding usus atau saluran limfatik mesenterika dan, lebih jarang, melalui paparan
hematogen di hadapan bakteremia. SBP dapat terjadi sebagai komplikasi dari
setiap keadaan penyakit yang menghasilkan sindrom klinis asites, seperti gagal
jantung dan sindrom Budd-Chiari. Anak-anak dengan nefrosis atau lupus
eritematosus sistemik dengan asites memiliki risiko tinggi menderita SBP. Risiko
tertinggi SBP terdapat pada pasien dengan sirosis yang dalam keadaan
dekompensasi. Penurunan fungsi hati, kadar total protein yang rendah dan
rendahnya kadar komplemen merupakan faktor resiko yang tinggi dalam kejadian
peritonitis. Pasien dengan kadar protein rendah dalam cairan asites (Lata J,
2009).
2) Secondary peritonitis
Peritonitis sekunder (SP) terjadi akibat perforasi usus buntu, ulkus lambung dan
duodenum, serta perforasi sigmoid yang disebabkan diverculitis, volvulus, kanker
dan strangulasi. Necrotizing pancreatitis juga dapat dikaitkan dengan peritonitis
dalam kasus infeksi pada jaringan nekrotik. Patogen yang terlibat dalam SP
saluran pencernaan proksimal berbeda dengan saluran pencernaan distal.
Organisme Gram-positif mendominasi dalam saluran pencernaan bagian atas,
dengan pergeseran ke arah organisme gram negatif dalam saluran GI atas pada
pasien asam lambung terapi supresif jangka panjang. Kontaminasi dari usus kecil
distal atau sumber usus awalnya dapat mengakibatkan pelepasan beberapa
ratus spesies bakteri (dan jamur), respon imun tubuh dengan cepat
menghilangkan sebagian besar organisme ini. Hasil pemeriksaan bakteri
peritonitis hampir selalu polymicrobial, berisi campuran bakteri aerobik dan
anaerobik dengan dominasi organisme gram negatif. Sebanyak 15% pasien yang
mengalami sirosis dengan asites yang awalnya dianggap memiliki SBP memiliki
SP. Pada banyak pasien, tanda dan gejala klinis saja tidak sensitif atau cukup
spesifik untuk andal membedakan antara 2 entitas. Sejarah menyeluruh, evaluasi
dari cairan peritoneal, dan tes diagnostik tambahan diperlukan untuk
melakukannya, indeks kecurigaan yang tinggi diperlukan (Barretti et al,2009)
3) Tertiary peritonitis B
Berkembang lebih sering pada pasien immunocompromised dan pada orang
dengan yang sudah ada sebelumnya kondisi komorbiditas yang signifikan.
Meskipun jarang diamati pada infeksi peritoneal tanpa komplikasi, insiden
peritonitis tersier pada pasien yang membutuhkan perawatan ICU untuk infeksi
perut yang parah mungkin setinggi 50-74%
4) Peritonitis kimia
Peritonitis kimia dapat disebabkan oleh iritasi empedu, darah, barium, atau
bahan lain atau oleh peradangan transmural dari organ visceral (misalnya,
Crohn’s disease) tanpa inokulasi bakteri rongga peritoneal. Tanda dan gejala
klinis bisa dibedakan dari SP atau abses peritoneal, dan pendekatan diagnostik
dan terapeutik harus sama (Nouri-Majalan et al, 2010).
5) Abses peritoneal
Abses peritoneal menggambarkan pembentukan koleksi cairan yang terinfeksi
dienkapsulasi oleh eksudat fibrinosa, omentum, dan / atau organ viseral yang
berdekatan. Mayoritas abses terjadi setelah SP. Pembentukan abses dapat
merupakan komplikasi operasi. Insiden pembentukan abses setelah operasi
perut kurang dari 1-2%, bahkan ketika operasi dilakukan untuk proses inflamasi
akut. Risiko abses meningkat menjadi 10-30% pada kasus perforasi pra operasi
dari organ berongga, kontaminasi tinja yang signifikan dari rongga peritoneal,
iskemia usus, diagnosis tertunda dan terapi dari peritonitis awal, dan kebutuhan
untuk operasi kembali, serta pengaturan imunosupresi. Pembentukan abses
adalah penyebab utama infeksi persisten dan pengembangan peritonitis tersier.
Menurut agen penyebabnya, klasifikasi peritonitis dibagi menjadi:
1) Peritonitis kimia, misalnya peritonitis yang disebabkan karena asam lambung,
cairan empedu, cairan pankreas yang masuk ke rongga abdomen akibat
perforasi.
2) Peritonitis septik, merupakan peritonitis yang disebabkan kuman. Misalnya
karena ada perforasi usus, sehingga kuman-kuman usus dapat sampai ke
peritonium dan menimbulkan peradangan.
Menurut sumber kuman, klasifikasi peritonitis dibagi menjadi:
1) Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran secara
hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP).
Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan disebabkan oleh perforasi
atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan organ visera dengan inokulasi
bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP disebabkan oleh infeksi
monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif (E.coli, Klebsiella pneumonia,
pseudomonas, proteus), bakteri gram positif (Streptococcus pneumonia,
staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan menjadi:
 Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.
 Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non spesifik,
misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.
2) Peritonitis sekunder
Peritonitis ini bisa disebabkan oleh beberapa penyebab utama, diantaranya
adalah:
 invasi bakteri oleh adanya kebocoran traktus gastrointestinal atau traktus
genitourinarius ke dalam rongga abdomen, misalnya pada : perforasi appendiks,
perforasi gaster, perforasi kolon oleh divertikulitis, volvulus, kanker, strangulasi
usus, dan luka tusuk.
 Iritasi peritoneum akibat bocornya enzim pankreas ke peritoneum saat terjadi
pankreatitis, atau keluarnya asam empedu akibat trauma pada traktus biliaris.
 Benda asing, misalnya peritoneal dialisis catheters Terapi dilakukan dengan
pembedahan untuk menghilangkan penyebab infeksi (usus, appendiks, abses),
antibiotik, analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri, dan cairan intravena untuk
mengganti kehilangan cairan.
 Mengetahui sumber infeksi dapat melalui cara operatif maupun non operatif
secara
 non operatif dilakukan drainase abses percutaneus, hal ini dapat digunakan
dengan efektif sebagai terapi, bila suatu abses dapat dikeringkan tanpa disertai
kelainan dari organ visera akibat infeksi intra-abdomen
 cara operatif dilakukan bila ada abses disertai dengan kelainan dari organ visera
akibat infeksi intra abdomen
Komplikasi yang dapat terjadi pada peritonitis sekunder antara lain adalah syok
septik, abses, perlengketan intraperitoneal.
3) Peritonitis tersier biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise. Organisme
penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu coagulase negative
Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan candida, mycobacteri dan
fungus. Gambarannya adalah dengan ditemukannya cairan keruh pada dialisis.
Biasanya terjadi abses, phlegmon, dengan atau tanpa fistula. Pengobatan
diberikan dengan antibiotika IV atau ke dalam peritoneum, yang pemberiannya
ditentukan berdasarkan tipe kuman yang didapat pada tes laboratorium.
Komplikasi yang dapat terjadi diantaranya adalah peritonitis berulang, abses
intraabdominal. Bila terjadi peritonitis tersier ini sebaiknya kateter dialisis dilepaskan.
Bentuk lain dari peritonitis:
 Aseptik/steril peritonitis.
 Granulomatous peritonitis.
 Hiperlipidemik peritonitis.
 Talkum peritonitis.

3. Epidemiologi

Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis di sebagian besar
wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di indonesia, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes, RI 2008). Hasil survey Jawa Tengah
tahun 2009, jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177 diantaranya
menyebabkan kematian. Jumlah penderita Peritonitis tertinggi ada di kota
semarang,yakni 970 orang (Dinkes Jateng, 2009). Bedasarkan hasil survey data di
rumah sakit Roemani semarang yang dilakukan pada bulan januari sampai bulan
april 2012 terdapat 5 pasien peritonitis, dari kelima pasien tersebut dilakukan
operasi.
Di daerah tropis, penyebab peritonitis berbeda dengan di daerah beriklim dingin
dan menurut D.J.B. Falconer, reaksi periton eum pada penduduk asli Afrika jauh
lebih ringan daripada orang Eropa, sehingga rigiditas dan resistensi muskuler kurang
nyata dan nyeri tekan dapat menjadi satu -satunya tanda yang positif (Sulaiman Ali,
2009). Keputusan untuk melakukan tindakan bedah harus segera di ambil karena
setiap keterlambatan akan menimbulkan penyakit yang berakibat meningkatkan
morbiditas dan morlalitas. Ketepatan diagnosis dan penanggulangan tergantung dari
kemampuan melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (Sir Zachary Cope, 2008). Dalam isu ideologi, ada
beberapa hal penting.karena Indonesia bukan negara kesejahteraan dalam sektor
kesehatan.sebagai diketahui, dalam sistem kesehatan terdapat dua pendekatan
utama yaitu penggunaan mekanisme pa sar dan pengendalian oleh pemerintah.Di
Indonesia, sejak masa kolonial belanda pelayanan kesehatan bukanlah publik goods
yang di biayai pemerintah seperti di Eropa Barat. Di akhir abad ke-20 Indonesia
praktis merupakan negara yang berbasis mekanisme pasar, dimana hanya sekitar
25% sumber pembiayaan kesehatan berasal dari pemerintah (Badan Pusat Statistik,
2012). Akibat alokasi dana pemerintah untuk pelayanan keluarga miskin masih
belum baik, terjadi berbagai perubahan dan mengalami masalah dengan
masyarakat miskin. Di samping itu, masih ada masalah tidak meratanya infrastruktur
dan tenaga medik. Dikhawatirkan adanya program model pelayanan kesehatan yang
akan memperbesar kesenjangan daerah perkotaan dan daerah terpencil dalam
manfaatkan pelayanan kesehatan (Badan Pusat Statistik,2012). Selama periode
Maret 2012 – September 2012, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan
berkurang 0,14 juta orang (dari 10,65 juta orang pada Maret 2012 menjadi 10,51 juta
orang pada September 2012), Sementara di daerah perdesaan berkurang 0,40 juta
orang (dari 18,48 juta orang pada Maret 2012 menjadi 18,08 juta orang pada
September 2012) (Badan Pusat Statistik, 2012).
Selama periode Maret 2012–September 2012, persentase penduduk miskin di
daerah perkotaan dan perdesaan tercatat menga lami penurunan.Persentase
penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2012 sebesar 8,78 persen, turun
menjadi 8,60 persen pada September 2012.Sementara penduduk miskin di daerah
perdesaan menurun dari 15,12 persen pada Maret 2012 menjadi 14,70 persen pada
September 2012 (Badan Pusat Statistik,2012). Pada Agustus 2012, penduduk
bekerja pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah masih tetap
mendominasi yaitu sebesar 53,9 juta orang (48,63%), sedangkan penduduk bekerja
dengan pendidikan diploma sek itar 3,0 juta orang (2,68%) dan penduduk bekerja
dengan pendidikan universitas hanya sebesar 7,0 juta orang (6,30%) (Badan Pusat
Statistik, 2012).

4. Etiologi
Menurut Muttaqin & Sari (2013), penyebab terajdinya peritonitis adalah invasi
kuman bakteri ke dalam rongga peritoneum. Kuman yang paling sering menyebaban
infeksi, meliputi gram negatif: Escherichia coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%),
Pseudomonas sp., Proteus sp., gram negatif lainnya (20%), dan gram positif, seperti
Streptococcus pneumoniae (15%), Streptococcus lainnya (15%), dan
Staphylococcus (3%). Mikroorganisme anaerob kurang dari 5%.
Invasi kuman ke lapisan peritoneum dapat disebabkan oleh berbagai kelainan
pada sistem gastrointestinal dan penyebaran infeksi dari organ di dalam abdomen
atau perforasi organ pascatrauma abdomen.

5. Faktor Resiko
a. Adanya malnutrisi
b. Keganasan intraabdomen
c. Imunosupresi
d. Splenektomi

Limpa merupakan organ limfoid terbesar dalam tubuh, mengandung 25%


limfosit T dan10-15 % limfosit B dari jumlah total populasi.Limpa sebagai respon
imun nospesifik berfungsi menghilangkan pathogen dalam darah seperti bakteri dan
virus yang dibungkus dengan komplemen.Limpa juga sebagai respon imun spesifik
memproduksi antibody, selplasma, sel memori sebagai responnya terhadap antigen
yang terjebak di periarteriolar limfoid sheath.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal
kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.pasien
dengan asites akibat penyakit hati kronik. Akibat Asites akan terjadi kontaminasi
hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding
perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi penyebaran
hematogen jika telah terjadi bakteremia. ( Muttaqin & Sari, 2013)

6. Patofisiologi
Terlampir

7. Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah
diafragma. Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara
usus.
Bila telah terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan
terjadi takikardia, hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium
dengan peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti
jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan
seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena
mekanisme antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya
yang menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pada wanita dilakukan
pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru
disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita
dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid,
pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya
trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic),
penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric. (Ardi, 2012)

8. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik pada penderita peritonitis meliputi (Muttaqin & Sari,
2013):
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan keluhan utama yang lazim meliputi nyeri abdomen.
Keluhan nyeri bersifat akut, awalnya rasa sakit sering kali membosankan dan
kurang terlokalisasi (peritoneum viseral), kemudian berkembang menjadi mantap,
bert, dan nyeri lebih terlokalisasi (eritoneum parietal). Jika tidak ada infeksi, rasa
nyerinya sedikit berkurang. Pada penyakit tertentu seperti perforasi lambung,
pankreatitis akut berat, isemia usus, nyeri abdomen dapat digeneralisasi lebih
awal. Keluhan lain yang menyertai adalah suhu tubuh meningkat, mual, dan
muntah. Pada kondisi yang lebih paah, didapatkan shock sirkulasi akibat
septikemia sehingga terjadi penurunan kesadaran.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang sesuai dengan manifestasi yang
muncul. Pada kondisi umumnya, pasien merasa lemah dan kesakitan, TTV
mengalami perubahan sekunder dari nyeri dan gangguan hemodinamik. Bila
terjadi peritonitis bakterial, suhu meningkat ≥ 38,5 °C dan terjadi takikardi (karena
pelepasan mediator inflamasi), hipotensi (karena dehidrasi yang progresif),
letargi, serta syok hipovolemi (karena anoreksia dan muntah, demam, serta
kerugian ruang ketiga ke rongga peritoneum).
Pemeriksaan fisik fous didapatkan:
 Inspeksi: pasien tampak kesaitan dan lemas. Terdapat distensi abdomen
(kekakuan dinding perut). Pada peritonitis berat, biasanya pasien menghindari
banyak gerakan terutama pinggul dalam posisi ditekuk untuk mengurangi ditensi
abdomen. Perut menggembung tanpa adanya bising usus, terkadang terdapat
peradangan massa.
 Auskultasi: penurunan atau hilangnya bisisng usus (tanda ileus obstruktif)
 Perkusi: nyeri ketuk dan timpani akibat adanya flatulen.
 Palpasi: nyeri tekan abdomen (tenderness), meningkatnya suhu tubuh. Tanda-
tanda rangsangan peritoneum (adanya darah atau cairan dalam rongga
peritoneum) sehingga nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati menghilang
akibat adanya udara di bawah diafragma. Pemeriksaan rektal menimbulkan nyeri
tekan abdomen, colok dubur ke kanan mengindikasikan apendisitis dan bila
bagian anterior penuh, indikasi abses. Pada wanita, pemeriksaan bimanual
vagina dilakukan untuk mendeteksi radang panggul (misal endometritis, abses
tuba ovarium), tetapi dalm peritonitis berat sulit diidentifikasi.
c. Evaluasi pemeriksaan diagnostik
 Pemeriksaan laboratorium meliputi:
- Leukositosis (>11.000 sel/ µL)
- Kimia darah: dehidrasi dan asidosis
- Pemeriksaan waktu pembekuan dan pendarahan untuk mendeteksi
disfungsi pembekuan
- Tes fungsi hati bila ada indikasi klinis
- Urinalisis: mikrohematuria dan sel darah putih dalam air seni
- Kultur darah untuk identifikasi agen infeksi (basil tuberkel)
- Cairan peritoneal (parasentesis, aspirasi cairan perut dan kultur cairan
peritoneal). Pada peritonitis tuberkulosa ditemukan protein dalam cairan
peritoneal (> 3 g/ 100 ml) dan limfosit.
 Pemeriksaan radiografik
- Foto polos abdomen: kondisi ileus (usus kecil dan besar) berdilatasi, udara
bebas pada kasus anterior perforasi lambung dan duodenum. Biasanya
ditemukan udara bebas di bawah diafragma (di sebelah kanan) sebgai
indikasi viskus berlubang.
- CT-Scan
Ditemukan gas pada mesenterium dan obstruksi usus kecil. Tidak
didapatkan akumulasi cairan pada peritoneum.
- MRI
Untuk mencurigai adanya abses intra abdomen yang ditunjukkan dengan
penurunan intensitas sinyal pada gambar T1-weighted dan homogen atau
peningkatan intensitas sinyal heterogen pada T2weighted.
 USG
Untuk mendeteksi peningkatan jumlah cairan peritoneal dan mengevaluasi
kondisi abdomen kuadran kana atas.

9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan peritonitis meliputi:
1) Therapy umum
a. Istirahat
- Tirah baring dengan posisi fowler
- Penghisapan nasogastrik, kateter
b. Diet
- Cair → nasi
- Diet peroral dilarang
c. Medikamentosa
- Obat pertama
Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
- Obat alternatif
Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien
2) Therapy Komplikasi
 Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber
infeksi.
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal
penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara intravena,
pembuangan fokus septik (appendiks dsb) atau penyebab radang lainnya bila
mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.
Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya.Hampir
semua penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi
eksplorasi).
 Pertimbangan dilakukan pembedahan
1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri
tekan terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda
perdarahan (syok, anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi,
leukositosis), dan tanda iskemia (intoksikasi, memburuknya pasien saat
ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi
usus, extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri
mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan
perdarahan saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.
Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :
1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah :
1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.
Terapi bedah pada peritonitis :
1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe
dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning,kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.
Terapi post operasi:
1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic
usus pulih, dan tidak ada distensi abdomen.
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah
penting.Pengembalian volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan
pengantaran oksigen, nutrisi, dan mekanisme pertahanan.Keluaran urine
tekanan vena sentral, dan tekanan darah harus dipantau untuk menilai
keadekuatan resusitasi.
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian
dirubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada
organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika berspektrum luas
juga merupakan tambahan drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup
pada saat pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan
operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang
menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta
ditutup.Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat
inflamasi.Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan kontaminasi
tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran gastrointestinal.Pada
umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus dapat dicegah dengan
menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan
menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum,
karena tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa
drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan
dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna
pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula)
dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
Pengobatanyang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi
darurat, terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami
perforasi atau divertikulitis.Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau
penyakit radang panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak
dilakukan. Diberikan antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik
diberikan bersamaan.(Ardi.2012)

10. Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana


komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septic
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal rekuren. (Lili.2013)

Anda mungkin juga menyukai