Reanimasi FK Unair
&
Beberapa Materi Penting yang bermanfaat
untuk Test Masuk PPDS Anestesi
Karya%ini%Kami%Dedikasikan%Sebesar0Besarnya%untuk%kemaslahatan%Umat%Manusia%
Terutama%untuk%saudara0saudaraku%Mahasiswa%FK%Universitas%Airlangga%yang%sangat%kami%
banggakan.%
Tips Menjadi PPDS Anestesiologi dan Reanimasi FK Unair
(sumber dari beberapa PPDS anestesiologi dan Reanimasi yang telah masuk lolos tes PPDS)
1. Perbanyak ibadah dan dekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Perbanyak berdoa
setelah melakukan ikhtiar dengan maximal, dan senantiasa bersabar dengan segala
Ketentuan Allah SWT. Dekatkan diri dengan keluarga, terutama orang tua. Jelaskan
kepada orang tua, atau istri juga sudah menikah, rencana kehidupan sebagai PPDS
Anestesiologi dan Reanimasi FK Unair untuk mendapatkan restu dari mereka.
2. Banyak mencari informasi mengenai kehidupan PPDS Anestesi di FK Unair dari
website, senior, kakak kelas. Kata orang, tak kenal maka tak sayang. Mengetahui apa
yang akan dilalui menjadi suatu kewajiban sebelum kita memutuskan bidang itu
cocok dengan kita atau tidak.
3. Perdalam ilmu dasar terutama fisiologi, biokimia, dan farmakologi. Anestesiologi dan
reanimasi sangat erat kaitannya dengan penerapan ilmu dasar tersebut pada kondisi
klinis. Dalam kesehariannya, anestesiolog akan menghadapi berbagai perubahan
fisiologis dalam waktu singkat.
4. Perdalam juga ilmu klinis mengenai anestesiologi dan masa dokter muda menjadi saat
yang paling tepat. Aktif saat stase dan shift jaga dapat bermanfaat bagi bertambahnya
ilmu kalian khususnya di bidang ilmu Anestesiologi dan Reanimasi.
5. Aktif mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan bidang ilmu Anestesiologi dan
Reanimasi, termasuk kegawatdaruratan, manajemen bencana, dan manajemen nyeri.
Kegiatan tersebut mendekatkan diri kita dengan civitas di departemen Anestesiologi
dan Reanimasi dan membuka peluang kita dikenal. Selain itu, kegiatan itu bisa
menjadi nilai plus pada saat kita mendaftar kelak. Selain kegiatan tersebut, organisasi
mahasiswa diluar kampus maupun pengalaman pada LSM di luar kampus juga dapat
kalian ikuti secara aktif untuk meningkatkan peluang kalian.
6. Mengikuti beberapa kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan bidang ilmu Anestesiologi
dan Reanimasi, baik berupa symposium atah workshop.. Selain membuka wawasan
tentang apa yang kita akan dalami, partisipasi kalian menjadi nilai plus saat
mendaftar. Kalian juga bisa memperoleh ide ide yang bisa dikembangkan dari
kegiatan tersebut.
7. Biasakan belajar dari sumber valid seperti textbook atau jurnal. Textbook yg dapat
kalian baca misalnya Clinical Anesthesiology oleh Morgan et al. Selain itu, buku ajar
Anestesiologi yang dibuat oleh Prof Karjadi SpAn dapat juga kalian dalami. Selain itu
juga beberapa jurnal terbaru mengenai ilmu anestesi update, misalkan manajemen
cairan, hemodinaik monitoring, nyeri, dll.
8. Cari pengalaman bekerja yang unik. Pengalaman kerja di tempat terpencil seperti PTT
memberikan poin plus terutama dalam pengalaman masalah/kasus yang dijalani.
Pengalaman tersebut juga dapat membuka mata kita terhadap berbagai masalah yang
dihadapi di daerah terutama berkaitan dengan bidang ilmu Anestesiologi dan
Reanimasi. Jika tidak sempat mengikuti program PTT, kalian dapat memaksimalkan
kesempatan saat intensip, dengan secara aktif melakukan tindakan-tindakan life
saving dan kegawatdaruratan. Selain itu, bekerja di Instalasi Gawat Darurat suatu
rumah sakit juga dapat kalian pilih untuk meningkatkan paparan kalian dengan kasus
gawat darurat.
9. Milikilah minimal satu kelebihan yang akan kamu tunjukkan pada saat ujian
khususnya wawancara. Kelebihan bisa dari segi akademik yang di atas rata-rata, dari
sisi motivasi yang kuat, berpengalaman banyak, sampai keinginan untuk mengabdi ke
daerah terpencil setelah melaluiasa pendidikan pun dapat menjadi nilai tambah dari
calon PPDS.
10. Jika sudah mantap siapkan berkas-berkas pendaftaran sedini mungkin agar tidak ada
yang terlewat atau terburu-buru. Rekomendasi dapat kalian siapkan beberapa saat
menjelang pendaftaran.
11. Jadilah diri sendiri selama proses pendaftaran dan ujian. Bagi staf Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif, kejujuran menjadi poin yang harus dimiliki oleh
PPDS. Dengan menjadi diri sendiri, kita juga akan lebih luwes.
Beberapa Materi Penting yang bermanfaat untuk Test Masuk PPDS
Anestesi :
TIM PENYUSUN
Kata Pengantar
Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT modul ini dapat tercipta dihadapan
pembaca sekalian setelah melalui rapat-rapat panjang dan penelusuran materi-materi yang
mendukung.
Dalam lintasan sejarah, sebuah profesi lahir atau dilahirkan karena adanya kebutuhan
akan suatu jasa. Profesi Dokter anaestesi sejak pertama kali ditemukan tahun 1846 oleh
William TG Morton yang mendemokan Ether sebagai obat anestesi mengalami
perkembangan hingga sekitar 4 dekade terakhir anestesi menjadi profesi yang berdiri sendiri.
Dengan dimuatnya modul ini dalam web yang dapat diakses dengan mudah,
diharapkan para calon PPDS anestesi dapat terarah dalam belajar untuk menghadapi test tulis
masuk PPDS. Namun harus disadari bahwa test masuk PPDS bukanlah hanya sekedar lulus
ujian tulis kompetensi saja, namun juga ada test yang lain seperti test kepribadian,
wawancara, test potensi akademik dan mungkin juga beragam yang lain di masing-masing
pusat penyelenggara pendidikan anestesi, maka modul yang kami buat ini bukanlah segala-
galanya untuk melampaui ketatnya ujian saringan tersebut.
Akhirnya, kami selaku tim penyusun mengucapkan selamat belajar dan mohon maaf apabila
modul perdana yang kami buat ini jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu akan senantiasa dilakukan
pengembangan dan evaluasi lebih lanjut terhadap modul ini di masa mendatang.
BAB I
FISIOLOGI
Pusat respirasi merupakan kelompok neuron luas yang terletak di substansia retikuler
medulla oblongata dan pons yang terdiri atas pusat apnestik, area pneumotaksis, area
ekspiratori dan area inspiratori. Diafragma diinervasi oleh nervus phrenicus yang keluar dari
akar saraf C3-C5 sehingga trauma diatas C5 akan mengganggu pernafasan spontan karena
selain nervus phrenicus juga saraf intercostalis terkena. Perangsangan nervus vagus akan
menyebabkan konstriksi dan sekresi bronkus via reseptor muskarinik. Sebaliknya
perangsangan terhadap simpatis T1-T4 akan menyebabkan dilatasi bronkus via reseptor beta
2 dan stimulasi reseptor adrenergic alfa-1 akan menurunkan sekresi.
Airway dan Brething yang baik dapat menghasilkan sistem respirasi yang bekerja
dengan baik. Oleh karena itu penting bagi kita untuk tetap menjaga airway tetap bebas dan
menjaga breathing tidak terganggu.
AIRWAY
Trakea adalah pipa fibromuscular yang pada dewasa panjangnya 10-12 cm dan
diameter 18-20 mm. Diameter cabang-cabangnya ialah bronkus utama 13 mm, bronkus
lobaris 7-5 mm, bronkus segmentalis 4-3 mm, bronkus kecil 1 mm, bronkiolus utama 0,5-1
mm, bronkiolus terminalis 0,5 mm, bronkiolus respiratorius 0,5 mm dan duktus alveolaris 0,3
mm. Trakea terdiri dari sel-sel bersilia dan sel-sel yang dapat mengsekresikan lender. Setiap
sel memiliki 200 silia yang selalu bergerak 12-20 kali permenit mendorong lendir kefaring
dengan kecepatan 0,5-1,5 cm/menit.
Untuk menghasilkan sistem respirasi yang baik penting untuk menjaga jalan nafas
tetap bebas sehingga dibutuhkan adanya penilaian suatu jalan nafas (Airway) untuk
mengetahui apakah jalan nafas bebas atau mengalami sumbatan baik sumbatan parsial
maupun sumbatan total. Cara yang digunakan untuk menilai jalan nafas (Airway) bebas atau
mengalami sumbatan yaitu dengan cara LOOK - LISTEN – FEEL.
Ø LIHAT- LOOK
1. Deformitas dada, dan maksilofasial
2. Debris
• Darah/Sekret
• Muntahan
• Gigi
3. Gerak Dada – Perut
• Normal : Pada inspirasi dada naik – perut naik
Pada ekspiraasi dada turun – perut turun
• See saw (rocking) : Pada inspirasi dada turun – perut naik
Pada ekspirasi dada naik – perut turun
Gerak dada dan perut saat bernafas, normalnya pada posisi berbaring adalah saat
inspirasi dinding dada dan dinding perut bergerak keatas dan saat ekspirasi
dinding dada dan dinding perut bergerak turun. Pada sumbatan jalan napas total
dan parsial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding perut
bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerakan napas ini
disebut see saw atau rocking respiration
4. Apakah ada tanda - tanda distres nafas
• Takipneu
• Retraksi intercosta, retraksi supraclavicula, retraksi subcostal
• Gerakan cuping hidung : Pada inspirasi cuping hidung melebar
Pada ekspirasi cuping hidung kembali ke lebar semula
Hal ini disebabkan tubuh pada saat inspirasi tubuh berupaya mendapatkan O2
sebanyak- banyaknya dengan melebarkan diameter lubang cuping hidung
Tanda sumbatan bila tampak warna kebiruan pada bibir kulit, membran mukosa dan
kuku (cyanosis). Akan tetapi yang perlu diingat, tidak ada cyanosis belum tentu tidak
ada sumbatan.
6. Kesadaran
Tentukan apakah penderita mengalami agitasi / gelisah. Agitasi menunjukan kesan
adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh sumbatan jalan nafas, sedangkan
obtudansi/teler menunjukan adanya hiperkarbia yang mungkin disebabkan
hipoventilasi akibat sumbatan jalan nafas.
Ø LISTEN – DENGAR
1. Bicara Normal : berarti tidak ada sumbatan
2. Adanya suara napas tambahan
Didengar suara napasnya bila terdengar suara napas tambahan berarti ada suatu
sumbatan jalan napas parsial. Suara napas tambahan berupa :
a. Snoring (dengkuran)
Suara seperti mendengkur/ngorok. Kondisi ini menandakan adanya kebuntuan
jalan napas bagian atas yang disebabkan sumbatan pangkal lidah. Kondisi ini
terjadi pada pasien yang tidak sadar atau dalam keadaan anestesi posisi terlentang,
tonus otot genioglossus hilang sehingga lidah akan menyumbat jalan napas.
b. Gargling (kumuran)
Suara seperti orang berkumur, kondisi ini terjadi karena ada sumbatan yang
disebabkan oleh cairan, bisa sekret, darah atau muntahan.
c. Stridor / crowing
Suara dengan nada tinggi yang terjadi karena adanhya penyempitan jalan napas
yang disebabkan karena edema, spasme dan pendesakan.
Ø FEEL- RABA
1. Hawa napas
Diraba hawa napas ekspirasi yang keluar dari lubang hidung atau mulut
2. Ada tidaknya getaran dileher saat bernafas
Adanya getaran dileher menunjukkan sumbatan parsial ringan
3. Pada penderita trauma perlu diraba apakah ada fraktur didaerah maksilofacial dan
bagaimana posisi dari trakea
1.2 BREATHING
Pernapasan adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam dan keluar paru.
Paru-paru berfungsi dalam pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada manusia
dikenal 2 macam pernafasan/respirasi yaitu
pada pertukaran gas-gas baik pada respirasi internal dan respirasi eksternal meliputi beberapa
proses :
a. Ventilasi
proses masuknya udara sekitar dan distribusi udara tersebut ke alveoli
b. Distribusi
Distribusi dan pencampuran molekul-molekul gas intrapulmoner
c. Difusi
difusi dalam hal ini ada 2 difusi yaitu masuknya gas-gas menembus selaput alveolo-
kapiler dan masuknya gas-gas dari kapiler jaringan ke intraselluler
d. Perfusi
pengambilan gas-gas oleh aliran darah kapiler paru yang adekuat.
Proses-proses diatas berperan juga dalam transport oksigen dari udara luar (udara sekitar)
hingga menuju ke intraselluler. Proses transport oksigen dapat dijelaskan sebagai berikut.
Gambar 1. Gambar transport oksigen
Oksigen dari udara luar masuk hingga ke alveoli melalui proses distribusi dan ventilasi.
Selanjutnya oksigen yang ada di alveoli akan menembus selaput alveo-kapiler melalui proses
difusi. Berikutnya Oksigen yang menembus selaput alveo-kapiler akan diambil oleh kapiler
paru melalui proses perfusi dan disirkulasikan ke kapiler jaringan. Oksigen yang berada
dikapiler jaringan akan berpindah ke dalam intraseluler melalui proses difusi.
DO2 = CaO2 X CO
CaO2 = (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)
DO2 = CO X (1,34 x Hb x SaO2) + (0,003 x PaO2)
Dari rumus diatas dapat dilihat bahwa hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO2) adalah
penentu utama pada pengaliran oksigen dalam darah ke seluruh jaringan tubuh.
Pada pernapasan normal, volume satu kali napas (tidal volume) adalah 6-8 cc/kg, bila
pasien berat 60 kg berarti tidal volumenya antara 400-500 cc. Sedangkan volume napas
dalam 1 menit (minute volume) ialah tidal volume (VT ) x respiration rate (RR), jika pasien
dengan berat badan 60 kg berarti minute volumenya adalah 500 cc X 12 = 6000cc permenit =
6 lpm. Dalam penilaian pernapasan perlu bagi kita untuk mengetahui besarnya minute
volume. Minute volume yang kurang menandakan adanya hipoventilasi yang mungkin
disebabkan karena tidal volume yang turun atau respiration rate yang turun.
Volume udara dalam paru setelah akhir inspirasi maksimal. Dewasa ± 5300 ml
TERAPI OKSIGEN
Pemberian oksigen merupakan salah satu prioritas utama dengan tujuan untuk
menghilangkan hipoksemia yang terjadi hingga dicapai oksigenasi yang maksimum sampai
tingkat jaringan/sel. Oleh karena itu pemberian terapi oksigen tidak boleh ditunda bila ada
indikasi pemberian.
Ø Indikasi Terapi Oksigen:
1. Henti napas
2. Gagal napas
3. Payah Jantung
4. Infark myocard acut
5. Shock apapun penyebabnya
6. Peningkatan Kebutuhan Metabolismee
( Luka bakar, sepsis, multi trauma )
7. Pasca bedah
8. Keracunan monoksida
Ø Pedoman Umum
Terapi oksigen diberikan bila 1. PaO2 < 60 mmHg
2. SaO2 < 90 %
Ø Alat Terapi Oksigen
I . Fixed System ( FiO2 tidak dipengaruhi faktor pasien )
a. Sistem venturi – high flow
b. Low Flow Breathing Circuit ( CPAP, Bag-mask, Jakson-Rees ,Mesin
anestesi )
1. Nasal Kateter/Prong
2. Simple mask
3. Masker dan Rebreathing Bag
Ø Nasal prong
Umum :
o Digunakan bila perlu pemberian Oksigen secara cepat
o untuk jangka waktu singkat
o Konsentrasi Oksigen bervariasi antara 24 - 100 %
Kerugian :
1. Tidak nyaman,
2. Iritasi kulit akibat pemakaian masker ketat
3. Kontrol FiO2 sukar,( kecuali dengan sistim venturi )
4. Kalau pasien makan harus dilepas
Komplikasi yang dapat terjadi :
1. Bila pasien muntah dapat terjadi aspirasi
2. Dapat mengakibatkan retensi CO32 dan hipoventilasi
kalau flow terlalu rendah atau lubang ekshalasi
tersumbat.
3. Pulse oxymeter
3. Tujuan adalah mempertahankan PaO2 60 mmHg, SpO2> 96% , tanpa adanya retensi
CO2
6. Jangan menggunakan Oksigen konsentrasi tinggi kecuali Hipoksia dan pada keadaan
gawat darurat
1.3 SIRKULASI
FISIOLOGI KARDIOVASKULAR
Jantung
Jantung manusia berbentuk seperti kerucut dan berukuran sebesar kepalan tangan,
terletak di rongga dada sebelah kiri. Jantung manusia merupakan organ berongga yang
memiliki 2 atrium dan 2 ventrikel. Jantung merupakan organ berotot yang mampu
mendorong darah ke berbagai bagian tubuh. Ventrikel kanan dan kiri yang berfungsi sebagai
ruang pompa utama. Atrium kanan dan kiri berfungsi untuk memompa darah dari sirkulasi
menuju ke ventrikel. Dinding jantung terdiri dari 3 lapis:
1. Endokardium, lapisan endotel tipis yang langsung kontak dengan darah.
2. Miokardium, lapisan tengah terdiri dari otot.
3. Epikardium, lapisan luar yang dibungkus oleh perikardium.
Jantung memiliki sifat inotropik (kontraktil), dromotropik (konduktif), kronotropik
(ritmik), lusitropik (relaksasi) dan bathmotropik (mudah terangsang). Aktifitas kontraksi
jantung untuk memompa darah keseluruh tubuh selalu didahului oleh aktifitas listrik.
Aktifitas listrik ini dimulai pada nodus sinoatrial (nodus SA) yang terletak pada celah antara
vena cava superior dan atrium kanan. Pada nodus SA mengawali gelombang depolarisasi
secara spontan sehingga menyebabkan timbulnya potensial aksi yang disebarkan melalui sel-
sel otot atrium, nodus atrioventrikuler (nodus AV), berkas His, serabut Purkinje dan akhirnya
ke seluruh otot ventrikel.
Pembuluh Darah
Pembuluh darah merupakan sistem saluran tertutup yang mengangkut darah dari
jantung ke jaringan dan kembali ke jantung. Peredaran darah manusia terdiri dari :
1. Peredaran darah sistemik
Adalah peredaran darah yang mengalirkan darah yang kaya oksigen dari ventrikel
(ventrikel) kiri jantung lalu diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui aorta.
Oksigen bertukar dengan karbondioksida di jaringan tubuh. Lalu darah yang kaya
karbondioksida dibawa melalui vena kava inferior dan superior menuju atrium kanan
jantung.
2. Peredaran darah pulmonal
Adalah peredaran darah yang mengalirkan darah dari jantung ke paru-paru dan
kembali ke jantung. Darah yang kaya karbondioksida dari ventrikel kanan dialirkan ke
paru-paru melalui arteri pulmonalis, di alveolus paru-paru darah tersebut bertukar
dengan darah yang kaya akan oksigen yang selanjutnya akan dialirkan ke atrium kiri
jantung melalui vena pulmonalis.
Sistem sirkulasi mendistribusikan darah mulai dari jantung (7%), sirkulasi pulmoner
(9%) dan sirkulasi sitemik yang dibagi menjadi arteri (15%) mensuplai darah dengan tekanan
tinggi, arteriol (2%) mengendalikan darah ke kapiler, kapiler (5%) mengirim O2 dan nutrisi
ke jaringan, menerima hasil metabolismee dan venula-vena (64%) mengumpulkan darah dari
kapiler dan diteruskan ke jantung. Dalam keadaan normal, aliran darah menuju suatu organ
ditentukan oleh kebutuhan metabolic, bukan oleh tekanan perfusi (autoregulasi). Aliran darah
per unit jaringan bervariasi luas dari organ satu ke organ lain baik dalam keadaan basal atau
pada aliran maksimum, dimana organ seperti jantung dan otak menerima aliran darah jauh
lebih banyak dari pada kuku atau rambut. Kecepatan aliran ditentukan oleh tekanan
pendorong, yaitu perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (MAP), tekanan vena rata-rata
(MVP) dan tahanan terhadap aliran tersebut.
Aliran = MAP – MVP
Tahanan
Dimana MAP dihitung dengan rumus:
MAP = Sistolik + 2 Diastolik
3
Hipovolemia disebabkan oleh ketidakseimbangan antara volume dan kapasitas
sirkulasi serta menyebabkan gangguan perfusi jaringan. Hal ini disebabkan oleh perdarahan
banyak, dehidrasi atau anestesi spinal tinggi. Hipovolemia menurunkan tekanan pengisian
atrium dan menurunkan curah jantung. Hipotensi akan direspon oleh baroreseptor dengan
meningkatkan denyut jantung serta membuat vasovenokonstriksi. Aliran darah ke otak dan
jantung dipertahankan dengan mengurangi aliran darah ke kulit, otot dan visera. Sekresi Anti
Diuretik Hormon (ADH) dan aldosterone akan menahan cairan dalam tubuh. Penurunan
perfusi lama dan berat akan menyebabkan gagal organ misalnya ginjal.
Darah
Cairan darah terdiri dari plasma (± 55%) dan elemen-elemen (± 45%):
Plasma (46-63%) à Air 92%
Protein 7% à Albumin 60%
Globulin 35%
Fibrinogen 4%
Enzim, hormon, dll <1%
Zat lain 1% à Elektrolit (NA, K, Cl dll)
Zat organik (ATP, kolesterol dll)
Zat lain (urea, kreatinin, dll)
Elemen-elemen (37-54%) à Eritrosit 99,9%
Trombosit dan leukosit 0,1%
Leukosit à Neutrofil 50-70%
Eosinofil 2-4%
Basofil < 1%
Limfosit 20-30%
Monosit 2-8%
Volume darah rata-rata pada manusia berbeda berdasarkan jenis kelamin dan usia:
• Neonatus : Prematur 95 ml/kg
Full term 85 ml/kg
• Infant 80 ml/kg
• Dewasa : Laki-laki 75 ml/kg
Perempuan 65 ml/kg
Oksigen diangkut darah dalam dua bentuk: terlarut dalam plasma dan berikatan
dengan hemoglobin. Jumlah oksigen yang terlarut dalam darah sebanding dengan tekanan
pasialnya, karena koefisien kelarutan dari O2 pada temperatur tubuh normal adalah 0,003
ml/dl/mmHg, maka meskipun dengan PaO2 100 mmHg, jumlah maksimal O2 yang terlarut
dalam darah sangat kecil (0,3 ml/dl) bila dibandingkan dengan O2 yang berikatan dengan
hemoglobin.
Hemoglobin adalah suatu molekul kompleks yang terdiri dari empat subunit heme dan
empat subunit protein. Setiap gram hemoglobin secara teoritis dapat mengangkut 1,34 ml O2.
Setiap molekul hemoglobin dapat berikatan dengan maksimal empat molekul O2. Ikatan O2
tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi ion hydrogen (pH), suhu, tekanan CO2 dan konsentrasi
2,3-diphosphoglycerate (2,3-DPG). Efek dari hal-hal tersebut dapat dinyatakan dalam kurva
disosiasi O2 (Gambar 2). Pergeseran kurva ke kanan menurunkan afinitas O2, melepaskan O2
dari hemoglobin dan menyebabkan lebih banyak O2 tersedia untuk jaringan; sedangkan
pergeseran kurva ke kiri meningkatkan afinitas hemoglobin terhadap O2, menurunkan
avalabilitas O2 untuk jaringan. Selain itu beberapa molekul seperti karbon monoksida, sianida
dan asam nitrit dan ammonia dapat berikatan dengan hemoglobin pada tempat ikatan O2.
Molekul-molekul ini akan menyebabkan pergeseran kurva saturasi ke kiri.
Gambar 5. Kurva Disosiasi Oksigen
70% tubuh manusia terdiri dari air. Cairan dalam tubuh manusia dibagi menjadi
cairan intraseluler dan ekstraseluler. Cairan interseluler menempati 67% dari total cairan
tubuh. Sedangkan cairan ekstraseluler dibagi menjadi cairan intersisial (25%) dan
intravaskular (8%).
Bahan bacaan:
Klabunde, R.E. Cardiovascular Physiology consepts, 2012.
Lilly, L.S. Pathophysiology of heart disease, 2010.
1.4 Disability
Otak manusia 98% terdiri dari jaringan otak yang beratnya pada dewasa sekitar 1400
gram dengan volume 1200 ml. Ukuran otak pria 10% lebih besar dari wanita. Otak
merupakan kumpulan sistem saraf kompleks dan rumit yang dapat mengatur dirinya sendiri
dan organ lain. Sistem saraf dibagi menjadi dua sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf
otonom (SSO).
Pembagian secara anatomis sistem saraf pusat menggambarkan distribusi fungsi otak
dan dibagi menjadi 4 kelompok.
1. Serebrum (otak besar, korteks serebri)
Otak dewasa dibagi menjadi hemisfer kanan dan kiri yang mengurus antara lain:
• Korteks serebri memproses informasi kesadaran, sensoris, motoris dan asosiasi
• Sistem limbic di bawah korteks mengatur integrasi, emosi dengan aktivitas
motoric dan visceral.
• Diensefalon terdiri dari thalamus kiri dan kanan di pusat otak, di bawah
korteks-ganglia basalis dan diatas hipotalamus, menyampaikan rangsang
sensorik di antara mereka.
• Hipotalamus pada dasar diensefalon mengatur sistem saraf otonom, misalnya
emosi, tekanan darah, suhu badan, keseimbangan air, sekresi hormone, emosi
dan tidur.
2. Serebelum (otak kecil)
Serebelum berfungsi mengadakan koordinasi yang kompleks antara sensorik dan
motoric dan hal ini penting untuk mengatur postur badan.
3. Brainstem (batang otak)
Menghubungkan korteks serebri dengan medula spinalis, berisi hampir semua inti
saraf kranial dan sistem aktivitas retikuler yang esensial untuk mengatur tidur dan
bangun.
4. Medula spinalis (sumsum tulang belakang)
Terletak antara medula oblongata sampai vertebra lumbal bawah.
• Substansi alba (white matters)
Tempat jaras askendens dan desendens berada.
• Substansi grisea (gray matters)
Tempat koreksi intersegmental dan kontak sinaptik. Informasi sensorik
mengalir ke bagian dorsal dan motoric keluar dari bagian ventral.
SSO mengendalikan fungsi visceral misalnya tekanan darah, peristaltic usus, sekresi
kelenjar, pengosongan buli-buli, sekresi keringat dan suhu badan. Aktivasi SSO melalui
hipotalamus, batang otak dan medulla spinalis. SSO dibagi menjadi sistem simpatis (torako-
lumbal, C8-T1 sampai L2,3) dan parasimpatis (kraniosakral) yang saling berlawanan
fungsinya untuk mengatus fungsi fisiologis badan. Serabut saraf simpatis pascaganglionic
mengeluarkan neurotransmitter noradrenalin karenanya disebut serabut adrenergic. Serabut
saraf parasimpatis pascaganglionik mengeluarkan neurotransmitter asetilkolin, karenanya
disebut sebagai serabut kolinergik.
Berat massa jaringan otak hanya 2-3% dari massa tubuh, namun menerima 15-20%
cardiac output, yaitu 50-60cc/100 gram jaringan otak/menit. Dalam keadaan istirahat
metabolismee otak kira-kira sebesar 15% dari seluruh metabolismee yang terjadi dengan
mengkonsumsi oksigen ±3,5-4 ml/100 gram/menit. Konsumsi glukosa otak ±5
mg/100g/menit. Bila aliran darah otak menurun (pendarahan berat, shock, dan cardiac output
menurun hingga 70-80% dari normal) akan menyebabkan perubahan biokimia dan membran
sel otak menuju kearah kematian sel yang menyebabkan kecacatan yang menetap pada
pasien. Saat keadaan cardiac arrest, dalam waktu 2-3 menit sumber energi otak hanya akan
tersisa 10%. Tanpa bantuan resusitasi maka oksigen otak akan cepat menurun hingga nol
(anoxia) dan sel otak hanya mampu bertahan sekitar 5 menit melalui metabolismee anaerob
dari glukosa endogen, glikogen dan keton bodies. Hal ini terjadi karena laju metabolismee sel
otak (neuron) yang tinggi dan jumlah glikogen yang diperlukan untuk metabolismee anaerob
yang tersimpan dalam sel otak sangat sedikit atau dapat dikatakan tidak ada.
Aliran darah serebral (CBF) 50 ml/100 gram/menit (dewasa ±750 ml/menit). Tekanan
perfusi serebral (CPP) ialah perbedaan antara tekanan arteri rata-rata (MAP) dan tekanan
intracranial (ICP) ±100 mmHg.
CPP = MAP – ICP
Seperti jantung dan ginjal, otak mentolerir perubahan tekanan darah dengan regulasi
tekanan darah. Penurunan CPP menyebabkan vasodilatasi serebral dan sebaliknya. Pembuluh
darah otak sangat unik dan bertindak sebagai saringan atau sawat antara darah dan otak
(blood brain barrier). Sawar otak dapat dilewati oleh air, O2, CO2 dan obat larut lemak tetapi
tidak dapat dilewati molekul besar, ion tertentu, dan protein.
Cairan serebrospinalis (CSS) merupakan hasil ultrafiltrasi plasma yang jernih tidak
berwarna, tidak berbau dan berada dalam ventrikel otak, sisterna otak dan ruang subarachnoid
sekitar otak dan medulla spinalis. Volume CSS pada orang dewasa sekitar 140-150 ml
dengan berat jenis 1.002-1.009, pH 7,32 dan 50 ml berada dalam ruang intrakranial.
Penilaian derajat kesadaran dapat dilakukan dengan metoda AVPU maupun GCS
1. AVPU
Dilakukan pada waktu pemeriksaan pertama (survey primer) dengan cara tegur sapa
kemudian dinilai respon pasien.
• Alert/awake : pada manusia normal, sehat.
• Verbal : kesadaran menurun, tampak mengantuk namun terbangun dengan
membuka mata ketika namanya dipanggil.
• Pain : kesadaran menurun, tampak mengantuk, tidak terbangun ketika
namanya dipanggil dan baru terbangun dengan membuka mata atau
menggerakkan anggota tubuhnya ketika dicubit atau disakiti.
• Unresponsive : Tidak ada respon dengan rangsangan apapun.
2. GCS (Glasgow Coma Scale)
Pada trauma atau trauma kepala penilaian kesadaran secara teliti dapat dilakukan
dengan menggunakan metode GCS. Pada dasarnya GCS adalah menilai derajat cedera
kepala dan menilai GCS berulang sangat berguna untuk meramal prognosis. GCS
diukur jika pasien tidak dibawah efek sedative, pelumpuh otot, narkotik, alcohol,
tidak hipotermia, hipotensi, shock, hipoksia. GCS diukur setelah selesai survey
primer. Jika akan memutuskan suatu tindakan pada pasien tersebut, tetapkan harga
yang jika salah, tetap tidak merugikan :
• Kalau GCS rendah berakibat kita harus melakukan tindakan invasive, berikan
nilai rendah.
• Kalau GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar
upaya medis jadi maksimal dan bersemangat.
Penilaian GCS meliputi respon mata, bicara dan gerak. Pemeriksaan dilakukan
dengan memberi rangsang nyeri dengan menekan titik glabella atau dengan menekan
keras kuku jari tangan pasien. Skor total maksimal adalah 15, dengan perincian E-Eye
Response (4), V-Verbal Response (5), M-Motoric Response (6) pada sisi yang paling
kuat. Perkecualian pada kondisi mata bengkak (E = x), intubasi (V = x), paraplegia
(M = x) dan bedakan keadaan tidak bicara atau tidak ada kontak karena tidak sadar
(general dysfunction) atau aphasia (local dysfunction).
• E-Score (kemampuan membuka mata)
4 : membuka mata spontan
3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta
2 : membuka mata bila diberi rangsangan nyeri
1 : tak membuka mata walaupun dirangsang
• V-Score (memberikan respon jawaban secara verbal)
5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban dengan baik dan
benar pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (nama, umur dll)
4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti bingung
(confused conversation)
3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawaban hanya berupa kata-
kata yang tidak jelas (inappropriate words)
2 : memberikan jawaban berupa suara yang tak jelas bukan merupakan kata
(incomprehensible sounds)
1 : tak memberikan jawaban berupa suara apapun
• M-Score (menilai respon motoric ekstrimitas)
6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan
5 : dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (localized
pain)
4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
3 : respon gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas
2 : respon berupa gerak ekstensi
1 : tak ada respon berupa gerak
Bahan bacaan:
1. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth
Edition a Lange Medical Book. 2013.
2. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi
untuk S1 Kedokteran Universitas Airlangga. 2012.
3. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
1999/2000.
4. Klabunde, R.E. Cardiovascular Physiology consepts, 2012.
5. Lilly, L.S. Pathophysiology of heart disease, 2010.
6. C.A. Hagberg. .Benumof and Hagberg's Airway Management, 3rd Edition.
2013
Jawaban : benar
Jawaban : salah
3. Pemberian oksigen pada pasien gawat darurat adalah dengan menggunkan nasal prong
untuk mencapai FiO2 100 % (B/S)
Jawaban : salah
Faal sirkulasi
1. Stroke volume selain dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas; juga
dipengaruhi oleh disfungsi katub dan abnormalities pergerakan dinding jantung. (B/S)
Jawaban: benar
2. Dalam mekanisme kompensasi untuk mempertahankan Cardiac Output, denyut
jantung dapat meningkat hingga 3x lipat. (B/S)
Jawaban: benar
Jawaban: benar
BAB II
Pendahuluan
Kurangnya pasokan oksigen yang dibawa oleh darah ke otak dan organ vital lainnya
merupakan penyebab kematian tercepat pada penderita gawat. Oleh sebab itu pencegahan
kekurangan oksigen jaringan (hipoksia) yang meliputi pembebasan jalan nafas (airway) yang
terjaga bebas dan stabil, ventilasi yang adekuat, serta sirkulasi yang normal (tidak shock)
menempati prioritas pertama dalam penanganan kegawatdaruratan.
Sifat gangguan yang terjadi pada jalan nafas bisa mendadak oleh karena sumbatan total,
atau bisa juga perlahan oleh karena sumbatan parsial (dengan berbagai sebab). Sumbatan
pada jalan nafas dapat terjadi pada pasien tidak sadar atau pasien dengan kesadaran menurun
atau korban kecelakaan yang mengalami trauma daerah wajah dan leher.
Penanganan airway mendapat prioritas pertama karena jika tidak ditangani akan
mengakibatkan kematian yang cepat, dan penanganan segera perlu dilakukan. Pembebasan
jalan nafas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu tanpa alat (manual) maupun dengan alat.
Alat bantu pembebasan jalan nafas yang digunakan ada berbagai macam disesuaikan dengan
jenis sumbatan dan tingkat kesadaran pasien yang pada intinya bertujuan mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas.
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah membebaskan jalan nafas dan
mempertahankan agar jalan nafas tetap bebas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigen tubuh. Pengelolaan jalan nafas
dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan alat dan tanpa alat (cara manual). Cara
manual dapat dilakukan di mana saja, dan kapan saja, walaupun hasil lebih baik bila
menggunakan alat namun pertolongan cara manual yang cepat dan tepat dapat
menghindarkan resiko kematian atau kecacatan permanen. Pada kasus trauma,
pengelolaan jalan nafas tanpa alat dilakukan dengan tetap memperhatikan kontrol tulang
leher.
1. Pasien diajak berbicara. Jika pasien dapat menjawab dengan jelas itu berarti jalan
nafasnya bebas. Pasien yang tidak sadar berpotensi terjadi sumbatan jalan nafas
sehingga memerlukan tindakan pembebasan jalan nafas. Penyebab obstruksi pada
pasien tidak sadar umumnya adalah jatuhnya pangkal lidah ke belakang.
2. Berikan oksigen. Oksigen diberikan dengan sungkup muka (simple masker) atau
masker dengan reservoir (rebreathing/non rebreathing mask) atau nasal kateter atau
nasal prong walaupun belum sepenuhnya jalan nafas dapat dikuasai dan
dipertahankan bebas. Jika memang dibutuhkan pemberian ventilasi bisa menggunakan
jackson reese atau BVM.
3. Nilai jalan nafas. Sebelum melakukan tindakan untuk membebaskan jalan nafas lanjut
maka yang harus dilakukan pertama kali yaitu memeriksa jalan nafas sekaligus
melakukan pembebasan jalan nafas secara manual apabila pasien tidak sadar atau
kesadaran menurun berat (coma). Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF)
dilakukan secara simultan, menilai jalan nafas sekaligus fungsi pernafasan:
L – Look (lihat) Lihat pengembangan dada, adakah retraksi sela iga otot-otot
nafas tambahan lain, warna mukosa/kulit dan kesadaran. Lihat apakah korban
mengalami kegelisahan (agitasi), tidak dapat berbicara, penurunan kesadaran,
sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia. Sianosis
dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan bibir.
F – Feel (rasakan). Rasakan ada tidaknya udara yang hembusan ekspirasi dari
hidung dan mulut. Hal ini dapat dengan cepat menentukan apakah ada
sumbatan pada jalan nafas. Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan
menggunakan pipi penolong.
Obstruksi jalan nafas dibagi macam, obtruksi parsial dan obstruksi total.
a. Obstruksi partial dapat dinilai dari ada tidaknya suara nafas tambahan yaitu:
b. Obstruksi total, dapat dinilai dari adanya pernafasan “see saw” pada menit-
menit pertama terjadinya obstruksi total, yaitu adanya paradoksal breathing
antara dada dan perut. Dan jika sudah lama akan terjadi henti nafas yang
ketika diberi nafas buatan tidak ada pengembangan dada.
5. Menjaga stabilitas tulang leher, ini jika ada dugaan trauma leher, yang ditandai
dengan adanya trauma wajah/maksilo-facial, ada jejas di atas clavicula, trauma
dengan riwayat kejadian ngebut (high velocity trauma), trauma dengan defisit
neurologis dan multiple trauma.
Pada pasien yang tidak sadar, lidah akan terjatuh ke posterior, yang jika didengarkan
seperti suara orang ngorok (snoring). Hal ini mengakibatkan tertutupnya trakea sebagai jalan
nafas. Untuk penanganannya ada tiga cara yang lazim digunakan untuk membuka jalan nafas,
yaitu head tilt, chin lift dan jaw thrust.
q head-tilt (dorong kepala ke belakang).
q chin-lift Maneuver (tindakan mengangkat dagu).
q jaw-thrust Maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah ke atas).
Dilakukan dengan cara meletakkan 1 telapak tangan pada dahi pasien, pelan-pelan
tengadahkan kepala pasien dengan mendorong dahi ke arah belakang sehingga kepala
menjadi sedikit tengadah (slight Extention).
Dilakukan dengan cara menggunakan jari tengah dan jari telunjuk untuk memegang
tulang dagu pasien, kemudian angkat dan dorong tulangnya ke depan. Jika korban
anak-anak, gunakan hanya jari telunjuk dan diletakkan di bawah dagu, jangan terlalu
menengadahkan kepala.
Chin lift dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan.
Tindakan ini sering dilakukan bersamaan dengan tindakan head tilt. Tehnik ini
bertujuan membuka jalan nafas secara maksimal.
Perhatian : Head Tilt dan Chin Lift sebaiknya tidak dilakukan pada pada pasien
dengan dugaan adanya patah tulang leher; dan sebagai gantinya bisa digunakan teknik
jaw thrust.
Jika dengan head tilt dan chin lift pasien masih ngorok (jalan nafas belum
terbuka sempurna) maka teknik jaw thrust ini harus dilakukan. Begitu juga pada
dugaan patah tulang leher, yang dilakukan adalah jaw thrust (tanpa menggerakkan
leher). Walaupun tehnik ini menguras tenaga, namun merupakan yang paling sesuai
untuk pasien trauma dengan dugaan patah tulang leher.
Caranya adalah dengan mendorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah atas sehingga
barisan gigi bawah berada di depan barisan gigi atas. Tetap pertahankan mulut korban
sedikit terbuka, bisa dibantu dengan ibu jari.
Gambar 2.1 Manuver jaw thrust hanya dilakukan oleh orang terlatih
Pipa orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan nafas tetap terbuka dan
menahan pangkal lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan nafas
pada pasien tidak sadar. Yang perlu diingat adalah bahwa pipa orofaring ini hanya
boleh dipakai pada pasien yang tidak sadar atau penurunan kesadaran yang berat
(GCS ≤ 8).
Siapkan pipa orofaring yang tepat ukurannya. Bersihkan dan basahi agar licin.
Ukuran yang tepat dapat diperoleh dengan cara mencari pipa orofaring yang
panjangnya sama dengan jarak dari sudut bibir sampai ke tragus atau dari
tengah bibir sampai ke angulus mandibula pasien.
Buka mulut pasien (chin lift atau gunakan ibu jari dan telunjuk).
Yakinkan lidah sudah tertopang pipa orofaring, lihat, dengar, dan raba
nafasnya.
Untuk pipa nasofaring kontra indikasi relatifnya adalah adanya fraktur basis cranii
yang ditandai dengan adanya brill hematon, bloody rhinorea, bloody otorea, dan
battle sign.
Bila dengan pemasangan jalan nafas buatan pipa orofaring atau pipa
nasofaring ternyata masih tetap ada obstruksi jalan nafas, pernafasan belum juga baik
atau karena indikasi cedera kepala berat; maka dilakukan pemasangan definitive
airway yaitu pipa endotrachea (ETT – Endotracheal Tube). Pemasangan pipa
endotrachea akan menjamin jalan nafas tetap terbuka, menghindari aspirasi dan
memudahkan tindakan bantuan pernafasan.
PERALATAN INTUBASI
1. Pipa oro/nasofaring.
2. Suction/alat pengisap.
3. Sumber Oksigen
4. Kanula dan masker oksigen.
5. BVM/Ambu bag, atau jackson reese.
6. Pipa endotrakheal sesuai ukuran dan stylet.
7. Pelumas (jelly).
8. Forcep magill.
9. Laringoscope (handle dan blade sesuai ukuran, selalu periksa baterai&lampu)
10. Obat-obatan sedatif i.v.
11. Sarung tangan.
12. Plester dan gunting.
13. Bantal kecil tebal 10 cm (bila tersedia)
TEKNIK INTUBASI
1. Sebelum intubasi berikan oksigen, sebaiknya gunakan bantal dan pastikan jalan
nafas terbuka (hati-hati pada cedera leher).
2. Siapkan endotracheal tube (ETT), periksa balon (cuff), siapkan stylet, beri jelly.
3. Siapkan laringoskop (pasang blade pada handle), lampu harus menyala terang.
4. Pasang laringoskop dengan tangan kiri, masukkan ujung blade ke sisi kanan
mulut pasien, geser lidah pasien ke kiri.
5. Tekan tulang rawan krikoid (untuk mencegah aspirasi = Sellick Maneuver).
6. Lakukan traksi sesuai sumbu panjang laringoskop (hati-hati cedera gigi, gusi,
bibir).
7. Lihat adanya pita suara. Bila perlu isap lendir/cairan lebih dahulu.
8. Masukkan ETT sampai batas masukny di pita suara.
9. Keluarkan stylet dan laringoskop secara hati-hati.
10. Kembangkan balon (cuff) ETT.
11. Pasang pipa orofaring.
12. Periksa posisi ETT apakah masuk dengan benar (auskultasi suara pernafasan atau
udara yang ditiupkan). Hubungkan dengan pipa oksigen.
13. Amankan posisi (fiksasi) ETT dengan plester.
LMA adalah alat pembebasan jalan nafas yang non-invasif yang dipasang di
supraglotis. Secara umum terdiri dari 3 bagian: airway tube, mask, dan Inflation line.
LMA disebut juga sebagai alternative airway, karena bagi tenaga yang belum
berpengalaman melakukan intubasi endotrachea maka LMA inilah yang menjadi
alternatif pilihan yang paling baik untuk membebaskan jalan nafas.
¡ Nyeri tenggorokan
¡ Rasa kering pada ternggorokan ataupun mukosa sekitarnya
¡ Efek samping lebih banyak berhubungan dengan penempatan LMA yang tidak
tepat
§ Size 1 : < 5 kg
§ Size 1.5 : 5 s.d 10 kg
§ Size 2 : 10 s.d 20 kg
§ Size 2.5 : 20 s.d 30 kg
§ Size 3 : 30 kg s.d Small adult
§ Size 4 : Adult/Dewasa
§ Size 5 : Large adult(dewasa besar)/poor seal with size 4
2. Pengecekan LMA
Sebelum digunakan, periksa dulu apakah ada kebocoran/tidak dengan cara
mengembang kempiskan cuffnya
1. Pegang tube LMA, seperti memegang pena sedekat mungkin dengan bagian
akhir masker LMA.
2. Letakkan ujung LMA pada bagian dalam mulut pasien, di atas gigi (hard
palate)
3. Dengan sedapat mungkin melihat secara langsung Tekan ujung masker ke arah
atas menyusuri hard palate
4. Dengan jari telunjuk, tetap susuri searah dengan palatum sampai masker LMA
masuk faring. Pastikan ujung LMA tetap kempes dan hindari mengenai lidah
5. Jaga leher tetap dalam posisi fleksi dan kepala eksntensi, Tekan masker ke
arah dinding faring posterior dengan menggunakan jari telunjuk
6. Lanjutkan mendorong LMA dengan jari telunjuk, arahkan mask LMA ke
bawah sesuai posisi yang diharapkan
7. Pegang tube LMA dengan tangan yang lain, Tarik jari telunjuk dari faring
8. Secara gentle tangan yang lain menekan LMA ke bawah sampai benar-benar
mask LMA sudah masuk sepenuhnya.
9. Kembangkan masker LMA sesuai dengan udara sesuai volume yang
direkomendasikan. Berikut volume maksimal dari pengembangan cuff:
§ Size 1 : 4 ml
§ Size 1.5 : 7 ml
§ Size 2 : 10 ml
§ Size 2.5 : 14 ml
§ Size 3 : 20 ml
§ Size 4 : 30 ml
§ Size 5 : 40 ml
10. Jangan sampai masker LMA over-inflate
11. Jangan menyentuh tube LMA selama dikembangkan, kecuali posisinya tidak
stabil.
12. Secara normal Masker LMA akan naik ke hipofaring saat dikembangkan à
berada pada posisi yang tepat.
13. Hubungkan LMA dengan BVM atau low pressure ventilator
14. Ventilasi pasien sambil mendengarkan suara nafas à simetris atau tidak,
pastikan tidak ada suara udara masuk ke lambung
15. Masukkan bite block atau kasa gulung untuk mencegah oklusi tube karena
tergigit pasien
16. Fiksasi LMA
B.5 KRIKOTIROIDOTOMY
ALAT
TEKNIK
1. Cari titik tusuknya dengan cara: dari jakun (Thyroid Cartilage, Adam’s Apple)
raba ke bawah sampai ada cekungan yang disebut membrana cricothyroidea,
inilah titik tusuknya. Di bawah titik tusuk ini ada ring yang agak lebih besar dari
ring tulang trakhea (Cricoid Cartilage).
ALAT
TEKNIK
8. Perlebar dengan pangkal scalpel putar tegak lurus atau pergunakan klem atau
spekulum (dilatator).
9. Pasang kanula trakheostomi/kembangkan balon (cuff).
10. Berikan ventilasi dengan 100% O2.
11. Cek segera patensi jalan nafas.
12. Pasang pita pengikat kanula.
13. Cek foto X-ray (bila fasilitas memungkinkan).
Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan teknik
Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk yang disilangkan
dan menekan gigi atas dan bawah. Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda
asing dalam rongga mulut dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari(finger
sweep). Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu
adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas (apnea). Bila
hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara melalui mulut, bila
dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada sumbatan total pada jalan nafas dan
dilakukan pijat jantung.
Membersihkan jalan nafas secara manual dapat dilakukan dengan sapuan jari (finger
sweep). Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga mulut
belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing lainnya sehingga
hembusan nafas hilang (tersumbat).
Cara melakukannya :
• Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher) kemudian buka mulut
dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot rahang lemas (maneuver emaresi)
• Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus dengan sarung
tangan/kassa/kain (jangan tisu atau kertas karena mudah hancur dan malah akan
memperburuk sumbatan jalan nafas) untuk membersihkan rongga mulut dengan gerakan
menyapu.
Membersihkan benda asing cair dalam jalan nafas menggunakan alat pengisap
(suction)
Bila terdapat sumbatan jalan nafas karena benda cair yang ditandai dengan terdengar
suara tambahan berupa “gargling”, maka harus dilakukan pengisapan (suctioning).
Digunakan alat pengisap yang lebih populer dengan nama “suction” (pengisap/ manual
portable, pengisap dengan sumber listrik). Masukkan kanula pengisap tidak boleh lebih
dari lima sampai sepuluh detik.
TEKNIK SUCTIONING
1. Pengisap dihubungkan dengan pipa kecil/ suction catheter (dapat digunakan Naso
Gastric Tube - NGT atau pipa lainnya) yang bersih.
2. Gunakan sarung tangan bila memungkinkan.
3. Buka mulut pasien kalau perlu tengadahkan kepala agar jalan nafas terbuka.
4. Lakukan pengisapan (tidak boleh lebih dari 5 detik)
5. Cuci pipa pengisap dengan memasukkannya pada air bersih/ cairan infus untuk
membilas selang suction, ulangi lagi bila diperlukan.
q Abdominal thrust.
q Chest thrust.
q Back blow.
a. Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar
belikat dan garis punggung tulang belakang (Back Blows).
C. CHEST THRUST
Usaha untuk membebaskan jalan nafas dari sumbatan parsial/total oleh karena
benda padat. Untuk bayi, anak, orang gemuk, dan wanita hamil.
Penderita sadar :
Lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari kedua dan ketiga
kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antar puting susu).
§ Tidurkan terlentang.
§ Lakukan chest thrust.
§ Tarik lidah dan lihat adakah benda asing.
§ Berikan pernafasan buatan.
§ Bila jalan nafas tersumbat di bagian bawah, lanjutkan dengan
KRIKOTIROIDOTOMY jarum
- laringoskop
- alat pengisap (suction)
- alat penjepit (forcep)
TEKNIK
1. Buka jalan nafas lurus/ lebar dengan memperbaiki posisi kepala
2. Gunakan laringoskop dengan tangan kiri.
3. Masukkan blade-laryngoscope pada sudut mulut kanan dan menyusur tepi lidah
sampai pangkal lidah, geser ujung blade perlahan ke tengah dan angkat tangkai
laringoskop ke atas depan (sesuai sumbu handle laringoskop) sehingga terlihat
hipofaring dan rima glotis.
4. Gunakan pengisap untuk benda cair dan liur.
Gunakan forcep bila terdapat benda padat.
PENDAHULUAN
Gangguan fungsi pernafasan (gangguan ventilasi) dapat berupa hipoventilasi sampai henti
nafas yang disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Apapun penyebabnya bila tidak
dilakukan penanganan dengan baik akan menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia. Jalan nafas
yang tersumbat akan menyebabkan gangguan ventilasi karena itu langkah yang pertama yang
harus dilakukan pada pasien dengan gangguan adalah meyakinkan bahwa jalan nafas bebas
dan pertahankan agar tetap bebas. Setelah jalan nafas bebas tetapi tetap ada gangguan
ventilasi maka harus dicari penyebab lain.
Trauma thorax merupakan penyebab mortalitas yang bermakna. Sebagian besar pasien
trauma thoraks meninggal saat datang ke Rumah Sakit, disamping itu, banyak kematian yang
dapat dicegah dengan upaya diagnosis dan tata laksana yang akurat. Kurang dari 10% kasus
trauma tumpul thoraks dan sekitar 15-30% trauma tembus thoraks memerlukan tindakan
torakotomi. Sebagian besar pasien trauma toraks memerlukan tindakan torakotomi.
Penilaian dan tatalaksana awal pasien dengan trauma toraks terdiri dari primary survey,
resusitasi fungsi vital, secondary survey yang teliti dan penanganan definitif.
Trauma toraks dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan harus dikenali dan ditangani
saat primary survey termasuk adanya tension pneumothorax, open pneumothorax (sucking
chest wound), flail chest, kontusio paru dan hemotorax masif.
Gangguan pernafasan juga dapat disebabkan oleh keadaan yang non trauma seperti acute lung
oedem(ALO),acute respiratory disstres syndrome (ARDS) .
A. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terjadi akibat kebocoran udara “one-way valve” dari paru
atau melalui dinding toraks. Udara didorong masuk kedalam rongga toraks tanpa ada celah
untuk keluar sehingga memicu paru kolaps. Mediastinum terdorong ke sisi berlawanan.
Terjadi penurunan aliran darah balik vena dan penekanan pada paru di sisi yang berlawanan.
B. Open Pneumothoraks
Defek besar dinding toraks yang tetap terbuka dapat memicu open pneumotoraks atau
sucking chest wound. Keseimbangan antara tekanan intratorakal dan atmosfer segera
tercapai. Jika lubang dinding toraks berukuran sekitar dua pertiga dari diameter trakea, udara
mengalir melalaui defek dinding toraks pada setiap upaya pernafasan karena udara cenderung
mengalir kelokasi yang tekanan nya lebih rendah. Ventilasi efektif akan terganggu sehingga
memicu terjadinya hipoksia dan hiperkarbia. Penatalaksanaan awal dari open pneumotoraks
dapat tercapai dengan menutup defek tersebut dengan occlusive dressing yang steril. Penutup
ini harus cukup besar untuk menutupi seluruh luka dan kemudian direkatkan pada tiga sisi
untuk memberikan feel “flutter type valve”.
Flail chest mungkin tampak kurang jelas pada awalnya karena adanya “splinting”
pada dinding toraks. Pernafasan pasien berlangsung lemah dan pergerakan toraks tampak
asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi dari gangguan pergerakan respirasi dan krepitasi
tulang iga atau fraktur kartilago dapat menyokong diagnosis. Pada pemeriksaan rontgen
toraks akan ditemui fraktur costae multipel tetapi dapt juga tidak dijumpai pemisahan
costochondral. Analis gas darah arteri yang menunjukkan ada hipoksia juga akan membantu
menegakkkan diagnosis flail chest.
D. Hemotoraks Masif
Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500 ml darah atau satu
pertiga atau lebih volume darah pasien dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat luka
tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat
terjadi akibat trauma tumpul.
Akumulasi darah dan cairan dalam hemitoraks dapat mengganggu upaya pernafasan
dengan menekan paru dan mencegah ventilasi yang adekuat. Akumulasi akut darah secara
dramatis dapat bermanifestasi sebagai hipotensi dan syok.
2.2.2 Non-Trauma
Acute Lung Oedema (ALO) adalah terjadinya penumpukan cairan secara masif di
rongga alveoli yang menyebabkan pasien berada dalam kedaruratan respirasi dan ancaman
gagal nafas.
Etiologi:
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena gangguan pada jantung atau sistem
kardiovaskuler.
b. Kardiomiopati
Penyebab terjadinya kardiomiopati sendiri masih idiopatik. Menurut beberapa ahli
diyakini penyebab terbanyak terjadinya kardiomiopati dapat disebabkan oleh infeksi pada
miokard jantung (miokarditis), penyalahgunaan alkohol dan efek racun dari obat-obatan
seperti kokain dan obat kemoterapi. Kardiomiopati menyebabkan ventrikel kiri menjadi
lemah sehingga tidak mampu mengkompensasi suatu keadaan dimana kebutuhan jantung
memompa darah lebih berat pada keadaan infeksi. Apabila ventrikel kiri tidak mampu
mengkompensasi beban tersebut, maka darah akan kembali ke paru-paru. Hal inilah yang
akan mengakibatkan cairan menumpuk di paru-paru (flooding).
d. Hipertensi
Hipertensi tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya penebalan pada otot ventrikel
kiri dan dapat disertai dengan penyakit arteri koronaria.
Yaitu edema paru yang bukan disebabkan karena keainan pada jantung tetapi paru itu sendiri.
Pada non-kardiogenik, ALO dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
ALO kardiogenik dicetuskan oleh peningkatan tekanan atau volume yang mendadak
tinggi di atrium kiri, vena pulmonalis dan diteruskan (peningkatan tekanannya) ke kapiler
dengan tekanan melebihi 25 mmHg. Mekanisme fisiologis tersebut gagal mempertahankan
keseimbangan sehingga cairan akan membanjiri alveoli dan terjadi oedema paru. Jumlah
cairan yang menumpuk di alveoli ini sebanding dengan beratnya oedema paru. Penyakit
jantung yang potensial mengalami ALO adalah semua keadaan yang menyebabkan
peningkatan tekanan atrium kiri >25 mmHg.
a. Stadium 1
Adanya distensi pada pembuluh darah kecil paru yang prominen akan mengganggu
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi CO. Keluhan pada stadium
ini biasanya hanya berupa sesak nafas saat melakukan aktivitas.
b.Stadium 2
Pada stadium ini terjadi oedema paru interstisial. Batas pembuluh darah paru menjadi
kabur, demikian pula hilus serta septa interlobularis menebal. Adanya penumpukan cairan di
jaringan kendor interstisial akan lebih mempersempit saluran nafas kecil, terutama di daerah
basal karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi reflek bronkokonstriksi yang dapat
menyebabkan sesak nafas ataupun nafas menjadi berat dan tersengal.
c.Stadium 3
Pada stadium ini terjadi oedema alveolar. Pertukaran gas mengalami gangguan secara
berarti, terjadi hipoksemia dan hipokapnia. Penderita tampak mengalami sesak nafas yang
berat disertai batuk berbuih kemerahan (pink froty). Kapasitas vital dan volume paru yang
lain turun dengan nyata.
Pemeriksaan Fisik:
1. Sianosis sentral. Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus berbuih.
2. Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru,
kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga
disebut sebagai asma kardiale.
3. Takikardia dengan S3 gallop.
4. Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi : Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium,
tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan.
Laboratorium :
1. Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
2. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
3. Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner
Rontgen Dada : X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin
menunjukan lebih banyak tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada
biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan
opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal
dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli
sebagai akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang
minimal tentang penyebab yang mungkin mendasarinya.
PENATALAKSANAAN PENGOBATAN :
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi, monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
5. Menurunkan preload dan mengeluarkan volume cairan intra paru. Nitrogliserin
(NTG) dan Furosemide merupakan obat pilihan utama.
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit
atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard
9. Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan
oksigen.
10. Penggunaan Aminophyline, berguna apabila oedema paru disertai bronkokonstriksi
atau pada penderita yang belum jelas oedema parunya oleh karena faktor
kardiogenik atau non-kardiogenik, karena selain bersifat bronkodilator juga
mempunyai efek inotropok positif, venodilatasi ringan dan diuretik ringan.
11. Penggunaan Inotropik. Pada penderita yang belum pernah mendapatkan pengobatan,
dapat diberikan digitalis seperti Deslano-side (Cedilanide-D). Obat lain yang dapat
dipakai adalah golongan Simpatomi-metik (Dopamine, Dobutamine) dan golongan
inhibitor Phos-phodiesterase (Amrinone, Milrinone, Enoxumone, Piroximone)
Acute respiratory distress syndroem (ARDS) adalah kondisi kedaruratan paru yang
tiba-tiba dan bentuk kegagalan nafas berat, biasanya terjadi pada orang yang sebelumnya
sehat yang telah terpajan pada berbagai penyebab pulmonal atau non-pulmonal.
Menurut Hudak & Gallo (1997), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah
1. Sistemik:
• Syok karena beberapa penyebab
• Sepsis gram negative
• Hipotermia
• Hipertermia
• Takar lajak obat ( Narkotik, Salisilat, Trisiklik, Paraquat, Metadone, Bleomisin )
• Gangguan hematology ( DIC, Transfusi massif, Bypass kardiopulmonal )
• Eklampsia
• Luka bakar
2. Pulmonal :
• Pneumonia ( Viral, bakteri, jamur, penumosistik karinii )
• Trauma ( emboli lemak, kontusio paru )
• Aspirasi ( cairan gaster, tenggelam, cairan hidrokarbon )
• Pneumositis
3. Non-Pulmonal :
• Cedera kepala
• Peningkatan TIK
• Pascakardioversi
• Pankreatitis
• Uremia
Penatalaksanaan :
B. 1. Syok hipovolemi
2. Syok cardiogenic
3. Syok septic
4. Syok neurogenic
C. 1. Syok hipovolemik
2. Syok cardiogenic
3. Syok obstruktif
4. Syok distributif
D. 1. Syok hemorrhagic
2. Syok non hemorrhagic
Adanya banyak macam pembagian syok dapat merupakan tanda bahwa pemahaman
tentang syok masih belum lengkap. Pembagian menurut klasifikasi A cukup banyak
digunakan.
Syok dapat disebabkan karena tubuh kehilangan darah, plasma atau cairan tubuh yang
lain, misalnya: pembedahan, trauma, luka bakar, muntah atau diare. Kehilangan cairan pada
rongga ketiga tubuh yang biasa disebut dengan third space loss juga dapat mengakibatkan
syok, misalnya: peritonitis, pancreatitis, dan ileus obstuksi.
Syok septic didefinisikan sebagai sepsis yang menyebabkan hipotensi yang tidak
respon terhadap resusitasi cairan yang adekuat.
Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan karena disfungsi system saraf simpatis,
sehingga tejadi vasodilatasi pembuluh darah, misalnya pada: Trauma tulang belakang, spinal
syok dan anestesi yang terlalu dalam.
Gangguan perfusi jaringan sebagai respon dari masuknya allergen (misal: antibiotic)
kedalam tubuh yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Gejala dapat timbul sangat
cepat, yang ditandai dengan distress nafas akut, syok, maupun keduanya. Mediator terpenting
yang terlibat dalam proses anafilaktik adalah histamine, leukotriene, basophil kalikrein (BK-
A), and platelet- activating factor. Mediator – mediator tersebut mengakibatkan peningkatan
permeabilitas vaskuler dan kontraksi otot polos. Aktivasi dr reseptor H1 menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sedangkan reseptor H2 sebabkan vasodilatasi, meningkatkan
sekresi mucus, takikardi, dan meningkatkan kontraktilitas miokard; BK- A memecah
bradikinin dari kininogen, bradikinin menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler,
vasodilatasi dan kontraksi otot polos. Aktivasi dari factor Hageman juga terlibat dalam
mengawali koagulasi intravaskuler. Eosinophil chemotactic factor, neutrophil chemotactic
factor, dan leukotriene B menyebabkan terjadinya proses inflamasi sel yang berakibat pada
injury jaringan. Angioedem yang terjadi pada laring, faring dan trakea menyebabkan
sumbatan jalan nafas bagian atas, sedangkan bronkospasme dan edema mukosa berakibat
pada sumbatan jalan nafas bagian bawah. Transudasi cairan dari kulit (angioedema) dan
visera, menyebabkan hipovolemia dan syok, dimana vasodilatasi arterial menurunkan
tahanan vaskuler sistemik. Hipoperfusi coroner dan hipoksia arteri menyebabkan aritmia dan
iskemik miokard. Leukotrien dan prostaglandin juga dapat menyebabkan vasospasme dari
pembuluh darah coroner. Syok dari sirkulasi yang berkepanjangan dapat berakibat pada
asidosis asam laktat dan iskemia dari organ – organ vital.
Jenis syok ini dapat diakibatkan oleh kontras media, obat, makanan, reaksi transfusi,
sengatanserangga maupun gigitan ular berbisa.
Sistem syaraf pusat : Gelisah sampai tidak sadar (tegantung derajat syok)
Sistem ginjal : Produksi urin menurun ( Normal = 0,5 -1 cc/kg BB/ jam)
Sistem otot/ kulit : Turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.
D. Tatalaksana
Tatalaksana syok tergantung pada penyebabnya, namun terdapat prinsip penanganan utama
pada syok, yakni:
Segera pasang infus dengan jarum ukuran besar (#14,16) pasang di dua tempat. Jumlah cairan
yang diberikan tergantung derajat syok, rata- rata untuk awal pengobatan diberikan 1000-
2000cc cepat.
Usaha untuk mempercepat pemberian cairan infus dapat dilakukan dengan cara:
2. Kolloid
Terbagi menjadi golongan protein: albumin atau plasma dan golongan non
protein: dextran atau gelatin. Cairan kolloid lebih stabil berada dalam rongga
intravaskuler sehingga diberikan sesuai dengan perkiraan jumlah perdarahan.
Tahap awal dalam resusitasi cairan digunakan cairan kristaloid dan dilanjutkan
dengan koloid. Penelitan membuktikan pemberian darah pada tahap awal resusitasi
cairan angka kematian yang berhubungan dengan reaksi transfusi.
Hemodilusi adalah mengganti kehilangan darah dengan larutan kristaloid atau koloid sampai
hemodinamik stabil yang ditandai dengan nadi <100x/ menit, tekanan darah systole >100
cmHg, perfusi perifer hangat kering merah, serta waktu pengisian kapiler <2 detik.
Oliguria
Dehidrasi Berat: Nadi cepat, kecil, sampai tidak Penggantian volume cairan
teraba yang hilang dengan
Kehilangan cairan tubuh
kristaloid
>8% BB Tekanan darah turun
Anuria
Kesadaran menurun
Perdarahan dalam jumlah besar melebihi 15% volume darah, akan menyebabkan perubahan
fungsi tubuh sehingga jatuh dalam kondisi syok. Satu jam pertama masa syok sering disebut
“the golden hour”. Pertolongan harus cepat dilakukan, yakni dengan menghentikan
perdarahan dan mengganti kehilangan darah dengan infuse cairan.
Syok kardiogenik dapat juga terjadi akibat trauma, yakni kontusio jantung, tamponade
jantung dan tension pneumothorax. Sehingga perlu dilakukan tindakan terhadap penyebab
tersebut, sebagai contoh; pericardiosentesis pada tamponade jantung dan thoracosentesis pada
tension pneumothorax.
Terapi syok anafilaktik harus dilakukan segera dan bergantung pada derajat keparahan
dari reaksi yang terjadi. Meliputi:
Pendahuluan
Perdarahan dan hemorrhagic syok sering terjadi pada kasus trauma berat dan
merupakan salah satu penyulit selama anestesi dan pasca bedah dini. Perdarahan dapat
ditolong dengan memberikan larutan Ringer Laktat atau Normal Saline dalam jumlah besar.
Lahir istilah ”Hemodilusi” karena selama darah yang hilang diganti cairan, terjadilah
pengenceran darah dan unsur-unsurnya. Hemodilusi bukan keadaan fisiologik, tetapi sutau
yang berguna untuk menyelamatkan penderita dengan perdarahan hebat. Darah diberikan
pada saat yang tepat sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
A. Dasar-dasar pemikiran
Penderita yang berdarah, menghadapi dua masalah yaitu berapa sisa volume darah
yang beredar dan berapa sisa eritrosit untuk mengangkut oksigen ke jaringan.
Volume darah
Bila volume darah hilang 1/3, penderita akan meninggal dalam waktu beberapa jam.
Penyebab kematian adalah syok progresif yang menyebabkan hipoksia jaringan. Hipovolemia
menyebabkan beberapa perubahan:
a. Vasokonstroksi organ sekunder (viscera, otot, kulit) untuk menyelamatkan
morgan primer (otak, jantung) dengan aliran darah yang tersisa
b. Vasokonstriksi menyebabkan hipoksia jaringan, terjadi metabolisme anaerobic
dengan produk asam laktat yang menyebabkan lactic acidosis
c. Lactic acidosis menyebabkan perubahan-perubahan sekunder pada organ-organ
primer dan organ-organ sekunder sehingga terjadi kerusakan merata.
d. Pergeseran kompartemen cairan. Kehilangan darah dari intravaskuler sampai
10% EBV tidak mengganggu volume sebesar yang hilang. Tetapi kehilangan
yang lebih dari 25% atau bila terjadi syok/hipotensi maka sekaligus
kompartemen interstitial dan intrasel ikut terganggu. Bila dalam terapi hanya
diberikan sejumlah kehilangan plasma volume (intra vaskuler), penderita masih
mengalami defisit yang menyebabkan syoknya irreversible dan berakhir
kematian.
A B C
Pada kasus A, infus dilambatkan dan biasanya transfusi tidak diperlukan. Pada kasus
B, jika hemoglobin kurang dari 8 gm% atau hematokrit kurang dari 25%, transfusi sebaiknya
diberikan. Tetapi seandainya akan dilakukan pembedahan untuk menghentikan suatu
perdarahan, transfusi dapat ditunda sebentar sampai sumber perdarahan terkuasai dulu. Pada
kasus C, transfusi harus segera diberikan. Ada tiga kemungkinan penyebab yaitu perdarahan
masih berlangsung terus (continuing loss), syok terlalu berat, hipoksia jaringan terlalu lama
dan anemia terlalu berat, terjadi hipoksia jaringan.
Pada 1/2 jam pertama, kalau diukur Hb/Hct, hasil yang diperoleh mungkin masih
”normal”. Harga Hb yang benar adalah yang diukur setelah penderita kembali normovolemik
dengan pemberian cairan. Penderita didalam keadaan anestesi, dengan nafas buatan atau
dengan hipotermia, dapat mentolerir hematocrit 10% - 15%. Tetapi penderita biasa, sadar,
nafas sendiri, memerlukan Hb 8 gm% atau lebih agar cadangan kompensasinya tidak terkuras
habis.
C. Jumlah cairan
Lebih dulu dihitung Estimated Blood Volume penderita, 65-70 ml/kg berat badan.
Kehilangan sampai 10% EBV dapat ditolerir dengan baik. Kehilangan 10% - 30% EBV
memerlukan cairan lebih banyak dan lebih cepat. Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV
masih dapat ditunjang untuk sementara dengan cairan saja sampai darah transfusi tersedia.
Total volume cairan yang dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-
4 x volume yang hilang.
Perkiraan volume darah yang hilang dilakukan dengan kriteria Trauma Status dari
Giesecke. Dalam waktu 30 sampai 60 menit sesudah infusi, cairan Ringer Laktat akan
meresap keluar vaskuler menuju interstitial. Demikian sampai terjadi keseimbangan baru
antara Plasma Volume (IVF) dan ISF. Expansi ISF ini merupakan ’interstitial edema” yang
tidak berbahaya. Bahaya edema paru-paru dan edema otak dapat terjadi jika semula organ-
organ tersebut telah terkena trauma. Dua puluh empat jam kemudian akan terjadi diuresis
spontan. Jika keadaan terpaksa, dieresis dapat dipercepat lebih awal dengan frusemide setelah
transfusi diberikan.
D. Macam cairan
Ada 4 pilihan pokok yang bertahun-tahun menjadi perbantahan sengit:
a. Transfusi darah
Ini adalah pilihan pokok kalau donor yang cocok ada. Hemodilusi dengan cairan tidak
bertujuan meniadakan transfusi, tetapi mempertahankan hemodinamik dan perfusi yang baik
sementara darah donor belum tersedia, menghemat jumlah darah donor yang perlu
ditransfusikan dan memberikan koreksi ECF defisit. Bila darah golongan yang sesuai tidak
tersedia, dapat digunakan universal donor yaitu golongan 0 dengan titer anti A rendah (Rh
negatif) atau Packed Red Cells-O. Sebaiknya darah universal ini selalu tersedia di UGD.
b. Plasma expander
Cairan koloid ini mempunyai nilai oncotic yang tinggi (dextran, gelatin, hydroxy-
ethyl starch) sehingga mempunyai volume effect lebih baik dan tinggal lebih lama
intravaskuler. Sayang ECF deficit tidak dapat dikoreksi oleh plasma expander. Selain itu
harga plasma expander adalah 10x lebih mahal daripada Ringer. Reaksi anaphylactoid dapat
terjadi baik karena dextran maupun gelatin (0.03-0.08% pemberian). Penulis mengalami 2
kasus reaksi ini dengan syok, yang memerlukan adrenaline untuk mengatasinya. Reaksi ini
dapat berakhir fatal. Dextran juga menyebabkan gangguan pada cross match darah dan pada
dosis lebih dari 10-15 ml/kg BB akan menyebabkan gangguan pembekuan darah.
c. Albumin
Albumin 5% ataupun Plasma Protein Fraction adalah alternatif yang baik dari segi
volume effect. Tetapi harganya adalah 70x harga Ringer laktat untuk volume effect yang
sama
d. Ringer laktat atau NaCl 0,9%
Cairan ini paling mirip komposisinya dengan cairan ECF. Meskipun pemberian infusi
IVF diikuti perembesan, namun akhirnya tercapai keseimbangan juga setelah ISF jenuh.
Idealnya cairan ini hanya digunakan pada perdarahan yang tidak melebihi 15% volume darah
penderita. Cairan lain seperti Dextrose, 0,45 NaCl tidak dapat digunakan.
E. Penyulit
Penyulit akibat pemberian cairan dapat terjadi pada jantungnya sendiri, pada proses
metabolisme atau pada paru.
Dekompensasi Jantung
Dekompensasi ditandai oleh kenaikan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure).
Bahaya terjadinya dekompensasi jantung sangat kecil, kecuali pada jantung yang sudah sakit
sebelumnya. Pada pemberian colloid dapat mengalami kenaikkan PCWP 50% yang potensial
akan mengalami dekompensasi jantung.
Edema paru
Adanya edema paru dapat dinilai antara lain dengan meningkatnya rasio Qs/ Qt.
Pemberian colloid yang diharapkan tidak merembes keluar IVF ternyata mengalami kenaikan
Qs/Qt yang sama yaitu 16 + 1%. Akibat pengenceran darah, terjadi transient
hypoalbuminemia 2.5 + 0.1 mg% dari harga pre op sebesar 3.5 + 0.1 mg%. Penurunan
albumin ini diikuti penurunan tekanan oncotic plasma dari 21 + 0.4 menjadi 13 + 1.0.
Penurunan selisih tekanan COP –PCWP dari nilai pre op tidak selalu menyebabkan edema.
Giesecke memberi batasan bahwa kadar albumin terendah yang masih aman adalah 20 – 25%
dapat diberikan dengan tetesan lambat 2 jam/100 ml. Dosis ini akan menaikkan kadar 0.25-
0.50 gm%
Jika masih terjadi edema paru, berikan frusemide, 1-2 mg/kg. Gejala sesak nafas akan
berkurang setelah urine keluar 1000 – 2000 ml. Lakukan digitalisasi atau berikan Dopamin
drip 5-10 microgram/kg/menit. Sebagai terapi simptomatik berikan oksigen, atau bila
diperlukan mendesak lakukan nafas buatan + PEEP. Insiden pulmonary insufficiency post
resusitasi cairan adalah 2.1%.
Lactic Acidosis
Pemberian Ringer laktat tidak menambah buruk acidosis laktat karena syok. Laktat
dirubah hepar menjadi bicarbonate yang menetralisir metabolic acidosis pada syok. Perbaikan
sirkulasi akibat pemberian volume justru menurunkan kadar laktat darah karena perbaikan
transport oksigen ke jaringan, metabolisme aerobik bertambah.
Gangguan hemostasis
Gangguan karena pencgenceran ini mungkin terjadi jika hemodilusi sudah mencapai
1,5 x EBV. Faktor pembekuan yang terganggu adalah thrombocyt. Pemberian Fresh Frozen
Plasma tidak berguna karena tidak mengandung thrombocyt, sedang faktor V dan VIII
dibutuhkan dalam jumlah sedikit (5-30% normal). Thrombocyt dapat diberikan sebagai fresh
blood, platelet rich plasma atau thrombocyt concentrate dengan masa simpan kurang dari 6
jam jika suhu 4oC. Untuk hemostasis yang baik diperlukan kadar thrombocyt 100.000 per
mm3. Dextran juga dapat menimbulkan gangguan jika dosis melebihi 10 ml/kg BB.
RANGKUMAN
Ringer Laktat dan NaCl 0,9% selain harganya murah, tersedia dengan mudah sampai
ketingkat Puskesmas, tanpa perlu cross match, tanpa reaksi allergi, waktu simpan tak terbatas,
tak perlu lemari es, dan dapat menyelamatkan nyawa dengan pasti. Dengan kemasan botol
plastik, paket-paket cairan ini dapat didrop dengan cepat dari helikopter dan langsung
digunakan untuk stabilisasi korban, dimanapun dia berada.
Jika pedoman-pedoman pemberian cairan diikuti, pemberian cairan berlebih sekalipun
tidak mudah menyebabkan kematian penderita. Jika toh akan menyebabkna kematian,
prosesnya jauh lebih lama daripada proses syok perdarahan. Sehingga kita cukup waktu
untuk melakukan koreksi terhadap penyulit yang mengancam jiwa tersebut.
Pendahuluan
Transfusi sebenarnya bukan satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan anemia pada
seorang pasien yang kehilangan darah, baik itu kehilangan akut ataupun kronis. Kehilangan
kronis dapat mudah diatasi dengan terapi Fe (besi) dan perbaikan nutrisi, kecuali beberapa
pasien kelainan sistim hemopoetik. Kehilangan darah akut dapat diganti volumenya dengan
cairan pengganti (larutan elektrolit atau plasma expander). Pada hakekatnya ”blood is RED”,
selain merah, RED berarti Rare-Expensive-Dengerous (Langka, mahal, berbahaya)
A. Resiko Transfusi
Resiko transfusi yang banyak dikenal adalah reaksi transfusi. Jenis yang sering terjadi
adalah reaksi transfusi panas, yang disebut leukosit donor/leukoaglutinin resipien atau bahan
pirogen. Reaksi ini tak berbahaya dan berhenti dengan penghentian transfusi atau pemberian
antiretika. Kebiasaan memberikan “premedikasi” dengan antipiretika + antihistamin pra
transfusi tidak dapat dibenarkan. Prevalensi reaksi ini hanya sekitar 1%, prevensi yang
diberikan adalah pemborosan dan menambah resiko alergi obat atas diri pasien yang
semestinya tidak akan mengalami resiko. Obat-obat tersebut dapart memberikan masking
effect pada tanda-tanda awal reaksi transfusi jenis berbahaya.
Reaksi transfusi alergi adalah akibat kontak dengan protein asing dan terbentuknya
immune-complex, aktivasi komplemen yang diiukti degranulasi sel-sel mast dan basofil yang
melepaskan histamine. Reaksi yang ringan berupa pruritus dan urticaria. Reaksi yang berat
berupa bronchospasme, sesak nafas atau bahkan reaksi anafilaktik yang fatal.
Reaksi transfusi hemolitik adalah hemolisis akut intravaskuler karena inkompatibilitas
golongan darah ABO. Jika hemolisis tidak berat dan jumlah darah yang mismatch masih
sedikit (< 250 ml), pasien masih dapat diselamatkan jika ditangani dengan baik.
Reaksi tranfusi bakteremia/septik terjadi karena darah donor tercemar umumnya dari
bakteria dari jenis: E. Coli, proteus spp, P. aeruginosa, A. Aerogenes, K. Pneumoniae. Darah
yang tercemar plasmanya keruh, berwarna abu-abu atau coklat hitam. Angka kematian pada
reaksi ini sangat tinggi karena endotoksin kuman-kuman ini menyebabkan shock.
Resiko transfusi yang lain adalah transmisi penyakit. Dari survey di Surabaya
didapatkan prevalensi hepatitis B pada lebih kurang dua persen dari donor, sedang di Jakarta
dilaporkan 5%. Sebanyak 5-10% pasien hepatitis B menjadi carrier yang menular. Screening
hepatitis B tidak tersedia disetiap kota dimana darah ditransfusikan. Timbulnya gejala antara
2 minggu samapi 6 bulan setelah transfusi. 50-70% pasien hepatitis NANB ini menjadi
khronis dan 10-20% dari yang khronis ini akan menjadi cirrhosis. Screening test yang terbaru
sekalipun masih belum memiliki sensitivitas 100%. Prevalensi Hepatitis non A – non B
adalah 2-3 x lebih besar daripada Hepatitis B dan test untuk NANB belum ada yang dapat
diandalkan dengan harga terjangkau.
Masalah AIDS yang dapat ditularkan dari donor asimptomatik (tanpa gejala). Masa
inkubasi bertahun-tahun, tanpa gejala, sampai pada saat timbulnya ”AIDS Related Complex ”
lalu ”Full Blown AIDS”. Jarak anatar transfusi sampai diagnosis AIDS (+) pada orang
dewasa rata-rata 30 bulan dan pada anak 13,5 bulan. Pencegahan diupayakan dengan seleksi
menyingkirkan calon donor yang beresiko tinggi (homosex dan pecandu narkotik) dan
melakukan test Elisa untujk menyingkirkan mereka yang seropositif. Test ini masih mahal.
B. Langkah-langkah rasionalisasi
Untuk melakukan transfusi yang aman dilakukan dengan indikasi transfusi, batas awal
dan akhir yang tepat, penggunaan komponen yang tepat, penggunaan cairan pengganti
(teknik hemodilusi) dan transfusi darah sendiri (autologous)
Pada perdarahan akut, pasien kehilangan volume darah dan eritrosit yang berisi
Hemoglobulin. Penggantian volume yang hilang harus didahulukan karena defisit 30% sudah
menyebabkan shock berat dan kematian. Toleransi kehilangan Hb lebih besar. Kadar Hb yang
tinggal 50% masih dapat diatasi tubuh dengan mekanisme kompensasi, karena itu tidak
semua kehilangan darah harus diganti transfusi.
Bagi pasien tanpa penyakit jantung, Hb 8-10 gm/dl masih cukup memberikan oksigen
jaringan dengan baik, asal volume sirkulasi dipertahankan normal. Terapi cairan yang
bertujuan mengembalikan volume sirkulasi menjadi normal, dengan kadar Hb dalam batas 6-
8 gm/dl, dengan demikian transfusi dapat ditunda. Apabila diperlukan transfusi, maka kadar
Hb akan dikembalikan menjadi 10 gm/dl dan tidak perlu sampai Hb jadi ”normal” 15 gm/dl,
karena dengan Hb 10 gm/dl oksigenasi jaringan sudah cukup. Transfusi 250-500 ml (1-2
kantong) pada pasien dewasa, tidak diperlukan pemberian transfusi, tetapi dengan diberikan
Ringer Laktat atau NaCl 500-1000 ml saja. Pemberian satu kantong darah menaikkan Hb
0,25 gm/dl, peningkatan sebesar ini dapat dicapai dengan pemberian gizi yang baik dan terapi
Fe++. Manfaat kenaikan Hb 0,25 gm/dl tidak layak dibandingkan dengan resiko penyakit
yang mungkin ditularkan.
Palang Merah Indonesia menyediakan darah utuh, darah yang dihadapkan, trombosit
dan plasma. Darah utuh (whole blood = WB), memiliki faktor koagulasi labil (Labile Factor)
dan trombosit jika belum lewat jam 6. lewat batas 6 jam itu, hanya Hb dan faktor pembekuan
stabil lainnya yang masih cukup banyak.
Darah diendapkan/dipadatkan
Packed Red Cell (PCR), digunakan untuk anemia yang tidak disertai hipovolemia.
Misalnya anemia khronis, atau anemia karena perdarahan akut yang sudah mendapat
penggantian volume sirkulasi. Dari 250 cc darah utuh diperoleh 125 cc PRC maka dari 250 cc
PCR didapat peningkatan Hb 2x lebih banyak dan resiko circulatiory overload dapat
dikurangi.
Trombosit
Dalam penyediaan transfusi ada 2 macam ialah plasma kaya trombosit (platelet Rich
Plasma) atau konsentrat trombosit (Thrombocyte Concentrate = TC). Satu unit PRP (50 cc)
bearsal dari 250 cc darah utuh, teoritis akan meningkatkan jumlah trombosit 5000/mm3.
Pemberian trobosit dilakukan pada trombositopenia (kadar 50.000 – 80.000/mm3) misalnya
pada edema hemoragik dan hemodilusi (penggantian perdarahan dengan cairan). Trombosit
diberikan cukup sampai perdarahan berhenti atau masa perdarahan (bleeding time) mendekati
2x nilai normal.
Plasma
Volume darah normal adalah 67-70 cc/kgBB. Kehilangan sampai 25% volume darah
masih dapat diganti cairan RL, NaCl 0,9% atau kombinasi dengan cairan koloid seperti
Dextran, Expafusin. Jika kehilangan mencapai 30-50%, maka selain RL/NaCl 0,9% harus
ditambahkan Darah Endap (PRC) terutama jika kadar Hb mencapai kurang 6-8 gm/dl atau
hematokrit 20-25%. Teknik hemodilusi ini tidak sesuai bagi pasien trauma kepala dan trauma
thorax karena bahaya edema otak atau edema paru.
D. Transfusi Autologous
Cara ini menggunakan darah pasien sendiri untuk mengganti perdarahan pada
pembedahan yang terencana (elektif). Cara yang dipakai adalah dengan menabung darah
sendiri atau retarnsfusi darah yang keluar.
Dalam waktu 2-7 hari sebelum pembedahan, 250-500 ml darah dapat diambil dari
pasien itu sendiri 8 ml/kg yang setara dengan 10-15% volume darahnya. Darah ini disimpan
untuk kemudian ditransfusikan kembali setelah pembedahan selesai. Jika perlu persiapan
darah lebih banyak maka prosedur dimulai dua minggu prabedah dengan mengambil 450 ml.
Pasien diberi makanan bergizi, F2++ dan vitamin yang cukup. Hari ketujuh prabedah,
diambil lagi 900 ml dan pada saat itu darah pengambilan ke I ditransfusikan kembali. Pasien
jadi hanya ”kehilangan” volume 450 ml saja, tetapi kita mempunyai 900 ml diluar tubuh
pasien tersebut. Darah pengambilan ke II disimpan untuk pembedahan dan diretransfusikan
setelah pembedahan selesai. Transfusi autologous ini dapat dilakukan jika kondisi umum
pasien baik, Hb kurang dari 10 gm/dl dan tidak ada penyakit Diabetes lanjut, penyakit
jantung koroner dan penyakit cerebrovaskuler.
Darah yang keluar selama pembedahan ditampung atau dihisap hati-hati, disaring dari
bahan diluar darah kemudian ditransfusikan kembali. Cara ini kurang dianjurkan.
RANGKUMAN
Dengan menghemat transfusi, dapat dicegah hospital acquired infection, utamanya
Hepatitis dan AIDS. Pemberian trnasfusi seharusnya diperhitungkan dengan matang,
sehingga berusaha menghindari transfusi yang kurang perlu.
2.3.4 keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa
Keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu segi yang menunjang
berlangsungnya metabolisme tubuh dan kehidupan. Penyakit dasar, Pembedahan dan anestesi
memberikan pengaruh besar dan menyebabkan perubahan-perubahan pada keseimbangan
cairan ini sangat berarti bagi proses penyembuhan dan pencegahan infeksi. Terapi cairan
meliputi: penggantian kehilangan cairan, memenuhi kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi,
untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan yang normal.
Water exess
Terjadi pada pasien-pasien yang mendapat terapi cairan dengan sedikit/tanpa Na,
untuk mengganti sejumlah besar kehilangan Na. Contoh yang jelas adalah kehilangan dari
saluran pencernaan (tubuh, diarrhea, cairan lambung) yang diganti hanya dengan cairan
Dextrose 5%. Kelebihan air terhadap keseimbangannya dengan Na, menyebabkan turunnya
kadar Na serum. Hiponatremi ini dapat menyebabkan edema pada sel-sel otak, dan timbulnya
gejala-gejala tergantung cepatnya penurunan tersebut. Keadaan ringan dapat diatasi dengan
restriksi air, tetapi bila kadar Na serum kurang dari 120 mEq/L, perlu diberi terapi dengan Na
hipertonis. Pemberian Na hipertonis ini harus berhati-hati pada pasien-pasien tua dengan
cardiac reserve yang sempit.
Kelebihan air dapat dikeluarkan dengan pemberian glukosa hipertonis atau
furosemide yang sebaiknya harus diberikan bersama-sama NaCl dan KCl. Terapi dengan
furosemide dalam jangka waktu lama juga akan menyebabkan penurunan kadar Na serum.
Water deficit
Terjadi bilamana tubuh kehilangan air lebih banyak daripada Na, misalnya pada
keadaan-keadaan: febris lama, hiperventilasi, tracheostomy tanpa humidifikasi, diabetes
insipidus, non ketotic hyperosmolar dehydration. Kekurangan 2% dari BB menimbulkan rasa
haus, naik berat terjadi kelemahan umum otot-otot, delirium dan convulsi. Terapi adalah
pemberian cairan cairan Dextrose 5% (isotonis)
Saline Excess
Umumnya terjadi sebagai akibat samping resusitasi cairan kolloid untuk mengatasi
syok dan mempertahankan volume ”CFC” pada masa-masa prabedah dan selama
pembedahan. Kelebihan volume yang isotonis ini umumnya ditolerir oleh pasien-pasien
muda, tetapi pada orang tua mudah menyebabkan decompensasi cordis dan edema paru-paru.
Terapi yang dilakukan adalah restriksi cairan, kalau perlu diberikan diuretic dan digitalisasi.
Saline Deficit
Terutama terdapat pada pasien-pasien yang mengalami dehidrasi, yang sering
disebabkan karena muntah, diare dan peritonitis. Kehilangan dari saluran pencernaan pada
masa pasca bedah memperbesar defisit ini. Terapi adalah penggantian dengan Ringer Lactat
atau NaCl 0,9%
Hipokalemi
Terutama disebabkan pemberian cairan tanpa kalium, atau pengantian tidak sesuai
pada kehilangan yang banyak misalnya kehilangan dari saluran pencernaan.
Gejala-gejala klinis adalah kelemahan otot, paraesthesia, paralytic ileus. Kecuali bila kadar K
serrum dibawah 2 mEq/L, terapi kalium dapat dilakukan dalam 2-4 hari. Pemberian kalium
jangan melebihi 200 mEq/24 jam, dengan kecepatan 10-20 mEq/jam, dicampur dalam cairan
infus.
Hiperkalemi
Pasien-pasien dengan gangguan fungsi ginjal, kerusakan jaringan luas dan
combustio/luka bakar akan terjadi hiperkalemi. Tanda-tanda klinis dapat hanya kelemahan
otot atau tanpa keluhan sampai terjadi gangguan irama jantung dan cardiac arrest. Umumnya
setelah kadar K serum lebih dari 6 mEq/L terjadi perubahan-perubahan khas pada EKG. Bila
kadar serum mencapai 6 mEq/L segera diberikan terapi untuk menurunkan sebagai berikut:
1. Pemberian calcium glukonat/chlorida 10-30 ml perlahan dalam waktu 2 menit.
Pemberian calcium ini kontra indikasi pada pasien yang mendapat terapi digitalis
2. Pemberian sodium bicarbonat 50-100 mEq untuk alkalinisasi darah
3. Pemberian Glukosa 25% bersama reguler insulin 1 unit setiap 4-5 gr glukosa
(pada renal failure 1 unit setiap 10 gr glukosa) sebanyak 200 dalam ½ jam
Penurunan kadar K dengan terapi ini dapat bertahan selama 6 jam.
Terapi terhadap asidosis metabolic dan alkalosis metabolic adalah memperbaiki dan
mengatasi penyebab. Pada acidosis metabolik koreksi dilakukan dengan Na bicarbonate
memakai patokan rumus: dosis 1/3 x Berat Badan x BE (mEq) Jumlah ini mula-mula
diberikan separuhnya, sisanya diberikan ½ atau 1 jam kemudian. Sebaiknya dilakukan
pemeriksaan ulangan setelah terapi.
7.55 7,45 pH
45 35 pCO2
-2 0 +2 BE
ACIDOSIS ALKALOSIS
pH + pCO2 : respiratorik
p11 + BE : Metabolik
D. Terapi Cairan Pada Kasus Bedah
Terapi cairan dilakukan sejak masa pra bedah, untuk mengatasi keadaan syok
karena dehidrasi dan perdarahan dan mengganti sebagian dari dehidrasi sedang dan ringan.
Kekurangan cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin diganti masa pra bedah.
Pada pasien-pasien yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang adekuat
kualitatif maupun kuantitatif, terapi cairan dan nutrisi diberikan lebih dini lagi. Hidrasi yang
cukup ini diperlukan untuk menghadapi trauma anestesi dan pembedahan, yaitu kehilangan-
kehilangan yang disebabkan perdarahan, edema jaringan karena manipulasi dan penguapan
dari cavum peritoneum. Pada laparatomi terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan air, elektrolit dan nutrisi, mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah
(cairan lambung, febris), melanjutkan penggantian deficit pra bedah dan selama pembedahan,
koreksi terhadapt gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.
Tabel Fluid and electrolit in the acutely ill adult (Shoemaker, WC)
Electrolyte Concentrations (mEq/L)
Volume K CI Na PH
Saliva 1000-1500 10-20 6-30 10-40 5,5-7,8
Gastric juice 2000-2500 10-20 10-30 60-120 1.5-7.3
Hepatic bile 600-800 2-12 80-110 130-153 6.2-8.5
Pancreatic juice 700-1000 3-10 30-50 150-143 7.8-8.8
Duodenol secretions 300-800 2-10 70-120 90-140 5.8-7.5
Colonic mucosal secretions 200-500 3-10 60-90 140-148 7.8-8.0
Total 8000-10000
Selain koreksi cairan, elektrolit dan asam basa yang telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, pada kasus pasca bedah perlu juga diperhitungkan asupan kalori mapun nutrisi
parenteral.
Kalori
Pasien-pasien dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan yang minimal,
pemberian karbohidrat 100-150 gr sudah memadai. Jumlah ini cukup untuk memenuhi
kebutuhan sel-sel yang harus memakai glukosa sebagai sumber kalori, dan dapat menekan
pemecahan protein sebanyak 50%. Pemberian kalori yang minimal ini berdasarkan
pertimbangan mengenai kesulitan-kesulitan pemakaian cairan hipertonis, yang diperlukan
untuk mendapatkan jumlah asam amine dan kalori sesuai kebutuhan. Tersedianya larutan
2,5% asam amine dengan 150 gr karbohidrat merupakan suatu pilihan baru, karena dengan
osmolalitas dibawah 800 mOsm memungkinkan pemberian lewat vena perifer. Dilain pihak,
penambahan asam amine ini dapat membuat N balance” mendekati” keseimbangan.
Kebutuhan basal air, elektrolit dan kalori pasca bedah pasien dengan operasi
herniotomy, berat badan 50 kg. Terapi cairan hari ke 0 pasca bedah dalam 24 jam adalah: Air
2500 cc (50 x 50 cc), Na 60 mEq, K 0 mEq dan kalori 100gr glukosa.
Cairan 500 cc PZ atau PZ Dextrose 5% dengan 2000 cc Dextrose 5% akan
menghasilkan total cairan 2500 cc cairan dengan 80 mEq Na dan 125 gr glukosa.
Parenteral Nutrition
Pasien pasca bedah tanpa komplikasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali, akan
kehilangan protein 75-125 gr/hari. Pemberian karbohidrat saja 100-150 gr menekan
pemecahan ini sebanyak 50%. Pemberian kalori dalam jumlah minimal yang berlangsung
terus-menerus, akan kehilangan protein menjadi cukup besar. Albumin dan enzym
pencernaan mengalami penurunan yang lebih cepat, karena adanya proses metabolisme yang
cepat. Hipoalbuminemia akan menyebabkan edema jaringan, infeksi dan dehisensi luka
operasi. Turunya enzym pencernaan akan menyulitkan proses realimentasi.
Total parenteral Nutrition bertujuan menyediakan nutrisi secara lengkap yaitu kalori,
protein dan lemak termasuk unsure-unsure penunjang nutrisi elektrolit, vitamin dan trace
element. Pemberian kalori sampai 40-50 Kcal/kg dengan protein 0,2-0,24 N/kg. Cairan
hipertonis yang mengandung semua unsur ini, memberikan beberapa masalah mengenai
teknik pemberian, akibat samping mapun monitoring.
Pada pasien yang diperkirakan realimentasi sesudah 3-5 hari, mengalami pembedahan
besar pada saluran pencernaan, keadaan umum/status gizi kurang baik diperlukan pemberian
parenteral nutrisi. Pada kasus-kasus yang saluran pencernaannya memungkinkan, gabungan
enteral dan prenteral nutrition merupakan suatu pilihan lain
E. Pemantauan
2.3.5 BURNS
Pendahuluan
Luka bakar mempunyai karakteristik yang berbeda dari kebanyakan luka yang lain. Dimulai
dari cara penanganan, perawatan, kesembuhan serta dampak perubahan pada tubuh, dimana
perubahan pada tubuh ini dapat terjadi secara lokal disekitar luka, mapun sistemik hingga
dapat menyebabkan kegagalan organ tubuh. Kesembuhan yang tidak sempurna juga dapat
mengakibatkan kecacatan seumur hidup, oleh karena itu diperlukan penanganan dan
perawatan luka bakar yang lengkap dan menyeluruh guna menurunkan angka mortalitas serta
morbiditas akibat luka bakar.
Berdasarkan penyebabnya, luka bakar dapat dikelompokkan menjadi berbagai jenis, antara
lain adalah luka bakar karena api, air panas, bahan kimia, listrik/petir, sengatan sinar
matahari, udara panas dan ledakan bom
A. Derajat Luka Bakar
Kedalaman kerusakan luka bakar tergantung pada derajat sumber panas, penyebab, dan lama
nya kontak dengan tubuh penderita. Derajat kedalaman luka bakar dibagi menjadi 3, yakni:
- Kulit hiperemik/eritem
Berupa reaksi inflamasi yang disertai proses eksudasi. Dibedakan menjadi dua, yakni:
a. Derajat II A (superficial)
- Organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebacea (benih
epitel) masih banyak
- Dijumpai bullae
- Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari tanpa bentuk
cicatrik
- Dijumpai bullae
- Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai
mencapai jaringan subkutan, otot, dan tulang
- Kulit yang terbakar berwarna abu –abu sampai dapat berwarna hitam kering.
- Seluruh organ kulit mengalami kerusakan, tidak tesisa lagi sisa elemen epitel
- Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, karena ujung – ujung sensoris telah
rusak
- Penyembuhan terjadi lama karena tidak dijumpai epitelisasi spontan. Tindakan graft
dan debridement hampir selalu diperlukan pada luka bakar derajat ini.
Digunakan pembagian oleh Wallace, yang membagi bagian – bagian tubuh atas 9% atau
kelipatan dari 9%, disebut juga dengan Rule of Nine atau Rule of Wallace:
Dewasa
Saat memeriksa pasien dengan luka bakar, diwajibkan memakai sarung tangan steril untuk
meminimalisasi resiko infeksi pada penderita. Pemeriksaan dilakukan secara menyeluruh
meliputi dari ABCDE pada primary survey dan dilanjutkan dengan secondary survey.
Bebaskan jalan nafas. Lakukan manuver pembebasan jalan nafas dengan tetap
memperhatikan ada tidaknya cedera cervical. Penderita luka bakar dapat juga mengalami
trauma lain seperti trauma kepala ataupun trauma pada cervical spine. Penderita luka bakar
dengan distress nafas dapat dipertimbangkan untuk dilakukan intubasi endotracheal. Selain
membebaskan jalan nafas dan pemberian oksigen yang adekuat, evaluasi juga ada/ tidaknya
trauma inhalasi.
Trauma Inhalasi
Terjadi dikarenakan penderita menghirup langsung uap panas atau uap dari produk yang
terbakar seperti jelaga dan bahas iritan khusus yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa
saluran nafas dan bronchospasme reaktif. Kerusakan mukosa ini diikuti dengan adanya proses
inflamasi yang menyebabkan edema saluran nafas, diperparah dengan peningkatan debris
endobronchial yang tidak bisa dikeluarkan akibat kerusakan system klirens silier, sehingga
menyebabkan obstruksi jalan nafas yang progresif. Mikroatelektasis difus dapat juga terjadi
karena hilangnya surfactant dan edema alveolar.
4. Penurunan kesadaran
5. Rasa tercekik, tersedak, suara serak/ batuk, malas bernafas, rasa tidak nyaman pada
mata atau tenggorokan (iritasi mukosa)
6. Tanda – tanda distress nafas
Selain menghirup langsung udara panas, penderita dapat juga mengalami intoksikasi
asap yang toksik, misalnya; hydrogen sianida, nitrogen dioksida, nitrogen klorida, akreolin,
yang juga dapat menyebabkan iritasi mukosa saluran nafas serta bronkokonstriksi. Sehinggga
obstruksi jalan nafas akan lebih hebat akibat trakeal bronkitis dan edema saluran pernafasan.
Intoksikasi karbon monoksida juga tidak dapat dipisahkan pada kejadian trauma
inhalasi. Gas CO mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap Hb dibandingkan dengan O2.
Hal ini akan mengakibatkan terbentuk nya karboksihemoglobin (COHb) yang tinggi,
sehingga distribusi O2 ke jaringan menurun dan terjadi hipoksia jaringan/sel. Kadar COHb
dalam darah dapat diukur, sehingga juga dapat digunakan untuk menunjang diagnose trauma
inhalasi.
Hipoksia jaringan yang progesif pada trauma inhalasi akan membawa penderita dalam
keadaan ARDS yang mengancam nyawa. Oleh karena itu, tindakan intubasi endotrakeal
hendaknya segera dipertimbangkan untuk menciptakan patensi dari jalan nafas dan
oksigenasi yang memadai.
Indikasi intubasi pada luka bakar antara lain; Adanya luka bakar sirkumferensial pada
leher, luka bakar pada wajah, edema laring atau faring (stridor), penurunan kesadaran,
kehilangan reflek jalan nafas, keracunan karbon monoksida dan sianida, luka bakar >40%
(resiko laryngeal edema sebagai bagian dari edema menyeluruh pada luka bakar luas),
terdapat tanda- tanda ARDS. Pipa endotracheal yang digunakan dipilih yang terbesar agar
dapat dilakukan bronchial toilet dan bronchoscopy dengan mudah.
Pada kasus yang berat mungkin memerlukan ventilasi mekanis, yang dilakukan
dengan teknik khusus seperti HFO (High Frequency Oscilation) atau protective ventilation
strategy dengan permissive hypercapnea untuk menjamin oksigenasi dan mencegah
timbulnya kerusakan paru lebih lanjut karena pasien luka bakar lebih sensitive terhadap
barotrauma.
Circulation
Pada luka bakar berat (derajat II atau III dengan luas >20%), terjadi perubahan
permeabilitas kapiler sistemik yang diikuti oleh ekstravasasi cairan ke jaringan interstitial.
Sehingga hipovolemik intravaskuler dan edema interstitial menjadi masalah utama dalam
penanganan sirkulasi penderita luka bakar. Hipovolemik intravaskuler menyebabkan perfusi
ke bagian distal tubuh semakin menurun sehingga memperburuk oksigenasi jaringan, jika
proses ini terus berlanjut, penderita akan mengalami syok.
Mekanisme syok pada luka bakar berat dapat juga terjadi karena penurunan cardiac
ouput hingga 50% dalam 30 menit pertama sebagai respon dari vasokonstriksi general tubuh,
yang dapat berakibat pada normovolemik hipoperfusi (burn shock).
Angka kematian pada penderita luka bakar sangat dipengaruhi oleh kecepatan
penanganan resusitasi cairan untuk mengatasi syok hypovolemia. Keterlambatan resusitasi
cairan dapat menyebabkan renal failure, sepsis, dan multiple organ failure. Selain itu
penanganan segera dari pembedahan untuk eksisi jaringan nekrosis juga sangat berpengaruh
pada angka kematian.
Terapi cairan diperlukan pada penderita luka bakar dewasa dengan luas luka bakar
>20% TBSA, sedangkan pada anak >10% TBSA. Tujuan resusitasi adalah memberikan cairan
dan elektrolit, namun dengan meminimalisasi edema, sehingga perfusi dan oksigenasi
jaringan adekuat yang pada akhirnya organ tubuh dapat berfungsi dengan baik.
Pemberian cairan yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi yang serius,
karena dapat berakibat terjadinya circulatory overload, edema paru, dan pleural effusion.
Pada pasien dewasa kadang terjadi abdominal compartment syndrome (tekanan intra
abdominal > 25 mmHg). Hal ini dapat mengakibatkan turunnya compliance paru,
mengganggu pengembangan paru, menaikkan tahanan jalan nafas, menurunkan venous
return, mengganggu cardiac output, menyebabkan oliguria, dan juga dapat menyebabkan
edema otak terutama pada anak.
Berbeda dengan traumatic injury yang lain, hipovolemia pada luka bakar terjadi
secara bertahap dan dapat diprediksi, sehingga resusitasi yang diberikan juga harus bertahap
dan dilakukan selama 24 jam. Bermacam-macam rumus dipakai untuk melakukan resusitasi
hipovolemia pada luka bakar. Hal itu tergantung dari rumah sakit dan pengalaman dari
pengelola burn unit. Rumus yang sering digunakan adalah Parkland Formula atau juga
dikenal sebagai Formula Baxter, rumus ini telah digunakan dan diajarkan pada Advanced
Trauma Life Support dan Emergency Medicine for severe burn di Amerika.
Terapi cairan pada luka bakar menggunakan Formula Baxter, dengan menggunakan
jarum besar melalui kateter intravena disambungkan ke cairan Ringer Laktat. Yakni:
Cara pemberian:
50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 8 jam pertama
50% kebutuhan cairan total 24 jam pertama diberikan pada 16 jam berikutnya
Komplikasi berupa edem paru dan pneumonia dapat terjadi akibat resusitasi cairan yang
berlebihan, sehingga pemberian cairan pada penderita luka bakar harus dicatat dan dimonitor
ketat melalui produksi urin.
Contoh:
Penderita perempuan dengan berat badan 40 kg, mengalami luka bakar lebih dari
grade 2, dengan luas luka bakar 50% (perhitungan menggunakan rule of nine), maka defisit
cairan berdasarkan Parkland Formula/Baxter yang akan diberikan dalam 24 jam adalah :
Pada resusitasi luka bakar harus dihindari penggunaan cairan normal saline karena dapat
menimbulkan hiperchloremic metabolic acidosis.
Disability
Dilakukan pemeriksaan tingkat kesadaran maupun trauma kepala yang mungkin dapat
menyertai penderita luka bakar.
Exposure
Periksa titik kontak utama pada luka bakar. Terutama jika luka bakar disebabkan
karena sengatan listrik, periksa apakah melewati garis tengah tubuh, tempat titik masuk dan
keluar nya aliran listrik dalam tubuh. Luka bakar akibat sengatan listrik dapat mengakibatkan
gangguan irama jantung, rabdomyolisis, thrombosis maupun oklusi kapiler berat.
1. Vital Sign
4. Laboratorium, meliputi:
Pemeriksaan fisik terhadap fungsi paru perlu diobservasi tiap jam untuk
mengetahui adamya perubahan yang terjadi antara lain; stridor, wheezing,
bronkospasme, atau dyspnea yang dapat merupakan gejala impending
obstruksi.
6. Penilaian gastrointestinal,
Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi
untuk mengetahui bising usus dan pemeriksaan secret lambung untuk
mengetahui adanya tanda- tanda Culing’s ulcer.
Pada penderita luka bakar anak, dewasa dengan luka bakar melingkari perut,
dan penderita yang menerima resusitasi cairan melebihi 6mL/kg/%luka bakar
beresiko untuk mengalami Abdominal Compartment Syndrome. Dekompresi
rongga abdomen diindikasikan jika tekanan intra-abdomen mencapai 20
mmHg
7. Penilaian Luka,
Bila dilakukan perawatan luka secara tertutup, dinilai apakah kassa basah,
terdapat tanda pus atau cairan berbau.
Intubasi trakea pada periode awal luka bakar (48 jam pertama) dapat menggunakan
suksinil kolin sebagai pelumpuh otot. Pada penderita dengan luka bakar berat (luas >20%),
kerusakan pada neuromuscular end plates diikuti dengan up-regulasi dari reseptor asetilkolin.
Pemberian suksinil kolin pada periode lebih dari 48 jam dapat mengakibatkan peningkatan
letal kadar potassium serum.
( D – MANAGEMENT)
Perlu diingat bahwa pemeriksaan GCS ini dilakukan jika pasien: tidak di bawah
pengaruh obat sedatif, pelumpuh otot, narkotik, alkohol, tidak hipotermia, hipotensi,
shock, hipoksia, dan diukur jika masalah di primary survey sudah diterapi dengan baik.
Jadi pemeriksaan ini harapannya dapat menilai fungsi otak murni, tanpa ada kelainan-
kelainan lain yang saat itu berpengaruh pada otak.
Penilaian GCS
V Score:
3 : memberi jawaban terhadap pertanyaan tetapi hanya berupa kata-kata yang tidak jelas
(inappropriate words)
M Score
PENANGANAN
Pada kasus trauma maka tujuan lain dari tindakan pertolongan terhadap pasien adalah
untuk mencegah terjadinya Cedera Otak Sekunder.
1. Menjaga Airway-nya tetap bebas, juga saat melakukan suctioning tidak boleh terlalu
agresif sehingga mengakibatkan oksigen tersedot. Pada kecurigaan Cervical Injury
pasien diposisikan in-line position
2. Memberikan support Breathing berupa oksigenasi yang adekuat, cegah hipoksia &
hiperkarbia
3. Menjaga agar Circulationnya tidak mengalami shock
4. Memposisikan kepala lebih tinggi 30º
5. Penanganan penyebab terjadinya coma (trauma, non-trauma)
6. Jangan menggunakan obat-obat anestesi yang dapat meningkatkan TIK (misal:
halothan, ketamin, morfin).
Bahan Bacaan
1. American Burn Association. Advance Burn Life Support Provider’s manual. 2001
2. Dripps RD, Ekkenhoff JE,Vandam LD, Intreocduction to Anesthesia. 7th edition.W.B
Saunders Company. Phladelpia-London Toronto,1988. Hal: 389-402
3. Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange
Medical Book. 2013.
4. Ipaktchi K, Arbabi S: Advance in burn critical care. Crit Care Med 2006; 34-S239
5. Eddy Rahardjo. Kumpulan Materi Kuliah Kegawatdaruratan Anestesi untuk S1
Kedokteran Universitas Airlangga. 2012.
6. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000.
7. Puger Rahardjo. Penanganan Luka Bakar. Departemen Anestesiologi dan Reanimasi-
RSUD Dr.Soetomo-Universitas Airlangga Surabaya. 2013
Kegawatan Airway
1. Gurgling adalah sumbatan jalan nafas diakibatkan oleh benda padat (B/S)
Jawaban : SALAH
2. See saw adalah tanda dari sumbatan jalan nafas total (B/S)
Jawaban : BENAR
Kegawatan breathing
1. Tension pneumothoraks paru kanan ditandai dengan hilangnya suara nafas pada kedua sisi (B/S)
Jawaban : salah
Kegawatan sirkukasi
1. Tindakan yg pertama kali harus dilakukan dalam mengatasi syok hipovolemi adalah menghentikan per
darahan (B/S)
2. Salah satu monitoring penting dalam resusitasi cairan adalah produksi urin pasien. (B/S)
Jawaban : benar
Jawaban : salah
4. Penanganan paling penting dalam syok anafilaktik adalah pemberiam kortikosteroid. (B/S)
Jawaban : salah
5. Hasil analisa gas darah adalah patokan utama terapi dalam gangguan sirkulasi. (B/S)
Jawaban : salah
6. Resusitasi cairan pada anak dilakukan dalam waktu yg lebih cepat, dikarenakan anak kurang bisa toler
ansi terhadap kekurangan cairan. (B/S)
Jawaban : salah
7. Dalam perawatan luka bakar derajat berat, perhitungan cairan, elektrolit maupun kalori yg dibutuhkan
harus dihitung dengan seksama. (B/S)
Jawaban : benar
Kegawatan Dissability
2. Pada survei primer, pemeriksaan kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (B/S)
Jawaban : salah
3. Salah satu cara untuk mencegah peningkatan Tekanan Intra Kranial adalah dengan head
up 45° (B/S)
Jawaban : salah
BAB III
Anestesi Dasar
3.1 Pendahuluan
Tugas utama profesi dokter adalah mempertahankan hidup dan mengurangi
penderitaan. Dengan berkembangnya waktu, ilmu kedokteran berkembang menjadi berbagai
spesialisasi yang landasan ilmunya dikembangkan dari ilmu kedokteran umum. Anestesiologi
dan reanimasi adalah salah satu cabang perkembangan ilmu kedokteran. Berkaca dari dua
tugas utama profesi dokter di atas, maka anestesiologi dan reanimasi menjabarkan bidang
kajiannya menjadi pengelolaan bantuan hidup serta pengelolaan stress dan nyeri.
Pada tahun 1900-an tugas pembiusan masih diserahkan kepada ahli bedah junior atau
mahasiswa kedokteran. Pada tahun 1905 baru dibentuklah organisasi ahli anestesi pertama di
Amerika Serikat. Dengan berjalannya waktu terjadi perubahan persepsi dan paradigma bahwa
pembedahan adalah suatu kegawatan yang terencana. Maka dari itu peran seorang dokter
anestesi makin berkembang. Selain mengelola life support (bantuan hidup) dan mengelola
stress dan nyeri, dokter anestesi wajib menciptakan kondisi optimal untuk pembedahan.
Dalam perjalanannya banyak ahli anestesi menyadari bahwa untuk mendapat keluaran
yang baik tidak cukup hanya melakukan bantuan hidup yang baik saat di kamar operasi.
Bantuan hidup yang baik perlu tetap diberikan sampai pasien berada di ruang pulih sadar
bahkan di Intesive Care Unit untuk pasien yang memerlukan prolonged life support. Dan
keluaran yang baik tak mungkin dapat diwujudkan apabila kondisi awal pasien sebelum
dioperasi tidak baik. Maka para ahli anestesi mengambil sebuah langkah lebih maju, yakni
memberikan bantuan hidup di Instalasi Gawat Darurat bahkan di tempat kejadian (pre
hospital) serta pada saat kejadian bencana.
Evaluasi harus dilakukan dengan ketrampilan dan pertimbangan yang benar untuk
mendapatkan hasil akhir yang memuaskan dari suatu proses anestesi. Hal ini disebabkan
dengan kunjungan praanestesi yang berkualitas kita dapat meramalkan penyulit yang
mungkin terjadi sehingga dapat mempersiapkan hal-hal yang dibutuhkan untuk mengatasi
penyulit.
II. A. Pernafasan
Jalan nafas diperiksa untuk menyingkirkan adanya sumbatan partial atau total dan
radang akut dari jalan napas. Pharyngitis, tonsillitis dan pilek mudah menyebarkan kuman-
kuman secara descending-infection ke paru menjadi pneumonia pasca bedah dan dapat
berakibat fatal hingga spasme jalan nafas pada saat induksi atau saat extubasi. Sekret yang
dihasilkan dapat membuntu jalan napas karena pada waktu anestesia, refleks protektif batuk
hilang dan pembuntuan ini mengakibatkan hipoksia. Pembedahan elektif harus ditunda
sampai radang akut ini sembuh. Gerak leher untuk mengangguk dan menengadah serta
menoleh kekiri dan kekanan dengan bebas diperiksa untuk memastikan bahwa jalan nafas
dapat ditolong dengan mudah jika terjadi obstruksi. Rahang bawah yang pendek dan tumor di
leher akan menyulitkan pemasangan pipa trakhea (intubasi).
Pemeriksaan paru meliputi pola nafas dan suara nafas tambahan untuk menyingkirkan
spasme bronchus (asthma bronchiale), ronkhi (bronchopneumonia) dan sebagainya. Gerak
cuping hidung dan cekungan sela iga waktu inspirasi menandakan adanya kerja otot nafas
berlebihan yang sering disebabkan gangguan di bronchioli atau alveoli. Penyakit paru yang
kronis diupayakan untuk menjadi tenang, tidak dalam keadaan kambuh akut (exacerbation).
Pasien dengan asma bronchiale diberi terapi terlebih dahulu dan ditunggu pada saat bebas
serangan. Orang tua atau perokok berat sering menderita Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, pasien dengan COPD harus ditunggu tidak ada infeksi (sputum jernih tidak kuning
atau hijau). Pasien dengan TB dipayungi dengan triple-drugs terlebih dahulu pada
pembedahan dapat ditunda, ditunggu sampai open TB menjadi closed.
Evaluasi dengan foto sinar X dada diperlukan terutama pada kasus trauma, untuk menemukan
patah iga, pneuomothorax, hemothorax, edema paru dan lain sebagainya. Pasien penyakit
paru menahun dan gagal nafas akut memerlukan pemeriksaan gas darah arterial untuk menilai
faal oksigenasi (pO2) dan ventilasi (pCO2)
B. Sirkulasi
Obat anestesia yang sebagian besar membuat depresi napas dan gangguan kontraksi
otot jantung, dalam keadaan hipoksia dapat timbul aritmia yang kadang-kadang diperlukan
terapi. Pasien dengan gangguan irama jantung diupayakan untuk diberikan terapi terlebih
dahulu. Gangguan irama (aritmia) dibagi menjadi aritmia supraventrikuler jika sumber
masalah berada di atrium sampai AV node; dan aritmia ventrikuler jika sumber di ventrikel.
Aritmia ventrikuler jauh lebih berbahaya daripada yang supraventrikuler.
Perfusi koroner yang tidak stabil memberikan keluhan angina pectoris. Ischemia
miokard yang sudah menetap mudah dikenali dengan adanya perubahan EEG berupa depresi
segmen ST dan gelombang T terbalik. Infark miokard tampak dari adanya gelombang Q yang
dalam, gelombang QS, dan pada fase akut nampak adanya elevasi segment ST. Semua
pembedahan elektif harus ditunda pada pasien infark akut sampai 6 bulan sesudahnya karena
sebelum itu resiko infark ulang sangat besar dan mortalitasnya sangat tinggi.
Pengukuran tekanan darah sejak saat pasien masuk rumah sakit menentukan apakah
pengobatan hipertensi harus diberikan atau diintensifkan agar pada waktu pembedahan tidak
timbul krisis hipertensi, infark atau payah jantung akut. Pasien memakai obat betablocker
dosis diatur seminimal mungkin sebab sinergisme dengan obat anestesia halothan misalnya
akan menyebabkan hipotensi atau syok yang sukar diatasi. Beta-blocker tidak boleh
dihentikan mendadak karena hal ini menyebabkan reaksi withdrawl yang berbahaya. Pasien
cacad jantung bawaan atau kelainan katub karena infeksi rheuma perlu dipayungi antibiotika
untuk mencegah terjadinya SBE (Subacut Bacterial Endocarditis)
Masalah kadar Hb penting dalam kaitan transport oksigen. Jika pembedahan dapat ditunda 2-
4 minggu, banyak pasien anemia yang dapat diperbaiki dengan meningkatkan gizi dan sediaan besi
(Fe). Sebaiknya untuk bedah elektif, Hb sama atau lebih dari 10 mg/dl. Ketentuan ini tidak mengikat.
Seorang pasien hernia berumur 30 tahun dengan Hb 8 mg/dl tidak perlu diberi transfusi dulu, karena
dia dapat menjalani pembedahan seperti biasa. Tetapi seorang wanita 60 tahun dengan Hb 8 mg/dl
yang akan menjalani hysterectomy perlu mendapat transfusi pra bedah, karena selain trauma
bedahnya cukup besar, juga kondisi umur, jantung dan organ lain tidak dapat mentolerir anemia.
Pada pembedahan darurat karena perdarahan, syarat untuk dapat dimulainya anestesia
dan pembedahan bukan kadar Hb tetapi apakah volume intravaskuler sudah cukup atau
belum. Transfusi sedapat mungkin ditunda sampai sumber perdarahan sudah dapat
dihentikan.
III. C. Faal Hati
Pasien dengan hepatitis akut menjadi berat bukan karena masalah obat anestesianya
“hepato-toxic”, tetapi menjalani anestesia/pembedahan merupakan tambahan stress. Proses
ini dapat dikenali dengan pemeriksaan kadar bilirubin direct dan total (test heymans v.d
Bergh) serta SGOT dan SGPT. Langkah-langkah mengisolasi pasien yang mengandung
antigen hepatitis B perlu diambil agar tidak menular ke pasien lain.
1. Klas 1
Pasien tanpa gangguan organik, fisiologik, biokemik maupun psikiatrik.
Proses patologis yang akan dilakukan operasi terbatas lokalisasinya dan tidak
menyebabkan gangguan sistemik.
2. Klas 2
Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai sedang, yang disebabkan baik
oleh keadaan yang harus diobati dengan jalan pembedahan maupun oleh
proses patofisiologis.
3. Klas 3
Pasien dengan ganguan sistemik yang berat, apapun penyebabnya.
4. Klas 4
Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa yang tidak
selalu dapat dikoreksi dengan pembedahan.
5. Klas 5
Moribund: Pasien yang hanya mempunyai kemungkinan kecil untuk bertahan
hidup
Operasi darurat: setiap pasien dari masing-masing kelas tersebut di atas yang
mengalami pembedahan darurat dipertimbangkan masuk dalam kondisi fisik
yang lebih jelek. Dibelakang angka yang menunjukkan kelasnya ditulis huruf
D yang berarti Darurat atau E yang berarti Emergency.
3.2.2 Premedikasi
Tujuan utama pemberian obat premedikasi adalah membebaskan pasien dari rasa
cemas, takut, rasa sakit, ketegangan otot dan aktifitas syaraf simpatis menjelang pembedahan
dengan memberikan sedasi psikis untuk melindungi keadaan basal fisiologis melawan stress
mental tersebut.
Adanya rasa takut dan nyeri rasa takut dan nyeri timbul reaksi fisologis somatic dan
simpatetik. Efek somatic ini timbul didalam kecerdasan dan menumbuhkan dorongan untuk
bertahan atau menghindari kejadian tersebut. Kebanyakan pasien akan melakukan modifikasi
terhadap manifestasi efek tersebut dan menerima keadaan yaitu dengan tampak tenang.
Reaksi simpatetik ini tidak dapat disembunyikan oleh pasien sehingga menimbulkan
perubahan dalam berbagai derajat pada setiap organ tubuh. Perubahan suplai darah kejaringan
ini sebagian karena naiknya kadar katekholamin dalam sirkulasi dan stimulasi eferen simpatis
ke pembuluh darah.
Tujuan premedikasi selain menghilangkan nyeri yang ada pada masa prabedah adalah
membantu efek obat anestesia serta mengurangi efek samping obat anestesia. Premedikasi
tepat kerjanya, menghasilkan pasien menjadi mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan tidak
mengalami depresi nafas maupun sirkulasi. Pasien menjadi mudah untuk bekerja sama.
VI. A. Sedativa
Yang termasuk golongan sedativa adalah barbiturat, benzodiazepin atau butyrophenon
Barbiturat
1. Benzodiazepin
Golongan ini sangat spesifik untuk menghilangkan rasa cemas. Diazepam bekerja
pada reseptor otak yang spesifik, menghasilkan efek anti anxiety yang selektif. Pada dosis
sedatif tidak menimbulkan depresi napas, mual atau muntah. Kerugian pemakaian diazepam
dapat terjadi sedasi yang berkepanjangan, rasa sakit didaerah suntikan intramuskuler dan
absorbsi sistemik yang lambat. Dengan diketemukannya Midazolam yang efeknya lebih kuat,
absorbsinya lebih cepat dan tidak menimbulkan sakit pada daerah penyuntikan, tetapi harus
waspada dengan adanya depresi napas. Dosis diazepam 0,2-0,3 mg/kg dan Midazolam 1/3
diazepam.
Butyrophenon
VII. B. Narkotik
Morfin dan petidin merupakan narkotik yang paling sering digunakan. Keuntungan
obat ini adalah mempermudah induksi, mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan
analgesia pra dan pasca bedah, mempermudah pemberian napas buatan dan mempunyai obat
antagonis noloxon. Narkotik ini mempunyai efek vasodilatasi perifer, sehingga pemberian
pada pasien dengan hipovolemi akan semakin berat dan dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik
VIII. C. Antikholinergik
Atropin adalah obat antikholinergik yang banyak dipakai sebagai obat premedikasi.
Atropin memunyai efek kompetitif inhibitor terhadap efek muskarinik dari acetycholine.
Atropin ini dapat menembus bloodbrain barrtier, placenta barrie dan traktus gastrointestinal.
Reaksi yang timbul pada pemberian antikholinergik adalah efek antisialagog, mengurangi
sekresi ion H asam lambung, menghambat reflek bradikardia dan memberikan efek sedasi
dan amnesi (terutama pada scopolamine). Efek yang kurang menyenangkan adalah adanya
gelisah, agitasi naiknya nadi, midriasis, cycloplegia, kenaikan suhu dan mengeringnya secret
jalan napas. Scopolamin mempunyai khasiat mengeringkan yang lebih kuat tetapi pasien
sering mengalami berbagai halusinasi. Dosis atropin 0,01 mg/kg dan maksimal 0,5 mg pada
orang dewasa.
2. Umur
Bayi sampai 2 tahun dan orang tua lebih dari 60 tahun, kedua kelompok ini sangat
peka terhadap sedatif dan narkotik, dosis harus dikurangi hingga ½ sampai 1/3 dosis
pasien normal
3. Status fisik, keadaan umum dan penyakit pasien saat itu.
Pasien yang syok membutuhkan obat jauh lebih sedikit. Narkotik tidak boleh
diberikan pada pasien gangguan nafas karena menyebabkan hipoventilasi yang lebih
berat. Pasien hipovolemia bila diberikan golongan narkotik atau obat yang
mempunyai efek vasodilatasi menyebabkan vasodilatasi dan penurunan tekanan darah
sampai syok. Narkotik juga harus dihindari pada trauma kepala karena hipoventilasi
yang terjadi akan menyebabkan tekanan intra kranial meningkat dan mengakibatkan
herniasi otak. Pasien dengan lambung penuh atau distensi, tidak boleh diberi sedatif
karena bahaya aspirasi.
Pada umumnya diberikan kombinasi beberapa obat untuk mendapat hasil yang diinginkan,
misalnya
1. Narkotik, benzodiazepin dan atropin.
2. Narkotik, droperidol dan atropin
3. Narkotik, antihistamin dan atropin
DAFTAR PUSTAKA
1. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth
Edition a Lange Medical Book. 2013.
2. Robert K. Stoelting. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice,
4th Edition. 2006
3. Lorraine M. Sdrales, Ronald D. Miller. Miller's anesthesia review. 2nd
ed 2013
4. Atkinson R.S.,Rushman G.B.,Alferd Lee J., A synopsis of Anesthesia.
10th John Wright & Sons Ltd, Bristol, 1988. Halaman:107-117
5. Dripps R.D., EkkenhoffJ.E., Vandam L.D. Introduction to Anesthesia
7th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia-London Toronto, 1988
Halaman:13-21.
Anestesi dasar
1. Persiapan puasa 8 jam pra operasi pada operasi pasien elektif dewasa ditujukan agar
pasien dalam keadaan dehidrasi ringan (B/S)
Jawaban : Salah
2. Agen anestesi volatile halotan mempunyai efek bradikardi (B/S)
Jawaban: Benar
3. Klasifikasi jalan nafas menurut Samsoon and Young kelas 2 dapat melihat P. molle,
faucium, uvula, arcus secara langsung (B/S)
Jawaban : Salah
4. Pasien laki-laki usia 40 tahun dengan DM terkontrol termasuk dalam status fisik ASA 2
(B/S)
Jawaban : Benar
5. Sedasi, analgesia dan pelumpuh otot adalah pilar dasar dari anestesi (B/S)
jawaban : Benar
BAB IV
NYERI
4.1 Pendahuluan
Nyeri adalah suatu rasa (sensasi) yang unik. Keunikannya oleh karena derajat
nyeri yang dirasakan tidak ditentukan hanya oleh intensitas stimulus tetapi juga oleh
perasaan dan emosi pada saat itu.
Pada dasarnya nyeri adalah reaksi fisiologis karena merupakan reaksi protektif
untuk menghindari stimulus yang membahayakan tubuh. Tetapi jika nyeri tetap
berlangsung walaupun stimulus penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi
perubahan patofisiologis yang justru dapat merugikan tubuh. Sebagai contoh, nyeri
karena pembedahan, masih tetap dirasakan pada masa pascabedah ketika pembedahan
sudah selesai. Nyeri semacam ini tidak saja menimbulkan perasaan menderita, tetapi
juga reaksi stres yaitu rangkaian reaksi fisik maupun biologis yang dapat menghambat
proses penyembuhan. Nyeri patologis atau nyeri klinis ini yang memerlukan terapi.
Lokasi nyeri dipengaruhi oleh lokasi pembedahan, nyeri hebat muncul jika
manipulasi pembedahan meliputi daerah toraks, abdomen atas, tulang besar, dan
daerah anorektal. Pembedahan pada daerah ini memerlukan penangkal nyeri kuat.
Lokasi pembedahan menentukan metode yang digunakan, apakah obat analgesik
diberikan melalui jalur intravena atau dilakukan dengan cara blok saraf. Sebagai
contoh, pembedahan spondilitis vertebra torakalis, dipilih pemberian penangkal nyeri
per oral atau intravena, karena adanya infeksi di daerah tulang belakang yang
merupakan kontra indikasi pemberian analgetik lewat kateter epidural.
Kecemasan prabedah akan meningkatkan nyeri. Oleh karena itu dengan pendekatan
psikologis sebagai persiapan pembedahan pasien dibantu untuk menyusun strategi
coping. Selain itu diberikan informasi mengenai prosedur pembedahan, anestesi dan
mengatasi nyeri pascabedah. Informasi dan pendekatan psikologis membantu pasien
mengatasi kecemasan yang akan mempengaruhi tingkat nyeri maupun reaksi stres
biologis yang diakibatkan stres dan nyeri.
Obat penangkal nyeri golongan opiat mempengaruhi fungsi vital terutama
pernafasan, oleh karena itu pemilihan metode dan obat penangkal nyeri dilakukan
dengan mempertimbangkan efek terhadap fungsi vital terutama pada kasus dengan
resiko tinggi.
Saat ini diterapkan terapi multimodal yaitu pengelolaan dengan menggunakan
pendekatan farmakologis dan non farmakologis bersama sama. Terdapat juga metode
analgesia balans, yaitu pendekatan farmakologis menggunakan beberapa obat dengan
titik tangkap yang berbeda. Cara yang manapun yang dipilih adalah penting untuk
mempertimbangkan rasio resiko – manfaat dengan resiko tinggi.
Khusus pada nyeri pembedahan dikembangkan juga konsep preemptive
analgesia yaitu bentuk pencegahan nyeri dengan memberikan analgesia sebelum
pembedahan dilakukan. Kunjungan prabedah dan pemberian premedikasi merupakan
prototipe analgesia preemptif. Berbagai penelitian terakhir menunjukkan pemberian
morfin atau anestesi lokal pra insisi pembedahan dapat mengurangi kebutuhan
analgesik pascabedah.
Dalam pokok bahasan ini tidak dibicarakan mengenai pemakaian anestesi
umum sebagai cara mengatasi nyeri perioperatif nyeri.
Cara Pemberian
Obat analgesik dapat diberikan lewat beberapa rute yaitu per oral,
intramuskular, intravena, supposutoria maupun dengan tehnik khusus yaitu intratekal
atau epidural. Untuk mempertahankan kadar terapeutik dalam darah pemberian harus
terjadwal dan berkelanjutan.
Tehnik khusus
TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) berupa alat yang
elektrode steril dapat diletakkan pada batas insisi operasi sebelum luka operasi ditutup
kasa steril. Diberikan stimulasi dengan frekuensi tinggi intensitas rendah yang dimulai
sebelum pasien pulih kesadarannya. Pemakaian TENS dapat mengurangi kebutuhan
opiat.
Penjelasan efek TENS berdasarkn teori Melzack bahwa rangsangan pada
serabut saraf diameter besar dapat menghambat transmisi dari serabut saraf diameter
kecil yang meneruskan impuls nyeri ke korda spinalis.
Epidural
Obat tertentu dapat diberikan melalui kateter ke dalam rongga epidural dan
menyebabkan analgesia karena terikat pada reseptor spesifik di neuron spinal cord.
Walaupun beberapa obat diketahui dapat menghambat transmisi impuls nyeri pada
neuron spinal cord (alfa agonis) yang umumnya dipergunakan adalah opiat.
Efektivitasnya sangat tergantung pada kelarutan dalam lemak, konsentrasi dan
distribusi pada spinal cord.
Efek samping yang terjadi adalah sama dengan efek samping pada pemberian
intravena, yaitu mual, muntah, pruritus, tetapi kurang memberikan efek sedasi dan
gangguan pernafasan. Keuntungan lain adalah tidak terjadinya blok sistim simpatis
demikian juga kelemahan ekstrimitas bila menggunakan obat anestesi lokakl. Depresi
nafas juga terjadi lambat, berbanding terbaik dengan kelarutan dalam lemak, terutama
terjadi pada morfin (larut dalam air) dengan angka kejadian 1%.
Efek samping lain adalah infeksi dengan port d’ entre tempat masuknya
kateter epidural. Untuk mengatasi efek samping narkotik tanpa menghilangkan efek
analgesia, pemberian antidotum naloxone dianjurkan diberikan dengan cara titrasi
kontinyu 5-10µg/kgBB/jam.
Blok saraf dengan obat anestesi lokal dapat juga dilakukan pada berbagai
kondisi nyeri lainnya, sebagai contoh reflex sympathetic dystrophy dan causalgia,
namun karena kemungkinan efek samping yang berbahaya, blok ini hanya dilakukan
oleh ahli anestesi.
PCA
Terapi analgesik pascabedah sering tidak memberikan kondisi bebas nyeri
seperti yang diharapkan. Beberapa faktor pengaruh antara lain tidak adekuatnya dosis
pemberian analgesik yang tidak tepat waktu atau terlambat diberikan yaitu setelah
nyeri timbul.
Toleransi nyeri yang berbeda pada tiap individu, juga tergantung dari jenis
operasi atau organ mana yang mengalami trauma jaringan, menyebabkan kebutuhan
analgesia dapat sangat bervariasi.
Patient Controlled Analgesia adalah suatu alat yang memungkinkan pasien
mendapatkan obat (intravena) sesuai kebutuhan analgesik dari waktu ke waktu hanya
dengan menekan tombol permintaan pada alat tersebut.
Sebelum dipakai, alat ini diatur untuk membatasi jumlah obat maksimal agar
tidak membahayakan penderita.
B. Obat sedatif
Bahan Bacaan :
FARMAKOLOGI
Pendahuluan
Anestesia umum mempunyai triad yaitu narkosis, analgesia dan relaksasi akan
tetapi tidak semua obat anestesi umum mempunyai sifat tersebut yang sempurna
sehingga sering dilakukan kombinasi berbagai macam obat anestesia. Untuk
menghindari penyulit akibat pemberian obat secara kombinasi tersebut diharuskan untuk
mempelajari setiap efek dari obat tersebut yang mungkin dapat bersifat sinergis,
potensiasi atau berlawanan. Pada dasarnya pemberian anestesi umum bertujuan
menghilangkan rasa nyeri dan disertai hilangnya kesadaran yang dapat kembali secara
reversibel. Cara pemberian anestesi umum dapat dilakukan dengan : Obat Anestesi
Inhalasi & Obat Anestesi Parenteral
5.2.1.1 Obat Anestesi Inhalasi
Pada anestesi inhalasi, berbentuk dan dan cair, yang berbentuk cair akan
mudah menguap untuk menjadi gas. Obat tersebut masuk melalui pernapasan ke
paru, berdifusi di alveoli masuk kedalam darah dan diedarkan ke otak. Kadar dalam
alveoli diatur dengan alat vaporizer yang menentukan tekanan gas/uap anestesi yang
dihisap. Jaringan yang mempunyai aliran darah lebih cepat, akan lebih cepat jenuh
dengan obat anestesi. Jika kadarnya telah mencapai tingkat yang efektif, pasien
menjadi tidak sadar, tidak merasakan nyeri dan refleks-refleksnya hilang (areflexia).
Jika dosis ditingkatkan lagi, tahapan anestesi menjadi makin dalam dan makin
banyak penyulit yang mengikutinya. Kedalaman anestesi ini dibagi dalam beberapa
tahapan (stadium, stage). Tahapan yang jelas dan mudah diikuti adalah yang dibuat
Guedel untuk eter. Untuk obat anestesia lain, kedalaman diperkirakan dari ada atau
tidaknya reaksi terhadap rangsang nyeri berupa gerakan-gerakan tubuh, nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, frekwensi nafas meningkat, keluarnya keringat
ditelapak tangan dan keluarnya air mata.
Difusi uap anestesia dari alveoli kealiran darah dipengaruhi oleh kadar dalam
alveoli, kelarutan dalam darah, kecepatan aliran darah melalui paru dan tekanan parsial
dalam arteri dan vena. Kelarutan dalam darah ditentukan oleh blood/gas partition
coefficient. (N2O 0.47; Halothan 3.6 dan Ether 12.1). Gas/uap anestesia yang mudah larut
dalam darah membutuhkan waktu yang lama untuk induksi dan lama juga untuk sadar
kembali. Jenis yang sukar larut dalam darah, dengan cepat menjadi jenuh dalam darah arteri
dan cepat berdifusi kejaringan otak sehingga pasien cepat menjadi tidak sadar. Ventilasi
paru mempengaruhi kecepatan masuknya gas anestesia kedalam peredaran darah.
Hiperventilasi mempercepat masuknya gas anestesia dalam sirkulasi dan jaringan.
Gas hampir tidak berbau, tidak mudah terbakar, tetapi dapat memudahkan
terbakar dan meledaknya obat anestesia yang mudah terbakar. N2O disimpan dalam
botol logam, sebagian dalam bentuk cair, hingga harus digunakan dengan botol berdiri
tegak. Khasiat anestesianya lemah sehingga hanya dapat dipakai pada operasi kecil
atau membantu mempercepat induksi.
Penggunaan N2O dilakukan dengan campuran oksigen dalam perbandingan
kadar N2O / O2 50% / 50% atau maksimal 70% / 30%. Khasiat analgesianya
digunakan sebagai kombinasi dengan obat anestesia lain yang tidak memiliki
khasiat analgesia misalnya: halothan, enfluran, isofluran. N2O tidak memiliki khasiat
relaksasi. Setelah anestesia selesai, N2O dihentikan dan diteruskan O2 100% selama
5-10 menit lagi untuk mencegah diffusion hypoxia.
B. Ether (diethyl-ether, di-etil-eter, eter)
Cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar dan mudah
meledak, lebih-lebih jika digunakan bersama O2. mudah teroksidasi menjadi peroksid
dan dengan alcohol membentuk asetaldehid, sehingga ether yang telah terbuka
beberapa hari seharusnya dibuang. Eter mempunyai bau yang merangsang. Induksi
dengan eter sukar dicapai dengan baik karena pasien sering menahan nafas akibat bau
yang kurang menyenangkan. Sekresi bronchus dan ludah meningkat. Hipersekresi dan
hipersalivasi ini dapat dicegah dengan premedikasi atropin 0.5 mg 1 jam sebelumnya.
Ether menyebabkan mual dan muntah, baik pada waktu induksi maupun pulih sadar
melalui mekanisme rangsangan lambung dan efek sentral. Eter mempunyai khasiat
narkosis baik, analgesia sangat kuat dan relaksasi otot bergaris sangat baik. Selain itu
eter mempunyai batas keselamatan sangat lebar. Dosis untuk tahap pemeliharaan
(maintenance) adalah 2-4%. Dosis maksimal yang diberikan waktu induksi adalah 15-
20%. Sampai pada tahapan yang dalam, pasien tetap dapat bernafas spontan,
meskipun reaksi pusat pernafasan terhadap CO2 menurun. Ether menyebabkan
bronchodilatasi. Sampai stadium III bidang 2, efek depresi otot jantung tak tampak
jelas karena ether merangsang syaraf simpatis serta sekresi adrenalin-nor adrenalin.
Pada stadium dalam, terjadi depresi nafas dan depresi otot jantung. Ether tidak
membuat otot jantung lebih peka terhadap rangsang katekholamin.
Selain ekskresi melalui paru, sebagian kecil keluar melalui urine, keringat,
air susu dan berdifusi secara utuh melalui kulit. Untuk memudahkan induksi
digunakan induksi digunakan ethyl chloride dengan tetes terbuka (open-drop) atau
ketamine iv/im. Pembedahan dilakukan pada tahap (stadium) III:
2. Bidang 2 untuk pembedahan rongga perut bagian bawah, Sectio Caesaria, hernia,
usus buntu dan sebagainya.
3. Bidang 3 untuk pembedahan rongga perut bagian atas dan lainnya yang
memerlukan relaksasi otot yang sebaik-baiknya. Pada bidang 3 ini telah terjadi
depresi nafas dan sirkulasi sehingga pasien sudah mengalami hipoventilasi yang
dapat membahayakan pasien. Cara yang lebih aman untuk mencapai relaksasi
yang baik adalah dengan diberikan obat pelumpuh otot
Tahap Anestesi
Ada 4 tahap (stadium, stage) anestesi
1. Tahap (stadium) 1, tahap analgesi. Mulai anestesi diberikan sampai hilangnya
kesadaran
2. Tahap II, tahap eksitasi (delirium) mulai dari hilangnya kesadaran sampai
permulaan tahap bedah. Tahap I dan II bersama-sama disebut tahap induksi.
3. Tahap III, tahap bedah (surgical stage)
Mulai dari berakhirnya tahap II sampai berhentinya napas spontan (arrest napas).
Pada tahap ini pembedahan dapat dilakukan. Tahap ini dibagi jadi 4 bidang
(plane)
4. Tahap IV, tahap kelumpuhan medulla (medullary paralysis)
Mulai dari berhentinya napas spontan sampai gagalnya sirkulasi (arrest jantung).
Tahap ini disebabkan oleh kelebihan dosis (overdose, terlalu dalam, keracunan)
sehingga terjadi kelumpuhan pada pusat pernapasan dan sirkulasi yang letaknya
di medulla oblongata.
Tanda Napas
Tanda napas adalah tanda yang paling penting karena:
a. Baik buruknya napas langsung mempengaruhi hidup matinya penderita
b. Dengan selalu mengawasi tanda napas sekaligus akan dapat diawasi ada
tidaknyagangguan napas.
c. Pada operasi di kepala tanda-tanda mata tak dapat dilihat karena tertutup
d. Jika tanda lain tidak cocok dengan tanda napas yang dipakai adalah tanda
napas.
Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai tanda napas adalah:
1. Irama, taratur atau tidak teratur
2. Amplitudo, besar atau kecil (dalam atau dangkal)
3. Sifat, napas dada atau perut
4. Fase, gerak dada serentak atau tidak dengan gerak perut.
Lebar Pupil
Banyak hal mempengaruhi lebar pupil karena itu harus dinilai dengan hati-
hati. Morphine mengecilkan pupil sebaliknya atropine melebarkan pupil. Pada
penderita diatas 50 tahun, lebar pupil tak dapat dipercaya karena pada beberapa
penderita pupilnya jadi kaku dan tak dapat melebar meskipun anestesi telah dalam.
Dengan singkat dapat dinyatakan bila pupil terdapat lebar anggaplah anestesi terlalu
dalam kecuali jika ada tanda-tanda lain yang menyangkal kaku, pupilnya tetap kecil
tetapi anestesi dapat sangat dalam.
Refleks-refleks
Dalam praktek ada 3 refleks yang perlu diperhatikan
1. Refleks bulu mata (eyelash reflex), yaitu penderita kedip bila bulu mata
disinggung. Refleks ini jadi negatif pada tahap III
2. Refleks pharynx, yaitu penderita muntah jika dinding belakang pharynx
disinggung. Refleks ini jadi negatif pada akhir bidang I. Jalan napas oropharinnx
baru dapat dipasang jika refleks ini sudah negatif.
3. Refleks larynx, yaitu penderita batuk jika ada benda asing di larynx. Refleks ini
hilang pada bidang 2. endotracheal tube baru dapat dipasang jika refleks ini sudah
hilang.
Bidang 1 (plane 1)
Napas : Tetur, dalam (amplitudo besar), gerak dada dan perut serentak
(waktu dada naik perut juga naik)
Amplitudo gerak dada dan perut sama atau hampir sama.
Pernapasan dada sangat nyata
(Full regular and automatic respiration which are equally
abdominal and thoracic in character G & G)
Bidang 2 (plane 2)
Napas : Sama seperti pada bidang 1 hanya besarnya (amplitudo) berkurang
Bola mata : Tak bergerak (fixed)
Pupil : Kecil
Bidang 3 (plane 3)
Napas : Napas perut mulai lebih besar dari napas dada. Gerak dada
ketinggalan (perut naik lebih dulu baru disusul dada)
Bola mata : Tak bergerak
Pupil : Mulai melebar (lebar sedang)
Reflex cahaya positif
Bidang 4 (plane 4)
Napas : Otot-otot interkostal telah lumpuh sama sekali
Napas hanya napas perut semata-mata
Ciri lain : Inspirasi sangat cepat (jerky, gasping) seperti orang
yang terisak (tersedu) waktu menangis. Pause (waktu
mengaso) setelah ekspirasi adalah lama akhirnya napas
berhenti sama sekali waktu penderita masuk tahap IV
Bola mata : Tak bergerak
Pupil : Melebsr hsmpir maximum, reflex cahaya negatif
C. Halothane (halotan)
Cairan tak berwarna, berbau enak, tak mudah terbakar atau meledak.
Induksinya cepat, dengan kadar 2-4% dapat dilakukan dengan inhalasi langsung
(terutama pada anak-anak) atau dimulai dengan thiopental 3-5 mg/kg intra vena
pelan-pelan. Kadar pemeliharaan 0.5-2%. Halotan khasiat analgesia kurang baik
sehingga diperlukan tambahan obat yang mempunyai sifat analgesia misalnya N2O
atau narkotik. Obat narkotik pethidin diberikan 1 mg/kg BB atau morfin 0.1 mg/kg
BB secara intra muskuler sebagai premedikasi atau diberikan tambahan selama
anestesia, seperti pethidin dengan dosis 0.2 mg/kg BB, i.v. Halotan tidak melemaskan
otot bergaris kecuali otot masseter (rahang)
Cairan jernih, mudah menguap, tidak berbau merangsang dan tidak iritasi mukosa
jalan nafas, tetapi sangat berbahaya sebab induksi berlangsung sangat cepat (2-3 menit) dan
stadium eksitasi tidak terlihat nyata. Batas keselamatannya sangat sempit. Tahap pembedahan
dengan kadar dalam darah 20 mg% dapat dicapai dengan menghisap uap 4 vol%. Pada kadar
40 mg% sudah terjadi apnea. Ethyl chlorida dipakai sebagaiobat induksi anestesia pada orang
dewasa yang sehat tanpa kelainan sistemik (PS-1, ASA). Cara pemberian dengan diteteskan
pelan-pelan sebanyak 7,5 – 10 ml ke kasa opendrop sampai pasien tidak sadar dan anestesia
dilanjutkan dengan eter. Menyemprotkan obat ini langsung ke kasa tidak dapat diketaui
jumlah yang diberikan sehingga dapat terjadi over dosis yang berakibat kematian.
Ethylchloride menyebabkan depresi miokard sehingga curah jantung sangat menurun. Otot
jantung jadi peka catecholamine sehingga mudah terjadi aritmia ventrikuler. Dengan
disemprotkan pada kulit dapat terjadi anestesia lokal, anestesianya hanya berlangsung 1 menit
sewaktu kulit beku pada suhu minus 20 C. pembekuan. Hal ini sebenarnya merusak sel-sel
dan membuat jaringan menjadi peka infeksi dan penyembuhan luka terhambat.
Induksi lambat dan waktu pulih sadar berlangsung beberapa jam, tetapi khasiat
analgesia sangat baik bahkan sudah mulai tampak meskipun pasien masih sadar.
Digunakan untuk anestesia singkat pada insisi abses, penjahitan perineum
(episiotomi), curettage dan nyeri persalinan (nyeri karena his). Relaksasi otot-otot
bergaris yang terjadi tidak sempurna. Pada tahap pembedahan sering terjadi
pernafasan cepat dan dangkal, lalu kadang-kadang diikuti apnea mendadak.
XVIII. F. Enfluran
Enfluran (CHF2OCF2 CHFCI) adalah hidrokarbon halogen yang kuat (MAC
enfluran 1,68% didalam oksigen). Ia kelompok senyawa sintetik yang lebih baru,
yang dibuat untuk mengkombinasi ikatan eter stabil (untuk efek anestesi) dan molekul
halogen. Induksi cepat dan gangguan pernafasan dan sistem kardiovaskular timbul
seperti pada pemberian halotan. Enfluran tidak memiliki efek sensitisasi myocardium
terhadap obat blok neuromuskular. Beberapa kasus hepatotoksisitas seperti halotan
juga ditemukan. Hal ini mungkin disebabkan oleh kenyataan bahwa persentase
enfluran yang mengalami biotransformasi hanya kecil bila dibanding dengan halotan.
Walau demikian, enfluran tampak cukup kuat untuk menimbulkan disfungsi ginjal
yang mungkin berhubungan dengan kenaikan kadar plasma fluorida anorganik.
Walaupun belum ada cukup data untuk membuktikan bahwa tingkat plasma fluorida
anorganik bersifat nefrotoksik, namun lebih baik menghindari atau membatasi
penggunaan enfluran pada pasien penyakit ginjal atau yang mengalami transplantasi
ginjal. Dalam jumlah persentase yang kecil pada pasien normal, penggunaan enfluran
tampakadanya pembentukan pola elektroensefalografi (EEG) yang menyerupai tanda
epilepsi. Bukti klinik perubahan EEG yang abnormal tampaknya meragukan, terutama
karena lebih jarang dibanding dengan pasien epilepsi. Karena itu, lebih baik
menghindari penggunaan enfluran pada pasien epilepsi
XIX.
XX. G. Isofluran
Isofluran (CHF2 OCHClCF3) adalah tambahan terbaru dari kelompok
hidrokarbon halogen (diperkenalkan tahun 1980). MACnya 1,15% didalam oksigen.
Isofluran tidak atau hanya sedikit mengalami biotransformasi, dikeluarkan dalam
bentuk tidak berubah melalui paru-paru, sehingga dianggap sangat mendekati konsep
obat anestesi “ideal” yang sudah lama dicari. Depresi terhadap miokard lebih kurang
dibanding dengan obat derivat halogen lain, tetapi merupakan vasodilator yang lebih
kuat, dan terjadi potensiasi dengan obat pelumpuh otot golongan nondepolarisasi.
Pada konsentrasi lebih dari 1 MAC isoflurane menyebabkan kenaikan aliran darah
cerebral dan tekanan intrakranial. Pengaruh terhadap fungsi ginjal adalah menurunkan
aliran darah ke ginjal yang berakibat menurunnya produksi urine
5.2.1.2. Obat Anestesia Parenteral
Obat anestesia parenteral setelah penyuntikan, kadar obat anestesia dalam darah
meningkat, lalu diikuti kenaikan kadar dalam jaringan otak sehingga pasien menjadi tidak
sadar. Untuk mempertahankan tahapan anestesia, kadar dalam darah harus dipertahankan
dengan penyuntikan berkala atau memberikan tetesan secara kontinyu sebab obat tersebut
mengalami metabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal. Jika pemberian obat anestesia
dihentikan , kadar dalam menurun, terjadi difusi balik dari jaringan otak ke dalam darah dan
pasien sadar kembali. Makin lama anestesia berlangsung, makin lama juga proses sadar
kembalinya karena jaringan tubuh selain otak juga menjadi jenuh dengan obat anestesia.
Ada beberapa obat paranteral antara lain: Thiopental, ketamin dan propofol.
Serbuk kekuningan berbau belerang ini harus dilarutkan dalam air menjadi 2,5% (25
mg/cc). Larutannya bersifat sangat alkalis, pH = 11 dan stabil selama 24-48 jam asal tidak
menjadi keruh.
Induksi intravena berjalan cepat, dalam 30-60 detik pasien sudah tidak sadar.
Pemberian intravena harus dilakukan secara perlahan, 3-5 mg/kg BB, sambil melihat
respons pasien, sampai mata tertutup dan reflex bulu mata hilang. Hilangnya
kesadaran disebabkan depresi kortek dan Reticular Activating System. Pada dosis
yang lebih banyak terjadi depresi pusat pernapasan di medulla oblongata. Pasien cepat
kembali sadar dalam 3-5 menit, karena redistribusi obat dari otak ke jaringan lain,
bukan karena cepatnya metabolisme di hati atau eksresi di ginjal. Thiopental sesuai
untuk tindakan singkat seperti reposisi patah tulang yang tertutup, reposisi dislokasi
sendi dan insisi abses. Tiopental sebagai obat induksi yang dilanjutkan dengan halotan
akan berjalan lancar, tetapi sebaliknya bila dilanjutkan dengan eter akan mengalami
banyak kendala sebab thiopental menaikan kepekaan refleks jalan nafas sedang disisi
lain eter merangsang jalan nafas. Khasiat analgesia dan relaksasi otot bergaris kurang.
Tidak menyebabkan mual atau muntah.
XXI. Pengaruh pada Otak
Metabolisme dan konsumsi O2 sel-sel otak, aliran darah dan tekanan intra
cranial pada pemberian tiopental akan menurun. Penurunan tekanan intra cranial
terjadi 1/3 pada tahap anestesia yang ringan dan sampai ½ pada tahap yang lebih
dalam.
Pasien rawat jalan tidak boleh mengemudikan mobil atau menjalankan alat-
alat meskipun tampaknya mereka sudah sadar baik kembali. Waspadalah terhadap
pasien yang mengeluhkan rasa nyeri ditempat suntikan, karena ekstravasasi
menyebabkan nyeri hebat dan nekrosis, sedang suntikan intra arterial menyebabkan
gangrene.
Batas keselamatan ketamin sangat lebar, overdosis hanya menyebabkan tidur yang
lebih lama tetapi tidak menambah dalamnya stadium anestesia. Tidak seperti obat anestesia
umum lainnya, ketamine memberikan anestesia dissosiatif. Dalam keadaan tidak sadar, pasien
dapat bergerak-bergerak tanpa tujuan, membuka mata dengan gerakan nystagmus atau
bersuara. Khasiat analgesia somatic sangat baik tetapi untuk analgesia visceral kurang. Pada
15% pasien pasca pemberian ketamin terjadi emergence reaction pada waktu mulai sadar
kembali berupa reaksi gelisah, mimpi yang tidak menyenangkan atau halusinasi. Reaksi ini
dapat dikurangi dengan diazepam atau midazolam.
Pada pemberian ketamin terjadi peningkatan tonus otot sehingga obat ini hanya baik
untuk pembedahan superficial yang tidak memerlukan relaksasi. Untuk operasi laparotomi
dan tindakan obstetric seperti forceps, versi-ekstraksi, pengambilan placenta manual tidak
dapat dikerjakan dengan baik.
Tekanan intra kranial sangat meningkat setelah pemberian ketamin sehingga jangan
digunakan pada pasien dengan trauma kepala, contusio cerebri dan tekanan intra cranial yang
sudah meninggi. Jika terjadi konvulsi pada waktu anestesia, berikan diazepam i.v. Selain
penyulit overdosis absolut karena batas maksimal dilewati, dapat juga terjadi overdosis relatif
terutama pada penyuntikan di daerah yang kaya pembuluh darah seperti urethra, perineum,
mukosa atau injeksi intravaskuler. Tanda-tanda intoksikasi berasal dari syaraf pusat berupa
pusing, paresthesia di bibir yang menyebar keseluruh tubuh, diikuti kesadaran menurun,
tremor, konvulsi, apnea. Tanda-tanda kardiovaskuler berupa hipotensi, bradikardi, keringat
dingin, mual/muntah dan cardiac arrest. Pertolongan harus segera diberikan dengan O2 dan
kalau perlu juga nafas buatan. Apabila tak teraba denyut nadi leher maka segera lakukan
resusitasi jantung, dan jika hanya hipotensi, diberikan ephedrine 10-20 mg i.v. diulang sampai
tekanan darah lebih dari 100 mmHg. Apabila terjadi kejang (konvulsi) diberikan thiopental
50-100 mg atau diazepam 5-10 mg intravena, diikuti nafas buatan.
C. Propofol (Diprivan)
Propofol memberikan efek potensiasi depresi SSP dan sirkulasi dengan obat golongan
narkotik, sedatif, obat anestesi inhalasi. Potensiasi juga terhadap efek blokade neuromuskuler
dari golongan obat pelumpuh otot nondepolarisasi. Untuk mengurang efek yang tidak
menguntungkan pada manula dosis dikurangi, demikian juga pada pasien bedah beresiko
tinggi dan digunakan bersama obat narkotik dan sedatif. Pemberian intravena dilakukan ke
dalam vena besar dengan menambah lidokain IV (0,1 mg/kg) pada propofol untuk induksi
yang bertujuan memperkecil rasa nyeri. Karena efek propofol terhadap tekanan perfusi otak,
maka tidak disarankan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pada pasien
riwayat epilepsi atau gangguan kejang. harus diberikan dengan hati-hati Pada operasi Caesar
dosis induksi propofol dapat berakibat adanya konsentrasi vena umbilikalis yang tinggi,
sehingga bayi yang lahir mengalami hipotonus otot, dan skor Apgar 1 dan 5 menit yang
rendah. Propofol yang berasal dari emulsi kedelai dapat membantu pertumbuhan cepat
bakteri, sehingga teknik aseptik yang ketat harus dipertahankan selama penanganan.. Ampul
propofol harus dibuang setekah sekali digunakan. Pada pasien dengan alergi terhadap telur
atau minyak kedelai merupakan kontraindikasi pemakaian propofol.
1. Pendahuluan
Obat anestesia regional bekerja dengan menghilangkan rasa sakit atau sensasi
pada daerah tertentu dari tubuh.
Hubungan antara kelarutan dalam lemak dengan potensi obat berbaring lurus,
makin mudah larut dalam lemak, makin tinggi potensinya. Hal ini disebabkan karena
dinding sel saraf terdiri dari lipoprotein, sehingga obat yang mudah larut dalam lemak
akan lebih mudah penetrasi ke dalam dinding sel saraf.
XXV.
XXVI. Ikatan dengan protein
Ikatan dengan protein obat anestesi regional berhubungan dengan lama kerjanya,
semakin tinggi kemampuan ikatan proteinnya, makin lama kerjanya, atau sebaliknya. Procain
mempunyai ikatan protein yang lemah, sedangkan Bupivacain mempunyai ikatan protein
yang kuat. Hubungan antara ikatan protein dan lama kerja anestesia regional disebabkan oleh
karena dinding sel saraf mengandung kurang lebih 10% protein.
pKa
pKa suatu kimia dapat diartikan sebagai pH, dimana jumlah zat yang
berionisasi dan yang tidak berionisasi dalam keadaan seimbang. Bentuk basa yang
tidak bermuatan dari obat anestesia regional itulah yang berperan aktif dalam
menghambat konduksi saraf. Hanya bentuk basalah yang dapat menembus dinding sel
masuk kedalam sel saraf. Dimulainya efek analgesia obat anestesi regional tergantung
dari banyaknya bentuk basa yang terbentuk dalam suatu larutan, pada saat obat
tersebut disuntikkan ke dalam jaringan tubuh yang pHnya sekitar 7,4. Pada dasarnya
jumlah bentuk basa yang akan terbentuk berbanding terbalik dengan pKa suatu obat
anestesia regional. Lidocain yang memiliki pKa 7,74, bila disuntikkan ke dalam tubuh
yang pH nya 7,4, maka 35% zat tersebut dalam bentuk basa. Tetracain yang pKa nya
8,6, maka hanya 5% dalam bentuk basa. Semakin tinggi pKa nya, semakin lambat
onset analgesinya. Jadi obat anestesi regional yang mempunyai pKa mendekati pH
tubuh, dimulainya efek analgesi akan lebih cepat.
A. Efek vasodilatasi
Potensi serta lama kerja obat lokal anestesi tergantung dari banyaknya obat
tersebut yang berdiffusi ke dalam reseptor nyeri yang ada pada dinding saraf. Setelah
penyuntikan, sebagian obat akan berdiffusi ke dalam saraf dan sebagian lagi absorbsi
pembuluh darah. Kecepatan absorbsi ini tergantung dari vaskularisasi daerah yang
disuntik. Semua obat lokal anestesi bersifat vasodilator, kecuali cocain. Pada invitro,
potensi analgesia dari Lidocain jauh lebih tinggi dari Mepivacain, walaupun lama
kerjanya sama. Namun pada invivo, potensi analgesia Mepivacain sama dengan
Lidocain, tetapi lama kerja Mepivacain lebih panjang, hal ini menunjukkan effek
vasodilator Lidocain lebih besar dari pada Mepivacain, sehingga absorbsinya lebih
cepat dan hanya sebagian kecil saja menetap pada saraf.
Absorbsi
a) Tempat penyuntikan
Absorpsi daerah interkostal paling mudah, diikuti ruang epidural di lumbal, pleksus
brakhialis dan jaringan subkutis. Pemberian topikal intra-trakheal efeknya jauh lebih mudah
di banding dengan pemberian nasal, urethra atau buli-buli. Oleh karena itu pemberian intra-
trakheal lebih mudah menimbulkan intoksikasi. Untuk prosedur intubasi, pemberian Lidocain
intra-trakheal sampai 100-200 mg masih dianggap aman.
b) Dosis
Pada dasarnya, konsentrasi dalam darah berbanding lurus dengan dosis total.
Lidocain 200 mg disuntikkan ke dalam ruang epidural lumbal, maka konsentrasi
dalam darah rata-rata 1.5 Ug/ml dan jika dinaikkan menjadi 600 mg, konsentrasinya
akan naik pula menjadi 4 Ug/ml. Gejala intoksikasi akan timbul bila konsentrasi
Lidocain dalam darah lebih dari 7 Ug/ml.
Distribusi
1.
Perbedaan antara bentuk ester dan amide terletak pada, tempat dimana ia
dimetabolisme dan potensi allerginya. Golongan ester akan dihidrolisa dalam plasma
oleh enzim pseudo-choline-esterase, sedangkan golongan amide di metabolisir dalam
hati. PABA (Para Amino Benzoic Acid) merupakan salah satu hasil hidrolisa dari
golongan ester. PABA inilah yang sering menimbulkan reaksi allergi. Sedangkan
metabolisme golongan amide tidak menghasilkan PABA, sehingga jarang
menimbulkan reaksi allergi.
A. Cocaine
Pertama kali diperkenalkan oleh Koller pada tahan 1884, yaitu dengan
pemberian cocaine secara topical. Merupakan alkaloid yang dihasilkan dari daun
cocaine Saat ini masih dipakai dalam bentuk garam HCl, dengan konsentrasi 4-10%,
untuk anestesi topical hidung, pharynx dan tracheo-bronchial. Untuk satu kali
pemakaian, tidak boleh lebih dari 200 mg.
B. Procaine
C. Chloroprocaine
Penambahan halogen pada bagian aromatik dari molekul procaine,
menyebabkan lebih cepat dihirolisa dalam plasma, sehingga kurang toksis dibanding
asalnya. Chloropracaine-HCl (Nesacaine), seperti procaine, tidak aktif secara topical,
tetapi lebih kuat dan kerjanya lebih pendek. Konsentrasi untuk injeksi: 0,5-2,0%.
Dosis maksimal 1 gram.
D. Tetracaine
Tetracaine-HCl (Pontocaine, Pantocaine, Amethocaine), kekuatannya lebih
tinggi, karena dihidrolisa dengan pelan di dalam plasma maka daya kerjanya lebih
lama, toksisitas sistemik lebih besar. Tetracaine untuk injeksi dalam larutan 0,1%.
Untuk satu kali pemakaian, dosis maksimal adalah 100 mg.
A. Dibucaine
Dibucaine-HCl (Nupercaine, Percaine, Cinchocaine), adalah obat anestesia
regional yang kuat dengan toksisitas sistemik yang tinggi dan daya kerja yang lama.
B. Lidocaine
Lidocaine-HCl (Xylocaine), derivat acetanilide, diperkenalkan oleh Lofgren
pada tahun 1948. Keuntungan utama Lidocaine adalah mulainya cepat, bebas iritasi
lokal. Sebagian obat dimetabolisir di mikrosome hepar dan sebagian lagi dikeluarkan
melalui urine dalam bentuk yang tidak berubah. Obat ini dua kali lebih toksis dari
pada procaine. Untuk injeksi, digunakan konsentrasi 0,5-2,0%, sedangkan untuk
topical anestesi digunakan konsentrasi 4%. Dosis maksimal yang diberikan tanpa obat
vasokonstriktor (adrenalin) adalah 3 mg/kg berat badan dan 7 mg/kg berat badan bila
dengan adrenalin. Lidocaine dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai
sebagai pengganti golongan ester bila allergi terhadap golongan.
XXIX. C. Mepivacaine
Mepivacaine-HCl (Carbocaine) bekerjanya sama cepat seperti Lidocaine,
tetapi lama kerjanya lebih lama 20%. Atas dasar ini tidak diperlukan penambahan
adrenalin pada blok saraf. Konsentrasi yang dianjurkan adalah 1-4% untuk injeksi dan
anestesi topical, dengan dosis maksimal 500 mg. Meskipun iritasi jaringan minimal,
obat ini tidak digunakan untuk anestesi spinal.
D. Prilocaine
Prilocaine (2-propylamino-alpha-propiotoluidide, Citanest), mempunyai efek
minimal sama effektifnya dengan Lidocaine, dalam hal konsentrasi dan lama
kerjanya. Kerugian utama adalah terbentuknya Methemoglobin, yang dalam beberapa
kasus bisa mencapai 10% dari konsentrasi Hb. Adanya Methaemoglobine akan
menyebabkan, kurva dissossiasi oksigen untuk Hb akan bergeser ke kiri, sehingga
terjadi cyanosis. Pada orang normal tidak begitu merugikan, tetapi merugikan pada
orang yang anemi. Pada fetus bila terjadi bila terjadi transfer methhaemoglobine lewat
placenta. Akan merugikan fetus tersebut.
E. Bupavacaine
Bupivacaine-HCl (Marcaine) disentesa tahun 1975 oleh Ekenstam, merupakan
derivat anilide. Obat ini lebih kuat dan lebih lama kerjanya dibandingkan dengan
Lidocaine atau Mepivacaine. Digunakan dalam konsentrasi 0,25-0,75%. Jumlah total
untuk satu kali pemberian maksimal 200-500 mg. Pada konsentrasi rendah, blok
motorik kurang adekwat. Untuk operasi abdominal, diperlukan konsentrasi 0,75%.
Onset anestesi lebih lambat dari pada Lidocaine atau Mepivacaine, tetapi lama
kerjanya 2-3 kali lebih lama.
F. Etidocaine
Etidocaine (Duranest) merupakan obat anestesia regional yang paling baru.
Struktur seperti lidocaine, tetapi potensinya lebih besar dan masa kerjanya lebih lama.
Pendahuluan
Obat-obatan yang dibutuhkan untuk mengatasi keadaan gawat harus disiapkan dan
disediakan di tempat yang mudah terjangkau. Pemberian obat darurat ini berdasar
keadaan pasien pada saat tersebut. Pemberian yang tidak tepat dosis, tidak tepat waktu,
tidak tepat cara pemberian dan tidak tepat diagnosis akan memperburuk keadaan pasien.
A. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
· Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung.
Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat
sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik lainnya, dengan
demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang pembentukan
focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga menyebabkan
perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih cepat.
Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari
atrium ke nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang
terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin
memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya.
Epinefrin memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat
denyut jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik
tanpa mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja
jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang
berlebih disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga
menimbulkan kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan
akhirnya fibrilasi ventrikel.
· Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit,
mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ
tersebut reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh
epinefrin dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih
besar pada epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi
bereaksi dengan kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh
darah menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan
tekanan darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang
kurang sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih
ada pada kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada
pemberian epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu
penghambat reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan
vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal
yaitu suatu kenaikan tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul
sebelum penurunan tekanan darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai
jantung oleh epinefrin.
Pada manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang
menimbulkan kenaikan tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak,
tetapi menimbulkan peningkatan aliran darah otak.
Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak mempengaruhi tekanan
darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan mengurangi aliran darah
ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang volume urin mungkin
bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah arteri maupun vena paru
meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi pembuluh darah paru,
redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat konstriksi vena – vena
besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan tekanan darah paru.
Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian karena adema paru.
· Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara
merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali
bila sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester
kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan
lain – lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma,
epinefrin juga menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast
melalui reseptor β2, serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui
reseptor α1.
· Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka
melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.
Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi
aktivasi reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang
menstimulasi sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β
pada sel α pancreas. Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan
perifer, sebagian akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung
pada otot rangka. Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam
darah dan penurunan kadar glikogen dalam hati dan otot rangka.
Epinefrin melalui aktivasi reseptor β meningkatkan aktivasi
lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga mempercepat pemecahan
trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak
bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik epinefrin terlihat sebagai
peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30% pada pemberian dosis
terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan katabolisme lemak, yang
menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat diikhtisarkan
sebagai berikut :
· Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma
atau akibat obat.
Farmakokinetik
· Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi
local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat
terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya
terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama
bila digunakan dosis besar.
· Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin
terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan
MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar epinefrin
mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang tidak
diubah dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh
dalam urin hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin
dan NE utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
B. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat
efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan
oleh getah lambung.
C. Kontraindikasi
D. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien
hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap efek
pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik epinefrin memperberat gejala –
gejalanya.
5.3.2 Ephedrine
Obat simpatomimetik yang bekerja ganda, secara langsung pada reseptor adrenergik dan
secara tidak langsung dengan merangsang pengeluaran katekholamin. Efeknya sama
dengan adrenalin, potensinya lebih lemah tetapi masa kerjanya 7-10 kali lebih panjang.
Selama anestesia untuk mengatasi hipotensi akibat blok spinal atau depresi halothan
diberikan dengan dosis 10-50mg im atau 10-20mg iv.
Farmakodinamik
Farmakodinamik efedrin sama seperti amfetamin (tetapi efek sentralnya lebih lemah)
atau mirip adrenalin (epinephrine). Dibandingan dengan epinephine, ephedrine dapat
diberikan per oral, masa kerjanya jauh lebih lama, efek sentralnya kuat, dan untuk terapi
diperlukan dosis yang jauh lebih besar dari dosis epinephrine. Efedrin bekerja
merangsang reseptor α, β1, dan β2. Efek perifer, bekerja langsung dan tidak langsung
(melalui pembebasan NE endogen) pada efektor sel.
5.3.3 Dopamin
A. Mekanisme Kerja
Farmakodinamika
B. Indikasi
Pengobatan pada pasien syok dan hipovolemia.
C. Kontraindikasi
Dopamin harus dihindarkan pada pasien yang sedang diobati dengan penghambat
MAO.
D. Efek Samping
Dosis belebih dapat menimbulkan efek adrenergic yang berlebihan. Selama infuse
dopamine dapat terjadi mual, muntah, takikardia, aritmia, nyeri dada, nyeri kepala,
hipertensi dan peningkatan tekanan diastolic.
5.3.4 Atropin
Obat para simpatolitik yang menghambat pengaruh nervus Vagus pada SA node
(vagolytic). Dapat meningkatkan denyut nadi pada pasien sinus bradikardia atau blok
atio-ventrikuler derajat satu dan derajat dua. Dosis pada orang dewasa: 0,5 mg iv
dapat diulangi sampai 2 mg. Bayi dan anak-anak mudah mengalami intoksikasi dan
overdosis, yang ditandai kenaikan suhu tubuh (hipertermia). Dosis yang diberikan
0,01mg/kgBB.
Farmakokinetik
Farmakodinamik
Pada kardiovaskular efek atropin pada jantung bergantung pada besar dosi. Pada dosis
kecil menyebabkan bradikardi. Atropin dosis tinggi terjadi penyekatan reseptor
kolinergik di SA nodes, dan denyut jantung bertambah (takikardi). Efek ini baru
timbul bila atropin diberikan 1mg.
5.3.5 Lidokain
Obat pilihan untuk aritmia ventrikuler yang efeknya segera dan masa kerjanya
pendek. Penyuntikan intravena cepat (bolus) memberikan kadar puncak dalam 10
detik dan berlangsung sampai 30 menit. Dosis pemeliharaan dalam tetesan infus 15-
50mikrogram/kgBB/menit setelah dosis intravena 1-1,5mg/kg. Gejala intoksikasi
susunan syaraf pusat nampak berupa penurunan kesadaran (somnolen), gangguan
bicara sampai konvulsi. Gejala pada sirkulasi berupa depresi myokard, penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Sebagian obat dimetabolisir di mikrosome hepar dan
sebagian lagi dikeluarkan melalui urine dalam bentuk yang tidak berubah. Lidocaine
dikatakan bebas dari reaksi allergi, sehingga dipakai sebagai pengganti golongan ester
bila allergi terhadap golongan.
5.3.6 Cedilanid
5.3.7 Deksametason
Glukokortikoid yang memiliki efek anti inflamasi dan anti edema yang sangat kuat.
Digunakan untuk mengurangi edema otak pasca truma dan pasca resusitasi jantung
paru (pada fase dini) dan untuk mengatasi edema larynx pasca intubasi. Dosis
0,2mg/kgBB iv dapat diulang tiap 6 jam penggunaan kurang dari 1 minggu jarang
menyebabkan stress ulcer.
5.3.8 Furosemide
Diuretik yang bekerja dengan cepat, dalam waktu 2-10 menit setelah pemberian
intravena 0,5-2mg/kgBB. Bermanfaat untuk payah jantung kongestif dan edema paru
akut. Pada edeman cerebri pasca trauma ditujukan untuk menurunkan tekanan
intrakranial, dan menyebabkna berkurangnya produksi cairan cerebrospinal.
Furosemide memotong efek ADH berlebihan akibat pengaruh pembedahan dan
anestesia.
Bahan bacaan:
7. G Edward Morgan Jr, Maged S Mikhail. Clinical Anesthesiology Fifth Edition a Lange
Medical Book. 2013.
8. Karjadi Wiroatmodjo. Anestesiologi dan Reanimasi – Modul dasar. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional 1999/2000.
9. Sulistia GG (eds). Farmakologi dan terapi.Farmakologi FKUI, 1995: 820-829.
Karjadi W. Anestesiologi dan reanimasi modul dasar untuk pendidikan s1 kedokteran,
2000.
10. Lorraine M. Sdrales, Ronald D. Miller. Miller's anesthesia review. 2nd ed 2013
11. Robert Stoelting. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th Edition. 2006
Obat Anestesi
1. Anestesia umum mempunyai triad yaitu narkosis, analgesia dan relaksasi (B/S)
Jawaban : Benar
2. Ether mempunyai khasiat narkosis baik, analgesia sangat kuat dan relaksasi otot
bergaris sangat baik (B/S)
Jawaban : Benar
3. Bola mata tidak bergerak, pupil mulai melebar tetapi masih memiliki reflek cahaya
merupakan tingkat kedalaman anestesi inhalasi ether tahap III bidang 2 (B/S)
Jawaban : salah
Obat Emergency
1. Adrenalin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan
konduksi (B/S)
Jawaban : Benar
2. Pada kadar yang tinggi dopamin menyebabkan vasokontriksi akibat aktivasi reseptor
α1 pembuluh darah (B/S)
Jawaban : Benar