Anda di halaman 1dari 93

STRATEGI PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM

PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LITBANG DAN INOVASI


KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

NOVIA TRI KURNIASARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Strategi Pencegahan


Kecurangan (Fraud) dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Novia Tri Kurniasari


NIM H252150051
RINGKASAN

NOVIA TRI KURNIASARI. Strategi Pencegahan Kecurangan (Fraud)


dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dibimbing oleh ANNA FARIYANTI dan
NIRWAN RISTIYANTO.

Setiap organisasi sektor swasta maupun pemerintah tidak terlepas dari risiko
terjadinya kecurangan atau fraud. Fenomena kecurangan yang terjadi di Indonesia
banyak melibatkan pelaku dari sektor pemerintah. Praktik kecurangan tersebut
berdampak negatif di sektor ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, perlu upaya
pencegahan untuk menghindari kerugian negara material maupun non material.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis persepsi pengelola keuangan terhadap
faktor penyebab risiko terjadinya kecurangan, mengidentifikasi titik rawan yang
berpotensi menyebabkan kecurangan, dan merumuskan strategi untuk mencegah
terjadinya kecurangan dalam pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sumber data menggunakan
kuesioner dan wawancara kepada 90 pengelola keuangan di Badan Litbang dan
Inovasi, serta 5 responden yang dianggap ahli untuk merumuskan strategi
pencegahan. Metode analisis data menggunakan analisis deskriptif, Structural
Equation Model-Partial Least Square (SEM-PLS), dan metode Analysis
Hierarchy Process (AHP) untuk merumuskan strategi pencegahan fraud.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap
fraud dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang dan Inovasi adalah efektivitas
sistem pengendalian intern, budaya etis organisasi dan moralitas individu.
Semakin efektif pengendalian intern yang diterapkan, semakin etis budaya
organisasi dan semakin baik moralitas pegawai maka akan semakin baik
pengelolaan keuangan sehingga mengurangi risiko terjadinya kecurangan. Salah
satu temuan berlawanan dengan teori dan studi sebelumnya, yaitu kesesuaian
kompensasi tidak berpengaruh signifikan terhadap fraud dalam pengelolaan
keuangan.
Identifikasi titik rawan yang berpotensi menimbulkan risiko fraud dibagi
dalam tiga siklus pengelolaan keuangan, yaitu penganggaran, pelaksanaan
anggaran dan pertanggungjawaban anggaran. Risiko kecurangan dalam
penganggaran terjadi pada penentuan besaran anggaran kegiatan. Risiko lain yang
terkait dengan kegiatan penelitian yaitu adanya “daur ulang” kegiatan
penelitian/pengembangan atau judul penelitian. Risiko kecurangan dalam
pelaksanaan anggaran terkait ketidakbenaran dokumen pertanggungjawaban
kegiatan. Terakhir, risiko kecurangan dalam pertanggungjawaban anggaran adalah
kurangnya kontrol dan pengawasan internal terhadap seluruh kegiatan serta
kelemahan pengujian atau verifikasi terhadap bukti pertanggungjawaban.
Selanjutnya, prioritas pertama strategi pencegahan fraud adalah melakukan
perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian dengan nilai 0.200. Prioritas
kedua adalah meningkatkan kultur organisasi dengan nilai 0.171. Prioritas ketiga
dan keempat adalah merumuskan nilai anti fraud dan menerapkan sistem reward
dan punishment yang tegas dengan nilai masing-masing 0.166. Prioritas kelima
adalah melaksanakan pendidikan anti fraud bagi pegawai dengan nilai 0.155, dan
prioritas keenam adalah membentuk agen perubahan dengan nilai 0.142.
Implementasi kebijakan berdasarkan prioritas hasil analisis AHP strategi
pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang dan Inovasi yaitu:
(1) Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian dilakukan melalui tiga lini
pertahanan manajemen risiko dan pengendalian; (2) peningkatan kultur organisasi
melalui teladan dan komitmen pimpinan serta menciptakan lingkungan kerja yang
positif; (3) merumuskan nilai anti fraud melalui aturan perilaku dan nilai
integritas; (4) menerapkan sistem reward dan punishment yang tegas melalui
pemberian tunjangan kinerja dan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi,
serta pengenaan sanksi disiplin yang tegas dan pemotongan tunjangan kinerja; (5)
melaksanakan pendidikan anti fraud bagi pegawai melalui sosialisasi, seminar dan
pelatihan etis, serta promosi anti fraud; dan terakhir (6) membentuk pegawai
sebagai agen perubahan.

Kata kunci: budaya organisasi, kompensasi, moralitas individu pencegahan fraud,


sistem pengendalian intern.
SUMMARY

NOVIA TRI KURNIASARI. The Strategies for Fraud Prevention on


Financial Management of Research, Development and Innovation Agency
Ministry of Environment and Forestry. Supervised by ANNA FARIYANTI dan
NIRWAN RISTIYANTO.

Every private and governmental organization is inseparable from the risk of


fraud. Fraud phenomenon occurring in Indonesia involves many actors from the
government sector. This fraudulent practices has a negative impact on the
economic and social sectors. Therefore, need for prevention effort to avoid state’s
material and non-material losses. The objective of this study were to analyze
perceptions of financial managers on risk factors of fraud, identify the potential
vulnerability of fraud, and formulate strategies to prevent fraud in financial
management of the Research, Development and Innovation Agency Ministry of
Environment and Forestry. Sources of data used in this study were questionnaires
and interviews to 90 financial managers in Research, Development and Innovation
Agency and 5 expert respondents to formulating prevention strategies. Data
analysis method used is descriptive analysis, Structural Equation Model-Partial
Least Square (SEM-PLS), and Analytical Hierarchy Process (AHP) method to
formulate fraud prevention strategies.
The results showed that the influencing factors of fraud in financial
management of the Agency were the effectiveness of internal control system,
organizational ethical culture, and individual morality. The more effective internal
control that was applied, the more ethical organizational culture and the better
employee morality, the better financial management so as to reduce fraud risk.
One result were opposite with previous study and theory. The appropriateness of
compensation had no significant effect on fraud in financial management.
Identification of vulnerable points that potentially posed fraud risks was
divided into three cycles of financial management, i.e. budgeting, budget
execution and budget accountability. The risk of fraud in budgeting occured in
budget establishment. Another risk associated with research activities was the
"recycling" of research activities or research titles. The risk of fraud in budget
execution was related to misappropriation of the activity accountability documents.
The risk of fraud in budget accountability were the lack of internal control and
supervision over all activities, as well as weaknesses of testing or verification on
evidences of the report accountability.
Furthermore, first priority of fraud prevention strategies were improving the
supervision and control system with a value of 0.200. The second priority were to
improving the organizational culture with a value of 0.171. The third and fourth
priority were to formulating anti fraud value in the organization and implementing
reward system and punisment firmly with each value 0.166. The fifth priority
were anti fraud socialization for employees with a value of 0.155, and the sixth
priority were to agents of change forming with a value 0.142.
Implementation of policies based on the priority of AHP analysis of fraud
prevention strategies in financial management of the Research, Development and
Innovation Agency were: (1) improvement in supervision and control system
through the three lines of defence; (2) improvement of organizational culture
through role model and commitment and create positive work environment; (3)
anti-fraud value formulation through rules of conduct and integrity value; (4)
implementation reward system and punisment firmly through the provision of
performance allowances and opportunities to improve competence, as well as the
imposition of strict disciplinary sanctions and cuts in performance allowances; (5)
anti fraud education for employees through socialization, seminars and ethical
training, and also promotion of anti fraud; Lastly, (6) forming employees as
agents of change..

Keywords: compensation, fraud prevention, individual morality, internal control


system, organizational culture
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENCEGAHAN KECURANGAN (FRAUD) DALAM
PENGELOLAAN KEUANGAN BADAN LITBANG DAN INOVASI
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

NOVIA TRI KURNIASARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Judul Tesis : Strategi Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pengelolaan
Keuangan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan
Nama : Novia Tri Kurniasari
NRP : H252150051

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Anna Fariyanti, MSi Dr Nirwan Ristiyanto, AK, MM, MPd, CFrA


Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Manajemen Pembangunan Daerah

Dr Ir Ma’mun Sarma, MS, MEc Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 10 Agustus 2017 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus atas segala berkat dan
kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul
“Strategi Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam Pengelolaan Keuangan Badan
Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si. dan
Bapak Dr. Nirwan Ristiyanto, AK., MM., M.Pd., CFrA selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran dan masukan kepada penulis
selama penyusunan karya ilmiah ini.
Disamping itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr.
Ir. Ma’mun Sarma, MS., MEc selaku Ketua Program Studi Manajemen
Pembangunan Daerah IPB beserta staff yang membantu selama proses
perkuliahan, Ibu Dr. Ir. Dwi Rachmina, M.Si selaku dosen penguji, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia yang telah
mendanai pendidikan pascasarjana, Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi
yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan, dan
semua pihak yang telah membantu dalam pengumpulan data penelitian.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua, suami, keluarga,
dan semua pihak yang telah memberikan dukungan doa, motivasi dan bantuan
kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2017

Novia Tri Kurniasari


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL i
DAFTAR GAMBAR i
DAFTAR LAMPIRAN ii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 5
Tujuan Penelitian 7
Manfaat Penelitian 7
Ruang Lingkup 7
2 TINJAUAN PUSTAKA
Equity Theory (Teori Keadilan) 8
Teori Atribusi 8
Fraud Triangle Theory (Teori Segitiga Fraud) 9
Faktor Penyebab Terjadinya Risiko Fraud 10
Kajian Empiris 14
Kerangka Pemikiran Operasional 17
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi Penelitian 18
Metode Pemilihan Sampel 19
Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data 19
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 20
Metode Analisis Data 22
Perumusan Strategi 26
4 GAMBARAN UMUM BADAN PENELITIAN PENGEMBANGAN
DAN INOVASI
Sejarah Badan Litbang dan Inovasi 28
Tugas Pokok dan Fungsi Badan Litbang dan Inovasi 29
Struktur Organisasi Badan Litbang dan Inovasi 29
Sumber Daya Manusia Badan Litbang dan Inovasi 31
Akuntabilitas Anggaran Badan Litbang dan Inovasi 31
Gambaran Penerapan Sistem Pengendalian Intern 33
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Karakteristik Responden 36
Persepsi Pengelola Keuangan Terhadap Faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya Risiko Fraud di Badan Litbang dan Inovasi 37
Titik Rawan Terjadinya Potensi Fraud di Badan Litbang dan Inovasi 48
Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Badan
Litbang dan Inovasi 51
Implementasi Kebijakan 56
6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan 63
Saran 63
DAFTAR PUSTAKA 64
LAMPIRAN 68
RIWAYAT HIDUP 74
DAFTAR TABEL

1 Corruption Perception Index negara di Asia Tenggara tahun 2015 1


2 Pelaku korupsi yang ditangani KPK berdasarkan jabatan
tahun 2004-2016 2
3 Opini BPK RI terhadap laporan keuangan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tahun 2011-2015 4
4 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan 16
5 Responden/informan penelitian 19
6 Tujuan, jenis data, metode analisis dan sumber data/responden 20
7 Skala likert untuk masing-masing variabel penelitian 23
8 Matrik untuk perbandingan berpasangan 27
9 Skala perbandingan secara berpasangan dalam AHP 28
10 Nama Unit Pelaksana Teknis lingkup Badan Litbang dan Inovasi 30
11 Pengelompokan pegawai berdasarkan jabatan 31
12 Realisasi anggaran APBNP BLI tahun 2016 berdasarkan kegiatan 32
13 Realisasi anggaran APBNP BLI tahun 2016 berdasarkan jenis belanja
setelah self blocking 32
14 Pagu dan realisasi anggaran tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 32
15 Sebaran responden 36
16 Persepsi terhadap fraud dalam pengelolaan keuangan 37
17 Persepsi terhadap kesesuaian kompensasi 38
18 Persepsi terhadap efektivitas sistem pengendalian intern 39
19 Persepsi terhadap budaya etis organisasi 40
20 Persepsi terhadap moralitas individu 40
21 Hasil uji convergent validity 41
22 Akar kuadrat AVE dan korelasi antar konstruk laten 42
23 Latent variabel coefficient 42
24 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fraud 44

DAFTAR GAMBAR
1 Tindak Pidana Korupsi berdasarkan rekapitulasi penindakan KPK 3
2 Fraud Triangle Theory 10
3 Kerangka pemikiran operasional 18
4 Variabel dan indikator penelitian 25
5 Struktur Analytical Hierarcy Process (AHP) 27
6 Tren realisasi anggaran BLI Tahun 2011-2016 33
7 Model variabel penelitian 43
8 Struktur dan Nilai Bobot Hirarki AHP Strategi Pencegahan Fraud
dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi 53
DAFTAR LAMPIRAN
1 Perhitungan Skor Persepsi Pengelola Keuangan Terhadap Faktor yang
Mempengaruhi Terjadinya Risiko Fraud di Badan Litbang dan Inovasi 69
2 Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Fraud
dalam Pengelolaan Keuangan (Metode SEM-PLS, alat uji Warp PLS 5.0) 71
3 Hasil Pengolahan Analytical Hierarchy Process 72
1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Setiap organisasi sektor swasta maupun pemerintahan tidak terlepas dari


risiko terjadinya kecurangan atau yang dikenal dengan istilah fraud. Association
of Certified Fraud Examiners (ACFE) mendefinisikan fraud sebagai tindakan
penipuan atau kekeliruan yang dilakukan oleh seseorang atau badan yang
mengetahui bahwa kekeliruan tersebut dapat mengakibatkan kerugian kepada
individu atau entitas atau pihak lain. Fraud digolongkan oleh ACFE dalam tiga
jenis, yaitu kecurangan dalam laporan keuangan, penyalahgunaan aset dan korupsi
(Surjandari dan Martaningtyas 2015). Istilah korupsi berasal dari bahasa latin
yaitu corruptio, dengan kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalikkan atau menyogok (Permana et al. 2017).
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat korupsi yang tinggi.
Data yang dihimpun oleh Indonesian Corruption Watch menunjukkan bahwa
selama tahun 2016, terdapat 482 kasus korupsi dengan total kerugian negara
sebesar Rp 1,47 Triliun (Indonesian Corruption Watch 2017). Transparansi
Internasional dalam surveynya tahun 2015 juga menunjukkan bahwa Indonesia
menempati peringkat 88 dari 168 negara yang diukur tingkat korupsinya dengan
skor 36 (Transparency International 2015). Semakin rendah skor CPI
menunjukkan semakin banyak korupsi yang terjadi di negara tersebut. Tabel 1
menyajikan perbandingan skor CPI negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada
tahun 2015.
Tabel 1 Corruption Perception Index negara di Asia Tenggara tahun 2015

Negara Peringkat Score CPI 2015


Singapura 8 85
Malaysia 54 50
Thailand 76 38
Indonesia 88 36
Filipina 95 35
Vietnam 112 31
Timor Leste 123 28
Laos 139 25
Myanmar 147 22
Sumber: Transparency International 2015

Berdasarkan Tabel 1 menunjukkan bahwa peringkat Indonesia jauh


tertinggal dari Singapura yang menempati peringkat 8 dari seluruh dunia dengan
skor CPI 85 dan peringkat pertama di kawasan Asia Tenggara. Corruption
Perception Index diukur berdasarkan seberapa sering korupsi terjadi di sektor
publik suatu negara. Menurut lembaga tersebut, negara dengan skor CPI di bawah
50 dikategorikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Faktor yang
menghambat peningkatan peringkat Indonesia adalah tingginya korupsi di sektor
penegakan hukum dan politik (Permana et al. 2017).
2

Tingginya tingkat korupsi yang terjadi di Indonesia banyak melibatkan


aparat dari sektor pemerintah. Dari data pelaku tindak pidana korupsi yang
ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berdasarkan profesi/jabatan
tahun 2004 sampai 2016, menunjukkan bahwa 62 persen pelaku merupakan aparat
pemerintah sedangkan 38 persen sisanya berasal dari swasta dan lainnya. Data
tersebut disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Pelaku korupsi yang ditangani KPK berdasarkan jabatan tahun 2004-2016
Tahun 20..
Jabatan
04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 Total %
Anggota 0 0 0 2 7 8 27 5 16 8 9 19 23 124 20.1
DPR&DPRD
Duta Besar 0 0 0 2 1 0 1 0 0 0 0 0 0 4 0.6
Kepala 0 1 1 0 1 1 2 0 1 4 9 3 2 25 4.1
Kementerian/
Lembaga
Komisioner 0 3 2 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 7 1.1
Gubernur 1 0 2 1 1 2 1 0 0 2 3 3 1 17 2.8
Walikota/ 0 0 3 6 6 5 4 3 3 3 12 4 9 58 9.4
Bupati &
Wakil
Eselon 2 9 15 10 22 14 12 15 8 7 2 7 10 133 21.6
I/II/III
Hakim 0 0 0 0 0 0 1 2 2 3 2 3 1 14 2.3
Swasta 1 4 5 3 12 11 8 10 16 24 16 18 28 156 25.3
Lainnya 0 6 1 2 4 4 9 3 3 8 8 5 25 78 12.7
Total 4 23 29 27 55 45 65 38 49 59 61 62 99 616 100
Sumber: http://acch.kpk.go.id

Banyaknya pelaku korupsi dari sektor pemerintah sebagaimana yang dapat


dilihat pada Tabel 2, menunjukkan bahwa pemerintah sebagai pengemban amanat
dari rakyat belum mampu mengelola keuangan negara dengan baik dan akuntabel.
Kebocoran akibat praktik korupsi menjadi indikasi penggunaan keuangan negara
tidak dikelola dengan ekonomis, efisien dan efektif. Menurut Sulastri dan
Simanjuntak (2014), tingginya keterlibatan pemerintah dalam praktik kecurangan
dapat disebabkan karena kompleksnya struktur instansi pemerintah, sistem
birokasi yang berbelit-belit, rendahnya integritas lingkungan kerja, kontrol yang
tidak efektif, dan tekanan yang tinggi.
Tingginya praktik kecurangan dapat berdampak negatif pada sektor
ekonomi. Kecurangan sangat merugikan keuangan negara yang pada akhirnya
akan merugikan rakyat dan menghambat pembangunan nasional (Lediastuti dan
Subandijo 2014). Tidak hanya bidang ekonomi, namun juga berdampak pada
bidang politik, sosial budaya, maupun keamanan. Seringkali modus kecurangan
yang dilakukan adalah manipulasi pencatatan, penghilangan dokumen, dan mark-
up harga dalam pengadaan barang yang dapat merugikan keuangan negara
(Chandra dan Ikhsan 2015).
Fraud masih menjadi isu fenomenal dan menarik untuk dibahas dengan
kasus-kasus yang kini tengah berkembang dalam masyarakat. Sepanjang tahun
2016, setidaknya 10 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Bupati
Subang terkait suap dan gratifikasi, Bupati Rokan Hulu terkait dugaan tindak
pidana korupsi menerima pemberian atau janji dalam pembahasan R-APBD,
3

Gubernur Sulawesi Tenggara terkait kasus penyalahgunaan wewenang, Bupati


Buton terkait suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dan lain
sebagainya. Selain itu, data yang dirilis oleh KPK juga menunjukkan bahwa
selama 10 tahun terakhir, jumlah penindakan tindak pidana korupsi yang ditangani
KPK mengalami fluktuasi dan jumlah kasus tertinggi terjadi pada tahun 2016.
Data penindakan kasus tindak pidana korupsi oleh KPK disajikan pada Gambar 1.

100 99
96
90
87
80 81 80 81
78 77 76
70 70 70 70 70
67
60 62
56 Penyelidikan
Jumlah Kasus

57
54
50 50 Penyidikan
47 48 44 48
39 40 40 Penuntutan
40 39 41 40 38
37 36 40 37
36 35 34 36 Inkracht
34 32
30 32 32
27 23 28 Eksekusi
24 23
23 23
20 24
17 19
13
10

0
 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun

Gambar 1 Tindak pidana korupsi berdasarkan rekapitulasi penindakan KPK


Sumber : http://acch.kpk.go.id

Berdasarkan Gambar 1 menunjukkan bahwa rata-rata kasus tindak pidana


korupsi yang ditangani KPK masih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Praktik kecurangan dan permasalahan pengelolaan keuangan juga terjadi di
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kementerian LHK). Misalnya,
kasus proyek Sistem Komunikasi Radio Terpadu (SKRT) Kementerian Kehutanan
tahun 2006-2007 dengan kerugian negara lebih dari Rp 80 M. Selain itu juga
kasus perjalanan dinas fiktif yang melibatkan 3 pegawai Kementerian Lingkungan
Hidup tahun 2009 dengan kerugian negara mencapai Rp 2.6 M.
Salah satu indikator terjadinya permasalahan dalam pengelolaan keuangan
instansi pemerintah juga dapat dilihat dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan terhadap laporan keuangan. Penilaian BPK atas laporan keuangan
Kementerian LHK tahun 2015 memberikan opini audit Wajar Dengan
Pengecualian (WDP). Penilaian ini mengalami penurunan dari tahun 2011 dan
2012 yang mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf
Penjelas (WTP-DPP), serta tahun 2013 dan 2014 yang mendapatkan opini Wajar
Tanpa Pengecualian (WTP). Hasil opini BPK terhadap Kementerian LHK
disajikan pada Tabel 3.
4

Tabel 3 Opini BPK RI terhadap laporan keuangan Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan tahun 2011-2015

Nama Kementerian 2011 2012 2013 2014 2015


Kementerian Lingkungan WTP-DPP WTP-DPP WTP WTP -
Hidup
Kementerian Kehutanan WTP-DPP WTP-DPP WTP WTP -
Kementerian Lingkungan - - - - WDP
Hidup dan Kehutanan 1

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (2015)

Opini WDP diberikan oleh BPK ketika laporan keuangan dianggap wajar
dalam hal yang material, namun terdapat pengecualian karena ada penyimpangan
pada pos tertentu. Dalam laporan keuangan Kementerian LHK tahun 2015, BPK
menemukan kelemahan dalam sistem pengendalian intern pada pencatatan dan
pelaporan persediaan dan aset tetap yang belum memadai serta temuan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
perjalanan dinas (Badan Pemeriksa Keuangan 2015). Kelemahan sistem
pengendalian intern dalam pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan
mengindikasikan bahwa entitas organisasi yang diperiksa belum bisa menyajikan
informasi keuangan yang handal dan masih rawan terhadap kecurangan.
Sedangkan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan menjadi
indikator masih terdapat salah saji dalam laporan keuangan yang memungkinkan
adanya unsur perbuatan melawan hukum dan dapat mengakibatkan potensi
kerugian negara atau kekurangan penerimaan negara.
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi (Badan Litbang dan Inovasi)
sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan merupakan badan yang bertugas
menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang lingkungan
hidup dan kehutanan. Hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan keuangan Badan
Litbang dan Inovasi tahun 2015, menunjukkan adanya permasalahan dalam
pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi yaitu terdapat temuan yang
terkait dengan kelemahan dalam sistem pengendalian internnya. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang dan Inovasi
masih rawan terhadap potensi terjadinya kecurangan sehingga perlu dilakukan
upaya pencegahan.
Upaya pencegahan terhadap fraud akan lebih efektif untuk dilakukan
dibandingkan dengan melakukan upaya represif. Pencegahan perlu dilakukan
untuk menghindari kerugian negara yang besar dan rusaknya reputasi institusi
maupun individu. Selain itu, kejadian fraud yang tidak segera terungkap karena
lambatnya penanganan akan semakin memberi peluang pelaku untuk menutupi
tindakannya dengan kecurangan yang lain. Oleh karena itu perlu adanya upaya
untuk melakukan pencegahan terhadap terjadinya fraud dalam pengelolaan

1
Penggabungan dua kementerian yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 165 Tahun 2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi
Kabinet Kerja, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara
dan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan
5

keuangan di Badan Litbang dan Inovasi. Berdasarkan latar belakang tersebut,


penelitian ini berjudul “Strategi Pencegahan Kecurangan (Fraud) dalam
Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan”.

Perumusan Masalah

Reformasi dibidang keuangan negara telah dilaksanakan melalui paket


Undang-Undang yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang
tersebut merupakan landasan dan pedoman dalam pengelolaan keuangan negara
agar keuangan negara dapat dikelola secara tertib, ekonomis, efisien, efektif,
transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatutan. Sejalan dengan amanat Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 untuk
mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari korupsi, kolusi
dan nepotisme. Pemerintah juga telah berupaya untuk mencapai pengelolaan
keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel dengan
menerapkan pengendalian intern atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.
Hal tersebut diwujudkan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah nomor 60
tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Banyaknya aturan sebagai upaya untuk menekan tingginya kasus
kecurangan di Indonesia telah diterbitkan, namun ternyata belum bisa mengurangi
jumlah kasus yang terjadi. Bahkan kecurangan yang melibatkan aparat pemerintah
cenderung mengalami peningkatan. Risiko terjadinya fraud dapat terjadi di
instansi pemerintah manapun termasuk Badan Litbang dan Inovasi. Pemeriksaan
BPK atas laporan keuangan Badan Litbang dan Inovasi tahun 2013 menemukan
adanya kelemahan dalam sistem pengendalian internnya. Temuan tersebut yaitu
sistem pengendalian pencatatan dan pelaporan persediaan yang belum memadai,
penatausahaan dan pengamanan aset tetap yang belum memadai, dan kekurangan
pengesahan atas pendapatan dan belanja hibah (LHP BPK RI 2013). Kelemahan
sistem pengendalian intern juga ditemukan dalam laporan keuangan tahun 2015,
yaitu terkait dengan pengelompokan jenis belanja yang tidak sesuai dalam proses
penganggaran dan penatausahaan aset tetap yang belum memadai (LHP BPK RI
2015). Temuan-temuan tersebut menjadi salah satu indikasi bahwa pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi masih belum handal dan rawan terhadap
terjadinya kecurangan.
Motivasi seseorang untuk melakukan kecurangan ada bermacam-macam,
antara lain karena adanya kesempatan, tekanan dan pembenaran. Ketidakpuasan
individu atas kompensasi yang diperoleh dalam pekerjaannya (Sulastri dan
Simanjuntak 2014), individu yang memaknai peraturan bukan untuk ditaati
melainkan untuk mencari kelemahan sehingga menjadi peluang untuk dapat
berbuat curang, lemahnya sistem pengendalian (Rae dan Subramaniam 2008;
Chandra dan Ikhsan 2015), budaya yang buruk dalam suatu organisasi
(Pramudhita 2013; Surjandari dan Martaningtyas 2015), serta rendahnya moralitas
individu (Puspasari dan Suwardi 2012; Sorunke 2016) diduga dapat memicu
6

seseorang untuk melakukan kecurangan. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan


yang pertama adalah Bagaimana persepsi pengelola keuangan terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko fraud dalam pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi?
Dalam pelaksanaan anggaran pemerintah, pengelola keuangan merupakan
pihak yang mempunyai kewenangan dan bertanggung jawab terhadap seluruh
proses pelaksanaan anggaran termasuk menjadi pengendali penggunaan keuangan
negara dalam suatu instansi. Pengelola keuangan negara memegang tanggung
jawab utama untuk mengurangi maupun menghilangkan peluang terjadinya
kerugian negara2. Kewenangan yang besar ini sangat berisiko karena tidak sedikit
yang akhirnya berurusan dengan hukum karena proses pelaksanaan anggaran
negara yang tidak akuntabel dan melawan hukum.
Beberapa modus fraud, diantaranya terjadi karena ketidakberdayaan pejabat
pengelola keuangan negara dari kepentingan atasannya atau pejabat negara/daerah
untuk menyediakan dana atau fasilitas lainnya untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya3. Ketidakberdayaan atas kekuasaan yang lebih tinggi dapat menekan
pejabat pengelola keuangan negara diantara pilihan melakukan tindakan
kecurangan atau karirnya yang terhenti. Kondisi tersebut dapat terjadi di instansi
pemerintah manapun dan memungkinkan juga dapat terjadi dalam pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi. Untuk dapat mengantisipasi hal tersebut,
penting untuk mengidentifikasi kelemahan dalam seluruh kegiatan pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi. Berdasarkan uraian tersebut, pertanyaan
yang kedua adalah, Dimana titik rawan terjadinya potensi fraud dalam
pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi?
Banyak studi yang mendiskusikan topik terkait dengan fraud, secara umum
berpandangan bahwa pencegahan fraud seharusnya menjadi fokus utama.
Melakukan pencegahan dari awal akan lebih murah dan lebih efektif daripada
mendeteksi setelah terjadinya fraud (Abdullahi et al. 2015). Hasil analisis dari
persepsi pengelola keuangan di Badan Litbang dan Inovasi terhadap faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya risiko fraud dan titik rawan terjadinya potensi
fraud akan digunakan sebagai pertimbangan dalam penyusunan strategi
pencegahan fraud. Upaya pencegahan fraud dalam harus dilaksanakan di Badan
Litbang dan Inovasi guna tercapainya pengelolaan keuangan yang bersih,
transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, rumusan masalah terakhir yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah Bagaimana strategi yang bisa diterapkan
untuk mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan di Badan
Litbang dan Inovasi?

2
Hadi Purnomo (Ketua BPK) dalam seminar “Peran Asosiasi Auditor Intern Pemerintah dalam
Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Jakarta, 19 Desember 2012.
http://www.bpk.go.id/news/sinergi-bpk-dan-apip-dalam-pencegahan-dan-pemberantasan-korupsi
3
Muzni Fauzi. 2015. “Trik Korupsi dan Fraud Penggunaan Keuangan Negara”. Banjarbaru.
https://books.google.co.id/books?id=Wg7XCQAAQBAJ&printsec=frontcover&source=gbs_ge_su
mmary_r&hl=en&output=reader&pg=GBS.PP1
7

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan,


penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis persepsi pengelola keuangan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi risiko fraud dalam pengelolaan keuangan di Badan Litbang
dan Inovasi.
2. Mengidentifikasi titik rawan yang berpotensi menyebabkan kecurangan dalam
pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi.
3. Merumuskan strategi untuk mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat:


1. Menjadi bahan masukan bagi para pejabat dan pengambil keputusan di Badan
Litbang dan Inovasi dalam rangka menghasilkan strategi/kebijakan untuk
melakukan pencegahan terhadap terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan.
2. Menjadi informasi dan referensi bagi upaya pencegahan fraud di tingkat
Kementerian maupun entitas pemerintah yang lain.
3. Menjadi referensi untuk penelitian dengan tema serupa di Indonesia.

Ruang Lingkup Penelitian

Dalam penelitian ini, terdapat beberapa batasan yang ditetapkan agar


penelitian lebih terarah. Batasan ruang lingkup tersebut adalah:
1. Definisi fraud dalam penelitian ini adalah tindakan penipuan/kecurangan yang
disengaja dan dapat merugikan pihak lain.
2. Jenis fraud berdasarkan pada Association of Certified Fraud Examiners yaitu
kecurangan atas laporan keuangan, penyalahgunaan aset dan korupsi.
3. Faktor pendorong fraud berdasarkan pada fraud triangle theory oleh Cressey,
yaitu adanya tekanan (pressure), kesempatan (opportunity) dan rasionalisasi
(rationalization).

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka merupakan landasan teori dan bahasan hasil penelitian


sebelumnya yang relevan dengan penelitian ini. Selain itu, dikemukakan pula
kerangka pemikiran operasional. Pada landasan teori dijabarkan teori-teori yang
mendukung dalam penelitian. Teori-teori yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi teori keadilan (equity theory), teori atribusi, dan teori segitiga fraud
(fraud triangle theory) untuk menjelaskan elemen/faktor penyebab terjadinya
risiko fraud dalam pengelolaan keuangan.
8

Equity Theory (Teori Keadilan)

Teori keadilan merupakan teori motivasi yang menyatakan bahwa seseorang


menilai kinerja dan sikapnya dengan cara membandingkan kontribusinya pada
pekerjaan dan keuntungan yang diperoleh dari kontribusi tersebut dengan
kontribusi dan keuntungan orang lain yang sebanding (Mondy 2008). Dalam teori
keadilan individu-individu membandingkan masukan dan keluaran pekerjaan
mereka dengan masukan/keluaran orang-orang lain dan kemudian merespon untuk
menghapuskan setiap ketidakadilan (Robbins 1996).
Teori motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dimotivasi
oleh keinginan untuk diperlakukan secara adil dalam pekerjaan. Ada empat
ukuran penting dalam teori ini, yaitu:
1. Orang, yaitu individu yang merasakan diperlakukan adil atau tidak adil.
2. Perbandingan dengan orang lain, yaitu setiap kelompok atau orang yang
digunakan oleh seseorang sebagai pembanding rasio masukan atau perolehan.
3. Masukan (input), yaitu karakteristik individual yang dibawa ke pekerjaan,
seperti keberhasilan (keahlian, pengalaman, belajar) atau karakteristik bawaan
(umur, jenis kelamin, ras).
4. Perolehan (outcome), yaitu apa yang diterima seseorang dari pekerjaanya
(penghargaan, tunjangan dan upah).
Berdasarkan teori tersebut menunjukkan bahwa ketika seseorang merasakan
ketidakadilan dalam pekerjaan atau yang diperolehnya, seseorang tersebut merasa
sah untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya. Individu yang merasa
diperlakukan tidak adil akan cenderung melakukan perlawanan, salah satunya
melakukan tindakan curang (Sulistyowati 2017).

Teori Atribusi

Teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider ini mempelajari proses


bagaimana seseorang menginterpretasikan sesuatu peristiwa, alasan, atau sebab
perilakunya. Teori ini berargumen bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh
kombinasi antara kekuatan internal (internal forces), yaitu faktor-faktor yang
berasal dari dalam diri seseorang, seperti kemampuan atau usaha, dan kekuatan
eksternal (eksternal forces), yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar seperti
kesulitan dalam pekerjaan atau keberuntungan (Ikhsan dan Ishak 2005).
Teori atribusi yang dikemukakan oleh Robbins (2014) menjelaskan perilaku
seseorang yang disebabkan oleh faktor internal atau faktor eksternal. Teori
atribusi merupakan teori yang menjelaskan upaya untuk memahami faktor
penyebab dibalik perilaku seseorang. Perilaku seseorang dalam organisasi seperti
perilaku pimpinan dan bawahan tidak terlepas dari teori atribusi. Tindakan atau
keputusan yang diambil oleh pemimpin ataupun orang yang diberikan wewenang
disebabkan oleh atribut penyebab. Termasuk tindakan tidak etis maupun
kecurangan.
Perilaku seseorang yang disebabkan oleh faktor internal diyakini berasal
dari dalam diri individu seperti ciri kepribadian, motivasi atau kemampuan,
misalnya rendahnya moral atau rendahnya spiritualitas. Sedangkan perilaku
seseorang yang disebabkan oleh faktor eksternal diyakini berasal dari luar diri
9

individu seperti pengaruh sosial dari orang lain, misalnya lingkungan yang buruk,
tekanan dari atasan, atau sistem yang menekan individu untuk berbuat curang.

Fraud Triangle Theory (Teori Segitiga Fraud)

Teori fraud triangle merupakan teori pertama yang mampu menjelaskan


elemen-elemen penyebab fraud. Teori ini pertama kali diformulasikan oleh
kriminolog Donald Ray Cressey melalui penelitian doktoralnya dibidang sosiologi.
Penelitiannya diterbitkan dengan judul Other’s People Money: A Study in the
Social Psychology of Emblezzement (Tuanakotta 2014). Dia menyimpulkan bahwa
penipuan umumnya terbagi dalam tiga ciri-ciri umum. Pertama, pelaku fraud yang
memiliki kesempatan untuk melakukan penipuan (opportunity). Kedua, pelaku
fraud mempunyai kebutuhan keuangan yang mendesak yang tidak dapat
diceritakan kepada orang lain (pressure). Ketiga, individu yang terlibat dalam
fraud merasionalisasikan perbuatan curangnya konsisten dengan kode etik pribadi
mereka (rationalization). Dengan demikian faktor risiko fraud adalah tekanan,
kesempatan dan rasionalisasi, atau disebut sebagai "triangle fraud" (Skousen et al.
2009).
Pressure (tekanan) adalah motivasi dari individu untuk bertindak curang.
Kecurangan berawal dari adanya tekanan kebutuhan keuangan yang mendesak
yang tidak dapat diceritakan kepada orang lain (perceived non-shareable financial
need). Menurut Statement of Auditing Standart (SAS) No. 99 terdapat empat jenis
kondisi yang umum terjadi pada pressure yang dapat menyebabkan kecurangan,
yaitu financial stability, external pressure, personal financial needs, dan financial
target (Skousen et al. 2009). Penelitian ini menggunakan kesesuaian kompensasi
sebagai proksi dari faktor pressure yang menyebabkan terjadinya fraud dalam
instansi pemerintah.
Menurut Karyono (2013), dorongan melakukan fraud terjadi karena:
1. Tekanan keuangan, antara lain karena banyak hutang, gaya hidup yang
melebihi kemampuan keuangan, keserakahan, dan kebutuhan yang tidak
terduga.
2. Kebiasaan buruk, antara lain karena kecanduan narkoba, judi, dan peminum.
3. Tekanan lingkungan kerja, antara lain kurangnya penghargaan terhadap
prestasi dan kinerja, gaji rendah dan tidak puas terhadap pekerjaan.
4. Tekanan lainnya, antara lain karena tekanan dari istri/suami untuk memiliki
barang mewah.
Opportunity (peluang) adalah peluang yang memungkinkan terjadinya fraud.
Kesempatan timbul terutama karena lemahnya pengendalian internal untuk
mencegah dan mendeteksi kecurangan (Karyono 2013). Kecurangan akan
dilakukan jika ada kesempatan dimana seseorang harus memiliki akses terhadap
aset atau memiliki wewenang untuk mengatur prosedur pengendalian yang
memperkenankan dilakukannya skema kecurangan (Najahningrum et al. 2013).
Untuk meminimalisir peluang atau kesempatan seseorang untuk melakukan
kecurangan maka diperlukan pengendalian intern yang efektif. Penelitian ini
memproksikan faktor peluang dengan variabel efektivitas sistem pengendalian
intern sebagai penyebab terjadinya fraud dalam instansi pemerintah.
10

Rationalization (rasionalisasi) terjadi dalam hal seseorang atau sekelompok


orang membangun pembenaran atas kecurangan yang dilakukan. Pelaku fraud
biasanya mencari alasan pembenaran bahwa yang dilakukannya bukan pencurian
atau kecurangan. Para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya
bukan merupakan suatu fraud tetapi adalah suatu yang memang merupakan
haknya, bahkan kadang pelaku merasa telah berjasa karena telah berbuat banyak
untuk organisasi (Priantara 2013). Beberapa individu lebih rentan melakukan
kecurangan dibandingkan individu yang lain. Kecenderungan untuk melakukan
fraud tergantung pada nilai-nilai etika dan keadaan pribadi mereka (Abdullahi et
al. 2015). Penelitian ini memproksikan rasionalisasi dengan budaya etis organisasi
dan moralitas individu.
Perceived Opportunity

Pressure Rationalization

Gambar 2 Fraud Triangle Theory (Tuanakotta 2014)

Faktor Penyebab Terjadinya Risiko Fraud

1. Kesesuaian Kompensasi
Kesesuaian kompensasi merupakan sesuatu imbalan yang didapat seorang
karyawan atas pekerjaan yang dilakukannya (Pramudita 2013). Kompensasi
adalah salah satu hal yang penting bagi setiap pegawai yang bekerja dalam suatu
perusahaan, bagi seorang pegawai, kompensasi merupakan suatu outcome atau
reward yang penting karena tidak dapat dipungkiri bahwa kompensasi menjadi
tujuan utama untuk sebagian besar pegawai bekerja dalam suatu instansi.
Kompensasi adalah total seluruh imbalan yang diterima para karyawan sebagai
pengganti jasa yang telah mereka berikan (Mondy 2008).
Menurut Mondy (2008), kompensasi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
a. kompensasi finansial langsung yang terdiri dari bayaran yang diterima
seseorang dalam bentuk upah, gaji, komisi dan bonus
b. kompensasi finansial tidak langsung meliputi seluruh imbalan finansial yang
tidak termasuk dalam kompensasi finansial langsung, dan
c. kompensasi non finansial yaitu kepuasan yang diterima seseorang dari
pekerjaan itu sendiri atau dari lingkungan psikologis dan/atau fisik tempat
orang tersebut bekerja.
Keadilan kompensasi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap
perilaku pegawai atau karyawan di tempat kerja, karena apabila pegawai atau
karyawan menerima atau merasakan ketidakadilan maka akan menimbulkan rasa
tidak puas dalam diri sehingga dapat memicu terjadinya fraud (Sulastri dan
Simanjuntak 2014). Semakin tinggi kesesuaian kompensasi yang diterima oleh
pegawai maka tekanan yang memicu terjadinya kecurangan akan semakin
11

berkurang. Berdasarkan uraian tersebut maka dinyatakan bahwa kesesuaian


kompensasi berpengaruh positif terhadap pengelolaan keuangan yang baik dan
tidak rawan terjadi kecurangan.

2. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern


Perkembangan pengendalian intern pemerintah di Indonesia ditandai dengan
terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 60 tahun 2008 tentang sistem
pengendalian intern pemerintah (SPIP). Sistem pengendalian intern menurut PP
SPIP merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan
secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan
keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang
efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan
ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan PP SPIP nomor 60 tahun 2008 tersebut, sistem pengendalian
intern pemerintah terdiri dari lima unsur, yaitu :
1) Lingkungan pengendalian
Lingkungan pengendalian adalah kondisi yang dibangun dan diciptakan
dalam suatu instansi pemerintah yang mempengaruhi efektifitas pengendalian
intern. Lingkungan pengendalian akan efektif bila semua personel memahami
wewenang dan tanggungjawabnya, serta berkomitmen untuk mematuhi seluruh
standar dalam organisasi. Lingkungan pengendalian yang baik akan mendorong
individu untuk memiliki kesadaran yang penuh dan berkomitmen untuk
melakukan apa yang benar, sesuai nilai etika termasuk menghindari perilaku
curang.
2) Penilaian risiko
Penilaian risiko adalah kegiatan penilaian atas kemungkinan terjadinya
situasi yang mengancam pencapaian tujuan dan sasaran instansi pemerintah.
Dengan mengetahui wilayah yang mengandung risiko kecurangan maka akan
dapat disusun suatu rencana pengendalian terhadap risiko tersebut.
3) Kegiatan pengendalian
Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi
risiko, penerapan dan pelaksanaan kebijakan serta prosedur, untuk memastikan
bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Kegiatan
pengendalian diharapkan dapat menjamin tercapainya tujuan dan mencegah atau
mendeteksi terjadinya ketidakberesan dan kesalahan, termasuk kecurangan.
4) Informasi dan komunikasi.
Informasi merupakan data yang telah diolah yang dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi
pemerintah, sedangkan komunikasi merupakan proses penyampaian pesan atau
informasi dengan menggunakan simbol atau lambang tertentu baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan umpan balik. Informasi
yang berkualitas akan mendorong komponen pengendalian internal lain berfungsi
sebagaimana mestinya.
5) Pemantauan
Pemantauan bertujuan untuk memastikan bahwa sistem pengendalian intern
di suatu instansi telah berjalan sesuai dengan rencana. Selain itu juga meliputi
pemantauan terhadap tindak lanjut atas rekomendasi hasil audit oleh instansi
pengawasan, baik internal (Inspektorat Jenderal, BPKP) maupun eksternal (BPK).
12

Dengan dilakukan pemantauan secara rutin diharapkan dapat meminimalisir


potensi terjadinya hal-hal yang tidak sesuai dengan tujuan organisasi, termasuk
adanya kecurangan.
The Committee of Sponsoring Organization (COSO) menyatakan bahwa
pengendalian internal merupakan proses yang didefinisikan secara luas yang
disusun untuk menyediakan jaminan yang layak terkait pencapaian tujuan
keandalan/reliabilitas laporan keuangan, efektivitas dan efisiensi organisasi,
ketaatan terhadap regulasi dan hukum. Kegiatan organisasi yang efektif dan
efisien akan meminimalisir terjadinya penyimpangan dalam proses operasional
instansi (Najahningrum et al. 2013). Semakin lemah sistem pengendalian intern
dalam suatu organisasi akan meningkatkan peluang karyawan untuk melakukan
kecurangan (Sulastri dan Simanjuntak 2014). Berdasarkan uraian tersebut maka
dinyatakan bahwa efektivitas sistem pengendalian intern berpengaruh positif
terhadap pengelolaan keuangan yang baik dan tidak rawan terjadi kecurangan.

3. Budaya Etis Organisasi


Budaya organisasi merupakan sebuah sistem makna bersama atau
karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi dan dianut oleh para
anggota sehingga membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya
(Robbins 2014). Budaya dalam sebuah organisasi menurut Robbins (2014)
mempunyai sejumlah fungsi, yaitu (1) sebagai penentu batas-batas, (2) memuat
rasa identitas anggota organisasi, (3) memfasilitasi lahirnya komitmen terhadap
sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan individu, (4) meningkatkan
stabilitas sistem sosial, dan (5) budaya bertindak sebagai mekanisme sense-
making serta kendali yang menuntun dan membentuk sikap dan perilaku
karyawan. Isi dan kekuatan suatu budaya akan mempengaruhi suasana etis sebuah
organisasi dan perilaku etis para anggotanya. Budaya organisasi yang kuat akan
lebih mempengaruhi karyawan daripada budaya yang lemah, jika kulturnya kuat
dan mendorong standar etika yang tinggi, maka akan berpengaruh kuat dan positif
terhadap perilaku karyawan.
Menurut Robbins (2014), hal-hal yang dapat dilakukan untuk menciptakan
budaya yang lebih etis dalam sebuah organisasi yaitu:
a. Jadilah model peran yang visibel, yaitu pimpinan harus memiliki perilaku etis
sebagai contoh dan memberi pesan positif bagi seluruh pegawai.
b. Komunikasikan harapan-harapan yang etis, yaitu ambiguitas etika dapat
diminimalkan dengan menciptakan dan mengkomunikasikan kode etik
organisasi yang menyatakan nilai-nilai organisasi dan berbagi aturan etis yang
diharapkan akan dipatuhi pegawai.
c. Berikan pelatihan etis, yaitu menyelenggarakan program pelatihan etis untuk
memperkuat standar tuntunan organisasi, menjelaskan praktik-praktik yang
diperbolehkan dan yang tidak, dan menangani dilema etika yang mungkin
muncul.
d. Secara nyata, berikan penghargaan atas tindakan etis dan beri hukuman
terhadap tindakan yang tidak etis, yaitu pegawai yang bertindak etis harus
diberi penghargaan yang jelas atas perilaku mereka, sebaliknya tindakan tidak
etis harus diganjar secara terbuka/nyata.
13

e. Berikan mekanisme perlindungan, yaitu organisasi perlu memiliki mekanisme


formal sehingga pegawai dapat mendiskusikan dilema-dilema etika dan
melaporkan perilaku tidak etis tanpa takut.
Etika, dari segi etimologi berasal dari bahasa Yunani kuno ethikos yang
berarti timbul dari kebiasaan. Budaya etis organisasi adalah suatu pola tingkah
laku, kepercayaan yang telah menjadi suatu panutan bagi semua anggota
organisasi, tingkah laku disini merupakan suatu tingkah laku yang dapat diterima
oleh moral dan benar secara hukum (Pramudhita 2013). Implementasi nilai-nilai
yang terdapat dalam budaya kerja tersebut dalam suatu organisasi sangat erat
hubungannya dengan kemauan manajemen untuk membangun suatu etika perilaku
dan kultur organisasi yang anti kecurangan, sehingga dapat mengurangi atau
menghindari terjadinya kecurangan (Puspitadewi 2012). Hal ini juga sejalan
dengan Rae dan Subramaniam (2008) yang menyatakan bahwa di suatu
lingkungan yang lebih etis, seorang karyawan akan lebih cenderung melakukan
atau menjalankan peraturan-peraturan perusahaan dan menghindari perbuatan
kecurangan di dalam instansi. Berdasarkan uraian tersebut maka dinyatakan
bahwa budaya etis organisasi berpengaruh positif terhadap pengelolaan keuangan
yang baik dan tidak rawan terjadi kecurangan.

4. Moralitas Individu/ Etika Personal


Moralitas merupakan suatu hal yang mempengaruhi perilaku seorang
individu. Moral berasal dari bahasa latin mos/mores atau adat kebiasaan. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012), moral berarti ajaran baik dan buruk yang
diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan
susila. Moralitas adalah sifat moral/keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan
dengan baik dan buruk (Eliza 2015). Nilai etika membantu untuk membangun dan
mempertahankan standar untuk melakukan sesuatu yang benar dan hal yang layak
dilakukan. Nilai etika mempengaruhi pilihan individu dan mengarah pada
tindakan yang didukung atau ditentang individu tersebut. Pemahaman dan
ketaatan terhadap nilai-nilai etika ini, penolakan atau dukungan mereka
tergantung pada etika pribadi individu (Sorunke 2016).
Kohlberg (1969) dalam Wilopo (2006) menyatakan bahwa moral
berkembang melalui tiga tahapan, yaitu tahapan prakonvensional, tahapan
konvensional, dan tahapan postkonvensional. Orang dengan level penalaran moral
yang rendah berperilaku berbeda dengan orang yang memiliki level penalaran
moral yang tinggi ketika menghadapi dilema etika. Semakin tinggi level penalaran
moral seseorang, maka individu tersebut semakin mungkin untuk melakukan ‘hal
yang benar’.
Individu yang memiliki level penalaran moral tinggi cenderung tidak
melakukan kecurangan akuntansi, baik dalam kondisi terdapat elemen
pengendalian internal maupun dalam kondisi tidak terdapat elemen pengendalian
internal di organisasi (Puspasari dan Suwardi 2012). Apabila setiap individu
dalam organisasi memiliki etika yang kuat maka hal tersebut dapat mencegah
terjadinya perbuatan yang tidak diinginkan yang dapat merugikan organisasi,
misalnya fraud (Sulastri dan Simanjuntak 2014). Berdasarkan uraian tersebut
maka dinyatakan bahwa moralitas individu berpengaruh positif terhadap
pengelolaan keuangan yang baik dan tidak rawan terjadi kecurangan.
14

Kajian Empiris

Penelitian terkait dengan fraud telah lama dilakukan di Indonesia maupun


luar negeri dengan berbagai topik dan pendekatan. Penggalian terhadap penelitian
terdahulu dilakukan sebagai upaya untuk memperjelas penelitian yang telah
dilakukan dan membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya.
Beberapa penelitian terdahulu terkait dengan fraud akan dibahas dalam kajian
empiris ini.
Wilopo (2006) dalam penelitiannya menganalisis faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan
publik dan BUMN di Indonesia. Responden adalah direktur dan manajer yang
bertanggung jawab menyusun laporan keuangan, dan metode analisis
menggunakan Structural Equation Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
efektivitas pengendalian internal, tingkat ketaatan pada aturan akuntansi dan
moralitas manajemen dapat menurunkan perilaku tidak etis dan kecenderungan
kecurangan akuntansi manajemen perusahaan terbuka dan BUMN di Indonesia.
Selanjutnya, Rae dan Subramaniam (2008) melakukan penelitian untuk
menguji pengaruh interaksi antara persepsi keadilan organisasi dan kualitas
pengendalian internal terhadap kecurangan karyawan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa lingkungan etis perusahaan, pelatihan resiko manajemen,
dan aktifitas internal audit berpengaruh terhadap kualitas prosedur pengendalian.
Serta kualitas prosedur pengendalian memoderasi pengaruh persepsi keadilan
organisasi terhadap kecenderungan kecurangan.
Puspasari dan Suwardi (2012) menguji pengaruh moralitas individu dan
pengendalian internal terhadap kecenderungan individu untuk melakukan
kecurangan akuntansi di sektor pemerintahan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa individu yang memiliki level penalaran moral tinggi cenderung tidak
melakukan kecurangan akuntansi baik dalam kondisi terdapat elemen
pengendalian internal maupun dalam kondisi tidak terdapat elemen pengendalian
internal di organisasi. Sedangkan individu dengan level moral rendah cenderung
melakukan kecurangan akuntansi pada kondisi tidak terdapat elemen
pengendalian internal.
Penelitian terkait fraud di sektor pemerintah dilakukan oleh Najahningrum
et al. (2013) yang meneliti tentang persepsi pegawai dinas Provinsi DIY terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya fraud. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penegakan peraturan, keefektifan pengendalian internal, keadilan
distributif, keadilan prosedural, komitmen organisasi, dan budaya etis organisasi
dapat menurunkan terjadinya fraud, sedangkan adanya asimetri informasi dapat
meningkatkan terjadinya fraud. Penelitian lainnya dilakukan oleh Pramuditha
(2013) di Pemkot Salatiga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan, keefektifan pengendalian internal, kesesuaian kompensasi, dan
budaya etis organisasi dapat menurunkan fraud di sektor pemerintahan.
Surjandari dan Martaningtyas (2015) juga melakukan pengujian pengaruh
insentif kinerja, sistem pengendalian internal dan budaya organisasi terhadap
fraud pada salah satu Kementerian di Indonesia. Hasil penelitiannya hanya
mampu membuktikan pengaruh budaya organisasi terhadap fraud, sedangkan
kedua faktor yang lain berlawanan dengan hasil penelitian sebelumnya dan teori.
15

Penelitian yang membahas tentang titik rawan terjadinya kecurangan dalam


sektor pemerintahan misalnya, Setiawan et al. (2013) yang menemukan modus
kecurangan yang terjadi dilakukan melalui penyiasatan yang bermuara pada “dana
taktis” yaitu selisih antara jumlah belanja riil dengan bukti pertanggungjawaban
(SPJ). Kecurangan pada umumnya dilakukan pada belanja rutin yang secara
nominal anggarannya kecil namun sering. Kecurangan tersebut dilakukan antara
lain dengan memalsukan nota/kuitansi, tanda tangan dan stempel penyedia jasa.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan Syahrina et al. (2017) menemukan
bahwa pemicu terjadinya kecurangan adalah kebiasaan memanfaatkan kebutuhan
instansi, kebiasaan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki dan kebiasaan
menyiasati peraturan tentang keuangan negara. Modus yang dilakukan yaitu
penyisihan anggaran (dana saving) untuk memenuhi kebutuhan instansi melalui
mekanisme fraud, penunjukan rekanan bawaan untuk pengadaan barang/jasa yang
bersifat penunjukan langsung, mensiasati peraturan tentang penginapan
menggunakan daftar pengeluaran riil 30%, ketentuan tentang pembayaran tiket
kepulangan sebesar tiket pemberangkatan dan PMK 65 tentang pembayaran honor
narasumber dan pembayaran uang saku rapat.
Penelitian terkait strategi mencegah terjadinya kecurangan dilakukan oleh
Anugerah (2014) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa pelaksanaan
fungsi pengawasan dan pemantauan yang efektif oleh komite audit akan
membantu organisasi dalam mencegah fraud. Selain itu, komite audit sebagai
perpanjangan tangan komisaris dapat mencegah terjadinya fraud dengan
melakukan fungsi pengawasan (oversight functions) terhadap berjalannya sistem
pengendalian internal perusahaan tersebut.
Sulastri dan Simanjuntak (2014) juga menemukan bahwa strategi
penanggulangan fraud dapat dilakukan melalui kombinasi strategi represif
(penindakan) dan strategi preventif (pencegahan). Memberikan tingkat
kompensasi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan taraf hidup layak yang sesuai
serta transparan bagi setiap pagawai sesuai dengan fungsi kompensasi. Upaya lain
yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan pelaksaaan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance).
Hidayat (2017) menyatakan bahwa kesadaran diri harus dikembangkan
untuk menghindari kecurangan. Kesadaran diri dikembangkan dengan
menyeimbangkan hak dan kewajiban, dan keseimbangan antara imbalan dan
hukuman. Karyawan yang menonjol harus dihargai dengan promosi, gaji
tambahan, dan lain-lain. Imbalan tersebut akan menghindari ketidakpuasan
sehingga mengurangi kecurangan di masa depan karena kurangnya perhatian dari
organisasi dan pemimpin. Selain itu, pencegahan fraud juga dapat dilakukan
dengan: 1) menggunakan auditor eksternal; 2) menetapkan kode etik; 3)
melakukan otentikasi pada laporan keuangan; 4) mengkaji keuangan manajemen
dan karyawan; 5) mengembangkan program dukungan karyawan; 6) memberikan
pelatihan tentang penghindaran penipuan; 7) memberikan tips anti fraud melalui
web, media sosial, atau media cetak; 8) melakukan audit internal yang tidak
disengaja; dan 10) menyediakan hadiah bagi pelapor tindak kecurangan.
Penelitian tentang strategi pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi ini berbeda dengan penelitian sebelumnya.
Perbedaannya adalah karena dalam penelitian ini terlebih dahulu menganalisis
persepsi pengelola keuangan terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap
16

fraud dan mengidentifikasi titik rawan yang berpotensi menjadi penyebab


terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi.
Selanjutnya perumusan strategi dilakukan dengan menggunakan pertimbangan
dan pendapat pihak-pihak yang ahli (expert) sehingga strategi yang dirumuskan
diharapkan benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh instansi. Penelitia-
penelitian sebelumnya yang terkait dengan fraud disajikan secara ringkas pada
Tabel 4.
Tabel 4 Ringkasan penelitian terdahulu yang relevan

No. Peneliti dan judul Metode analisis


1 Wilopo (2006), Analisis Faktor-Faktor yang Structural Equation
Berpengaruh terhadap Kecenderungan Kecurangan Model - AMOS
Akuntansi : Studi pada Perusahaan Publik dan
Badan Usaha Milik Negara di Indonesia
2 Kirsty Rae dan Nava Subramaniam (2008), Quality Logistic regression
of Internal Control Procedures Antecedents and dan analisis regresi
Moderating Effect on Organisational Justice and berganda
Employee Fraud
3 Novita Puspasari dan Eko Suwardi (2012), Cek manipulasi,
Pengaruh Moralitas Individu dan Pengendalian analisis regresi
Internal Terhadap Kecenderungan Kecurangan
Akuntansi: Studi Eksperimen pada Konteks
Pemerintahan Daerah
4 Anik Fatun Najahningrum, Sukardi Ikhsan, dan Structural Equation
Maylia Pramono Sari (2013), Faktor-Faktor yang Model - Smart PLS
Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan
(Fraud): Persepsi Pegawai Dinas Provinsi DIY
5 Pramuditha (2013), Analisis Fraud di Sektor Structural Equation
Pemerintahan Kota Salatiga Model - Smart PLS
6 Dwi Asih Surjandari dan Irma Martaningtyas Structural Equation
(2015), An Empirical Study: The Effect of Model - Warp PLS
Performance Incentives, Internal Control System,
Organizational Culture, on Fraud of Indonesia
Government Office
7 Barry Aditya Permana, Halim Dedy Perdana, Lulus Metode analisis
Kurniasih (2017), Determinant of Fraud in regresi linear
Government Agency: Empirical Study at The berganda
Finance and Development Supervisory Agency
(BPKP) of Jakarta Representative Office
8 Achdiar Redy Setiawan, Gugus Irianto, M. Achsin Metode kualitatif -
(2013), System-Driven (UN) Fraud: Tafsir Hermeneutika
Aparatur terhadap “Sisi Gelap” Pengelolaan Gadamerian
Keuangan Daerah
9 Dewi Syahrina, Gugus Irianto, dan Yeney Widya Metode kualitatif -
Prihatiningtyas (2017), Budaya Cari Untung etnografi Spradley
sebagai Pemicu Terjadinya Fraud: Sebuah Studi
Etnografi
10 Rita Anugerah (2014), Peranan Good Corporate Studi kepustakaan
17

No. Peneliti dan judul Metode analisis


Governance dalam Pencegahan Fraud
11 Sulastri dan Simanjuntak (2014), Fraud pada Metode analisis
Sektor Pemerintah Berdasarkan Faktor Keadilan regresi linear
Kompensasi, Sistem Pengendalian Internal dan berganda
Etika Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta)
12 Subagio (2016), Identify Main Factors that Metode kualitatif dan
Influence Corruption and Suggest How to studi pustaka
Eradicate the Corruption Problem in Indonesia
13 Safril Hidayat (2017), Strong Leadership and Metode kualitatif
Political Will in Fraud Avoidance

Kerangka Pemikiran Operasional

Setiap organisasi sektor swasta maupun pemerintah tidak terlepas dari risiko
terjadinya kecurangan atau fraud. Association Of Certified Fraud Examiners
menggolongkan fraud dalam tiga jenis, yaitu kecurangan dalam laporan keuangan,
penyalahgunaan aset dan korupsi. Indonesia merupakan salah satu negara dengan
tingkat fraud yang tinggi dan sebagian besar pelaku merupakan aparat pemerintah.
Pemerintah sebagai pengemban kepercayaan dari masyarakat seharusnya wajib
untuk mengelola keuangan negara dengan baik dan akuntabel. Tingginya praktik
kecurangan tersebut dapat berdampak negatif pada sektor ekonomi, politik, sosial
budaya, maupun keamanan.
Salah satu indikator terjadinya permasalahan dalam pengelolaan keuangan
instansi pemerintah dapat dilihat dari hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan. Kelemahan sistem pengendalian
intern mengindikasikan bahwa entitas organisasi yang diperiksa belum bisa
menyajikan informasi keuangan yang handal dan masih rawan terhadap
kecurangan. Sedangkan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
menunjukkan bahwa masih terdapat salah saji dalam laporan keuangan yang
memungkinkan telah terjadinya unsur perbuatan melawan hukum dan bisa
mengakibatkan adanya potensi kerugian negara atau kekurangan penerimaan
negara.
Fraud dapat terjadi di instansi pemerintah manapun termasuk Badan
Penelitian Pengembangan dan Inovasi. Adanya kelemahan dalam sistem
pengendalian intern menunjukkan bahwa dalam pengelolaan keuangan Badan
Litbang dan Inovasi masih rawan terhadap potensi terjadinya kecurangan dan
perlu untuk dilakukan pencegahan. Pencegahan sebelum terjadi fraud menjadi
fokus utama karena akan lebih efektif dan lebih murah dibandingkan dengan
upaya represif serta dapat menghindarkan instansi dari rusaknya reputasi.
Untuk dapat merumuskan upaya pencegahan terjadinya fraud dalam
pengelolaan keuangan dengan tepat maka perlu terlebih dahulu menganalisis
persepsi pengelola keuangan terhadap faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko
fraud dan mengidentifikasi titik rawan yang menjadi kelemahan dalam
pengelolaan keuangan. Perumusan strategi yang tepat diharapkan dapat mencegah
terjadinya fraud di instansi Badan Litbang sehingga terwujud pengelolaan
18

keuangan yang bersih, transparan dan akuntabel. Secara umum, kerangka


pemikiran operasional yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan sesuai
dengan Gambar 3.

Masih tingginya kasus kecurangan di instansi pemerintah, temuan kelemahan


SPI dan ketidakpatuhan terhadap peraturan undang-undang pada laporan keuangan
pemerintah yang menjadi indikator lemahnya pengelolaan keuangan

Perlunya pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan BLI (adanya temuan


kelemahan SPI dalam pengelolaan keuangan BLI yang menunjukkan LK belum andal
dan rawan potensi kecurangan)

Fraud dalam Titik rawan


pengelolaan potensi fraud
keuangan

Analisis Deskriptif & Analisis


Analisis Structural Deskriptif
Equation Modelling

Variabel yang diduga


berpengaruh:
1. Kesesuaian Kompensasi
2. Efektivitas SPI
3. Budaya Etis Organisasi
4. Moralitas Individu

Analytical Hierarchy Perumusan prioritas Strategi


Process (AHP) Pencegahan Fraud

Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional

3 METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan


Mei 2017 dengan mengambil objek pada satuan kerja lingkup Eselon II Badan
Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu
Sekretariat Badan Litbang, Pusat Litbang Hutan (P3H), Pusat Litbang Hasil Hutan
(P3HH), Pusat Litbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim
(P3SEKPI) yang berlokasi di Bogor dan Pusat Litbang Kualitas dan Laboratorium
Lingkungan (P3KLL) yang berlokasi di Serpong. Pemilihan objek hanya terbatas
pada satker lingkup Eselon II karena karakteristik tugas dan wewenang satker
pusat yang berbeda dengan satker unit pelaksana teknis (UPT). Tugas dan fungsi
19

satker pusat didominasi penyiapan perumus kebijakan (membantu tugas regulator)


sedangkan satker UPT lebih didominasi dengan tugas dan fungsi sebagai
pelaksana kebijakan (eksekutor).

Metode Pemilihan Sampel

Metode pemilihan sampel untuk menentukan faktor penyebab risiko


terjadinya fraud dan titik rawan potensi fraud menggunakan purposive non
random sampling yaitu pengambilan sampel secara sengaja sesuai dengan
persyaratan sampel yang diperlukan. Sampel yang digunakan adalah pegawai
yang terlibat dalam pengelolaan keuangan dan pelaksana kegiatan bidang atau
penelitian. Sedangkan pengambil keputusan untuk merumuskan strategi kebijakan
adalah pejabat di Eselon II Badan Litbang dan Inovasi, auditor internal dan
auditor eksternal yang mengerti permasalahan dalam pengelolaan keuangan serta
yang memiliki pengaruh dalam pengambilan kebijakan dan akademisi selaku
pihak yang bisa memberikan saran dalam pengambilan kebijakan. Responden
dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Responden/informan penelitian

No. Uraian Jumlah (orang)


Faktor penyebab terjadinya fraud dan titik rawan potensi fraud
1 Kepala Sub Bagian dan Sub Bidang 42
2 Bendahara Pengeluaran 5
3 Verifikator Keuangan 5
4 Kelompok Peneliti 38
Strategi pencegahan fraud (kuesioner AHP)
1 Sekretariat Badan Litbang 1
2 Pihak Eksternal 4
Jumlah Total Responden 95

Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian.
Data primer yang akan dikumpulkan pada penelitian ini diperoleh dari kuesioner
berisi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh masing-masing responden.
Responden dalam penelitian ini merupakan pengelola keuangan dan pelaksana
kegiatan di Badan Litbang dan Inovasi, yaitu kepala sub bidang/bagian, bendahara
pengeluaran, verifikator keuangan dan pelaksana kegiatan penelitian (kelompok
peneliti). Sedangkan data primer untuk merumuskan strategi kebijakan diperoleh
dari wawancara terstruktur untuk mengisi kuesioner AHP dengan Sekretariat BLI,
Inspektorat Jenderal, BPK dan BPKP serta akademisi yang memahami materi
terkait fraud.
Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh secara langsung dari objek
penelitian namun diperoleh melalui media perantara. Data sekunder yang akan
diolah berupa data laporan sistem pengendalian intern masing-masing satuan kerja
20

Eselon II lingkup Badan Litbang dan Inovasi. Sumber data yang lain adalah data
sekunder yang diperoleh dari publikasi dan laporan hasil pemeriksaan BPK RI.
Data-data tersebut didapatkan dari satuan kerja Eselon II lingkup Badan Litbang
dan Inovasi serta data-data dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian
ini. Adapun tujuan, jenis data, metode analisis disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Tujuan, jenis data, metode analisis dan sumber data/responden

Tujuan Jenis data Metode Sumber data


analisis
Menganalisis faktor yang - Primer - Analisis
berpengaruh terhadap - Kuesioner deskriptif
Kepala sub
risiko fraud dalam - Structural
bidang/bagian,
pengelolaan keuangan Equation
bendahara
Badan Litbang Inovasi Modelling
pengeluaran,
Mengidentifikasi titik - Primer Analisis
verifikator keuangan
rawan yang berpotensi - Kuesioner deskriptif
dan pelaksana
menyebabkan risiko
kegiatan penelitian
fraud di Badan Litbang
dan Inovasi
Merumuskan strategi - Primer Analytical Sekretariat BLI,
atau program untuk - Kuesioner Hierarchy Inspektorat Jenderal,
mencegah terjadinya AHP Process BPK dan BPKP serta
fraud dalam pengelolaan (wawancara akademisi
keuangan di Badan terstruktur)
Litbang dan Inovasi

Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan variabel laten atau konstruk yang tidak dapat
diukur secara langsung namun harus diukur dengan indikator. Variabel laten yang
digunakan yaitu (1) variabel endogen atau variabel laten yang nilainya ditentukan
oleh variabel lain di dalam model dan (2) variabel eksogen atau variabel laten
yang nilainya ditentukan oleh variabel lain di luar model (Sholihin dan Ratmono
2013). Variabel endogen dalam penelitian ini adalah fraud dalam pengelolaan
keuangan, sedangkan variabel eksogen dalam penelitian ini adalah kesesuaian
kompensasi, efektivitas sistem pengendalian intern, budaya etis organisasi dan
moralitas individu.
1. Fraud dalam Pengelolaan Keuangan (Y)
Definisi operasional fraud dalam penelitian ini adalah persepsi pengelola
keuangan terhadap kondisi-kondisi yang berpotensi menyebabkan terjadinya fraud
di Badan Litbang dan Inovasi. Fraud dalam pengelolaan keuangan diukur
menggunakan indikator berdasarkan Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) dalam Najahningrum et al. (2013) yang mengkategorikan kecurangan
dalam tiga kelompok, yaitu kecurangan laporan keuangan (financial statement
fraud), penyalahgunaan aset (asset misappropriation), dan korupsi (corruption).
Indikator tersebut dikembangkan untuk menggambarkan pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi, yaitu:
21

1) Kebenaran bukti pertanggungjawaban


2) Otorisasi dokumen pertanggungjawaban
3) Penggunaan anggaran
4) Pemanfaatan aset
5) Kebenaran laporan aset
6) Gratifikasi
7) Hubungan dengan rekanan
8) Kesesuaian spesifikasi dalam pengadaan, dan
9) Penggunaan sisa anggaran
Instrumen tersebut diukur dengan menggunakan skala Likert 4 poin. Skala
terendah (poin 1) menunjukkan kondisi pengelolaan keuangan yang buruk dan
rawan terhadap fraud dan skala tertinggi (poin 4) menunjukkan kondisi
pengelolaan keuangan yang baik dan tidak rawan terjadi fraud.
2. Kesesuaian kompensasi (X1)
Definisi operasional kesesuaian kompensasi dalam penelitian ini adalah
persepsi pengelola keuangan terhadap kompensasi baik finansial maupun non
finansial yang diberikan oleh instansi sudah sesuai atau belum. Kesesuaian
kompensasi diukur dengan instrumen yang dikembangkan peneliti dari Gibson
(1997) dalam Wilopo (2006) perihal reward, yaitu:
1) Kompensasi keuangan
2) Pengakuan perusahaan atas keberhasilan dalam melaksanakan pekerjaan
3) Promosi
4) Penyelesaian tugas
5) Pencapaian sasaran
6) Pengembangan pribadi
Instrumen tersebut diwakili oleh 6 (enam) item pertanyaan yang masing-
masing butir pernyataan tersebut diukur dengan menggunakan skala Likert 4 poin.
Skala terendah (poin 1) menunjukkan kompensasi yang diterima masih belum
sesuai dan skala tertinggi (poin 4) menunjukkan kompensasi yang diterima oleh
instansi sudah sesuai.
3. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern (X2)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur sistem pengendalian intern
menggunakan 5 indikator sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yaitu:
1) Lingkungan pengendalian
2) Penilaian resiko
3) Kegiatan pengendalian
4) Informasi dan komunikasi
5) Pemantauan
Instrumen tersebut diwakili oleh 5 (lima) pertanyaan yang masing-masing
butir pernyataan tersebut diukur dengan menggunakan skala Likert 4 poin.
Semakin tinggi skala nilai menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern dalam
instansi sudah sangat baik.
4. Budaya etis organisasi (X3)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur budaya etis organisasi
menggunakan 5 indikator yang dikembangkan oleh Robbins (2014) dan
Najahningrum et al. (2013), yaitu:
1) Model peran yang visible
22

2) Komunikasi harapan-harapan etis


3) Pelatihan etis
4) Hukuman bagi tindakan etis
5) Mekanisme perlindungan etika
Instrumen tersebut diwakili dengan 5 (lima) pertanyaan yang masing-
masing butir pernyataan tersebut diukur dengan menggunakan skala Likert 4 poin.
Semakin tinggi skala nilai menunjukkan bahwa budaya organisasi dalam lingkup
Badan Litbang dan Inovasi sudah sangat etis.
5. Moralitas individu (X4)
Pengukuran moralitas individu berasal dari model pengukuran moral yang
dikembangkan oleh Kohlberg (1969) dan Rest (1979) dalam Wilopo (2006)
dengan bentuk instrumen Defining Issues Test. Instrumen ini berbentuk kasus
dilema etika. Moralitas diukur melalui 6 (enam) butir instrumen yang mengukur
setiap tahapan moralitas melalui kasus dilema etika akuntansi, yaitu:
1) Situasi dimana pimpinan mengubah laporan keuangan seperti periode
yang lalu untuk kepentingannya
2) Situasi dimana pimpinan menjanjikan akan memberikan bonus kepada
bawahan jika mengubah laporan keuangan seperti periode yang lalu
3) Situasi dimana pimpinan mengubah laporan keuangan seperti periode
yang lalu agar kinerjanya bagus dan terlihat baik
4) Situasi dimana pimpinan mengubah laporan keuangan seperti periode
yang lalu karena sudah lazim
5) Situasi dimana pimpinan menyusun laporan keuangan seperti kondisi
yang sebenarnya karena takut terkena sanksi Undang-Undang
6) Situasi dimana pimpinan menyusun laporan keuangan seperti kondisi
yang sebenarnya karena pertimbangan prinsip kesejahteraan masyarakat
dan tidak merugikan pemerintah
Setiap tahapan ditunjukkan dengan skala likert 1-4. Selanjutnya dilakukan
penjumlahan hasil skala dari keenam instrumen tersebut. Hasil pengukuran atas
dilema etika akuntansi ini merupakan cerminan moralitas individu. Semakin
tinggi skala nilai menunjukkan bahwa moralitas individu dalam instansi sudah
sangat baik. Skala untuk mengukur moralitas individu tersebut memiliki empat
alternatif jawaban yaitu SS=Sangat Setuju, S=Setuju, TS=Tidak Setuju,
STS=Sangat Tidak Setuju. Untuk pertanyaan nomor 1-4, jawaban sangat setuju
(SS) mendapat nilai 1, setuju (S) mendapat nilai 2, tidak setuju (TS) mendapat
nilai 3, dan jawaban sangat tidak setuju (STS) mendapat nilai 4. Sedangkan untuk
pertanyaan nomor 5 dan 6, jawaban sangat setuju (SS) mendapat nilai 4, setuju (S)
mendapat nilai 3, tidak setuju (TS) mendapat nilai 2 dan sangat tidak setuju (STS)
mendapat nilai 1.

Metode Analisis Data

Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk memberikan
gambaran kondisi Badan Litbang dan Inovasi yaitu:
1. Karakteristik responden dan data yang digunakan
23

2. Mengukur dan mengevaluasi data berdasarkan atas hasil yang diperoleh dari
jawaban responden terhadap masing-masing indikator pengukur variabel.
Kategori variabel penelitian diperoleh dengan menghitung total score jawaban
dibagi dengan jumlah responden dan pertanyaan pada masing-masing variabel
sehingga diperoleh kategori seperti yang tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7 Skala likert untuk masing-masing variabel penelitian
Variabel penelitian
Skala likert Kesesuaian Efektivitas Budaya etis Moralitas
Fraud
kompensasi SPI organisasi individu
1 Rawan Tidak sesuai Tidak efektif Tidak etis Tidak
bermoral
2 Kurang Kurang Kurang Kurang etis Kurang
rawan sesuai efektif bermoral
3 Tidak rawan Sesuai Efektif Etis Bermoral
4 Sangat tidak Sangat Sangat Sangat etis Sangat
rawan sesuai efektif bermoral

3. Titik rawan yang berpotensi menyebabkan fraud dalam pengelolaan keuangan


di Badan Litbang dan Inovasi diperoleh melalui kuesioner dan wawancara
kepada responden. Pertanyaan yang diajukan terkait dengan permasalahan
yang berisiko menimbulkan kecurangan dalam lingkup pekerjaan responden
sebagai pengelola keuangan, serta penyebab terjadinya permasalahan tersebut.
Jawaban dari responden kemudian dideskripsikan untuk menjawab tujuan
penelitian kedua.

Uji Statistik
Teknis pengolahan data yang digunakan untuk menganalisis faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya risiko fraud dalam pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi menggunakan Structural Equation Model (SEM).
Teknik analisis ini mampu menggambarkan konsep model dengan variabel laten
atau variabel yang tidak dapat diukur secara langsung, akan tetapi diukur melalui
indikator-indikatornya (Ghozali 2015). SEM digunakan karena kelebihannya yang
mampu menguji model penelitian yang kompleks secara simultan dan mampu
menganalisis variabel yang tidak dapat diukur langsung dan memperhitungkan
kesalahan pengukurannya (Sholihin dan Ratmono 2013).
Analisis data dilakukan dengan menggunakan Structural Equation Model-
Partial Least Square (SEM-PLS) dengan bantuan software WarpPLS versi 5.0.
PLS merupakan metode yang powerfull karena meniadakan asumsi-asumsi
Ordinary Least Squares regresi, seperti data harus terdistribusi normal secara
multivariate dan tidak adanya problem multikolonieritas antar variabel eksogen
(Wold 1985 dalam Ghozali 2015). PLS juga bisa digunakan untuk menguji teori
yang lemah dan jumlah sampel yang kecil atau adanya masalah normalitas data
(Wold 1982 dalam Ghozali 2015). Analisis dengan menggunakan SEM-PLS
terdiri dari dua sub model yaitu model pengukuran (measurement model) atau
outer model dan model struktural (structural model) atau inner model. Model
pengukuran menunjukkan bagaimana variabel manifest atau observed variabel
24

mempresentasi variabel laten untuk diukur, sedangkan model struktural


menunjukkan kekuatan estimasi antar variabel laten atau konstruk (Ghozali 2015).
1. Evaluasi Outer Model/ Model Pengukuran
Evaluasi outer model dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas dari
indikator-indikator yang membentuk konstruk laten. Uji validitas bertujuan untuk
menguji apakah indikator yang digunakan dapat menjelaskan konstruk laten untuk
diukur/indikator valid atau tidak. Uji validitas terdiri atas dua unsur yaitu validitas
konvergen (convergent validity) dan validitas diskriminan (discriminant validity).
Uji reliabilitas bertujuan untuk menguji apakah item/indikator dari instrumen
dapat digunakan untuk melakukan pengukuran lebih dari dua kali (dari waktu ke
waktu) dengan hasil yang akurat.
a. Uji Convergent Validity
Convergent validity berhubungan dengan prinsip bahwa pengukur-pengukur
dari suatu konstruk seharusnya berkorelasi tinggi atau indikator dari variabel
benar-benar berhubungan dengan variabelnya. Rule of thumb yang biasanya
digunakan yaitu nilai loading factor harus lebih besar dari 0.7 untuk penelitian
yang bersifat confirmatory dan nilai loading antara 0.6-0.7 untuk penelitian ini
karena bersifat exploratory (Ghozali 2017) serta nilai Average Variance Extracted
(AVE) harus lebih besar dari 0.5 (Ghozali 2017).
b. Uji Discriminant Validity
Validitas diskriminan bertujuan untuk menguji indikator dari dua konstruk
yang seharusnya tidak berkorelasi tinggi atau variabel yang satu berbeda dengan
variabel yang lainnya. Metode untuk menilai validitas diskriminan adalah dengan
membandingkan akar kuadrat dari Average Variance Extracted (AVE) untuk
setiap konstruk dengan nilai korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya
dalam model. Validitas diskriminan yang baik ditunjukkan dari nilai akar kuadrat
AVE untuk setiap konstruk lebih besar dari korelasi antar konstruk dalam model
(Barclay et al. 1995; Fornell dan Larcker 1981 dalam Ghozali 2017).
c. Uji Composite Reliability
Rule of thumb yang biasanya digunakan untuk menilai reliabilitas konstruk
yaitu nilai composite reliability maupun cronbach’s alpha lebih besar dari 0.7
untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai antara 0.6-0.7 masih dapat
diterima untuk penelitian yang bersifat exploratory (Sholihin dan Ratmono 2013;
Ghozali dan Latan 2017).
2. Evaluasi Inner Model/Model Struktural
Langkah selanjutnya setelah hasil evaluasi model pengukuran memenuhi
syarat adalah melakukan evaluasi model struktural. Model struktural bertujuan
untuk melihat hubungan antar konstruk seperti yang dihipotesiskan dalam
penelitian dengan melihat hasil estimasi koefisien jalur struktural dan tingkat
signifikansinya yang berguna dalam pengambilan kesimpulan atas hasil pengujian
hipotesis (Sholihin dan Ratmono 2013). Model struktural dievaluasi dengan R-
square, Q-square predictive relevance dan Uji signifikansi.
a. R-square
Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel
laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai
pengaruh yang substantif (Ghozali dan Latan 2017). Hasil R-square sebesar 0,67
untuk variabel laten endogen dalam model struktural mengindikasikan bahwa
25

model adalah baik, nilai 0.33 model adalah moderat dan 0.19 model adalah model
lemah (Chin 1998 dalam Ghozali 2017).
b. Q-square predictive relevance (Stone Geisser test)
Q-square predictive relevance atau disebut predictive sample reuse
dikembangkan oleh Stone dan Geiser (1974) untuk mengetahui apakan model
mempunyai predictive relevance atau tidak. Q-square predictive relevance
mengukur seberapa baik nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi
parameternya. Jika nilai Q-square lebih besar dari nol (Q-square > 0)
menunjukkan bahwa model mempunyai nilai predictive relevance dan jika nilai
Q-square kurang dari nol (Q square < 0) mengindikasikan model kurang memiliki
nilai predictive relevance (Ghozali dan Latan 2017).
c. Uji Signifikansi
Langkah terakhir dalam pengujian adalah melihat signifikansi p-value untuk
mengetahui pengaruh antar variabel berdasarkan hipotesis yang dibangun melalui
prosedur resampling. Untuk melihat hasil uji hipotesis dapat dilihat nilai path
coefficients dan p-values dalam total effects hasil dari pengolahan data variabel
secara simultan. Tingkat signifikansi yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sebesar 10 %. Jika p-value < 0.1 maka hipotesis diterima atau jika p-value > 0.1
maka hipotesis ditolak.
Dalam penelitian ini variabel kesesuaian kompensasi, efektivitas sistem
pengendalian intern, budaya etis dan moralitas individu diduga berpengaruh
positif terhadap pengelolaan keuangan yang tidak rawan terjadi fraud. Semakin
sesuai kompensasi yang diterima oleh pegawai, semakin efektif sistem
pengendalian intern yang diterapkan, semakin etis budaya organisasi dan semakin
baik moralitas individu pegawai maka pengelolaan keuangan Badan Litbang dan
Inovasi semakin tidak rawan terjadi fraud. Model yang digunakan dalam
penelitian ini disajikan pada Gambar 4.

- Kompensasi keuangan
- Pengakuan atas prestasi
- Kebenaran
- Promosi
Kesesuaian bukti
- Penyelesaian tugas
Kompensasi pertanggung
- Pencapaian sasaran
jawaban
- Pengembangan pribadi
- Otorisasi
Gibson (1997) dalam Wilopo (2006)
dokumen
pertanggung
- Lingkungan pengendalian jawaban
- Penilaian risiko Sistem - Penggunaan
- Kegiatan pengendalian Pengendalian anggaran
- Informasi dan komunikasi Intern - Pemanfaatan
- Pemantauan Fraud
aset
PP 60 tahun 2008 dalam
- Kebenaran
pengelolaan
laporan aset
keuangan
- Gratifikasi
- Model peran yang visible - Hubungan
- Komunikasi harapan etis Budaya Etis dengan rekanan
- Pelatihan etis Organisasi - Kesesuian
- Hukuman bagi tindakan etis spesifikasi
- Mekanisme perlindungan etika - Penggunaan
Robbins (2014), Najahningrum (2013) sisa anggaran
ACFE dalam
Enam kasus dilematis untuk mengetahui Moralitas Najahningrum
tingkat moralitas manajemen Individu (2013)
Kohlberg (1969) dalam Wilopo (2006)

Gambar 4 Variabel dan indikator penelitian


26

Perumusan Strategi

Penelitian ini dalam memformulasikan strateginya menggunakan Analytical


Hierarcy Process (AHP) dengan bantuan aplikasi Expert Choice 11 dalam
mengolah data. Analytical Hierarcy Process merupakan alat analisis yang
digunakan untuk membantu para pembuat keputusan untuk mengidentifikasikan
dan sekaligus membuat prioritas berdasarkan tujuan yang ingin dicapai,
pengetahuan yang dimiliki, dan pengalaman yang mereka miliki untuk masing-
masing masalah yang dihadapi (Saaty 1993). Model AHP menggunakan persepsi
seseorang yang ahli (expert) sebagai input utamanya, sehingga diharapkan strategi
yang dirumuskan dapat benar-benar sesuai dengan yang dibutuhkan oleh instansi
pemerintah. Kekuatan dari AHP terletak pada struktur hierarkinya yang
memungkinkan seseorang memasukkan semua faktor penting, mengaturnya dari
atas ke bawah, dimulai dengan tingkat yang paling penting ke tingkat yang berisi
alternatif, untuk memilih alternatif mana yang terbaik (Saaty 1993).
Menurut Saaty (1993) prinsip dasar AHP ada tiga, yaitu:
1. Menyusun Hirarki
Penyusunan hirarki dilakukan dengan cara mengidentifikasi pengetahuan
atau informasi yang sedang diamati. Penyusunan tersebut dimulai dari
permasalahan yang kompleks dan diuraikan menjadi elemen pokoknya. Elemen
pokok ini diuraikan lagi ke dalam bagian-bagian yang lebih detail dan seterusnya.
Hirarki prioritas strategi disusun berdasarkan studi literatur dan wawancara
dengan pejabat terkait. Struktur AHP yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
dari 5 (lima) level, yaitu fokus, faktor, aktor, kendala dan strategi.
Fokus dalam penelitian ini adalah strategi pencegahan fraud dalam
pengelolaan keuangan Badan Litbang dan Inovasi. Faktor-faktor yang digunakan
dalam penyusunan hirarki adalah faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
fraud, yaitu tekanan, kesempatan dan rasionalisasi. Faktor yang diduga
berpengaruh terhadap risiko fraud dalam pengelolaan keuangan di Badan Litbang
dan Inovasi adalah kesesuian kompensasi, efektivitas sistem pengendalian intern,
budaya etis organisasi dan moralitas individu.
Aktor-aktor yang digunakan dalam penyusunan hirarki adalah aktor yang
memiliki kewenangan untuk mengendalikan faktor pendorong terjadinya fraud
yaitu eselon II di Badan Litbang dan Inovasi, auditor internal/inspektorat dan
auditor eksternal. Kendala-kendala yang menjadi skala prioritas dalam
penyusunan hirarki adalah kendala yang dianggap dapat mempengaruhi aktor
dalam upaya mencegah terjadinya fraud. Kendala-kendala tersebut adalah aspek
individu, aspek organisasi, dan aspek peraturan.
Level terakhir dalam penyusunan strategi adalah alternatif-alternatif strategi
yang dipilih untuk mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi. Alternatif strategi yang dipilih yaitu:
(a) Perumusan value/nilai anti fraud di organisasi,
(b) Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian,
(c) Sistem reward dan punishment yang tegas,
(d) Membentuk agen perubahan (agent of change),
(e) Peningkatan kultur organisasi, dan
(f) Pendidikan anti fraud bagi pegawai.
27

Hirarki prioritas strategi pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan di


Badan Litbang dan Inovasi disajikan pada Gambar 5.

Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan


Fokus
Badan Litbang dan Inovasi

Faktor
Kesesuaian Budaya Etis Moralitas
Efektivitas SPI
Kompensasi Organisasi Individu

Aktor Eselon II Auditor internal Auditor eksternal

Kendala Aspek Individu Aspek Organisasi Aspek Peraturan

Strategi
Perumusan Perbaikan
Sistem
value/nilai sistem Membentuk Peningkatan
reward dan Pendidikan
anti fraud pengawasan agent of kultur
punishment anti fraud
di dan change organisasi
yang tegas
organisasi pengendalian

Gambar 5 Struktur Analytical Hierarcy Process (AHP)

2. Menetapkan Prioritas
Langkah pertama yang dilakukan dalam menetapkan prioritas elemen
pengambilan keputusan adalah dengan membuat perbandingan berpasangan
(pairwise comparisons). Elemen-elemen tersebut dibandingkan berpasangan
terhadap kriteria yang telah ditentukan. Untuk perbandingan berpasangan ini
digunakan bentuk matriks. Dalam memulai perbandingan berpasangan ini,
dimulai pada puncak hirarki untuk memilih kriteria atau sifat yang akan
digunakan untuk melakukan perbandingan yang pertama (focus). Kemudian
membandingkan elemen-elemen ditingkat bawahnya sesuai jumlah dalam matrik.
Contoh matrik perbandingan berpasangan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Matrik untuk perbandingan berpasangan

Focus Kesesuaian Efektivitas Budaya Etis Moralitas


Kompensasi SPI Organisasi Individu
Kesesuaian 1
Kompensasi
Efektivitas SPI 1

Budaya Etis 1
Organisasi
Moralitas 1
Individu
28

Langkah berikutnya untuk mengisi matriks perbandingan berpasangan


tersebut adalah mengisi berdasarkan skala nilai dengan angka antara 1 sampai 9.
Nilai dan definisi nilai 1 sampai 9 dari skala perbandingan Saaty ini dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9 Skala perbandingan secara berpasangan dalam AHP

Nilai Keterangan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lainnya
5 Elemen yang satu sangat penting dibanding yang lainnya
7 Satu elemen jelas kebih penting dari elemen yang lainnya
9 Satu elemen mutlak lebih penting dibanding yang lainya
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua elemen yang berdekatan
Sumber: Saaty (1993)

3. Konsistensi Logis
Langkah terakhir yang dilakukan dalam proses hirarki analitik adalah dengan
memperhitungkan konsistensi logis, yaitu semua elemen dikelompokkan secara
logis dan diperingatkan secara konsisten sesuai dengan kriteria yang logis.
Konsistensi sampai level tertentu dalam menetapkan prioritas untuk elemen-
elemen atau aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan beberapa kriteria sangat
diperlukan untuk memperoleh hasil yang benar dalam dunia nyata. Proses hirarki
analitik mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui
suatu rasio konsistensi. Nilai konsistensi yang dapat diterima adalah ≤ 0.1 karena
jika nilai konsistensi lebih dari 10% artinya pertimbangan mungkin agak acak dan
perlu diperbaiki (Saaty 1993).

4 GAMBARAN UMUM BADAN LITBANG DAN INOVASI

Sejarah Badan Litbang dan Inovasi

Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi terletak di jalan Gunung Batu


nomor 5 Bogor. Instansi ini telah berdiri sejak tahun 1913 saat dimulainya
penelitian hasil hutan di Indonesia ketika pemerintahan kolonial Belanda. Nama
awal lembaga ini adalah Proefstation Voor Het Boswezen (Stasiun Penelitian
untuk Kehutanan) yang bernaung di bawah Dients Van Het Boswezen (Jawatan
Kehutanan) sesuai dengan Keputusan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1913 yang
berkedudukan di Jl. Sawojajar Bogor dan pada tahun 1930 dialihkan ke Jl.
Gunung Batu No. 5 Bogor, hingga sekarang. Pada tahun 1927 nama stasiun
tersebut diubah menjadi Bosbouwproefstation (Balai Penjelidikan Kehutanan)
dengan ruang lingkup kegiatan mencakup aspek biologi, teknologi dan ekonomi
kehutanan. Tahun 1957 Balai Penyelidikan Kehutanan diubah menjadi Lembaga
Penyelidikan Kehutanan dengan empat bagian kegiatan penyelidikan. Perubahan
berikutnya terjadi pada tahun 1971 dan tahun 1980 terbagi dalam lingkup Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
29

Perubahan berikutnya terjadi pada tahun 1983 dengan dibentuknya


Departemen Kehutanan sesuai Surat Keputusan Presiden RI Nomor 45/M/tahun
1983 tentang Kabinet Pembangunan IV, menjadi Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Kabinet Kerja yang dibentuk pada tanggal 26 Oktober
2014 menggabungkan Kementerian Kehutanan dengan Kementerian Negara
Lingkungan Hidup menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sesuai Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maka instansi Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan berubah menjadi Badan Penelitian
Pengembangan dan Inovasi.

Tugas Pokok dan Fungsi Badan Litbang dan Inovasi

Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Badan Penelitian Pengembangan dan


Inovasi mengacu kepada Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.18/MenLHK-
II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Berdasarkan kedua peraturan tersebut, Badan Litbang dan Inovasi
adalah pelaksana program penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang
lingkungan hidup dan kehutanan yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan dipimpin oleh Kepala
Badan.
Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi mempunyai tugas
menyelenggarakan penelitian, pengembangan, dan inovasi di bidang lingkungan
hidup dan kehutanan termasuk penyebarluasan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan kepada pengguna baik internal maupun eksternal Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dalam melaksanakan tugas Badan Litbang
dan Inovasi menyelenggarakan fungsi:
1) Penyusunan kebijakan teknis, rencana, dan program penelitian,pengembangan,
dan inovasi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
2) Pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan inovasi di bidang lingkungan
hidup dan kehutanan;
3) Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan penelitian, pengembangan,
dan inovasi di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
4) Pelaksanaan administrasi Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi;
5) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Struktur Organisasi Badan Litbang dan Inovasi

Sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor:


P.18/MenLHK-II/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, struktur Badan Litbang dan Inovasi terdiri atas
beberapa unit kerja sebagai berikut:
30

a. Sekretariat Badan;
b. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbang Hutan);
c. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (Puslitbang Hasil Hutan);
d. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan
(Puslitbang KLL);
e. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan
Perubahan Iklim (Puslitbang SEKPI); dan
f. Balai Besar dan Balai Penelitian.
Balai Besar dan Balai sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang
dan Inovasi masih mengacu kepada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.
27/Menhut-II/2011 s/d P. 40/Menhut-II/2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis Badan Litbang dan Inovasi. UPT tersebut berjumlah 15
unit kerja yang terdiri atas 2 Balai Besar setingkat Eselon II B dan 13 Balai
Penelitian setingkat Eselon III sebagaimana Tabel 10.
Tabel 10 Nama Unit Pelaksana Teknis lingkup Badan Litbang dan Inovasi
No. Nama organisasi Kedudukan

1 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Yogyakarta


Pemuliaan Tanaman Hutan
2 Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Ekosistem Hutan Samarinda
Dipterokarpa
3 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry Ciamis

4 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan Bogor


Tanaman Hutan
5 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Mataram
Bukan Kayu
6 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Solo
Daerah Aliran Sungai
7 Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Samboja
Sumber Daya Alam
8 Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan Kuok

9 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Manokwari


Kehutanan Manokwari
10 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Banjarbaru
Kehutanan Banjarbaru
11 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Palembang
Kehutanan Palembang
12 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Makassar
Kehutanan Makasar
13 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kupang
Kehutanan Kupang
14 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Manado
Kehutanan Manado
15 Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Aek Nauli
Kehutanan Aek Nauli
Sumber: Badan Litbang dan Inovasi (2016)
31

Sumber Daya Manusia Badan Litbang dan Inovasi

Badan Litbang dan Inovasi sampai saat ini didukung sumber daya manusia
yang berstatus Pegawai Negeri Sipil sejumlah 1.648 orang dan tenaga kontrak
berjumlah 338 orang. Pengelompokan pegawai berdasarkan jabatan
struktural/fungsional umum dan jabatan fungsional tertentu secara rinci dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Pengelompokan pegawai berdasarkan jabatan
Jumlah
No. Kelompok Pegawai
Orang %
1 Tenaga Struktural/Fungsional Umum
a. Struktural 144 8.73
b. Fungsional Umum 667 40.47
2 Tenaga Fungsional Tertentu
a. Peneliti 456 27.69
b. Calon Peneliti 43 26.09
c. Teknisi Litkayasa 277 16.80
d. Calon Teknisi Litkayasa 5 0.30
e. Pustakawan 1 0.06
f. Calon Pustakawan 1 0.06
g. Pranata Komputer 13 0.79
h. Calon Pranata Komputer 3 0.18
i. Analis Kepegawaian 6 0.36
j. Calon Analis Kepegawaian 3 0.18
k. Arsiparis 6 0.36
l. Calon Arsiparis 0 0.00
m. Pranata Humas 1 0.06
n. Calon Pranata Humas 0 0.00
o. Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan jasa 9 0.55
p. Calon Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa 0 0.00
q. Pengendali Dampak Lingkungan 12 0.73
r. Calon Pengendali Dampak Lingkungan 1 0.06
Jumlah PNS dan CPNS 1648 100.00
3 Honorer/Kontrak Kerja 338
Jumlah seluruhnya 1986
Sumber : Badan Litbang dan Inovasi (2016)

Akuntabilitas Anggaran Badan Litbang dan Inovasi

Kegiatan Badan Litbang dan Inovasi secara garis besar terbagi dalam lima
kegiatan yaitu kegiatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya, kegiatan penelitian pengelolaan hutan, kegiatan penelitian peningkatan
nilai tambah hasil hutan, kegiatan penelitian kualitas lingkungan dan pengelolaan
laboratorium lingkungan, kegiatan penelitian sosial ekonomi dan kebijakan serta
pengembangan hasil penelitian, dan terakhir pelaksanaan kegiatan penelitian tematik unit
litbang LHK di daerah.
32

Pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Badan


Litbang dan Inovasi tahun anggaran 2016 adalah sebesar Rp 320 489 412 000.
Pagu dan realisasi anggaran berdasarkan kegiatan dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Realisasi anggaran APBNP BLI tahun 2016 berdasarkan kegiatan
Kegiatan Pagu APBNP Realisasi Persen
(Rp) (Rp) (%)
Dukungan manajemen dan 26 494 538 000 24 979 851 607 94.28
pelaksanaan tugas teknis lainnya
Penelitian pengelolaan hutan 40 151 076 000 37 375 227 845 93.09
Penelitian peningkatan nilai tambah 24 816 601 000 23 286 478 419 93.83
hasil hutan
Penelitian kualitas lingkungan dan 22 947 263 000 20 152 129 856 87.82
pengelolaan laboratorium lingkungan
Penelitian sosekjak serta 26 776 747 000 24 717 853 466 92.31
pengembangan hasil penelitian
Pelaksanaan kegiatan penelitian 179 303 187 000 171 625 861 785 95.72
tematik unit litbang LHK di daerah
Total 320 489 412 000 302 137 402 978 94.27
Sumber : Badan Litbang dan Inovasi (2016)

Pada pagu anggaran Badan Litbang dan Inovasi tahun 2016 terdapat self
blocking sebesar Rp 12 118 599 000 sehingga dana yang dapat digunakan adalah
sebesar Rp 308 370 813 000. Jika dibandingkan dengan pagu self blocking, maka
realisasi anggaran Badan Litbang dan Inovasi adalah sebesar 97.98% sebagaimana
disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Realisasi anggaran APBNP BLI tahun 2016 berdasarkan jenis belanja
setelah self blocking
Jenis Belanja Pagu (Rp) Pagu Self Realisasi (Rp) Persen
Blocking (Rp) (%)
Belanja Pegawai 187 557 348 000 187 557 348 000 184 720 643 336 98.49
Belanja Barang 125 314 606 000 114 004 490 000 110 638 197 802 97.05
Belanja Modal 7 617 458 000 6 808 975 000 6 778 561 840 99.55
Total 320 489 412 000 308 370 813 000 302 137 402 978 97.98
Sumber : Badan Litbang dan Inovasi (2016)

Perkembangan realisasi anggaran BLI tahun 2011 sampai dengan 2016


mengalami fluktuasi. Perkembangan pagu dan realisasi anggaran BLI disajikan
pada Tabel 14 dan Gambar 6.
Tabel 14 Pagu dan realisasi anggaran tahun 2011 sampai dengan tahun 2016
No. Tahun Anggaran Pagu Anggaran (Rp) Realisasi (Rp) Realisasi (%)
1 TA 2011 232 256 167 000 212 807 630 561 91.63
2 TA 2012 257 564 401 000 243 666 162 145 94.60
3 TA 2013 274 414 473 000 262 298 732 296 95.58
4 TA 2014 220 600 585 000 205 955 294 869 93.36
5 TA 2015 398 956 170 000 360 544 553 009 90.37
6 TA 2016 320 489 412 000 302 137 402 978 94.27
7 TA 2016 (SB) 308 370 813 000 302 137 402 978 97.98
33

Perkembangan Realisasi Anggaran BLI Tahun 2011-2016


100
98
Realisasi Anggaran (%)
96 97,98
94 95,58
92 94,6 94,27
93,36
90 91,63
88 90,37
86
2011 2012 2013 2014 2015 2016
Tahun Anggaran
Self Blocking APBNP

Gambar 6 Tren realisasi anggaran BLI Tahun 2011-2016


Sumber : Badan Litbang dan Inovasi (2016)

Gambaran Penerapan Sistem Pengendalian Intern

Berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem


Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) mewajibkan setiap Menteri/Pimpinan
Lembaga untuk melakukan pengendalian intern atas penyelenggaraan kegiatan
pemerintahan. Pengendalian intern tersebut dimaksudkan untuk mencapai
pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan akuntabel.
Penyelenggaraan SPIP di kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diatur
melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.38/Menlhk-I/2015 tanggal 28 Juli 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Peraturan tersebut merupakan perubahan dari Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan SPIP lingkup
Kementerian Kehutanan. Penerapan sistem pengendalian intern Badan Litbang
dan Inovasi dilihat dari desain penyelengaraan SPIP lingkup Eselon II Badan
Litbang dan Pusat Litbang tahun 2016. Desain tersebut berisi rencana pelaksanaan
seluruh unsur SPIP dalam kurun waktu satu tahun sebagai salah satu upaya untuk
dapat menyelenggarakan SPIP secara efektif, efisien dan terarah.
Penilaian terhadap kualitas lingkungan pengendalian di Badan Litbang dan
Inovasi dinilai berdasarkan persepsi pegawai lingkup eselon II Badan Litbang dan
Inovasi atas unsur dan sub unsur lingkungan pengendalian. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sub unsur dari unsur lingkungan pengendalian mana yang dapat
dikategorikan baik, cukup dan kurang.
1. Unsur Lingkungan Pengendalian
Berdasarkan data yang diperoleh dari desain penyelenggaraan SPIP Badan
Litbang dan Inovasi tahun 2016, menunjukkan bahwa sub unsur lingkungan
pengendalian yang belum berjalan baik adalah:
1) Penegakan integritas dan nilai etika
Penegakan integritas dan nilai etika yang belum berjalan dengan baik
menurut pegawai Badan Litbang dan Inovasi adalah penghargaan kepada pegawai
berdasarkan prestasi dan kinerja.
34

2) Komitmen terhadap kompetensi


Komitmen terhadap kompetensi yang belum berjalan dengan baik menurut
pegawai Badan Litbang dan Inovasi adalah rencana peningkatan kompetensi bagi
pegawai oleh satuan kerjanya.
3) Kepemimpinan yang kondusif
Kepemimpinan yang kondusif yang belum berjalan dengan baik menurut
pegawai Badan Litbang dan Inovasi adalah terkait penetapan mutasi pegawai.
Pimpinan belum menetapkan mutasi pegawai berdasarkan pola mutasi yang jelas.
4) Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang belum berjalan dengan
baik menurut pegawai Badan Litbang dan Inovasi adalah terkait pegawai yang
diberi wewenang belum cukup baik dalam memahami bahwa wewenang dan
tanggung jawab yang diterimanya itu terkait dengan pihak lain di dalam
instansinya, dan juga terkait dengan sistem pengendalian.
5) Perwujudan peran aparat pengawasan intern yang efektif
Perwujudan peran aparat pengawas intern yang efektif yang belum berjalan
dengan baik menurut pegawai Badan Litbang dan Inovasi adalah terkait
mekanisme peringatan dini dan peningkatan efektivitas manajemen risiko dalam
penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi.
2. Unsur Penilaian Risiko
Risiko adalah segala kemungkinan yang diperkirakan dapat menggagalkan
atau menghambat tercapainya tujuan dari suatu program dan kegiatan. Risiko
dalam pengelolaan keuangan yang memiliki dampak signifikan terhadap
pencapaian tujuan kegiatan Badan Litbang dan Inovasi, yaitu:
1) Penganggaran
- Pagu minus saat revisi RKAKL
- Perubahan prioritas program dan kegiatan serta penyesuaian arah
pelaksanaan kegiatan akibat perubahan kebijakan
- Program penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna/kegiatan
penting tidak teranggarkan
- Tidak terakomodirnya anggaran kegiatan yang telah direncanakan dengan
kebutuhan anggaran
- Penganggaran tidak sesuai dengan standar biaya masukan
- Keterlambatan penyusunan anggaran
2) Pelaksanaan Anggaran
- Keterbatasan kas karena sistem revolving yang terlambat
- Kualitas aset tetap yang dibeli dibawah standard
- Kemahalan harga barang/jasa yang dibeli
- Keterlambatan penyelesaian pekerjaan dari kontrak
3) Pelaporan Keuangan
- Kesalahan dalam laporan keuangan (laporan keuangan tidak sesuai SAP,
catatan atas laporan keuangan tidak jelas)
- Penerimaan PNBP yang tidak dicatat dan tidak sesuai ketentuan
- Pelaporan nilai BMN dan barang persediaan yang tidak akurat (BMN
hilang, pencatatan BMN tidak sesuai dengan jumlah/nilai sesungguhnya,
pengadaan barang persediaan yang tidak dibukukan)
- Pagu minus realisasi keuangan
- Keterlambatan penyelesaian SPJ
35

- Kesalahan SPJ (pembebanan mata anggaran,SPJ tidak sesuai dengan SBM,


SPJ tidak didukung bukti yang sah)
- Kesalahan/kekurangan dalam pemungutan pajak dan keterlambatan
setoran pajak
3. Unsur Kegiatan Pengendalian
Kegiatan pengendalian adalah tindakan yang diperlukan untuk mengatasi
risiko, penerapan dan pelaksanaan kebijakan serta prosedur, untuk memastikan
bahwa tindakan mengatasi risiko telah dilaksanakan secara efektif. Dalam unsur
ini dilihat bagaimana upaya Badan Litbang dan Inovasi dalam melakukan
pengendalian intern dan mengendalikan risiko yang berdampak signifikan
terhadap pengelolaan keuangan. Kegiatan pengendalian yang dilakukan oleh
Badan Litbang dan Inovasi yaitu:
1) Pengendalian risiko penganggaran
- Menyesuaikan kegiatan revisi RKAKL dengan kendali pengeluaran pada
keuangan/koordinasi antara bagian anggaran dengan bagian keuangan
- Memformulasi program penelitian dan penyesuaian bertahap mengarah
pada program prioritas
- Pelibatan aktif pengguna dalam penyusunan program
- Menyusun prioritas perencanaan program
- Pembekalan materi standar biaya masukan kepada penyusun anggaran,
konsinyasi internal penyusunan rencana anggaran
2) Pengendalian risiko pelaksanaan anggaran
- Menyusun rencana penarikan yang akurat dan memanfaatkan semua
mekanisme penarikan
- Peningkatan pengawasan penerimaan barang hasil pengadaan
- Peningkatan tertib pelaksanaan pengadaan barang dan jasa
- Menunjuk/melakukan proses pengadaan sesuai aturan dari mulai tahap
proses seleksi, penunjukan maupun pasca penandatanganan kontrak
3) Pengendalian risiko pelaporan keuangan
- Rekonsiliasi keuangan
- Pemantauan pencatatan PNBP lingkup BLI
- Pengecekan ulang terhadap BMN, konsultasi dengan pihak terkait untuk
perbaikan data (Biro Umum, KPKNL), peningkatan pengawasan
pencatatan barang persediaan
- Koordinasi antar unit dan evaluasi laporan realisasi anggaran, rekonsiliasi
internal antara verifikator dengan pelaksana kegiatan, meningkatkan
kecermatan dalam entry data keuangan, mempercepat proses kegiatan
sesuai target yang telah ditetapkan
- Melakukan koordinasi dengan pelaksana kegiatan agar segera
menyelesaikan SPJ
- Pembekalan materi terkait SBM kepada pelaksana kegiatan dan verifikator
keuangan, konsinyasi internal antara pelaksana kegiatan dengan pengelola
keuangan
- Melakukan setor pajak tepat waktu, menyusun SOP keuangan
36

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Karakteristik Responden

Proses penelitian ini dilaksanakan dengan menyebarkan kuesioner dan


wawancara kepada 90 responden yang telah ditentukan yaitu terdiri dari kepala
sub bagian/bidang, bendahara pengeluaran, verifikator keuangan dan pelaksana
kegiatan penelitian. Kuesioner yang dibagikan berkaitan dengan persepsi terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko kecurangan dan titik rawan
potensi kecurangan dalam kegiatan pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan
Inovasi. Distribusi responden dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran responden

Uraian Jumlah (orang) (%)


Jenis Kelamin Laki-laki 42 46.7
Perempuan 48 53.3
Umur (Tahun) 21-30 3 3.3
31-40 26 28.9
41-50 24 26.7
> 50 37 41.1
Lama Bekerja (Tahun) 0-10 20 22.2
11-20 27 30.0
21-30 32 35.6
> 31 11 12.2
Tingkat Pendidikan Strata-3 5 5.6
Strata-2 43 47.8
Strata-1 35 38.9
Diploma 2 2.2
Lain-Lain (SMA) 5 5.6
Rata-Rata < 6.000.000 8 9
Pendapatan/bulan 6.000.000 - 7.000.000 14 16
7.000.000 - 8.000.000 26 29
8.000.000 - 9.000.000 27 30
> 9.000.000 15 17
Jumlah 90 100

Berdasarkan Tabel 15, sebaran responden berdasarkan kriteria jenis kelamin


jumlah responden perempuan lebih banyak dibandingkan responden laki-laki
yaitu sebesar 53.3%, namun kuesioner yang diedarkan dalam penelitian ini tidak
membedakan gender antara laki-laki dan perempuan. Sebaran responden
berdasarkan kriteria umur dan masa kerja, sebanyak 41.1% responden berusia di
atas 50 tahun dan 35.6% responden merupakan aparatur sipil negara yang
mempunyai masa kerja antara 21-30 tahun. Nilai tersebut merupakan nilai
tertinggi dibandingkan kategori yang lainnya. Dari segi usia dan pengalaman masa
kerja dianggap responden memiliki pengalaman yang cukup terkait pengelolaan
keuangan dan pengetahuan tentang risiko fraud yang mungkin terjadi dalam
lingkup pekerjaan mereka.
37

Sebaran responden berdasarkan kriteria tingkat pendidikan terlihat bahwa


sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan S2, yaitu sebanyak 43
orang atau 47.8% dan S1 sebanyak 35 orang atau 38.9%. Sedangkan sisanya
adalah responden dengan tingkat pendidikan SMA, diploma dan S3. Untuk
kriteria pendapatan rata-rata per bulan terlihat bahwa sebagian besar responden
memiliki pendapatan rata-rata Rp 7 000 000.00 sampai dengan Rp 9 000 000.00
setiap bulannya. Pendapatan tersebut hanya dihitung berdasar besaran gaji pokok,
tunjangan struktural/fungsional dan tunjangan kinerja, belum termasuk dengan
tunjangan suami/anak, tunjangan beras serta uang makan.

Persepsi Pengelola Keuangan Terhadap Faktor yang Mempengaruhi


Terjadinya Risiko Fraud di Badan Litbang dan Inovasi

Dalam bab ini akan dijelaskan persepsi pengelola keuangan terhadap faktor-
faktor yang mempengaruhi terjadinya risiko fraud dalam pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi. Untuk menjawab tujuan penelitian pertama tersebut,
digunakan analisis deskriptif dan analisis kuantitatif dengan metode Structural
Equation Modelling. Analisis deskriptif dalam penelitian ini mengukur dan
mengevaluasi persepsi responden berdasarkan atas hasil yang diperoleh dari
jawaban terhadap masing-masing indikator pengukur variabel (lampiran 1).
Mengukur dan mengevaluasi merupakan usaha dalam membandingkan kondisi
yang sesungguhnya dengan hasil yang diharapkan untuk dicapai (nilai maksimal).
Semakin besar skor yang diperoleh maka semakin baik kondisi pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan Inovasi.

1. Variabel Fraud dalam Pengelolaan Keuangan


Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap persepsi responden atas
variabel fraud dalam pengelolaan keuangan, diperoleh hasil bahwa skor total rata-
rata jawaban yaitu sebesar 3.38. Perolehan skor menunjukkan bahwa kondisi
pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi berada dalam kategori antara
“tidak rawan dan sangat tidak rawan”, namun lebih mendekati tidak rawan. Nilai
masing-masing indikator disajikan pada Tabel 16.
Tabel 16 Persepsi terhadap fraud dalam pengelolaan keuangan
Indikator No Min Max Mean Rata-rata Kategori
(total)
Kebenaran dokumen F1 1 4 3.58 3.38 Antara tidak
pertanggungjawaban rawan dan
Otorisasi dokumen F2 1 4 3.43 rawan
pertanggungjawaban
Penggunaan anggaran F3 1 4 3.21
Pemanfaatan aset F4 1 4 2.89
Kebenaran laporan aset F5 1 4 3.2
Gratifikasi F6 1 4 3.48
Hubungan dengan rekanan F7 1 4 3.58
Kesesuaian spesifikasi F8 1 4 3.47
Penggunaan sisa anggaran F9 1 4 3.59
38

Berdasarkan pengukuran terhadap masing-masing indikator, yang masih


perlu mendapatkan perhatian adalah terkait penggunaan aset instansi untuk
kepentingan pribadi, terutama penggunaan kendaraan dinas. Indikator ini berada
dalam kategori antara kurang rawan dan tidak rawan, namun lebih mendekati
kondisi tidak rawan. Permasalahan yang terjadi ini berkaitan dengan kesadaran
fraud oleh pegawai. Menurut responden hal tersebut adalah sesuatu yang wajar
untuk dilakukan selama sudah mendapatkan ijin dari atasan dan melaporkannya
pada pengelola barang milik negara (BMN).

2. Variabel Kesesuaian Kompensasi


Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap persepsi responden
diperoleh hasil bahwa skor total rata-rata jawaban yaitu sebesar 2.52. Perolehan
skor menunjukkan bahwa kompensasi yang peroleh berada dalam kategori
diantara “kurang sesuai dan sesuai”. Nilai masing-masing indikator disajikan pada
Tabel 17.
Tabel 17 Persepsi terhadap kesesuaian kompensasi
Indikator No Min Max Mean Rata-rata Kategori
(total)
Kompensasi keuangan KK1 1 4 2.36 2.52 Antara kurang
Pengakuan atas prestasi KK2 1 4 2.61 sesuai dan
Promosi KK3 1 4 2.39 sesuai
Penyelesaian tugas KK4 1 4 2.64
Pencapaian sasaran KK5 1 4 2.69
Pengembangan pribadi KK6 1 4 2.4

Berdasarkan Tabel 17 menunjukkan bahwa dalam variabel kesesuaian


kompensasi, terdapat indikator yang mendekati kategori kurang sesuai yaitu
indikator KK1, KK3 dan KK 6. Sedangkan indikator yang lain berada dalam
kategori antara kurang sesuai dan sesuai, namun lebih mendekati nilai sesuai.
Indikator dalam kesesuaian kompensasi yang masih perlu mendapatkan perhatian
yaitu:
Gaji dan kompensasi yang diberikan kepada pegawai hanya salah satu yang
sesuai. Menurut responden, gaji pokok dan tunjangan sudah dibayarkan sesuai
dengan peraturan yang mengatur tentang Gaji Pegawai negeri Sipil yaitu
Peraturan Presiden nomor 30 Tahun 2015. Tunjangan kinerja yang diberikan
kepada pegawai merupakan kompensasi atas kinerja yang sudah dilakukan.
Pemberian tunjangan kinerja pegawai dibayarkan setiap bulan berdasarkan kelas
jabatan dengan presensi sebagai dasar pengukuran pencapaian kinerja. Menurut
responden, ukuran tersebut masih belum sesuai. Seharusnya pembayaran
tunjangan kinerja benar-benar dihitung berdasarkan atas pencapaian target kinerja
karyawan setiap bulan dan masa kerja jga dipertimbangkan dalam perhitungan
tunjangan. Selain itu, tugas sebagai pengelola keuangan sangat rawan terjadi
penyimpangan sehingga seharusnya mendapatkan tunjangan lebih tinggi, misal
grade jabatan sebagai bendahara sama dengan pegawai lain yang tidak memiliki
resiko sebanding dengan bendahara yang bertanggung jawab secara pribadi jika
terjadi kerugian negara atas kas yang dikelolanya (karena pencurian, dan lain-lain).
Kebijakan promosi merupakan hal yang biasa terjadi dalam lingkungan
pemerintah. Seharusnya, promosi diberikan kepada pegawai yang memiliki
39

prestasi dan kompetensi dalam pekerjaan. Namun menurut responden kenaikan


jabatan yang diperolehnya bukan dikarenakan pada prestasi kerja, tetapi karena
masa kerjanya yang tinggi/mendekati usia pensiun atau adanya kekosongan
jabatan. Terakhir, pengembangan pribadi melalui kesempatan untuk mengikuti
pelatihan juga masih belum didapatkan seluruh pegawai, keterbatasan anggaran
menjadi kendala tidak adanya pelatihan/mengirimkan pegawai untuk mengikuti
pelatihan dengan biaya dari instansi. Pelatihan yang diikuti oleh pegawai pada
umumnya diadakan oleh Kementerian atau instansi lain, misalnya, Kementerian
Keuangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah, dan lain-lain.

3. Variabel Efektivitas Sistem Pengendalian Intern


Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap persepsi responden
diperoleh hasil bahwa skor total rata-rata jawaban yaitu sebesar 3.34. Perolehan
skor menunjukkan bahwa sistem pengendalian intern yang diterapkan dalam
lingkungan Badan Litbang dan Inovasi dalam kategori antara “efektif dan sangat
efektif”, namun lebih mendekati efektif. Nilai untuk masing-masing indikator
disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Persepsi terhadap efektivitas sistem pengendalian intern
Indikator No Min Max Mean Rata-rata Kategori
(total)
Lingkungan pengendalian SPI1 1 4 3.28 3.34 Antara
Penilaian risiko SPI2 1 4 3.42 efektif dan
Kegiatan pengendalian SPI3 1 4 3.28 sangat
Informasi dan komunikasi SPI4 1 4 3.31 efektif
Pemantauan SPI5 1 4 3.38

Berdasarkan perhitungan masing-masing indikator, menunjukkan bahwa


seluruh unsur sistem pengendalian intern berada dalam kondisi efektif.
1) Sudah ada pembagian wewenang dan tanggungjawab kepada pegawai, namun
karena keterbatasan SDM yang sesuai dengan kompetensinya menyebabkan
masih ada beberapa responden yang mengalami penumpukan beban pekerjaan.
2) Setiap laporan yang akan diterbitkan diwajibkan untuk menyertakan
bukti/dokumen pendukung dan sudah diketahui oleh atasan.
3) Pemeriksaan atas kas wajib dilakukan setiap bulan sekali, sedangkan
pemeriksaan aset tetap instansi di lingkup Badan Litbang dan Inovasi juga
sudah dilakukan minimal per semester/enam bulan sekali.
4) Sebagian besar kegiatan operasional sudah tercatat dalam sistem, misal sistem
akuntansi, sistem barang milik negara, sistem barang persediaan, sistem
kepegawaian, dan lain-lain. Namun untuk kegiatan penelitian, masih belum ada
sistem informasi yang dapat digunakan untuk memonitor kemajuaan kegiatan.
5) Pemantauan dan evaluasi atas kegiatan instansi sudah dilakukan oleh sub
bidang monitoring dan evaluasi (monev), namun belum rutin. Hal ini
dikarenakan kendala keterbatasan SDM yang ada di bidang monev. Selain itu,
kegiatan yang tersebar tidak hanya di satu lokasi, khususnya kegiatan
penelitian, juga menjadi kendala bagi bidang monev untuk melakukan
pemantauan rutin ke seluruh lokasi kegiatan.
40

4. Variabel Budaya Etis Organisasi


Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap persepsi responden
diperoleh hasil bahwa skor total rata-rata jawaban yaitu sebesar 2.58. Perolehan
skor menunjukkan bahwa budaya organisasi dalam lingkungan Badan Litbang dan
Inovasi berada dalam kategori antara “kurang etis dan etis”. Nilai untuk masing-
masing indikator disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19 Persepsi terhadap budaya etis organisasi
Indikator No Min Max Mean Rata-rata Kategori
(total)
Model peran yang visible BEO1 1 4 3.05 2.58 Antara
Komunikasi harapan etis BEO2 1 4 3.27 kurang
Pelatihan etis BEO3 1 4 1.94 etis dan
Hukuman bagi tindakan etis BEO4 1 4 3.12 etis
Mekanisme perlindungan BEO5 1 4 1.49
etika

Berdasarkan perhitungan masing-masing indikator, menunjukkan bahwa 3


indikator berada dalam kategori etis, namun terdapat 2 indikator yang menjadi
kelemahan sebagai upaya perwujudan budaya etis yaitu masih jarang diadakan
seminar tentang etika. Keterbatasan anggaran masih menjadi kendala tidak adanya
pelatihan bagi pegawai. Permasalahan kedua adalah belum adanya
konselor/petugas etika di lingkup Badan Litbang dan Inovasi. Meskipun demikian,
para pegawai yang memiliki permasalahan terkait dengan dilema etis dapat
berdiskusi dengan atasan langsung atau pejabat yang dipercaya.

5. Variabel Moralitas Individu


Berdasarkan pengukuran yang dilakukan terhadap persepsi responden
diperoleh hasil skor total rata-rata jawaban yaitu sebesar 3.53. Perolehan skor
menunjukkan bahwa moralitas individu di Badan Litbang dan Inovasi dalam
kategori antara “bermoral dan sangat bermoral”. Nilai masing-masing indikator
disajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Persepsi terhadap moralitas individu
Indikator No Min Max Mean Rata-rata Kategori
(total)
Enam kasus dilematis MI1 2 4 3.61 3.53 Antara
untuk mengetahui tingkat MI2 1 4 3.52 bermoral
moralitas manajemen MI3 1 4 3.6 dan sangat
MI4 1 4 3.5 bermoral
MI5 2 4 3.57
MI6 1 4 3.57

Berdasarkan jawaban atas kasus dilema etis yang diberikan menunjukkan


bahwa responden mengambil keputusan yang benar, yaitu menyelesaikan laporan
keuangan sesuai kondisi yang sebenarnya demi mempertimbangkan prinsip
kesejahteraan masyarakat serta tidak merugikan pemerintahan, berprilaku jujur
dan mematuhi peraturan-peraturan.
41

Uji Statistik
Langkah selanjutnya adalah menganalisis tingkat pengaruh kesesuaian
kompensasi, efektivitas sistem pengendalian intern, budaya etis organisasi dan
moralitas individu terhadap fraud dalam pengelolaan keuangan.

1. Evaluasi Outer Model/Model Pengukuran


Tahap pertama dalam melakukan evaluasi model dalam PLS-SEM yaitu
evaluasi outer model yang dilakukan untuk menilai validitas dan reliabilitas dari
indikator-indikator pembentuk konstruk laten. Evaluasi outer model dilakukan
melalui tiga kriteria yaitu convergent validity, discriminant validity dan composite
reliability.
a. Convergent Validity (Validitas Konvergen)
Validitas konvergen bertujuan untuk menguji korelasi antar item/indikator
untuk menguji konstruk atau dengan kata lain validitas konvergen ingin
mengkonfirmasi pengukuran konstruk.
Tabel 21 Hasil uji convergent validity
Variabel combined loading p-value AVE Keterangan
dan cross-loading
Fraud dalam pengelolaan 0.618-0.881 < 0.001 0.596 Valid
keuangan
Kesesuaian kompensasi 0.682-0.844 < 0.001 0.595 Valid
Efektivitas sistem 0.724-0.888 < 0.001 0.715 Valid
pengendalian intern
Budaya etis organisasi 0.619-0.833 < 0.001 0.535 Valid
Moralitas individu 0.725-0.912 < 0.001 0.729 Valid

Berdasarkan Tabel 21, hasil dari pengolahan data menunjukkan bahwa


seluruh indikator yang digunakan dalam penelitian ini memiliki nilai combined
loading dan cross loading > 0.6 (lampiran 2). Rule of thumb untuk menilai faktor
loading bagi penelitian yang bersifat exploratory adalah antara 0.6-0.7 sehingga
seluruh indikator dalam penelitian ini sudah memenuhi kriteria convergent
validity. Nilai p-value juga telah memenuhi syarat yaitu memiliki nilai sebesar <
0.001 (< 0.005) untuk seluruh indikator.
Evaluasi validitas konvergen juga dapat dilihat dari nilai average variance
extracted (AVE) dengan kriteria yang harus dipenuhi yaitu nilai AVE > 0.5
(Sholihin dan Ratmono 2013). Hasil dari pengolahan data menunjukkan bahwa
seluruh variabel laten memiliki nilai AVE > 0.5 sehingga sudah memenuhi
kriteria convergent validity.
b. Discriminant Validity (Validitas Diskriminan)
Validitas diskriminan bertujuan untuk menguji item/indikator dari dua
konstruk yang seharusnya tidak berkorelasi tinggi. Validitas diskriminan yang
baik ditunjukkan dari nilai akar kuadrat AVE untuk setiap konstruk lebih besar
dari korelasi antar konstruk dalam model (Barclay et al. 1995; Fornell dan Lacker
1981 dalam Ghozali 2017). Berdasarkan Tabel 22, hasil dari pengolahan data
menunjukkan bahwa seluruh akar kuadrat AVE masing-masing konstruk lebih
besar dari korelasi antar konstruk dalam model sehingga kriteria validitas
diskriminant seluruh variabel terpenuhi.
42

Tabel 22 Akar kuadrat AVE dan korelasi antar konstruk laten


Indikator Akar kuadrat > F KK SPI BEO MI
AVE
Fraud dalam 0.772 > -0.227 -0.387 -0.418 -0.394
pengelolaan keuangan
Kesesuaian kompensasi 0.772 > -0.227 0.167 0.294 0.221
Efektivitas sistem 0.846 > -0.387 0.167 0.458 0.225
pengendalian intern
Budaya etis organisasi 0.731 > -0.418 0.294 0.458 0.049
Moralitas individu 0.854 > -0.394 0.221 0.225 0.049

Berdasarkan hasil seluruh uji validitas yang telah dilakukan, menunjukkan


bahwa seluruh indikator yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian
ini dinyatakan valid. Dengan kata lain, seluruh pertanyaan dalam kuesioner sah
dan mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur dengan tepat.
c. Uji composite reliability
Uji reliabilitas konstruk dilakukan dengan cara menilai composite
relialibility dan cronbach’s alpha dari blok indikator yang mengukur konstruk.
Konstruk dikatakan reliable jika nilai composite realibility maupun cronbach’s
alpha di atas 0.70 untuk penelitian yang bersifat confirmatory dan nilai antara 0.6
– 0.7 masih dapat diterima untuk penelitian yang bersifat exploratory (Sholihin
dan Ratmono 2013; Ghozali dan Latan 2017).
Tabel 23 Latent variabel coefficient
Indikator Composite Cronbach’s Keterangan
Reliability Alpha
Coefficient Coefficient
Fraud dalam pengelolaan keuangan 0.929 0.914 Reliabel
Kesesuaian kompensasi 0.898 0.874 Reliabel
Efektivitas sistem pengendalian intern 0.926 0.899 Reliabel
Budaya etis organisasi 0.850 0.789 Reliabel
Moralitas individu 0.941 0.924 Reliabel

Berdasarkan Tabel 23, hasil dari pengolahan data menunjukkan nilai


composite reliability coefficient dan cronbach’s alpha coefficient seluruh variabel
bernilai di atas 0.7 atau sudah memenuhi kriteria composite reliability. Hasil uji
reliabilitas tersebut menunjukkan bahwa seluruh indikator yang digunakan dalam
penelitian ini konsisten dan dapat dipercaya. Hasil suatu pengukuran dapat
dipercaya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap subyek
yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, artinya mempunyai konsitensi
pengukuran yang baik (Najahningrum et al. 2013).

2. Evaluasi Inner Model/Model Struktural


Langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi struktural (inner model)
yang meliputi R-square untuk setiap variabel laten endogen sebagai kekuatan
prediksi dari model struktural, Q-square predictive relevance (Stone-Geisser test)
untuk menguji predictive relevance, dan uji signifikansi p-value. Model variabel
dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 7.
43

Gambar 7 Model variabel penelitian

a. Analisis R-square
Perubahan nilai R-square dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel
laten independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai
pengaruh yang substantif (Ghozali 2017). Hasil R-square sebesar 0.67 untuk
variabel laten endogen dalam model struktural mengindikasikan bahwa model
adalah kuat, nilai 0.33 moderat, dan nilai 0.19 lemah (Chin 1998 dalam Ghozali
2011). Berdasarkan hasil olah data menunjukkan nilai R-square dalam penelitian
ini adalah 0.334 menunjukkan bahwa prediktor model moderat dalam
menjelaskan variance. Nilai R-square sebesar 0.334 menunjukkan bahwa variansi
fraud dalam pengelolaan keuangan dapat dijelaskan sebesar 33.4% oleh variansi
kesesuaian kompensasi, efektivitas sistem pengendalian intern, budaya etis
organisasi dan moralitas individu. Hasil tersebut menunjukkan bahwa prediktor
model moderat dalam menjelaskan variansi (Chin 1998 dalam Ghozali 2017).
b. Q-square predictive relevance
Q-square predictive relevance mengukur seberapa baik nilai observasi
dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Jika nilai Q-square lebih
besar dari nol (Q square > 0) menunjukkan bahwa model mempunyai nilai
predictive relevance dan jika nilai Q-square kurang dari nol (Q square < 0)
mengindikasikan model kurang memiliki nilai predictive relevance. Berdasarkan
hasil olah data menunjukkan bahwa nilai Q-squared coefficient sebesar 0.350
sehingga menunjukkan bahwa model mempunyai nilai predictive relevance. Atau
nilai observasi dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya sangat baik.
c. Uji Signifikansi
Pengaruh antar variabel diukur dengan melihat path coefficients dan tingkat
signifikansinya (p-value) untuk kemudian dibandingkan dengan hipotesis yang
sudah dibangun. Tingkat signifikansi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
44

sebesar 10%. Nilai path coefficients dan p-value masing-masing variabel dapat
dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap fraud
Variabel Path P-value Keterangan
Coefficients
Kesesuaian kompensasi 0.032 0.347 Tidak signifikan (α = 10%)
Efektivitas sistem 0.159 0.089 Signifikan (α = 10%)
pengendalian intern
Budaya etis organisasi 0.319 < 0.001 Signifikan (α = 10% )
Moralitas individu 0.335 0.009 Signifikan (α = 10% )

Berdasarkan Tabel 24 menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh


signifikan terhadap fraud dalam pengelolaan keuangan adalah efektivitas sistem
pengendalian intern, budaya etis organisasi dan moralitas individu. Ketiga
variabel tersebut menunjukkan hubungan yang positif, atau dengan kata lain
semakin efektif sistem pengendalian intern yang diterapkan, semakin etis budaya
di organisasi dan semakin baik moralitas individu maka semakin baik pengelolaan
keuangan sehingga tidak rawan terjadi kecurangan. Sedangkan variabel
kesesuaian kompensasi tidak signifikan berpengaruh terhadap fraud dalam
pengelolaan keuangan.
Berdasarkan Tabel 24 juga menunjukkan bahwa jika dilihat dari nilai path
coefficient, variabel moralitas individu mempunyai nilai path coefficient terbesar
yaitu sebesar 0.335. Menurut persepsi pengelola keuangan di Badan Litbang dan
Inovasi, faktor terbesar yang mendorong seseorang melakukan kecurangan adalah
moralnya. Kualitas moral mempengaruhi seseorang dalam setiap pengambilan
keputusan. Seseorang dengan kualitas moral yang tinggi akan tetap memilih untuk
melakukan hal yang benar saat menghadapi dilema etika (Wilopo 2006). Individu
yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi cenderung tidak melakukan
kecurangan, baik pada kondisi terdapat elemen pengendalian internal maupun
dalam kondisi tidak terdapat elemen pengendalian internal di organisasinya
(Puspasari dan Suwardi 2012).

1. Kesesuaian Kompensasi
Berdasarkan uji hipotesis, nilai path coefficient sebesar 0.032 dan nilai p-
value sebesar 0.35 > p value 0.1 (signifikansi 10%). Nilai tersebut menunjukan
bahwa kesesuaian kompensasi tidak signifikan berpengaruh terhadap fraud dalam
pengelolaan keuangan.
Kompensasi finansial yang diberikan kepada pegawai negeri sipil adalah
gaji pokok dan tunjangan-tunjangan yang sudah diatur melalui Peraturan Presiden.
Pegawai memahami bahwa aturan gaji pokok untuk PNS sangat dipengaruhi oleh
golongan dan lama masa kerja. Semua kewenangan yang berkaitan dengan
penentuan gaji pokok mutlak di tangan Pemerintah Pusat sebagaimana diatur
dalam Peraturan Presiden nomor 30 tahun 2015 tentang Peraturan Gaji Pegawai
Negeri Sipil, termasuk juga dengan aturan terkait tunjangan keluarga, tunjangan
beras dan lain sebagainya. Selain itu mereka menyadari bahwa tujuan utama
menjadi Aparat Sipil Negara adalah melayani rakyat dan siap dengan konsekuensi
penghasilan lebih kecil jika dibandingkan dengan penghasilan pegawai BUMN
atau di tempat lain.
45

Selain menerima gaji pokok, pegawai lingkup Kementerian Lingkungan


Hidup dan Kehutanan juga sudah menerima tunjangan kinerja yang diberikan
dengan memperhatikan pencapaian kinerja karyawan setiap bulan berdasarkan
kelas jabatan. Untuk saat ini presensi pegawai masih digunakan sebagai dasar
pengukuran pencapaian kinerja karyawan dalam membayarkan tunjangan kinerja.
Walaupun menurut sebagian responden tunjangan kinerja yang diberikan masih
belum sesuai tetapi mereka menyatakan bahwa kompensasi finansial yang saat ini
diperoleh masih jauh lebih baik dibandingkan sebelum ada pemberian tunjangan
kinerja.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wilopo
(2006) yang dalam penelitiannya menemukan bahwa pemberian kompensasi yang
sesuai kepada manajemen ternyata tidak secara signifikan menurunkan perilaku
tidak etis dan kecenderungan kecurangan akuntansi pada perusahaan terbuka dan
BUMN di Indonesia. Surjandari dan Martaningtyas (2015) dalam penelitiannya
menemukan bahwa insentif kinerja juga tidak berpengaruh terhadap terjadinya
fraud di sektor pemerintah dan penelitian Mustika et al. (2016) di Dinas Way
Kanan Lampung menemukan bahwa kesesuaian kompensasi tidak mempengaruhi
terjadinya fraud.
Menurut Permana et al. (2017), dalam teori GONE yang dikemukakan oleh
Jack Bologna, salah satu faktor pendorong seseorang untuk melakukan
kecurangan adalah faktor greed (keserakahan) yang berkaitan dengan perilaku
serakah yang potensial ada dalam diri setiap orang. Jadi berapapun kompensasi
yang diterima tidak menjamin pegawai tersebut untuk tidak melakukan
kecurangan jika ada faktor perilaku serakah dalam diri orang tersebut.

2. Efektivitas Sistem Pengendalian Intern


Berdasarkan uji hipotesis, nilai path coefficient 0.159 dan nilai p-value
sebesar 0.09 < p-value 0.1 (signifikansi 10%). Nilai tersebut menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif signifikan sebesar 15.9% antara efektivitas sistem
pengendalian intern dengan pengelolaan keuangan yang tidak rawan terjadi fraud.
Dengan kata lain semakin efektif sistem pengendalian intern yang diterapkan,
maka semakin baik pengelolaan keuangan sehingga tidak rawan terjadi
kecurangan.
Penyelenggaraan SPIP di lingkup Badan Litbang dan Inovasi mengacu pada
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.38/Menlhk-I/2015
tanggal 28 Juli 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sejak tahun
2016, Badan litbang dan Inovasi menyusun desain penyelenggaraan SPIP sebagai
salah satu upaya untuk dapat menyelenggarakan SPIP secara efektif, efisien dan
terarah. Desain tersebut berisi rencana pelaksanaan seluruh unsur SPIP, yang
mencakup unsur lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian,
informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern yang disusun
setiap tahunnya. Desain SPIP dapat membantu manajemen dalam mengetahui
unsur-unsur yang ada dalam kategori kurang baik sehingga dapat dirumuskan
tindakan perbaikan untuk meminimalisir risiko yang mungkin bisa terjadi.
Menurut penilaian pengelola keuangan, seluruh unsur SPIP di Badan
Litbang dan Inovasi sudah berjalan dengan efektif. Hal tersebut dilihat dari sudah
adanya pembagian wewenang dan tanggungjawab kepada seluruh pegawai,
46

kewajiban otorisasi dari atasan atas seluruh laporan yang diterbitkan dengan
dilengkapi dokumen pendukung yang lengkap, inventarisasi atas seluruh aset
instansi, pencatatan kegiatan operasional dalam sistem dan evaluasi rutin atas
seluruh kegiatan instansi. Seluruh upaya yang dilakukan tersebut sebagai salah
satu upaya untuk meminimalisir peluang adanya penyalahgunaan penggunaan
anggaran dan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rae dan Subramaniam (2008)
yang menemukan bahwa kualitas pengendalian internal dapat menekan terjadinya
fraud karyawan. Pristiyanti (2012) dan Pramudhita (2013) juga menemukan
bahwa terdapat pengaruh negatif antara sistem pengendalian internal terhadap
fraud di sektor pemerintahan. Sistem pengendalian yang efektif menjadikan
kegiatan operasional dapat berjalan secara efektif dan efisien sehingga
kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam proses operasional instansi dapat
diminimalisir (Najahningrum et al. 2013). Lemahnya pengendalian intern dalam
suatu instansi juga akan memberikan peluang bagi karyawan untuk melakukan
fraud (Sulastri dan Simanjuntak 2014). Dengan adanya peluang, seorang pegawai
yang pada awalnya tidak memiliki niat untuk melakukan fraud akan terdorong
untuk melakukan fraud (Chandra dan Ikhsan 2015). Dengan demikian, semakin
efektif sistem pengendalian intern dalam suatu organisasi, maka peluang
terjadinya fraud yang mungkin terjadi akan semakin rendah.
3. Budaya Etis Organisasi
Berdasarkan uji hipotesis, nilai path coefficient 0.319 dan nilai p-value
sebesar < 0.001 (signifikansi 10%). Nilai tersebut menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif signifikan sebesar 31.9% antara budaya etis organisasi dengan
pengelolaan keuangan yang tidak rawan terjadi fraud. Dengan kata lain semakin
etis budaya organisasi, maka semakin baik pengelolaan keuangan di Badan
Litbang dan inovasi sehingga tidak rawan terjadi kecurangan.
Menurut pegawai, pimpinan di lingkungan Badan Litbang dan Inovasi
sudah memiliki perilaku yang cukup baik untuk dijadikan teladan bagi para
pegawai. Adanya model peran yang nyata merupakan salah satu upaya
terwujudnya budaya yang lebih etis dalam organisasi. Upaya lainnya yaitu adanya
kode etik organisasi dalam menyatakan berbagai aturan yang harus dipatuhi. Kode
etik di Badan Litbang dan Inovasi mengacu pada kode etik revolusi mental yang
diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia Nomor P.64/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016 tentang kode etik revolusi
mental Aparat Sipil Negara lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
Kendala yang ada di Badan Litbang dan Inovasi adalah jarang diadakan
pelatihan etis dan belum adanya konselor/petugas etika di lingkup Badan Litbang
dan Inovasi. Namun menurut para pengelola keuangan, tidak adanya konselor
bukan menjadi masalah yang krusial karena para pegawai yang memiliki
permasalahan terkait dengan dilema etis bisa berdiskusi dengan atasan langsung
atau pejabat yang dipercaya. Untuk meningkatkan budaya organisasi menjadi
lebih etis maka masih perlu dilakukan perbaikan 2 indikator tersebut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Wilopo (2006) yang
menemukan bahwa perusahaan dengan standar etika yang rendah akan memiliki
resiko kecurangan akuntansi yang tinggi. Menurut Sulistyowati (2007), kultur
organisasi yang baik tidak akan membuka peluang sedikitpun bagi individu untuk
47

melakukan korupsi, karena kultur organisasi yang baik akan membentuk para
pelaku organisasi mempunyai sense of belonging (rasa ikut memiliki) dan sense of
identity (rasa bangga sebagai bagian dari suatu organisasi). Penelitian yang
dilakukan oleh Pristiyanti (2012) juga menemukan bahwa semakin tinggi budaya
etis yang ada di lingkungan pemerintahan maka akan semakin rendah tingkat
terjadinya fraud di sektor pemerintahan. Surjandari dan Martaningtyas (2015)
dalam penelitiannya menemukan bahwa budaya etis dalam sektor pemerintah
berpengaruh terhadap fraud karena keberhasilan sosialisasi terkait punishment,
pelatihan petugas, transparansi dan akuntabilitas.
Menurut Wicaksono dan Urumsyah (2016), organisasi perlu memiliki
budaya yang baik untuk membangun kepribadian yang baik sehingga jika
karyawan tampil tidak etis akan merasa bingung dan otomatis dicegah oleh
budaya organisasi ini. Budaya organisasi adalah cara terbaik untuk mencegah
kecurangan. Budaya organisasi adalah sebuah sistem untuk memandu semua
anggota organisasi untuk melakukan etika dan salah satu keunggulan kompetitif
untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
semakin tinggi budaya etis dalam suatu instansi akan mengurangi kecenderungan
karyawan untuk melakukan tindak kecurangan, sebaliknya semakin rendah
budaya etis organisasi akan mendorong karyawan untuk melakukan pembenaran
terhadap tindak kecurangan.
4. Moralitas Individu
Berdasarkan uji hipotesis, nilai path coefficient sebesar 0.335 dan nilai p-
value sebesar 0.009 < p-value 0.1 (signifikansi 10%). Nilai tersebut menunjukkan
bahwa terdapat hubungan positif signifikan sebesar 33.5% antara moralitas
individu dengan pengelolaan keuangan yang tidak rawan terjadi fraud. Dengan
kata lain semakin baik moralitas pegawai, maka semakin baik pengelolaan
keuangan di Badan Litbang dan inovasi sehingga tidak rawan terjadi kecurangan.
Sejauh ini belum ada kasus/pelanggaran hukum yang melibatkan pegawai di
lingkungan Badan Litbang dan Inovasi, terutama kasus kecurangan dan korupsi.
Jika dilihat dari hasil kuesioner persepsi pengelola keuangan juga menunjukkan
keputusan yang benar dalam menyelesaikan dilema etis. Hal tersebut
menunjukkan bahwa tingkat moralitas pegawai di Badan Litbang tergolong baik
(bermoral).
Hasil penelitian ini sejalan dengan Wilopo (2006) yang dalam penelitiannya
menemukan adanya pengaruh negatif moralitas manajemen terhadap perilaku
tidak etis dan kecenderungan kecurangan akuntansi manajemen perusahaan
terbuka dan BUMN di Indonesia. Artinya semakin tinggi moralitas manajemen
pada perusahaan terbuka dan BUMN di Indonesia, maka semakin rendah perilaku
tidak etisnya. Sejalan dengan penelitian Puspasari dan Suwardi (2012) yang
membuktikan apa yang ada dalam hirarki tahap perkembangan moral Kohlberg.
Semakin tinggi tahapan moralitas individu (tahapan post-konvensional), maka
semakin individu tersebut memperhatikan kepentingan yang lebih luas dan
universal daripada kepentingan organisasinya semata, apalagi kepentingan
individunya. Semakin tinggi level moral individu, semakin ia berusaha untuk
menghindarkan diri dari kecenderungan melakukan kecurangan akuntansi yang
akan merugikan banyak pihak. Individu dengan level moral yang tinggi cenderung
tidak melakukan kecurangan akuntansi jika dibandingkan dengan individu dengan
level moral yang rendah (Dewi 2014). Orang yang memiliki kualitas moral terpuji
48

cenderung menjauhkan diri dari tindakan curang. Dalam membuat keputusan dan
melaksanakan program dalam berbagai kegiatan, mereka cenderung menghindar
dari tindakan yang bisa merugikan orang lain atau pihak lain dan sebaliknya
(Junaidi 2016). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi
moralitas pegawai dalam suatu instansi akan mengurangi kecenderungan pegawai
tersebut untuk melakukan tindak kecurangan, sebaliknya semakin rendah
tingkatan moral mereka akan mendorong karyawan untuk melakukan pembenaran
terhadap tindak kecurangan.

Titik Rawan Terjadinya Potensi Fraud di Badan Litbang dan Inovasi

Pada bagian ini memuat deskripsi titik rawan/risiko potensi terjadinya fraud
dalam pengelolaan keuangan lingkup Badan Litbang dan Inovasi. Data diperoleh
berdasarkan pendapat responden atas kondisi permasalahan yang mungkin terjadi
dalam lingkup bidang pekerjaan mereka terkait sebagai pengelola keuangan.
Berdasarkan hasil wawancara dan pengisian kuesioner, hasil identifikasi titik
rawan yang berpotensi menimbulkan kecurangan dibagi dalam tiga siklus
pengelolaan keuangan yaitu penganggaran, pelaksanaan anggaran dan
pertanggungjawaban anggaran.

1. Perencanaan Anggaran
Risiko potensi terjadinya fraud dapat terjadi sejak perencanaan anggaran.
Sebanyak 6.67% responden menyatakan bahwa risiko kecurangan dapat terjadi
dalam perencanaan terkait penentuan besaran anggaran kegiatan. Penentuan
anggaran yang tidak didasarkan pada kebutuhan riil dan obyektifitas akan
beresiko menyebabkan anggaran yang diberikan tidak tepat. Penganggaran yang
tidak berdasarkan kebutuhan riil dapat menyebabkan anggaran yang berlebihan
sehingga penganggaran tidak efisien. Penganggaran yang berlebih sementara
tuntutan realisasi penyerapan harus tinggi akan mendorong seseorang untuk
membuat pertanggungjawaban fiktif. Sebaliknya, juga menyebabkan beberapa
aktivitas tidak bisa dicover dalam administrasi pertanggungjawaban karena
ketiadaan anggaran.
Dalam pengajuan anggaran untuk tahun 2018, pelaksana kegiatan mengacu
pada standar biaya masukan yang sudah ditetapkan oleh Kementerian Keuangan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
49/PMK.02/2017 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2018. Sebagai
contoh, pada saat mengajukan anggaran untuk konsumsi rapat, pelaksana akan
mengajukan kebutuhan anggaran sebesar satuan maksimum yang dicantumkan
dalam standar biaya dan estimasi jumlah peserta. Jika pada tahun anggaran
berkenaan ternyata jumlah kehadiran peserta tidak sesuai dengan perencanaan
atau biaya yang dikeluarkan lebih rendah dari standar biaya, disinilah letak titik
rawan tersebut. Pelaksana kegiatan dapat mempertanggungjawabkan kegiatan
sesuai dengan kondisi riil yang terjadi dengan risiko penyerapan anggaran tidak
maksimal atau melakukan kecurangan dengan mengubah jumlah peserta dan nilai
yang tercantum dalam dokumen pertanggungjawaban.
Ketentuan lain terkait standar biaya yang dapat memicu kecurangan adalah
mengenai upah harian honorarium pembantu lapangan. Kegiatan penelitian,
49

terutama yang dilakukan dilapangan membutuhkan pekerja lepas, misal


pembuatan plot, penanaman, pemupukan, penjarangan, dan lain sebagainya. Upah
untuk masing-masing kegiatan tidak bisa disamaratakan. Selain itu tidak semua
pekerja harian di lokasi kegiatan penelitian mau dibayar dengan upah sebesar
standar biaya. Hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kecurangan, yaitu
dengan melebihkan jumlah orang/hari (OH) dalam pengajuan anggaran. Sholihah
et al. (2016) dalam penelitiannya juga menemukan adanya praktik kecurangan
pada tahap perencanaan dilakukan dengan merubah nilai baik secara kualitas
maupun kuantitas. Kualitas dan kuantitas mengikuti anggaran yang tersedia,
bukan berdasarkan kebutuhan.
Risiko lain yang terkait dengan kegiatan penelitian yaitu adanya “daur ulang”
kegiatan penelitian/pengembangan atau judul penelitian. Dilihat dari segi
penanggung jawab bidang anggaran, hal ini bisa disebabkan karena kegiatan
penelitian dan pengembangan yang tidak disertai state of art yang kuat dalam
pengajuan anggaran bisa berisiko terjadi pengulangan penelitian/pengembangan
yang pernah dilaksanakan sebelumnya. Dilihat dari segi pelaksana kegiatan
penelitian, hal ini bisa disebabkan karena peneliti tidak memiliki jaringan yang
luas sehingga merasa paling maju, keterbatasan sumber bacaan, kurang
memperbaharui pengetahuan dan kemampuan misal melalui seminar-seminar
serta kurangnya media tukar pengetahuan dalam lingkup internal kantor. Kegiatan
penelitian yang sebenarnya sudah tidak perlu untuk dilakukan merupakan salah
satu contoh tidak efektifnya penggunaan keuangan negara (pemborosan). Hal
tersebut tidak sesuai dengan amanat ketiga paket Undang-Undang Keuangan
Negara yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara yang menyatakan bahwa pengelolaan
keuangan negara harus dikelola secara tertib, ekonomis, efisien, efektif, transparan
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

2. Pelaksanaan Anggaran
Menurut responden, titik rawan terbesar terjadi risiko kecurangan dalam
pengelolaan keuangan Badan Litbang dan Inovasi terjadi pada pelaksanaan
anggaran. Sebanyak 76.66% responden menyatakan bahwa risiko terjadinya
kecurangan terkait ketidakbenaran dokumen pertanggungjawaban kegiatan.
Dokumen pertanggungjawaban yang sudah dilengkapi dengan dokumen
pendukung dan otorisasi dari pimpinan sehingga benar secara administratif tidak
menjamin kebenaran secara materiil. Meskipun secara administratif pengelolaan
keuangan berjalan sesuai dengan aturan (surat pertanggungjawaban/SPJ lengkap)
dan bahkan realiasi mencapai hampir 100%, tidak menjamin dalam institusi
tersebut tidak terjadi kecurangan (Setiawan et al. 2013).
Terdapat berbagai macam peraturan yang mengatur tentang pedoman
pengelolaan keuangan negara, baik yang berupa Peraturan Menteri Keuangan,
Peraturan Presiden, maupun peraturan yang diterbitkan oleh Institusi tersebut.
Salah satu risiko potensi kecurangan dalam pelaksanaan anggaran dapat
ditimbulkan karena adanya kelemahan dalam peraturan. Ada peraturan yang pada
beberapa kondisi tertentu cukup sulit untuk diimplementasikan, namun ada juga
peraturan yang memberikan celah untuk melakukan kecurangan. Penyiasatan
50

peraturan terjadi karena sulitnya peraturan untuk dilaksanakan, dan terjadi pula
karena peluang yang diberikan oleh peraturan (Syahrina et al. 2017).
Salah satu peraturan yang menurut responden sulit untuk di
implementasikan adalah peraturan yang mengatur standar biaya umum (SBU).
Rendahnya SBU dapat menjadi pemicu pelaku kecurangan untuk memanipulasi
dokumen pertanggungjawaban kegiatan. Standar biaya umum yang ditetapkan
oleh Kementerian Keuangan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Sebagai
contoh dalam kegiatan penelitian, kegiatan penelitian seringkali berada di lokasi
yang terpencil (hutan/pelosok desa) sehingga memerlukan biaya-biaya diluar
standar yang ada. Biaya transportasi, alat, bahan dan tenaga kerja yang terkadang
tidak bisa dipenuhi oleh standar biaya dalam mata anggaran/aturan yang ada.
Sementara disisi lain, semua kebutuhan tersebut harus dipenuhi untuk melakukan
kegiatan penelitian dengan baik. Kondisi-kondisi inilah yang bisa mendorong
seseorang untuk membenarkan perilaku kecurangannya.
Salah satu peraturan yang memberikan celah untuk melakukan kecurangan
adalah Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan
Dinas Dalam Negeri bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri dan Pegawai Tidak
Tetap. Dalam pasal 8 ayat 5 menyatakan bahwa “Dalam hal Pelaksana SPD tidak
menggunakan biaya penginapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku
ketentuan sebagai berikut: (a) Pelaksana SPD diberikan biaya penginapan sebesar
30% (tiga puluh persen) dari tarif hotel di kota tempat tujuan sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Standar Biaya”.
Selain ketentuan terkait penginapan dengan daftar pengeluaran riil,
ketentuan biaya transportasi dengan daftar pengeluaran riil juga bisa berisiko
untuk disalahgunakan. Dalam pasal 10 ayat 5 (e) “Sewa kendaraan dalam Kota
dibayarkan sesuai dengan biaya riil dan berpedoman pada Peraturan Menteri
Keuangan mengenai Standar Biaya”. Kemudahan dalam dokumen administrasi
pertanggungjawaban kegiatan yang tidak perlu dilengkapi bukti dari pihak lain,
hanya berupa daftar pengeluaran riil, dapat membuka peluang yang cukup besar
untuk dimanfaatkan oleh pelaku kecurangan.

3. Pertanggungjawaban Anggaran
Siklus terakhir dalam pengelolaan keuangan adalah pertanggungjawaban
anggaran. Kecurangan yang terjadi sejak penyusunan anggaran dan pelaksanaan
anggaran akan berdampak pada pertanggungjawaban anggaran. Sebanyak 16.67%
responden menyatakan bahwa risiko kecurangan dapat terjadi dalam lingkup
pertanggungjawaban anggaran. Kecurangan dalam pertanggungjawaban anggaran
dapat terjadi karena kurangnya kontrol dan pengawasan internal terhadap seluruh
kegiatan. Kegiatan pengawasan pengelolaan keuangan yang dilakukan oleh
auditor internal/Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan umumnya hanya dilakukan setiap semester atau dua kali dalam
setahun sehingga besar kemungkinan terjadi kesalahan dan penyimpangan.
Selama ini pengawasan yang rutin dilakukan di lingkup Badan Litbang dan
Inovasi hanya sebatas pada monitoring dan evaluasi kemajuan kegiatan oleh sub
bidang monitoring dan evaluasi. Keterbatasan anggaran menjadi kendala sehingga
tidak seluruh kegiatan di lapangan dapat langsung dipantau dan diawasi
kemajuannya. Belum adanya sistem elektronik yang memuat kemajuan setiap
kegiatan juga menjadi kendala tersendiri. Adanya sistem informasi manajemen
51

dapat meningkatkan transparansi, sehingga seluruh pegawai dapat saling


mengawasi penyelenggaraan seluruh kegiatan.
Pengawasan atas pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi juga
dilakukan melalui pemeriksaan dokumen pertanggungjawaban keuangan oleh
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), verifikator keuangan serta bendahara
pengeluaran. Dalam pemeriksaan terhadap laporan pertanggungjawaban kegiatan,
Verifikator keuangan dan Bendahara Pengeluaran hanya mampu melakukan
pengecekan atas kebenaran administratif dokumen tersebut. Selama masih terjadi
kecurangan dalam tahapan sebelumnya dan tidak ada akses bagi verifikator untuk
melakukan pengecekan kebenaran materiil pembelian barang/jasa, tidak akan
menjamin kebenaran dalam pertanggungjawaban anggaran.
Kelemahan lain yang bisa menimbulkan celah terjadinya kecurangan yaitu
kelemahan pengujian atau verifikasi terhadap bukti pertanggungjawaban. Hal
tersebut bisa disebabkan karena Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan sumber
daya manusia yang ditugasi sebagai penguji/verifikator tidak cermat, lalai, kurang
kompeten atau tidak memahami peraturan yang berlaku. Menurut Peraturan
Pemerintah nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara, PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh
Pengguna Anggaran (PA) atau Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk
mengambil keputusan dan/atau melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan
pengeluaran anggaran belanja negara. Sedangkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 70 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden
Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
menyatakan bahwa PPK adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa. Berdasarkan kedua peraturan tersebut, menunjukkan
bahwa Pejabat Pembuat Komitmen tidak hanya melakukan penandatanganan
kontrak atas pengeluaran APBN dan pengadaan barang/jasa namun juga
bertanggungjawab untuk memastikan kebenaran materiil atas pengeluaran tersebut.
Pemeriksaan oleh PPK dan verifikator keuangan merupakan lini pertahanan
pertama dalam mendeteksi terjadinya kecurangan dalam pertanggungjawaban
pengelolaan keuangan di Badan Litbang dan Inovasi. Huefner (2010) dalam
penelitiannya menemukan bahwa kegagalan pengawasan oleh dewan pengawas
merupakan faktor-faktor yang berkontribusi dalam terjadinya fraud senilai jutaan
dolar yang terjadi sepanjang beberapa tahun di sekolah negeri kota New York. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pentingnya kualitas dan kompetensi sumber daya
manusia yang ditugasi sebagai pengawas dan pengendali (PPK dan verifikator)
dalam mencegah risiko terjadinya kecurangan dalam lingkup Badan Litbang dan
Inovasi.

Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang


dan Inovasi

Perumusan strategi pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan Badan


Litbang dan Inovasi menggunakan metode analitycal hierarchy process (AHP)
sehingga prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis dan
transparan. Struktur AHP yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 5 (lima)
52

level, dengan level puncak sebagai focus/goal dari hirarki yaitu “Strategi
Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi”.
Level kedua dalam penyusunan hirarki adalah faktor. Faktor-faktor yang
digunakan adalah faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya risiko fraud.
Berdasarkan uji analisis yang telah dilakukan sebelumnya, menurut persepsi
pengelola keuangan di Badan Litbang dan Inovasi, faktor yang berpengaruh
terhadap risiko fraud dalam pengelolaan keuangan adalah efektivitas sistem
pengendalian intern, budaya etis organisasi dan moralitas individu.
Level ketiga dalam penyusunan hirarki adalah aktor. Aktor-aktor yang
digunakan adalah aktor yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan faktor
pendorong terjadinya fraud di Badan Litbang dan Inovasi, yaitu eselon II di
Badan Litbang dan Inovasi, auditor internal/inspektorat dan auditor eksternal.
Adapun peran dari masing-masing aktor adalah sebagai berikut:
1. Eselon II di Badan Litbang dan Inovasi, berperan sebagai pihak yang
berwenang untuk mengambil kebijakan dalam lingkup Badan Litbang dan
Inovasi, termasuk kebijakan terkait pengelolaan keuangan dan upaya
pencegahan kecurangan.
2. Auditor internal di Badan Litbang dan Inovasi, yaitu auditor dari Inspektorat
Jenderal Kementerian LHK. Auditor internal berperan sebagai pengawas intern
terhadap kegiatan pengelolaan keuangan seluruh entitas di bawah Kementerian
LHK. Auditor internal juga bertanggung jawab untuk melakukan deteksi dini
risiko fraud, sebelum membawa dampak yang lebih buruk pada organisasi.
3. Auditor eksternal di Badan Litbang dan Inovasi, yaitu Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), berperan sebagai pemeriksa seluruh kegiatan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara. Dalam melaksanakan pemeriksaan/audit,
BPK harus memperoleh keyakinan memadai tentang apakah laporan keuangan
bebas dari salah saji material, yang disebabkan karena adanya kekeliruan
maupun kecurangan.
Level keempat dalam penyusunan hirarki adalah kendala. Kendala-kendala
yang digunakan adalah kendala yang dianggap dapat mempengaruhi aktor dalam
upaya mencegah terjadinya fraud di Badan Litbang dan Inovasi, yaitu aspek
individu, aspek organisasi, dan aspek peraturan. Kendala-kendala tersebut adalah:
1. Kendala aspek individu, yaitu penghambat upaya pencegahan fraud yang
berasal dari dalam diri individu tersebut, dalam hal ini pegawai lingkup Badan
Litbang dan Inovasi
2. Kendala aspek organisasi, yaitu penghambat upaya pencegahan fraud yang
berasal dari organisasi Badan Litbang dan Inovasi itu sendiri.
3. Kendala aspek peraturan, yaitu penghambat upaya pencegahan fraud akibat
adanya kelemahan dalam peraturan.
Level terakhir dalam penyusunan hirarki adalah alternatif-alternatif strategi
yang dipilih untuk mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan di
Badan Litbang dan Inovasi. Alternatif strategi yang dipilih yaitu:
(a) Perumusan value/nilai anti fraud di organisasi,
(b) Perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian,
(c) Sistem reward dan punishment yang tegas,
(d) Membentuk agen perubahan (agent of change),
(e) Peningkatan kultur organisasi, dan
(f) Pendidikan anti fraud bagi pegawai.
53

Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan metode AHP, yang menjadi


prioritas strategi pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang
dan Inovasi pada masing-masing level dapat dilihat pada Gambar 8.

Fokus Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan BLI

Efektivitas SPI Budaya Etis Organisasi Moralitas Individu


Faktor (0.503) (0.313) (0.184)

Eselon II Auditor internal Auditor eksternal


Aktor (0.583) (0.307) (0.110)

Aspek Individu Aspek Organisasi Aspek Peraturan


Kendala (0.467) (0.235) (0.298)

Perbaikan Perumusan
Strategi sistem Peningkatan Sistem Pendidikan
value/ Membentuk
pengawasan kultur reward dan anti fraud
nilai anti agen
dan organisasi punishment bagi
fraud di perubahan
pengendalian (0.171) yang tegas pegawai
organisasi (0.142)
(0.200) (0.166) (0.155)
(0.166)

Gambar 8 Struktur dan Nilai Bobot Hirarki AHP Strategi Pencegahan Fraud
dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang dan Inovasi

Tingkat Peranan Faktor dalam Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan


Keuangan Badan Litbang dan Inovasi
Dari hasil pengolahan dengan metode AHP, perbandingan antar unsur
“Faktor” Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang
dan Inovasi, yaitu prioritas pertama sistem pengendalian intern dengan nilai 0.503.
Berbeda dengan persepsi pengelola keuangan yang menempatkan faktor moralitas
individu sebagai faktor pendorong pertama. Menurut persepsi expert respondent,
sistem pengendalian intern dinilai sebagai prioritas pertama karena dengan adanya
sistem yang efektif akan menghilangkan adanya peluang bagi pegawai untuk
melakukan fraud. Sistem pengendalian internal yang baik di instansi pemerintah
akan mengurangi tingkat kecurangan yang bisa dilakukan, jika kualitas sistem
pengendalian intern buruk, maka bisa menjadi kesempatan bagi karyawan untuk
melakukan kecurangan. Semakin efektif pengendalian internal di instansi
pemerintah, semakin rendah tingkat kecurangan (Permana et al. 2017).
Prioritas selanjutnya adalah budaya etis organisasi dengan nilai 0.313.
Budaya organisasi merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam organisasi
sebagai pedoman dalam berperilaku. Budaya organisasi dapat mencegah perilaku
kecurangan di organisasi (Wicaksono dan Urumsyah 2016). Budaya organisasi
memiliki peran yang sangat penting didalam terbentuknya karakter anggota
organisasi tersebut. Suatu organisasi yang memiliki budaya etis tinggi akan
menekan anggotanya untuk tidak melakukan perbuatan yang menyimpang.
54

Prioritas terakhir adalah moralitas individu dengan nilai 0.184. Salah satu
penyebab kecurangan adalah kepribadian yang menggerogoti integritas seseorang.
Subagio (2016) menyatakan bahwa akar masalah terjadinya kecurangan adalah
kurangnya integritas aparatur negara, dimana dalam integritas terkandung kualitas
moral dan sikap yang jujur, bijak, adil untuk melakukan hal yang benar dalam
segala situasi. Oleh sebab itu untuk mencegah fraud dalam suatu organisasi perlu
mendorong penguatan integritas dan moral individu.

Tingkat Peranan Aktor dalam Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan


Keuangan Badan Litbang dan Inovasi
Dari hasil pengolahan dengan metode AHP, perbandingan antar unsur
“Aktor” Strategi Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Badan Litbang
dan Inovasi, yaitu prioritas pertama Eselon II dengan nilai 0.583. Eselon II dinilai
memiliki peluang dan prioritas yang paling besar karena secara langsung setiap
kegiatan dalam lingkup Badan Litbang dan Inovasi merupakan hasil dari
kebijakan dan keputusan yang diambil oleh para Eselon II (Sekretaris Badan dan
Kepala Pusat Litbang). Selain itu pihak manajemen dalam hal ini Eselon II juga
mempunyai peran penting dalam menentukan lingkungan etis organisasi dengan
menunjukkan teladan yang layak sehingga bisa menjadi panutan bagi pegawai di
bawahnya. Sebagai lini pertama dalam lingkup Badan Litbang dan Inovasi,
manajemen juga harus menyediakan mekanisme bagi pegawai untuk melaporkan
jika terjadi perilaku tidak etis, fraud, dan penyimpangan atas kebijakan etis atau
aturan perilaku dalam organisasi.
Aktor auditor internal diprioritaskan pada urutan kedua dengan nilai 0.307.
Kegiatan pengawasan internal pada Badan Litbang dan Inovasi dilakukan oleh
Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 19
tahun 2009 tentang Pedoman Kendali Mutu aparat pengawas intern pemerintah,
mendefinisikan Pengawasan intern sebagai seluruh proses kegiatan audit, reviu,
evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan
tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai
bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan
secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata
kelola/kepemerintahan yang baik.
Peran tersebut, diperkuat lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun
2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Instansi Pemerintah (SPIP) pasal 48
yang menyatakan bahwa Aparat pengawasan intern pemerintah melakukan
pengawasan intern melalui: audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan
pengawasan lainnya. Dimana fungsi pengawasan yang dilakukan APIP sampai
dengan saat ini dilaksanakan melalui peran pemeriksaan (watchdog), peran
konsultan (consultant) dan peran katalisator dan pendampingan manajemen
(catalyst)4.
Prioritas terakhir adalah auditor eksternal dengan nilai 0.110. Kegiatan
pengawasan eksternal pada pemerintah adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

4
Suhartanto. Strategi Pencegahan Tindak Pidana Korupsi: Mengoptimalkan Peran Aparat
Pengawasan Internal dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
55

Berdasarkan Pasal 6 UU No. 15 Tahun 2006, BPK memiliki tugas memeriksa


pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah,
dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

Tingkat Peranan Kendala dalam Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan


Keuangan Badan Litbang dan Inovasi
Perbandingan antar elemen “Kendala” yang menempati urutan pertama
yaitu aspek individu dengan nilai 0.467. Kendala aspek individu yaitu kendala
yang berasal dari dalam diri atau di bawah kendali individu tersebut, misalnya
keterbatasan sumber daya manusia (kurang kompeten dan tidak memahami
peraturan), sikap tidak peduli, menganggap tindakan curang yang dilakukan
adalah hal yang lumrah, atau tidak berani melaporkan perilaku dan kejadian
kecurangan yang terjadi di lingkungan kerjanya.
Prioritas kedua menurut responden adalah aspek peraturan dengan nilai
0.298. Kendala peraturan yaitu kualitas peraturan yang kurang memadai,
penjatuhan sanksi yang terlalu ringan, penerapan sanksi tidak konsisten dan
pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan. Prioritas
terakhir menurut responden adalah aspek organisasi dengan nilai 0.235. Kendala
aspek organisasi yaitu tidak adanya teladan dan komitmen dari pimpinan sehingga
pimpinan belum menjadi role model yang baik bagi pegawai dibawahnya dalam
upaya pencegahan fraud.

Tingkat Peranan Strategi dalam Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan


Keuangan Badan Litbang dan Inovasi
Perbandingan antar elemen “Strategi” yang menempati prioritas pertama
untuk mencegah terjadinya fraud dalam pengelolaan keuangan yaitu melakukan
perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian dengan nilai 0.200, prioritas
kedua adalah meningkatkan kultur organisasi dengan nilai 0.171, prioritas ketiga
adalah merumuskan value/nilai anti fraud di organisasi dan sistem reward dan
punisment yang tegas dengan nilai masing-masing 0.166, prioritas selanjutnya
adalah pendidikan anti fraud bagi pegawai (0.155) dan terakhir membentuk agent
of change/agen perubahan (0.142).
Responden menilai bahwa strategi yang perlu dijadikan prioritas adalah
perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian. Dengan adanya sistem yang baik
yang diterapkan di lingkup Badan Litbang dan Inovasi akan mampu
meminimalkan dan mengeliminasi motivasi pegawai dan kesempatan untuk
melakukan fraud.
Strategi yang dipilih untuk menjadi prioritas kedua adalah meningkatkan
kultur organisasi. Dengan adanya kultur organisasi dengan standar etika yang
tinggi dan tidak ada toleransi terhadap perilaku tidak etis dan fraud diharapkan
dapat mencegah terjadinya fraud di lingkungan Badan Litbang dan Inovasi.
Strategi yang dipilih selanjutnya adalah nilai anti fraud di organisasi dan
sistem reward and punishment yang tegas. Nilai anti fraud ini dipilih karena
dengan adanya nilai dalam organisasi akan menjadi pedoman bagi seluruh
pegawai dalam bekerja dan mengambil keputusan yang benar. Sistem reward dan
56

punishment diperlukan sebagai motivasi bagi karyawan untuk mencapai tujuan


organisasi yaitu dalam hal ini adalah upaya mencegah terjadinya fraud.
Strategi yang dipilih sebagai prioritas kelima adalah pendidikan anti fraud
bagi pegawai. Prioritas ini dipilih dengan pertimbangan bahwa seringkali ketika
fraud terjadi, pegawai tidak menyadari hal tersebut. Oleh karena itu, penting
untuk meningkatkan kesadaran akan fraud melalui program sosialisasi dan
pelatihan mengenai kesadaran fraud, aturan perilaku dan hal lain yang terkait
sebagai program pencegahan fraud secara menyeluruh.
Strategi terakhir yang dipilih adalah membentuk agent of change atau agen
perubahan. Agent of change adalah individu atau kelompok yang dipilih untuk
melakukan perubahan dan sekaligus menjadi panutan dalam berperilaku yang
mencerminkan kinerja dan integritas tinggi dalam organisasinya, mempromosikan
perilaku etis termasuk berperilaku yang anti fraud.

Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan berdasarkan prioritas hasil analisis AHP strategi


pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang dan inovasi yaitu:
(1) perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian, (2) meningkatkan kultur
organisasi, (3) merumuskan value/nilai anti fraud di organisasi, (4) sistem reward
dan punisment yang tegas, (5) pendidikan anti fraud bagi pegawai, dan (6)
membentuk agent of change/agen perubahan. Prioritas strategi-strategi tersebut
dapat dijabarkan ke dalam program atau kegiatan sebagai berikut:

1. Perbaikan Sistem Pengawasan dan Pengendalian


Konsep untuk meningkatkan pengendalian organisasi menurut The Institute
of Internal Auditor (2013) dengan tulisannya yang berjudul The Three Lines of
Defense in Effective Risk Management and Control. Konsep ini berkaitan dengan
pembagian peran dan tanggung jawab penerapan manajemen risiko dan
pengendalian internal menjadi 3 (tiga) lini dalam organisasi. Manajemen
operasional menjadi lini pertahanan pertama yang bertanggung jawab penuh untuk
menjalankan seluruh kebijakan organisasi dengan menjalankan pengendalian
intern secara terus menerus dalam seluruh tahapan kegiatan. Lini pertahanan
kedua bertugas untuk memantau dan menjaga kepatuhan pelaksanaan
pengendalian intern serta memberi masukan pada lini pertama. Lini pertahanan
ketiga adalah aparat pengawas intern pemerintah (APIP) atau auditor internal
yang bertugas untuk memberikan penilaian dan melakukan pemantauan
pengendalian intern secara obyektif.
Salah satu upaya untuk memperbaiki sistem pengawasan dan pengendalian
untuk mencegah fraud adalah kegiatan pengendalian intern yang dilakukan oleh
pihak manajemen operasional dengan melakukan pengawasan melekat, yaitu
pemantauan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh atasan terhadap staf di
lingkungan unit kerjanya. Pimpinan harus mampu merencanakan, dan
mengevaluasi secara konsisten dan kontinyu, sehingga pengendalian berjalan
sesuai dengan yang diinginkan. Apabila suatu pengendalian internal tidak
dilakukan sesuai dengan sistem pengendalian yang diinginkan, maka proses
pengendalian tidak berarti terhadap pencegahan fraud (Soleman 2013).
57

Pengawasan oleh manajemen salah satunya bisa dilakukan dengan membuat


suatu sistem informasi manajemen untuk seluruh kegiatan. Sistem informasi
tersebut nantinya menampilkan seluruh progress kegiatan masing-masing sub
bidang maupun kegiatan penelitian di lapangan. Diharapkan dengan adanya
sistem informasi dapat memudahkan pengawasan dan evaluasi oleh bidang
monitoring dan evaluasi, serta dapat dipantau oleh pelaksana kegiatan yang lain.
Pengujian terhadap bukti pertanggung jawaban oleh verifikator juga hanya
sebatas pada kebenaran administrasi dokumen dan bukan berdasar kebenaran
material. Hal ini disebabkan karena tidak adanya akses bagi verifikator untuk
melakukan pengecekan kebenaran materiil. Upaya yang dilakukan untuk
permasalahan tersebut yaitu memberikan akses bagi verifikator untuk melakukan
uji petik terhadap pembelian barang/jasa, terutama yang dilakukan di lapangan.
Selain pengawasan terhadap kegiatan, manajemen juga harus melakukan
pengawasan terkait penggunaan anggaran kegiatan agar tidak terjadi PAGU minus
atau salah pembebanan mata anggaran kegiatan. Pengawasan terkait penggunaan
anggaran dapat dilakukan antara lain dengan rekonsiliasi rutin antara verifikator
keuangan dan penangungjawab kegiatan.
Auditor internal pada prinsipnya ditujukan untuk membantu organisasi
dalam penilaian independen apakah kegiatan manajemen operasional telah
dilakukan secara patuh terhadap peraturan, ekonomis, efisien, dan efektif sehingga
tujuan organisasi bisa tercapai. Namun, auditor internal tidak setiap saat bisa
melakukan pengawasan terhadap kegiatan organisasi sehingga besar kemungkinan
terjadi kesalahan dan penyimpangan. Untuk membantu manajemen operasional
dalam melakukan pengawasan dan penilaian atas kegiatan yang dilakukan dalam
rangka menghindari kesalahan/penyimpangan tersebut yang dapat merugikan
organisasi maka perlu dibentuk satu unit agar meminimalkan kemungkinan
terjadinya kesalahan/penyimpangan dan jika terjadi kesalahan/penyimpangan
dapat sesegera mungkin dilakukan perbaikan.
Dengan pertimbangan tersebut, untuk melakukan pencegahan terhadap
terjadinya fraud maka perlu dibentuk unit pengendalian internal di lingkup Badan
Litbang dan Inovasi sebagai lini pertahanan kedua. Unit pengendalian internal
diharapkan dapat menjadi unit terdekat dalam manajemen untuk melakukan
pemantauan pelaksanaan pengendalian intern tanpa harus menunggu pelaksanaan
pengawasan oleh auditor dari Inspektorat Jenderal. Pemantauan oleh unit
pengendalian internal juga akan mendorong penyelesaian masalah secara lebih
cepat dan terbuka karena unit pengendalian internal juga merupakan unit internal
Badan Litbang dan Inovasi sendiri. Unit pengendalian internal juga berperan
sebagai petugas etika untuk membantu pegawai dalam menyelesaikan dilema etis
yang dihadapi dan untuk melaporkan dugaan fraud yang melibatkan manajemen.
Peningkatan dalam lini pertahanan ketiga dapat dilakukan dengan
mengoptimalkan peran auditor internal bukan hanya sebagai pengawas namun
juga sebagai pembina. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah pasal 59 menyatakan bahwa pembinaan
penyelenggaraan SPIP dilaksanakan oleh BPKP yang meliputi kegiatan
penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, sosialisasi SPIP, pendidikan
dan pelatihan SPIP, pembimbingan dan konsultansi SPIP, dan peningkatan
kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah. Sejalan dengan peran
BPKP sebagai pembina SPIP, maka dalam lingkup Badan Litbang dan Inovasi
58

terkait pembinaan SPIP dapat dilakukan oleh auditor inspektorat jenderal


Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pihak manajemen Badan Litbang
dan Inovasi dapat melibatkan BPKP maupun Inspektorat Jenderal dalam
melakukan upaya pembinaan terhadap pegawai terkait kepedulian terhadap fraud
melalui sosialisasi, maupun pendidikan dan pelatihan.
Selain itu peran auditor internal dalam mencegah terjadinya fraud juga dapat
dilakukan dengan mengevaluasi efektifitas SPI termasuk review atas ancaman
risiko fraud yang berpotensi terjadi di Badan Litbang dan Inovasi. Auditor
internal juga bertanggung jawab dalam melakukan deteksi dini terhadap risiko
fraud, sebelum memebawa dampak yang lebih buruk pada organisasi.
Pendeteksian tersebut dapat dilakukan saat melakukan review. Auditor internal
seharusnya memfokuskan diri pada area-area yang memiliki risiko tinggi terhadap
terjadinya fraud.

2. Peningkatan Kultur Organisasi


Upaya pencegahan terhadap fraud juga dapat dilakukan dengan
meningkatkan/menguatkan kultur organisasi yang tidak memberikan tolerasi
terhadap perilaku fraud. Peningkatan kultur organisasi yang selaras dengan
program anti fraud yang dapat dilakukan di lingkup Badan Litbang dan Inovasi
yaitu:
a. Menunjukkan teladan pimpinan
Perilaku bawahan merupakan refleksi dari perilaku pemimpinnya. Bawahan
akan cenderung untuk mengimitasi perilaku dari pemimpinnya. Jika pemimpin
mempromosikan perilaku yang baik maka bawahan akan meniru, begitu juga
sebaliknya (Wicaksono dan Urumsah 2016). Diperlukan teladan yang baik dari
pemimpin dalam berperilaku yang etis yang kuat sebagai upaya dalam mencegah
fraud di Badan Litbang dan Inovasi. Ketaatan pimpinan terhadap aturan perilaku
akan menunjukkan kepada pegawai di bawahnya bahwa pimpinan sedang
menanamkan nilai-nilai organisasi sebagai pesan bahwa organisasi tersebut
menerapkan “zero tolerance” terhadap perilaku yang tidak sesuai aturan, termasuk
fraud.
Komitmen pimpinan juga diperlukan sebagai upaya dalam mencegah fraud.
Upaya apapun yang dilakukan tidak akan berjalan jika tidak ada komitmen yang
kuat dari pimpinan. Komitmen pimpinan tersebut harus dapat dilihat dengan jelas
oleh pegawai di bawahnya. Komitmen tersebut bisa disampaikan dalam bentuk
retorika (pidato, pengarahan, pengumuman, pernyataan tertulis, dan aturan) yang
diekspresikan dalam bentuk keteladanan, dan di dukung dengan penyediaan
sumber daya yang memadai baik SDM, dana, maupun sarana dan prasarana
(Wiranta 2015). Selain itu pimpinan juga dapat membangun spiritual
accountability dalam organisasi (misal: membangun budaya malu) serta tidak
melakukan pembiaran terhadap pelanggaran.
b. Menciptakan lingkungan kerja yang positif
Lingkungan kerja merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam
upaya pencegahan fraud. Menurut Schultz dan Schultz (2006) dalam Suryana dan
Sadeli (2015), lingkungan kerja diartikan sebagai suatu kondisi yang berkaitan
dengan ciri-ciri tempat bekerja terhadap perilaku dan sikap pegawai dimana hal
tersebut berhubungan dengan terjadinya perubahan psikologis karena hal-hal yang
59

dialami dalam pekerjaannya atau dalam keadaan tertentu yang harus terus
diperhatikan oleh organisasi yang mencakup kebosanan kerja, pekerjaan yang
monoton serta kelelahan. Seseorang akan cenderung menyesuaikan diri dengan
apa yang telah menjadi kebiasaan dalam lingkungan kerjanya (Wicaksono dan
Urumsyah 2016). Lingkungan kerja yang menganggap wajar perilaku fraud,
lingkungan kerja yang mengagungkan penampilan mewah, dan lingkungan yang
mengagungkan kekayaan materi sebagai ukuran kesejahteraan dapat menekan
atau mendorong psikologis seseorang untuk melakukan tindakan curang (Suryana
dan Sadeli 2015).
Berdasarkan hal tersebut, sebagai upaya menciptakan lingkungan kerja yang
positif, manajemen harus berperan dalam menciptakan lingkungan kerja yang
positif tersebut. Upaya yang dapat dilakukan antara lain pimpinan yang
menghormati perilaku yang layak, manajemen yang partisipatif, keadilan dalam
organisasi, target penyerapan anggaran yang realistis, pembagian wewenang dan
tanggung jawab yang jelas, komunikasi yang baik antar pegawai, perilaku
sederhana dan bersahaja, serta loyalitas tinggi tehadap organisasi/memiliki
komitmen terhadap organisasi.

3. Perumusan Value/Nilai Anti Fraud dalam Organisasi


Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya fraud adalah suatu budaya
dengan sistem nilai yang kuat dalam organisasi. Sistem nilai ini diwujudkan
dalam suatu aturan perilaku (code of conduct) yang merefleksikan nilai utama dari
organisasi yang memberi pedoman pada pegawai dalam bekerja terkait peran dan
tanggungjawabnya dan mengambil keputusan yang benar jika berkaitan dengan
dilema etis yang dialami dalam pekerjaannya. Aturan perilaku harus didesain
untuk mengarahkan pegawai ke arah yang benar dan mampu memberikan
pedoman yang jelas pada perilaku dan tindakan apa yang diijinkan dan dilarang
dalam lingkungan organisasi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki kode etik revolusi
mental yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Republik Indonesia Nomor P.64/Menlhk/Setjen/kum.1/7/2016 tentang Kode Etik
Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara lingkup Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. Kode etik ini terdiri dari 3 (tiga) nilai strategis yaitu integritas
(disiplin, jujur, dan ikhlas), etos kerja (profesional dan tanggung jawab), dan
gotong royong. Kode etik tersebut berlaku sebagai pedoman sikap, tingkah laku,
dan perbuatan pegawai di dalam melaksanakan tugasnya dan pergaulan hidup
sehari-hari.
Salah satu nilai yang dapat digunakan oleh Badan Litbang dan Inovasi
sebagai pedoman untuk mencegah terjadinya fraud adalah nilai integritas.
Menurut Subagio (2016), integritas memainkan peran penting dalam mencegah
terjadinya kecurangan dalam birokrasi di Indonesia. Dalam integritas terkandung
kualitas moral dan sikap yang baik agar seseorang dapat melakukan hal yang
benar di segala situasi. Oleh karena itu penguatan integritas perlu terus didorong
dalam lingkup Badan Litbang dan Inovasi. Hal yang dapat dilakukan antara lain
penandatangan pakta integritas/pernyataan bagi seluruh pegawai setiap tahun yang
berisi indikator nilai integritas. Pakta integritas dapat difungsikan sebagai kontrak
kerja pegawai untuk bertindak sesuai aturan instansi. Jika terjadi pelanggaran,
maka pegawai harus menerima konsekuensi berupa punishment.
60

4. Sistem Reward dan Punishment yang Tegas


Strategi lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya fraud adalah
dengan mengimplementasikan sistem reward and punishment. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menerapkan pemberian reward yang
dilakukan dengan memberikan tunjangan kinerja bagi pegawainya sesuai
Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2015 yang mengatur tentang Tunjangan
Kinerja bagi Pegawai di Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pemberian punishment di Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sistem pengenaan reward maupun punishment sama-sama dibutuhkan untuk
merangsang karyawan agar meningkatkan kualitas kerjanya. Reward diterapkan
untuk memotivasi seseorang supaya giat dalam menjalankan tanggung jawab
karena terdapat anggapan bahwa dengan pemberian hadiah atas hasil
pekerjaannya, karyawan akan lebih bekerja maksimal. Sedangkan punishment
dikenakan terhadap karyawan yang melakukan kesalahan dan pelanggaran agar
termotivasi untuk menghentikan perilaku menyimpang dan mengarahkan pada
perilaku positif.5 Sedangkan Jensen and Meckling (1976) dalam Wilopo (2006)
menjelaskan bahwa pemberian kompensasi yang memadai membuat manajemen
bertindak sesuai keinginan pemegang saham, yaitu memberikan informasi
sebenarnya tentang keadaan perusahaan, hal ini membuktikan bahwa dengan
adanya kesesuaian kompensasi yang diberikan kepada karyawan akan mendorong
karyawan tersebut melakukan pekerjaan dengan baik, sehingga tidak akan
melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan termasuk melakukan fraud.
Selain reward berupa tunjangan kinerja, reward yang dapat diberikan
kepada pegawai yaitu memberikan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan
sesuai bidang keahlian melalui diklat, kesempatan untuk promosi, dan kesempatan
untuk melanjutkan pendidikan. Sedangkan punishment yang bisa diberikan
kepada pegawai yaitu pengenaan sanksi berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
dan pemotongan tunjangan kinerja berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.74/Menlhk-Setjen/2015
Tentang Tata Cara Pemberian Tunjangan Kinerja bagi Pegawai Di Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

5. Pendidikan Anti Fraud bagi Pegawai


Strategi berikutnya adalah melaksanakan sosialisasi dan pendidikan anti
fraud yang bertujuan untuk memperkuat setiap individu dalam mengambil
keputusan yang etis dan berintegritas, serta menciptakan budaya zero tolerance
terhadap fraud. Pendidikan anti fraud dapat dilakukan dengan mendesain dan
mengembangkan pelatihan terkait aturan perilaku dalam menghadapi tekanan dan
kesempatan terjadinya fraud sehingga membantu pegawai untuk mengidentifikasi
dan menolak situasi yang dapat menyebabkan terjadinya kecurangan. Sosialisasi
dan pendidikan juga harus memaparkan tentang risiko fraud sehingga

5
Suherman. 2017. Pola Mutasi, Reward & Punishment vs Fraud. Artikel DJKN.
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12542/Pola-Mutasi-Reward-Punishment-vs-
Fraud.html
61

menimbulkan kesadaran bagi pegawai. Badan Litbang dan Inovasi dapat


bekerjasama dengan Inspektorat Jenderal, BPK maupun Deputi bidang
pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjadi fasilitator dalam
program sosialisasi.
Sosialisasi anti fraud bagi pegawai tidak hanya dilakukan dalam bentuk
pendidikan dan pelatihan, namun juga melalui keteladanan dari pimpinan
(Kernaghan 1993; Langford 1990 dalam Wiranta 2015). Pendidikan dan pelatihan
terkait fraud dapat dilakukan pada saat penerimaan pegawai baru (induction
training) dan harus dilakukan secara berkala setelah menjadi pegawai. Selain itu,
pimpinan dan pegawai senior juga memegang peran sentral dalam melakukan
sosialisasi tersebut melalui keteladanan perilaku beretika dan perilaku anti fraud.
Seminar dan pelatihan etis juga dapat dilakukan sebagai strategi dalam
upaya mencegah fraud. Pelatihan etis digunakan untuk memperkuat nilai,
tuntunan organisasi, menjelaskan praktik yang diperbolehkan dan yang tidak, serta
menangani dilema etika yang mungkin muncul. Pelatihan etis merupakan alat
untuk memahami dan mendalami arti etos, nilai-nilai, norma, etika, integritas, dan
standar perilaku yang ditetapkan dalam aturan perilaku dalam organisasi (codes of
conduct). pelatihan yang efektif akan dapat mengembangkan kemampuan pegawai
untuk mengaplikasikan seluruh nilai organisasi dalam keseharian tugas dan
perilaku mereka.
Pendidikan anti fraud melalui promosi anti fraud dapat terus menerus
dilakukan dengan membuat pamflet/flyer bulanan yang dipajang di mading kantor
untuk meningkatkan kesadaran akan risiko fraud. Seluruh pegawai dididik melalui
sejumlah media untuk dengan mencantumkan kalimat-kalimat peringatan untuk
selalu bekerja sesuai dengan aturan, misalnya dalam bentuk neon box, banner,
poster, website kantor. Selain komunikasi tidak langsung, pendidikan anti fraud
juga dapat dilakukan melalui seruan anti fraud dalam setiap kesempatan kepada
seluruh pegawai, misalnya dalam rapat dan upacara.
Strategi pendidikan anti fraud bagi pegawai dapat dilakukan melalui
kegiatan: (a) penyelenggaraan sosialisasi kepada pegawai terkait fraud, (b)
penyelenggaraan seminar dan pelatihan etis, dan (c) pembuatan promosi anti fraud
melalui media.

6. Membentuk Agen Perubahan (Agent of Change)


Pembentukan agent of change lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehuatanan sudah diatur dalam Keputusan Sekretaris Jenderal No. SK 201/II-
Kum/2014 tentang Penetapan Kepala Satuan Kerja Lingkup Kementerian
Kehutanan Menjadi Agen Perubahan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Di
Kementerian Kehutanan. Namun, upaya untuk melakukan pencegahan fraud
selain unsur keteladanan yang nyata dari pimpinan juga membutuhkan perubahan
diri individu anggota organisasi. Untuk mempercepat perubahan kepada seluruh
pegawai di lingkungan Badan Litbang dan Inovasi, sangat diperlukan beberapa
individu yang bisa menjadi penggerak utama dalam perubahan sekaligus menjadi
bisa menjadi role model bagi pegawai lain dalam berperilaku sesuai dengan nilai-
nilai yang dianut oleh organisasi. Agen perubahan terdiri dari pimpinan dan
pegawai yang dipilih berdasarkan kriteria tertentu sesuai dengan tuntutan peran
agen perubahan.
62

Dengan dibentuknya agen perubahan diharapkan terjadi peningkatan


integritas seluruh individu anggota organisasi, sehingga dapat mendorong
terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang bebas fraud. Selain itu juga
mendorong etos kerja yang tinggi dan profesional, sehingga mampu mendorong
tercapainya pencapaian target kinerja organisasi.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam membuat agen perubahan di Badan
Litbang dan Inovasi adalah:
1) Pemilihan/seleksi agen perubahan dilakukan melalui seleksi internal oleh
pimpinan sesuai dengan kriteria agen perubahan (berintegritas dan mempunyai
kinerja yang tinggi);
2) Penetapan formal agen perubahan secara resmi dengan keputusan Kepala
Badan Litbang dan Inovasi yang didalamnya berisi daftar individu yang
ditetapkan sebagai agen, peran, tugas dan fungsinya serta jangka waktu agen
perubahan;
3) Pembinaan agen perubahan terpilih dapat dilakukan dengan melibatkan
Inspektorat Jenderal, BPKP, BPK, maupun divisi pencegahan korupsi oleh
KPK dengan memberikan pelatihan tentang integritas, teknik dan strategi
komunikasi, serta pencegahan fraud dalam organisasi;
4) Monitoring dan evaluasi perlu dilakukan oleh pimpinan organisasi dan
inspektorat jenderal selaku pembina untuk menjaga agar tetap efektif dan
relevan dengan lingkungan yang terus berubah.
Agen perubahan diharapkan secara aktif mampu melakukan beberapa hal
berikut:
1) Melakukan langkah konkret perubahan di lingkungan unit kerjanya melalui
penetapan rencana tindak perubahan;
2) Melakukan internalisasi rencana tindak perubahan kepada para pegawai
melalui berbagai cara, seperti pertemuan rutin dalam knowledge sharing,
sosialisasi, dan pelatihan kantor sendiri; serta
3) Menerapkan rencana tindak perubahan mulai dari masing-masing individu
agen perubahan.
Selanjutnya secara bertahap, agen perubahan mengajak anggota organisasi
lain untuk mengikuti perubahan perilaku yang baik sesuai dengan nilai-nilai dan
budaya kinerja organisasi. Perubahan perilaku tersebut yaitu melaksanakan
seluruh nilai yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.64/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016 tentang
Kode Etik Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara Lingkup Kementerian
Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, yaitu integritas (disiplin, jujur dan ikhlas),
etos kerja (profesional dan tanggung jawab), dan gotong royong. Misalnya
menyelesaikan seluruh pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab dan maksimal,
produktif dalam bekerja, memiliki sikap melayani dan sopan, berpenampilan rapi
dan sederhana serta tidak berlebihan di lingkungan kantor, menggunakan aset
negara dengan baik, dan memiliki komunikasi yang baik dengan atasan dan rekan
kerja.
63

6 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang disajikan sebelumnya,


dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Faktor yang berpengaruh terhadap fraud menurut persepsi pegawai Badan
Litbang dan Inovasi adalah variabel efektifitas sistem pengendalian intern,
budaya etis organisasi dan moralitas individu yang berpengaruh positif
signifikan terhadap kondisi pengelolaan keuangan yang baik dan tidak rawan
terjadi fraud. Sedangkan kesesuaian kompensasi tidak berpengaruh signifikan.
2. Risiko potensi terjadinya fraud dibagi dalam tiga siklus yaitu penganggaran,
pelaksanaan anggaran dan pertanggungjawaban. Risiko dalam penganggaran
yaitu terkait penentuan besaran anggaran dan adanya daur ulang judul
penelitian. Risiko dalam pelaksanaan anggaran/kegiatan yaitu terkait
ketidakbenaran dokumen pertanggungjawaban kegiatan. Risiko dalam
pertanggungjawaban anggaran yaitu kurangnya kontrol dan pengawasan
internal terhadap seluruh kegiatan serta kelemahan pengujian atau verifikasi
terhadap bukti pertanggungjawaban.
3. Strategi pencegahan fraud dalam pengelolaan keuangan Badan Litbang dan
Inovasi yaitu (1) perbaikan sistem pengawasan dan pengendalian, (2)
meningkatkan kultur organisasi, (3) merumuskan value/nilai anti fraud di
organisasi, (4) menerapkan sistem reward dan punisment yang tegas, (5)
pendidikan anti fraud bagi pegawai dan (6) membentuk agen perubahan.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan


sebagai saran adalah sebagai berikut:
1. Badan Litbang dan Inovasi perlu menekankan pentingnya fraud awareness dan
komitmen anti fraud kepada seluruh pegawai. Hal tersebut diharapkan dapat
menurunkan faktor pendorong risiko fraud yang pada akhirnya juga akan
mempercepat upaya organisasi dalam mencegah terjadinya fraud.
2. Badan Litbang dan Inovasi perlu lebih meningkatkan pengawasan pada setiap
siklus pengelolaan keuangan untuk mengendalikan risiko potensi terjadinya
fraud. Selain itu, perlunya peningkatan kualitas dan kompetensi PPK,
bendahara pengeluaran, dan verifikator keuangan yang berperan sebagai
pengawas sekaligus sebagai lini pertama dalam mendeteksi kecurangan.
3. Strategi yang dirumuskan dapat diusulkan sebagai strategi pencegahan fraud di
tingkat kementerian. Hal ini disarankan karena seluruh strategi yang sudah
ditetapkan akan lebih maksimal jika didukung upaya pencegahan fraud tingkat
Kementerian karena Badan Litbang dan Inovasi merupakan entitas
pemerintahan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
4. Pada penelitian selanjutnya disarankan agar melakukan penghitungan terhadap
potensi kerugian negara (potential loss) sebagai akibat dari adanya risiko
kecurangan. Hal ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pemerintah
untuk menghindari kerugian negara yang bersifat tangible atau nyata.
64

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi R, Mansor N, Nuhu MS. 2015. Fraud Triangle Theory and Fraud
Diamond Theory. Understanding the Convergent and Divergent For Future
Research. International Journal of Academic Research in Accounting,
Finance and Management Sciences. 5 (4):38-45.doi:10.6007/IJARAFMS/
v5-3/1823
Aminah, Faramitha CY. 2016. Hubungan Pengendalian Intern Dan Kompensasi
Dengan Kecurangan Akuntansi (Studi Pada BPR Di Provinsi Lampung).
Jurnal Akuntansi dan Keuangan. 7 (1):1-13.
[BPK] Badan Pemeriksa Keuangan. 2016. Ihtisar Hasil Pemeriksaan Badan
Pemeriksa Keuangan (IHP BPK) Semester I tahun 2016. Jakarta (ID): BPK
RI
Chandra DP, Ikhsan S. 2015. Determinan terjadinya kecenderungan kecurangan
akuntansi (fraud) pada dinas pemerintah se kabupaten Grobogan.
Accounting Analysis Journal. 4(3):1-9.
Dewi GAKRS. 2014. Pengaruh Moralitas Individu Dan Pengendalian Internal
Pada Kecurangan Akuntansi (Studi Eksperimen Pada Pemerintah Daerah
Provinsi Bali) [Tesis]. Bali (ID): Universitas Udayana
Eliza Y. 2015. Pengaruh Moralitas Individu Dan Pengendalian Internal Terhadap
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi (Studi Empiris Pada Skpd Di Kota
Padang). Jurnal Akuntansi. 4 (1):86-100.
Ghozali I, Latan H. 2015. Partial Least Squares Konsep, Teknik dan Aplikasi
Menggunakan Program SmartPLS 3.0 Edisi 2. Semarang (ID): Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Ghozali I, Latan H. 2017. Partial Least Squares Konsep, Teknik dan Aplikasi
Menggunakan Program WarpPLS 5.0 Edisi 3. Semarang (ID): Badan
Penerbit Universitas Diponegoro
Hidayat S. 2017. Strong Leadership and Political will in Fraud Avoidance. Asia
Pasific Fraud Journal. 2 (1):81-92.doi:10.21532/apfj.001.17.02.01.08
Huefner RJ. 2010. Local government fraud: the Roslyn School District case.
Manajemen Research Review 33 (3): 198-209. Doi: 10.1108/014091710110
30363.
Ikhsan A, Ishak M. 2005. Akuntansi Keperilakuan. Jakarta (ID): Salemba Empat.
[IIA] The Institute of Internal Auditor. 2013. IIA Position Paper: The Three Lines
of Defense in Effective Risk Management and Control. Diunduh pada 24
Juni 2017, dari http://global.theiia.org/
Indonesian Corruption Watch. 2017. Laporan Tahunan ICW 2016. Diakses 1
Agustus 2017, dari http://www.antikorupsi.org/
Junaidi. 2016. Analysis of The Role of BPK in Preventing and Eradicating
Corruption (a Study in 4 Districts in South Sulawesi Province). Asia Pasific
Fraud Journal. 1 (2):205-213.doi:10.21532/apfj.001.16.01.02.18
Karyono. 2013. Forensic Fraud. Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2015. Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern
65

Pemerintah Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.


Jakarta (ID): KLHK
Lediastuti D, Subandijo U. 2014. Audit Forensik Terhadap Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Studi Kasus pada Badan Pemeriksa
Keuangan RI). e-Journal Magister Akuntasi Trisakti. 1 (1):89-108.
Mondy RW. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi 10, Jilid 2. Alih
Bahasa Bayu Airlangga. Jakarta (ID): Penerbit Erlangga
Mustika D, Hastuti S, Heriningsih S. 2016. Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan (Fraud): Persepsi Pegawai
Dinas Kabupaten Way Kanan Lampung. Makalah Simposium Nasional
Akuntansi 19, Lampung, Indonesia.
Najahningrum AF, Ikhsan S, Sari MP. 2013. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Kecenderungan Kecurangan (Fraud) : Persepsi Pegawai Dinas Provinsi
DIY. Makalah Simposium Nasional Akuntansi 16, Manado, Indonesia, hal.
2325-2377.
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah. Jakarta (ID): Sekretariat Negara
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Jakarta (ID):
Pemerintah RI
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Jakarta (ID):
Pemerintah RI
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Jakarta
(ID): Pemerintah RI
[Pemerintah RI] Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggungjawab Keuangan Negara. Jakarta (ID): Pemerintah RI
Permana BA, Perdana HD, Kurniasih L. 2017. Determinant of Fraud in
Government Agency: Empirical Study At The Finance And Development
Supervisory Agency (BPKP) Of Jakarta Representative Office. Asia Pasific
Fraud Journal. 2 (1):93-108.doi.10.21532/apfj.001.17.02.01.08
Pramuditha A. 2013. Analisis Fraud di Sektor Pemerintahan Kota Salatiga.
Accounting Analysis Journal. 2 (1):35-43.
Priantara D. 2013. Fraud Auditing & Investigation. Jakarta (ID): Mitra Wacana
Media
Pristiyanti IR. 2012. Persepsi Pegawai Instansi Pemerintah Mengenai Faktor-
Faktor Yang Mempengaruhi Fraud Di Sektor Pemerintahan. Accounting
Analysis Journal. 1 (1):1-14.
Puspasari N, Suwardi E. 2012. Pengaruh Moralitas Individu dan Pengendalian
Internal Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi
Eksperimen pada Konteks Pemerintahan Daerah. Makalah Simposium
Nasional Akuntansi 15, Banjarmasin, Indonesia.
Rae K, Subramaniam N. 2008. Quality of Internal Control Procedures:
Antecedents and Moderating Effect on Organisational Justice and Employee
66

Fraud. Managerial Auditing Journal. 23 (2):104-124.doi:10.1108/02686900


810839820
Rita Anugerah. 2014. Peranan Good Corporate Governance dalam Pencegahan
Fraud. Jurnal Akuntansi. 3 (1):101-113
Robbins SP. 1996. Perilaku Organisasi Konsep, Kontroversi, Aplikasi. Alih
Bahasa Hadyana Pujaatmaka. Jakarta (ID): PT Prenhallindo
Robbins SP, Judge TA. 2014. Perilaku Organisasi Organizational Behavior Edisi
12. Jakarta (ID): Salemba Empat.
Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Seri Manajemen
No. 134. Alih Bahasa Liana Setiono. Jakarta (ID): PT. Pustaka Binaman
Pressindo.
Setiawan AR, Irianto G, Achsin M. 2013. System-Driven (UN) Fraud: Tafsir
Aparatur Terhadap “Sisi Gelap” Pengelolaan Keuangan Daerah. Jurnal
Akuntansi Multiparadigma. 4 (1):85-100.
Sholihah S, Alim MN, Musyarofah S. 2016. Memotret Pola Fraud pada Rincian
Objek Belanja yang Menjadi Temuan BPK. Journal of Auditing, Finance
and Forensic Accounting. 4 (2):101-110.
Sholihin M, Ratmono D. 2013. Analisis SEM-PLS dengan WarpPLS 3.0.
Yogyakarta (ID): Penerbit ANDI
Skousen CJ, Smith KR, Wright CJ. 2009. Detecting and Predicting Financial
Statement Fraud: The Effectiveness of the Fraud Triangle and SAS No. 99.
Advances in Financial Economics. 13:53-81.
Soleman R. 2013. Pengaruh Pengendalian Internal dan Good Corporate
Governance terhadap Pencegahan Fraud. Jurnal Akuntansi dan Auditing
Indonesia. 17(1):57-74.
Sorunke OA. 2016. Personal Ethics and Fraudster Motivation: The Missing Link
in Fraud Triangle and Fraud Diamond Theories. International Journal of
Academic Research in Business and Social Sciences. 6 (2):159.165.doi:10.
6007/IJARBSS/v6-i2/2020
Subagio. 2016. Identify Main Factors That Influence Corruption And Suggest
How To Eradicate The Corruption Problem In Indonesia. Asia Pasific
Fraud Journal. 1 (1):37-48.doi: 10.21532/apfj.001.16.01.01.03
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung
(ID): Alfabeta
Sulastri, Simanjuntak BH. 2014. Fraud Pada Sektor Pemerintah Berdasarkan
Faktor Keadilan Kompensasi, Sistem Pengendalian Internal, Dan Etika
Organisasi Pemerintah (Studi Empiris Dinas Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta). e-Journal Magister Akuntasi Trisakti. 1 (2):199-227.
Sulistyowati, F. 2007. Pengaruh Kepuasan Gaji dan Kultur Organisasi terhadap
Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah tentang Tindak Korupsi. Jurnal
Akuntansi dan Auditing Indonesia. 11 (1):47-66.
Surjandari DA, Martaningtyas I. 2015. An Empirical Study: The Effect of
Performance Incentives, Internal Control System, Organizational Culture,
on Fraud of Indonesia Government Officer. Mediterranian Journal of Social
Sciences. 6 (5):71-76.doi:10.5901/mjss.2015.v6n5s5p71
Suryana A, Sadeli D. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Terjadinya Fraud. Jurnal Riset Akuntansi dan Perpajakan. 2 (2):127-138.
67

Syahrina D, Irianto G, Prihatiningtyas YW. 2017. Budaya Cari Untung Sebagai


Pemicu Terjadinya Fraud: Sebuah Studi Etnografi. Jurnal Akuntansi dan
Pendidikan. 6 (1):73-84
Thoyibatun S. 2012. Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perilaku Tidak
Etis dan Kecenderungan Kecurangan Akuntansi Serta Akibatnya Terhadap
Kinerja Organisasi. Ekuitas: Jurnal Ekonomi dan Keuangan. 16(2):245-260.
Transparancy International. Corruption Perception Index 2015. Diunduh 7
Desember 2016, pada www.transparency.org
Tuanakotta TM. 2014. Akuntansi Forensik & Audit Investigatif, Edisi 2. Jakarta
(ID): Salemba Empat
Wicaksono AP, Urumsah D. 2016. Factors Influencing Employees To Commit
Fraud In Workplace Empirical Study In Indonesian Hospitals. Asia Pasific
Fraud Journal. 1 (1):1-18.doi:10.21532/apfj.001.16.01.01.01
Wilopo. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap
Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi pada Perusahaan Publik dan
Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Makalah. Simposium Nasional
Akuntansi 9, Padang, Indonesia.
Wiranta DNS. 2015. Transformasi Birokrasi: Cara untuk Penguatan Etika dan
Integritas dalam Pencegahan Korupsi. Jurnal Lingkar Widyaiswara. 2
(4):44-71.
68

LAMPIRAN
69

Lampiran 1

Perhitungan skor Persepsi Pengelola Keuangan Terhadap Faktor yang


Mempengaruhi Terjadinya Risiko Fraud di Badan Litbang dan Inovasi

1. Persepsi terhadap fraud dalam pengelolaan keuangan


Total
Indikator Ket Pernyataan Mean*
Skor
(1) (2) (3) (4) (5)
Kebenaran dokumen pertanggungjawaban F1 1 322 3.57778
Otorisasi dokumen pertanggungjawaban F2 2 309 3.43333
Penggunaan anggaran F3 3 289 3.21111
Pemanfaatan aset F4 4 260 2.88889
Kebenaran laporan aset F5 5 288 3.2
Gratifikasi F6 6 313 3.47778
Hubungan dengan rekanan F7 7 322 3.57778
Kesesuaian spesifikasi F8 8 312 3.46667
Penggunan sisa anggaran F9 9 323 3.58889
Total 2738 30.4222
Rata-rata (total) 3.38025
Keterangan = Total skor/Jumlah responden

2. Persepsi terhadap kesesuaian kompensasi


Total
Indikator Ket Pernyataan Mean*
Skor
(1) (2) (3) (4) (5)
Kompensasi keuangan KK1 1 212 2.35556
Pengakuan atas prestasi KK2 2 235 2.61111
Promosi KK3 3 215 2.38889
Penyelesaian tugas KK4 4 238 2.64444
Pencapaian sasaran KK5 5 242 2.68889
Pengembangan pribadi KK6 6 216 2.4
Total 1358 15.08889
Rata-rata (total) 2.51482
Keterangan = Total skor/Jumlah responden

3. Persepsi terhadap Efektivitas Sistem Pengendalian Intern


Total
Indikator Ket Pernyataan Mean*
Skor
(1) (2) (3) (4) (5)
Lingkungan pengendalian SPI1 1 298 3.27778
Penilaian risiko SPI2 2 308 3.42222
Kegiatan pengendalian SPI3 3 296 3.28889
Informasi dan komunikasi SPI4 4 298 3.31111
Pemantauan SPI5 5 304 3.37778
Total 1501 16.67778
Rata-rata (total) 3.33556
Keterangan = Total skor/Jumlah responden
70

4. Persepsi terhadap budaya etis organisasi


Total
Indikator Ket Pernyataan Mean*
Skor
(1) (2) (3) (4) (5)
Model peran yang visible BEO1 1 275 3.05556
Komunikasi harapan etis BEO2 2 294 3.26667
Pelatihan etis BEO3 3 175 1.94444
Hukuman bagi tindakan etis BEO4 4 281 3.12222
Mekanisme perlindungan etika BEO5 5 134 1.48889
Total 1159 12.87778
Rata-rata (total) 2.57556
Keterangan = Total skor/Jumlah responden

5. Persepsi terhadap moralitas individu


Total
Indikator Ket Pernyataan Mean*
Skor
(1) (2) (3) (4) (5)
Situasi dimana pimpinan mengubah MI1 1 325 3.61111
laporan keuangan seperti periode yang
lalu untuk kepentingannya
Situasi dimana pimpinan menjanjikan MI2 2 317 3.52222
akan memberikan bonus kepada
bawahan jika mengubah laporan
keuangan seperti periode yang lalu
Situasi dimana pimpinan mengubah MI3 3 324 3.6
laporan keuangan seperti periode yang
lalu agar kinerjanya bagus dan terlihat
baik
Situasi dimana pimpinan mengubah MI4 4 315 3.5
laporan keuangan seperti periode yang
lalu karena sudah lazim
Situasi dimana pimpinan menyusun MI5 5 322 3.57778
laporan keuangan seperti kondisi yang
sebenarnya karena takut terkena sanksi
Undang-Undang
Situasi dimana pimpinan menyusun MI6 6 321 3.56667
laporan keuangan seperti kondisi yang
sebenarnya karena pertimbangan prinsip
kesejahteraan masyarakat dan tidak
merugikan pemerintah
Total 1924 21.15556
Rata-rata (total) 3.52593
Keterangan = Total skor/Jumlah responden
71

Lampiran 2

Hasil Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Fraud dalam


Pengelolaan Keuangan (Metode SEM-PLS, alat uji Warp PLS 5.0)

Uji Validitas Konvergen


72

Lampiran 3
Hasil Pengolahan Analytical Hierarchy Process
73
74

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Blora pada tanggal 18 November 1987. Penulis adalah


anak ketiga dari tiga bersaudara dari orang tua bernama Thomas Gudarso dan
Djuariah Martaningsih. Pendidikan tingkat sekolah dasar sampai jenjang sekolah
menengah atas diselesaikan penulis di Blora Jawa Tengah, yaitu Sekolah Dasar
Negeri 3 Ngawen (lulus tahun 1999), Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Ngawen (lulus tahun 2002) dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Blora (lulus
tahun 2005). Pendidikan Sarjana ditempuh pada program studi Akuntansi,
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro, lulus pada tahun 2009.
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil sejak tahun 2011 sebagai staf
pengelola keuangan pada Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Bogor. Tahun 2014, penulis
menikah dengan Teodorus Andika Hutama. Pada September 2015, penulis
melanjutkan studi sebagai mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi
Manajemen Pembangunan Daerah Institut Pertanian Bogor dengan beasiswa
program State Accountability Revitalization (STAR) Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Anda mungkin juga menyukai