Anda di halaman 1dari 15

INFEKSI SALURAN NAFAS BAWAH BERULANG PADA PJB

DAN TATALAKSANANYA

Muhammad Ali, Putri Amelia

Pendahuluan
Pada orang sehat, dijumpai hubungan erat antara fungsi kardiovaskular dan respirasi, namun
adanya kelainan sirkulasi bawaan membuat jalinan ini terganggu.1,2 Pada kondisi seperti ini
kemampuan jantung untuk meningkatkan aliran darah sistemik dan/atau pulmonal jadi
terbatas, PO2 arterial menurun karena adanya pirau dari lesi, dan penghantaran O2 tidak dapat
mencukupi kebutuhan jaringan. Keadaan patologis di kedua sistem ini sering muncul
bersamaan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain, akibatnya diagnosis dan
tatalaksana pasien jadi lebih menantang.1
Kebanyakan penyakit jantung pada anak adalah bawaan. Dijumpai 8 per 1000 bayi
lahir hidup memiliki malformasi jantung, 30% darinya memerlukan intervensi di tahun
pertama kehidupan. Terdapat 9 jenis lesi yang paling sering muncul, menyumbang sekitar
80% dari keseluruhan penyakit jantung bawaan/PJB (Ventricular Septal Defect/VSD 30%,
Patent Ductus Arteriosus/PDA 12%, Atrial Septal Defect/ASD 7%, Tetralogy of Fallot 5%,
Transposition Great Artery/TGA 5%, Complete Atrioventricular Septal Defect/AVSD 2%,
Pulmonary Stenosis/PS 7%, Aortic Stenosis/AS 5% dan Coarctatio Aorta 5%).3
Anak-anak dengan PJB mengalami komplikasi di beberapa organ sistem, dan sistem
respirasi adalah komplikasi yang paling utama. Infeksi saluran nafas bawah adalah alasan
utama terjadinya morbiditas dan mortalitas,4 memanjangnya masa rawatan di rumah sakit,
gagal nafas, memanjangnya pemakaian ventilasi mekanik, dan tertundanya operasi defenitif.5
Karenanya, deteksi dini PJB pada infeksi saluran nafas bawah berulang dan tatalaksananya
yang sesuai dapat memberikan anak waktu yang cukup untuk tumbuh kembang, mengurangi
risiko morbiditas dan mortalitas, mengurangi beban biaya dan menghindari morbiditas
jangka panjang.2
Infeksi saluran nafas bawah yang diulas dalam tulisan ini dibatasi hanya pada 2 jenis
infeksi tersering ditemukan berkaitan dengan PJB yaitu bronkiolitis dan pneumonia berulang
serta tatalaksananya.

1
Infeksi Saluran Nafas Bawah dan PJB
Berdasarkan International Classification of Diseases, infeksi saluran nafas bawah
didefinisikan sebagai infeksi yang menyerang saluran nafas di bawah epiglotis.6 Sedangkan
infeksi saluran nafas bawah berulang merujuk kepada 2 kali atau lebih rawat inap dalam
kurun 6 bulan atau 3 kali rawat inap karena infeksi saluran nafas bawah di sepanjang waktu.7
Penyebab infeksi saluran nafas beragam, namun penyebab infeksi (virus, bakteri) adalah hal
yang paling umum.2 Faktor risiko lainnya pada infeksi saluran nafas bawah selain PJB adalah
prematuritas, penyakit paru kronik, penyakit imun, usia di bawah 5 tahun, terpapar asap
rokok, dan sindroma aspirasi.4
Komplikasi pulmonal langsung akibat PJB dapat berupa gangguan pada struktur jalan
nafas, abnormalitas mekanisme patofisiologi yang mengakibatkan terjadinya edema paru,
dan/atau penyakit paru yang nyata. Faktor-faktor lain yang membuat anak-anak dengan PJB
berisiko menderita infeksi saluran nafas tertera pada tabel 1.5

Tabel 1. Faktor-faktor risiko infeksi saluran nafas pada PJB5


- Kondisi medis penyakit dasar yang berat
- Malnutrisi
- Intubasi trakea/ventilasi mekanik yang berlama-lama
- Penggunaan antasida yang mempengaruhi pH lambung
- Penggunaan spektrum luas antibiotika sebelumnya

Mekanisme yang bertanggung jawab pada terjadinya peningkatan usaha bernafas


bervariasi tergantung kepada perubahan mekanik yang diakibatkan oleh setiap anomali
kardiovaskular. Anak-anak yang menderita PJB dengan pirau kiri ke kanan mengalami
peningkatan aliran darah paru yang mengakibatkan edema paru dan penurunan kapasitas
residu fungsional. Perubahan-perubahan ini selanjutnya dapat mengakibatkan atelektasis dan
ventilation perfussion mismatch, yang akhirnya mengakibatkan hipoksia.5
Pasien-pasien dengan PJB sianosis dapat mengalami intensifikasi pada level dasar
sianosisnya akibat bronchiolitis-related reductions pada volume paru dan airway diameter
superimposed pada aliran paru yang sudah berkurang, dan akibat pirau kanan ke kiri. Anak-
anak dengan PJB juga mengalami kegagalan fungsi ventrikel yang mengakibatkan

2
peninggian tekanan vena pulmonalis, kebocoran kapiler, dan edema paru yang selanjutnya
berkontribusi meningkatkan ventilation-perfusion mismatch.8
1. Bronkiolitis
Bronkiolitis adalah infeksi saluran nafas bawah yang paling sering pada anak,9 dan infeksi
saluran nafas yang paling serius pada bayi, dimana 2-3% dari seluruh bayi usia 1-9 bulan
menjalani rawat inap karena penyakit ini setiap tahunnya di musim dingin. 10 Di negara-
negara beriklim tropis, penyakit ini sering datang saat musim penghujan, dan musimnya juga
lebih beragam sepanjang tahun.9,11 Respiratory Synctitial Virus/RSV adalah penyebab
bronkiolitis pada sekitar 50-80 kasus.10,12
Secara global setiap tahunnya diperkirakan ada 33,8 juta kasus infeksi saluran nafas
bawah karena RSV pada anak di bawah 5 tahun, mengakibatkan 3,4 juta rawatan di rumah
sakit dan 66 hingga 199 ribu kematian (kebanyakan di negara-negara berpendapatan rendah
dan sedang).13 Risiko untuk menderita bronkiolitis meningkat pada keadan tertentu (lahir
prematur RR 1.89, fibrosis kistik RR 2.45, PJB RR 3.35, penyakit paru kronis RR 1.61,
immunodefisiensi RR 1.73, sindroma Down RR 2.53, dan Palsi Serebral RR 2.43.9 PJB yang
paling sering menyebabkan bronkiolitis adalah PJB asianotik pada usia 1-5 tahun.2
Diagnosis bronkiolitis ditegakkan secara klinis. Interpretasi klinis yang bervariasi
pada gejala dan temuan fisik, mengakibatkan ketidakkonsistenan dalam diagnosis khususnya
pada kasus-kasus yang lebih ringan pada anak di atas 1 tahun.9 Bronkiolitis akut ditandai
dengan adanyanya obstruksi bronkiolar oleh edema, lendir, dan debris selular.12 Rinorea
muncul 2-4 hari disertai demam di bawah 390C.9 Gambaran lainnya pada pemeriksaan fisik
adalah: batuk kering dengan mengi, takipnu dan takikardia, hiperinflasi dada, retraksi
subkostal dan intrakostal, suara ronki di akhir inspirasi, dan mengi bersuara tinggi. Pulse
oximetry harus dilakukan pada semua kasus. Tidak ada pemeriksaan lainnya yang secara rutin
dianjurkan. Foto dada dan analisis gas darah diindikasikan hanya bila gagal nafas dicurigai.10
Bronkiolitis pada penderita PJB bisa berakibat gagal nafas akut dan pasien umumnya
memerlukan terapi suportif seperti oksigen dan continuous positive airway pressure (CPAP).
Syukurnya kematian akibat RSV pada PJB sudah menurun dalam 40 tahun terakhir oleh
karena penanganan yang higienis dan isolasi pasien di ruang tersendiri. Beberapa jenis PJB
memerlukan operasi di waktu yang sangat terbatas. Masalahnya, operasi yang dilakukan pada
saat infeksi RSV meningkatkan risiko komplikasi pascaoperasi.11
Meskipun RSV telah dikenal sebagai penyebab paling sering bronkiolitis, diluar
masalah infeksi saluran nafas, virus ini sendiri ternyata dapat mengakibatkan beberapa

3
masalah pada jantung seperti blok sinoatrial, takiaritmia, blok atrioventrikular, perikarditis,
miokarditis, blok jantung total, dan menurunnya fungsi ventrikel kanan.14

Terapi Bronkiolitis
Terapi bronkiolitis dalam beberapa dekade tetap sama yaitu terapi secara suportif dengan
mempertahankan saturasi oksigen dan mencegah terjadinya dehidrasi. Intervensi dukungan
nafas pada pasien-pasien dengan bronkiolitis berat sedang diuji untuk mengurangi
penggunaan ventilasi mekanik. Uji terhadap heated, humidified, high-flo nasal cannula
(HFNC) memperlihatkan pengurangan yang signifikan sebesar 68% kebutuhan untuk
intubasi.14 Tidak ada terapi farmakologis yaag terbukti efektif untuk RSV.9 Tidak ada bukti
bahwa penggunaan uap, nebulisasi dengan garam hipertonik, antibiotika, kortikosteroid,
nebulisasi dengan bronkodilator seperti salbutamol atau ipratropium dapat mengurangi
keparahan atau durasi penyakit.10
Ribavirin, antivirus yang diberikan secara aerosol pernah digunakan pada bayi dengan
RSV yang menderita PJB dan penyakit paru kronis, namun tidak didapati bukti yang
meyakinkan mempunyai efek yang positif pada luaran pasien seperti mortalitas dan lama
rawatan.12 Khusus pada infeksi RSV yang mengalami gagal nafas, kejadian pneumonia
bakterialis bisa mencapai 20% atau lebih. Pada kondisi seperti ini ada alasan untuk mulai
memberikan antibiotika empiris 24 sampai 48 jam sebelum hasil kultur didapat.15 Tabel 2
berikut adalah petunjuk American Academy of Pediatric/AAP dalam tatalaksana infeksi RSV
yang berfokus pada pencegahan dan pengobatan beserta tingkat evidence-nya.16

4
Tabel 2. Rekomendasi AAP untuk pengobatan bronkiolitis16
Terapi Rekomendasi AAP Level evidence
Bronkodilator inhalasi(seperti Seharusnya tidak B
albuterol, nebulisasi efinefrin) digunakansecara rutin

Kortikosteroid Seharusnya tidak B


digunakansecara rutin

Ribavirin Seharusnya tidak B


digunakansecara rutin

Profilaksis palivizumab Diberikan secara selektif (bayi A


prematur <35 minggu, anak PJB
dan penyakit paru bawaan)

Antibakteri Hanya diberikan pada anak B


dengan komorbid infeksi
bakteri yang jelas

Cairan oral atau intravena Harus menilai status hidrasi X

Terapi dada Seharusnya tidak digunakan B


secara rutin

Oksigen Diindikasikan jika saturasi O2 D


tetap <90% pada udara ruang

Pencegahan Infeksi RSV


Pencegahan terhadap infeksi RSV sebagai penyebab tersering bronkiolitis adalah tujuan
jangka panjang tatalaksana. Pencegahan penyebaran virus ini bergantung pada higienitas

5
yang baik, khususnya cuci tangan, sebagai cara terbaik untuk mencegah transmisi
nosokomial.9,12
Pada tahun 1990, RSV intravenous immunoglobulin (RSV-IVIG) dikembangkan
sebagai sebuah usaha immunoprofilaksis namun dengan cepat posisinya digantikan oleh
palivizumab, suatu antibodi monoclonal yang disuntikkan intramuskular setiap bulan.9
Penggunaan RSV-IVIG yang mengandung RSV-neutralizing antibody kadar tinggi,
kontraindikasi digunakan pada PJB sianotik karena akan semakin meningkatkan sianosis
akibat viskositas darah yang semakin bertambah yang umum dijumpai pada pasien-pasien
dengan pirau dari kanan ke kiri.17 Rekomendasi immunoprofilaksis palivizumab dari AAP
pada penderita PJB dapat dilihat pada tabel 3.18

Tabel 3. Rekomendasi AAP untuk profilaksis palivizumab pada anak-anak dengan PJB18
i. Usia ≤12 bulan menderita PJB dengan hemodinamik yang signifikan
a) Bayi-bayi PJB asianotik yang menerima terapi untuk mengontrol gagal
jantung kongestif dan akan menjalani prosedur bedah
b) Bayi-bayi dengan hipertensi pulmonal sedang-berat
c) Bayi-bayi dengan PJB sianosis pemberiannya dengan konsultasi pada ahli
jantung anak
ii. Dimulai dengan dosis 15mg/kg tiap bulan selama musim RSV
iii. Berikan dosis tambahan 15mg/kg pada pasien-pasien pascapembedahan
iv. Usia < 2 tahun yang menjalani transplantasi jantung selama musim RSV

Sebuah penelitian randomized controlled trial multinasional mendapatkan bahwa para


penderita PJB dengan hemodinamik signifikan yang diberikan palivizumab menunjukkan
luaran yang lebih baik dibanding plasebo: frekwensi rawatan rumah sakit berkurang,
menghabiskan waktu lebih sedikit di rumah sakit, pengurangan kebutuhan rawatan intensif
dan ventilasi mekanik, dan mortalitas yang lebih rendah.14 Sayangnya pemberiannya
menyakitkan dan harganya mahal sehingga menjadi perdebatan tentang cost-
effectivenessnya.11,14
Diperlukan strategi lain pencegahan RSV yang lebih efektif. Beberapa kali pernah
dicoba membuat vaksin untuk RSV namun tidak berhasil.14 Kemajuan yang signifikan
terlihat di 15 tahun terakhir ini dengan adanya beberapa kandidat vaksin yang dikembangkan,
baik untuk penggunaan pediatrik maupun maternal. Immunisasi maternal dapat memberikan

6
proteksi pasif transplasental untuk bayi pada saat 3-6 bulan pertama kehidupan. Fase III trial
immunisasi maternal oleh Novovax diharapkan selesai pada tahun 2020.9

1. Pneumonia Berulang
Pneumonia didefiniskan sebagai peradangan paru diakibatkan oleh agen infeksius yang
merangsang respon yang akhirnya mengakibatkan kerusakan jaringan paru. Community-
acquired pneumonia (CAP) adalah salah satu masalah kesehatan yang penting yang
menyerang seluruh anak di dunia, penyebab tersering kematian pada anak berusia kurang dari
5 tahun, terutama di negara-negara berpendapatan rendah-sedang. Setiap tahunnya, ada 4-5
juta kematian anak-anak di bawah usia 5 tahun, 1 juta darinya karena pneumonia.19
Pneumonia diakibatkan oleh berbagai virus dan bakteri. Virus banyak menyerang
anak kecil, sedangkan bakteri lebih sering pada anak yang lebih tua. Dalam praktek sehari-
hari sulit membedakan antara penumonia karena virus dan pneumonia karena bakteri. Tabel 4
menunjukkan penyebab pneumonia berdasarkan umur.10

Tabel 4. Penyebab pneumonia pada anak berdasarkan umur10


Umur Patogen
Bayi baru lahir Organisme dari saluran genitalia ibu, khususnya grup B
streptococcus, bisa juga Gram-negative enterococci dan
bacilli
Bayi dan anak kecil Virus saluran nafas, khususnya RSV adalah yang paling
sering, namun dapat juga oleh bakteri seperti
Streptococcus pneumoniae atau H.influenzae, Bordetella
pertussis dan Chlamidya trachomatis. Staphylococcus
aureus kurang sering namun serius
Anak di atas 5 tahun Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae dan
Chlamidya pneumoniae
Semua usia Mycobacterium tuberculosis harus dipertimbangkan

H.influeza tipe B adalah penyebab penting pneumonia bakterial pada anak kecil,
namun kejadiannya semakin berkurang akibat penggunaan vaksin yang efektif, vaksin
campak mengurangi insiden measles-related-pneumonia, begitu juga dengan penggunaan
vaksin pneumococcal conjugate.10,20

7
Demam, batuk dan nafas cepat adalah gejala yang paling umum, biasanya didahului
oleh infeksi saluran nafas atas. Gejala lainnya seperti letargi, susah makan, dan rewel.
Beberapa anak tanpa gejala batuk. Adanya nyeri dada, perut atau leher adalah gambaran
adanya iritasi pleura dan dicurigai akibat infeksi bakteri. Pada pemeriksaan fisik bisa
dijumpai takipnu, nafas cuping hidung dan dada turun naik. Ronki kasar terdengar di akhir
inspirasi, perkusi redup, saturasi oksigen bisa menurun.
Foto dada memberikan konfirmasi diagnostik namun tidak dapat membedakan antara
penumonia bakterialis dan virus.10 Temuan infiltrat pada foto dada yang dicurigai sebagai
pneumonia terkadang dibingungkan dengan gambaran radiologis yang mirip karena edema
paru, yang biasanya ini adalah gambaran peningkatan corakan vaskular paru.Pada praktek
sehari-hari, temuan kardiomegali disertai peningkatan corakan paru pada foto dada pada
anak-anak dengan pneumonia adalah indikasi untuk mengevaluasi kemungkinan adanya
PJB.21 Pemeriksaan darah biasanya tidak begitu membantu untuk membedakan dua penyebab
penumonia ini. Efusi pleura bisa muncul pada sebagian kecil kasus.10
Pneumonia berulang didefenisikan sebagai adanya episode pneumonia ≥ 2 dalam 1
tahun, atau ≥ 3 episode di semua rentang waktu, dengan gambaran densitas radiologi yang
bersih diantara episode.22 Pneumonia berulang dapat terjadi pada pasien dengan penyakit
tertentu seperti aspirasi paru, PJB, penyakit-penyakit neuromuskular, immunodefisiensi, dll.23
Beberapa jenis PJB yang mengakibatkan peningkatan aliran darah ke paru adalah adalah
faktor predisposisi utama untuk menderita pneumonia pada anak.24 VSD, PDA, dan AVSD
adalah PJB asianotik yang paling sering mengakibatkan pneumonia, sedangkan untuk PJB
sianotik adalah adalah truncus arteriosus (TA) dan total anomalous pulmonary venous return
(TAPVR).25 Pada semua PJB diatas terjadi sirkulasi berlebihan ke paru yang memicu edema
paru.26 Ukuran defek memainkan peran penting untuk terjadinya gagal jantung dan
pneumonia, sehingga PJB terbanyak penyebab pneumonia adalah PJB dengan ukuran lesi
sedang hingga besar.25 Edema paru mengakibatkan terjadinya gagal jantung kongestif dan
menjadi tempat infeksi (nidus) bagi saluran nafas bawah.27

Terapi Pneumonia
Evidence-based guidelines untuk tatalaksana pneumonia pada anak telah dipublikasikan oleh
British Thoracic Society. Kebanyakan anak-anak yang sakit bisa dirawat di rumah namun
indikasi rawatnya ada jika saturasi O2 <92%, adanya apnu berulang, mengorok, dan/atau bila
tidak dapat mempertahankan asupan makanan dan minuman yang adekuat. Terapi suportif

8
O2 diberikan untuk mengatasi hipoksia, diberikan analgetik bila dijumpai nyeri, cairan
intravena diberikan untuk mengkoreksi dehidrasi dan mempertahankan hidrasi yang adekuat.
Fisioterapi tidak terbukti ada peranan.10
Terapi terhadap pneumonia yang diduga karena bakteri adalah berdasarkan dugaan,
umur, dan tampilan klinis anak. Anak sakit ringan tidak memerlukan rawat inap, dan
amoxicilin disarankan.20 Bayi baru lahir memerlukan antibiotik spektrum luas secara
intravena. Anak yang lebih tua cukup dirawat dengan amoxicilin oral. Antibiotika
berspektrum lebih luas seperti co-amoxiclav untuk kasus-kasus pneumonia yang
berkomplikasi atau tidak responsif. Untuk anak lebih dari 5 tahun, baik amoxicilin atau
makrolida oral seperti eritromisin adalah pilihan utama. Tidak ada keuntungan pemberian
antibiotika intravena dibanding oral pada pneumonia ringan hingga sedang.10 Pilihan terapi
antibiotika pada pneumonia dapat dilihat pada tabel 5 dan tabel 6.19

Tabel 5 Pilihan terapi antibiotika untuk CAP ketika bakteri tipikal teridentifikasi19
Patogen Pilihan Utama Lainnya
Streptococcus pneumoniae, Penicillin, Ampicillin, atau Cefuroxime, ceftriaxone,
sensitif penisilin atau intermedia Amoxicillin dosis tinggi azithromycin
S. pneumoniae, resisten penicillin Cephalosporin generasi ke-2 atau
(MIC ≥4µg/mL) ke-3 untuk strain yang sensitif;
vancomycin
Staphylococcus aureus Methicillin/oxacillin Vancomycin atau teicoplain (untuk
MRSA)
Haemophilus influenzae Amoxicillin Amoxicillin/clavulanate,cefuroxime,
ceftriaxone, atau cephalosporin
generasi ke-2 atau ke-3
Moraxella catarrhalis Amoxicillin/clavulanate Cefuroxime
MIC (Minimum inhibitory concentration); MRSA (Methicillin-resistant S.aureus)

Tabel 6. Pilihan terapi antibiotika untuk CAP berdasarkan usia dan gambaran klinis19
Usia/gambaran klinis Rawat Inap Rawat Jalan
Bayi baru lahir Ampicillin + Gentamicin -
a
1 bulan sampai 5 tahun Penicillin atau ampicillin Amoxicillina
5 tahun dan lebih tua:infiltrat Penicillin atau ampicillin; -
alveolar, efusi pleura, gambaran tambahkan makrolida jika tidak
toksik ada respon
5 tahun dan lebih tua: infiltrat Makrolida; pertimbangkan Makrolida

9
interstisial menambahkan beta laktam jika
tidak ada respon
Necrotizing pnemonia Oxacillin/nafcillin; vancomycin.
Pertimbangkan menambahkan
cephalosporin generasi ke-3
a
Makrolida jika dicurigai pneumonia atipikal

Antibiotika terus diberikan sampai pasien 72 jam bebas demam, dan total pemakaian
tidak kurang dari 10 hari. Data yang ada tidak mendukung pengobatan jangka panjang
bermanfaat untuk pneumonia yang tidak berkomplikasi. Di negara-negara berkembang,
penggunaan zinc oral (10 mg/hari untuk bayi <12 bulan, 20 mg/hari untuk pasien ≥12 bulan)
menurunkan mortalitas pada anak-anak yang menderita pneumonia berat.20
Zinc dibutuhkan untuk proses percepatan pertumbuhan, menstabilkan struktur
membran sel, dan mengaktifkan hormon pertumbuhan. Zinc juga berperan dalam sistem
kekebalan tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi karena
memengaruhi imunitas spesifik dan non spesifik, meliputi barier tubuh seperti epitel kulit,
mukosa gastrointestinal, dan saluran nafas.28,29 Suplementasi zinc dapat meningkatkan fungsi
imunitas seluler maupun humoral sehingga diharapkan kejadian pneumonia pada anak PJB
pirau kiri ke kanan berkurang.30
Pemberian suplementasi zink setiap hari selama 2 minggu menurunkan kejadian
pneumonia pada anak dengan PJB pirau kiri ke kanan, namun tidak berpengaruh terhadap
episode sakit pneumonia. Terdapat peningkatan kadar zink serum setelah pemberian
suplementasi. Disarankan untuk memberikan suplementasi zink pada anak PJB pirau kiri ke
kanan sehingga dapat memperbaiki kadar seng serum dan status imunitas tubuh.31

Tindakan Pembedahan Koreksi PJB


Peningkatan aliran darah ke paru, tekanan arteri di paru, afterload ventrikel kanan, dan
dilatasi jantung dapat meningkatkan kemungkinan kongesti paru, dan dengan perkembangan
fungsi sistem kekebalan tubuh yang tidak sempurna, anak lebih rentan terkena pneumonia
dan dapat berulang. Anak- anak PJB dengan manifestasi pneumonia yang berulang kurang
respon terhadap terapi medis saja, dan memiliki risiko infeksi paru berulang yang sulit untuk
diberantas. Pembedahan mungkin merupakan pendekatan yang efektif untuk meredakan
pneumonia persisten.32

10
Untuk penderita PJB yang mengalami bronkiolitis RSV, tindakan pembedahan
jantung harus lebih berhati-hati. Keuntungan tindakan operasi yang dilakukan segera setelah
infeksi RSV tidak lebih baik dari risiko pembedahan. Tindakan operasi jantung yang
dilakukan saat periode infeksi RSV dihubungkan dengan risiko tinggi komplikasi
pascabedah, terutama hipertensi pulmonal.33 Untuk pasien-pasien yang tetap bergejala dan
tidak dapat dipulangkan, melanjutkan terapi medis lebih baik daripada tindakan bedah
jantung, terutama bila pembedahan tersebut memerlukan cardio-pulmonary bypass.5
Terkait dengan pembedahan jantung, suatu penelitian mendapatkan bahwa insidens
pneumonia nosokomial pascaoperasi jantung berkisar dari 21% di Cina hingga 44% di India.
Insidens ventilator-associated pneumonia kisarannya 6,2% di Cina hingga 18,3% di Brazil.
Faktor-faktor risiko terjadinya ventilator-associated pneumonia adalah cardiopulmonary
bypass, penggunaan nutrisi parenteral, lamanya rawatan ICU, ventilasi mekanik, kegagalan
ekstubasi, operasi emergency, dan transfusi darah. Ventilator-associated pneumonia ini
mengakibatkan mortalitas pascaoperasi, rentangnya 11% di Saudi Arabia hingga 25,7% di
Cina. Salah satu langkah pencegahan yang dianjurkan peneliti ini untuk menghindari infeksi
paru pascabedah jantung adalah penundaan pembedahan 2-4 minggu pada kondisi infeksi
virus saluran nafas akut.34

Daftar Pustaka:
1. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Clinical practice. The impact of lung disease on the
heart and cardiac disease on the lungs. Eur J Pediatr 2010;169:1-6
2. Singh PK, Chaudhuri PK, Chaudhary AK. Incidence of congenital heart disease in
children with recurrent respiratory tract infection in tertiary hospital. IOSR-JDMS
2017;16(9): 42-4
3. Tulloh RM. Cardiac disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W, penyunting. Illustrated
textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London 2018, h:320-43
4. Sahan YO, Kilicoglu E, Tutar ZU. Evaluation of children with congenital heart
disease hospitalized with diagnosis of lower respiratory tract infection. J Pediatr Res
2018;5(1):32-6
5. Healy F, Hanna BD, Zinman R. Pulmonary complications of congenital heart disease.
Paediatric Respiratory Reviews 2012;13:10-5

11
6. Lanata CF, Rudan I, Boschi-Pinto C, dkk. Methodological and quality issues in
epidemiological studies of acute lower respiratory infection in children in developing
countries. Int J Epidemiol 2004;33:1362-72
7. Subramanyam L. Recurrent respiratory tract infection-an approach. Indian J Pract
Pediatr 2012;14(3):245-57
8. Cabalka AK. Physiologic risk factors for respiratory viral infections and
immunoprophylaxis for respiratory syncytial virus in young children with congenital
heart disease. Pediatr Infect Dis J 2004;23(1):S41-S45
9. Cunningham S. Bronchiolitis. Dalam: Wilmott RM, Deterding R, Li A, dkk. Kendig’s
disorders of the respiratory tract in children, edisi ke-9. Elsevier, Philadelphia 2019.
h:1567-96
10. Carroll W. Respiratory disorders. Dalam: Lissauer T, Carroll W, penyunting.
Illustrated textbook of paediatrics, edisi ke-5 Elsevier London 2018, h:294-319
11. Granbom E. Respiratory tract infections in children with congenital heart disease.
Umea Universitet 2016:1-31
12. Coates BM, Camarda LE, Goodman DM. Wheezing in infants: Bronchiolitis. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook
of pediatrics, edisi ke-20. Elsevier Philadelphia 2016. h: 2044-8
13. Nair H, Nokes DJ, Gessner BD, dkk. Global burden of acute lower respiratory
infections due to respiratory syncytial virus in young children: a systematic review
and meta-analysis. Lancet 2010;375(9725):1545-55
14. Geskey JM, Cyran SE. Managing the morbidity associated with respiratory viral
infections in children with congenital herat disease.Int J Pediatr 2012;1-8

15. Levin D, Tribuzio M, Green-Wrzesinki, dkk. Empiric antibiotics are justified for
infants with respiratory syncytial virus lower respiratory tract infection presenting
with respiratory failure: a prospective study and evidence review. Ped Critic Care
Med 2010; 11(3):390-5

16. Turner TF, Kopp BT, Paul G, Landgrave LC, Hayes D, Thompson R. Respiratory
syncytial virus: current and emerging treatment options. Clinico-Economics and
Outcome Research 2014;6:217-25

12
17. Simoes EAF, Sondheimer HM, Top FH, dkk. Respiratory syncytial virus immune
globulin for prophylaxis against respiratory syncytial virus disease infants and
children with congenital heart disease. J Pediatr 1998;133(4):492-9

18. American Academy of Pediatrics. Policy Statement. Updated guidance for


palivizumab prophylaxis among infants and young children at increased risk of
hospitalization for respiratory syncytial virus infection. Pediatrics 2014; 134:415-20

19. Scotta MC, Marostica PJC, Stein RT. Pneumonia in children. Dalam: Wilmott RM,
Deterding R, Li A, dkk. Kendig’s disorders of the respiratory tract in children, edisi
ke-9. Elsevier, Philadelphia 2019. h:1597-1644
20. Kelly MS, Sandora TJ. Community-acquired pneumonia. Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics,
edisi ke-20. Elsevier Philadelphia 2016. h: 2088-94
21. Sandora TJ, Harper MB. Pneumonia in hospitalized children. Pediatr Clin N Am
2005;52: 1059-81
22. Wald E. Recurrent and nonresolving pneumonia in children. Semin Respir Infect
1993;8:46-58
23. Hughes D. Recurrent pneumonia...Not!. Paediatr Child Health 2013;9:459-60
24. Owayad AF, Campbell DM, Wang EE. Underlying causes of recurrent pneumonia in
children. Arch Pediatr Adolesc Med 2000;154:190-4
25. Sadoh WE, Osarogiagbon WO. Underlying congenital heart disease in Nigerian
children with pneumonia. African Health Science 2013;13(3):607-12
26. Patel HT. Basic pathophysiology: left to right shunts. Dalam: Koenig P, Hijazi ZM,
Zimmerman F, penyunting. Essensial pediatric cardiology. McGraw-Hill Medical
Publishing London. 2004, h.77-87
27. Sadoh WE. Natural history of ventricular septal defect in Nigerian children. South Afr
J Child Hlth 2010;4:16-9
28. Dardenne M. Zinc and immune function. Eur J Cli Nutr 2002;56:20-3.
29. Cunningham-Rundles S. Zinc and immune function. IZA 2005:1-4.
30. Bhandari N, Bahl R, Teneja S, Strand T, Molbak K, Ulvik RJ, et al. Effect of routine
zinc supplementation on pneumonia in children aged 6 months to 3 years: randomized
controlled trial in urban slum. BMJ 2002;324.

13
31. Suryanti E, Priyatno A, Wajayahadi N. Pengaruh suplementasi seng terhadap
kejadian pneumonia pada penyakit jantung bawaan pirau kiri ke kanan. Sari Pediatri
2014; 16 (4): 221-8.
32. Luo H, Qin G, Wang L, Ye Z, Pan Y, Pan Y, Huang L. Outcomes of infant cardiac
surgery for congenital heart disease concomitant with persistent pneumonia: a
retrospective cohort study. J Cardiothorac Vasc Anesth 2019; 33: 428-32
33. Khongphattanayothin A, Wong PC, Samara Y, dkk. Impact of respiratory syncytial
virus infection on surgery for congenital heart disease: postoperative course and
outcome. Crit Care Med 1999;27:1974-81
34. Murni IK, MacLaren G, Morrow D, Iyer P, Duke T. Perioperative infections in
congenital heart disease. Cardiol in the Young 2017;27(Suppl.6):S14-S21

Penulis:
Dr. Muhammad Ali, SpA(K):
Staf senior divisi Kardiologi Dept IKA FK USU/RS HAM
Dr. Putri Amelia, Mked(Ped), SpA
Staf junior divisi Kardiologi Dept IKA FK USU/RS HAM

14
15

Anda mungkin juga menyukai