Anda di halaman 1dari 10

KERAJAAN PAJANG

Kerajaan Pajang adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Jawa Tengah sebagai kelanjutan Kerajaan
Demak. Kompleks keraton, yang sekarang tinggal batas-batas fondasinya saja, berada di perbatasan
Kelurahan Pajang, Kota Solo dan Desa Makam haji,Karatsura,Sukoharjo. Berikut ini Kumpulan
Sejarah akan menyajikan informasi selengkapnya mengenai Sejarah Kerajaan Pajang

AWAL BERDIRI KERAJAAN PAJANG

Pada abad ke-14 Pajang sudah disebut dalam kitab Negarakertagama karena dikunjungi oleh Hayam
Wuruk dalam perjalanannya memeriksa bagian Barat. Antara abad ke-11 d
an 14 di Jawa Tengah Selatan tidak ada Kerajaan tetapi Majapahit masih berkuasa sampai kesana.
Sementara itu, di Demak mulai muncul Kerajaan kecil yang didirikan oleh tokoh-tokoh beragama Islam.
Namun, sampai awal abad ke-16 kewibawaan raja Majapahit masih diakui.

Sejarah Kerajaan Pajang


Baru pada akhir abad ke 17 dan awal abad ke-18 para penulis kronik di Kartasura menulis seluk beluk
asal usul raja-raja Mataram dimana Pajang dilihat sebagai pendahulunya. Pajang sendiri sebagai
kelanjutan dari Pengging pada tahun 1618 yang pernah dihancurkan ibukota dan sawah ladangnya oleh
pasukan-pasukan dari Mataram karena memberontak. Di bekas kompleks keraton Raja Pajang yang
dikubur di Butuh banyak ditemukan sisa-sisa keramik asal negeri Cina.

Ceritera mengenai sejarah Pajang malah termuat dalam kitab Babad Banten yang menyebutkan Ki
Andayaningrat berputera 2 orang yaitu, Kebo Kenanga dan Kebo Kanigara. Meskipun Majapahit ambruk
pada tahun 1625, Pengging dibawah Kebo Kenanga berdaulat terus hingga pertengahan abad ke-16.
untuk menundukkan pengging Raja Demak memanfaatkan jasa Ki Wanapala dan Sunan Kudus, dengan
cara pendahuluan berupa adu kekuatan ngelmu.

Dua tahun kemudian, Kebo Kenanga berhasil dibunuh sedangkan anak laki-lakinya yaitu Jaka Tingkir
kelak mengabdi ke Istana Demak untuk akhirnya mendirikan Kerajaan Pajang dengan sebutan Adi
Wijaya.

RAJA-RAJA YANG MEMERINTAH DI KERAJAAN PAJANG

Jaka Tingkir

Nama aslinya adalah Mas Karèbèt, putra Ki Ageng Pengging atau Ki Kebo Kenanga. Ketika ia dilahirkan,
ayahnya sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalang Ki Ageng Tingkir.[1] Kedua ki
ageng ini adalah murid Syekh Siti Jenar. Sepulang dari mendalang, Ki Ageng Tingkir jatuh sakit dan
meninggal dunia.

Sepuluh tahun kemudian, Ki Ageng Pengging dihukum mati karena dituduh memberontak terhadap
Kesultanan Demak. Sebagai pelaksana hukuman ialah Sunan Kudus. Setelah kematian suaminya, Nyai
Ageng Pengging jatuh sakit dan meninggal pula. Sejak itu, Mas Karebet diambil sebagai anak angkat Nyai
Ageng Tingkir (janda Ki Ageng Tingkir). Mas Karebet tumbuh menjadi pemuda yang gemar bertapa, dan
dijuluki Jaka Tingkir. Guru pertamanya adalah Sunan Kalijaga. Ia juga berguru pada Ki Ageng Sela, dan
dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki
Panjawi.

Silsilah Jaka Tingkir :


Andayaningrat (tidak diketahui nasabnya) + Ratu Pembayun (Putri Raja Brawijaya)→ Kebo kenanga
(Putra Andayaningrat)+ Nyai Ageng Pengging→ Mas Karebet/Jaka Tingkir.

Meski dalam Babad Jawa, Adiwijaya lebih dilukiskan sebagai Raja yang serba lemah, tetapi kenyataannya
sebagai ahli waris Kerajaan Demak ia mampu menguasai pedalaman Jawa Tengah dan Jawa Timur
dengan baik. Perpindahan pusat Kerajaan ke pedalaman yang dilanjutkan lagi oleh Raja Mataram
berpengaruh besar atas perkembangan peradaban Jawa pada abad ke-18 dan 19.
Daerah kekuasaan Pajang mencakup di sebelah Barat Bagelen (lembah Bogowonto) dan Kedu (lembah
Progo atas).

Di zaman Adiwijaya memerintah Pajang, yaitu pada tahun 1578 seorang tokoh pemimpin Wirasaba,
yang bernama Wargautama ditindak oleh pasukan-pasukan kerajaan dari pusat. Berita dari Babad
Banyumas ini menunjukkan masih kuatnya Pajang menjelang akhir pemerintahan Adiwijaya. Kekuasaan
Pajang ke Timur meliputi wilayah Madiun dan disebutkan bahwa Blora pada tahun 1554 menjadi
rebutan antara Pajang dan Mataram.

Ada dugaan bahwa Adiwijaya sebgai raja islam berhasil dalam diplomasinya sehingga pada tahun 1581,
ia diakui oleh raja-raja kecil yang penting dikawasan Pesisir Jawa Timur. Untuk peresmiannya pernah
diselenggarakan pertemuan bersama di istana Sunan Prapen di Giri, hadir pada kesempatan itu para
Bupati dari Jipang, Wirasaba (Majaagung), Kediri, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,Tuban, dan Pati.
Pembicara yang mewakili tokokh-tokoh Jawa Timur adalah Panji Wirya Krama, Bupati Surabaya.
Disebutkan pula bahwa Arosbaya (Madura Barat) mengakui Adiwijaya sehubunga dengan itu bupatinya
bernama Panembahan Lemah Duwur diangkat menantu Raja Pajang.

Arya Pangiri

Arya Pangiri adalah putra Sunan Prawoto raja keempat Demak, yang tewas dibunuh Arya Penangsang
tahun 1549. Ia kemudian diasuh bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat di Jepara.

Arya Penangsang kemudian tewas oleh sayembara yang diadakan Hadiwijaya bupati Pajang. Sejak itu,
Pajang menjadi kerajaan berdaulat di mana Demak sebagai bawahannya. Setelah dewasa, Arya Pangiri
dinikahkan dengan Ratu Pembayun, putri tertua Sultan Hadiwijaya dan dijadikan sebagai bupati Demak.

Sepeninggal Sultan Hadiwijaya akhir tahun 1582 terjadi permasalahan takhta di Pajang. Putra mahkota
yang bernama Pangeran Benawa disingkirkan Arya Pangiri dengan dukungan Sunan Kudus. Alasan Sunan
Kudus adalah usia Pangeran Benawa lebih muda daripada istri Pangiri, sehingga tidak pantas menjadi
raja.

Pangeran Benawa yang berhati lembut merelakan takhta Pajang dikuasai Arya Pangiri sedangkan ia
sendiri kemudian menjadi bupati Jipang Panolan (bekas negeri Arya Penangsang).

Tokoh Sunan Kudus yang diberitakan Babad Tanah Jawi perlu dikoreksi, karena Sunan Kudus sendiri
sudah meninggal tahun 1550. Mungkin tokoh yang mendukung Arya Pangiri tersebut adalah
penggantinya, yaitu Panembahan Kudus, atau mungkin Pangeran Kudus Arya Pangiri menjadi raja Pajang
sejak awal tahun 1583 bergelar Sultan Ngawantipura. Ia dikisahkan hanya peduli pada usaha untuk
menaklukkan Mataram daripada menciptakan kesejahteraan rakyatnya. Dia melanggar wasiat
mertuanya (Hadiwijaya) supaya tidak membenci Sutawijaya. Ia bahkan membentuk pasukan yang terdiri
atas orang-orang bayaran dari Bali, Bugis, dan Makassar untuk menyerbu Mataram.

Arya Pangiri juga berlaku tidak adil terhadap penduduk asli Pajang. Ia mendatangkan orang-orang
Demak untuk menggeser kedudukan para pejabat Pajang. Bahkan, rakyat Pajang juga tersisih oleh
kedatangan penduduk Demak. Akibatnya, banyak warga Pajang yang berubah menjadi perampok karena
kehilangan mata pencaharian. Sebagian lagi pindah ke Jipang mengabdi pada Pangeran Benawa.

Pangeran Benawa

Pangeran Benawa adalah raja ketiga Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1586-1587, bergelar
Sultan Prabuwijaya.

Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya alias Jaka Tingkir, raja pertama Pajang. Sejak kecil ia
dipersaudarakan dengan Sutawijaya, anak angkat ayahnya, yang mendirikan Kesultanan Mataram.

Pangeran Benawa memiliki putri bernama Dyah Banowati yang menikah dengan Mas Jolang putra
Sutawijaya. Dyah Banowati bergelar Ratu Mas Adi, yang kemudian melahirkan Sultan Agung, raja
terbesar Mataram.

Selain itu, Pangeran Benawa juga memiliki putra bernama Pangeran Radin, yang kelak menurunkan
Yosodipuro dan Ronggowarsito, pujangga-pujangga besar Kasunanan Surakarta. Pangeran Benawa
dikisahkan sebagai seorang yang lembut hati. Ia pernah ditugasi ayahnya untuk menyelidiki kesetiaan
Sutawijaya terhadap Pajang. Waktu itu Benawa berangkat bersama Arya Pamalad (kakak iparnya yang
menjadi adipati Tuban) dan Patih Mancanegara.

Sutawijaya menjamu ketiga tamunya dengan pesta. Putra sulung Sutawijaya yang bernama Raden
Rangga tidak sengaja membunuh seorang prajurit Tuban, membuat Arya Pamalad mengajak rombongan
pulang.

Sesampai di Pajang, Arya Pamalad melaporkan keburukan Sutawijaya, bahwa Mataram berniat
memberontak terhadap Pajang. Sementara itu Benawa melaporkan kebaikan Sutawijaya, bahwa
terbunuhnya prajurit Tuban karena ulahnya sendiri.

Sutawijaya akhirnya terbukti memerangi Pajang tahun 1582, dan berakhir dengan kematian Sultan
Hadiwijaya. Pangeran Benawa yang seharusnya naik takhta disingkirkan oleh kakak iparnya, yaitu Arya
Pangiri adipati Demak.

Benawa kemudian menjadi adipati Jipang Panolan. Pada tahun 1586 ia bersekutu dengan Sutawijaya
untuk menurunkan Arya Pangiri dari takhta, karena kakak iparnya itu dianggap kurang adil dalam
memerintah.
Dikisahkan, Arya Pangiri hanya sibuk menyusun usaha balas dendam terhadap Mataram. Orang-orang
Demak juga berdatangan, sehingga warga asli Pajang banyak yang tersisih. Akibatnya, penduduk Pajang
sebagian menjadi penjahat karena kehilangan mata pencaharian, dan sebagian lagi mengungsi ke Jipang.

Persekutuan Benawa dan Sutawijaya terjalin. Gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil
mengalahkan Pajang. Arya Pangiri dipulangkan ke Demak. Benawa menawarkan takhta Pajang kepada
Sutawijaya. Namun Sutawijaya menolaknya. Ia hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di
Mataram. Sejak itu, Pangeran Benawa naik takhta menjadi raja baru di Pajang bergelar Sultan
Prabuwijaya.

BERBAGAI ASPEK PADA KERAJAAN PAJANG

Aspek Sosial Budaya

Pada zaman Pakubuwono I dan Jayanegara bekerja sama untuk menjadikan Pajang semakin maju
dibidang pertanian sehingga Pajang menjadi lumbung beras pada abad ke-16 sampai abad 17, kerja
sama tersebut saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Kehidupan rakyat Pajang mendapat
pengaruh Islamisasi yang cukup kental sehingga masyarakat Pajang sangat mengamalkan syariat Islam
dengan sungguh-sungguh.

Aspek Ekonomi

Pada zaman Paku Buwono 1 (1708) ketika Ibukota Mataram masih ada di Kartasura, ada kerjasama yang
baik antara Surakarta pusat dengan Jayengrana bupati Surabaya. Pada masa itu seluruh Jawa Timur
kompak dalam mendukung kerjasama antara PakuBuwono 1 dan Jayengrana.

Pajang mengalami kemajuan di bidang pertanian sehingga menjadi lumbung beras dalam abad ke-16
dan 17. Lokasi pusat kerajaaan Pajang ada di dataran rendan tempat bertemunya sungai Pepe dan
Dengkeng (ke dua-duanya bermata air di lereng gunung Merapi) dengan bengawan sala. Irigasi berjalan
lancar karena air tanah di sepanjan tahun cukup untuk mengairi sehingga pertanian di Pajang maju.

Di zaman Kerajaan Demak baru muncul, Pajang telah mengekspor beras dengan mengangkutnya melalui
perniagaan yang berupa Bengawan Sala. Sejak itu Demak sebagai negara maritim menginginkan
dikuasainya lumbung-lumbung beras di pedalaman yaitu Pajang dan kemudian juga mataram, supaya
dengan cara demikian dapat berbentuk negara ideal agraris maritim.

Aspek Politik

Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan
Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh
karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Sebetulnya Arya Penangsang sudah
tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan
tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan mantu Sultan Trenggono belum pupus. Dia
kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan
pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.

Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali sebagai ulama dapat
menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak.
Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh
sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’. Wali
lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Biarkanlah urusan tata negara dilakukan
oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali
terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat
para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.

Hampir semua Guru menyampaikan: “Setelah tidak ada aku nanti, mungkin pentolan-pentolan
kelompokku sudah tidak punya ‘clash of vision’, tetapi mereka tetap punya ‘clash of minds’, ‘clash of
egoes’, mereka merasa bahwa tindakan yang dipilihnya benar menurut pemahamannya, dan kalian akan
melihat banyaknya aliran muncul”. seandainya Guru masih hidup maka kebenaran dapat ditanyakan dan
tidak akan ada permasalahan. Mereka yang gila kekuasaan menggunakan pemahaman terhadap wasiat
Guru sebagai alat untuk membangun kekuasaan. Yang terjadi bukan perang berdasarkan perbedaan
keyakinan, tetapi perebutan kekuasaan menggunakan perbedaan pemahaman atau keyakinan sebagai
alat yang ampuh.

Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Guru Sultan Hadiwijaya, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus
untuk mendinginkan suasana. Pada saat itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan
Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian!
Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan
menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya
Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah
akan selesai.

Akhirnya Arya Penangsang dengan kuda ‘Gagak Rimang’nya dipancing dengan kuda betina Sutawijaya
yang berada di luar Bengawan Sore atas saran penasehat Ki Gede Pemanahan dan ki Penjawi. Dan, Arya
Penangsang menaiki ‘Gagak Rimang’ yang bersemangat menyeberangi Bengawan Sore. Begitu berada di
luar Bengawan Sore kesaktian Arya Penangsang berkurang yang akhirnya dia dapat terbunuh. Atas
jasanya Ki Penjawi diberi tanah di Pati dan Ki Gede Pemanahan diberi tanah di Mentaok, Mataram.
Sutawijaya adalah putra Ki Gede Pemanahan dan merupakan putra angkat Sultan Hadiwijaya sebelum
putra kandungnya, Pangeran Benawa lahir. Sutawijaya konon dikawinkan dengan putri Sultan sehingga
Sutawijaya yang akhirnya menjadi Sultan Pertama Mataram yang bergelar Panembahan Senopati, anak
keturunannya masih berdarah Raja Majapahit.

KEMUNDURAN KERAJAAN PAJANG


Sepulang dari perang, Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dan meninggal dunia. Terjadi persaingan antara
putra dan menantunya, yaitu Pangeran Benawa dan Arya Pangiri sebagai raja selanjutnya. Arya Pangiri
didukung Panembahan Kudus berhasil naik takhta tahun 1583.

Pemerintahan Arya Pangiri hanya disibukkan dengan usaha balas dendam terhadap Mataram.
Kehidupan rakyat Pajang terabaikan. Hal itu membuat Pangeran Benawa yang sudah tersingkir ke
Jipang, merasa prihatin. Pada tahun 1586 Pangeran Benawa bersekutu dengan Sutawijaya menyerbu
Pajang. Meskipun pada tahun 1582 Sutawijaya memerangi Sultan Hadiwijaya, namun Pangeran Benawa
tetap menganggapnya sebagai saudara tua.

Perang antara Pajang melawan Mataram dan Jipang berakhir dengan kekalahan Arya Pangiri. Ia
dikembalikan ke negeri asalnya yaitu Demak. Pangeran Benawa kemudian menjadi raja Pajang yang
ketiga. Pemerintahan Pangeran Benawa berakhir tahun 1587. Tidak ada putra mahkota yang
menggantikannya sehingga Pajang pun dijadikan sebagai negeri bawahan Mataram. Yang menjadi
bupati di sana ialah Pangeran Gagak Baning, adik Sutawijaya. Sutawijaya sendiri mendirikan Kesultanan
Mataram di mana ia sebagai raja pertama bergelar Panembahan Senopati

Kalingga atau Ho-ling (sebutan dari sumber Tiongkok) adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang
muncul di Jawa Tengah sekitar abad ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan
berada di suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber sejarah
kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari sumber catatan China, tradisi kisah
setempat, dan naskah Carita Parahyangan yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16
menyinggung secara singkat mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah
ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini
pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan
dipotong tangannya.
Peninggalan;

1. Masjid Laweyan

Akulturasi budaya budaya Islam dan Hindu merupakan fakta sejarah di Pulau Jawa.
Di Solo, Jawa Tengah, bukti multikulturalisme itu bisa dilihat pada Masjid Ki Ageng
Henis atau lebih dikenal sebagai Masjid Laweyan.

Masjid Laweyan yang terletak di Kampung Batik Laweyan Solo tersebut menjadi
bukti sejarah akulturasi Budaya Islam-Hindu, karena bangunan masjid itu
sebelumnya merupakan bangunan pura. Namun, saat ini bekas bangunan pura sulit
ditemukan, karena Masjid Laweyan sudah mengalami pemugaran berulang kali.

Menurut salah seorang pengurus Masjid Laweyan, Adiyanto, masjid ini yang tertua
di Solo. Sebab, pendiri masjid tersebut merupakan sosok cikal bakal penerus takhta
di tiga kerajaan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. “Sebelum dibangun masjid,
dulunya merupakan bangunan pura sebagai tempat ibadah umat Hindu,” kata dia
kepada VIVAnews.com, Senin.
Awal mula berdirinya masjid itu tidak lepas dari pengaruh Ki Ageng Henis yang
bersahabat baik dengan seorang Pemangku atau Pandhita Umat Hindu. Dari
persahabatan itu, lambat laun Pemangku tersebut mulai tertarik mempelajari agama
Islam yang ajarannya berasal dari Al Quran dan hadits.

Setelah itu, Sang Pemangku itu langsung tertarik belajar agama Islam dan
mengikrarkan diri memeluk agama Islam mengikuti jejak Ki Ageng Henis. Bangunan
pura yang sebelumnya menjadi tempat ibadah agama Hindu langsung diserahkan
ke Ki Ageng Henis untuk diubah menjadi bangunan langgar (musala). Dalam
perkembangannya, langgar itu kemudian berubah menjadi masjid.

Masjid Laweyan, menurut Adiyanto, berdiri sejak tahun 1546, di masa Kerajaan
Pajang. Kerajaan tersebut merupakan cikal bakal kerajaan Mataram yang kemudian
pecah menjadi Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton Mataram
Ngayogyakarta.

”Ki Ageng Henis ini sebagai penasihat spiritual Kerajaan Pajang. Beliau merupakan
keturunan Raja Majapahit dari silsilah Raja Brawijaya-Pangeran Lembu Peteng-Ki
Ageng Getas Pandawa lalu Ki Ageng Selo. Sedangkan keturunan Ki Ageng Henis
saat ini menjadi raja-raja di kraton Kasunanan dan Mataram,” katanya.

Bentuk arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas
Masjid Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. ”Ada
juga kentongan besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena
digantikan dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang
utama masjid dari kayu jati,” kata dia.

Bentuk arsitektur lainnya, terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid.
Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam,
Iman dan Ihsan.

Meski Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat


ini pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata
sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di Masjid
Laweyan.
2. Batik laweyan

Anda mungkin juga menyukai