Anda di halaman 1dari 3

C.

Teori Rasionalitas
1. Definisi Rasionalitas
Rasionalitas adalah keputusan yang diambil berdasarkan
pertimbangan tradisi, nilai-nilai dan mempunyai alasan atau argumentasi
yang lugas. Setiap keputusan yang diambil oleh individu harus menuju
pada pengkuantifikasian keputusan akhir dalam satuan unit moneter.
Dalam model konsumsi secara umum, rasionalitas berarti kepuasan
yang dapat dicapai dengan prinsip efisiensi dan tujuan ekonomi itu sendiri.
Perilaku seorang individu yang rasional dalam mencapai kepuasan
berdasarkan kepentingan sendiri yang bersifat material akan menuntun
pada perbuatan barang-barang sosial yang berguna bagi kemaslahatan
umat. Pilihan dapat dikatakan rasional jika pilihannya secara keseluruhan
dapat dijelaskan oleh syarat-syarat hubungan konsisten pilihan yang lebih
disukai dengan definisi penampakan pilihan yang lebih disukai.1
2. Konsep Rasionalitas
Teori tingkah laku dalam ekonomi tergantung pada asumsi-asumsi
rasionalitas. Disamping itu teori tingkah laku manusia ekonomi yang
melandasi pengambilan keputusan dalam ekonomi, dan keadaan-keadaan
yang secara khusus memotivasi kemunculannya. Setiap orang mempunyai
pandangan yang berbeda terkait pengertian rasionalitas, akan tetapi pada
dasarnya memiliki kesamaan secara fundamental. Kesamaan tersebut di
istilahkan dalam ekonomi kepuasan. Manusia cenderung ingin memuaskan
dirinya, namun untuk memenuhi hasrat kepuasan tersebut berbeda-beda.
Dalam pandangan ekonomi konvensional manusia dianggap
rasional apabila dapat memenuhi keinginannya yang bersifat materi.
Pandangan tersebut berbeda dengan asumsi ekonomi Islam. Islam
memandang bahwa manusia dikatakan rasional apabila dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginannya untuk tujuan jangka panjang (akhirat).

1
Muhammas Ngasifudin, “Rasionalitas dalam Ekonomi Islam”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia.
Vol.VII No.2:111-119, Cilacap, 2017, hlm.112
Unsur perilaku manusia muncul sebagai bagian dari aplikasi
naluriah manusia untuk mencari kesejahteraan hidup. Sehingga itu harus
diwujudkan melalui aktivitas. Perilaku ini tentunya merupakan cerminan
dari apa yang ada dalam diri pelakunya. Yang berupa kepercayaan,
kecenderungan berfikir, tata nilai, pola pikir dan juga ideologi.
Dalam bangunan terminologi diatas, konsep rasionalitas itu
muncul. Setiap orang yang dapat mencari kesejahteraan hidupnya
(kekayaan materi atau non materi) dengan cara melakukan pilihan-pilihan
yang tepat bagi dirinya. Seorang konsumen dianggap rasional apabila ia
dapat memenuhi kepuasannya. Baik kepuasan tersebut bersifat jangka
pendek maupun jangka panjang tergantung dari konsumen itu sendiri.2
3. Rasionalitas dalam Ekonomi Islam
Rasionalitas ekonomi syariah dapat dilihat pada asa-asas ekonomi
syariah dan prinsip dasar sistem yang dipakai. Jika dalam ekonomi
konvensional manusia disebut rasional secara ekonomi jika mereka selalu
memaksimumkan utility untuk konsumen dengan keuntungan untuk
produsen, maka dalam ekonomi Islam seorang pelaku ekonomi, produsen,
konsumen akan berusaha untuk memaksimalkan maslahah agar dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Rasionalitas dalam perilaku
konsumen muslim haruslah berdasarkan aturan Islam sebagai berikut :
a. Konsumen muslim dikatakan rasional jika pembelanjaan yang
dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Sesuai dengan
QS. Al-Isra ayat 29 yang artinya :”Janganlah engkau jadikan
tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu
mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan
menyesal”.
b. Seorang konsumen muslim dapat dibilang rasional jika ia
membelanjakan tidak hanya untuk barang-barang yang bersifat
duniawi semata, melainkan untuk kepentingan di jalan Allah. Sesuai
dengan QS. Al-Isra ayat 26 yang artinya :”dan berikanlah haknya

2
Ibid., hlm.113
kepada kerabat dekat, juga kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros”.
c. Konsumen muslim dikatakan rasional jika memiliki tingkat konsumsi
lebih kecil dibanding non muslim karena yang dikonsumsi terbatas
barang-barang yang halal dan thayib. Sesuai dengan QS. Al-Baqarah
ayat 173 yang artinya :”Sesungguhnya Allah hanya menngharamkan
bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam
keadaan terpakasa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.3

3
Ahmad Ajib Ridlwan, “Rasionalitas dalam Ekonomi: Perspektif Konvensional dan Ekonomi
Islam”, (Surabaya: Universitas Negeri Surabaya), 2016, hlm. 495

Anda mungkin juga menyukai