Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

POST OP SC

DI RUANG MAWAR RSUD SOEWONDO KENDAL

DISUSUN OLEH :

ANGGI PUTRI ANGGRAENI (1607003)

PROGRAM STUDI NERS STIKES WIDYA HUSADA

SEMARANG

TAHUN 2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN SECTIO CAESAREA DENGAN INDIKASI
SEROTINUS

A. PENGERTIAN

Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding
perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu histerotomi untuk melahirkan janin dari
dalam rahim.

Dalam Operasi Caesar, ada tujuh lapisan yang diiris pisau bedah, yaitu lapisan kulit,
lapisan lemak, sarung otot, otot perut, lapisan dalam perut, lapisan luar rahim, dan rahim.
Setelah bayi dikeluarkan, lapisan itu kemudian dijahit lagi satu per satu, sehingga jahitannya
berlapis-lapis. Melihat proses diatas, maka dapat disimpulkan bahwa melahirkan dengan
operasi tentu memiliki resiko lebih tinggi dibanding melahirkan secara alamiah. Dengan
demikian, akan lebih bijak bila dalam mengambil keputusan untuk tindakan operasi, memang
berdasarkan indikasi medis dan sudah tidak dapat dilakukan upaya lain.

Jenis – jenis operasi sectio caesarea

1. Abdomen (sectio caesarea abdominalis)

a. Sectio caesarea transperitonealis

SC klasik atau corporal (dengan insisi memanjang pada corpus uteri)- Dilakukan dengan
membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira 10 cm.

Kelebihan :

· Mengeluarkan janin dengan cepat

· Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik

· Sayatan bias diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan

· Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada reperitonealis yang
baik

Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri spontan. SC ismika atau
profundal (low servical dengan insisi pada segmen bawah- rahim) Dilakukan dengan
melakukan sayatan melintang konkat pada segmen bawah rahim (low servical transversal)
kira-kira 10 cm

Kelebihan :

· Penjahitan luka lebih mudah


· Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik

· Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan penyebaran isi uterus
ke rongga peritoneum

· Perdarahan tidak begitu banyak

· Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih

Kekurangan :

· Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan uteri
uterine pecah sehingga mengakibatkan perdarahan banyak

· Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi

b. SC ektra peritonealis yaitu tanpa membuka peritoneum parietalis dengan demikian tidak
membuka cavum abdominal

2. Vagina (section caesarea vaginalis)

Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai berikut :

1. Sayatan memanjang ( longitudinal )

2. Sayatan melintang ( Transversal )

3. Sayatan huruf T ( T insicion )


B. ETIOLOGI/ PENYEBAB

Pada persalinan normal bayi akan keluar melalui vagina, baik dengan alat maupun dengan
kekuatan ibu sendiri. Dalam keadaan patologi kemungkinan dilakukan operasi sectio
caesarea.

Faktor-Faktor Penyebab Sectio Caesarea :

Menurut Mochtar (1998) faktor dari ibu dilakukannya sectio caesarea adalah plasenta
previa , panggul sempit, partus lama, distosia serviks, pre eklamsi dan hipertensi. Sedangkan
faktor dari janin adalah letak lintang dan letak bokong.

Menurut Manuaba (2001) indikasi ibu dilakukan sectio caesarea adalah ruptur uteri
iminen, perdarahan antepartum, ketuban pecah dini. Sedangkan indikasi dari janin adalah
fetal distres dan janin besar melebihi 4.000 gram.

Dari beberapa faktor sectio caesarea diatas dapat diuraikan beberapa penyebab sectio
caesarea sebagai berikut :

1. CPD ( Chepalo Pelvik Disproportion )

Chepalo Pelvik Disproportion (CPD) adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai
dengan ukuran lingkar kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan
secara alami. Tulang-tulang panggul merupakan susunan beberapa tulang yang membentuk
rongga panggul yang merupakan jalan yang harus dilalui oleh janin ketika akan lahir secara
alami. Bentuk panggul yang menunjukkan kelainan atau panggul patologis juga dapat
menyebabkan kesulitan dalam proses persalinan alami sehingga harus dilakukan tindakan
operasi. Keadaan patologis tersebut menyebabkan bentuk rongga panggul menjadi asimetris
dan ukuran-ukuran bidang panggul menjadi abnormal (Kasdu, 2003).

Setiap pada diameter panggul yang mengurangi kapasitas panggul, dapat menimbulkan
distosia pada persalinan. Menurut Wiknjosastro (2002) ada beberapa kesempitan panggul,
yaitu :

a. Kesempitan pintu atas panggul

Pintu atas panggul biasanya dianggap menyempit jika konjugata vera yang merupakan
ukuran paling pendek panjangnya kurang dari 10 cm atau jika diameter transversal yang
merupakan ukuran paling lebar panjangnya kurang dari 12 cm, proses persalinannya jika
kelainan panggul cukup menonjol dan menghalangi masuknya kepala dengan mudah ke
dalam pintu atas panggul, proses persalinan akan memanjang dan kerap kali tidak pernah
terjadi persalinan spontan yang efektif sehingga membawa akibat yang serius bagi ibu
maupun janinnya.

b. Kesempitan panggul tengah

Bidang obstetrik panggul tengah membentang dari margo inferior simfisis pubis, lewat
spina iskiadika, dan mengenai sakrum di dekat sambungan tulang vertebra keempat dan
kelima. Meskipun definisi kesempitan pintu atas panggul, namun panggul tengah mungkin
sempit kalau jumlah diameter interspinarum dan diameter sagitalis posterior pelvis
(normalnya 10,5 plus 5 cm atau 15,5 cm) mencapai 13,5 cm atau lebih kurang lagi.

c. Kesempitan pintu bawah panggul

Kesempitan pintu bawah panggul biasanya diartikan sebagai keadaan dimana distansia
tuberculum 8 cm atau lebih kecil lagi. Pintu bawah panggul yang sempit tidak banyak
mengakibatkan distosia karena kesempitannya sendiri mengingat keadaan ini sering disertai
pula dengan kesempitan panggul tengah.

Dalam kasus CPD, jika kepala janin belum masuk ke dalam pintu atas panggul pada ibu
hamil cukup bulan, akan dilakukan operasi sectio caesarea karena resiko terhadap janin
semakin besar kalau persalinan semakin maju (Jones, 2001).

2. PEB (Pre-Eklamsi Berat)

Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung disebabkan oleh
kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas. Setelah perdarahan dan infeksi, pre-eklamsi
dan eklamsi merupakan penyebab kematian maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu
kebidanan. Karena itu diagnosa dini amatlah penting, yaitu mampu mengenali dan mengobati
agar tidak berlanjut menjadi eklamsi (Mochtar, 1998).
Pre-eklamsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang
timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi pada trimester III kehamilan, tetapi
dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa. Hipertensi biasanya timbul lebih
dahulu dari pada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklamsi, kenaikan
tekanan sistolik harus 30 mmHg atau lebih diatas tekanan yang biasanya ditemukan, atau
mencapai 140 mmHg atau lebih. Kenaikan tekanan diastolik sebenarnya lebih dapat
dipercaya. Apabila tekanan diastolik naik dengan 15 mmHg atau lebih, atau menjadi 100
mmHg atau lebih, maka diagnosis hipertensi dapat dibuat. Penentuan tekanan darah
dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada kedaan istirahat (Wiknjosastro,
2002).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan berlebihan dalam jaringan tubuh, dan
biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta pembengkakan kaki, jari tangan, dan
muka. Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada kehamilan biasa, sehingga tidak
seberapa berarti untuk penentuan diagnosis pre-eklamsi. Kenaikan berat badan setengah kilo
setiap minggu dalam kehamilan masih dapat dianggap normal, tetapi bila kenaikan satu kilo
seminggu beberapa kali,hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap timbulnya pre-
eklamsia. Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3
gram/liter dalam air 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan satu atau dua + atau
satu gram per liter atau lebih dalam air kencing yang dikeluarkan dengan kateter yang
diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam. Biasanya proteinuria timbul lebih lambat
dari pada hipertensi dan kenaikan berat badan karena itu harus dianggap sebagai tanda yang
cukup serius (Wiknjosastro, 2002).
Pada penatalaksanaan pre-eklamsia untuk pencegahan awal ialah pemeriksaan antenatal
yag teratur dan bermutu serta teliti, mengenali tanda-tanda sedini mungkin, lalu diberikan
pengobatan yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat. Tujuan utama penanganan
adalah untuk mencegah terjadinya pre-eklamsi dan eklamsi, hendaknya janin lahir hidup dan
trauma pada janin seminimal mungkin (Mochtar, 1998).

Menurut (Manuaba, 1998) gejala pre-eklamsi berat dapat diketahui dengan pemeriksaan
pada tekanan darah mencapai 160/110 mmHg, oliguria urin kurang 400 cc/24 jam,
proteinuria lebih dari 3 gr/liter. Pada keluhan subjektif pasien mengeluh nyeri epigastrium,
gangguan penglihatan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan di dapat kadar enzim hati
meningkat disertai ikterus, perdarahan pada retina dan trombosit kurang dari 100.000/mm.
Pada ibu penderita pre-eklamsi berat, timbul konvulsi yang dapat diikuti oleh koma.
Mencegah timbulnya eklamsi jauh lebih penting dari mengobatinya, karena sekali ibu
mendapat serangan, maka prognosa akan jauh lebih buruk. Penatalaksanaan eklamsi
bertujuan untuk menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan mengakhiri kehamilan
secepatnya dengan melakukan sectio caesarea yang aman agar mengurangi trauma pada janin
seminimal mungkin (Mochtar, 1998).

3. KPD (Ketuban Pecah Dini)

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan
ditunggu satu jam belum terjadi inpartu. Sebagian besar ketuban pecah dini adalah hamil
aterm di atas 37 minggu, sedangkan di bawah 36 minggu tidak terlalu banyak (Manuaba,
2001).
Ada dua macam kemungkinan ketuban pecah dini, yaitu premature rupture of membran dan
preterm rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama yaitu keluarnya cairan
dan tidak ada keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya adalah keluarnya cairan mendadak disertai
bau yang khas, namun berbeda dengan bau air seni. Alirannya tidak terlalu deras keluar serta
tidak disertai rasa mules atau sakit perut. Akan terdeteksi jika si ibu baru merasakan perih dan
sakit jika si janin bergerak (Barbara, 2009).
Pada sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan
memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan
selama kehamilan. Beberapa faktor resiko dari KPD yaitu polihidramnion, riwayat KPD
sebelumnya, kelainan atau kerusakan selaput ketuban, kehamilan kembar, trauma dan infeksi
pada kehamilan seperti bakterial vaginosis (Mochtar, 1998).

Diagnosis ketuban pecah dini didasarkan pada riwayat pengeluaran cairan dalam jumlah
besar secara mendadak atau sedikit demi sedikit pervaginam. Untuk dapat menegakkan
diagnosis dapat diambil pemeriksaan inspekulo untuk pengambilan cairan pada forniks
posterior, pemeriksaan lakmus yang akan berubah menjadi biru sifat basa, fern tes cairan
amnion, pemeriksaan USG untuk mencari Amniotic Fluid Index (AFI), aktifitas janin,
pengukur berat badan janin, detak jantung janin, kelainan kongenital atau deformitas. Selain
itu untuk membuktikan kebenaran ketuban pecah dengan jalan aspirasi air ketuban untuk
dilakukan kultur cairan amnion, pemeriksaan interleukin, alfa fetoprotein, bisa juga dengan
cara penyuntikan indigo karmin ke dalam amnion serta melihat dikeluarkannya pervaginam
(Manuaba, 2007).

Robeknya kantung ketuban sebelum waktunya dapat menyebabkan bayi harus segera
dilahirkan. Pecahnya kantung ketuban pada kehamilan seringkali tidak disadari penyebabnya.
Namun, biasanya hal ini terjadi sesudah trauma. Misalnya, setelah terjatuh, perut terbentur
sesuatu, atau sesudah senggama. Dengan adanya hal ini dokter akan mempercepat persalinan
karena khawatir akan terjadi infeksi pada ibu dan janinnya (Kasdu, 2003).

4. Janin Besar (Makrosomia)

Makrosomia atau janin besar adalah taksiran berat janin diatas 4.000 gram. Di negara
berkembang, 5 % bayi memiliki berat badan lebih dari 4.000 gram pada saat lahir dan 0,5 %
memiliki berat badan lebih dari 4.500 gram. Ada beberapa faktor ibu yang menyebabkan bayi
besar, yaitu ibu dengan diabetes, kehamilan post-term, obesitas pada ibu, dan lain-lain. Untuk
mencegah trauma lahir, maka bedah sesar elektif harus ditawarkan pada wanita penderita
diabetes dengan taksiran berat janin lebih dari 4500 gram dan pada wanita nondiabetes
dengan taksiran berat janin lebih dari 5000 gram (Glance, 2006).

Namun, bisa saja janin dengan ukuran kurang dari 4.000 gram dilahirkan dengan operasi.
Dengan berat janin yang diperkirakan sama, tetapi terjadi pada ibu yang berbeda maka
tindakan persalinan yang dilakukan juga berbeda. Misalnya untuk panggul ibu yang terlalu
sempit, berat badan janin 3 kg sudah dianggap besar karena bayi tidak dapat lewat jalan lahir.
Demikian pula pada posisi sungsang dengan berat janin lebih dari 3,6 kg sudah bisa
dianggap besar sehingga perlu dilakukan kelahiran dengan operasi. Keadaan ini yang disebut
bayi besar relatif (Kasdu, 2003).
Kelahiran pervaginam untuk bayi makrosomia harus dilakukan dengan sangat terkontrol yaitu
dengan akses segera kepada staf anastesi dan tim resusitasi neonatus. Sangat penting untuk
menghindari persalinan pervaginam dengan alat bantu dalam keadaan ini (Glance, 2006).

5. Kelainan Letak Janin

Kelainan-kelainan janin menurut Mochtar (1998) antara lain :

a. Kelainan pada letak kepala

1) Letak kepala tengadah

Bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba UUB yang paling
rendah. Etiologinya kelainan panggul, kepala bentuknya bundar, anaknya kecil atau mati,
kerusakan dasar panggul.

2) Presentasi muka

Letak kepala tengadah (defleksi), sehingga bagian kepala yang terletak paling rendah ialah
muka. Hal ini jarang terjadi, kira-kira 0,27-0,5 %.
3) Presentasi dahi

Posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling
depan. Pada penempatan dagu, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka
atau letak belakang kepala.

b. Letak sungsang

Janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan
bokong di bawah (Mochtar, 1998). Menurut (Sarwono, 1992) letak sungsang merupakan
keadaan dimana janin terletak memanjang dengan kepala difundus uteri dan bokong berada di
bagian bawah kavum uteri. Dikenal beberapa jenis letak sungsang, yakni presentasi bokong,
presentasi bokong kaki, sempurna, presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi
kaki.

6. Bayi kembar

Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar. Hal ini karena kelahiran kembar
memiliki resiko terjadi komplikasi yang lebih tinggi daripada kelahiran satu bayi. Selain itu,
bayi kembar pun dapat mengalami sungsang atau salah letak lintang sehingga sulit untuk
dilahirkan secara normal.

7. Faktor hambatan jalan lahir

Adanya gangguan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir yang tidak memungkinkan adanya
pembukaan, adanya tumor dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali pusat pendek dan ibu
sulit bernafas (Dini Kasdu, 2003).
C. PATOFISIOLIGI

Anatomi fungsional yang dibahas pada kasus post operasi sectio caesarea terdiri dari anatomi
dinding perut dan otot dasar panggul.

a. Anatomi dinding perut

Dinding perut dibentuk oleh otot-otot perut dimana disebelah atas dibatasi oleh angulus
infrasternalis dan di sebelah bawah dibatasi oleh krista iliaka, sulkus pubikus dan sulkus
inguinalis.

Otot-otot dinding perut tersebut terdiri dari otot-otot dinding perut bagian depan, bagian
lateral dan bagian belakang.

1) Otot rectus abdominis

Terletak pada permukaan abdomen menutupi linea alba, bagian depan tertutup vagina dan
bagian belakang terletak di atas kartilago kostalis 6-8. origo pada permukaan anterior
kartilago kostalis 5-7, prosesus xyphoideus dan ligamen xyphoideum. Serabut menuju
tuberkulum pubikum dan simpisis ossis pubis. Insertio pada ramus inferior ossis pubis.
Fungsi dari otot ini untuk flexi trunk, mengangkat pelvis.

2) Otot piramidalis

Terletak di bagian tengah di atas simpisis ossis pubis, di depan otot rectus abdominis. Origo
pada bagian anterior ramus superior ossis pubis dan simpisis ossis pubis. Insertio terletak
pada linea alba. Fungsinya untuk meregangkan linea alba.

3) Otot transversus abdominis

Otot ini berupa tendon menuju linea alba dan bagian inferior vagina musculi recti abdominis.
Origo pada permukaan kartilago kostalis 7-12. insertio pada fascia lumbo dorsalis, labium
internum Krista iliaka, 2/3 lateral ligamen inguinale. Berupa tendon menuju linea alba dan
bagian inferior vagina muskuli recti abdominis. Fungsi dari otot ini menekan perut,
menegangkan dan menarik dinding perut.

4) Otot obligus eksternus abdominis

Letaknya yaitu pada bagian lateral abdomen tepatnya di sebelah inferior thoraks. Origonya
yaitu pada permukaan luas kosta 5-12 dan insertionya pada vagina musculi recti abdominis.
Fungsi dari otot ini adalah rotasi thoraks ke sisi yang berlawanan.

5) Otot obligus internus abdominis

Otot ini terletak pada anterior dan lateral abdomen, dan tertutup oleh otot obligus eksternus
abdominis. Origo terletak pada permukaan posterior fascia lumbodorsalis, linea intermedia
krista iliaka, 2/3 ligamen inguinale insertio pada kartilago kostalis 8-10 untuk serabut ke arah
supero medial. Fungsi dari otot ini untuk rotasi thoraks ke sisi yang sama.
b. Otot dasar panggul

Otot dasar panggul terdiri dari diagfragma pelvis dan diagfragma urogenital. Diagfragma
pelvis adalah otot dasar panggul bagian dalam yang terdiri dari otot levator ani, otot
pubokoksigeus, iliokoksigeus, dan ischiokoksigeus. Sedangkan diafragma urogenetik
dibentuk oleh aponeurosis otot transverses perinea profunda dan mabdor spincter ani
eksternus. Fungsi dari otot-otot tersebut adalah levator ani untuk menahan rectum dan vagina
turun ke bawah, otot spincter ani eksternus diperkuat oleh otot mabdor ani untuk menutup
anus dan otot pubokavernosus untuk mengecilkan introitus vagina.

c. Patologi

Pada operasi sectio caesarea transperitonial ini terjadi, perlukaan baik pada dinding abdomen
(kulit dan otot perut) dan pada dinding uterus. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
penyembuhan dari luka operasi antara lain adalah suplay darah, infeksi dan iritasi. Dengan
adanya supply darah yang baik akan berpengaruh terhadap kecepatan proses penyembuhan.

Perjalanan proses penyembuhan sebagai berikut :

· sewaktu incisi (kulit diiris), maka beberapa sel epitel, sel dermis dan jaringan kulit
akan mati. Ruang incisi akan diisi oleh gumpalan darah dalam 24 jam pertama akan
mengalami reaksi radang mendadak,

· dalam 2-3 hari kemudian, exudat akan mengalami resolusif proliferasi


(pelipatgandaan) fibroblast mulai terjadi,

· pada hari ke-3-4 gumpalan darah mengalami organisasi,

· pada hari ke 5 tensile strength (kekuatan untuk mencegah terbuka kembali luka) mulai
timbul, yang dapat mencegah terjadi dehiscence (merekah) luka,

· pada hari ke-7-8, epitelisasi terjadi dan luka akan sembuh. Kecepatan epitelisasi adalah
0,5 mm per hari, berjalan dari tepi luka ke arah tengah atau terjadi dari sisa-sisa epitel dalam
dermis,

· Pada hari ke 14-15, tensile strength hanya 1/5 maksimum,

· tensile strength mencapai maksimum dalam 6 minggu. Untuk itu pada seseorang
dengan riwayat SC dianjurkan untuk tidak hamil pada satu tahun pertama setelah operasi
(Hudaya, 1996).

d. Fisiologi nifas

Perubahan yang terjadi selama masa nifas post sectio caesarea antara lain:

· Uterus, setelah plasenta dilahirkan, uterus merupakan alat yang keras karena kontraksi
dan reaksi otot-ototnya. Fundus uteri ±3 jari di bawah pusat. Ukuran uterus mulai dua hari
berikutnya, akan mengecil hingga hari kesepuluh tidak teraba dari luar. Invulsi uterus terjadi
karena masing-masing sel menjadi kecil, yang disebabkan oleh proses antitoksis dimana zat
protein dinding pecah, diabsorbsi dan dibuang melalui air seni. Sedangkan pada
endomentrium menjadi luka dengan permukaan kasar, tidak rata kira-kira sebesar telapak
tangan. Luka ini akan mengecil hingga sembuh dengan pertumbuhan endometrium baru di
bawah permukaan luka, mulai dari pinggir dan dasar luka,

· pembuluh darah uterus yang saat hamil dan membesar akan mengecil kembali karena
tidak dipergunakan lagi,

· dinding perut melonggar dan elastisitasnya berkurang akibat peregangan dalam waktu
lama (Rustam M, 1998).

D. MANIFESTASI KLINIK/ TANDA DAN GEJALA

1. Perubahan Fisik

a. Sistem Reproduksi

· Uterus

- Involusi : Kembalinya uterus ke kondisi normal setelah hamil. Proses ini dipercepat
oleh rangsangan pada puting susu.

- Lochea

Komposisi

Jaringan endometrial, darah dan limfe.

Tahap

a. Rubra (merah) : 1-3 hari.

b. Serosa (pink kecoklatan)

c. Alba (kuning-putih) : 10-14 hari

Lochea terus keluar sampai 3 minggu.

Bau normal seperti menstruasi, jumlah meningkat saat berdiri.

Jumlah keluaran rata-rata 240-270 ml.

· Siklus Menstruasi

Ibu menyusui paling awal 12 minggu rata-rata 18 minggu, untuk itu tidak menyusui akan
kembali ke siklus normal.
· Ovulasi
Ada tidaknya tergantung tingkat proluktin. Ibu menyusui mulai ovulasi pada bulan ke 3 atau
lebih. Ibu tidak menyusui mulai pada minggu ke-6 s/d minggu ke-8. Ovulasi mungkin tidak
terlambat, dibutuhkan salah satu jenis kontrasepsi untuk mencegah kehamilan.

· Serviks
Segera setelah lahir terjadi edema, bentuk distensi untuk beberapa hari, struktur internal
kembali dalam 2 minggu, struktur eksternal melebar dan tampak bercelah.

· Vagina
Nampak berugae kembali pada 3 minggu, kembali mendekati ukuran seperti tidak hamil,
dalam 6 sampai 8 minggu, bentuk ramping lebar, produksi mukus normal dengan ovulasi.

· Perineum

Episiotomi
Penyembuhan dalam 2 minggu.

Laserasi

TK I : Kulit dan strukturnya dari permukaan s/d otot

TK II : Meluas sampai dengan otot perineal

TK III : Meluas sampai dengan otot spinkter

TK IV : melibatkan dinding anterior rektal

b. Payudara

Payudara membesar karena vaskularisasi dan engorgement (bengkak karena peningkatan


prolaktin pada hari I-III). Pada payudara yang tidak disusui, engorgement akan berkurang
dalam 2-3 hari, puting mudah erektil bila dirangsang. Pada ibu yang tidak menyusui akan
mengecil pada 1-2 hari.

c. Sistem Endokrin

Hormon Plasenta

HCG (-) pada minggu ke-3 post partum, progesteron plasma tidak terdeteksi dalam 72 jam
post partum normal setelah siklus menstruasi.

- Hormon pituitari

Prolaktin serum meningkat terjadi pada 2 minggu pertama, menurun sampai tidak ada pada
ibu tidak menyusui FSH, LH, tidak ditemukan pada minggu I post partum.

d. Sistem Kardiovaskuler

Tanda-tanda vital
Tekanan darah sama saat bersalin, suhu meningkat karena dehidrasi pada awal post partum
terjadi bradikardi.

Volume darah

Menurun karena kehilangan darah dan kembali normal 3-4 minggu Persalinan normal : 200 –
500 cc, sesaria : 600 – 800 cc.

Perubahan hematologik Ht meningkat, leukosit meningkat, neutrophil meningkat.

Jantung Kembali ke posisi normal, COP meningkat dan normal 2-3 minggu.

e. Sistem Respirasi

Fungsi paru kembali normal, RR : 16-24 x/menit, keseimbangan asam-basa kembali


setelah 3 minggu post partum.

f. Sistem Gastrointestinal

- Mobilitas lambung menurun sehingga timbul konstipasi.

- Nafsu makan kembali normal.

- Kehilangan rata-rata berat badan 5,5 kg.

g. Sistem Urinaria

- Edema pada kandung kemih, urethra dan meatus urinarius terjadi karena trauma.

- Pada fungsi ginjal: proteinuria, diuresis mulai 12 jam.

- Fungsi kembali normal dalam 4 minggu.

h. Sistem Muskuloskeletal

Terjadi relaksasi pada otot abdomen karena terjadi tarikan saat hamil. Diastasis rekti 2-4
cm, kembali normal 6-8 minggu post partum.

i. Sistem Integumen

Hiperpigmentasi perlahan berkurang.

j. Sistem Imun

Rhesus incompability, diberikan anti RHO imunoglobin.


E. KOMPLIKASI

Komplikasi yang bisa timbul pada sectio caesarea adalah sebagai berikut :

1) Infeksi puerperal yang terdiri dari infeksi ringan dan infeksi berat. Infeksi ringan ditandai
dengan kenaikan suhu beberapa hari dalam masa nifas, infeksi yang berat ditandai dengan
kenaikan suhu yang lebih tinggi bisa terjadi sepsis, infeksi ini bisa terjadi karena karena
partus lama dan ketuban yang telah pecah terlalu lama,

2) Perdarahan bisa terjadi pada waktu pembedahan cabang-cabang atonia uteria ikut
terbuka atau karena atonia uteria,

3) Terjadi komplikasi lain karena luka kandung kencing, embolisme paru dan deep vein
trombosis,

4) Terjadi ruptur uteri pada kehamilan berikutnya (Rustam M, 1998).

F. PENATALAKSANAAN MEDIS

Penatalaksanaan medis

Cairan IV sesuai indikasi.

Anestesia; regional atau general

Perjanjian dari orang terdekat untuk tujuan sectio caesaria.

Tes laboratorium/diagnostik sesuai indikasi.

Pemberian oksitosin sesuai indikasi.

Tanda vital per protokol ruangan pemulihan

Persiapan kulit pembedahan abdomen

Persetujuan ditandatangani.

Pemasangan kateter foley


G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan diagnostik pada SC adalah hitung darah lengkap, golongan darah


(ABO) dan mencocokkan silang tes coombs urinalis: menentukan kadar albumin/ glukosa,
kultur: mengidentifikasi adanya virus herves simpleks tipe II, pelvimetri menentukan CPD,
Amniosintesis: mengkaji matunitas paru janin, ultrasonografi, melokalisasi plasenta:
menentukan pertumbuhan kedudukan janin, tes stresskontraksi natau tes nonstress: mengkaji
respon janin terhadap gerakan/ stress dari pola kontraksi uterus/ pola abnormal, pemantauan
elektroniik kontinue memastikan status janin/ aktivitas uterus.

KONSEP DASAR SEROTINUS

A. Tinjauan Dasar Medis

1. Pengertian

Serotinus adalah kehamilan yang melewati 294 hari atau 42 minggu lengkap. Diagnosa
usia kehamilan didapatkan dengan perhitungn usia kehamilan dengan rumus Naegele atau
dengan penghitungan tinggi fundus uteri ( Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 ).

2. Etiologi

Penyebab terjadinya kehamilan post matur belum diketahui dengan jelas, namun
diperkirakan dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu:

1) Masalah ibu:

Ø Cervix belum matang

Ø Kecemasan ibu

Ø Persalinan traumatis

Ø Hormonal

Ø Factor herediter

2) Masalah bayi:

Ø Kelainan pertumbuhan janin

Ø Oligohidramnion

3. Tanda dan Gejala

a. Gerakan janin jarang ( secara subjektif kurang dari 7x / 20 menit atau secara objektif
kurang dari 10x / menit.

b. Pada bayi ditemukan tanda lewat waktu yang terdiri dari:


Ø Stadium I : kulit kehilangan vernix caseosa dan terjadi maserasi sehingga kulit menjadi
kering, rapuh dan mudah terkelupas.

Ø Stadium II : seperti stadium I, ditambah dengan pewarnaan mekoneum ( kehijuan di kulit.

Ø Stadium III : seperti stadium I, ditambah dengan warna kuning pada kuku, kulit dan tali
pusat.

c. Berat badan bayi lebih berat dari bayi matur

d. Tulang dan sutura lebih keras dari bayi matur

e. Rambut kepala lebih tebal.

4. Pengaruh Terhadap Ibu dan Bayi

Ø Ibu

Persalinan postmatur dapat menuebabkan distosia karena kontraksi uterus tidak


terkoordinir, janin besar, molding kepala kurang, sehingga sering dijumpai partus lama,
kesalahan letak, inersia uteri, distosia bahu, perdarahan post partum yag mengakibatkan
meningkatnya angka morbiditas dan mortalitas.

Ø Bayi

Jumlah kematian janin atau bayi pada kehamilan 42 minggu 3x lebih besar dari
kehamilan 40 minggu. Pengaruh pada janin bervariasi, biantaranya berat janin bertambah,
tetap atau berkurang.

5. Pemeriksaan Penunjang

Ø USG : untuk mengetahui usia kehamilan, derajat maturitas plasenta.

Ø Kardiotokografi : untuk menilai ada atau tidaknya gawat janin.

Ø Amniocentesis : pemeriksaan sitologi air ketuban.

Ø Amnioskopi : melihat kekeruhan air ketuban.

Ø Uji Oksitisin : untuk menilai reaksi janin terhadap kontraksi uterus.

Ø Pemeriksaan kadar estriol dalam urine.

Ø Pemeriksaan sitologi vagina.

6. Penatalaksanaan

Ø Setelah usia kehamilan lebih dari 40- 42 minggu, yang terpenting adalah monitoring janin
sebaik – baiknya.
Ø Apabila tidak ada tanda – tanda insufisiensi plasenta, persalinan spontan dapat ditunggu
dengan pengawasan ketat.

Ø Lakukan pemeriksaan dalam untuk menentukan kematangan cervik, apabila sudah


matang, boleh dilakukan induksi persalinan.

Ø Persalinan pervaginam harus diperhatikan bahwa partus lama akan sangat merugikan bayi,
janin postmatur kadang – kadang besar dan kemungkinan disproporsi cephalopelvix dan
distosia janin perlu diperhatikan. Selain itu janin post matur lebih peka terhadap sedative dan
narkosa.

Ø Tindakan operasi section caesarea dapat dipertimbangkan bila pada keadaan onsufisiensi
plasenta dengan keadaan cervix belum matang, pembukaan belum lengkap, partus lama dan
terjadi gawat janin, primigravida tua, kematian janin dalam kandungan,pre eklamsi,
hipertensi menahun, anak berharga dan kesalahan letak janin.

7. Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kehamilan yang


teratur, minimal 4 kali selama kehamilan, 1 kali pada trimester pertama (sebelum 12 minggu),
1 kali pada trimester ke dua (antara 13 minggu sampai 28 minggu) dan 2 kali trimester ketiga
(di atas 28 minggu). Bila keadaan memungkinkan, pemeriksaan kehamilan dilakukan 1 bulan
sekali sampai usia 7 bulan, 2 minggu sekali pada kehamilan 7 – 8 bulan dan seminggu sekali
pada bulan terakhir. Hal ini akan menjamin ibu dan dokter mengetahui dengan benar usia
kehamilan, dan mencegah terjadinya kehamilan serotinus yang berbahaya. Perhitungan
dengan satuan minggu seperti yang digunakan para dokter kandungan merupakan
perhitungan yang lebih tepat.. Untuk itu perlu diketahui dengan tepat tanggal hari pertama
haid terakhir seorang (calon) ibu itu. Perhitungannya, jumlah hari sejak hari pertama haid
terakhir hingga saat itu dibagi 7 (jumlah hari dalam seminggu).

B.Konsep Dasar Keperawatan

a. Pengkajian

Ø Identitas Klien

Ø Status kehamilan

Ø Riwayat kehamilan

Ø Riwayat kesehatan

b. Pengkajian fungsional

Ø Tinjauan ulang catatan prenatal dan intra operatif serta indikasi section caesarea.

Ø Sirkulasi : pucat, riwayat hipertensi, pendarahan ( 600 – 800 mL )

Ø Integritas ego : gembira, marah, takut, pengalaman kelahiran.


Ø Eliminasi: urine, bising usus.

Ø Makanan / cairan : abdomen lunak, tidak ada distensi, nafsu makan, berat badan, mual,
muntah.

Ø Neurosensori : kerusakan gerakan, tingkat anastesi

Ø Nyeri : trauma bedah, nyeri penyerta, distensi vu, mulut kering.

Ø Pernafasan : bunyi nafas

Ø Keamanan : balutan abdomen, eritema, bengkak.

Ø Seksualitas : Kontraksi fundus, letak, lochea

Ø Aktivitras : kelelahan, kelemahan, malas.

c. Pengkajian lanjutan

Ø Observasi tanda – tanda vital.

Ø Pengkajian head to toe

d. Diagnosa keperawatan

1. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma pembedahan.

2. Resiko tinggi infeksi b.d penyembuhan jaringan belum terjadi

e. Intervensi keperawatan

a) Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d trauma pembedahan

Kriteria hasil:

Ø Klien mampu mengidentifikasi dan mengatasi nyeri/ ketidaknyamanan dengan tepat.

Ø Klien mengungkapkan nyeri berkurang.

Ø Klien relaks, mampu istirahat.

Intervensi

Ø Tentukan karakteristik dan lokasi ketidaknyamanan, perhatikan isyarat verbal dan non
verbal.

Ø Monitor tanda – tanda vital

Ø Ubah posisi klien, berikan tindakan kenyamanan dan posisi nyaman.

Ø Ajarkan latihan nafas dalam.

Ø Anjurkan ambullasi dini.


Ø Kolaborasi pemberian analgesic.

b) Resiko tinggi infeksi b.d penyembuhan jaringan belum terjadi

Kriteria hasil :

Ø Klien bebas dati tanda – tanda infeksi.

Ø Tanda – tanda vital dalam batas normal.

Ø Pantau tanda – tanda vital, perhatikan peningkatan suhu.

Ø Observasi proses penyembuhgan luka.

Intervensi

Ø Pertahankan teknik aseptic pada perawatan luka.

Ø Observasi terhadap adanya drainase.

Ø Kolaborasi pemberian antibiotika sesuai indikasi.


REFERENSI

Hakimi, M. (2003). Ilmu Kebidanan; Fisiologi dan Patologi Persalinan. Jakarta: Yayasan
Esentia Media.

Manuaba, I, Gde. (1999). Operasi Kebidanan, Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk
Dokter Umum. Jakarta: EGG.

Mochtar, Rustam. 1998. Synopsis Obstetric dan Ginekologi. EGC. Jakarta

Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC. Yogyakarta : moca
Media

Prawirohardjo, S. 2000. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC, Edisi 7. Jakarta : EGC

http://wwwpraners001.blogspot.com/2011/01/laporan-pendahuluan-sectio-caesarea.html

Anda mungkin juga menyukai