Tugas Artikel Agama Islam
Tugas Artikel Agama Islam
DISUSUN
OLEH :
FAKULTAS TEKNIK
Maka dari itu, kami bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca yang
budiman. Kami akan menerima semua kritik dan saran tersebut sebagai batu
loncatan yang dapat memperbaiki resensi kami di masa datang.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Sabar ,Syukur dan Kebahagian adalah sebagian dari sifat-sifat yang terpuji
yang di sukai oleh Allah SWT. Ketiga sifat di atas adalah sifat yang bisa semakin
menumbuhkan rasa keimanan dan cinta kepada sang pencipta dan juga dengan
tiga sifat tersebut dapat menetramkan hidup kita tanpa adanya kekurangan-
kekurangan yang berarti. Karena ihklas dapat menumbuhkan rasa sabar dan
dengan kesabaran sendiri akan terucap rasa syukur kepada sang pencipta.
Hakikat Sabar
Kata “sabar” secara etimologi sudah cukup jelas diterangkan diatas. Hakikat
sabar adalah suatu sikap utama dari perangai kejiwaan yang dapat menahan
perilaku yang tidak baik dan tidak simpati. Sabar merupakan kekuatan jiwa untuk
stabilitas dan baiknya orang dalam bertindak.
Al-junaidi Ibn Muhammad Al-Baghdadi (seorang ulama’ yang zuhud, wafat th.
297 H) mengatakan, “sabar adalah menelan kepahitan tanpa bermuka masam.”
Dzunnun Al-Mishri, (seorang yang terkenal zuhud dan gemar beribadah, wafat th.
245 H) berkata, “sabar ialah menjauhi larangan, bersikap tenang disaat meneguk
duri cobaan, dan menampakkan sikap tidak membutuhkan padahal kemelaratan
menimpa ditengah pelataran kehidupan.”
Ada definisi lain bahwa sabar adalah konsisten menghadapi cobaan dengan
berbaik sikap. Ada pula yang mengatakan bahwa sabar adalah sikap tidak
membutuhkan sesuatu ketika dicoba, tanpa menampakkan pengaduan. Abu
utsman berkata, “penyabar adalah orang yang membiasakan jiwanya menyerang
atau menghadapi berbagai kesulitan.” Juga ada yang berpendapat, “sabar ialah
konsisten menghadapi cobaan dengan sikap yang baik sebagaimana konsisten
bersama dalam keadaan selamat (sehat).”
Seorang hamba wajib memenuhi pengabdian kepada Allah disaat sehat atau
selamat dan saat diuji. Dia wajib menyikapi sehat dan selamat dengan bersyukur
dan menyikapi ujian dengan bersabar.
Amribn Utsman Al-Makki (seorang sufi dan ulama’ ilmu ushul, wafat th. 297
H) berkata, “sabar ialah berteguh bersama Allah dan menerima ujian-Nya dengan
lapang dada dan sikap tenang.” Yakni diterimanya ujian Allah dengan jiwa
lapang, yang tidak mengenal kesempitan, kedengkian dan pengaduan.
Al-Khawwash (Abu Ishaq Al-Khawwash, seorang sufi, wafat th. 291 H)
berkata, “sabar adalah konsistensi terhadap peraturan dan ketentuan Al-qur’an dan
Al-hadits.” Ruwain (seorang sufi terkenal di Bagdad, wafat th. 330 H)
menyatakan, “kesabaran adalah berkomitmen meninggalkan pengaduan.”
Ulama’ lain mengatakan, “kesabaran adalah sikap memohon pertolongan
kepada Allah.” Abu Ali menyatakan, “sabar ialah seperti kata itu sendiri (pahit
rasanya).” Ali ibn Abu Thalib ra. menyatakan, ‘sabar itu kendaraan yang tidak
akan terperosot.”Abu Muhammad Al-Jarir mengatakan, “sabar itu tidak
membedakan antara mendapatkan kenikmatan dengan mendapatkan ujian, dengan
sikap ketenangan jiwa.”
Aku katakan, (tidak membedakan sikap antara ketika mendapat kankenikmatan
dengan ketika mendapatkan ujian) itu tidak dalam ukuran kemampuan dan tidak
diperintahkan, karena Allah menciptakan tabi'at manusia tersusun untuk
membedakan antara dua keadaan tersebut. Adapun kemampuan manusia menahan
jiwa dari berkeluh kesah, tidaklah menyetarakan dua keadaan tersebut.
Cakupan keselamatan (sehat, keadaan normal) adalah lebih luas daripada
kesabaran, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam do’a beliau:
صب ِْر
َّ س َع ِمنَ ال َ ي أ َ َحدٌ َع
َ طا ًء َخي ًْرا َواَ ْو ِ َو َما اُع
َ ْط
“Tidaklah seseorang diberi suatu pemberian yang lebih baik dan lebih lapang
daripada kesabaran.”(HR. Al-Bukhari 1469, Muslim 1053).
Abu Ali al-Daqqaq berkata, “Batasan minimal kesabaran adalah tidak
menentang takdir. Adapun menampakkan cobaan, tanpa ada unsur pengaduan,
tidaklah menafikan kesabaran. Allah SWT berfirman dalam mengisahkan Nabi
Ayyub:
َ ُاِنّ َاو َجدْنَه
صابِ ًرا
“Sungguh kami (Allah) mendapati Ayyub sebagai orang yang sabar.” (QS.
Shad: 44)
“Aku (Ayyub) terkena sakit.” (QS. Al-Anbiya’:83)1[2]
C. Pembagian sabar
Kesabaran terbagi dua, kesabaran secara fisik oleh anggota badan
(badany) dan kesabaran oleh iwa (nafsany), dan masing-masing ada yang merasa
sukarela(atas pilihan sendiri) atau terpaksa. Dengan demikian maka kesabaran
pada manusia terbagi empat:
Pertam: kesabaran anggota badan secara sukarela (badany ikhtiyary), yaitu
seperti menggeluti aktifitas fisik yangdan kemauan sendiri.
Kedua: kesabaran anggota badan secara terpaksa (badany dharury),
seperti bersabar merasakan sakitnya dihantam, sakit, penderitaan, kepanasan,
kedinginan, dan lain-lain.
Ketiga: kesabaran jiwa secara sukarela (nafsany ikhtiyary), seperti
kesabaran jiwa tidak melakukan perilaku yang tidak baik di mata syariat dan akal
sehat.
Keempat: kesabaran jiwa secara terpksa (nafsany dharury), seperti
kesabaran jiwa ketika dipaksa untuk berpisah dengan kekasih oleh suatu sebab.
Kita mengetahui bahwa pembagian empat tersebut adalah untuk manusia,
tidak-lah untuk hewan. Kesabaran untuk hewan adalah dua bagian dari empat
bagian tersebut: yaitu kesabaran badan dan kesabaran jiwa secara terpaksa. Akan
tetapi, kesabaran hewan kadang lebih kuat daripada manusia. Sedangkan
keistimewaan manusia dibandingkan dengan hewan adalah pada dua bagian
kesabaran yang sukarela. Namun banyak manusia kwesabarannya menguat pada
bagian kesabaran yang juga dimiliki hewan (kesbaran terbaksa)-tidak pada bagian
kesabaran yang istimewa pada manusia-maka dalam hal ini dia masukl dalam
kategori oranmg yang bersabar tetapi tidak termasuk golongan orang-orang yang
sobirin yakni bersabar karena ketulusab hati tanpa merasa terpaksa untuk
bersabar.
Mungkin ada yang bertanya, “apakah jin sama seperti manusia dalam hal
sabar?” ya, sabar adalah konsekuensi logis dari taklif (beban / tugas dari Allah),
yang terdiri dari perintah dan larangan. Maka jin juga dibebani bersabarterhadap
pelaksanaan perintah dan pencegahan larangan, sebagaimana kita dibebani
demikian.
Apabila ditanyakan lagi, “apakah taklif kepada jin itu dengan bentukya
sama ataukah berbeda dengan bentuk taklif kepada kita?” sikap kejiwaan-seperti
cinta, benci, iman, membenarkan, menjalin kasih sayang dan bermusuhan pada jin
sama dengan kita dalamhal ini.adapun tu tutan tuntutan yang bersifat badany-
seperti mandi besar, membasuh anggota badan dalam berwudlu, cebok, klhitan,
mandi selesai haid dan lain-lain. Tidaklah hjarus sama dengan kita dalam ukuran
pembebanan, karena taklif berstandar dengan ruipa penciptaan dan cara kehidupan
mereka.
Pertanaan lagi,”apakah malaikat sama seperti kitadalam pembagian sabar
tersebut? “ malaikat tidak diuji dengan hawa nafsu yang memerangi akal dan
pengetahuan mereka, bahkan bagi mereka ibadah dan ketaata bagi nafas bagi kita.
Maka tidak bisa dibayangkan pada mereka bentuk kesabaran, yang notabene
ketabahan yang membangkitkan agama dan akal pikiran untuk mengahadapi
dorongan keinginan dan awa nafsu. Meski demikian mereka berkesabara yang
sesuai bagi mereka, yaitu ketabha dan konsisitensi mereka terhadap habitat
mereka, tanpa perlawanan dengan hawa nfsu, keinginan atau perwatakan.
Maka manusia yang kesabaranya mengalahkan pendorong hawa nafsu dan
keinginan,dia sekelas malaikat; tetapi sebaliknya, jika pendorong hawa nafsu dan
keibginannya mengalahkan kesabarannya, maka dia seklas setan. Apabila
pendorong abiat makan-minum dan bersetubuh mengalahkan kesabarannya maka
dia sekelas hewan.2[3]
D. Jenis-jenis sabar
1. Sabar dilihat dari variabelnya, terbagi tiga bagian:
a. Kesabaran terhadap perintah dan ketaatan, hingga itu terlaksana
b. Kesabaran dari larangan dan penyimpangan, hingga ia tidak terjatuh ke
dalamnya.
c. Kesabaran menghadapi takdir dan penentun, hingga dia tidak marah.
Tiga bentuk kesabaran inilah yang dikatakan Abd al-Qodir (seorang sufi yang
zuhud, pendiri toriqoh qodiriah, wafat th. 561 H) di dfalam futuh al-
ghaib,”keharuan bagi hjamba terhadap perintah adalah melaksanakan, terhadap
larangan adalah menghindar, dan terhadap takdir adalah bersabar.3[4]
2. Sabar berdasarkan hukum lima
a. Kesbaran yang wajib
Sabar yang wajib ada tiga:
Pertama, kesabaran dalam menjauhi keharaman
Kedua, kesabaran dalam melaksanakan kewajiban,
Ketiga, kesabaran dalam mengajhadapi musibah yang tidak dibuat
hamaba, seperti kefakiran , sakit, dan lain-lain.
b. kesabaran yang sunnah
sabar yang sunnah ada;lah kesabaran tidak melakukan hal-hal yang
makruh, kesabaran melaksanakan hal-hal yang sunnah, dan kesabaran tidak
membalas setimpal pada pelaku kejahatan.
c. Kesabaran yang haram
Adapun bentuk kesabaran yang dilarang (haram), jumlahnya cukup
banmyak, seperti kesabaran tidak makan minum hingga meninggal. Bersabar
tidak memakan bangkai, darah, atau daging babi, ketika kel;aparan (dan tidak ada
makanan halal) adalah haram, apabila dikhawatirkan akan menimbulkan
kematian.
Imam Tawus (seorang tabi’in, ulama Fiqh dan Hadits yang zuhud, wafat
th. 106 H) kemudian didukung oleh Imam Ahmad Ibnu Hambal m,engatakan,
orang yang dalam keadaan darurat harus memakan ulat atau darah, tetapi jika dia
tidak makan dan akhirnya dia meninggal, maka dia masuk neraka.
d. Kesabaran yang Makruh
Kesabaran yang makru, contohnya: bersabar tuidak makan-minum-
bersetubuh yang menyebabkan jasamni terganggu; bersabar tidak menyetubuhi
istri, ketika istri membutuhkan dan tidak mengganggunya; bersabar terhadap hal-
hal yang tidak mengenakan; dan bersabar tidak melakukan kesunnahan.
e. Kesabaran yang boleh
Kesabaran yang boleh adalah kesabaran terhadap segala perilaku, yang
kedua sisinya sama-sama baik. Yakni dia berhak memilih antara melakukan, tidak
melakukan dan bersabar terhadap hal ini.
Jadi, kesabaran terhadap yang wajib adalah wajib dan bersabar tidak
melaksanakan yang wajib adalah haram. Bersabar untuk tidak melakukan yang
haram adalah wajib dan bersabar melakukan yang haram adalah haram. Bersabar
terhadap yang sunnah adal;ah sunnah, dan bersabar tidak melakuka yang sunnah
adalah makruh. Bersabar tidak melakukan yang makruh adalah sunnah, dan
bersabar terhadap makruh adalah makruh. Bersabar tidak melaksanakan yang
mubah adalah mubah (boleh)
III. Pengertian Syukur
Bersyukur adalah sebuah perbuatan yang patut untuk kita lakukan, karena
di dalam rasa bersyukur, kita menghargai dan menghormati Kebesaran Tuhan
yang sudah diberikan pada masing-masing kita semua.
Disaat yang sama, Bapak yang didalam mobil tersebut pun dengan masalah-
masalah yang dihadapinya dalam bisnis yang banyak sekali rintangan yang harus
dihadapi, diapun melihat pada tukang becak yang sedang santai di kursi becaknya,
dan berkata dalam hatinya, “Andai Saya bisa seperti bapak tukang becak itu,
tanpa banyak masalah seperti yang Saya alami, pasti Saya bisa lebih menikmati
hidup ini”.
Dari cerita diatas, Kita bisa mengambil hikmah bahwa, manusia hidup tidak
pernah merasa puas dengan keadaan yang diterimanya. Sudah bergelimang harta
dan kedudukan tinggi, tidak membuat mereka mensyukuri apa yang mereka
dapatkan. Begitu juga bila hidup walau tidak berlimpah harta dan kedudukan, tapi
memiliki kehidupan yang cukup dan harmonis.
Bila kita sukses dalam hidup, janganlah lupa untuk Bersyukur, dan
Bila kita gagal, harus Bersabar dan jangan selalu melihat keatas, tapi
lihatlah dibawah kita yang masih banyak dan lebih menderita.
Coba renungkan dua nasehat di atas, apakah Anda sudah bersyukur hari ini
? dan apabila hal tersebut dilakukan, Anda pasti akan merasa lebih baik,
bersyukur dan bersabar menerima tantangan hidup ini. Semoga tulisan ini, bisa
mengingatkan Kita semua bahwa Tuhan selalu memiliki rancangan hidup yang
terbaik untuk Kita, dan bukan rancangan kegagalan.
1) "Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan
untuk (kepentingan) mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan." (QS Luqman: 20)
Menurut Seligman dkk, ada lima aspek utama yang dapat menjadi sumber
kebahagiaan sejati, yaitu :
b. Keterlibatan penuh
Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki
kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti
diatas.
b. Optimis
Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau
pesimis, yaitu permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah)
dan pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak
situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki
penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga
mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat
mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang
pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di
area tertentu.
c. Terbuka
1) Budaya
Triandis (2000) mengatakan faktor budaya dan sosial politik yang spesifik
berperan dalam tingkat kebahagiaan seseorang ( dalam Carr, 2004). Hasil
penelitian lintas budaya menjelaskan bahwa hidup dalam suasana demokrasi
yang sehat dan stabil lebih daripada suasana pemerintahan yang penuh dengan
konflik militer (Carr, 2004). Carr (2004), mengatakan bahwa budaya dengan
kesamaan sosial memiliki tingakat kebahagiaan yang lebih tinggi. Kebahagiaan
juga lebih tinggi pada kebudayaan individualitas dibandingkan dengan
kebudayaan kolektivistis (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan
kebahagiaan lebih tinggi dirasakan di negara yang sejahtera di mana institusi
umum berjalan dengan efisien dan terdapat hubungan yang memuaskan antara
warga dengan anggota birokrasi pemerintahan.
2) Kehidupan Sosial
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada
orang yang tidak religius (Seligman, 2005). Selain itu keterlibatan seseorang
dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan
sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Carr (2004) juga menambahkan
keterlibatan dalam suatu agama juga diasosiasikan dengan kesehatan fisik dan
psikologis yang lebih baik yang dapat dilihat dari kesetiaan dalam perkawinan,
perilaku sosial, tidak berlebihan dalam makanan dan minuman, dan bekerja keras.
4) Pernikahan
5) Usia
6) Uang
7) Kesehatan
8) Jenis Kelamin
Seligman, M. (2002). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfi llment. New York: Free Press.
Seligman, M. (2005). Authentic Happiness: Using The New Positive Psychology to Realize Your
Potential for Lasting Fulfi llment (Eva Yulia Nukman, Penerjemah). Bandung: PT. Mizan Pustaka.
http://chillinaris.blogspot.com/2015/04/tentang-bersyukur-kapan-dan-
mengapa.html
http://pancarancahayailahi.blogspot.com/p/sabar-dan-ikhlas.html
http://paper-makalah.blogspot.com/2010/06/pengertian-ikhlas-sabar-dan-
syukur.html
https://senyumanpagi.wordpress.com/2010/08/28/sabar-syukur/
Al-Jauziyah, Ibnu al-qayyim, Sabar dan Syukur, Semarang: Pustaka Nun, 2010.
Hartati , Netty, dkk, Islam dan Psikologi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005.
Iman, Fauzul, Lensa Hati, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005.
Al-Hafidz, Ahsin W., kamus Ilmu Al-Quran, Jakarta: Amzah, 2012.
4[1] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (Semarang: Pustaka Nun,
2010), hlm. 11-13.
5[2] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm. 15-17
6[3] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm. 27-29
7[4] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm. 37.
8[5] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm.43-46.
9[6] Ahsin W. Al-Hafidz, kamus Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm.
278.
10[7] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm. 187-188.
11[8] Ibnu al-qayyim al-Jauziyah, Sabar dan Syukur, (...), hlm. 195-196.
12[9] Netty hartati, dkk, Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2005), hlm.161-163.
13[10] Fauzul iman, Lensa Hati, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005),
hlm.95-97