Anda di halaman 1dari 30

7

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan menguraikan teori-teori yang mendukung tentang 1)

Konsep Asma, 2) Konsep Terapi Nebulasi, 3) Konsep Posisi Fowler, 4) Konsep

Sesak Napas, 5) Literatur Review, 6) Kerangka Konsep dan 7) Hipotesis

Penelitian.

2.1 Konsep Asma

2.1.1 Definisi Asma

Menurut GINA (2012) asma merupakan proses inflamasi kronik

saluran pernapasan yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses

inflamasi kronik ini menyebabkan saluran pernapasan menjadi

hiperesponsif, sehingga memudahkan terjadinya bronkokonstriksi, edema,

dan hipersekresi kelenjar, yang menghasilkan pembatasan aliran udara di

saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik

berupa sesak napas, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini

hari/subuh, dan dada terasa berat.

Asma Bronkiale adalah penyakit pernapasan objektif yang ditandai

oleh spasme akut otot polos bronkus. Hal ini menyebabkan obstruksi aliran

udara dan penurunan ventilasi alveolus (Corwin, 2000).

2.1.2 Etiologi Asma

Menurut Wijaya & Putri (2013) Etiologi asma dapat dibagi atas 3

macam, yaitu :
8

1. Asma ekstrinsik/alergi disebabkan oleh alergen yang diketahui

masanya sudah terdapat semenjak anak-anak seperti alergi terhadap

serbuk sari, bulu halus, binatang dan debu.


2. Asma instrinsik/ idiopati, asma yang tidak ditemukan faktor pencetus

yang jelas, tetapi adanya faktor-faktor non spesifik seperti : flu, latihan

fisik atau emosi sering memicu serangan asma.


3. Asma campuran terjadi/timbul karena adanya komponen instrinsik dan

ekstrinsik.

2.1.3 Faktor-Faktor Pencetus Asma

Menurut GINA (2012) faktor risiko yang mencetuskan terjadinya

asma bronkiale diantaranya asap rokok, tungau debu rumah, polusi udara,

perubahan cuaca, dan jenis makanan.

Asap rokok dapat menyebabkan asma, baik pada perokok itu

sendiri maupun orang-orang yang terkena asap rokok. Suatu penelitian di

Finlandia menunjukkan bahwa orang dewasa yang terkena asap rokok

berpeluang menderita asma dua kali lipat dibandingkan orang yang tidak

terkena asap rokok. Studi lain menunjukkan bahwa seseorang penderita

asma yang terkena asap rokok selama satu jam, maka akan mengalami

sekitar 20% kerusakan fungsi paru. Akibatnya, jumlah asap rokok yang

masuk ke dalam saluran pernapasan menjadi lebih banyak dibanding berat

badannya. Selain itu, karena sistem pertahanan tubuh yang belum

berkembang, munculnya gejala asma pada anak-anak jauh lebih cepat

dibanding orang dewasa.

Tungau debu rumah adalah hewan (Dermatophagoides


9

Pteronyssinus) yang sangat kecil sekitar 0,5 mm yang umum di jumpai di

tempat tinggal manusia. Tungau debu rumah biasanya berada di karpet dan

jok kursi yang kotor, terutama yang berbulu tebal dan lama tidak

dibersihkan, juga dari tumpukan koran, buku, pakaian yang kotor. Tungau

debu rumah yang menyerang penderita asma bronkiale disebabkan oleh

masuknya suatu alergen ke dalam saluran napas seseorang sehingga

merangsang terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi.

Polusi udara adalah suatu keadaan dimana udara mengandung

bahan kimia, partikel, organisme hidup lainnya yang menyebabkan

kerugian atau ketidaknyamanan pada manusia. Polusi udara di bagi

menjadi 2 yaitu : 1) polusi udara dalam ruangan dan 2) polusi luar

ruangan. Polusi dalam ruangan dapat menimbulkan ancaman kesehatan

yang serius, seperti semprotan minyak wangi, semprotan nyamuk, debu

dalam lemari, dan lain-lain. Menurut Studi EPA ( Environment Protecting

Agency/ Badan Perlidungan Lingkungan Hidup) menunjukkan bahwa

tingkat polusi udara sebanyak 2-5 kali lebih tinggi udara dalam ruangan

dibandingkan udara luar ruangan. Tingkat tingginya polusi udara dalam

ruangan menjadi perhatian khusus, karena banyak orang yang

menghabiskan sebanyak 90 persen dari waktu mereka di dalam ruangan.

Efek kesehatan polusi udara dalam ruangan bisa menjadi lebih

buruk bagi orang-orang dengan gangguan pernapasan seperti asma.

Kualitas udara di luar ruangan merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang utama. Di luar ruangan, seperti polusi akibat zat kimia hasil pabrikan,
10

kendaraan bermotor, dan orang yang bekerja di lingkungan berdebu atau

asap dapat memicu serangan sesak napas yang berkepanjangan.

Polusi udara di luar ruangan memberikan efek yang merugikan

kesehatan seperti penyakit jantung, kanker, asma, penyakit pernapasan,

dan bahkan kematian. Paling berisiko dari polusi udara di luar ruangan

adalah anak-anak, remaja, orang dewasa yang lebih tua, dan orang dengan

penyakit paru-paru, seperti asma dan penyakit paru obstruktif kronis.

Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin,

tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah, epidemik

yang dapat membuat asma menjadi lebih parah berhubungan dengan badai

dan meningkatnya konsentrasi partikel alergenik. Dimana partikel tersebut

dapat menyapu pollen sehingga terbawa oleh air dan udara.

Perubahan tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma dengan

serangan sesak napas dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum

terjadi ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin. Udara

yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran pernapasan.

Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat alergi

makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan yang terutama

sering mengakibatkan reaksi yang fatal tersebut adalah kacang, ikan laut

dan telur. Alergi makanan seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu

pencetus asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan sebagai

pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan asma.


7
12

2.1.5 Tanda dan Gejala Asma

Adapun tanda dan gejala penderita asma bronkiale (McPhee &


Ganong, 2011) antara lain :
1. Batuk, batuk terjadi akibat kombinasi penyempitan saluran napas,

hipersekresi mukus, dan hiperresponsivitas aferen saraf yang dijumpai

pada peradangan saluran napas. Hal ini juga dapat disebabkan oleh

peradangan non-spesifik setelah infeksi, terutama oleh virus, pada

pasien asma.
2. Mengi (wheezing), kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi

dan retensi mukus, menyebabkan pengurangan kaliber saluran napas

dan turbulensi aliran udara yang berkepanjangan, yang menimbulkan

mengi yang dapat didengar langsung atau dengan stetoskop.


3. Dispnea dan rasa sesak di dada, sensasi dispnea dan rasa sesak di dada

adalah akibat sejumlah perubahan fisiologis. Upaya yang lebih kuat

oleh otot untuk mengatasi meningkatnya resistensi saluran napas

dideteksi oleh reseptor regang gelendong otot, terutama otot antariga

dan dinding dada. Hiperinflasi akibat obstruksi saluran napas

menyebabkan toraks teregang.


4. Takipnea dan takikardia, takipnea dan takikardia mungkin tidak terjadi

pada penyakit ringan tetapi hampir selalu dijumpai pada eksaserbasi

akut.
5. Pulsus paradoksus, adalah penurunan tekanan arteri sistolik lebih dari

10 mmHg saat inspirasi.


6. Hipoksemia, bertambahnya ketidakcocokan V/Q pada obstruksi

saluran napas menciptakan area-area dengan rasio V/Q yang rendah

dan hipoksemia. Pirau jarang terjadi pada asma.


7. Hiperkapnia dan asidosis respiratorik, pada serangan yang berat,

obstruksi saluran napas menetap atau bertambah dan timbul kelelahan

otot pernapasan, disertai hipoventilasi alveolus dan meningkatnya

hiperkapnia dan asidosis respiratorik.


13

8. Hiperresponsivitas bronkus, uji provokasi bronkus memperlihatkan

hiperresponsivitas yang tak lazim pada hampir semua pasien asma,

termasuk mereka dengan penyakit yang ringan dan hasil uji fungsi

paru rutin yang normal .


2.1.6 Klasifikasi Asma
Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit menurut Wijaya &

Putri (2013) ada 4 tahap yaitu :


1) Tahap I : Intermitten.
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1. Gejala intermitten <1 kali dalam seminggu
2. Gejala eksaserbasi singkat (mulai beberapa jam sampai beberapa
hari)
3. Gejala serangan asma malam hari <2 kali dalam sebulan
4. Asimptomatis dan nilai fungsi paru normal di antara periode
eksaserbasi
5. PEF (peak expiratory flow meter) : ≥ 80% dari predeksi,

variabilitas < 20%.


2) Tahap II : Persisten ringan.
Penampilan klinik sebelum mendapatkan pengobatan :
1. Gejala ≥ 1 kali seminggu tapi < 1 kali sehari
2. Gejala eksaserbasi dapat mengganggu aktivitas dan tidur
3. Gejala serangan asma malam hari > 2 kali dalam sebulan
4. PEF : > 80% dari prediksi, variabilitas 20-30%
3) Tahap III : Persisten sedang.
Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :
1. Gejala harian
2. Gejala eksaserbasi mengganggu aktivitas dan tidur
3. Gejala serangan asma malam hari > 1 kali seminggu
4. Pemakaian inhalasi jangka pendek β2 agonis setiap hari
5. PEF : > 60% - <80% dari prediksi, variabilitas > 30%
4) Tahap IV : Persisten berat.

Penampilan klinik sebelum mendapat pengobatan :

1. Gejala terus menerus


2. Gejala eksaserbasi sering
3. Gejala serangan asma malam hari sering
4. Aktivitas fisik sangat terbatas oleh asma
5. PEF : ≤ 60% dari prediksi, variabilitas > 30%

2.1.7 Penatalaksanaan Asma

Tujuan utama penatalaksanaan asma menurut PDPI (2003) adalah


14

meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat

hidup normal kembali tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-

hari. Sedangkan penatalaksanaan asma awal di fasilitas kesehatan adalah

pemberian nebulasi agonis beta-2 dilakukan 2-3x dengan interval 20

menit.

Tujuan lain penatalaksanaan asma adalah : menghilangkan dan

mengendalikan gejala asma, mencegah eksaserbasi akut, meningkatkan

dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin, mengupayakan

aktivitas normal termasuk exercise, menghindari efek samping obat,

mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel,

dan mencegah kematian karena asma.

Terdapat tujuh komponen program penatalaksanaan asma yaitu:

a. Edukasi

Pengetahuan yang baik akan menurunkan angka kesakitan dan

kematian. Tujuan dari seluruh edukasi adalah membantu pasien agar dapat

melakukan penatalaksanaan dan mengontrol asma. Edukasi terkait dengan

cara dan waktu penggunaan obat, menghindari pencetus, mengenali efek

samping obat dan kegunaan kontrol teratur pada pengobatan asma. Bentuk

pemberian edukasi dapat berupa komunikasi saat berobat, ceramah,

latihan, diskusi, sharing, leaflet, dan lain-lain (PDPI, 2003).

b. Menilai dan memonitor derajat asma secara berkala

Penilaian klinis berkala antara 1 – 6 bulan dan monitoring asma oleh

pasien dilakukan pada penatalaksanaan asma. Ini dikarenakan berbagai

faktor yaitu gejala dan berat asma berubah sehingga membutuhkan


15

perubahan terapi, pajanan pencetus menyebabkan perubahan pada asma,

dan daya ingat serta motivasi pasien perlu direview sehingga membantu

penanganan asma secara mandiri. Pemeriksaan faal paru, respon

pengobatan saat serangan akut, deteksi perburukan asimptomatik sebelum

menjadi serius, respon pengobatan jangka panjang, dan identifikasi

pencetus perlu dimonitor secara berkala (PDPI, 2003).

c. Mengidentifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

Pasien asma ada yang dengan mudah mengenali faktor pencetus

namun ada juga yang tidak dapat mengetahui faktor pencetus asmanya.

Identifikasi faktor pencetus perlu dilakukan dengan berbagai pertanyaan

mengenai beberapa hal yang dapat sebagai pencetus serangan seperti

alergen yang dihirup, pajanan lingkungan kerja, polutan dan iritan di

dalam dan di luar ruangan, asap rokok, refluks gastroesofagus dan sensitif

dengan obat-obatan (PDPI, 2003).

d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu

inhalasi (nebulasi), oral dan parenteral (subkutan, intramuskular,

intravena). Obat-obatan asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah

gejala obstruksi jalan napas yang terdiri atas pengontrol dan pelega.

Pengontrol merupakan medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol

asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan

asma terkontrol pada asma persisten.

Pengontrol (controllers) sering disebut pencegah yang terdiri dari

(PDPI, 2003):

1) Glukokortikosteroid inhalasi
16

Merupakan pengobatan jangka panjang yang paling efektif

untuk mengontrol asma dan merupakan pilihan bagi pengobatan

asma persisten (ringan sampai berat). Berbagai penelitian

menunjukkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan

napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan

serta memperbaiki kualitas hidup.

2) Glukokortikosteroid sistemik

Pemberian melalui oral atau parenteral, digunakan sebagai

pengontrol pada keadaan asma persisten berat (setiap hari atau

selang sehari), namun penggunaanya terbatas mengingat risiko efek

sistemik yaitu osteoporosis, hipertensi, diabetes, katarak, glaukoma,

obesitas dan kelemahan otot.

3) Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan

mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantai IgE yang

bergantung kepada dosis dan seleksi serta supresi sel inflamasi

tertentu (makrofag, eosinofil, manosit) serta menghambat saluran

kalsium pada sel target. Pemberian secara inhalasi pada asma

persisten ringan dan efek samping minimal berupa batuk dan rasa

obat tidak enak saat melakukan inhalasi.

4) Teofilin

Teofilin merupakan bronkodilator yang memiliki efek

ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Digunakan untuk

menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan

merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah


17

pulmonal. Efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala,

insomnia dan iritabilitas.

5) Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol

dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam).

Memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan

mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil.

6) Leukotriene modifiers

Merupakan anti asma yang relatif baru dan pemberiannya

melalui oral. Menghasilkan efek bronkodilator minimal dan

menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan

latihan berat. Selain itu juga memiliki efek antiinflamasi.

Pelega pada prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi

otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang

berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, batuk dan rasa berat atau sesak

napas di dada, serta tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau

menurunkan hiperesponsif jalan napas. Pelega (reliever) terdiri dari:

1) Agonis beta-2 kerja singkat

Golongan terdiri dari salbutamol, terbutalin, fenoterol dan

prokaterol yang telah beredar di Indonesia. Pemberian dapat secara

inhalasi atau oral, pemberian inhalasi memiliki kerja lebih cepat dan

efek samping minimal. Efek samping dapat berupa rangsangan

kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia.

2) Antikolinergik
18

Pemberiannya secara inhalasi, mekanisme kerjanya memblok

efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas.

Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium bromide dan

tiotropium bromide. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan

rasa pahit.

3) Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai

berat, bila tidak ada agonis beta-2 atau tidak merespon dengan

agonis beta-2 kerja singkat. Pemberian secara subkutan harus hati-

hati pada usia lanjut atau pada pasien gangguan kardiovaskuler.

e. Menetapkan terapi penanganan terhadap gejala

Terapi dilakukan sesuai dengan keadaan pasien, terapi ini dianjurkan

kepada pasien yang memiliki pengalaman buruk terhadap gejala asma dan

dalam kondisi darurat. Penanganan dilakukan di rumah pasien dengan

menggunakan obat bronkodilator seperti β2-agonis inhalasi dan

glukokortikosteroid oral (GINA, 2012).

f. Kontrol secara teratur

Penatalaksanaan jangka panjang harus memperhatikan tindak lanjut

(follow up) teratur dan rujuk ke ahli paru untuk konsultasi atau

penanganan lebih lanjut. Pasien dianjurkan untuk kontrol tidak hanya saat

terjadi serangan akut, namun kontrol teratur sesuai jadwal yang telah

ditentukan, interval berkisar 1-6 bulan tergantung pada keadaan asma. Ini

dilakukan untuk memastikan asma tetap terkontrol dengan mengupayakan

penurunan terapi seminimal mungkin (PDPI, 2003).

g. Pola hidup sehat


19

Dalam penatalaksanaan asma, pola hidup sehat sangat penting

seperti melakukan olahraga secara teratur untuk meningkatkan kebugaran

fisik, menambah rasa percaya diri dan meningkatkan ketahanan tubuh.

Bagi pasien yang memiliki jenis asma dimana serangan timbul setelah

exercise (Exercise-Induced Asthma/EIA) dianjurkan menggunakan beta-2

agonis sebelum melakukan olahraga. Berhenti atau tidak merokok dan

menghindari faktor pencetus juga dapat dilakukan oleh pasien asma untuk

mencegah terjadinya serangan asma (PDPI, 2003).

Sedangkan menurut Muttaqin (2012) penatalaksanaan asma

dibedakan menjadi 2 yaitu secara farmakologi dan non farmakologi.

1) Farmakologi

1. Agonis beta : golongan metaproterenol, bentuknya aerosol

bekerja cepat diberikan secara inhalasi (nebulizer) 3-4x sehari.

2. Metilxantin : golongan aminofilin dan teofilin, diberikan bila

golongan agonis beta tidak memberikan hasil yang optimal,

dengan dosis 125-200 mg, 4x sehari.

3. Kortikosteroid : diberikan jika golongan agonis beta dan

metilxantin tidak memberikan respon yang baik, pemberian obat

golongan ini harus diawasi ketat karena memiliki efek samping

bila digunakan dalam jangka yang lama.

4. Kromolin dan Ipratropium bromide : merupakan obat pencegah

asma yang cukup ampuh.

2) Non farmakologi

1. Penyuluhan : meningkatkan pengetahuan pada penderita asma

tentang penyakitnya, dapat menghindari faktor pencetus, dapat

menggunakan obat secara benar.


20

2. Menghindari faktor pencetus : mengidentifikasi faktor pencetus

serangan asma yang ada pada lingkungan sekitar.

3. Manual terapi yakni pemberian posisi nyaman (fowler atau semi

fowler) untuk mempermudah pernapasan dan fisioterapi yang

berguna untuk pengeluaran sekret seperti fibrasi dada, perkusi

dan postural drainase.

2.1.8 Komplikasi Asma

Berbagai komplikasi yang muncul adalah :

1. Pneumothoraks, merupakan keadaan rongga pleura terisi udara, yang

mengakibatkan paru-paru menguncup dan mengganggu respirasi.

2. Emfisema, adalah penurunan elastisitas paru dan luas permukaan

alveolus yang berkurang akibat destruksi dinding alveolus dan

pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus terminal.

3. Atelektasis, terjadi saat alveolaris atau seluruh segmen paru tidak

mengembang seutuhnya sehingga terdapat kolaps paru yang bersifat

parsial ataupun total sehingga kondisi ini mengakibatkan bagian

tertentu paru tidak bisa melakukan pertukaran gas.

4. Asidosis, keasaman darah yang berlebihan karena penumpukan

karbondioksida dalam darah sebagai akibat dari fungsi paru-paru yang

buruk atau pernapasan yang lambat.


21

5. Kegagalan jantung / gangguan irama jantung, merupakan masalah

pada jantung yang terjadi ketika organ tersebut berdetak terlalu cepat,

terlalu lambat, atau tidak teratur.

6. Gagal napas, adalah pertukaran gas yang tidak adekuat sehingga

terjadi hipoksia, hiperkapnia (peningkatan konsentrasi karbondioksida

arteri), dan asidosis (Wijaya & Putri, 2013).

2.2 Konsep Terapi Nebulasi

2.2.1 Definisi Nebulasi

Manajemen asuhan keperawatan terhadap penderita asma bronkiale

dapat dilakukan mandiri maupun kolaboratif. Salah satu upaya farmakologis

untuk meredakan serangan kekambuhan asma bronkiale adalah dengan

terapi nebulisasi, terapi tersebut merupakan salah satu penggunaan terapi

inhalasi dengan cara dihirup (Prasetyo, 2012).

Faktor pencetus asma Pemberian nebulasi

Terjadi serangan asma Agonis beta 2

Menstimulus saraf
Pelepasan sel mast simpatis

Edema membran Relaksasi otot dan


kelenjar bronkus
Bronkospasme,
akumulasi mukus, Bronkodilatasi,
dispnea sekresi mukus
22

Hiperventilasi Hiperventilasi

CO2 & O2

Pertukaran gas kembali


normal

Penurunan sesak napas


Gambar 2.2 Bagan Konsep Nebulasi
Sumber : Smeltzer, Suzanne C & Bare, Brenda G (2002) ; Potter, P.A &
Perry, A.G (2006); Ganiswara, Sulistia (2000).

Nebulasi merupakan bagian dari terapi inhalasi, terapi ini

memberikan obat secara langsung pada saluran napas melalui obat yang

dihirup (Medicalogy, 2017).

Nebulizer adalah alat yang dapat mengubah obat yang berbentuk

larutan menjadi aerosol secara terus-menerus dengan tenaga yang berasal

dari udara yang dipadatkan atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang

terbentuk dihirup oleh penderita melalui mouth piece atau sungkup. Alat ini

digunakan untuk membawa dosis obat yang lebih besar ke saluran napas

dibandingkan dengan penggunaan inhaler standar (Pionas, 2015).

2.2.2 Tujuan Terapi Nebulasi

Tujuan dari pemberian terapi nebulasi antara lain untuk

mengurangi sesak napas, untuk mengencerkan dahak, bronkospasme

berkurang atau menghilang dan menurunkan hiperaktivitas bronkus serta

mengatasi infeksi (Alsagaff Hood et al, 2010).

2.2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Terapi Nebulasi

1) Indikasi Terapi Nebulasi


23

Untuk penderita asma, sesak napas kronik, batuk, pilek dan gangguan

pernapasan lainnya. Indikasi utama penggunaan nebulizer adalah untuk

membawa:

1. Agonis adrenoseptor beta-2 atau ipratropium pada pasien dengan

eksaserbasi akut asma atau penyakit paru obstruktif kronik.

2. Agonis adrenoseptor beta-2 atau ipratropium sebagai obat rutin pada

pasien dengan asma berat atau obstruksi saluran napas reversibel yang

teratasi dengan pengobatan rutin dalam dosis lebih tinggi.

3. Obat-obat profilaksis seperti kortikosteroid pada pasien yang tidak

dapat menggunakan alat inhalasi lainnya (terutama pada anak kecil).

4. Antibiotik (seperti kolistin) pada pasien dengan infeksi purulen kronik

(seperti pada fibrosis kistik atau bronkiektasis).

5. Pentamidin untuk profilaksis dan terapi pneumonia pneumosistik

(Pionas, 2015).

2. Kontraindikasi Terapi Nebulasi

Pada penderita trakeostomi dan fraktur pada daerah hidung,

kontraindikasi dari perawatan dengan nebulizer yaitu : tekanan darah

tinggi (autonomic hiperrefleksia), nadi yang meningkat (takikardia), dan

riwayat yang tidak baik dari pengobatan sebelumnya (penyakit

komplikasi) (Medicalogy, 2017).

2.2.4 Cara Kerja Terapi Nebulasi

Cara ini digunakan dengan memakai disposible nebulizer mouth

piece dan pemompaan udara (pressurizer) atau oksigen. Larutan nebulizer

diletakan di dalam nebulizer chamber. Jumlah cairan yang terdapat di dalam

hand held nebulizer adalah 4 cc dengan kecepatan gas 6 – 8 liter/menit.

Biasanya dalam penggunaannya digabung dalam mukolitik (asetilsistein)


24

atau natrium bikarbonat. Untuk pengenceran biasanya digunakan larutan

NaCl (Rab T, 2007). Namun menurut Pionas (2015), nebulasi dapat

dilakukan dengan menggunakan larutan nebulizer yang tidak diencerkan

atau perlu diencerkan sebelumnya, pengencer yang biasa digunakan adalah

larutan NaCl 0,9% steril.

Cara penggunaan menurut Rasmin M, et al (2006) yaitu: buka tutup

tabung obat, masukan cairan obat ke dalam alat penguap sesuai dosis yang

ditentukan, gunakan mouth piece atau masker (sesuai kondisi pasien). Tekan

tombol “on” pada nebulizer, jika memakai masker, maka uap yang keluar

dihirup perlahan-lahan dan dalam inhalasi ini dilakukan terus menerus

sampai obat habis. Bila memakai mouth piece, maka tombol pengeluaran

aerosol ditekan sewaktu inspirasi, hirup uap yang keluar perlahan-lahan dan

dalam. Hal ini dilakukan berulang-ulang sampai obat habis (10 – 15 menit)

dan dilakukan 2-3 kali sehari (sesuai jadwal pemberian obat).

2.2.5 SOP (Standart Operasional Prosedur) Terapi Nebulasi

A. Pengertian

Terapi nebulasi adalah cara pemberian uap maupun obat melalui

saluran pernapasan dengan teknik inhalasi (hirup).

B. Tujuan

1. Merelaksasi jalan napas.

2. Mengencerkan dan mempermudah mobilisasi sekret.

3. Menurunkan edema mukosa.

4. Pemberian obat secara langsung pada saluran pernapasan untuk

pengobatan penyakit, seperti : bronkospasme akut, produksi sekret

yang berlebihan, dan batuk yang disertai dengan sesak napas.

C. Persiapan Alat
25

1. Nebulizer 1 set.

2. Obat untuk terapi aerosol dan pengencernya.

3. Stetoskop.

4. Tissue.

5. Nierbeken/bengkok.

D. Persiapan Pasien
1. Berikan salam, perkenalkan diri anda dan identifikasi pasien dengan

memeriksa identitas pasien secara cermat.


2. Menjelaskan prosedur dan tujuan pemberian terapi nebulasi.

E. Cara Kerja

1. Mencuci tangan.

2. Memasang sampiran.

3. Memakai handscoon bersih.

4. Memasukkan obat kewadahnya (bagian dari alat nebulizer).

5. Menghubungkan nebulizer dengan listrik.

6. Menyalakan mesin nebulizer (tekan power on) dan mengecek out

flow apakah timbul uap atau embun.

7. Menghubungkan alat ke mulut atau menutupi hidung dan mulut

(posisi) yang tepat.

8. Menganjurkan agar pasien untuk melakukan napas dalam, tahan

sebentar, lalu ekspirasi.

9. Setelah selesai, mengecek keadaan umum pasien, tanda-tanda

vital, dan melakukan auskultasi paru secara berkala selama prosedur.

10. Menganjurkan pasien untuk melakukan napas dalam dan batuk

efektif untuk mengeluarkan sekret.

11. Perhatian :
26

a. Tetap mendampingi pasien selama prosedur (tidak

meninggalkan klien).

b. Observasi reaksi pasien apabila terjadi efek samping obat.

c. Tempatkan alat nebulizer pada posisi yang aman.

F. Evaluasi

1. Mengobservasi respon pasien selama dan sesudah prosedur terhadap;

keadaan umum, tanda-tanda vital, dan efek samping obat.

2. Mengauskultasi suara napas.

3. Mengobservasi sputum / sekret yang dikeluarkan pasien.

G. Dokumentasi

1. Mencatat tanggal dan waktu pelaksanaan tindakan.

2. Mencatat hasil pengkajian sebelum, selama dan setelah tindakan

prosedur.

3. Mencatat hasil observasi pasien selama dan setelah tindakan.

(Alimul A & Uliyah M, 2013)

2.3 Konsep Posisi Fowler

2.3.1 Definisi Posisi Fowler

Posisi fowler merupakan posisi dimana tempat tidur diposisikan

dengan ketinggian 90o, posisi ini sangat membantu bagi pasien yang

mengalami kesulitan bernapas atau dyspnea karena menghilangkan tekanan


27

pada diagfragma yang memungkinkan pertukaran volume yang lebih besar

dari udara (Barbara, 2009).

Faktor pencetus asma Posisi fowler

Terjadi serangan asma Menstimulus pusat


pernapasan dalam medula
oblongata
Pelepasan sel mast
Menghantarkan impuls ke
saraf spinalis
Edema membran,
bronkospasme,
akumulasi sekret
Mengoptimalkan kerja otot
pernapasan
Dispnea
Kontraksi otot diafragma dan
otot interkostal
Hiperventilasi

Pembesaran ventilasi udara


paru

Pengeluaran CO2 dan


mengambil lebih banyak O2

Pertukaran gas kembali


normal
Gambar 2.3 Bagan Konsep Posisi Fowler
Sumber : Smeltzer, Suzanne C & Bare,
Brenda G (2002); Potter, P.A & Perry, Penurunan sesak napas
A.G (2006); Pearce, Evelyn C (2013).
Posisi fowler adalah posisi duduk, dimana bagian kepala tempat

tidur lebih tinggi atau dinaikkan setinggi 90° tanpa fleksi lutut (posisi kaki

lurus). Posisi ini dilakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan

memfasilitasi fungsi pernapasan pasien (Alimul A, 2008).

2.3.2 Tujuan Posisi Fowler

Tujuan pemberian posisi fowler menurut Alimul A (2008) antara

lain untuk membantu melancarkan keluarnya dahak/secret, mengurangi


28

sesak napas, mengurangi komplikasi akibat immobilisasi, meningkatkan

rasa nyaman, meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga

meningkatnya ekspansi dada dan ventilasi paru dan mengurangi

kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap.

2.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi Posisi Fowler

Indikasi pemberian posisi fowler antara lain untuk pasien yang

mengalami sesak napas atau gangguan pernapasan seperti pasien asma

bronkiale, pada pasien yang mengalami imobilisasi atau pada pasien yang

relative lama menjalankan perawatan bedrest total seperti pasien dengan

dekompensasi kordis, pada pasien post partum, dan beberapa keadaan pada

pasien post operasi (Alimul A, 2008).

Sedangkan kontraindikasinya antara lain pada pasien fraktur tulang

pelvis, post operasi abdomen, pasien fraktur tulang belakang (Alimul A,

2008). Pemberian posisi yang tidak tepat berpengaruh pada beberapa sistem

fisiologis tubuh utamanya pada sistem kardiovaskuler dengan perubahan

utama yaitu hipotensi ortostatik, peningkatan beban kerja jantung. Untuk itu

penempatan posisi pada pasien imobilisasi seperti pada pasien post operasi

harus memperhatikan berbagai aspek (Potter & Perry, 2006).

2.3.4 SOP (Standart Operasional Prosedur) Posisi Fowler

A. Pengertian

Posisi berbaring dengan duduk / setengah duduk sambil bersandar

pada bantal dibagian belakang dan guling dibawah lutut atau meninggikan

tempat tidur bagian kepala sebesar 900.

B. Tujuan

1. Memberikan kenyamanan pasien

2. Melancarkan fungsi pernapasan


29

C. Persiapan Alat

1. Bantal dan guling untuk sandaran punggung

2. Tempat tidur yang bisa ditinggikan bila tersedia

D. Persiapan Pasien

1. Berikan salam, perkenalkan diri anda dan identifikasi pasien dengan

memeriksa identitas pasien secara cermat.


2. Menjelaskan prosedur dan tujuan pemberian posisi fowler.

E. Cara Kerja

1. Mencuci tangan.

2. Memakai handscoone.

3. Memposisikan pasien untuk duduk, posisi 90 derajat dengan

meninggikan tempat tidur bagian kepala, jika tempat tidur bagian

kepala tidak bisa ditinggikan maka bisa ditopang dengan bantal

sampai membentuk posisi 90 derajat.

4. Mengatur posisi 90 derajat senyaman mungkin.

5. Mencuci tangan.

F. Evaluasi

1. Mengobservasi respon pasien selama dan sesudah prosedur.

G. Dokumentasi

1. Mencatat tanggal dan waktu pelaksanaan tindakan.

2. Mencatat hasil pengkajian sebelum, selama dan setelah tindakan

prosedur.

3. Mencatat hasil observasi pasien selama dan setelah tindakan.

(Alimul A & Uliyah M, 2013)


30

2.4 Konsep Sesak Napas

2.4.1 Definisi Sesak Napas

Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas ditandai

dengan napas yang pendek dan penggunaan otot bantu pernapasan. Dispnea

dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru

interstisial atau alveolar, gangguan dinding dada, penyakit obstruktif paru

(asma, emfisema, bronkitis), kecemasan (Price & Wilson, 2006).

Dispnea atau sukar bernapas dapat disebabkan kelemahan saraf

atau otot, kerusakan iga-iga atau ruang pleural, paru-paru kaku yang

disebabkan pneumonia, udema paru-paru dalam payah jantung, atau

obstruksi dalam saluran napas, asma dan bronkitis (Pearce, 2013).

2.4.2 Tanda dan Gejala Sesak Napas

Tanda dan gejala sesak napas salah satunya dapat berupa :

1. Batuk berdahak dan perubahan pola napas atau peningkatan jumlah

frekuensi napas (dewasa >20x/menit; anak >30x/menit;

bayi>40x/menit) dengan ditunjukkan nilai respiratory rate cepat atau

lambat.

2. Kebiruan pada sekitar bibir, ujung-ujung jari.

3. Adanya suara napas tambahan seperti ngorok, serak, grok-grok, mengi

(Beck, 2011).
31

Faktor-faktor yang mempengaruhi sesak napas adalah gangguan

sirkulasi, gangguan jalan napas, usia, aktivitas, hormonal (stress) (Sumarno,

2012).

2.4.3 Parameter Sesak Napas

Pengukuran sesak napas dengan parameter respiratory rate

dilakukan dengan cara menggunakan tangan yang di letakkan di atas dada

atau perut kemudian merasakan dan menghitung jumlah gerakan naik

turunnya dalam satu menit. Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui

nilai respiratory rate termasuk normal atau tidak normal berdasarkan

kategori usianya (Song & Lehrer, 2003).

2.4.4 Klasifikasi Respiratory Rate

Usia Respiratory Rate


Bayi baru lahir 30-50
0-5 bulan 25-40
6-12 bulan 20-30
1-3 tahun 20-30
3-5 tahun 20-30
6-10 tahun 15-30
11-14 tahun 12-20
15-20 tahun 12-30
Dewasa 16-20

Tabel 2.1 Klasifikasi Respiratory Rate berdasarkan usia (Medscape, 2015)

Menurut Sumarno (2012) secara umum respiratory rate dapat

dikelompokkan menjadi :

1. Dispnea : sulit bernapas atau sesak napas.

2. Tadipnea : pernapasan lebih dari normal (> 20 x/menit).

3. Bradipnea : pernapasan kurang dari normal (< 16 x/menit).


32

2.4.5 SOP (Standart Operasional Prosedure) Mengukur Respiratory Rate

(RR)

A. Pengertian

Menghitung jumlah pernapasan (inspirasi yang diikuti ekspirasi

selama 1 menit).

B. Tujuan

1. Mengetahui keadaan umum pasien.

2. Mengetahui jumlah dan sifat pernapasan dalam waktu 1 menit.

3. Mengikuti perkembangan penyakit.

4. Menilai kemampuan fungsi pernapasan.

C. Indikasi

1. Pada pasien yang baru masuk dan untuk dirawat.

2. Secara rutin pada pasien yang dirawat.

3. Sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan pasien.

D. Persiapan alat

1. Stop watch atau jam tangan.

2. Alat tulis.

E. Prosedur

1. Memberi salam, panggil pasien dengan panggilan yang di senangi.

2. Memperkenalkan nama ke pasien.

3. Jelaskan prosedur dan tujuan tindakan pada pasien dan keluarga.

4. Berikan kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya.

5. Jaga privasi pasien.


33

6. Memberikan kesempatan pada pasien dan keluarga untuk bertanya

sebelum tindakan dimulai.

7. Cuci tangan.

8. Menggunakan sarung tangan.

9. Membuka baju pasien jika perlu untuk mengobservasi gerakan dada.

10. Letakan tangan pada dada, mengobservasi keadaan dan

kesimetrisan gerak pernapasan.

11. Menghitung pernapasan selama 1 menit atau 60 detik.

12. Mencuci tangan.

F. Evaluasi

1. Dokumentasikan hasil pengukuran pada catatan klien atau lembar.

2. Evaluasi tindakan yang sudah dilakukan.

3. Evaluasi respon klien.

(Alimul A & Uliyah M, 2013)

2.5 Hasil Literatur Review

Tabel 2.2 Hasil Literatur Review

Judul Publikasi Dan


No. Peneliti Hasil Penelitian
Nama Jurnal
1. Dwi Handoko et Pengaruh Pemberian Ada pengaruh posisi fowler
al, 2017 Posisi Fowler Terhadap terhadap frekuensi
Frekuensi Pernapasan pernapasan pada pasien asma
pada Pasien Asma bronkial di Klinik Utama
Bronkial Di Klinik Rawat Inap Naura Medika
Utama Rawat Inap Karanganyar dengan p value
Naura Medika = 0,000 < 0,05.
34

Karanganyar
2. Meilirianta et al, Posisi Semi Fowler dan Terdapat perbedaan
2016 Posisi Fowler Terhadap perubahan saturasi oksigen
Perubahan Saturasi yang signifikan pada pasien
Oksigen pada Pasien asma bronkiale antara
Asma Bronkiale Di kelompok semi fowler dan
Ruang Rawat Inap D3 kelompok fowler dengan p =
dan E3 Rumah Sakit 0,001 di ruang rawat inap D3
Umum Daerah Cibabat dan E3 Rumah Sakit Umum
Cimahi Daerah Cibabat Cimahi.
3. Lutfi Wahyuni, Pengaruh Pemberian Ada pengaruh pemberian
2014 Nebulizer Dan Batuk nebulizer dan batuk efektif
Efektif Terhadap Status terhadap status pernapasan
Pernapasan Pasien pasien COPD dengan hasil
COPD uji statistik menunjukkan
nilai sig (2-tailed) adalah p =
0,001, berarti p < 0,05.
4. Valentina B.M Efektifitas Terapi Ada perbedaan efektifitas
Lumbantobing, Nebulizer Dengan terapi nebulizer dengan
2017 Ipratropium Dan Ipratropium dan Fenoterol
Fenoterol Terhadap terhadap saturasi oksigen
Saturasi Oksigen Pada pada pasien asma bronkiale,
Pasien Asma Bronkiale serta terdapat juga perbedaan
rerata nilai saturasi oksigen
sebelum dan sesudah
pemberian terapi baik pada
kelompok Ipratropium
maupun pada kelompok
Fenoterol.

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Faktor- faktor pencetus asma


(alergi, stress, infeksi)

Terjadi serangan asma

Pelepasan sel mast

Edema membran

1. Bronkospasme
Pemberian 2. Akumulasi sekret
Nebulasi 3. Dispnea
Posisi Fowler
35

Mengoptimalkan kerja otot


pernapasan

Hiperventilasi berkurang Ventilasi udara bertambah

Pertukaran gas kembali normal

Penurunan sesak napas

RR dalam rentang normal

Gambar 2.4 Bagan Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan:

: area yang diteliti

: area yang tidak diteliti

Asma disebabkan oleh 3 faktor pencetus yaitu faktor intrinsik,

ekstrinsik dan campuran, saat terjadi serangan asma pasien merasa sulit untuk

mengambil napas untuk itu diperlukan suatu terapi baik secara farmakologi

dan nonfarmakologi. Secara farmakologi pasien bisa diberikan tindakan

nebulasi dengan menggunakan bronkodilator (agonis beta), sedangkan secara

nonfarmakologi tindakan yang dilakukan berupa pemberian posisi fowler

sebesar 900, kedua hal tersebut bertujuan untuk memperlancar jalan napas

pasien sehingga dapat bernapas normal tanpa merasa sesak.

2.7 Hipotesis Penelitian


36

Merupakan suatu jawaban sementara dari pertanyaan penelitian.

Hipotesis berfungsi untuk menentukan kearah pembuktian, artinya hipotesis

ini merupakan pernyataan yang harus dibuktikan (Notoatmojo, 2012).

Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


H1 : Pemberian nebulasi dengan posisi fowler efektif terhadap penurunan

sesak napas pada penderita asma bronkiale.

Anda mungkin juga menyukai