Anda di halaman 1dari 67

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai

tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang

mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien

gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri. Kata anesthesia diperkenalkan oleh

Oliver Wendell Holmes yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat

sementara, karena pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri

pembedahan. Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi

terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan

persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri

dari premedikasi, induksi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca

anestesi. 1,2

Sinusitis merupakan salah satu penyakit di bidang THT sebagai peradangan

pada membran mukosa pada sinus paranaslis dan kavum nasal. Sesuai anatomi sinus

yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis etmoid, sinus frontal,

dan sinus sfenoid. Sinusitis dianggap salah satu masalah kesehatan yang sering

terjadi di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang paling sering ditemukan di

praktek dokter sehari-hari terutama sinus maksliaris dan sinus etmoid.3,4


2

Sinus maksilaris merupakan sinus yang sering terinfeksi oleh karena sinus

maksilaris merupakan sinus terbesar dan letak anatominya lebih tinggi dari dasar,

sehingga aliran sekret atau drainase dari sinus maksila hanya bergantung pada

gerakan dasar silia. Sinusitis maksila dapat terjadi akut, berulang/kronis. Sinusitis

maksilaris akut dapat sembuh sempurna jika diterapi dengan baik tanpa adanya

residu kerusakan jaringan mukosa.2,4

Sinusitis dianggap salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di

dunia.. Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan

sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar

102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit.Survei Kesehatan Indera Penglihatan

dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan

PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7

propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005

menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien,

69% nya adalah sinusitis.4

Intubasi endotrakeal merupakan “gold standard” untuk penanganan jalan

nafas. Prosedur ini dapat dilakukan pada sejumlah kasus pasien yang mengalami

penyumbatan jalan nafas, kehilangan refleks proteksi, menjaga paru-paru dari sekret

agar tidak terjadi aspirasi dan pada segala jenis gagal nafas.3

Pemilihan jenis anestesi untuk sinusitis ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter

bedah, dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, sinusitis pada pasien
3

dewasa, pungsi dan irigasi sinus dapat dilakukan dengan anestesi lokal, sedang

pasien anak-anak biasanya dalam anestesi umum. Mengingat sinusitis merupakan

tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, komplikasi

yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah dan anestesi.

Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca

operasi, mual, muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia,

hipersensitif terhadap obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung.4

Tindakan intubasi endotrakeal selama anestesi umum berfungsi sebagai

sarana untuk menyediakan oksigen ke paru-paru dan sebagai saluran untuk obat-obat

anestesi yang mudah menguap.1 Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi

berkisar antara 0,1-8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat

jarang.Kematian dapat terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi.Tantangan

terbesar selain operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan dan teknik yang

dilakukan dalam pelaksanaannya.1


4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI SALURAN PERNAPASAN

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita

harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana

intubasi itu dipasang.5

Gambar 2.1. Anatomi Saluran Pernapasan

Respirasi atau pernapasan merupakan pertukaran Oksigen (O2) dan

karbondioksida (CO2) antara sel-sel tubuh serta lingkungan. Semua sel

mengambil Oksigen yang akan digunakan dalam bereaksi dengan

senyawa-senyawa sederhana dalam mitokondria sel untuk menghasilkan

senyawa-senyawa kaya energi, air dan karbondioksida. Jadi, pernapasan

juga dapat di artikan sebagai proses untuk menghasilkan energi.

Pernapasan dibagi menjadi 2 macam, yaitu: 5


5

1. Pernapasan Eksternal (luar) yaitu proses bernapas atau pengambilan

Oksigen dan pengeluaran Karbondioksida serta uap air antara

organisme dan lingkungannya.

2. Pernapasan Internal (dalam) atau respirasi sel terjadi di dalam sel yaitu

sitoplasma dan mitokondria. Sistem pernapasan terdiri atas saluran

atau organ yang berhubungan dengan pernapasan. Oksigen dari udara

diambil dan dimasukan ke darah, kemudian di angkut ke jaringan.

Karbondioksida (CO2) di angkut oleh darah dari jaringan tubuh ke

paru-paru dan dinapaskan ke luar udara.

Fungsi Sistem Pernapasan

Fungsi utama sistem pernapasan adalah untuk memungkinkan ambilan

oksigen dari udara kedalam darah dan memungkinkan karbon dioksida

terlepas dari dara ke udara bebas. Meskipun fungsi utama system

pernapasan adalah pertukaran oksigen dan karbon dioksida, masih ada

fungsi-fungsi tambahan lain yaitu: 5

1. Tempat menghasilkan suara.

2. Untuk meniup (balon, kopi/the panas, tangan, alat musik dan lain

sebagainya)

3. Homeostatis (pH darah)

4. Otot-otot pernapasan membantu kompresi abdomen

(miksi,defekasi,partus).
6

Pada manusia, pernapasan terjadi melalui alat-alat pernapasan yang

terdapat dalam tubuh atau melalui jalur udara pernapasan untuk

menuju sel-sel tubuh. Struktur organ atau bagian-bagian alat

pernapasan pada manusia terdiri atas Rongga hidung, Farings

(Rongga tekak), Larings (kotak suara), Trakea (Batang tenggorok),

Bronkus dan Paru-paru. 5


5
Alat pernapasan manusia terdiri atas beberapa organ, yaitu:

1. Rongga Hidung

Hidung adalah bangunan berongga yang terbagi oleh sebuah sekat

di tengah menjadi rongga hidung kiri dan kanan. Hidung meliputi

bagian eksternal yang menonjol dari wajah dan bagian internal

berupa rongga hidung sebagai alat penyalur udara.

Di bagian depan berhubungan keluar melalui nares (cuping hidung)

anterior dan di belakang berhubungan dengan bagian atas farings

(nasofaring). Masing-masing rongga hidung dibagi menjadi bagian

vestibulum, yaitu bagian lebih lebar tepat di belakang nares

anterior, dan bagian respirasi. Permukaan luar hidung ditutupi oleh

kulit yang memiliki ciri adanya kelenjar sabesa besar, yang meluas

ke dalam vestibulum nasi tempat terdapat kelenjar sabesa, kelenjar

keringat, dan folikel rambut yang kaku dan besar. Rambut ini

berfungsi menapis benda-benda kasar yang terdapat dalam udara

inspirasi. Terdadapat 3 fungsi rongga hidung : 5


7

1. Dalam hal pernafasan = udara yang di inspirasi melalui rongga

hidung akan menjalani 3 proses yaitu penyaringan (filtrasi),

penghanatan, dan pelembaban.

2. Ephithelium olfactory = bagian meial rongga hidung memiliki

fungsi dalam penerimaan bau.

3. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukan suara-

suara fenotik dimana ia berfungsi sebagai ruang resonasi.

Pada potongan frontal, rongga hidung berbentuk seperti buah

alpukat, terbagi dua oleh sekat (septum mediana). Dari dinding

lateral menonjol tiga lengkungan tulang yang dilapisi oleh

mukosa, yaitu:

1. Konka nasalis superior,

2. Konka nasalis medius,

3. Konka nasalis inferior, terdapat jaringan kavernosus atau

jaringan erektil yaitu pleksus vena besar, berdinding tipis,

dekat permukaan. Sinus paranasal adalah rerongga berisi

udara yang terdapat dalam tulang-tulang tengkorak dan

berhubungan dengan rongga hidung. Macam-macam sinus

yang ada adalah sinus maksilaris, sinus frontalis, sinus

etmoidalis, dan sinus sfenoidalis.


8

2. Faring

Faring udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung

melalui faring dan masuk ke dalam laring.Nasofaring terletak di

bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui

nares posterior.Udara masuk ke bagian faring ini turun melewati

dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.5

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari

esofagus dan membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka

masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini

sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama

membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus

ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke

dalam laring dan rongga hidung posterior.5

Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan

dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses

pernafasan. Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling

penting disamping muskulus intercostalis interna dan eksterna

beberapa otot yang lainnya.5

3. Laring

Laring terletak di antara akar lidah dan trakhea.Laring terdiri

dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan

sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya.Kartilago yang kaku


9

pada dinding laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat

menjaga agar tidak mengalami kolaps. Pita suara terletak di dalam

laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang

merupakan jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring

sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk

silinder.5

Fungsilaring,yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara

yang selanjutnya mengatur suara.Laring juga menerima udara dari

faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air

masuk ke dalam trakhea.Ketika terjadi pengaliran udara pada

trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara

masuk dan keluar melalui laring namun akan menutup pada saat

menelan.5

Epiglotis yang berada di atas glottis selain berfungsi sebagai

penutup laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,

karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang

berwarna putih yang mengelilingi lubang.5

4. Trakea

Trakea adalah sebuah struktur berbentuk tubulus yang mulai

setinggi Cervikal 6 columna vertebaralis pada level kartilago tiroid.

Trakea mendatar pada bagian posterior, panjang sekitar 10-15 cm,

didukung oleh 16-20 tulang rawan yang berbentuk tapal kuda


10

sampai bercabang menjadi dua atau bifurkasio menjadi bronkus

kanan dan kiri pada thorakal 5 kolumna vertebaralis. Luas

penampang melintang lebih besar dari glotis, antara 150-300 mm2.

Beberapa tipe reseptor pada trakea, sensitif terhadap stimulus

mekanik dan kimia. Penyesuaian lambat reseptor regang yang

berlokasi pada otot-otot dinding posterior, membantu mengatur rate

dan dalamnya pernafasan, tetapi jugamenimbulkan dilatasi pada

bronkus melalui penurunan aktivitas afferen nervus vagus. Respon

cepat resptor iritan yang berada pada seluruh permukaan trakea

berfungsi sebagai reseptor batuk dan mengandung reflek

bronkokontriksi.5

2.2. IRIAGASI SINUSITIS

Pada sinusitis maksila dapat dilakukan pungsi dan irigasi. Pada

sinusitis etmoid, frontal atau stenoid yang letak muaranya dibawah dapat

dilakukan tindakan pencucian sinus secara Proetz (proetz displacement

therapy). 2,4

Pada pasien dewasa, pungsi dan irigasi sinus dapat dilakukan dengan

anestesi local. Sedangg pasien anak-anak biasanya dalam anestesi umum.

Terdapat dua cara untuk melakukan pungsi sinus maksila yaitu lewat meatus

inferior atau lewat fossa canina. Kedua daerah itu mudah dicapai dan relative

sedikit mengandung pembulu darah.4


11

Fungsi dan irigasi sinus merupakan suatu tindakan untuk

mengeluhkan secara yang terkumpul dalam darah rongga sinus maksila.

Tujuan dari tindakan ini adalah untuk memperbaiki drainase dan pembersihan

secret dari sinus maksila sehingga mengaktifkan silia kembali dan untuk

mengambil bahan bagi tes kultur dan sensitivitas jika pengobatan secara

empiris tidak berhasil.4

2.3. ANESTESI

Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara

sentral disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Pada

prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat

beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan

prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap

penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi dan

pemeliharaan.Dengan anestesi akan diperoleh trias anestesia, yaitu:6,7

a. Hipnotik (tidur)

b. Analgesia (bebas dari nyeri)

c. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)


12

2.3.1 Obat Premedikasi

Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan

memberikan obat obatan pendahuluan yang terdiri dari obat obatan

golongan antikholinergik, sedatif, dan analgetik. Dengan tujuan

sebagai berikut :6,7,8

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien.

2. Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus

3. Memperlancar induksi

4. Mengurangi dosis obat anestesia

5. Mengurangi rasa sakit dan gelisah

 Obat Antikholinergik

1. Sulfas Atropin

Obat golongan antikholinergik adalah obat-obatan yang

berkhasiat menekan aktivitas kholinergik atau parasimpatis.8

Mekanisme kerja:9

Menghambat mekanisme kerja asetil kolin pada organ

yang diinervasi oleh serabut saraf otonom para simpatis atau

serabut saraf yang mempunyai neurotransmitter asetilkholin.

Obat ini juga menghambat muskarinik secara kompetitif

yang ditimbulkan oleh asetil kholin pada sel efektor organ

terutama pada kelenjar eksokrin, otot polos dan otot jantung.


13

Cara pemberian dan dosis

 Intramuskular, dosis 0,01 mg/kgBB, diberikan 30-45 menit

sebelum induksi.

 Intravena, dengan dosis 0,005 mg/kgBB, diberikan 10-15

menit sebelum induksi.7

 Obat Sedative

1. Midazolam

Mekanisme kerja:

Sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan

spesifitas yang tinggi pada reseptor benzodiazepin, sehingga

mempertinggi daya hambat neurotransmiter susunan saraf pusat

diresptor GABA sentral. Mempunyai efek sedasi dan anticemas

yang bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS serta bisa

menimbulkan amnesia anterograd.8,9

Cara pemberian dan dosis :

Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2

mg/kgBB. Pada dosis intravena diberikan 2 mg disusul setelah 2

menit meningkatkan 0,5-1 mg bila sedasi tidak memadai.7


14

 Obat anti emetik

1. Ondancentron

Mekanisme Kerja :

Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin

(5-HT3) merupakan obat yang selektif menghambat ikatan

serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat anestesi akan

menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa

enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-

HT3 dapat merangsang area postrema menimbulkan muntah.

Pelepasan serotonin akan diikat reseptor 5-HT3 memacu aferen

vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah. Serotonin juga

dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang

merangsang distensi gastrointestinal.7

Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3

mg/kgBB masih aman, clearance ondansetron pada wanita dan

orang tua lebih lambat dan bioavailabilitasnya 60%, ikatan

dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar, diekskresi melalui

ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30

menit, lama aksi 6-12 jam. 7


15

Cara pemberian dan dosis :

Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau

intramuskuler. Awal kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara

perlahan melalui intravena atau infus untuk 15 menit sebelum

tindakan operasi.

Dosis premedikasi : 4-8 mg IV9

2. Ranitidin

Mekanisme Kerja

Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan

reversible. Reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung

sehingga pada pemberian ranitidine sekresi asam lambung

dihambat, Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan

perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun. 9

Cara pemberian dan dosis :

Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa

adalah 50 mg setiap 6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat

ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun

tidak boleh melebihi 400 mg perhari. 8,9


16

 Obat Analgetik

1. Ketorolak

Mekanisme Kerja

Ketorolak menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya

menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase).

Selain menghambat sintese prostaglandin, juga menghambat

tromboksan A2. ketorolak tromethamine memberikan efek anti

inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh

darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan

menghambat migrasi leukosit polimorfonuklear dan makrofag ke

tempat peradangan. 9

Cara pemberian dan dosis :

Untuk injeksi intravena :

 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 30 mg Ketorolak


/dosis.

 Pasien dengan umur >65 tahun dan mempunyai riwayat gagal


ginjal atau berat badannya kurang dari 50 kg, diberikan dosis 15

mg/dosis.

Pemberian ketorolac tromethamine baik secara injeksi maupun

oral maksimal :
17

 Pasien dengan umur <65 tahun diberikan dosis 120 mg/hari.

Bila diberikan dengan injeksi intravena, maka diberikan setiap 6

jam sekali.

 Pasien dengan umur >65 tahun maksimal 60 mg/hari. 7,8

2.3.2. Obat Anestesi Intravena


1. Fentanyl

Merupakan obat narkotik sintetik yang paling banyak digunakan

dalam praktek anestesiologi. Mempunyai potensi 1000 kali lebih kuat

dibandingkan dengan petidin dan 50-100 kali lebih kuat dari morfin.

Mulai kerjanya cepat dan masa kerjanya pendek. Pada awalnya akan

digunakan sebagai obat analgesia nerolept yang dikombinasikan

dengan doperidol yang dikenal dengan nama “inovar”.7,8

Farmakodinamik

Fentanyl adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan

sebagai tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan

anastetik.Fentanyl memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang

lebih 30 menit setelah dosis tunggal IV 100mcg. Fentanyl bergantung

dari dosis dan kecepatan pemberian bisa menyebabkan rigiditas otot,

euforia, miosis dan bradikardi.9


18

Farmakokinetik

Sebagai dosis tunggal, fentanyl memiliki onset kerja yang cepat

dan durasi yang lebih singkat dibanding morfin.Disamping itu juga

terdapat jeda waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanil

plasma, dan konsentrasi puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu

ini memberi efek waktu Equilibration antara darah dan otak selama

6,4 menit. 8,9

Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat

mengakibatkan Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin,

yang memudahkan perjalanan obat menuju sawar darah

otak.Dikarenakan durasi dan kerja dosis tunggal fentanil yang cepat,

mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak aktif menjadi lebih

cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini menjadi

dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.8,9

Metabolisme

Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi

Norfentanil yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi

fentanil pada ginjal dan terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah

dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di metabolisme di hati, dan kurang

lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan dalam 24 jam dan hanya

10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.8,9

Eliminasi dan paruh waktu


19

Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi

dari paruh waktu lebih panjang dari morfin.Ini dikarenakan fentanyl

mempunyai Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan

perjalanan cepat menuju jaringan.Konsentrasi plasma fentanil

dipertahankan oleh uptake dari jaringan yang lambat, yang

memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan paralel

dengan eliminasi paruh waktunya.

Eliminasi paruh waktu pada orang tua lebih panjang ,

dikarenakan klirens opiodi berkurang, disebabkan menurunnya aliran

darah hepatik, aktifitas enzym microsome atau produksi albumin (

fentanyl 79 % - 87% terikat kepada protein).

Cara pemberian dan dosis :

Untuk suplemen analgesia ,1-2 mcg/kgBB. Intravena

Untuk induksi anestesia, 100-200 mcg/kgBB intravena

2. Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profenol

yang banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Obat ini relatif

baru dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan, dikemas dalam

bentuk ampul, berisi 20ml/ampul, yang mengandung 10mg/ml.

penurunan kesadaran segera terjadi setelah pemberian obat ini secara

intravena.8,9
20

Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor

gamma aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur

ligand-gate ion channel lainnya.Propofol dianggap memiliki efek

sedative hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA

adalah salah satu neurotransmitter penghambat di SSP. 8,9

Ketika reseptor GABA diaktifasi, penghantar klorida

transmembaran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di

membran sel post sinaps dan menghambat fungsi neuron post

sinaps.Interaksi propofol dengan reseptor komponen spesifik reseptor

GABA menurunkan neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA

meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi melalui

chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.8,9

Farmakokinetik

Propofol dengan cepat diabsorbsi tubuh dan didistribusikan

dari darah ke jaringan.Distribusi propofol melalui 2 fase.Dengan fase

kedua merupakan fase yang lebih lambat karena terjadi metabolisme

di hati yang signifikan (konjugasi) sebelum diekskresi lewat

urin.Lebih kurang 2% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui

feses.Propofol dapat menembus plasenta dan diekskresi melalui

susu.Setelah dosis bolus diberikan, terjadi keseimbangan dengan cepat

antara plasma dan otak yang menggambarkan kecepatan onset

anestesi.8,9
21

Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif

hepatik oleh cytochrome P-450.Namun metabolisme tidak hanya

dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.Metabolisme hepatik

lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut

air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui

ginjal.Propofol membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom

P450.Propofol yang berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronide

menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3

efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui

urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting

sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama

8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time

adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme

propofol yang cepat ketika infus dihentikan sehingga obat kembali

dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.8,9

Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang

menunjukkan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.

Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum

alkohol dan yang tidak. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi

metabolisme bersihan propofol dan selama pengamatan lebih dari 34

tahun metabolisme propofol dimetabolisme di urin hanya 24 jam

pertama. 8,9
22

Farmakodinamik

Efek pada Susunan Saraf Pusat

Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap

oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intrakranial (TIK).Pada

pasien dengan TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang

berhubungan dengan penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10

%). Pemberian fentanyl dosis rendah bersama dengan propofol dosis

suplemen mencegah kenaikan TIK pada intubasi endotrakeal.8,9

Efek pada Sistem Respiratorik

Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan

penyakit paru obstruktif kronik.Terdapat resioko apnea sebesar 25%-

35% pada pasien yang mendapat propofol.Pemberian agen opioid

sebagai premedikasi meningkatkan resiko apnea.Infus propofol

menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan.Respon

pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon dioksida

dan hipoksemia.Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan

menurunkan resiko terjadinya wheezing pada pasien

asma.Konsentrasi sedasi propofol menyebabkan penurunan respon

hiperkapneia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.8,9


23

Efek pada Sistem Kardiovaskuler

Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik dari pada

thiopental.Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan

volume kardiak dan resistensi pembuluh darah.Relaksasi otot polos

pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis

vasokontriksi.

Efek pada fungsi hepar dan ginjal

Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai

dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin.Infus propofol

yang lama menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis

laktat.Infus propofol yang lama menyebabkan urin berwarna

kehijauan akibat adanya rantai phenol.Namun perubahan warna urin

ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat

meningkat pada pasien yang mendapatkan propofol yang ditandai

dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin

yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.8,9

Cara pemberian dan dosis :

Induksi anestesia, dosisnya 2-2,5 mg/kgBB.8

3. Pentotal

Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang

lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton


24

Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat

short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki

onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah

mencapai puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi

mulai menurun di otak dan kesadaran kembali seperti semula.9 Dosis

yang banyak atau dengan menggunakan infus akan menghasilkan efek

sedasi dan hilangnya kesadaran.8,9

Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana

barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada

sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu

jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang

beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa

fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat

secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.8,9

Farmakokinetik

Absorbsi

Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan

secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan

anak – anak.Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau

metoheksital untuk induksi pada anak – anak.Sedangkan


25

phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada

semua kelompok umur.8,9

Distribusi

Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh

jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan

lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami

difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak.8,9

Metabolisme

Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.8,9

Ekskresi

Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana

eliminasi terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak – anak terjadi 6

ml/kg/menit.8,9

Farmakodinamik

Pada Sistem saraf pusat

Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan

hiperalgesia pada dosis subhipnotik, menghasilkan penurunan


26

metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang

tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.8,9

Mata

Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi

thiopental atau methohexital.Biasanya diberikan suksinilkolin setelah

pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke

nilai sebelum induksi.8,9

Sistem kardiovaskuler

Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat

meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat

tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan

karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung

turun, dan dilatasi pembuluh darah.8,9

Sistem pernafasan

Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas terhadap

CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume tidal

bahkan dapat sampai menyebabkan terjadinya asidosis respiratorik.8,9


27

Dosis dan cara pemakaian :

Untuk induksi, dibuat larutan dalam akuades atau NACL 0,9 %

dengan kosentrasi 2,5% atau 5,0%. Dosis untuk induksi adalah 4-

5ml/kgBB, diberikan IV pelan.Pada anak, orang tua dan pasien

malnutrisi, dilakukan modifikasi dosis.

2.3.3. Obat Anestesia Umum Inhalasi

1. Isofluran

Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak

berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik

untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya relatif cepat

dari semua obat – obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini

tapi masih lebih lambat dibandingkan dengan sevofluran.9

Sama seperti halotan, isofluran digunakan terutama sebagai

komponen hipnotik dalam pemeliharaan anestesi umum.Disamping

efek hipnotik, juga mempunyai efek analgetik ringan dan relaksasi

otot ringan. 9

Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Isofluran merupakan halogenasi eter dan secara kimia sangat

mirip dengan metoksifluran dan sevofluran.Rentang keamanan

isofluran lebih lebar dibandingkan halotan dan metoksifluran.

Penggunaaan isofluran pada dosis anestesi atau subanestesi


28

menurunkan metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi akan

meningkatkan aliran darah di otak dan tekanan intrakranial, sehingga

menjadi pilihan pada pembedahan otak.9,

Isofluran yang terhirup dieksresikan dalam bentuk tidak berubah

melalui paru-paru. Sedikit hasil penguraian isofluran yang dihasilkan

tidak cukup untuk menimbulkan toksisitas pada ginjal, hati atau organ

lain. Isofluran tidak menunjukkan sifat mutagen, teratogen atau

karsinogen.9,

Isofluran memiliki Minimal Alveolar Concentration (MAC)

dalam oksigen sebesar 1,15% atm dan dalam 70% oksida nitrosa

sebesar 0,5%. MAC adalah konsentrasi agen inhalasi minimal yang

dapat mencegah gerakan pada 50% pasien terhadap respon timulus

standar (irisan operasi pertama). 9,

Induksidengan isofluran relatif cepat tetapi isofluran dapat

mengiritasi jalan nafas biladigunakan pada awal induksi dengan

masker pada konsentrasi tinggi.Induksilambat direkomendasikan

untuk mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk menghindari

tahan nafas dan batuk.9

Pengaruh terhadap jantung dan curah jantung (cardiac output)

sangat minimal, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan

kelainan jantung.Potensi isofluran lebih kecil dibandingkan halotan

karena mempunyai nilai MAC lebih tinggi dibandingkan halotan.


29

Pemeliharaan anestesi dengan isofluran biasanya digunakan

konsentrasi 1,5 – 2,5 % isofluran dalam oksigen.9

Koefisien partisi darah atau gas adalah 1,4. Kelarutan yang

menengah dalam darah ini dikombinasikan dengan potensi yang tinggi

berarti suatu induksi anestesia yang cepat. Setelah pemberian 30

menit, rasio konsentrasi alveolar terhadap konsentrasi yang diinspirasi

adalah 0,73. 9

Gambar 2.6 MAC

Isofluran menyebabkan peningkatan sedang dalam

PaCO2(sekitar 20%) mencerminkan peningkatan dalam kecepatan

pernapasan yang tidak cukup untuk mengimbangi penurunan dalam

volume tidal.Tidak seperti anestetik inhalasi lainnya, di atas

konsentrasi 1 MAC isofluran tidak menghasilkan peningkatan lebih

lanjut dari kecepatan pernapasan.Isofluran menimbulkan penurunan

tekanan darah arteri terkait dosis terutama melalui vasodilatasi perifer.

Isofluran juga meningkatkan nadi 20% di atas kadar terjagan di atas

MAC tidak tergantung dosis. 9


30

Dosis

 Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah

2.0-3.0% bersama – sama dengan N2O.

 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya

berkisar antara 1.0-2,5%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar

antara 0,5-1,0%.9

2. Sevofluran

Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak

berwarna, tidak eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik

untuk induksi inhalasi. Proses induksi dan pemulihannya paling cept

dari semua obat – obatan anesthesia inhalasi yang ada pada saat ini. 9

Farmakokinetik

Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi

dengan fluorine.Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi

daripada desflurane (0.65 vs 0.42).Sevoflurane merupakan agen

inhalasi yang wangi dengan peningkatan konsentrasi di alveolar yang

cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai obat induksi

pada pasien pediatrik dan dewasa.Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-

8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside

dapat dicapai dalam waktu 1-3 menit.9

Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang

mengakibatkan penurunan konsentrasi di alveolar segera setelah


31

dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih cepat jika dibandingkan

dengan isoflurane.Namun fase pulih sadar yang cepat ini telah

dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska

pembedahan yang dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB. MAC

Sevoflurane terlihat pada tabel di bawah ini. MAC sevoflurane untuk

pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun adalah 2,5%.

Sedangkan untuk pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC

sevoflurane adalah 3,2-3,3%.9

Gambar 2.7. MAC

Metabolisme

Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL

sebanyak 2-5% dengan metabolik produk utama fluoride inorganic

dan hexafluoroisopropanolol (HFIP).HFIP tidak diikat oleh protein

hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya toksisitas pada hati.HFIP

dengan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan kemudian

diekskresi.Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP


32

tidak dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi

HFIP dikeluarkan melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam

24 jam. Metabolit sevoflurane yang paling penting adalah fluorida

inorganik. 9

Efek terhadap sistem organ

Kardiovaskuler dan Sistem Pernapasan

Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard

yang ringan.Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial

lebih sedikit menurun jika dibandingkan dengan isoflurane atau

desflurane.Karena sevoflurane memiliki efek yang minimal pada nadi,

maka jika terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat terjaga

dengan sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane.

Sevoflurane mungkin dapat memperpanjang interval QT. pada sistem

pernafasan evoflurane mendepresi pernafasan dan mengakibatkan

bronkodilatasi hampir sama halnya seperti isoflurane. 8,9

Otak dan Neuromuskular

Pada penelitian secara klinis, perubahan-perubahan pada

neurohemodinamik (CBF, CMRO2 dan CPP) sebanding antara

sevoflurane dan isoflurane.Sevoflurane mempunyai efek minimal

pada ICP dan reaksi terhadap CO2 tetap dipertahankan.8,9


33

Ginjal dan Hepatik

Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ke

ginjal.padahepatik Sevoflurane menurunkan aliran darah vena porta,

namun ,meningkatkan aliran darah arteri hepatik sehingga tetap

menjaga aliran darah ke hati dan suplai oksigen.8,9

Dosis

 Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi

adalah 3.0-5.0% bersama – sama dengan N2O.

 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya

berkisar antara 2.0-3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar

antara 0,5-1,0%.9

3. Nitrous Oksida (N2O)

Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak

iritatif, tidak berasa, lebih berat dari udara, tidak mudah

terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda lime absorber

(pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi

dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut

dalam darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh

karena itu pada operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan

zat relaksasi otot.8,9

Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi

nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous
34

Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh. Hipoksia

difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi

beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya

dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan

dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah

sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.8,9

Walaupun N2O dikatakan sebagai obat anestetik non toksik an

mempunyai pengaruh yang sangat minimal pada system organ seperti

tersebut diatas, kadang – kadang terjadi juga efek samping seperti

berikut :8,9

1. N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton

terutama setelah diberikan premedikasi narkotik.

2. Kehilangan pendengaran pasca anestesi, hal ini disebabkan karena

adanya perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi

perubahan tekanan pada rongga telinga tengah.

3. Pemanjangan proses pemulihan anestesi akibat difusinya ketubuh

seperti misalnya pneumothoraks.

4. Pemakain jangka panjang menimbulkan depresi sum – sum tulang

sehingga bias menyebabkan anemia aplastik.


35

2.3.4. Obat-obat Pelumpuh Otot

Obat pelumpuh otot dibagi menjadi dua kelas yaitu pelumpuh

otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) dan nondepolarisasi

(kompetitif, takikurare). Obat pelumpuh otot depolarisasi sangat

menyerupai asetilkolin, sehingga ia bisa berikatan dengan reseptor

asetilkolin dan membangkitkan potensial aksi otot. Akan tetapi obat

ini tidak dimetabolisme oleh asetilkolinesterase, sehingga

konsentrasinya tidak menurun dengan cepat yang mengakibatkan

perpanjangan depolarisasi di motor-end plate. Perpanjangan

depolarisasi ini menyebabkan relaksasi otot karena pembukaan kanal

natrium bawah tergantung waktu, Setelah eksitasi awal dan

pembukaan, pintu bawah kanal natrium ini akan tertutup dan tidak

bisa membuka sampai repolarisasi motor-end plate. Motor end-plate

tidak dapat repolarisasi selama obat pelumpuh otot depolarisasi

berikatan dengan reseptor asetilkolin; Hal ini disebut dengan phase I

block. Setelah beberapa lama depolarisasi end plate yang memanjang

akan menyebabkan perubahan ionik dan konformasi pada reseptor

asetilkolin yang mengakibatkan phase II block, yang secara klinis

menyerupai obat pelumpuh otot nondepolarisasi. 9

Obat pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor

asetilkolin akan tetapi tidak mampu untuk menginduksi pembukaan

kanal ion. Karena asetilkolin dicegah untuk berikatan dengan


36

reseptornya, maka potensial end-plate tidak terbentuk. Karena obat

pelumpuh otot depolarisasi tidak dimetabolisme oleh

asetilkolinesterase, maka ia akan berdifusi menjauh dari

neuromuscular junction dan dihidrolisis di plasma dan hati oleh enzim

pseudokolinesterase. Sedangkan obat pelumpuh otot nondepolarisasi

tidak dimetabolisme baik oleh asetilkolinesterase maupun

pseudokolinesterase. Pembalikan dari blockade obat pelumpuh otot

nondepolarisasi tergantung pada redistribusinya, metabolisme,ekskresi

oleh tubuh dan administrasi agen pembalik lainnya

(kolinesteraseinhibitor).

1. Pelumpuh Otot Depolarisasi

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di

celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga

bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang

ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk

golongan ini adalah suksinilkolin (diasetil-kolin) dan dekametonium.

Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase

plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti

kolinesterase (prostigmin) dikontraindikasikan karena menghambat

kerja pseudokolinesterase.8,9
37

a. Suksinilkolin (diasetilkolin, suxamethonium)

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang

bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat (30-60 detik) dan

duration of action yang pendek (kurang dari 10 menit). Ketika

suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh

pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat

efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang

mencapai neuromuscular junction. Duration of action akan

memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal,

seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase.

Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan,

penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa

orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang

menyebabkan blokade yang memanjang.8,9

1) Interaksi obat

a) Kolinesterase inhibitor

Kolinesterase inhibitor memperpanjang fase I block pelumpuh

otot depolarisasi dengan 2 mekanisme yaitu dengan menghambat

kolinesterase, maka jumlah asetilkolin akan semakin banyak, maka

depolarisasi akan meningkatkan depolarisasi. Selain itu, ia juga akan

menghambat pseudokolinesterase.
38

b) Pelumpuh otot nondepolarisasi

Secara umum, dosis kecil dari pelumpuh otot nondepolarisasi

merupakan antagonis dari fase I bock pelumpuh otot depolarisasi,

karena ia menduduki reseptor asetilkolin sehingga depolarisasi oleh

suksinilkolin sebagian dicegah.8,9

1) Dosis

Karena onsetnya yang cepat dan duration of action yang

pendek, banyak dokter yang percaya bahwa suksinilkolin masih

merupakan pilihan yang baik untu intubasi rutin pada dewasa. Dosis

yang dapat diberikan adalah 1 mg/kg IV.

2) Efek samping dan pertimbangan klinis

Karena risiko hiperkalemia, rabdomiolisis dan cardiac arrest

pada anak dengan miopati tak terdiagnosis, suksinilkolin masih

dikontraindikasikan pada penanganan rutin anak dan remaja. Efek

samping dari suksinilkolin adalah :

 Nyeri otot pasca pemberian

 Peningkatan tekanan intraokular

 Peningkatan tekakana intrakranial

 Peningkatan tekakanan intragastrik

 Peningkatan kadar kalium plasma

 Aritmia jantung

 Salivasi
39

 Alergi dan anafilaksis

2. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi

a. Pavulon

Pavulon merupakan steroid sintetis yang banyak digunakan. Mulai

kerja pada menit kedua-ketiga untuk selama 30-40 menit. Memiliki

efek akumulasi pada pemberian berulang sehingga dosis rumatan harus

dikurangi dan selamg waktu diperpanjang. Dosis awal untuk relaksasi

otot 0,08 mg/kgBB intravena pada dewasa. Dosis rumatan setengah

dosis awal. Dosis Intubasi trakea 0,15 mg/kgBB intravena. Kemasan

ampul 2 ml berisi 4 mg pavulon.8,9

b. Atracurium

1) Struktur fisik

Atracurium mempunyai struktur benzilisoquinolin yang berasal

dari tanaman Leontice Leontopeltalum. Keunggulannya adalah

metabolisme terjadi di dalam darah, tidak bergantung pada fungsi hati

dan ginjal, tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian

berulang.8,9

2) Dosis

0,5 mg/kg iv, 30-60 menit untuk intubasi. Relaksasi intraoperative

0,25 mg/kg initial, laly 0,1 mg/kg setiap 10-20 menit. Infuse 5-10

mcg/kg/menit efektif menggantikan bolus.


40

Lebih cepat durasinya pada anak dibandingkan dewasa.

Tersedia dengan sediaan cairan 10 mg/cc. disimpan dalam suhu 2-8OC,

potensinya hilang 5-10 % tiap bulan bila disimpan pada suhu ruangan.

Digunakan dalam 14 hari bila terpapar suhu ruangan.

3) Efek samping dan pertimbangan klinis

Histamine release pada dosis diatas 0,5 mg/kg

c. Vekuronium

1) Struktur fisik

Vekuronium merupakan homolog pankuronium bromida yang

berkekuatan lebih besar dan lama kerjanya singkat Zat anestetik ini

tidak mempunyai efek akumulasi pada pemberian berulang dan tidak

menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskuler yang bermakna.8,9

2) Metabolisme dan eksresi

Tergantung dari eksresi empedu dan ginjal. Pemberian jangka

panjang dapat memperpanjang blokade neuromuskuler. Karena

akumulasi metabolit 3-hidroksi, perubahan klirens obat atau terjadi

polineuropati.

Faktor risiko wanita, gagal ginjal, terapi kortikosteroid yang lama

dan sepsis. Efek pelemas otot memanjang pada pasien AIDS. Toleransi

dengan pelemas otot memperpanjang penggunaan.8,9


41

3) Dosis

Dosis intubasi 0,08 – 0,12 mg/kg. Dosis 0,04 mg/kg diikuti 0,01

mg/kg setiap 15 – 20 menit. Drip 1 – 2 mcg/kg/menit.

Umur tidak mempengaruhi dosis. Dapat memanjang durasi pada

pasien post partum. Karena gangguan pada hepatic blood flow.

Sediaan 10 mg serbuk. Dicampur cairan sebelumnya.8,9

d. Rekuronium

1) Struktur Fisik

Zat ini merupakan analog vekuronium dengan awal kerja lebih

cepat. Keuntungannya adalah tidak mengganggu fungsi ginjal,

sedangkan kerugiannya adalah terjadi gangguan fungsi hati dan efek

kerja yang lebih lama.8,9

2) Metabolisme dan eksresi

Eliminasi terutama oleh hati dan sedikit oleh ginjal. Durasi

tidak terpengaruh oleh kelainan ginjal, tapi diperpanjang oleh kelainan

hepar berat dan kehamilan, baik untuk infusan jangka panjang (di

ICU). Pasien orang tua menunjukan prolong durasi.8,9

3) Dosis

Potensi lebih kecil dibandingkan relaksant steroid lainnya.

0,45 – 0,9 mg / kg iv untuk intubasi dan 0,15 mg/kg bolus untuk

rumatan. Dosis kecil 0,4 mg/kg dapat pulih 25 menit setelah intubasi.
42

Im ( 1 mg/kg untuk infant ; 2 mg/kg untuk anak kecil) adekuat pita

suara dan paralisis diafragma untuk intubasi. Tapi tidak sampai 3 – 6

menit dapat kembali sampai 1 jam. Untuk drip 5 – 12 mcg/kg/menit.

Dapat memanjang pada pasien orang tua.8,9

4) Efek samping dan manifestasi klinis

Onset cepat hampir mendekati suksinilkolin tapi harganya mahal.

Diberikan 20 detik sebelum propofol dan thiopental.

Rocuronium (0,1 mg/kg) cepat 90 detik dan efektif untuk

prekurasisasi sebelum suksinilkolin. Ada tendensi vagalitik.8,9

2.3.5. Anestesi dibagi menjadi 3 jenis kelompok besar anestesi, antara lain

sebagai berikut: 7,8

1. Anestesia Umum : suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang

diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat

anestesia. Teknik anestesia umum terdiri dari:

a. Anestesia umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesia

umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia

parenteral langsung dalam pembuluh darah vena.

b. Anestesia umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesia

umum yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat

anestesia inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah
43

menguap melalui alat atau mesin anestesia langsung ke udara

inspirasi. Berbagai teknik anestesia umum inhalasi, yaitu:

 Inhalasi dengan Respirasi Spontan:

 Sungkup wajah

 Intubasi endotrakeal

 Laryngeal mask airway (LMA)

 Inhalasi dengan Respirasi kendali

 Intubasi endotrakeal

 Laryngeal mask airway

c. Anestesia imbang : merupakan teknik anestesia dengan

mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena

maupun obat anestesia inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum

dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesia secara

optimal dan berimbang.

2. Anestesia Lokal : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat

anestesia lokal pada daerah atau disekitar lokasi pembedahan yang

menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.

3. Anestesia Regional : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestesia lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu,

yang menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.


44

2.4. GENERAL ANESTESI OTT

Intubasi orotrakeal ialah memasukkan pipa pernafasan yang terbuat

dari portex ke dalam trakea guna membantu pernafasan penderita atau waktu

memberikan anestesi secara inhalasi.1,3

OTT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung

ke trakea dan memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan

kekerasan OTT dapat diubah dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara

tergantung pada diameter tabung, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang

tabung dan kurvatura.3,4

Gambar 2.2. Pipa Orotrakea

2.4.1 Pipa Orotrakea

Berfungsi mengantar gas anestesik langsung ke dalam trakea

dan biasanya dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Ukuran

diameter lubang pipa trakea dalam milimeter. Karena penampang

trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang melintang

trakea bayi dan anak kecil di bawah usia 5 tahun hampir bulat

sedangkan dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi dan anak kecil

digunakan tanpa cuff dan untuk anak besar dan dewasa dengan cuff

supaya tidak bocor. 10


45

Gambar 2.3. Berbagai Jenis Pipa OTT

Ukuran pipa trakea dapat dihitung menggunakan rumus 4+ N

(usia) : 4. Sering ukuran pipa trakea yang digunakan pada wanita

dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan panjang 24 cm. pada pria

dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.10

Gambar 2.4. Tabel Ukuran Pipa OTT


46

2.4.2 Laringoskop

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru.

Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat laring secara

langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea dengan baik

dan benar. Secara garis besar dikenal dua macam laringoskop:1,10

1. Bilah lurus (straight blades/ Magill/ Miller)

2. Bilah lengkung (curved blades/ Macintosh)

Gambar 2.5. Laringoskop

2.4.3 Indikasi Pemasangan OTT

Pemilihan pemasangan OTT dalam bidang anestesi

berdasarkan indikasi berikut, antara lain:1,10

1. Menjaga jalan nafas yang bebas oleh sebab apapun

2. Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

3. Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

4. Operasi-operasi pada kepala, leher, mulutm hidung dan

tenggorokan

5. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang

tenang dan tak ada ketegangan


47

6. Pada operasi intrathorakal, supaya jalan nafas selalu terkontrol

7. Untuk mencegah kontaminasi trakea

8. Bila dipakai controlled ventilation maka tanpa pipa endotrakeal

dengan pengisian cuffnya dapat terjadi inflasi ke dalam gaster

9. Pada pasien-pasien dengan fiksasi vocal cord.10

2.4.4 Kontraindikasi Pemasangan OTT

Tidak ada kontraindikasi yang absolut ; namun demikian

edema jalan napas bagian atas yang buruk atau fraktur dari wajah dan

leher dapat menjadi kontraindikasi.1

2.4.5 Prosedur pemasangan OTT

Sebelum memulai induksi anestesia, selayaknya disiapkan

peralatan dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga seandainya

terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat dan lebih baik.

Untuk persiapan induksi anestesi sebaiknya kita ingat kata

STATICS:10

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan


jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade)
yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup
terang.
T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini
48

untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk


menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu
supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction Penyedot lendir, ludah danlain-lainnya.

Pemasangan pipa trakea dalam anestesia inhalasi dengan

menggunakan obat pelimpuh otot non depolarisasi, selanjutnya

dilakukan nafas kendali. Adapun prosedur dalam tatalaksana tindakan

sebagai berikut:10

1. Pasien telah dipersiapkan sesuai pedoman dan pemberian

premedikasi (Midazolam 0.01-0.1 mg/KgBB, Ketorolac 0.5

mg/KgBB, Sulfas Atropin 0.005 mg/KgBB, Ondancentron 4 mg

dan Ranitidine 25 mg)

2. Posisikan pasien dengan baik dan nyaman

3. Pasang alat pantau yang diperlukan

4. Siapkan alat-alat dan obat-obat resusitasi

5. Siapkan mesin anestesia dengan sistem sirkuitnya dan gas

anestesia yang dipergunakan


49

6. Induksi pasien dengan menggunakan fentanyl 1-2 mcg/KgBB dan

propofol 2-2.5 mg/KgBB atau hipnotik jenis lain

7. Berikan obat pelumpuh otot non depolarisasi seperti atracurium

0.5-0.5 mg/KgBB lalu tunggu 3 menit

8. Berikan napas bantuan melalui sungkup muka dengan oksigen

100% menggunakan fasilitas mesin anestesia sampai fasikulasi

hilang dan otot rahang relaksasi

9. Lalu pasang laringoskop sesuai ukuran dan pasang OTT sesuai

ukuran yang dibutuhkan

10. Fiksasi OTT dan hubungkan dengan sirkuit mesin anestesia

11. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi N2O : O2 : Sevofluran

= 2L : 2L + 2%

12. Kendalikan napas pasien secara manual atau mekanik dengan

volume dan frekuensi napas disesuaikan dengan kebutuhan pasien

13. Pantau tanda vital secara kontinyu dan ketat

14. Apabila operasi sudah selesai, hentikan aliran gas atau obat

anestesia inhalasi dan berikan oksigen 100% (4-8 liter/menit)

selama 2-5 menit

15. Berikan neostigmin dan atropin (jika diperlukan)

16. Ekstubasi pipa trakea dilakukan apabila pasien sudah bernapas

spontan dan adekuat serta jalan napas (mulut, hidung, dan pipa

endotrakea) sudah bersih, jika belum bersih lakukan suction.


50

Gambar 2.6. Teknik Pemasangan Laringoskop

Gambar 2.7. Teknik Pemasangan OTT

2.4.6 Ekstubasi

Mengeluarkan pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan

tidak disertai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan

gangguan nafas, hipoksia sianosis.10

Ekstubasi adalah tindakan pencabutan pipa endotrakeal.

Ekstubasi dilakukan pada saat yang tepat bagi pasien untuk

menghindari terjadinya reintubasi dan komplikasi lain. Tindakan


51

ekstubasi harus dikerjakan ketika kesadaran pasien belum pulih atau

setelah kesadaran pasien pulih. Tidak boleh dilakukan dalam keadaan

setengah sadar karena bisa menyakiti pasien. Adapun kriteria

dilakukan ekstubasi yaitu: 10

1. Kesadaran yang adekuat untuk mempertahankan reflex

protektif jalan napas dan reflex batuk untuk mempertahankan

jalan napas.

2. Cadangan paru yang adekuat seperti: laju paru <30 kali/menit,

FVC >15 ml/ka, PaO2/FiO2 >200.

3. Pada pasien pasca pembedahan jalan nafas atas atau edema

jalan nafas atas. Edema jalan nafas telah minimal atau ditandai

dengan adanya kebocoran udara yang adekuat setelah cuff

pipa endotrakeal dikosongkan.

4. Pasien bedah plastik atau THT bila memungkinkan

dibicarakan terlebih dahulu dengan dokter bedah plastik atau

THT sebelum ekstubasi.

5. Pasien-pasien khusus seperti pasien PPOK, pasien dengan

kesadaran yang tidak baik membutuhkan diskusi dengan

konsultan yang bertugas untuk melakukan ekstubasi.10

2.4.7 Kesulitan tindakan pemasangan OTT

Dalam tindakan pemasangan OTT, ada beberapa hal yang

dapat mempengaruhi keberhasilan tindakan, yaitu:1


52

1. leher yang pendek

2. Kesulitan membuka mulut

3. Uvula tidak terlihat (malapati 3 dan 4)

4. Abnormalitas pada daerah servikal

5. Kontraktur jaringan leher

2.4.8 Komplikasi Pemasangan OTT

Adapun komplikasi dari tindakan pemasangan OTT yang tidak

diinginkan seperti:10

1. Memar & oedem laring

2. Strech injury

3. Non specific granuloma larynx

4. Stenosis trakea

5. Trauma gigi geligi

6. Laserasi bibir, gusi dan laring

7. Aspirasi

8. Spasme bronkus
53

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS

Nama : Dewa Gde Angga Sawitra

Umur : 22 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

BeratBadan : 47 kg

Alamat : Banjar Kuning

Agama : Hindu

Diagnosis pre operasi : Sinusitis Maksila Dekstra dan Sinistra

Jenis pembedahan : Irigasi Maksila Bilateral

Jenis anestesi : General Anestesi OTT

Tanggal masuk : 12 Desember 2017

Tanggal Operasi : 13 Desember 2017

No.RekamMedis : 265760

3.2 ANAMNESIS

Keluhan utama : Nyeri Pipi

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada pipi sejak 7 hari

yang lalu. Pasien mengeluh pipinya sangat nyeri dan terasa seperti tertusuk.

Sejak 7 hari yang lalu pasien mengeluh sering merasakan pipinya nyeri, awalnya

pasien merasakan sesuatu yang aneh pada tenggorokannya dan pileknya terus
54

menerus sampai akhirnya nyeri pada pipinya, nyeri pada pipinya semakin lama

semakin memberat hingga pasien mengeluhkan kepalanya terasa sakit dan berat.

Pasien sempat berobat ke dokter puskesmas namun tidak kunjung berhenti

akhirnya dirujuk ke rumah sakit umum Bangli.

Riwayat Penyakit Dahulu :

- Riwayat Operasi (-)

- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)

- Riwayat Hipertensi (-)

- Riwayat Asma (-)

- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)

- Riwayat Diabetes mellitus (-)

- Riwayat TB paru (-)

- Riwayat Sakit Jantung (-)

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Riwayat Hipertensi : (-)

- Riwayat Asma (-)

- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)

- Riwayat Diabetes mellitus (-)

- Riwayat TB Paru (-)


55

3.3 PEMERIKSAAN FISIK

B1 (Brain) : Compos mentis, Defisit neurologis (-)

B2 (Breath) : Vesikuler +/+ rhonki -/- wheezing -/-. RR : 19

x/menit, Malampathi : 2 , Obstruksi jalan nafas (-),

T1/T1.

B3 (Blood) : Tekanan Darah :120/80 mmHg, Nadi: 84x/menit, S1

S2 tunggal reguler, murmur (-)

B4 (Blader) : Urine Spontan

B5 (Bowel) : Distensi (-), Bising usus (+) normal

B6 (Bone) : Akral hangat (+), edema (-), Leher panjang,

Tiromental distance > 3 jari, Jarak antar insisivus 3

jari, mobilitas leher baik.

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

LABORATORIUM

Darah Lengkap

WBC : 4,1

RBC : 4.47

HGB : 13.8

HCT : 39,1

PLT : 376

BT : 2’00”

CT : 8’00”
56

Foto Rongen Waters

Hasil pemeriksaan foto Waters

Gambaran sinusitis maxilaris bilateral massif

3.5 KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

maka didapatkan:

Diagnosis pre operatif : Sinusitis Maksilaris Dekstra dan Sinistra

Status operatif : ASA I, Mallampati II

Jenis operasi : Irigasi

Jenis anestesi : General Anastesi OTT dengan napas kendali


57

3.6 PENATALAKSANAAN

Pada pasien dengaan status fisik ASA 1 dilakukan tindakan anestesi dan

diberikan terapi anestesi yaitu :

a. Pramedikasi :

Sedatif : Midazolam 0,05-0,1 mg/KgBB 2 mg (IV)

Analgetik : Ketorolac 0,5mg/KgBB  30 mg (IV)

Antiemetik : Ondancentron 0,05-0,1 mg/KgBB  4 mg (IV)

Ranitidine 1-2 mg/KgBB 50 mg (IV)

Antikolinergik : Sulfas Atropin 0,15 mg (IV)

b. Induksi :

Fentanyl 1-2 µg/KgBB  100 µg (IV)

Propofol 2-2,5mg/KgBB150 mg (IV)

Atrakurium 0,5-0,6mg/KgBB25 mg (IV)

c. Intubasi : Laringoskop blade no 4

Endotracheal Tube kinking no 7

d. Maintenence : N2O : O2 : Sevofluran : 3L : 2L : 2 vol%

e. Pemantauan Selama Anestesi

Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu

reaksi pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi

pernapasan dan jantung.

Kardiovaskular : Nadi dan tekanan darah setiap 5 menit.

Respirasi : Inspeksi pernapasan & saturasi oksigen


58

Cairan : Monitoring input cairan

3.7. ANALGETIK POST OP

1. Paracetamol 3 x500 mg
59

BAB IV

PEMBAHASAN

Dari hasil kunjungan pra anestesi baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik

akan dibahas masalah yang timbul, baik dari segi medis, bedah maupun anestesi.

Pasien, An. DGAS, 22 tahun datang ke ruang operasi untuk menjalani operasi

Irigasi Sinusitis Maxilaris D/S pada tanggal 13 Desember 2017 dengan diagnosis pre

operatif Sinusitis Maxilaris D/S. Persiapan operasi dilakukan pada tanggal 12

Desember 2017. Dari anamnesis terdapat keluhan nyeri pada pipi seperti tertusuk-

tusuk dan nyeri terasa hingga ke kepala sejak 7 hari terakhir dan bertambah berat

sejak 2 hari yang lalu. Karena pipinya terasa sangat nyeri, dokter menganjurkan

untuk dilakukan operasi irigasi. Pemeriksaan fisik dari tanda vital didapatkan

tekanan darah 120/80 mmHg; nadi 84x/menit; respirasi 18x/menit; suhu 36,8OC.

Dari pemeriksaan laboratorium yang dilakukan tanggal 12 Desember 2017 dengan

hasil: Hb 13,5 g/dl. Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang disimpulkan bahwa pasien masuk dalam ASA I.

Sebelum dilakukan operasi pasien dipuasakan selama 8 jam. Tujuan puasa

untuk mencegah terjadinya aspirasi isi lambung karena regurgitasi atau muntah pada

saat dilakukannya tindakan anestesi akibat efek samping dari obat- obat anastesi

yang diberikan sehingga refleks laring mengalami penurunan selama anestesia.

Penggantian puasa juga harus dihitung dalam terapi.


60

Pemilihan teknik anestesi umum dengan pemasangan OTT pada pasien

ini dengan rencana irigasi sinus maksilaris. Alasan pemilihan teknik anestesi

ini berdasarkan indikasi sebagai berikut:

 Posisi pasien saat operasi adalah terlentang

 Durasi operasinya singkat dan factor resiko lebih rendah

 Tindakan operasi dilakukan yaitu irigasi sinus maksilaris dengan manipulasi

sedang dan membutuhkan waktu yang relatif lumayan lama

 Pada pemeriksaan fisik dan penunjang diketahui bahwa keadaan pasien baik

 Lambung dalam keadaan kosong

 Tidak adanya manipulasi kepala

Operasi Irigasi dilakukan pada tanggal 13 Desember 2017. Pasien masuk

keruang OK pada pukul 9.45 WITA dilakukan pemasangan monitoring

tekanan darah, nadi, saturasi O2 dengan hasil TD 110/70 mmHg; Nadi 84

x/menit, dan SpO2 98%.

Pada pasien ini, obat-obatan yang dipilih adalah sebagai berikut:

a. Premedikasi

Analgesik : ketorolak injeksi 30 mg (IV)

Konsentrasi 30 mg/ml dalam dalam 1 Ampul 1 ml

Diberikan secara intravena.Dosis untuk bolus intravena harus

diberikan selama minimal 15 detik.Mulai timbulnya efek analgesia

setelah pemberian IV maupun IM serupa, kira-kira 30 menit, dengan

maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam.Durasi median


61

analgesia umumnya 4 sampai 6 jam. Dosis awal yang dianjurkan adalah

10 mg diikuti dengan 10–30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan

dosis maks 90mg/hari, pada manula, gangguan faal ginjal, dan BB

<50kg dibatasi maks 60mg/hari. Efek pemberian obat ini yaitu

menghambat biosintesis prostaglandin di perifer tanpa mengganggu

reseptor opioid di sistem saraf pusat dimana mekanisme kerjanya

menghambat enzim siklooksogenase (COX 1). Selain menghambat

sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2 sehingga

memiliki efek anti inflamasi. Pada pasien ini diberikan ketorolac injeksi

30 mg IV dengan tujuan untuk mendapatkan efek analgesia yang

terkandung dalam ketorolac sehingga dapat mengurangi nyeri pada

pasien.

 Antiemetik : ondancentron injeksi 4 mg (IV)

Konsentrasi 4 mg/2ml dalam 1 Ampul 2 ml, dosis 0,05-01

mg/kgBB

Ondansentron, sebagai anti emetic, suatu antagonis selektif 5-

HT3, menghambat serotonin dan bekerja berdasarkan mekanisme

sentral dan perifer. Mekanisme sentral dengan mempertinggi ambang

rangsang muntah di chemoreceptor trigger zone. Mekanisme perifer

dengan menurunkan kepekaan saraf vagus terminalis di visceral yang

menghantar impuls eferen dari saluran cerna ke pusat muntah.Onset 30

menit, dengan durasi 3 jam.


62

 Ranitidine injeksi 50 mg (IV)

Konsentrasi 50 mg/2 ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 1-2

mg/kgBB

Efek pada GIRanitidine bekerja dengan menghambat secara

kompetitif reseptor histamin H2 menghambat kerja histamin secara

kompetitif pada reseptor H2 dan mengurangi sekresi asam

lambung.Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa

adalah 50 mg setiap 6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan

dengan meningkatkan frekuensi pemberian, namun tidak boleh

melebihi 400 mg perhari.

 Pada pasien ini diberikan ondancentron 4 mg (IV) dan ranitidine injeksi 50

mg (IV) untuk mendapatkan efek emetic sehingga pasien tidak merasakan

mual ataupun muntah saat dilakukan induksi operatif ataupun pasca operatif

serta dapat menimbulkan rasa nyaman, selain itu juga dapat mencegah agar

tidak terjadinya aspirasi ke paru-paru.

 Berdasarkan teori premedikasi seharusnya pasien diberikan obat golongan

sedatif yaitu midazolam 0,01-0,1 mg/kgBB dengan tujuan untuk

mendapatkan efek sedative dari obat tersebut sehingga pasien akan merasa

nyaman dan tidak takut saat berada diruang operasi yang dimana juga untuk

mencapai tujuan dari premedikasi itu sendiri. Pemberian sedatif ini perlu

diberikan karena apabila pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi

mengalami kecemasan atau ketakutan akan mempengaruhi tekanan darah,


63

nadi dan proses anestesi yang akan dilakukan. Namun pemberian sedative ini

merupakan hal yang subyektif. Pada pasien ini tidak diberikan obat sedatif

karena pertimbangan usia dan pasien dalam kondisi tenang pada saat masuk

ruang operasi.

b. Induksi
 Fentanyl injeksi 100 mcg (IV)

Konsentrasi 0,05 mg/ml dalam 1 ampul 2 ml, dosis 12mcg/kgBB

Fentanyl, golongan obat opioid analgetik poten yang terutama bekerja

sentral pada sistem saraf pusat, sehingga mengakibatkan meningkatnya

ambang batas nyeri, mengurangi persepsi nyeri menghambat serabut

saraf nyeri ascending, menyebabkan depresi nafas dan sedasi.Pada dosis

lazim kesadaran pasien menurun dan khasiat analgetiknya yang

kuat.Onset 30 – 120 detik dengan durasi 30 – 60 menit. Dosis 1 – 2

mcg/kgBB IV

 Propofol injeksi 100 mg (IV)

Konsentrasi 10 mg/ml dalam 1 ampul berisi 20 ml, dosis pemberian

2-2,5mg/kg/BB. Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik

melalui interaksinya dengan reseptor GABA dengan cara meningkatkan

GABA. Pada pemberian dosis induksi (2 mg/kgBB), pemulihan

kesadaran berlangsung cepat, pasien akan bangun 4-5 menit tanpa

disertai efek samping. Khasiat farmakologinya adalah hipnotik murni,

tidak mempunyai efek analgetik maupun relaksasi otot. Walaupun terjadi


64

penurunan tonus otot rangka, hal ini disebabkan oleh efek sentralnya

Induksi anestesia 2,0-2,5 mg/kgBB. Pada bayi dan lansia dosis

disesuaikan.Pasien tua memerlukan dosis induksi lebih rendah 25% -

50% dari dosis lazim.

Pemasangan OTT pada pasien dilakukan berdasarkan indikasi yang

telah disebutkan diatas. Untuk melakukan OTT membutuhkan

kedalaman anestesi yang lebih besar. Kedalaman anestesi merupakan

suatu hal yang penting untuk keberhasilan selama di intubasi dan

padapasien ini diberikan propofol dengan dosis 100 mg untuk mencapai

kedalaman anestesi yang lebih besar. Dan membutuhkan pemberian

Atracium 25 mg IV sebagai pelemas otot untuk mempermudah

pemasangan Endotracheal Tube.

Pada pasien ini diberikan maintanance O2 : N2O : sevofluran = 2 : 3

: 2vol% tujuannya yaitu untuk pemakaian salah satu kombinasi obat

seperti tersebut diatas secara inhalasi dalam kasus ini yaitu melalui

sungkup laring dengan pola nafas spontan dengan komponen trias

anestesia yang dipenuhinya adalah hipnotik analgesia dan relaksasi otot

ringan.

 Terapi analgetik post operasi pada pasien ini diberikan paracetamol 3 x

500 mg. Pemberian analgetik post operasi diberikan atas dasar manipulasi

operasi yang ringan dan tidak menimbulkan nyeri yang berat sehinga

pemberian paracetamol cukup untuk mengatasi nyeri pasca operatif.


65

A. PERSIAPAN PRA ANESTESI

Pemeriksaan Pra Anestesi

Pada penderita ini telah dilakukan persiapan yang cukup, antara lain:

1. KIE pasien dan keluarga dan menjelaskan tentan pembiusan yan

menyebabkan pasien ketika diruang operasi nanti akan tertidur dan tidak

sadarkan diri.

2. Puasa minimal 8 jam Pre Op untuk makanan padat, makanan lunak

minimal 6 jam, air putih minimal 2 jam Pre Op.

3. Mandi Bersih dan tidak menggunakan perhiasan dan aksesoris.


66

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Anestesi umum (General anesthesia) disebut juga Narkose Umum (NU)

adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan

bersifat reversible berdasarkan trias anesthesia yang ingin diperoleh yaitu

hipnotik, analgesia, dan relaksasi otot.

Prosedur anastesi umum dan monitoring pasien tidak hanya dilakukan

pada saat operasi tetapi juga mencakap persiapan pra anastesia (kunjungan dan

premedikasi) dan pasca anastesia.

Pemilihan teknik intubasi pada anastesi umum didarkan pada jenis

operasi yang akan dilakukan, usia, jenis kelamin, status fisik pasien,

keterampilan pelaksana anastesi, ketersediaan alat, serta permintaan pasien.

Pasien laki-laki, usia 22 tahun dengan berat badan 47 kg datang dengan

keluhan nyeri pipi sebelah kanan disertai dengan sakit kepala, diagnosis dengan

Sinus Maksila Dekstra dan Sinistra. Pasien direncanakan tindakan Irigasi.

Pemilihan tindakan anestesi pada pasien ini adalah General Anestesi

Orotrakeal Tube (GA OTT) dengan jenis napas kendali dan hasil pemeriksaan

didapatkan status fisik ASA 1.


67

5.2 Saran

Untuk mencapai hasil yang maksimal dari anastesi, permasalahan pasien

dapat diantisipasi dengan melakukan penilaian atau kunjungan preanastesia agar

dapat dilakukan penentuan terhadap tindakan anastesi yang akan dilakukan, serta

jenis obat yang akan diberikan, selain itu juga dapat menekan timbulnya

komplikasi anastesi baik intra operatif ataupun pasca operatif.

Optimalisasi penilaian dan persiapan pra anastesia dapat mengurangi

angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas

pelayanan kesehatan khususnya terhadap pasien yang akan dioperasi.

Anda mungkin juga menyukai